• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH HUKUM ADAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MAKALAH HUKUM ADAT"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM PERADILAN ADAT DAN HUKUM PIDANA

ADAT MINANGKABAU

OLEH KELOMPOK 8 Aditya Achmad Akbar (1212011009) Albar Diaz Novandi (1212011026) Anggun Tri Mulyani (1212011040) Arman Sukma Negara (1212011051) Clara Vestiavica (1212011077) Danu Rachmanullah (1212011081)

Dwika Utari (1212011102)

Endri Astomi (1212011109)

Galih Ardi Primadi (12 12011131) Hestika Dwi Ningrum (1212011140)

UNIVERSITAS LAMPUNG FAKULTAS HUKUM BANDAR LAMPUNG

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “PERADILAN DAN PIDANA ADAT MINANG”. Makalah ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan dalam melengkapi nilai tugas guna menyelesaikan mata kuliah hukum adat.

Meskipun telah berusaha seoptimal mungkin, penulis berkeyakinan makalah ini masih jauh dari sempurna dan harapan oleh keterbatasan ilmu pengetahuan, tenaga, dan waktu, serta literature bacaan. Namun, dengan ketekunan dan tekad penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Bandar Lampung, 20 November 2013

(3)

DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar Daftar Isi

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan 1.4 Metode Penulisan

BAB II Landasan Teori

2.1 Pengertian dan Istilah Hukum Adat

2.2 Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat Hukum Adat 2.3 Pidana Adat

BAB III Pembahasan

3.1 Hukum Peradilan Adat Minangkabau 3.2 Hukum Pidana Adat Minangkabau

BAB IV Penutup 4.1 Kesimpuan 4.2 Saran

Daftar Pustaka

(4)

Nama : Aditya Achmad Akbar NPM : 1212011009

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum adat adalah hukum yang berkembang pada masyarakat yang berada di suatu wilayah tertentu yang berkembang pada masyarakat itu sendiri dan berasal dari kebiasan-kebiasan pada masyarakat itu. Karena dalam hidupnya manusia akan mengatur dirinya sendiri dan keluarga yang berada disekitarnya menurut kebiasaan mereka sehari-hari. Kegiatan itu dilakukan terus-menerus sehingga menimbulkan kebiasaan-kebiasaan, yang pada akhirnya perilaku tersebut ditiru, diakui serta dipertahankan sehingga menjadi adat. Lambat laun kebiasaan yang menjadi adat tersebut berlaku pada masyarakat tersebut sehingga menjadi hukum adat yang jika dlilanggarakan mendapatkan sanksi bagi para pelanggarnya. Dalam seminar hukum adat di Yogyakarta pada tahun 1975 berkesimpullan pengertian hukum adat adalah “Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana sini mengandung unsur-unsur agama”. Maka sudah jelaslah bahwa hukum adat diakui keberadaannya yang prlu diketahui bahwa hukum adat memilik corak tersendiri yaitu tradisonal, keagamaan, kebersamaan, konkret dan visual, terbuka dan sederhana, dapat berubah dan menyesuaikan, tidak dikodifikasi, musyawarah dan mufakat. Dari corak hukum adat tersebut maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum adat tumbuh berkembang dimasyarakat.

(5)

Peradilan Adat dan Pidana Adat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul pada masyarakat yang melanggar hukum adat dan diharuskan mendapatkan sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Hukum peradilan adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tata cara menyelesaikan suatu perkara dan atau menetapkan hukum suatu perkara menurut hukum adat. Proses dalam pelaksanaan tentang bagaimana penyelesaian dan penetapan keputuan perkara tersebut disebut “peradilan adat”. Peradilan adat dapat dilaksanakan oleh anggota masyarakat secara perorangan, oleh keluarga atau tetangga, kepala kerabat atau kepala adat (Hakim Adat), kepala desa (Hakim Desa) atau oleh pengurus perkumpulan organisasi, dimana untuk menyelesaiakan delik adat secara damai untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu. Sedangkan hukum pidana adat atau hukum adat delik yang dikenal dalam istilah belanda

adatdelicten recht ialah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga sangat perlu diselesaikan (dihukum) untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu tersebut. Pada makalah ini mengangkat tentang bagaimana hukum peradilan adat dan hukum pidana adat pada masyarakat suku Minangkabau di provinsi Sumatra Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun identifikasi masalah dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peradilan adat dalam adat minangkabau?

2. Bagaiama pidana adat dalam adat minangkabau?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas yang akan dijaawab dalam makalah ini adalah :

(6)

1.4 Metode Penulisan

Untuk menjawab rumusan masalah penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu bahan-bahan yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan yang terdiri dari:

1.Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan nasional 2.Bahan hukum sekunder, yaitu literatur dan internet

(7)

Nama : Clara Vestiavica NPM : 1212011077

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian dan Istilah Hukum Adat

Adat diartikan sebagai kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah terbentuk baik sebelum maupun sesudah adanya masyarakat.1 Istilah adat identik dengan

bahasa Arab dalam tata bahasa Arab yaitu Adah yang merujuk pada ragam perbuatan yang dilakukan secara berulangulang.

Menurut M. Nasroen, “adat” Minangkabau merupakan suatu sistem pandangan hidup yang kekal, segar serta aktual, karena di dasarkan pada:

a Ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga nilai positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang

b. Kebersamaa dalam arti, seseorang untuk kepentingan bersama dan kepentingan bersama untuk seseorang

c. Kemakmuran yang merata

d. Perimbangan pertentangan, yakni pertentangan dihadapi secara nyata serta dengan mufakat berdasarkan alur dan kepatutan.

e. Meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah. f. Menyesuaikan diri dengan kenyataan.

g. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu dan keadaan.2

Menurut sistem adat Minangkabau terbagi empat yakni Adat nan sabana adat, adat nan teradat, adat nan diadatkan dan dat istiadat. Adat ini mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung kepada

1I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm 3

(8)

masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya. Secara teoretis akademis sudah timbul kesulitan untuk membedakan antara adat istiadat dengan hukum adat, apalagi dalam praktiknya, dimana gejala sosial sosial tersebut berkaitan erat. Kenyataannya bahwa adat dan hukum adat digunakan secara bersamaan oleh masyarakat.3

Pada umumnya di kalangan masyarakat minangkabau yang berada diwilayah sumatera barat memiliki sistem matrilineal dimana suatu sisitem kekerabatannnya diwariskan kepada pihak perempuan. Dalam pembicaraan sehari-hari ataupun juga di dalam kerapatan-kerapatan adat, orang tidak membedakan antara “adat” dan “hukum adat”. Di Minangkabau dipakai istilah-istilah adat sebagai berikut:

1. Adat yang sebenarnya adat

Yang dimaksud ialah adat yang tidak lekang di panas dan tak lapuk dihujan, yitu adat ciptaan Tuhan Maha Pencipta. Sebagai mana dikatakan “Ikan adatnya beradai,air adatnya membahasi, pisau adatnya melukai”. Jadi adat yang dimaksud adalah prilaku alamiah, karena sudah ketetapan Tuhan yang tidak berubah, sudah merupakan sifat perilaku yang seharusnya demikian. Hal ini menunjukan bahwa hukum adat itu dipengaruhi oleh ajaran keagamaan, segala sesuatunya dikuasai oleh Tuhan Yang Maha Esa.

2. Adat Istiadat

Yang dimaksud ialah adat sebagai aturan (kaidah) yang ditentukan oleh nenek moyang (leluhur), yang di Minangkabau dikatakan berasal dari Ninik Katamanggungan dan Ninik Parpatih Nan Sabatang di balai Balairung Pariangan Padang Panjang. Sebagaimana dikatakan, “Negeri berpenghulu, suku berbuah perut, kampung bertua, rumah bertungganai, diasak layu dibubut mati”. Dalam hal ini adat mengandung arti kaidah-kaidah aturan kebiasaan yang berlaku tradisional sejak zaman poyang asal sampai anak cucu dimasa sekarang. Aturan kebiasaan ini pada umumnya tidak mudah berubah.

(9)

3. Adat nan diadatkan

Yang dimaksud ialah adat sebaagai aturan (kaidah) Yng ditetapkan atas dasar “bulat mufakat” para penghulu, tua-tua adat, cerdik pandai, dalam majelis kerapatan adat atas dasar “halur” dan “patut”. Ketentuan ini daat berubah menurut keadaan tempat dan waktu. Oleh karena lain Nagari lain pandangannya tentang halur dan patut, maka sifat adat nan diadatkan itu lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya.

4. Adat nan teradat

Yang dimaksud ialah kebiasaan bertingkah laku yang dipakai karena tiru-meniru diantara anggota masyarakat. Karena perilaku kebiasaan itu sudah biasa terpakai, maka dirasakan tidak baik ditinggalkan. Misalnya dikalangan orang Minangkabau sudah teradat apabila ada kaum kerabat yang meninggal atau untuk menyabut tamu agung, mereka berdatangan denga berpakaian berwarna hitam.

Nama : Danu Rachmanullah NPM : 1212011081

2.2 Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat Hukum Adat

Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam menyelesaikan sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan sistem hukum lain. Hukum Adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaanya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah dan norma yang disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat merupakan wujud yuris fenomenologis dari masyarakat hukum adat.4

Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat di dasarkan pada pandangan hidup yang di anut oleh masyarakat itu sendiri. Pandangan hidup ini dapat

(10)

diidentifikasikan dari ciri masyarakat hukum adat yang berbeda dengan masyarakat modern. Masyarakat Adat adalah masyarakat yang berlabel agraris, sedangkan masyarakat modern cenderung berlabel industri. Hal ini di dasarkan pada pandangan dan falsafah hidup yang dianut masing-masing masyarakat. Analisis mendalam tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat, sangat ditentukan oleh pandangan hidup dan ciri masyarakat adat.5

Dalam memahami tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat, perlu dipahami filosofi dibalik terjadinya sengeketa dan dampak-dampak yang terjadi akibat sengketa terhadap nilai dan komunitas masyarakat hukum adat. Tujuannya adalah untuk memahami keputusan-keputusan yang akan diambil oleh pemegang adat (tokoh adat) dalam menyelesaikan sengketanya.6

Nama : Endri Astomi NPM : 1212011109

2.3 Pidana Adat

Terminologi hukum pidana adat, delik adat atau hukum adat pidana cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat yang terdiri dari hukum pidana adat dan hukum perdata adat. Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoritis dan praktik dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya yang apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tidak tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Kemudian sumber tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.7

5 Syahrizal Abbas, Ibid. hlm. 237 6 Syahrizal Abbas, Ibid. hlm. 243

(11)

Sedangkan I Gede A.B. Wiranata memberikan kesimpulan bahwa pelanggaran adat adalah, (i) suatu peristiwa aksi dari pihak dalam masyarakat; (ii) aksi itu menimbulkan adanya gangguan keseimbangan; (iii) gangguan kesimbangan itu menimbulkan reaksi; dan (iv) reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali gangguan keseimbangan kepada keadaan semula.8

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat, melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam masyarakat. Delik adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht. Istilah ini tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.9

Hukum adat merupakan nilai yang ada dan berkembang ditengah masyarakat, untuk menemukan hukum adat tersebut Soekanto menguraikan bahwa hukum adat tersebut mempunyai tempat yang dapat ditemukan pada:10

1. Kaedah-kaedah yang tidak tertulis. Hukum adat tersebut hidup dan terkenal oleh masyarakat penuh pepatah, simbolik, penuh kiasan. Hanya dapat dipahami dengan menjalani kehidupan, menyelidiki asal mula dan mempelajari cara orang menerangkannya.

8 I Gede A.B. Wiranata, “Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa”, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2003, hal. 208-209 9 Ibid

(12)

2. Kitab-kitab hukum. Kadang ada keinginan dari masyarakat untuk menulis adat, namun terkadang yang termuat di dalam catatan-catatan masyarakat tersebut ada yang sudah tidak berlaku lagi dalam masyarakat.

3. Peraturan-peraturan dari golongan-golongan. Selain mencatat, masyarakat juga terkadang sengaja membuat peraturan-peraturan hukum yang terdapat di dalam peraturan-peraturan desa.

4. Peraturan - peraturan raja - raja dan kepala - kepala pemerintahan. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh raja-raja dan kepala-kepalaa pemerintahan ada yang bermaksud menetapkan, memberi sanksi atas apa yang telah dianggap sebagai adat.

(13)

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Hukum Peradilan Adat Minangkabau

Hukum peradilan adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tata cara menyelesaikan suatu perkara dan atau menetapkan hukum suatu perkara menurut hukum adat. Proses dalam pelaksanaan tentang bagaimana penyelesaian dan penetapan keputuan perkara tersebut disebut “peradilan adat”. Peradilan adat dapat dilaksanakan oleh anggota masyarakat secara perorangan, oleh keluarga atau tetangga, kepala kerabat atau kepala adat (Hakim Adat), kepala desa (Hakim Desa) atau oleh pengurus perkumpulan organisasi, dimana untuk menyelesaiakan delik adat secara damai untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu. Dalam menyelesaikan suatu sengketa adat contohnya harta pusaka tinggi, masyarakat Minangkabau dapat menyelesaikannya melalui Kerapatan Adat Nagari tersebut. Kerapatan Adat Nagari ini dapat menyelesaikan suatu sengketa diluar pengadilan dan sifatnya tidak memutus, tetapi meluruskan sengketa-sengketa adat yang terjadi. Pengertian peradilan adat menurut adat disini adalah suatu proses, cara mengadili dan menyelesaikan secara damai yang dilakukan oleh sejenis badan atau lembaga diluar peradilan seperti yang di atur dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

KAN atau yang lebih dikenal dengan Kerapatan Adat Nagari merupakan suatu lembaga di dalam nagari yang mengurus dan menjaga serta melestarikan adat dan kebudayaan di Minangkabau. Di mana KAN ini terdiri dari berbagai unsur dalam nagari tersebut seperti;

 Para Penghulu atau datuk setiap suku yang ada dalam kenagarian tersebut.  Manti atau Cadiak Pandai merupakan kalangan intelektual dalam nagari

tersebut.

(14)

 Dubalang atau Penjaga keamanan dalam nagari tersebut.11

Dalam Pasal 1 angka 13 Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari dijelaskan bahwa Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah Lembaga Kerapatan dari ninik mamak yang telah ada dan diwarisi secara turum-temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan perselisihan sako dan pusako. Mengenai fungsi dan tugas KAN ini sebelumnya juga telah di jelaskan dalam Pasal 7 ayat 1 huruf b dan huruf c Perda Nomor 13 Tahun 1983 tentang Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dan Pasal 4 SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor 189-104-1991. Sengketa atau jenis perkara yang dapat diselesaikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah sebagai berikut :

1. Sengketa mengenai gelar ( sako )

2. Sengketa mengenai harta pusaka ( pusako )

3. Sengketa perdata lainnya.

Sengketa mengenai gelar (sako) adalah sengketa yang berkaitan dengan gelar yang diterima secara turun-temurun di dalam suatu kaum yang fungsinya adalah sebagai kepala kaum-kepala adat (penghulu) dansako ini sifatnya turun-temurun semenjak dahulu sampai sekarang, menurut garis ibu lurus kebawah. Sengketa mengenai harta pusaka (pusako) adalah sengketa yang berkaitan dengan harta pusaka tinggi seperti sawah ladang, banda buatan, labuah tapian, rumah tango, pandam pekuburan, hutan tanah yang belum di olah. Sengketa mengenai perdata lainnya adalah sengketa yang terjadi antara anggota-anggota masyarakat seperti perkawinan, perceraian dan sebagainya.12 Jika terjadi suatu sengketa dalam satu

kaum, sengketa tersebut tidak langsung dibawa ke balai adat untuk di timbang oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN), tetapi proses yang dilalui adalah bajanjang naiak batanggo turun, maka perkara ini terlebih dahulu di selesaikan oleh

11

http://nagaritabekpatah.blogspot.com/2012/07/fungsi-kan-sebagai-peradilan-adat.html,diakses tanggal 20 November 2013, jam 20.22 WIB.

12 As Suhaiti Arief, Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Hukum Adat Minangkabau di

(15)

penghulu (datuk) sebuah paruik dalam persukuan kedua belah pihak yang bersengketa. Menurut pepatah adat juga “Kusuik disalasaikan karuah dipajaniah

“. Dalam hal ini penyelesaian pertama adalah dengan cara perdamaian. Bila kedua belah pihak tidak mau berdamai atau merasa kurang puas, maka disinilah perkara itu mau tidak mau harus dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi untuk di timbang di Balai Adat oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang terdiri dari Penghulu suku, manti, dubalang serta orang tua dan cerdik pandai. Susungguh pun demikian walaupun Karapatan Adat Nagari (KAN) itu dihadiri oleh orang ampek jijih, tetapi penghulu suku itulah yang berhak menjatuhkan putusan. Sedangkan penghulu yang lain hanya ikut mempertimbangkan saja, tidak hanya itu sejak zaman dahulu kala masyarakat minang memakai undang-undang dalam pelaksanan adatnya. Yaitu Ninik moyang orang Minangkabau sudah menetapkan Undang-undang yang menjadi dasar pemerintahan adat zaman dahulu, yaitu mencakup pemerintahan Luhak dan Rantau, pemerintahan Nagari dan peraturan yang berlaku untuk Suku dan Nagari. Juga peraturan untuk individu.

1. Undang-undang Luhak dan Rantau 2. Undang-undang Nagari

3. Undang-undang dalam Nagari 4. Undang-undang nan Duopuluh

1. Undang-undang Luhak dan Rantau menyatakan bahwa di daerah Luhak berlaku pemerintahan oleh Penghulu sedang di daerah Rantau berlaku pemerintahan oleh Raja-raja.

2. Undang-undang Nagari menentukan syarat-syarat pembentukan suatu Nagari. Nagari boleh dibentuk jika sudah terdapat sekurangnya empat suku, yang masing-masing suku itu harus terdiri dari beberapa paruik. Suatu nagari harus mencukupi dibidang ekonomi dan budaya: mempunyai sawah ladang, balai adat dan mesjid, sarana transportasi, air bersih, lapangan bermain.

(16)

jika bersalah, dan sebagainya. Di sini sangat berperan mekanisme kontrol yang bernama rasa malu

4. Undang-undang nan Duopuluh adalah undang-undang pidana: delapan bagian merupakan tindak pidana, dan dua belas bagian merupakan tuduhan dan sangkaan.

Untuk terlaksananya Kerapatan Adat Nagari (KAN). Pemerintah Daerah mengatur dengan Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 pada bab VII, Pasal 19 ayat (1 dan 2) yang berbunyi:

Ayat (1) : Lembaga Adat Nagari berfungsi menyelesaikan sengketa sako dan pusako menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku di Nagari, dalam bentuk Putusan Perdamaian.

Ayat (2) : Bilamana tidak tercapai penyelesaian sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini, maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat meneruskan perkaranya ke Pengadilan Negeri.

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) Perda No. 2 Tahun 2007 yang berbunyi adalah:

“Penyelesaian sengketa menyangkut sako dan pusako diupayakan musyawarah dan mufakat menurut ketentuan yang berlaku sepanjang adat. Upaya penyelesaian sengketa dilaksanakan secara berjenjang baik bertangga turun yang dimulai dari tingkat kaum, suku dan terakhir pada tingkat Lembaga Adat Nagari.”

(17)

Hal ini terlihat dalam fatwa adat yang menyatakan :

Nan buto pahambuih lasuang (orang buta untuk meniup lesung yaitu tempat menumbuk padi)”.

Nan pakak palapeh badie (orang tuli untuk melepas bedil atau meriam), Nan lumpuah pengajuik ayam (orang lumpuh untuk penghalau ayam)”.

Tingkat peradilan adat dalam penyelesaian sengketa dalam suatu kaum, maka ada tingkatan dalam proses penyelesaian sengketa adat tersebut, yaitu ;

1. Untuk sengketa yang terjadi dalam suatu kaum, maka peradilannya terdiri atas 3 tingkatan yaitu :

a. Tingkat kaum, pada tingkat ini sengketa diselesaikan oleh mamak kepada waris. b. Tingkat suku. Jika sengketa dalam kaum tidak dapat diselesaikan pada tingkat kaum, maka dapat diajukan ke tingkat suku yang diselesaikan oleh penghulu suku.

c. Tingkat Kerapatan Adat Nagari (KAN). Jika suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada tingkat suku, maka dapat diajukan ke Pengadilan Kerapatan Adat Nagari.

2. Untuk sengketa yang terjadi antar kaum, maka peradilannya terdiri dari atas 2 tingkatan yaitu :

1. Tingkat antar kaum. Jika terjadi sengketa antar kaum, maka akan diselesaikan oleh “Penghulu nan ampek” (penghulu yang empat).

2. Tingkat Kerapatan Adat Nagari. Jika sengketa tidak dapat diselesaikan dalam tingkat antar suku, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan melalui peradilan Kerapatan Adat Nagari.

(18)

dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, yang disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dengan diberlakukan Peraturan Daerah nomor 13 tahun 1983, maka tugas Kerapatan Adat Nagari tidak hanya menyelesaikan sengketa “sako” (Gelar) tetapi juga harus menyelesaikan sengketa yang menyangkut “pusako” (harta benda). Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KAN Salimpaung dalam Pasal 50 tentang Penyelesaian Sengketa di sebutkan bahwa:

a. Sengketa perselisihan atau perkara yang terjadi dalam suatu kaum, diselesaikan oleh mamak dan Datuk Niniak Mamak yang bersangkutan menurut ketentuan adat “bajanjang naik batanggo turun”.

b. Sengketa, perselisihan atau perkara yang terjadi pada suatu kaum, diselesaikan oleh Datuk Niniak Mamak, Pegawai Suku serta Datuak Ampek Suku dalam pesukuan tersebut, dengan ketentuan ”amuh bakato amuah batando” untuk itu dikenakan tando 1 (satu) bilah keris dan uang sebesar Rp. 40.000,- (empat puluh ribu rupiah) masing-masing atau kedua belah pihak.

c. Setiap sengketa perselisihan atau perkara yang sampai kepada Kerapatan Adat Nagari dan Pemerintahan Nagari maka dikenakan 1 (satu) bilah keris dan uang pamacik tando (pemegang tanda) sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) masing-masing yang berperkara.

Di Nagari Salimpaung Sengketa atau perkara yang menyangkut bidang adat akan diselesaikan secara adat juga, guna untuk mempertahankan dan melaksanakan hukum adat yang berlaku. Jika terdapat suatu sengketa ada suatu azaz yang dianut “musyawarah – mufakat” yaitu berjanjang naik batanggo turun.

(19)

musyawarah dan mufakat, dan di atas ketiga unsur ini pulalah dibangun pergaulan hidup bermasyarakat yang menganut prinsip saling menghormati dan menghargai.

Nama : Albar Diaz Novandi

NPM : 1212011026

3.2 Hukum Pidana Adat Minangkabau

Hukum pidana adat atau hukum adat delik yang dikenal dalam istilah belanda

adatdelicten recht ialah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga sangat perlu diselesaikan (dihukum) untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu tersebut. Dalam makalah ini karena sangat sulit ditemukannya sumber tentang hukum pidana adat minagkabau secara umumnya maka kami mengambil contoh hukum pidana adat minangkabau pada masyarakat Silungkang yang ada pada undang-undang nan dua puluah. Undang-undang yang dua puluh merupakan Undang-undang-Undang-undang yang mengatur persoalan hukum pidana, mengenai berbagai bentuk kejahatan dengan sanksi tertentu, dan bukti terjadinya kejahatan serta cara pembuktiannya. Undang-undang dua puluh ini secara pokoknya disusun oleh kedua ahli hukum Minangkabau yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpati Nan Sabatang.Undang-undang ini terbagi dua bagian, yaitu :

1. Undang nan salapan (cemo bakaadaan);

Undang-undang nan salapan terdiri dari delapan pasal yang mencantumkan jenis kejahatan. Setiap pasal mengandung dua macam kejahatan yang sifatnya sama tapi kadarnya berbeda yaitu terdiri dari :

(20)

2. Upeh racun, upeh artinya perbuatan yang menyebabkan seseorang menderita sakit setelah menelan makanan atau minuman yang telah diberi ramuan berbisa atau racun. Racun artinya perbuatan yang menyebabkan seseorang meninggal akibat menelan makanan atau minuman yang telah diberi ramuan berbisa atau beracun (tuba).

3. Samun saka, samun artinya perbuatan merampok milik orang dengan kekerasan atau aniaya yang menyebabkan orang itu meninggal. Saka

artinya perbuatan menyakiti seseorang karena untuk mengambil harta milik orang tersebut. Pasal ini mempunyai sampiran yaitu rabuik rampeh.

Rabuik artinya perbuatan mengambil barang yang dipegang pemiliknya dan melarikannya sedangkan rampeh artinya perbuatan mengambil milik orang secara paksa /tidak berhak dengan melakukan ancaman.

4. Siai baka, siai artinya perbuatan membuat api yang mengakibatkan milik orang lain sampai terbakar, dibuktikan dengan puntung suluh. Baka artinya perbuatan membakar barang orang lain, dibuktikan dengan membakar sampai hangus.

5. Maliang curi, maliang artinya perbuatan mengambil milik orang dengan melakukan perusakan atas tempat penyimpanannya, dilakukan pada malam hari. Curi artinya perbuatan mengambil milik orang lain secara sambil lalu selagi pemiliknya lengah, dilakukan di siang hari.

6. Dago dagi. Dago artinya perbuatan menyalahi perintah atasan dengan tidak ada alasan yang tepat (salah kemenakan kepada mamak). Dagi

artinya perbuatan membuat huru-hara di dalam nagari (salah mamak kepada kemenakan).

(21)

umbai artinya perbuatan membujuk seseorang agar sama-sama melakukan kejahatan.

8. Sumbang salah, sumbang artinya perbuatan yang menggauli perempuan yang tidak boleh dinikahi, perbuatan atau pergaulan yang salah di pandang mata. Salah artinya perzinahan dengan istri orang, perbuatan yang melanggar susila.

2. Undang-undang nan duo bale (tuduh nan bakatunggangan),

Undang-undang enam dahulu dikatakan “tuduah”, prasangka yang berkeadaan, atau suatu kesalahan yang telah dilakukan. Tuduhan yang demikian telah boleh dikatakan dakwa. Di tiap-tiap pasal dari undang-undang ini mengandung dua macam alasan atau tuduhan.

a. Undang-undang yang enam dahulu

1. Tatumbang- taciak : Yang dimaksud dengan tatumbang ialah tersangka tidak dapat menangkis tuduhan yang didakwakan kepadanya. Yang dimaksud taciak

tersangka mengakui tuduhan yang didakwakan kepadanya;

2. Tatando –tabeti : Tatando ialah ditemukan milik terdakwa ditempat kejadian.

Tabeti ialah ditemukan barang-barang yang berasal dari tempat kejahatan pada terdakwa;

3. Tacancang –Tarageh : Tacancang ialah ditemukan bekas, akibat atau milik terdakwa ditempat kejadian perkara. Tarageh ialah pada diri terdakwa terdapat bukti-bukti bahwa korban memberikan perlawanan;

4. Taikek- takabek : Taikek ialah terdakwa kepergok sedang melakukan kejahatan.

Takabek ialah terdakwa kepergok pada tempat kejadian;

5. Talala- takaja : Talala ialah terdakwa ditemukan di tempat persembunyiannya.

(22)

6. Tahambek- tapukua : Tahambek artinya terdakwa dapat ditangkap setelah pengepungan. Tapukua ialah terdakwa dapat ditangkap setelah dipukul dan dikeroyok.

b. Undang-undang yang enam dahulu

Undang-undang yang enam kemudian dikatakan “Cemo” yaitu syak atau kecurigaan, yang belum tentu seseorang bersalah yaitu terdiri dari:

1. Baurie bak sipasin bajojak bak bakiak, maksudnya ditemukan jejak seseorang atau tanda-tanda di tanah ternyata menujuk kearah tersangka; 2. Onggang lalu atah jatuah, maksudnya di tempat kejadian seseorang

terlihat disana;

3. Condong mato urang banyak, menjadi perhatian orang banyak karena hidupnya berubah seketika sedang usahanya tidak jelas;

4. Bajua bamurah-murah, maksudnya didapati seseorang menjual barang dengan harga yang sangat murah;

5. Bajalan bagogeh-gogeh, maksudnya berjalan tergesa-gesa seolah-olah sedang ketakutan;

6. Dibao pikek dibao langau, didapati seseorang sedang hilir mudik tanpa tujuan yang jelas sehingga menimbulkan kecurigaan.

3. Undang-undang dalam nagari

Yang dimaksud undang-undang urang dalam nagari adalah undang-undang yang mengatur hubungan antara sesama anak nagari atau peraturan yang harus dipatuhi oleh anak nagari undang-undang ini berbunyi :

(23)

2. Salah bunua mambari diyat, si pembunuh wajib memberi diyat, yakni membayar denda pengganti jiwa kepada si waris terbunuh menurut kehendak si waris atau kalau melukai orang luko di ubek bongkak di diang;

3. Salah makan meludahkan, kalau kita termakan makanan haram harus meludahkan kembali, juga berarti kita menyesali diri atas perbuatan itu, tidak akan berbuat hal yang sama lagi dan bertobat kepada tuhan;

4. Sala tarik mangumbali, kalau kita sudah terlanjur mengambil harta orang lain harus segera mengembalikan dan minta maaf pada pemiliknya;

5. Sudah jelas;

6. Sudah jelas;

7. Gawa maubah, kalau terjadi gawa atau kesalahan, kekeliruan atau keteledoran dalam melakukan sesuatu pekerjaan cepat merubahnya dan menyadarinya yang demikian;

8. Cabuo dibuang, Cabuo melakukan perbuatan yang memalukan umpamanya melakukan perzinahan, harus dibuang, mesti dijauhi;

9. Sudah jelas;

10. Babatulan babayaran, umpamanya dalam pelaksanaan ganti rugi atas tanaman kalau sudah sesuai harganya harus dilaksanakan lekas pembayarannya;

11. Basalahan bapatutan, umpamanya dalam ganti rugi tadi belum sesuai mengenai pemilikan harga yang akan diganti rugi, harus dipatut (dinilai, dihitung) kembali kalau perlu memakai orang ketiga untuk mematuiknya, supaya lebih adil;

(24)

tidak mempunyai saksi, berarti perkara itu gaib, untuk menyelesaikannya harus menurut kalam Allah yakni dengan bersumpah;

13. Barabuik pulang ka tangan, kalau ada beberapa anggota kaum berebut tanah warisan umpamanya, harus diserahkan menyelesaikannya kepada Kerapatan kaum, kalau tidak selesai juga dinaikkan ke Kerapatan suku dan seterusnya. Pulang ke tangan artinya disidangkan;

14. Suarang diagih, artinya harta seorang (pribadi) terserah kepada pemiliknya untuk memberikan (maagih) kepada yang dikehendakinya;

15. Sakutu dibalah, hak harta perserikatan atau pencaharian dua suami istri kalau terjadi perceraian harta itu harus dibagi (dibalah = dibagi dua)

16.Sudah jelas;

17.Sudah jelas;

18. Piutang jauh bahambatan, untuk Menerima piutang dari orang yang sudah jauh dari kita dapat diupayakan dengan cara mengaitkannya dengan orang yang dekat atau yang menguasai orang yang berutang, umpamanya si A berutang, ia telah merantau kita dapat minta pertolongan kepada teman, saudara atau atasan si A;

19. Piutang dakek batarikan, umpamanya si B berutang, ia enggan membayarnya, dapat kita menerimanya atau menariknya waktu ia sedang panen atau sedang menerima uang atau menerima gaji;

20.dan 21. Salang mangumbali dan japuik maantaan, berarti kalau kita menjemput barang orang lain, harus kita mengembalikan, kalau kita yang menjemput waktu meminjam itu wajib kita menghantarkan kembali dimana kita mengambil barang itu.

4. Hukum Adat

(25)

terkecuali adat Minangkabau yang mengurus dan menjaga seluruh masyarakat hukum adat, tentu sangat diperlukan peraturan dan undang-undang yang sifatnya dapat memaksa dan mengawasi masyarakat hukum adat, hukum dan sanksi adat Minangkabau tidak merupakan hukuman badan tapi merupakan hukuman jiwa. Falsafah hukum adat:

1. Tangan manconcang bahu mamiku, 2. Tapijak di bonang aghang itam tapak,

3. Siapo nan manggali lubang inyo nan manimbuni,

4. Luko diubek bongkak didiang,

5. kaki tataruang inai padonyo

6. Muluik tadorong ome padonyo.

Setiap pelanggaran tentu akan mendapat ganjaran sanksi hukuman baik yang dijatuhkan pengadilan adat ataupun yang dijatuhkan mamak kaum maupun yang dijatuhkan masyarakat. Hukuman Terkurung Diluar. Ada yang dijatuhkan masyarakat misalnya seseorang sering berlaku tidak senonoh atau orang yang pernah berbuat salah tapi tidak tobat akan kesalahannya orang itu akan dikucilkan dari pergaulan yang dijatuhkan mamak kepala kaum,seorang anak kemenakan tidak menuruti apa yang diperintahkan adat akhirnya dia dihukum, rumahnya tidak dinaiki niniak mamak waktu kematian atau apa saja sebelum dia mengaku salah secara adat. Untuk menjatuhkan sanksi tentu diperlukan peradilan adat. Peradilan adat dilaksanakan di dalam kaum di dalam kampung, di dalam suku dan di kerapatan adat nagari. Sebelum dilaksanakan sidang kerapatan suku terlebih dahulu diselesaikan di dalam kaum kalau di dalam kaum tidak selesai baru diangkat ke dalam kampung, di dalam kampung akan didamaikan oleh Pangulu andiko biasanya masalah selesai sampai disini. Kalau terjadi pertengkaran antara dua kaum perkaranya akan diselesaikan oleh Pangulu andiko. Kalau tidak selesai akan diteruskan ke kerapatan suku, di kerapatan suku sidang akan di pimpin oleh

(26)

masalah pusako harta warisan inilah yang sering tidak bisa diselesaikan di dalam suku dan barulah masalahnya di angkat ke kerapatan adat di dalam kerapatan adat. Perkara akan disidangkan oleh bidang perdamaian adat, kedua anggota kaum yang berselisih paham, akan dipanggil satu persatu untuk dimintai keterangan dan setelah itu barulah kedua belah pihak akan dihadapkan dalam sidang Kerapatan adat, kalau salah satu pihak tidak puas dan ingin melanjutkan perkaranya ke pengadilan Negeri Kerapatan adat akan mengirim berkasnya ke Pengadilan Negeri dan memberi rekomendasi. Tapi ada baiknya sebelum di kirim perkara ini ke pengadilan negeri terlebih dahulu di minta penyelesaian dari LKAAM kota dan propinsi kalau pihak-pihak yang bersengketa masih belum puas baru teruskan ke Pengadilan Negri dengan melampirkan usaha perdamaian pada tiap tingkat pengadilan adat Untuk menjatuhkan hukum tentu harus ada bukti, di dalam adat disebutkan batando babeti bukti kecurigaan seperti pulang pagi babasa, basa bajalan bagoge-goge, bajojak bak sipasin.Kalau terjadi larang pantang di dalam kaum oleh anak kemenakan hukum akan dijatuhkan oleh mamak kaum seperti membuat onar dalam kaum, berkelahi, mengambil paksa harta kemenakan dan terbukti hukumnya mungkin didenda satu ekor kambing atau ayam atau kalau berdamai luko diubek bongkak didiang, mungkin juga terkelamai. Kalau membuat onar di dalam kaum hukum akan dijatukan oleh mamak kaum. Kalau membuat onar didalam kampung hukum akan dijatukahkan oleh kesepakatan mamak-mamak kaum dalam kampung itu, kalau membuat onar dalam suku hukum akan dijatukan oleh orang ompek jinih. kalau membuat onar dalam nagari hukum akan dijatuhkan oleh Kerapatan adat nagari yang di sidangkan oleh bahagian perdamain adat. Kalau sengketa harta pusako untuk mengajukannya kekerapatan adat Pangulu pucuak yang bersangkutan membuat surat keterangan bahwa perkara itu telah pernah di selesaikan di dalam suku Penghulu pucuak dalm mengajukaersoalan menerangkan tentang persolan yang terjadi dan menerangkan mengnai cara penyelesaian juga hasil yang dicapai.

5. Hukum,Sangsi dan Denda Secara Adat Silungkang

(27)

1. Hukum buang.

a. Dibuang sepanjang adat.

b. Buang tingkarang.

c. Buang pului

d. Di buang dari kampuang. e. Di buang dari nagari. 2. Denda.

a. Denda satu ekor sapi b. Denda satu ekor kambing c. Denda satu ekor ayam.

3. Takuruang diluah.

a. Tidak dibawa selihir semudik

b. Tidak dapat menyelenggarakan kegiatan adat.

c. Indak dinaiaki rumah gadangnyo oleh niniak mamak. 4. Luka diobati bengkak didiang.

a. Dibayar dengan uang.

b. Takalamai.

c. Bajujuangan nasi.

Semua sangsi hukum ini sesuai dengan tingkat kesalahan, dan jenis kesalahan yang dilanggarnya sesuai dengan kata adat.

(28)

3. Kusuik bonang dicari ujuang jo pangkanyo.

4. Kusuik sarang tampuo api manyudahi.

Sangsi hukum ini adakalanya dijatuhkan pada satu pihak saja, ada juga yang kedua belah pihak, tetapi ada juga pihak ketiga juga diberi hukuman.

Nama : Dwika Utari (1212011102) Galih Ardi Primadi (12 12011131)

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

(29)

keselamatan serta keutuhan masyarakat berdasarkan kepada sistem peradilan yang berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan peradilan yang harus dilalui disesuaikan dengan kasus. Jika sengketa terjadi dalam suatu kaum maka tingkatan peradilannya adalah sebagai berikut :

1. Tingkat Kaum 2. Tingkat Suku

3. Tingkat Kerapatan Adat Nagari (KAN)

Sedangkan jika terjadi antar kaum maka tingkatan peradilannya adalah 1. Tingkat antar kaum

2. Tingkat KAN

Dalam penyelesaian sengketa adat terlihat bahwa sengketa diselesaikan sejalan dengan istilah bajanjang naik, batanggo turun, mulai dari tingkat yang rendah yaitu tingkat kaum sampai ke tingkat yang lebih tinggi yaitu tingkat KAN. Setiap tingkat penyelesaian perkara, Niniak Mamak di Kenagarian Salimpaung berperan dalam setiap perkara baik itu sako maupun dalam masalah Pusako, dengan mengutamakan unsur musyawarah dan mufakat berdasarkan alur dan patut. Dengan falsafah dalam Adat Minangkabau yaitu dibulekkan aie jo pambuluh, dibulekkan kato jo mufakat.

4.2 Saran

(30)

Hukum Adat tersebut lalu dia perlu diadili maka digunakanlah Hukum Peradilan Adat untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Dan untuk dapat meningkatkan peran lembaga KAN dalam pembangunan nagari, maka lembaga ini jangan hanya diberi kekuatan untuk menyelesaikan adat istiadat semata. Posisikan kembali KAN tersebut sebagai lembaga yang menjadi partner pemerintah nagari dalam menjalankan pembangunan nagari.

DAFTAR PUSTAKA

As Suhaiti Arief, Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Hukum Adat Minangkabau di Sumatera Barat (Usulan Penelitian Program Hibah Kompetisi A-2, Padang, 2007)

(31)

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003

I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2003

Lilik Muryadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat Indonesia, Artikel Bagian I Wordpress Edisi Senin 24 Mei 2010, tanpa nomor halaman.

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cetakan ke 11, 2011.

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Penerbit Soeroengan, Jakarta, 1958

Syahrizal Abbas, Mediasi Ddalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Prenada Media Grup, Jakarta, Cetakan ke-2, 2011

Sumber Internet:

http://nagaritabekpatah.blogspot.com/2012/07/fungsi-kan-sebagai-peradilan-adat.html,diakses tanggal 20 November 2013, jam 20.22 WIB.

Peraturan Perundang – undangan

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dengan adanya ketentuan tersebut diatas yang harus di taati oleh semua hakim yang mengadili perkara pada semua lingkungan pengadilan, maka

Bila penyelesaian konflik atau sengketa pembagian harta waris, menggunakan impelentasi Hukum Waris Islam, akan diketahui siapa saja ahli waris yang berhak atas

Hasil penelitian dalam kasus malpraktek perselisihan yang timbul akibat kelalaian oleh tenaga kesehatan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar

Adat serbo duo limo (serba dua lima) ditentukan oleh ninek mamak suku kampung (pemuka adat, pemuka masyarakat, perangkat desa, keluarga dari calon mempelai)

Oleh karena itu, sangat minim sekali kasus-kasus pada perbankan syariah yang diselesaikan melalui jalur litigasi, hal ini dapat dilihat dari minimnya perkara sengketa ekonomi

terjadi yang bisa berbuntut kekerasan dan merugikan pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, sengketa kewarisan kebun merupakan salah satu masalah yang harus diselesaikan

Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral Karena itu kedua belah

Pada penelitian saya terkait sengketa dagang tersebut terdapat sebuah permasalahan yang harus diselesaikan dengan hasil yang tidak merugikan pada pihak mana pun, sehingga pada