72
Lampiran 3 Formulir Informed Consent
Formulir Informed Consent
PENGUKURAN INDEKS GLIKEMIK ROTI TAWAR BENGKUANG (Pachyrhizus erosus)
Setelah memperoleh penjelasan tentang tujuan, manfaat, prosedur, dan kemungkinan risiko, serta jawaban atas pertanyaan saya yang diberikan oleh tim peneliti padaPENGUKURAN INDEKS GLIKEMIK ROTI TAWAR BENGKUANG (Pachyrhizus erosus), maka saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : NIM : Stambuk :
dengan ini menyatakan dengan penuh kesadaran bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian tersebut di atas dan bersedia untuk menjalani pemeriksaan darah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam penelitian PENGUKURAN INDEKS GLIKEMIK ROTI TAWAR BENGKUANG (Pachyrhizus erosus), dengan catatan semua data mengenai diri saya dirahasiakan. Selanjutnya, bila suatu ketika, dalam masa penelitian, saya merasa dirugikan karena penelitian ini, saya berhak mengundurkan diri dari keterlibatan saya serta membatalkan persetujuan ini, tanpa sanksi apa pun dan dari pihak manapun.
74
Lampiran 4 Tabel Respons Glukosa Darah terhadap Roti Tawar dan Roti Tawar Bengkuang
Respons Glukosa Darah terhadap Roti Tawar
Subyek Respons Glukosa Darah terhadap Roti Tawar Satuan
0’ 15’ 30’ 45’ 60’ 90’ 120’ Menit
Respons Glukosa Darah Terhadap Roti Tawar Bengkuang
76
Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian
Alat Pengukur Gula Darah (Glukometer)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Pengaruh Pemberian Ekstrak UmbiBengkuang(Pachyrhizus erosus) Terhadap Gula Darah, Kadar Immunoglobulin (IgA) dan Vili Usus Pada Tikus (Rattus Norvegittus) Diabetes Mellitus. Tesis. Universitas Andalas
Almatiser, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists. Washington D.C.
Argasasmita, T.U. 2008. Karakterisasi Sifat Fitokimia dan Indeks Glikemik Varietas Beras Beramilosa Rendah dan Tinggi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Arlene, A., J.R. Witono dan M. Fransisca. 2009. Pembuatan Roti Tawar dari Tepung Singkong dan Tepung Kedelai. Simposium Nasional RAPI VIII. Universitas Katolik Parahyangan. Bandung
Astawan, M. 2009. Panduan Karbohidrat Terlengkap. Jakarta: Dian Rakyat.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia.http://www.bps.go.id. (diakses 20 Februari 2016).
Damayanti, K. 2010. Pembuatan Tepung Bengkuang dengan Kajian Konsentrasi Natrium Metabisulfat (Na2S2O2) dan Lama Perendaman.
Skripsi. Program Studi Teknologi Pangan. Universitas Pembangunan Nasional. Surabaya.
Departemen Kesehatan (Depkes). 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Laporan Nasional 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan, Depkes RI. http://www.litbang.depkes.go.id. (diakses tanggal 20 Februari 2016).
67
Fithroh, A. F dan Sukarjati. 2013. Pengaruh Umbi Bengkuang (Pachyrhizus erosus) Pada Berbagai Volume dan Varietas Terhadap Kualitas Spermatozoa Marmut (Cavia Porcellus) yang Hiperglikemia. Artikel Penelitian. Program Studi Biologi. Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.
Food Agricultural Organization (FAO). 1998. Carbohydrates in Human Nutrition. Rome: FAO.
Foster-Powell, Kaye., Susanna HA Holt., and Janette C Brand-Miller. 2002. International table of glycemic index and glycemic load values. Am J Clin Nurt., Vol 76:5-56
Gulo, T.M. 2008. Pengaruh Pencampuran Tepung Terigu dengan Tepung Jagung dan Konsentrasi Natrium Propinoat Terhadap Mutu Roti Tawar. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Handayani, L dan F. Ayustaningwarno. 2014. Indeks Glikemik dan Beban Glikemik Vegetable Leather Brokoli (Brassica oleracea var. Italica) Dengan Substitusi Inulin. Journal of Nutrition College,Vol 3 No 4 ; 783-790.
Hasan, V., S. Astuti., Susilawati. 2011. Indeks Glikemik Oyek dan Tiwul Dari
Umbi Garut (Maranthaarundinaceae L), Suweg
(AmorphalluscampanullatusBI) dan Singkong (Manihotutillisima). Jurnal
Teknologi Industri dan Hasil Pertanian. Universitas Lampung. Volume 16 No. 1.
Hilman, A. 2012. Karakteristik Polisakarida Larut Air (PLA) Umbi Bengkuang (Pachyrhizus erosus L) dari Berbagai Metode Ekstraksi. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Izzati, F. 2015. Analisis Indeks Glikemik (IG) pada Nasi Campuran antara Beras (Oriza sp) dan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L). Skripsi.Universitas Sumatera Utara. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Karimah, I. 2011. Nilai Indeks Glikemik Bubur Instan Pati Singkong dan Bubur Instan Pati Resisten Singkong. Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Kuncara, A.L. 2011. Subsstitusi Tepung Gembili (Diosconea esculenta L) Pada Pembuatan Roti Tawar. Skripsi. Fakultas Teknobiologi. Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Larasati, A.S. 2013. Analisis Kandungan Zat Gizi Makro dan Indeks Glikemik Snack Bar Beras Warna Sebagai Makanan Selingan Penderita Nefropatidiabetik. Artikel Penelitian. Universitas Diponegoro. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran.
Lestari, P.I. 2013. Pengembangan dan Validasi Metode KLT Densitometri untuk Penetapan kadar Inulin dalam Ekstrak Air Umbi Bengkuang (Pachyrhizus erosus L). Skripsi. Universitas Jember. Program Studi Farmasi. Laporan Penelitian. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Program Studi Pendidikan Dokter.
Nawai, F. 2015. Tingkat Kesukaan dan Indeks Glikemik Getuk dengan Penambahan Tepung Pisang Goroho (M.P. acuminate). Skripsi. Universitas Hasanuddin. Program Studi Ilmu Gizi.
Ningrum, D.R., F.Z. Nisa., R. Pangastuti. 2011. Indeks Glikemik dan Beban Glikemik Sponge Cake Sukun Sebagai Jajanan Berbasis Karbohidrat pada Subyek Bukan Penyandang Diabetes Mellitus. Prosiding Seminar Nasional: Food Habits and Degeneratif Disease Yogyakarta : Universitas Gajah Mada: 109-119.
69
Panggabean, F. DM. 2013. Respon Pertumbuhan dan Produksi Bengkuang (Pachyrhizus erosus. (L.) Urban) terhadap Waktu Pemangkasan dan Jarak Tanam). Skripsi. Departemen Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Pangesti, D.Y., N.H.R. Parnanto., A. Ridwan. 2014. Kajian Sifat Fisikimia Tepung Bengkuang (Pachyrhizuserosus) Dimodifikasi Secara Heat Moisture Treatment (HMT) Dengan Variasi Suhu. Jurnal Teknosains Pangan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan.Vol 3 No 3.
Paramita, H.A., W.D.R. Putri. 2015. Pengaruh Penambahan Tepung Bengkuang dan Lama Pengkukusan Terhadap Karakteristik Fisika, Kimia, dan Organoleptik Flake Talas. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Universitas Brawijaya Malang. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Vol. 3 No 3 p.1071-1082
Pratiwi, U.N. 2015. Pengaruh Subsitusi Tepung Bengkuang Terhadap Kualitas Brownies Kukus. Artikel Penelitian. Program Studi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Universitas Padang.
Rakhmawati, FKR., Rimbawan dan L. Amalia. 2011. Nilai Indeks Glikemik Berbagai Produk Olahan Sukun (Artocarpus altilis).Jurnal Gizi dan Pangan Institut Pertanian Bogor: Departemen Gizi Masyarakat. 6(1):28-35.
Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rimbawan dan R. Nurbayani. 2013. Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Gembili (Dioscorea esculenta). Jurnal Gizi dan Pangan. Institut Pertanian Bogor: Departemen Gizi Masyarakat. 8(2): 145-150.
Rusilanti. 2008. Menu Sehat untuk Pengidap Diabetes Mellitus. Jakarta: Kawan Pustaka
The University of Sidney. 2015. Glycemic Index. http://www.glycemic-index.com. Diakses tanggal 9 Juli 2016
Septiyani, I. 2012. Indeks Glikemik Berbagai Produk Tiwul Berbasis Singkong (Manihot esculenta Crantz) Pada Orang Normal. Skripsi. Institut
Siagian, A. et al., 2006. Pengaruh Indeks glikemik, Komposisi, dan Cara
Pemberian Pangan pada Subyek Obes dan Normal. Riset. Universitas
Sumatera Utara. Vol 10(1): 101-112. SNI 01-3840-1995dari http://sisni.bsn.go.id
Sundari, D F. 2014.. Pengukuran Nilai Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung (xanthosoma sagittifolum). Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Syadiah, I. 2010. Pengaruh Pengolahan Beras Varietas Ciherang Menjadi Nasi, Ketupat, dan Lontong Terhadap Nilai Indeks Glikemik. skripsi. Departemen Gizi Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
Waspadji S. 2002.Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Jakarta :Balai Penerbit FKUI.
Waspadji S. et al. 2003. Indeks Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Hasil Penelitian. Jakarta :Balai Penerbit FKUI.
34 BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
eksperimen.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pembuatan tepung, roti tawar bengkuang dan pemberian pangan uji dan
pangan acuan serta pengambilan darah subyek dengan memberikan perlukaan
kecil di permukaan kulit dengan menggunakan lancet (alat penusuk) khusus untuk
dilihat kadar glukosa darahnya dengan menggunakan alat Easy Touch® GCU
dilakukan di Laboratorium Gizi FKM USU. Pengujian zat gizi dilakukan di
Laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Penelitian ini dilakukan dari bulan
Maret 2016-Juni 2016.
3.3 Subyek dan Obyek Penelitian 3.3.1 Subyek Penelitian
Pemilihan subyek pada penelitian ini dengan metode purposive sampling.
Penarikan subyek dengan metode purposive dilakukan dengan alasan kemudahan
dalam penelitian. Purposive sampling merupakan pengambilan sampel secara
sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan. Subyek adalah
laki-laki dan perempuan, berumur 18-30 tahun (Soh & Miller, 2006 dalam Septiyani,
2012), memiliki indeks massa tubuh normal antara 18,5-22,9 kg/m2(WHO Asia
dalam keadaan sehat, tidak memiliki riwayat DM, tidak sedang mengalami
gangguan pencernaan, tidak sedang menjalani pengobatan (Lee, 2009 dalam
Septiyani, 2012). Jumlah subyek yang diperlukan sebanyak 8 orang (Siagian,
2006).
Subyek dalam penelitian ini mendapatkan penjelasan rinci mengenai
penelitian, yaitu subyek diharuskan puasa ± 10 jam (kecuali air), sampel darah
finger-prick capillary blood diambil pada menit ke 0 (saat subyek masih puasa
dan sebelum diberikan pangan uji/acuan), kemudian subyek mengonsumsi pangan
uji/acuan dan sampel darah subyek diambil. Subyek juga diminta untuk
menandatangi formulir informed consent sebagai bukti bersedia menjadi subyek
penelitian.
3.3.2 Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah roti tawar dengan pemanfaatan tepung
bengkuang (Pachyrhizus erosus) 40%, sesuai dengan percobaan yang peneliti
lakukan untuk melihat tampilan roti tawar yang paling baik.
3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer
Data diri para subyek yang harus memenuhi persyaratan diperoleh dengan
36
3.4.2 Data Sekunder
Data mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat diperoleh melalui bagian
pendidikan Fakultas Kesehatan Masyarakat tempat peneliti melakukan penelitian.
3.5 Defenisi Operasional
1. Indeks glikemik adalah persentase kenaikan kadar gula darah setelah 2
jam pemberian pangan uji roti tawar bengkuang (Pachyrhizus erosus)
dibandingkan dengan kenaikan kadar gula darah setelah 2 jam
pemberian pangan acuan (roti putih).
2. Tepung bengkuang adalah tepung yang dibuat dari umbi bengkuang
yang telah dikupas, dipotong tipis-tipis, dikeringkan, digiling
kemudian diayak hingga menjadi tepung.
3. Kandungan gizi adalah kandungan karbohidrat, kadar abu, kadar air,
kadar lemak, kadar serat kasar dan kadar protein.
4. Roti tawar bengkuang adalah roti yang dibuat dari tepung bengkuang,
tepung terigu, air, telur, lemak/mentega putih, super soft, gula, garam,
susu, dan yeast/ragi roti yang difermentasi dan dipanggang.
3.6 Alat dan Bahan 3.6.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Peralatan membuat roti tawar seperti oven, timbangan, pisau,
2. Peralatan analisis proksimat seperti oven, desikator, alat destilasi,
timbangan analit, tanur listrik, labu erlenmeyer, alat ekstraksi soxhlet,
cawan porselin, Labu Kjedahl, dan pipet tetes.
3. Peralatan mengukur glukosa darah berupa Easy Touch® GCU, strip
analisis glukosa, lancet, kapas, alkohol 70%.
3.6.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Roti tawar/roti putih
Roti tawar yang digunakan sebagai pangan acuan, mengandung 50 g
karbohidrat (± 3 lembar roti tawar). Alasan menggunakan roti tawar
sebagai pangan acuan didasari atas kelaziman mengkonsumsi roti
tawar dibandingkan dengan glukosa murni. Selain itu juga karena roti
tawar lebih mencerminkan mekanisme fisiologis dan metabolik dari
pada glukosa murni (Miller et al, 1997 dalam Siagian et al., 2005).
2. Roti tawar tepung bengkuang
Roti tawar tepung bengkuang merupakan pangan uji dalam penelitian
ini. Komposisi roti tawar tepung bengkuang: telur, ragi (mauripan),
mentega putih, garam, tepung bengkuang, tepung terigu, susu bubuk,
Super soft.
3. Reagen sebagai pereaksi proksimat
38
3.7 Tahap Penelitian
3.7.1 Proses Pembuatan Roti Tawar Tepung Bengkuang a. Proses Pembuatan Tepung Bengkuang
Pembuatan tepung bengkuang berdasarkan metode yang dilakukan Dewi
(2012) bengkuang dibersihkan dari kotorannya dengan cara dikupas dan dibelah
kemudian dicuci hingga bersih. Setelah bengkuang bersih, kemudian dilakukan
pengecilan ukuran dengan menggunakan slicer dengan ketebalan ± 1 mm. Setelah
itu, diblanching selama 1 menit kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu
60oC selama 16 jam. Setelah pengeringan bengkuang dikecilkan bengkuang
dengan cara digiling dan kemudian diayak dengan menggunakan ayakan 80 mesh.
Prosedur pembuatan tepung bengkuang secara lengkap dapat dilihat pada diagram
berikut ini:
Gambar 3.1 Proses Pembuatan Tepung Bengkuang yang telah dimodifikasi (Dewi, 2012)
Dikupas kulit dan dicuci dengan air
Diiris tipis-tipis ± 1 mm
Dicuci kembali dengan air bersih
Irisan bengkuang dikeringkan dengan oven dengan suhu 120oC selama ± 6 jam dan mudah dipatahkan
Irisan bengkuang kering dihancurkan dengan menggunakan blender selama ±10 menit
Tepung bengkuang halus Umbi bengkuang
Umbi bengkuang yang sudah dipilih dengan persyaratan kulitnya berwarna
putih dan tidak kering serta dengan diameter ± 9 cm. Umbi bengkuang yang sudah
dipilih kemudian dikupas dan dicuci bersih. Setelah bengkuang benar-benar
bersih, bengkuang diiris tipis-tipis dengan ukuran ± 1 mm. Irisan bengkuang
kemudian dicuci kembali dan dioven dengan suhu 120oC selama ±6 jam atau
sampai irisan bengkuang bisa dipatahkan. Irisan bengkuang yang sudah kering
kemudian diblender selama 10 menit. Setelah itu, tepung bengkuang kasar diayak
dengan menggunakan ayakan 100 mesh dan didapatkan hasil tepung yang halus.
b. Prosedur Pembuatan Roti Tawar Tepung Bengkuang
Bahan pembuat roti tawar terdiri dari terigu, garam, yeast, gula pasir, air
dingin, mentega putih, telur dan susu skim. Roti tawar dibuat dengan cara,
pertama penimbangan bahan-bahan, pencampuran tepung terigu, yeast, gula pasir,
dan susu skim, diaduk hingga rata. Kemudian dimasukkan telur, garam dan air
sedikit demi sedikit hingga adonan kalis. Dilakukan fermentasi pertama selama 30
menit, kemudian di roll, di gulungdan diletakan dalam loyang. Dilakukan
fementasi kedua (proofing) selama 45 menit.Tahap akhir dipanggang dalam oven
selama 25 menit dengan suhu 1800C.
Adapun diagram alir pembuatan roti tawar tepung bengkuang sebagai
40
Gambar 3.2 Pembuatan Roti Tawar Tepung Bengkuang yang telah dimodifikasi (Mudjajanto, 2008 dalam Nur’aini 2011)
Pembuatan roti tawar dengan penambahan tepung bengkuang sebanyak
40% dan tepung terigu 60% dari total bahan baku yang digunakan. Roti tawar
tepung bengkuang dibuat dengan bahan tepung terigu, tepung bengkuang, ragi,
susu skim, telur, mentega putih dan super soft. Pertama-tama dilakukan
penimbangan bahan-bahan, pencampuran tepung terigu, tepung bengkuang, ragi
(mauripan), gula pasir, susu skim, telurdan super soft diaduk hingga rata.
Kemudian dimasukkan air sedikit demi sedikit lalu aduk dan masukkan garam
serta mentega putih adonan hingga kalis. Kemudian adonan di roll, digulung dan
diletakkan di loyang. Dilakukan fermentasi selama 2 jam didalam steam dengan
suhu 35oC. Lalu masukkan ke oven dengan suhu 220oC selama 25 menit. Penimbangan
Pengulenan adonan hingga kalis ( 5-10 menit) Air dingin,
mentega,garam
Fermentasi didalam stim selama 2 jam dengan suhu 35o C
Pengovenan (220oC selama 25 menit) Pengempisan/Penggilasan
Adonan
3.7.2 Analisis Kandungan Gizi Roti Tawar Tepung Bengkuang
Analisis zat gizi yang dilakukan berupa analisa kadar air, abu, protein dan
lemak serta analisa kadar karbohidrat. Analisa proksimat ini dilakukan untuk
mengetahui berat roti tawar tepung bengkuang yang harus disajikan setara dengan
kendungan 50 gram karbohidrat.
a. Uji Protein, Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)
Sejumlah kecil sampel (1-2 gram) ditimbang dan dimasukkan dalam labu
Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2 ml H2SO4.
Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel
didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian
didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5-6
kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu distilasi dan ditambahkan
8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3.
Dibawah kondensator diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan
H3BO3 dan 2 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metal 0.2% dalam alkohol
dan 1 bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) diletakkan dibawah kondensor.
Ujung tabung kondensor harus terendam dibawah larutan H3BO3. Isi erlenmeyer
diencerkan sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCL 0.02 N sampai
terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan dengan cara
yang sama. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan menggunakan rumus:
Kadar N (%)
42
b. Uji Lemak, Metode Sooxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu
100-110o C, didinginkan, dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung
ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke
dalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi pelarut (dietil eter atau heksana).
Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu
lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak berisi lemak hasil eksraksi dipanaskan
dalam oven pada suhu 100oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam
desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak dilakukan
denganmenggunakan rumus :
Kadar Lemak (%)
c. Uji Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995)
Pertama-tama, cawan porselin kosong dikeringkan dalam oven dengan
suhu 100°C selama 15 menit. Cawan porselin tersebut lalu diangkat dan
didinginkan dalam desikator selama 5 menitatau sampai cawan tidak terasa panas.
Cawan porselin yang telah dinginkemudian ditimbang dan dicatat beratnya.
Setelah itu, sampel sebanyak 5g dimasukkan ke dalam cawan porselin dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 100°C selama 15 menit. Cawan porselin
tersebut lalu diangkat, didinginkan didalam desikator, dan ditimbang berat
akhirnya. Kadar air dapatdihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Kadar Air (%)
d. Uji Kadar Abu, Metode Oven (AOAC, 1995)
Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 105-110oC, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang
dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas
nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan
di dalam tanur listrik pada suh 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk
abu berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator dan
selanjutnya ditimbang. Perhitungan kadar abu menggunakan rumus:
Kadar abu (%)
e. Uji Karbohidrat (AOAC, 1995)
Uji karbohidrat dilakukan dengan metode Luff Schoroll yaitu timbang
sampel sebanyak 3 gram dalam Erlenmeyer. Kemudian tambahkan HCL 3%
sebanyak 200 ml. Hubungkan dengan kondensator selama 3 jam. Netralkan
dengan NAOH 4 N. Kemudian ditambahkan 1 ml asam asetat, encerkan dalam
labu ukur 250 ml larutan luff dan 15 ml air didihkan selama tepat 10 menit.
Setelah itu tambahkan 10 ml larutan KI 30% dan 25 ml larutan H2SO4 4 N.
Gunakan larutan kanji sebagai indikator. Untuk larutan blanko gunakan 25 ml
larutan luff dan10 ml air destilasi.
Perhitungan:
1. Untuk mengetahui ml larutan tio menjadi 0,1 N ={(b-a)×Ntio)/}=z ml
2. z ml larutan tio 0,1 N = y glukosa
44
Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran kadar amilosa
menggunakan metode Spektometri dimana prosedur pengerjaannya yaitu 25 g
sampel yang sudah diketahui kadar airnya kemudian dikeringkan dengan oven.
Ukur kembali kadar airnya dan haluskan sampel, kemudian diayak dengan ayakan
80 mesh. Timbang 0,1 g bahan dan masukkan dalam tabung reaksi. Tambahkan 1
ml larutan etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Kemudian panaskan dalam air
mendidih selama 10 menit. Pindahkan 5ml bahan dalam labu ukur 100 ml.
Tambahkan 1 ml CH3COOH 1 N dan 2 ml larutan iod. Encerkan sampai tanda
tera, diamkan selama 20 menit. Ukur pada 615 nm.
%Amilosa ={(x. faktor pengenceran)/(berat sampel (mg)}× 100% f. Uji Serat Kasar (Metode Gravimetri)
Timbang 2 gram sampel kemudian masukkan dala erlenmeyer 500 ml,
tambahkan 50 ml H2SO4 1,25% panaskan dan reflux selama 30 menit. Sampel yan
telah dipanaskan disaring panas-panas dengan menggunakan kertas saring
Whatman 42 yang telah diketahui bobotnya. Setelah disaring, lalu sampel dicuci
dengan 50 ml H2SO4 125% dan50 ml alkohol 30%, kemudian endapkan
dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC dan ditimbang sampai bobot konstan.
% Serat Kasar = {(a-b)/}× 100% Keterangan:
a = berat kertas saring ditambah sampel yang telah dikeringkan (g) b = berat kertas saring (g)
3.7.3 Pengukuran Indeks Glikemik Roti Tawar Tepung Bengkuang
Pengukuran nilai indeks glikemik dilakukan dengan membandingkan luas
area dibawah kurva respon glukosa darah terhadap pangan uji dibandingkan
dengan luas area dibawah kurva respon glukosa darah terhadap pangan acuan.
Pengukuran glukosa darah dilakukan dengan menggunakan alat Glukometer Easy
Touch. Sampel darah diperoleh dari permukaan kulit setelah sedikit perlukaan
kecil dengan menggunakan lancet (alat penusuk) khusus, kemudian darah pada
pembuluh kapiler subyek disentuhkan pada celah sensor di ujung strip uji yang
telah terpasang pada detektor digital (glukometer) sedemikian sehingga kadar
glukosa darah sampel terbaca.
Metode pemeriksaan glukosa oleh glukometer yaitu chronoampherometric
(electrochemical method) dimana apabila darah dimasukkan pada celah sensor
diujung strip uji yang telah terpasang pada detektor digital, kadar glukosa darah
dapat terbaca. Hal ini terjadi karena celah sensor pada strip uji glukosa berisi
reagent berupa enzim glukose oksidase. Enzim tersebut akan direoksidasi oleh ion
ferrisianida menghasilkan ion ferrosianida. Ferrosianida yang dihasilkan akan
terdeteksi secara elektrokimia. Muatan listrik yang terbentuk sebanding dengan
konsentrasi glukosa dalam sampel (Barkit et al., 2003 dalam Hasan 2011).
Prosedur pengukuran indeks glikemik mengacu pada Miller, et al., 1996
dalam Rimbawan dan Siagian, 2004:
a. Malam sebelum penelitian,8 orang subyek berpuasa selama ± 10 jam (kecuali
air putih) mulai pukul 22.00-08.00 WIB dan pagi harinya sebelum jam 08.00
46
b. Subyek yang masih dalam keadaan masih berpuasa kemudian diambil darah
kapiler subyek untuk mengukur glukosa darah puasa.
c. Subyek diberi pangan acuan yaitu roti tawar yang mengandung 50 gr
karbohidrat.
d. Sampel darah subyek diambil setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan 30
menit pada jam ke-2 (menit 15, 30, 45, 60, 90, dan ke 120)dan diukur kadar
glukosa darahnya menggunakan glukometer. Selama penelitian subyek
diminta untuk tidak melakukan kegiatan aktifitas berat dan merokok.
e. Satu minggu kemudian dilakukan pengujian pangan uji berupa roti tawar
tepung bengkuang dengan prosedur yang sama seperti uji pangan acuan.
f. Data kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) diplot pada
dua sumbu, waktu dalam menit (x) dan kadar glukosa darah (y).
g. Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di
bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan
acuan.
3.8 Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.8.1 Metode Pengolahan Data
Data hasil respon glukosa darah subyek pada setiap waktu pengambilan
dirata-ratakan kemudian ditebarkan dalam sumbu x (waktu) dan sumbu y (kadar
glukosa darah) menggunakan kertas grafik. Dengan demikian akan diperoleh
diberikan untuk masing-masing subyek. Indeks glikemik ditentukan dengan
rumus sebagai berikut:
Luas daerah di bawah kurva respons glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji yaitu roti tawar tepung bengkuang
Indeks Glikemik × 100% Luas daerah di bawah kurva respons glukosa darah
tubuh settelah 2 jam terhadap pangan acuan yaitu roti tawar
Luas area di bawah kurva dapat dihitung dengan beberapa cara seperti :
integral dari persamaan polinom dan menghitung luas bangun. Perhitungan luas
daerah di bawah kurva dapat disesuaikan dengan data respons glukosa darah
subyek. Apabila kurva respons glukosa darah subyek cenderung naik turun,
dikhawatirkan bila menggunakan luas berdasarkan integral polinom maka
persamaan polinom yang dihasilkan kurva tidak signifikan. Sehingga, perhitugan
luas daerah kurva sebaiknya dihitung secara manual dengan cara menarik garis
horizontal dan membuat garis vertikal berdasarkan waktu pengambilan darah
sehingga kurva membentuk luas bangun. Luas area dibawah kurva diperoleh
dengan cara menjumlahkan masing-masing luas bangun.
3.8.2 Metode Analisa Data
Data yang dikumpulkan, disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara
48 BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Subyek
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Siagian (2006), subyek dalam
penelitiannya tersebut berjumlah 8 orang. Subjek adalah laki-laki dan perempuan,
berumur 18-30 tahun (Soh & Miller, 2006 dalam Septiyani, 2012), memiliki
indeks massa tubuh normal antara 18,5-22,9 kg/m2 (WHO Asia Pasifik, 2000
dalam Septiyani, 2012), mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat dalam
keadaan sehat, tidak memiliki riwayat DM, tidak sedang mengalami gangguan
pencernaan, tidak sedang menjalani pengobatan (Lee, 2009 dalam Septiyani,
2012). Karakteristik subyek dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Berdasarkan data karakteristik subyek diatas,jumlah subyek yang berjenis
kelamin laki-laki berjumlah 2 orang dan perempuan berjumlah 6 orang. Umur
rata-rata subyek adalah 22 tahun dan semua subyek memiliki status gizi baik
4.2 Karakteristik Tepung Bengkuang yang Dihasilkan
Tepung bengkuang yang dihasilkan dari pengeringan ubi dengan
menggunakan oven dan pembuatan tepung dengan menggunakan blender masih
kasar, untuk mendapatkan tepung bengkuang yang lebih halus dilakukan
pengayakan menggunakan ayakan tepung. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan peneliti, dalam 1 kg bengkuang menghasilkan bengkuang kupas sebesar
800 gram. Dalam 800 gram bengkuang kupas menghasilkan 125 gram bengkuang
kering yang telah diiris-iris membentuk chips dan dari 125 gram bengkuang
menghasilkan 98 gram tepung bengkuang. Tepung bengkuang yang dihasilkan
berwarna putih kekuningan, memiliki rasa yang manis dan tekstur tepung yang
halus namun tidak sehalus tepung terigu (sedikit terlihat seratnya).
Gambar 4.1 Tepung Bengkuang
4.3 Karakteristik Roti Tawar Bengkuang
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu telah banyak dibuktikan
penggunaan tepung non-terigu sebagai bahan substitusi dalam pembuatan roti
tawar dapat dilakukan dengan berbagai tingkat konsentrasi dan dapat diterima
50
bengkuang yang diperoleh dari umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus) dengan
kandungan sebesar 40% dan tepung terigu sebesar 60%.
Gambar 4.2 Roti Tawar Bengkuang
Roti tawar bengkuang yang dihasilkan dalam penelitian ini berwarna
coklat. Aroma roti tawar bengkuang yang dihasilkan sangat khas seperti roti tawar
biasa namun, tekstur roti tawarnya sedikit lembab dan lebih berat.
4.4 Analisis Kandungan Zat Gizi pada Roti Tawar Bengkuang
Hasil analisis kandungan kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar
dan karbohidrat roti tawar bengkuang dengan penggunaan 40% tepung bengkuang
dan 60% tepung terigu yang dianalisis di Pusat Penelitian Kelapa Sawit dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
4.5 Pengukuran Indeks Glikemik Roti Tawar Bengkuang
Penelitian ini telah memperoleh izin dari Komisi Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Keperawatan USU pada tanggal 7 Juni 2016 dengan nomor
901/VI/SP/2016. Penentuan indeks glikemik dilakukan menggunakan subyek
manusia. Hal ini dikarenakan metabolisme tubuh manusia sangat rumit sehingga
sulit ditiru secara in vitro (Ragnhild et al 2004 dalam Sundari 2014).
4.6.1 Penentuan Jumlah Porsi Pangan Uji
Masing-masing pangan uji yang diberikan setara dengan 50gr kandungan
karbohidrat tersedia (available carbohydrate). Jumlah pangan uji yang harus
dikonsumsi oleh subyek disajikan pada tabel berikut.
Tabel. 4.3 Jumlah Pangan Uji Setara dengan 50gram Karbohidrat Pangan Uji Karbohidrat
Karbohidrat tersedia (available carbohydrate) dihitung menggunakan
pendekatan kandungan karbohidrat (%) dikurangi kandungan serat pangan (%)
(Izzati, 2015). Perhitungan untuk menentukan jumlah porsi roti tawar/putih dan
roti tawar bengkuang yang diberikan kepada subyek yang setara dengan 50 gram
karbohidrat dihitung dengan sebagai berikut.
Jumlah porsi
52
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah porsi roti tawar yang
mengandung 50 gram karbohidrat yaitu 102,77 gram, jumlah porsi roti tawar
bengkuang yang mengandung 50 gram karbohidrat masing-masing 77,82 gram.
4.6.2 Pengukuran Indeks Glikemik
Berdasarkan hasil pengukuran glukosa darah yang dilakukan dengan
menggunakan alat Easy Touch® GCU diperoleh respons glukosa darah responden
terhadap pemberian pangan acuan (roti tawar) dan pangan uji roti tawar
bengkuang.
Data hasil pengukuran glukosa darah suyek terhadap pangan acuan dan
pangan uji ditebarkan dalam sumbu X (waktu) dan sumbu Y (kadar glukosa
darah) menggunakan Software Microsoft Excell 2007. Dengan demikian, akan
diperoleh sebuah kurva yang menunjukkan respons glukosa subyek, rata-rata
respons glikemik subyek penelitian dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Waktu Pengambilan Darah (menit)
Berdasarkan kurva di atas dapat dilihat pemberian roti tawar menaikkan
kadar glukosa darah dari 71 mg/dL pada t.0’ menjadi 111 mg/dL pada t.45’ berarti
mengalami kenaikan sebesar 40 mg/dL atau 56,3%. Nilai ini merupakan puncak
kenaikan karena pada menit selanjutnya adar glukosa darah menurun. Sedangkan
hasil respons glukosa darah responden terhadap pemberian pangan uji (roti tawar
bengkuang) menaikkan kadar glukosa darah dari 70,3 mg/dL pada t.0’ menjadi
97,1 mg/dL pada t.45’ berarti mengalami kenaikan sebesar 26,8 mg/dL atau
38,12%. Nilai ini merupakan puncak kenaikan karena pada menit selanjutnya
kadar glukosa darah menurun.
Berdasarkan kurva respons glukosa darah yang dibuat dengan bantuan
Microsoft Excell dapat digunakan untuk menghitung luas area bawah kurva (Area
Under Cerve, AUC). Luas daerah di bawah kurva dapat dihitung secara manual
dengan cara menarik garis horizontal dan membuat garis vertikal berdasarkan
waktu pengambilan darah sehingga kurva membentuk luas persegi panjang.
Interval diperoleh dengan cara menjumlahkan masing-masing luas area.
Indeks glikemik dihitung dengan membandingkan interval kurva pangan
uji dengan interval kurva pangan acuan. Nilai indeks glikemik pangan uji
diperoleh dari hasil rata-rata nilai indeks glikemik individu 8 orang subyek
penelitian. Pengukuran nilai indeks glikemik pangan uji ini menggunakan metode
kertas milimeter blok. Pengukuran dengan menggunakan metode ini dilakukan
secara manual yaitu dengan menggambarkan kurva respons glukosa darah subyek
54
blok, ditarik garis vertikal dan horizontal pada kurva sehingga membentuk
bangunan persegi panjang. Persegi panjang yang terbentuk memiliki sisi yang
diambil dari luar kurva dan memiliki sisi yang dibuang dari dalam kurva. Sisi
persegi panjang yang diambil dari luar kurva harus sama besar dengan sisi persegi
panjang yang dibuang dari dalam kurva. Interval roti tawar dibagi menjadi
beberapa subinterval yaitu 12 subinterval. Masing-masing subinterval ini
dijadikan alas persegi panjang P1, P2, P3, P4, P5, P6, P7, P8, P9, P10, P11 dan P12.
Perhitungan luas area di bawah kurva roti tawar dapat dilihat pada gambar berikut
ini:
Gambar 4.4 Kurva Perhitungan Luas Area di Bawah Kurva Roti Tawar Berdasarkan kurva perhitungan luas area persegi pada roti tawar diatas,
diperoleh hasil perhitungan untuk 11 bangunan persegi panjang adalah sebagai
Tabel. 4.6 Perhitungan Luas Area Persegi Panjang pada Roti Tawar
subinterval yaitu sebesar 3237. Perhitungan interval roti tawar ini dilakukan
dengan cara melakukan perkalian luas area persegi panjang yaitu panjang x lebar
(P x L). Luas area total persegi panjang pada roti tawar (pangan acuan) dijadikan
angka yang dibagi dalam rumus perhitungan indeks glikemik.
Sedangkan interval roti tawar bengkuang dibagi menjadi 9 subinterval.
Masing-masing subinterval ini dijadikan alas persegi panjang P1, P2, P3, P4, P5, P6,
P7, P8, P9, P10P1, P2, P3, P4, P5, P6, P7, P8, dan P9. Perhitungan luas area di bawah
56
Gambar 4.5 Kurva Perhitungan Luas Area di Bawah Kurva Roti Tawar Bengkuang
Berdasarkan kurva perhitungan perhitungan luas area di bawah kurva pada
roti tawar bengkuang diatas, diperoleh hasil perhitungan untuk 9 persegi panjang
adalah sebagai berikut:
Tabel. 4.7 Perhitungan Luas Area Persegi Panjang pada Roti Tawar Bengkuang
Area Sisi Luas Area
P L
P1 13 10 130
P2 22 5 110
P3 25 20 500
P4 26 18 468
P5 19 6 114
P6 15 13 195
P7 12 9 108
P8 29 6 174
P9 5 4 20
Luas Area Total 1819
Berdasarkan perhitungan luas area di bawah kurva pada roti tawar
bengkuang pada tabel diatas, diperoleh hasil perhitungan luas area roti tawar
area di bawah kurva pada roti tawar bengkuang ini dilakukan dengan cara
melakukan perkalian luas area persegi panjang yaitu panjang x lebar (P x L).
Indeks glikemik dihitung dengan membandingkan luas area di bawah
kurva roti tawar bengkuang dengan luas area di bawah kurva roti tawar. Nilai
indeks glikemik pangan uji dihitung berdasarkan rumus:
Indeks glikemik
Berdasarkan hasil perhitungan dengan membandingkan antara luas area
pangan uji berupa roti tawar bengkuang dengan pangan acuan berupa roti tawar
yang menggunakan rumus tersebut, diperoleh hasil nilai indeks glikemik roti
tawar bengkuang yaitu sebesar 56%. Pada penelitian ini, pangan acuan roti tawar
digunakan sebagai pembanding luas area respons glukosa darah dalam rumus
penentuan indeks glikemik pangan uji. Dari hasil perhitungan nilai indeks
glikemik, pangan uji roti tawar bengkuang dikategorikan sebagai jenis nilai indeks
glikemik sedang (55-70). Nilai indeks glikemik tersebut menunjukkan bahwa roti
tawar bengkuang lebih lambat menaikkan kadar glukosa darah dibandingkan
58 BAB V PEMBAHASAN
5.1 Kandungan Zat Gizi pada Roti Tawar Bengkuang dengan 40% Tepung Bengkuang
Berdasarkan hasil analisis zat gizi pada roti tawar bengkuang dengan
penambahan 40% tepung bengkuang dan 60% tepung terigu dalam setiap 100
gram roti tawar bengkuang mengandung 33,37% air, 2,34% abu, 11,98% protein,
11,60% lemak, 67,67% karbohidrat dan 3,42% serat kasar.
Karbohidrat merupakan sumber kalori. Jumlah kalori yang dihasilkan dari
1 gram karbohidrat yaitu 4 kkal. Berdasarkan hasil analisis, kadar karbohidrat
pada roti tawar bengkuang dengan penambahan 40% tepung bengkuang yaitu
67,67%. Sumbangan energi dari karbohidrat pada roti tawar bengkuang yaitu
sebesar 270,68 kkal. Kadar karbohidrat yang terdapat pada roti tawar bengkuang
lebih tinggi dibandingkan dengan roti tawar yang mengandung karbohidrat hanya
50% (Gaman dan Sherington, 1992 dalam Gulo, 2008).
Karbohidrat yang mempunyai fungsi sebagai sumber energi, roti tawar
bengkuang juga baik dikonsumsi karena kandungan karbohidratnya yang lebih
tinggi dari kandungan karbohidrat roti tawar biasa. Karbohidrat menghasilkan
energi yang digunakan untuk aktifitas fisik, metabolisme basal seperti energi
untuk pernapasan, peredaran darah, pekerjaan ginjal, pankreas dan sel-sel lain,
serta untuk mempertahankan suhu tubuh.
Protein berperan sebagai zat pembangun. Dalam 1 gram protein
tawar bengkuang adalah 11,98%. Berdasarkan nilai tersebut, protein memberikan
sumbangan energi sebesar 47,92 kkal. Kadar protein yang terdapat pada roti tawar
bengkuang lebih tinggi dibandingkan dengan roti tawar yang mengandung protein
sebesar 8% (Gaman dan Sherington, 1992 dalam Gulo, 2008). Roti tawar
bengkuang baik dikonsumsi karena mengandung protein tinggi yang fungsi
protein yaitu untuk pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur
keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi,
mengangkut zat-zat gizi dan juga sebagai sumber energi.
Lemak memberikan nilai energi lebih besar daripada karbohidrat dan
protein, yaitu 9 kkal per gram. Lemak pada produk diukur dengan menggunakan
metode ekstraksi Soxhlet. Semakin tinggi kadar lemak pada pangan maka rasanya
semakin gurih dan enak. Berdasarkan hasil analisis, kadar lemak pada roti tawar
bengkuang dengan penambahan 40% tepung bengkuang yaitu 11,60% lebih tinggi
dibandingkan dengan roti tawar yaitu 1,5% (Gaman dan Sherington, 1992 dalam
Gulo, 2008). Hal ini disebabkan karena tepung bengkuang mengandung lemak
yang tinggi sebesar 7,31% (Paramita, 2015). Lemak pada roti tawar bengkuang
memberikan sumbangan energi sebesar 104,4 kkal. Secara keseluruhan, roti tawar
bengkuang mengandung energi sebesar 423 kkal.
Kandungan energi yang tinggi pada roti tawar bengkuang menyebabkan
penderita diabetes tidak dapat mengkonsumsi roti tawar lebih dari 2 lembar per
hari. Namun, harus diperhatikan juga kebutuhan energi perhari bagi setiap
60
mengenyangkan bagi yang mengkonsumsinya, sehingga lebih dapat menahan rasa
lapar.
Kadar air pada roti tawar bengkuang dengan kandungan tepung bengkuang
sebesar 40% yaitu 33,37%. Kadar air pada roti tawar bengkuang masih memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Standart Nasional Indonesia (SNI) yaitu kurang
dari 40%.
Kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah
bahan dibakar sampai bebas karbon. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan
organik terbakar namun zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu.
Berdasarkan hasil analisis, kadar abu pada roti tawar bengkuang dengan
penambahan 40% tepung bengkuang yaitu sebesar 2,34%, lebih tinggi
dibandingkan syarat maksimal yang ditetapkan oleh SNI untuk roti tawar
bengkuang yaitu 1%. Tingginya kadar abu pada suatu produk pangan
mengidentifikasikan banyaknya zat anorganik atau mineral dalam bahan pangan
tersebut. Kandungan dan komposisi abu atau mineral pada bahan pangan
tergantung dari jenis bahan dan cara pengabuannya (Sudarmadji, 2003 dalam
Karimah, 2011)
Serat pada roti tawar bengkuang dengan penambahan tepung bengkuang
sebesar 40% yaitu 3,42%, lebih tinggi dibandingkan dengan roti tawar yang
beredar di pasaran yaitu sekitar 1%. Serat sangat baik untuk kesehatan yaitu
untuk mencegah sembelit, mencegah kanker, mencegah sakit pada usus besar,
membantu menurunkan kadar kolesterol, membantu mengontrol kadar gula dalam
membantu menurunkan berat badan sehingga roti tawar bengkuang ini baik
dikonsumsi oleh orang yang tidak menderita diabetes.
5.2 Indeks Glikemik
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menjumlahkan masing-masing luas
bangun, diperoleh nilai indeks glikemik roti tawar bengkuang yaitu sebesar 56%.
Menurut Miller et al. (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004), berdasarkan
pengaruh glikemiknya, pangan dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu kategori
pangan IG rendah (IG<55), IG sedang (IG = 55-70), dan IG tinggi (IG>70).
Berdasarkan pengkategorian tersebut dapat diketahui bahwa roti tawar bengkuang
yang diteliti termasuk ke dalam kelompok pangan yang memiliki indeks glikemik
sedang (55-70). Indeks glikemik roti tawar bengkuang lebih rendah dibandingkan
roti tawar biasa.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pangan
diantaranya adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel),
perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik,
kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti gizi pangan (Rimbawan dan
Siagian 2004).
Cara pengolahan mempengaruhi nilai indeks glikemik suatu bahan. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Septiyani (2012), dimana
pengolahan tiwul konvensional memiliki tingkat gelatinisasi tiwul konvensional
tergolong tinggi yaitu 92,48% dan memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi
62
selama pemasakan, air, dan panas dapat memperbesar ukuran granula pati.Ukuran
partikel mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Penumbukan dan penggilingan
biji-bijian memperkecil ukuran partikel sehingga lebih mudah menyerap air.
Semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar luas permukaan total pangan.
Selama pemasakan, air panas dapat memperbesar ukuran granula pati. Beberapa
granula terpisah dari molekul pati dan bila sebagian besar granula pati telah
mengembangmaka akan tergelatinisasi penuh. Granula yang mengembang dan
molekul pati bebas ini sangat mudah dicerna karena enzim pencernaan pati
didalam usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan
enzim. Reaksi cepat dari enzim ini menghasilkan peningkatan kadar gula darah
yang cepat (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Indeks glikemik pangan juga dipengaruhi oleh komposisi zat gizi seperti
kadar serat kasar, kadar lemak, dan protein. Kadar serat terutama kadar serat
pangan larut mempengaruhi nilai IG. Menurut Chandalia et al(2000) dalam
Sundari (2014), peningkatan konsumsi serat pangan, terutama serat pangan larut
dapat menurunkan kolesterol plasma, dan meningkatkan kontrol glikemik.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Margareth (2006)
dalam Sundari (2014), kue bawang yang memiliki serat larut (4,68%) lebih tinggi
dari pada serat pangan larut yang terdapat pada biji ketapang (2,76%) memiliki
nilai indeks glikemik rebih rendah.
Hasil analisis kadar serat kasar pada roti tawar bengkuang yaitu 3,42%.
Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam
dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian, proses pencernaan
menjadi lambat, sehingga respons glukosa darah lebih rendah (Rimbawan dan
Siagian, 2004).
Proses pencernaan kompleks antara karbohidrat dan protein atau lemak
lebih lambat dibandingkan dengan karbohidrat saja (Waspadji dan Sukardji,
2003). Menurut Rimbawan & Siagian (2004) pangan berkadar lemak dan protein
tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian
laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat dan respons glikemik
menjadi lebih rendah. Hasil analisis kadar protein roti tawar bengkuang
menunjukkan bahwa roti tawar bengkuang memiliki kadar protein 11,98%. Kadar
protein pada roti tawar bengkuang tergolong tinggi dibandingkan dengan roti
tawar yaitu 8%.
Menurut Fernandes et al (2005) dalam Septiyani (2012), kadar protein
tidak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap indeks glikemik walaupun
mempunyai potensi untuk menurun nilai indeks glikemik pangan. Hal ini sejalan
penelitian yang dilakukan oleh Septiyani (2012), tiwul instan tinggi protein
dengan kadar protein 23,45% memiliki nilai indeks glikemik yang masih
tergolong tinggi yaitu 71,92.
Hasil analisis kadar lemak pada roti tawar bengkuang yaitu 11,60%. Kadar
lemak pada roti tawar bengkuang lebih rendah dibandingkan dengan kadar lemak
pada roti tawar yaitu 1,5%. Lemak berperan dalam laju pengosongan lambung.
Hasil penelitian Wolever dan Bolognesi (1996) dalam Septiyani (2012),
64
respons glukosa darah dan respons insulin. Namun, pangan berlemak tinggi
apapun jenisnya dan walaupun memiliki nilai IG rendah perlu dikonsumsi secara
bijaksana.
Pada penelitian ini, jika pangan uji berupa roti tawar bengkuang
dibandingkan dengan roti tawar biasa dalam takaran saji 100 gram, roti tawar
bengkuang memiliki nilai indeks glikemik lebih rendah dibandingkan dengan roti
tawar. Roti tawar bengkuang memiliki nilai indeks glikemik sebesar 56 sedangkan
menurut data penelitian dari The University Of Sydney nilai indeks glikemik
yang dimiliki oleh roti tawar yaitu sebesar 71.
Makanan yang memiliki nilai IG tinggi menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah dengan cepat. Mengkonsumsi pangan yang memiliki nilai IG tinggi
dapat meningkatkan rasa lapar (Siagian, 2006). Roti tawar bengkuang boleh
dikonsumsi oleh masyarakat atau orang yang tidak menderita obesitas sebagai
pencegahan dari penyakit degeneratif. Selain itu, penderita diabetes melitus juga
dapat mengkonsumsi roti tawar bengkuang karena dapat memperlambat kenaikan
kadar glukosa darah. Namun, porsi makanan roti tawar bengkuang tersebut harus
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil analisis zat gizi pada roti tawar bengkuang dengan
penambahan 40% tepung bengkuang dan 60% tepung terigu dalam setiap
100 gram roti tawar bengkuang mengandung 33,37% air, 2,34% abu,
11,98% protein, 11,60% lemak, 67,67% karbohidrat dan 3,42% serat
kasar. Kandungan energi roti tawar bengkuang yaitu sebesar 423 kkal.
2. Hasil pengukuran indeks glikemik roti tawar bengkuang dengan
menggunakan pangan acuan berupa roti tawar menunjukkan bahwa roti
tawar bengkuang memiliki nilai indeks glikemik 56% dan angka ini
termasuk dalam kategori pangan yang memiliki nilai indeks glikemik
sedang (55-70).
6.2 Saran
1. Roti tawar bengkuang yang memiliki kategori nilai indeks glikemik
sedang (55-70) dapat dikonsumsi oleh orang sehat maupun penderita
diabetes mellitus namun dengan porsi yang cukup atau tidak berlebihan
maksimal 2 lembar sesuai dengan kebutuhan energi perhari.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengukuran nilai indeks
glikemik pangan olahan lain berbahan umbi bengkuang (Pachyrhizus
erosus) sehingga dapat menambah daftar pangan yang memiliki nilai
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bengkuang
Bengkuang (Pachyrhizus erosus) dikenal dari umbi (cormus) putihnya
yang bisa dimakan sebagai komponen rujak dan asinan atau dijadikan masker
untuk menyegarkan wajah dan memutihkan kulit. Tumbuhan yang berasal dari
Amerika tropis ini termasuk dalam suku polong-polongan atau Fabaceae. Di
tempat asalnya, tumbuhan ini dikenal sebagai xicama atau jícama. Orang Jawa
menyebutnya sebagai besusu.
Menurut Van Steenis (2005) dalam Hilman (2012), klasifikasi tanaman
bengkuang adalah :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae Genus : Pachyrhizus
Spesies : Pachyrhizus erosusL. Urban
Tanaman ini memiliki panjang 2 – 6 m, bentuk daun majemuk, dengan 3
selebaran per daun, banyak bunga dansekali berbunga memiliki panjang hingga 55
cm. Bunga dari jenis polong-polongan ini memiliki kelopak biru atau putih buah
legum, dengan panjang 6 – 13 cm dan lebar 8 – 17 mm serta berbulu ketika muda.
Bentuk benih pipih, bulat atau persegi, berwarna cokelat, hijau atau kemerahan.
Ukuran umbi bervariasi sesuai dengan kondisi pertumbuhan (Chooi, 2008 dalam
Hilman, 2012).
Walaupun umbinya dapat dimakan, namun bagian bengkuang yang lain
seperti biji sangat beracun karena mengandung rotenon, sejenis tuba. Racun ini
sering dipakai untuk membunuh serangga atau menangkap ikan. Biji bengkuang
yang telah masak kaya akan lipid yaitu lebih kurang 30%, namun tidak dapat
dimakan karena mengandung isoflavonoid yang tinggi yaitu rotenon, isoflavanon
dan furano-3-fenil kumarin yang sangat beracun bagi manusia (Hilman, 2012).
Apabila senyawa-senyawa beracun tersebut dikeluarkan maka minyak biji
bengkuang sebanding dengan kacang tanah yang memiliki komposisi asam
palmitat 26,7%, asam stearat 5,7%, asam oleat 33,4% dan asam linoleat 34,2%.
Umbi bengkuang tidak tahan terhadap suhu rendah, sehingga mudah
mengalami kerusakan. Karena itulah, umbi sebaiknya disimpan pada tempat
kering bersuhu maksimal 16oC. Umbi bengkuang dapat bertahan sekitar dua bulan
11
2.2 Kandungan Gizi dan Manfaat Bengkuang
Bagian umbi merupakan bagian yang dikonsumsi dari tanaman bengkuang
yang mengandung gula, pati dan oligosakarida yang dikenal dengan nama inulin.
Inulin berfungsi sebagai prebiotik karena sebagai komponen serat pangan larut
yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi difermentasi oleh
mikroflora kolon (usus besar) sehingga inulin dapat memperlancar proses
pencernaan (Rimbawan, 2013). Inulin bukan hanya serat pangan prebiotik, tapi
juga karbohidrat rendah kalori, yaitu 1,5 kkal/gram. Inulin melewati mulut,
lambung, dan usus halus tanpa dimetabolisme, sehingga cocok dikonsumsi
penderita diabetes (Roberfroid MB, 2005 ; Niness, KR, 1999 dalam Handayani,
2014).
Serat dan inulin dapat memperbaiki kadar glukosa darah karena
sama-sama berperan sebagai prebiotik dimana tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh
akan tetapi dapat difermentasi oleh usus besar, sehingga waktu transit makanan
lebih pendek dan membuat rasa kenyang yang dirasakan lebih lama dan juga serat
dan inulin dapat mengikat karbohidrat, sehingga tubuh lambat menghasilkan
glukosa darah. Atau bisa juga karena stimulasi hormon inkretin. Hormon inkretin
adalah suatu zat yang punya aktivitas humoral yang dihasilkan di usus atas
pengaruh makanan salah satu jenis inkretin adalah glucagon-like peptida-1
(1), yang disekresi oleh sel L endokrin di mukosa sekum dan kolon. Hormon
GLP-1 berperan penting dalam stimulasi sel βpankreas untuk menghasilkan insulin dan
glukosa darah. Asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) juga
berperan dalam peningkatan kadar GLP-1. Komponen SCFA dapat disintesis dari
fermentasi komponen karbohidrat tanaman yang tidak dapat dicerna, salah
satunya adalah serat dan inulin yang berperan sebagai prebiotik yang terdapat
pada umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus) (Anonim, 2011).
Menurut Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1992) komposisi
bengkuang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bengkuang dalam 100 g Bahan
Komposisi Jumlah
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1992)
Komposisi kimia yang seperti itu memungkinkan umbi bengkuang
digunakan sebagai obat, baik obat luar maupun obat dalam. Untuk obat luar,
bengkuang dijadikan masker wajah yang memberikan kesegaran pada kulit wajah.
Untuk obat dalam, bengkuang dapat menngatasi penyakit diabetes mellitus,
demam, eksim, sariawan dan wasir.
Bengkuang baik dikonsumsi oleh penderita hiperglikemia. Dengan
kandungan air yang sangat besar, mengkonsumsi bengkuang akan memberi
perasaan kenyang, tapi tidak memberikan sumbangan kalori dimana kandungan
13
glikemik. Kandungan air dalam bengkuang sangat baik untuk mempercepat proses
pencernaan makanan. Pencernaan yang lancar akan mengurangi penyerapan gula
yang harus dihindari oleh penderita hiperglikemia (Hilman, 2012).
Kandungan vitamin C yang cukup tinggi, memungkinkan bengkuang
digunakan sebagai sumber antioksidan yang potensial untuk menangkal atau
menetralisir serangan radikal bebas yang cenderung meningkat dalam tubuh
akibat hiperglikemia (stres oksidatif) sehingga dapat menghambat terjadinya
peroksidasi lipid, mencegah penurunan kadar asam askorbat dalam testis dan
mencegah penurunan kualitas spermatozoa (Hafiz, 2006 dalam Fithroh dan
Sukarjati, 2013).
Umbi bengkuang mengandung isoflavon yang dapat berperan sebagai
antioksidan sehingga berguna untuk mencegah kerusakan oksidatif dan membantu
penyerapan kalsium lebih kuat ke dalam tulang, sehingga tidak terjadi
pengkeroposan tulang atau osteoporosis. Bengkuang merupakan salah satu
makanan yang mengandung fitoestrogen, sehingga baik untuk dikonsumsi bagi
mereka yang sudah memasuki masa menopause, yang berarti dapat
mempertahankan kualitas hidup di usia tua (Lubis, 2012).
2.3 Tepung Bengkuang
Pemanfaatan bengkuang masih terbatas untuk bahan pangan dan sedikit
untuk industri bahan pangan. Umur simpan bengkuang yang terbatas juga menjadi
kendala dalam pengolahannya. Penyimpanan bengkuang yang terlalu lama
Untuk memperpanjang umur simpan dan meningkatkan nilai jual, umbi
bengkuang dapat diolah menjadi tepung bengkuang.Tepung memiliki keuntungan
yaitu lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), mudah diperkaya
dengan zat gizi (difortifikasi), mudah dibentuk, dimasak, dikreasikan dan praktis,
mudah diolah menjadi aneka macam olahan, mulai dari olahan tradisional/khas
daerah hingga modern, sehingga nilai ekonomisnya semakin meningkat dan
diterima masyarakat luas, lebih mudah dalam distribusi dan menghemat ruangan
dan biaya penyimpanan dapat menciptakan peluang usaha baru.
Pembuatan tepung bengkuang berdasarkan metode yang dilakukan Dewi
(2012) bengkuang dibersihkan dari kotorannya dengan cara dikupas dan dibelah
kemudian dicuci hingga bersih. Setelah bengkuang bersih, kemudian dilakukan
pengecilan ukuran dengan menggunakan slicer dengan ketebalan ± 1 mm. Setelah
itu, di blanching selama 1 menit kemudian dimasukkan ke dalam oven padasuhu
60oC selama 16 jam. Setelah pengeringan bengkuang dikecilkan bengkuang
dengan cara digiling dan kemudian diayak dengan menggunakan ayakan 80 mesh.
Terdapat cara lain dalam pembuatan tepung bengkuang, yang berbeda
hanya pada proses perendaman bengkuang dengan natrium metabisulfat 3000 ppm
selama 30 menit dan menghasilkan tepung dengan derajat putih 85,98%
(Damayanti, 2010). Selain itu, terdapat modifikasi pembuatan tepung bengkuang
Heat Moisture Treatment (HMT) (dengan metode Siwi, 2013 dalam Pangesti et
al., 2014 dengan modifikasi pada bahan baku dan suhu HMT) tepung bengkuang
yang telah mencapai kadar air 30% selanjutnya ditempatkan petridish dalam
15
dalam refrigerator pada suhu 4-5oC selama satu malam untuk penyeragaman kadar
air. Petridish yang berisi tepung bengkuang basah dipanaskan dalam oven bersuhu
80oC, 90oC, 100oC dan 110oC selaam 3 jam. Setelah didinginkan, tepung
bengkuang termodifikasi kembali ditempatkan dalam loyang tanpa tutup dan
dikeringkan dalam oven selama 5 jam pada suhu 50oC. Tepung yang dihasilkan
dilihat dari karakteristik fisik dan fisikokimia mengalami penurunan dibandingkan
dengan proses pembuatan tepung bengkuang secara Heat Moisture Treatment
(HMT).
Kelebihan dari tepung bengkuang ini dibandingkan dengan tepung terigu
adalah kandungan inulin yang terdapat pada tepung bengkuang dengan kadar
14,8240 %. Dimana inulin ini merupakan komponen dalam serat pangan terlarut
yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan melainkan oleh bakteri yang ada
di usus besar. Menurut Nishimune, dkk (1991) dalam Rimbawan dan Siagian
(2004) menemukan bahwa serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik
pangan secara bermakna. Inulin memiliki banyak kegunaan diantaranya
digunakan sebagai prebiotik yang bermanfaat bagi kesehatan di dalam usus
dengan menghambat pertumbuhan bakteri patogen, meningkatkan kekebalan
tubuh, melancarkan pencernaan, mengurangi konstipasi, mengurangi resiko
kanker usus, serta mengatur konsentrasi hormon insulin dan glukagon (Lestari,
2013)
Inulin merupakan karbohidrat golongan fruktan. Fruktan memiliki efek
glikemik yang lebih rendah dibanding fruktosa, sehingga direkomendasikan untuk
bahwa penambahan inulin ke dalam makanan dapat menurunkan respons glikemik
darah. Inulin dapat mengontrol kadar glukosa serum dengan mengurangi kenaikan
glukosa serum setelah mengonsumsi makanan dan menunda masuknya glukosa
ke darah, serta memperlambat pengosongan lambung dan/atau mempersingkat
waktu transit di usus halus dimana hal ini dapat menunda absorpsi
karbohidrat, sehingga berefek pada respons insulin dan glikemik postprandial
yang lebih rendah. Penelitian lain menunjukkan, penambahan fruktan pada roti
gandum menyebabkan kadar glukosa dan insulin serta area di bawah kurva
kadar glukosa darah yang lebih rendah dibanding dengan pemberian sukrosa
(Dehghan Pet al, 2013 ; RianyYE, 2006 dalam Handayani 2014).
2.4 Roti Tawar Bengkuang
Roti adalah produk makanan yang terbuat dari fermentasi tepung terigu
dengan ragi atau bahan pengembang lainnya. Secara umum roti terdiri dari dua
macam, yaitu roti tawar dan roti manis, perbedaanya terletak pada penggunaan
gula, biasanya roti tawar menggunakan gula di bawah 10% sedangkan roti manis
menggunakan gula diatas 20% (Santoni, 2009 dalam Nur’aini 2011).
Roti tawar adalah roti yang dibuat dari tepung terigu berprotein tinggi,
air,yeast, lemak dan garam yang difermentasi dengan ragi roti dan dipanggang
(Mudjajanto, 2008 dalam Nur’aini 2011). Berdasarkan bahan pengembang yang
digunakan roti tawar termasuk dalam yeast raised goods, yaitu adonan yang
17
fermentasi gula oleh yeast. Roti tawar mempunyai rasa yang gurih agak asin, dan
mempunyai bentuk khas.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01‐3840‐1995, Syarat
Mutu Roti tawar dapat dilihat pada tabel 2.2
Tabel. 2.2Syarat Mutu Roti Tawar
Kriteria Uji Satuan Roti Tawar
Kenampakan - Normal, tidak berjamur
Bau - Normal
Resep dasar pembuatan roti tawar menurut Mudjajanto dan Yulianti
(2004) adalah sebagai berikut:
Perbedaannya, hanya pada bahan utamanya yang menggunakan tepung
bengkuang. Secara garis besar bahan-bahan untuk pembuatan roti tawar
1. Tepung Bengkuang
2. Tepung Terigu berprotein tinggi
3. Yeast/ ragi roti
Ragi berfungsi memfermentasi adonan sehingga adonan dapat
mengembang dan terbentuk serat atau pori roti.Ada 3 jenis ragi yang umum
dikenal, yaitu ragi tapai berbentuk bulat pipih berwarna putih, ragi roti berbentuk
butiran, dan ragi tempe berbentuk bubuk. Selain itu menurut Mahsun (2010)
dalam Nur’aini (2011) yeast juga berfungsi untuk memberikan aroma yang baik
pada produk, mematangkan dan mengempukan gluten dalam adonan sehingga
gluten mampu menahan gas.
4. Air
Air berfungsi sebagai media glutein dengan karbohidrat, larutan garam dan
membentuk sifat kenyal glutein. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH 6–9.
Makin tinggi pH air maka roti yang dihasilkan baik karena absorbsi air meningkat
dengan meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus air yang
memenuhi persyaratan sebagai air minum, diantaranya tidak berwarna, tidak
berbau, dan tidak berasa (Astawan, 2006 dalam Gulo, 2008).
5. Shortening
Shortening adalah lemak padat yang memiliki sifat plastis dan kestabilan
tertentu, umumnya berwarna putih sehingga sering disebut mentega putih.
Mentega berfungsi sebagai pelumas untuk memperbaiki remah roti, memperbaiki
sifat pemotongan roti, memberikan kulit roti lebih lunak, dan dapat menahan air
19
lezat, mengempukkan, dan membantu pengembangan susunan fisik roti
(Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
6. Gula
Sangat sedikit roti yang dibuat tanpa pemakaian gula. Pada umumnya gula
dipakai untuk memberikan rasa manis pada produk, namun mempengaruhi tekstur
dan kenampakan. Gula sangat penting peranannya dalam pembuatan roti,
diantaranya sebagai makanan ragi, memberi rasa, mengatur fermentasi,
memperpanjang umur roti, menambah kandungan gizi, membuat tekstur roti
menjadi lebih empuk, memberikan daya pembasahan pada roti dan memberikan
warna cokelat yang menarik pada roti (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
7. Garam
Garam membuat proses fermentasi ragi dapat dikontrol. Jika tidak ada
garam, fermentasi berjalan lebih cepat dan gula habis “dimakan” ragi. Akibatnya
warna kulit roti menjadi pucat dan berkerut karena tidak ada gula. Selain itu
fungsi garam dalam pembuatan roti adalah penambah rasa gurih, pembangkit rasa
bahan-bahan lainnya, pengontrol waktu fermentasi dari adonan beragi,
penambahan kekuatan gluten. Syarat garam yang baik dalam pembuatan roti
adalah harus 100% larut dalam air, jernih, bebas dari gumpalan-gumpalan dan
bebas dari rasa pahit (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
8. Telur
Menurut Mudjajanto dan Yulianti (2004) telur berfungsi sebagai
pengembang, pembentuk warna, perbaikan rasa, dan penambah nilai gizi. Jika