• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesantunan Dengan Daya Semiotika Bahasa Berkampanye Calon Legislatif Partai Golongan Karya di Kabupaten Labuhan Batu Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kesantunan Dengan Daya Semiotika Bahasa Berkampanye Calon Legislatif Partai Golongan Karya di Kabupaten Labuhan Batu Utara"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Linguistik, Februari 2015, 15-34

Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

KESANTUNAN DENGAN DAYA SEMIOTIKA BAHASA BERKAMPANYE CALON LEGISLATIF PARTAI GOLONGAN KARYA

DI KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA

Awaluddin Sitorus awaluddinsitorus@yahoo.com

Nurlela, Masdiana Lubis

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Penelitian ini berjudul Kesantunan dengan Daya Semiotika Bahasa Caleg Partai Golongan Karya di Labuhanbatu Utara. Penelitian ini berupa kajian sebagai bentuk interdisipliner yang mempalajari kesantunan bahasa dan daya semiotika bahasa dalam fungsi ujar dengan menggunakan pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik. Tujuan penelitian ini adalah 1) menganalisa kesantunan bahasa berkampanye calon legislatif Partai Golkar di Labuhanbatu Utara dan 2) menganalisa realisasi daya semiotika bahasa berkampanye calon legislatif Partai Golkar di Labuhanbatu Utara. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) teori kesantunan bahasa yang dikemukakan Leech (1983) didasarkan pada maksim yaitu kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati, kesetujuan, dan kesimpatian dan 2) teori semiotika bahasa dalam fungsi ujar yang dikemukakan Halliday (2004) yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, dokumentasi, dan trianggulasi. Hasil analisis temuan data penelitian yang direalisasikan ke dalam maksim 62 klausa yaitu maksim kebijaksanaan 40.32%, maksim penerimaan 14.51%, maksim kemurahan 8.06%, maksim kerendahan hati 12.90%, maksim kesetujuan 16.12%, dan maksim kesimpatian 8.06% dan semiotika bahasa yang direalisasikan fungsi ujar sebanyak 103 klausa yaitu pernyataan 37.87%, pertanyaan 19.41%, perintah 28.15%, dan tawaran 14.57%. Hubungan kesantunan bahasa dengan semitotika bahasa terlihat bahwa semua maksim dominan direalisasikan dalam modus deklaratif dan imperatif. Kemudian modus interogatif hanya sebagaian kecil yang dapat merealisasikan maksim. Realisasi daya semiotika bahasa dalam bahwa informasi tidak langsung lebih santun daripada informasi langsung yang dilakukan caleg Partai Golkar kepada masyarakat Labura baik itu bentuk ujaran maupun dalam bentuk semiotika bahasa jargon.

Kata kunci: kesantunan bahasa dan fungsi ujar

PENDAHULUAN

Bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Bahasa Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan dan berbagai bidang kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, teknologi, olahraga, sosial budaya, maritime, dan kesehatan. Hal ini menjadi sorotan dan menarik pada bidang politik khususnya terkait dengan kampanye yang dilakukan partai politik.

(2)

Kampanye pemilihan umum (pemilu) bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab. Kampanye politik dalam pemilu dilaksanakan di Indonesia sekali lima tahun yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Pemilu merupakan pesta demokrasi untuk menyuarakan isi hati nurani secara langsung, bebas, dan rahasia. Kampanye berdasarkan definisinya merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 498).

Partai politik sebagai peserta pemilu tahun 2014 sebanyak duabelas partai secara nasional yaitu (1) Partai Nasdem, (2) Parti Kebangkitan Bangsa , (3) Partai Keadilan Sejahtera, (4) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (5) Partai Golongan Karya, (6) Partai Gerakan Indonesia Raya, (7) Partai Demokrat, (8) Partai Amanat Nasional, (9) Partai Persatuan Pembangunan, (10) Partai Hati Nurani Rakyat, (11) Partai Bulan Bintang, dan (12) Partai Keadilan Persatuan Indonesia. Dari keduabelas partai di atas, maka Partai Golkar sebagai fokus dalam penelitian. Partai Golkar berdasarkan sejarahnya bernama Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar dengan berlambangkan pohon beringin didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964 oleh golongan militer perwira Angkatan Darat dengan menghimpun organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan. Kemudian Sekber Golkar berubah menjadi partai politik Golkar di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Caleg Partai Golkar dalam berkampanye kepada masyarakat menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi dan bahasa nasional bangsa Indonesia. Para caleg Partai Golkar dalam berkampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain yang ditetapkan dalam UU Pemilu No.8 Tahun 2012. Materi kampanye dapat disampaikan melalui tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.

Para caleg Partai Golkar berkampanye dalam pemasangan alat peraga kampanye dilaksanakan dengan pertimbangan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Lihat Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang pemilu dan Paraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 15 Tahun 2013 tentang Kampanye Partai Politik). Para caleg Partai Golkar dalam berkampanye harus mematuhi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.15 Tahun 2013 dan UU Pemilu No. 8 Tahun 2012 karena ada sebagian caleg Partai Golkar dalam berkampanye kurang menonjolkan visi dan misi Partai Golkar kepada masyarakat, baik itu kampanye ujuran juru kampanye (jurkam) maupun berkampanye secara tulis (semiotika bahasa jargon).

(3)

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Penelitian ini membahas kesantunan dengan daya semiotika bahasa berkampanye caleg Partai Golkar dalam bentuk maksim yang dikemukakan leech (1983) yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, maksim kesimpatian. Keenam maksim tersebut berkaitan dengan norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Keterkaitan maksim dengan norma sosial dan budaya direalisasikan caleg Partai Golkar dalam berkampanye bagi masyarakat Labura.

Selanjutnya semiotika bahasa dalam fungsi ujar dikemukakan Halliday (2004) yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran yang direalisasikan pada modus deklaratif, modus imperatif, dan modus interogatif. Realisasi itu bahwa konteks situasi merupakan hubungan antara orang yang berinteraksi disebut pelibat (tenor) berkaitan dengan aktifitas sosial disebut dengan medan (field) berkaitan dengan peran dan fungsi bahasa disebut sarana (mode). Dalam konteks situasi bahwa bahasa merupakan bagian dari sistem semiotika sosial dan hidup dalam konteks sehingga sistem semiotika bahasa bersosialisasi dengan sistem-sistem semiotika lain dan sekaligus juga meminjamkan sistem-sistem antara lain sistem semiotika konteks.

Hubungan bahasa dengan konteks situasi merupakan hubungan realisasi bahasa sebagai sebuah sistem semiotika sosial. Dengan kata lain, bahasa wujud dalam konteks dan tiada bahasa tanpa sistem konteks sosial. Sistem konteks sosial berada pada tingkat unsur atau strata yaitu petanda dan penanda atau signified dan signifier secara umum.

Dalam penelitian ini, istilah semiotika bahasa yaitu, „arti‟ yang setara dengan petanda berhubungan dengan makna teks pemaknaan semantics, bentuk berhubungan dengan tatabahasa pengataan lexicogrammar, dan ekspresi yang setara dengan penanda berhubungan dengan bunyi, tulisan, dan isyarat. Konteks-konteks tersebut dihubungkan pada kesantunan dengan daya semiotika bahasa berkampanye caleg Partai Golkar karena daya semiotika bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam budaya berkampanye sehingga konteks situasi, budaya, dan ideologi difungsikan oleh caleg Partai Golkar berkampanye kepada masyarakat Labura.

Penelitian ini dilakukan dengan alasan yaitu (a) pemilu dilaksanakan di Indonesia sekali lima tahun untuk memilih wakil-wakil rakyat, (b) pesta demokrasi yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia untuk menggunakan hak memilih dan hak dipilih, (c) semua jurkam dan caleg Partai Golkar memainkan peranan fungsi bahasa dalam berkampanye baik bentuk lisan maupun tulisan, (d) para caleg saat pemilu „perang bahasa‟ dan „perang semiotika‟ untuk menjadi anggota legislatif masa bakti tahun 2014 -2019, dan (e) sejauh pengetahuan peneliti bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan di Kabupaten Labura.

(4)

KAJIAN PUSTAKA Teori Kesantunan

Lakoff (1973: 64) mengatakan bahwa ada tiga ketentuan untuk dipenuhi dalam kesantunan bahasa bertutur. Ketiga ketentuan itu adalah (a) skala formalitas (formality scale) artinya jangan memaksa atau jangan angkuh (aloof), (b) skala ketidaktegasan (hesitency scale) artinya membuat lawan tutur atau lawan bicara kita dapat menentukan pilihan (option), dan (c) skala kesekawanan (equality scale) artinya melakukan tindakan yang seolah-olah lawan tutur menjadi sama dengan penutur atau dengan kata lain serta lawan tutur merasa senang.

Ketiga bentuk kesantunan bahasa bertutur yang dikemukakan oleh Lakoff dapat disimpulkan sebagai berikut. (a) Tuturan terdengar tidak memaksa atau angkuh. (b) Tuturan memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur. (c) Lawan tutur itu menjadi senang. Hal ini dimanfaatkan oleh jurkam dan caleg Partai Golkar dalam berkampanye untuk menyapaikan visi dan misi.

Fraser (1978: 137) mengatakan bahwa kesantunan bahasa merupakan kesantunan bukan atas dasar kaidah-kaidah, melainkan atas dasar strategi. Kesantunan bahasa berdasarkan strategi yang dikemukakan Fraser sebagai berikut.

(a) Kesantunan tuturan merupakan pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu terdapat pada sebuah tuturan, mungkin saja sebuah tuturan dimaksudkan sebagai tuturan yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga lawan tutur, tuturan itu ternyata tidak terdengar santun begitu pula sebaliknya.

(b) Kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta pertuturan artinya, apakah sebuah tuturan terdengar santun atau tidak diukur berdasarkan: si penutur tidak melampaui haknya terhadap lawan tuturnya dan si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan tutur.

Artinya, jurkam caleg memainkan peranan dan fungsi bahasa santun dalam berkampanye berdasarkan kaidah-kaidah kesantunan berbahasa yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk bersedia memilih caleg-celeg Partai Golkar.

Brown dan Levinson (1978: 60-63) mengatakan bahwa kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka atau wajah (face), yakni citra diri yang bersifat umum dan selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Nosi muka yang dimaksud merupakan muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu, sedangkan muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, dan patut dihargai.

Kesantunan bahasa muka positif dan muka negatif dapat dilakukan penutur untuk menghindari ancaman nosi muka. Penutur harus memperhitungkan derajat keterancaman sebuah tindak tutur dengan mempertimbangkan di dalam situasi yang biasa sebagai berikut. (1) Faktor jarak sosial di antara penutur dan lawan tutur. (2) Faktor besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi di antara keduanya. (3) Faktor status relatif jenis tindak tutur di dalam kebudayaan yang bersangkutan.

(5)

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Leech (1983: 161) dalam Chaer (2010: 56) mengatakan “kesantunan berdasarkan prinsip (politeness principle) yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan, ajaran). Maksim dalam kesantunan bahasa terdiri atas enam jenis yaitu (1) kebijaksanaan (tact); (2) penerimaan (generocity); (3) kemurahan (approbation); (4) kerendahan hati (modesty); (5) kesetujuan (agreement); dan (6) kesimpatian (sympathy).” Leech menjabarkan kesantunan berbahasa berdasarkan maksim kemudian Leech (1983:209-218) juga membagi lima skala pengukur kesantunan berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim impersonalnya. Kelima skala itu, sebagai berikut:

(a) Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale)

Skala kerugian dan keuntungan merujuk pada besar kecilnya biaya dan keuntungan yang disebabkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Kalau tuturan itu semakin merugikan penutur, maka dianggap semakin santunlah tuturan itu. Namun, kalau dilihat dari pihak lawan tutur, tuturan itu dianggap tidak santun. Sebaliknya, kalau tuturan itu semakin merugikan lawan tutur, maka tuturan itu dianggap santun. Skala ini digunakan untuk “menghitung biaya dan keuntungan untuk melakukan tindakan (seperti yang ditunjukan oleh daya ilokusi tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan lawan tutur”. Skala ini menjelaskan mengapa, walaupun sama-sama bermodus imperatif (intonasinya sama). Misalnya (1) bersihkan baleho saya! dan (2) mari kita dukung saudara kita!

(b) Skala pilihan (optionality scale)

Skala pilihan mengacu pada banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada lawan tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin banyak pilihan dan keleluasaan dalam petuturan itu, maka dianggap semakin santunlah penuturan itu. Sebaliknya kalau tuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan bagi si penutur dan lawan tutur, maka tuturan itu tidak santun. Misalnya (1) pindahkan kotak ini, (2) kalau tidak lelah pindahkan kotak ini, dan (3) kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini; itu kalau kamu mau dan tidak keberatan.

(c) Skala ketidaklangsungan (indirectness scale)

Skala ketidaklangsungan merujuk kepada peringkat langsung atau tidak langsugnya “maksud” sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Misalnya (1) jelaskan persoalannya, (2) saya ingin Saudara menjelaskan persoalannya, dan (3) berkerberatankah Saudara lebih menjelaskan persoalannya.

(d) Skala keotoritasan (anthority scale)

Skala keotoritasan merujuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan lawan tutur yang terlibat dalam suatu pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan lawan tutur maka tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, maka semakin berkurang peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam pertuturan itu.

(e) Skala jarak sosial (social distance)

(6)

tingkat keakraban hubungan antara penutur dan lawan tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.

a. Maksim kebijaksanaan

Maksim kebijaksanaan adalah meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim kebijaksanaan didasarkan pada penanda: (a) skala kerugian dan keuntungan diri sendiri yang sebabkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan, (b) dalam ilokusi komisif ditandai dengan verba „berjanji‟, „bersumpah‟, dan „mengancam‟, (c) memakai modus imperatif, dan (d) ilokusi impositif ditandai dengan verba „dapatkah‟. Misalnya: (1) Dapatkah Anda datang ke TPS tanggal 9 April 2014! Dan (2) Kalau tidak keberatan dapatkah datang ke TPS tanggal 9 April 2014! Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa kalimat kedua lebih santun daripada kalimat kesatu. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan: (a) semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya, (b) tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung, dan (c) memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).

b. Maksim penerimaan

Maksim penerimaan adalah menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim penerimaan didasarkan pada penanda: (a) skala memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri, (b) memakai modus imperatif, dan (c) dalam ilokusi komisif ditandai dengan verba „berjanji‟, „bersumpah‟, dan „mengancam‟. Misalnya: (1) Saya pinjami dana kampanye untuk Anda! dan (2) Saya bersedia akan meminjami Anda dana kampanye. Kalimat (1) dan (2) merupakan penutur berusaha memaksimalkan kerugian diri sendiri.

c. Maksim kemurahan

Maksim kemurahan adalah setiap peserta penutur untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim kemurahan didasarkan pada penanda: (a) bertutur selalu memberi penghargaan kepada orang lain, (b) dalam ilokusi asertif ditandai dengan verba „mengatakan‟, „melaporkan‟, „menyebutkan‟ dan, (c) dalam ilokusi ekspresifditandai dengan verba „memuji‟, „mengucapkan terima kasih‟, „mengritik‟, dan „menyelak‟.

Misalnya: Caleg A: “Pak, aku tadi sudah memulai kampanye perdana untuk Kecamatan Kualuh Hulu”.

Caleg B: “Oya, tadi aku mendengar materi kampanyemu menarik dan jelas sekali dari sini”.

Contoh kalimat di atas merupakan pemberitahuan yang disampaikan caleg A terhadap rekannya caleg B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh caleg B. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu caleg B berperilaku santun terhadap caleg A.

d. Maksim kerendahan hati

Maksim kerendahan hati adalah setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

(7)

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

B: Yah, memang sangat dermawan bukan?

Contoh kalimat di atas merupakan kalimat mematuhi prinsip kesantunan karena penutur (A) memuji kebaikan pihak lain atau kalimat ilokusi ekspresif dan ilokusi asertif karena mengatakan respon kepada lawan tutur (B) juga memuji orang yang dibicarakan.

e. Maksim kesetujuan (agreement maxim)

Maksim kesetujuan adalah setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka.

Misalnya: A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat memalukan.

B: Ya, memang!

Contoh kalimat di atas santun dengan memaksimalkan ketidaksetujuan dengan pernyataan A, namun, bukan berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau pertanyaan lawan tuturnya.

f. Maksim kesimpatian

Maksim kesimpatian adalah semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagian, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Misalnya: A: Anak guru berjuang untuk rakyat.

B: Selamat ya, Anda memang orang hebat.

Contoh kalimat di atas merupakan kalimat cukup santun karena si penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati pada lawan tuturnya yang mendapat kebahagiaan.

Sehubungan dengan kesantunan bahasa dalam berkampanye, penulis mengutip pengertian kesantunan bahasa yang dikemukakan oleh beberapa pakar linguistik seperti, Lakoff (1973), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), Pranowo (2009), Austin (1962), dan Gries (1975).

Teori Semiotika Bahasa

Halliday (2004: 230) mengatakan “semiotika bahasa merupakan semiotika sosial. Semiotika bahasa terdiri atas tiga unsur, yakni (a) „arti‟, setara dengan petanda (signified), (b) bentuk, dan (c) ekspresi, setara dengan penanda (signifier)”.

(a) ‟arti‟

„arti‟ dalam semiotika merujuk pada teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) merupakan fungsi ujaran. Fungsi ujaran itu merupakan ujaran dasar (disebut juga protoaksi dalam saragih 2006). Fungsi ujaran itu merupakaan „arti‟ dalam sistem semiotika yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran yang direalisasikan oleh bentuk atau tatabahasa, yang seterusnya dieksperesikan oleh bunyi, tulisan, atau isyarat.

(b) Bentuk

(8)

dan imperatif. Dalam bahasa Indonesia modus ditandai secara prosodi dengan intonasi datar untuk modus deklaratif, naik untuk interogatif, dan turun untuk imperatif.

Di samping itu dalam bahasa Indonesia tulisan, tanda titik (.) merupakan penanda pernyataan, tanda tanya (?) merupakan penanda pertanyaan, dan tanda seru (!) merupakan penanda perintah. Di samping penanda prosidi, modus secara structural ditandai dua unsur fungsi antarpesona, yaitu subject dan finite. Unsur tatabahasa yang digunakan untuk merealisasikan fungsi antarpesona adalah subject, finite, predicator, complement, dan andjuct. Subject dan finite membangun mood atau modus sedangkan predicator, complement, dan andjuct membentuk residue yang tidak berperan dalam pembentukan modus.

(c) Klausa atau ekspresi

Klausa atau ekspresi berada pada posisi bebas secara gramatikal; merupakan unit yang tertinggi; klausa secara langsung merealisasikan unit „arti‟ atau semantik. Satu unit pengalaman disebut klausa yang terdiri atas tiga unsur atau konfigurasi, yaitu (1) proses, yakni kegiatan, peristiwa, atau kejadian, (2) partisipan, yakni orang atau benda yang terlibat dalam proses, dan (3) sirkumstan, yakni lingkungan tempat terjadinya proses yang melibatkan pertisipan itu. Kesatuan ketiga unsur itu dalam satu unit pengalaman disebut klausa dan secara teknis realisasi penggambaran pengalaman itu dalam semiotika bahasa disebut transitif. Misalnya, pemburu itu mengejar harimau itu kemarin (pemburu itu adalah pertisipan, mengejar adalah proses, harimau itu adalah partisipan, dan kemarin adalah sirkumstan).

Selanjutnya, selain semiotika bahasa yang dikemukan Halliday (2004), peneliti juga mengutik semiotika umum seperti yang dikemukakan Peirce (1839-1914), de Saussure (1857-1913), Sobur (2003: 15), Bertens (1993: 180), Eco (1979: 7) dan Chandler (2008: 1), Fawcett (1984:xiii), Lamb (1984: 87), van Leeuwen (2005: 285), dan Saragih ( 2012:23).

Teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)

LFS merupakan satu pradigma dalam kajian fungsional bahasa yang pendekatan, kajian, dan aplikasinya berdasarkan prinsip semiotika. Bahasa dikatakan sebagai semiotika sosial (Halliday, 2004: 214). Dengan kata lain, tatabahasa fungsional sistemik adalah tatabahasa yang teori atau prinsip semiotika menjadi dasar utama dalam pengkajian penelitian ini. Realisasi makna atau fungsi antarpersona terjadi pada tingkat, strata, atau level semantik. Sebagai realisasi aksi pada strata tatabahasa, modus terdiri atas modus deklaratif, interogatif, dan imperatif.

Aksi „pernyataan‟, „pertanyaan‟, dan „perintah‟ masing-masing direalisasikan oleh modus deklaratif, interogatif, dan imperatif, sedangkan „tawaran‟ tidak memiliki modus yang lazim (unmarked) sebagai realisasinya. Dengan demikian, „tawaran‟ dalam konteks sosial tentu dapat direalisasikan oleh satu dari ketiga modus deklaratif, interogatif, dan imperatif. Realisasi aksi pada strata semantik dan tatabahasa bukanlah hubungan „satu ke satu‟ (biunique relation); artinya secara semantik „pernyataan‟ tidak selamanya direalisasikan oleh hanya modus deklaratif „pernyataan‟ oleh hanya interogatif , dan „perintah‟ oleh hanya imperatif.

(9)

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

fungsional dalam klausa kompleks. Hubungan antarperingkat tatabahasa ini adalah hubungan konstituen dengan pengertian bahwa unit tatabahasa yang lebih tinggi peringkatnya dibangun dari unit yang berada di bawahnya.

LFS sebagai bagian dari pendekatan linguistik fungsional melihat bahasa sebagai fenomena sosial hanya dapat dipahami dalam konteks social. Dalam LFS, kajian difokuskan pada teks. Dengan kata lain, unit kajian tertumpu pada teks. Teks adalah unit arti atau wujud sebagai hasil intraksi dalam konteks sosial.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura). Kabupaten Labura dengan Ibukota Aek Kanopan terdiri dari 8 kecamatan, 8 kelurahan, dan 88 desa dengan waktu penelitian dilakukan peneliti sejak dimulai caleg Partai Golkar berkampanye bulan Januari tahun 2014 di Labura sampai dengan pemilu calon anggota legislatif tahun 2014 sampai dengan tahun 2019. Penelitian ini berdasarkan pendekatan metode deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan metode observasi, sadap, dan dokumentasi dengan menggunakan data berupa kata, kalimat, frasa, dan klausa baik data lisan maupun data tulisan. Data penelitian ini mengacu pada ekspresi kesantunan dengan daya semiotika bahasa caleg berkampanye. Semua data direkam, dicatat, dan dikumpulkan dengan baik dalam suatu korpus. Hal itu bertujuan untuk memudahkan peneliti untuk membahas data yang sudah dipersiapkan dalam korpus. Korpus penelitian itu berbentuk teks tulis dan transkripsi dari bahasa lisan yang mempunyai fungsi memberi informasi tentang ujaran-ujaran jurkam dan jargon politik caleg dalam berkampanye.

Data penelitian ini terdiri dari data lisan dan tulis. Data lisan merupakan kata, frasa, klausa, dan kalimat yang bersumber dari tuturan verbal jurkam caleg Partai Golkar dan data tulis berupa bahasa jargon yang terdapat pada baleho yang bersumber dari caleg Partai Golkar kemudian analisis data dalam penelitian ini, dilakukan peneliti yaitu reduksi data (data reduction), display data (data display), dan kesimpulan/verifikasi (conclusion/verification). Analisis data dilakukan untuk menemukan ciri-ciri realisasi kesantunan dengan daya semiotika bahasa berkampanye caleg yaitu, ujaran jurkam caleg dan jargon politik caleg. Mengikuti model analisis Miles dan Huberman untuk menganalisis data penelitian ini dijelaskan sebagai berikut. (a) Masalah satu, data yang terkumpul baik lisan dan tulis direduksi dengan cara memilih data yang berkaitan dengan masalah ujaran yang menunjukkan kesantunan bahasa yang dipilah ke dalam maksim-maksim. Data ujaran yang berasal dari para jurkam Partai Golkar menggunakan teori kesantunan bahasa yang dikemukakan Lecch (1983). (b) Masalah dua, data yang terkumpul baik lisan dan tulis direduksi dengan cara memilih data yang berkaitan dengan fungsi ujar yakni pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran yang direalisasikan dalam modus deklaratif, interogatif, dan imperatif dalam daya semiotika bahasa caleg Partai Golkar dalam berkampanye.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

a. Kesantunan Bahasa Berkampanye Caleg Partai Golkar di Labura

(10)
[image:10.595.114.506.120.226.2]

dan maksim kesimpatian. Data keenam maksim tersebut sebanyak 62 klausa bersumber dari data primer dan data sekunder direalisasikan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel Persentase penggunaan Maksim dalam Berkampanye

No. Maksim Jumlah Klausa (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. Kebijaksanaan Penerimaan Kemurahan Kerendahan hati Kesetujuan Kesimpatian 25 9 5 8 10 5 40.32 14.51 8.06 12.90 16.12 8.06

Jumlah 62 100%

Dari tabel di atas maksim kebijaksanaan lebih banyak digunakan para caleg dalam berkampaye sebanyak 25 klausa atau 40.32% dari 62 klausa, maksim penerimaan 9 klausa atau 14.51% dari 62 klausa, maksim kemurahan 5 klausa atau 8.06% dari 62 klausa, maksim kerendahan hati 8 klausa atau 12.90% dari 62 klausa, maksim kesetujuan 10 klausa atau 16.12% dari 62 klausa, dan maksim kesimpatian 5 klausa atau 8.06% dari 62 klausa.

Selanjutnya penanda verba dalam penggunaan maksim kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati, kesetujuan, dan kesimpatian dalam kesantunan bahasa berkampanye caleg Partai Golkar sebagai berikut.

Tabel Verba Setiap Maksim Kesantunan Bahasa dalam Berkampanye

No. Maksim Verba

1. 2. 3. 4. 5. 6. Kebijaksanaan Penerimaan Kemurahan Kerendahan hati Kesetujuan Kesimpatian

persilakan, silakan, mari, berikan, panggilkan, ingat, jangan, melakukan, angkat, dan memilih

menyampaikan, sampaikan, bekerja, berjanji, mencurahkan, dan mengabdi

hormati, sayangi, dan banggakan memohon dan meminta

berharap, mari, usahakan, dan berjuanglah

meraih, rasakan, dibungkam, membela, dan bangkit

Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)

Kesantunan bahasa berkampanye caleg Partai Golkar dalam maksim kebijaksanaan direalisasikan dengan meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain dan maksim ini juga menggunakan modus imperatif. Contoh: Mari kita berikan aplus kepada caleg kita yang kandidat Golkar dengan penuh keyakinan! Klausa ini dikodekan modus imperatif ajakan dengan verba „mari‟ dengan demikian Jurkam Partai Golkar memaksimalkan keuntungan bagi para caleg Partai Golkar karena mengajak para simpatisan Partai Golkar dan masyarakat Labura untuk bersama-sama memberikan penghargaan aplaus kepada mereka.

Maksim Penerimaan (Generocity Maxim)

[image:10.595.121.512.380.498.2]
(11)

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Maksim Kemurahan (Approbation Maxim)

Maksim kemurahan merupakan memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain atau meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Maksim kemurahan juga ditandai dalam ilokusi asertif dengan verba „mengatakan‟, „melaporkan‟, dan „menyebutkan‟ dan dalam ilokusi ekspresif ditandai verba „memuji‟, „mengucapkan terima kasih‟, „mengritik‟, dan „menyelak‟. Contoh: Fungsionaris DPP yang saya hormati, Pak Rambe dengan Ibu Anita Lubis. Contoh klausa tersebut merupakan memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain yaitu caleg Partai Golkar ditandai dengan verba „hormati‟.

Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

Maksim kerendahan hati merupakan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri atau meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Maksim kerendahan hati juga ditandai dalam ilokusi ekspresif dengan verba „memuji‟, „mengucapkan terima kasih‟, „mengritik‟, dan „menyelak‟, dan dalam ilokusi asertif ditandai dengan verba „mengatakan‟, „melaporkan‟, dan „menyebutkan‟. Contoh: Do‟akan kami, para caleg yang dari daerah dapil satu dan dapil lima untuk berjuang. Contoh klausa tersebut bermodus imperatif ditandai dengan verba „do‟akan‟ yang dikodekan dengan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri jurkam sendiri.

Maksim Kesetujuan (Agreement Maxim)

Maksim kesetujuan merupakan memaksimalkan kesetujuan di antara mereka atau meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka. Maksim kesetujuan juga ditandai dalam ilokusi asertif dengan verba „mengatakan‟, „melaporkan‟, dan „menyebutkan‟. Contoh: Suara Golkar suara rakyat. Contoh klausa tersebut kesetujuan ditandai dengan verba implisit bermakna „mengatakan‟ dalam modus deklaratif yang dikodekan dengan memaksimalkan kesetujuan antara caleg Partai Golkar dengan masyarakat.

Maksim Kesimpatian (Sympathy Maxim)

Kesantunan bahasa berkampanye yang direalisasikan maksim kesimpatian dengan memaksimalkan rasa simpati atau meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Maksim kesimpatian dapat ditandai dalam ilokusi asertif dengan verba „mengatakan‟, „melaporkan‟, dan „menyebutkan‟. Contoh: Bangkit dan bergerak berkarya bersama rakyat. Contoh klausa tersebut memaksimalkan rasa simpati masyarakat terhadap para caleg Partai Golkar dalam ilokusi asertif.

b. Daya Semiotika Bahasa Berkampanye Caleg Partai Golkar di Labuhanbatu Utara Melalui Fungsi Ujar

Data dalam penelitian ini ditemukan makna dalam daya semiotika bahasa berkampanye yang direalisasikan pada fungsi ujar, yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran. Keempat fungsi ujar yang ditemukan dalam data primer dan data sekunder sebanyak 103 klausa yang direalisasikan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel Persentase Fungsi Ujar dalam Berkampanye

No Fungsi Ujar Jumlah Klausa (%)

1. Pernyataan 39 37.87

2. Pertanyaan 20 19.41

3. Perintah 29 28.15

4. Tawaran 15 14.57

(12)

Pada tabel di atas, fungsi ujar pernyataan dalam bahasa berkampanye caleg sebesar 37.87 %, fungsi ujar pertanyaan dalam bahasa berkampanye caleg sebesar 19.41%, fungsi ujar perintah dalam bahasa berkampanye caleg sebesar 28.15%, dan fungsi ujar tawaran dalam bahasa berkampanye caleg sebesar 14.57%.

Pernyataan

Makna pernyataan direalisasikan ke dalam modus deklaratif yang dikodekan dengan intonasi suara datar, pengungkapan kejadian atau peristiwa, dan parnyataan diakhiri oleh tanda titik (.). Contoh: Saudara-saudara karena Golkar berfokus untuk meningkatkan pertanian dan pendidikan. Contoh klausa tersebut direalisasikan dalam modus deklaratif yang bertujuan menyampaikan informasi atau pemberitaan kepada masyarakat bahwa Golkar bekerja terfokus pada pertanian dan pendidikan dengan prosidi suara datar. Selain itu, tatabahasa klausa tersebut yaitu Golkar sebagai subjek bertanggung jawab untuk argumen dan verba berfokus menunjukkan predikator.

Pertanyaan

Makna pertanyaan ditemukan dalam data ujaran jurkam dan semiotika bahasa jargon caleg Partai Golkar dalam berkampanye yang direalisasikan ke dalam modus interogatif. Makna pertanyaan dikodekan dengan intonasi atau prosidi suara sedikit naik atau dengan intonasi tanya, sering mempergunakan kata tanya di awal klausa, pada akhir klausa diakhiri oleh tanda tanya (?), dan mempergunakan partikel tanya -kah. Contoh: Mana dari daerah Kualuh Hulu dapil 1? Contoh klausa tersebut direalisasikan dalam modus interogatif dengan dikodekan prosidi suara sedikit naik dengan intonasi tanya, mempergunakan kata tanya di awal klausa, dan klausa diakhiri oleh tanda tanya dengan bertujuan menanyakan keberadaan para caleg dapil 1 Kualuh Hulu untuk diperkenalkannya kepada masyarakat. Selain itu, tatabahasa klausa tersebut yaitu pelesapan subjek yang bertanggung jawab untuk argumen.

Perintah

Makna perintah ditemukan dalam ujaran jurkam dan semiotika bahasa jargon caleg Partai Golkar dalam berkampanye yang direalisasikan ke dalam modus imperatif. Makna perintah dikodekan dengan intonasi atau prosidi suara dengan tinggi atau keras, kata kerja yang mendukung isi perintah itu biasanya merupakan kata dasar, mempergunakan partikel pengeras–lah, dan penggunaan tanda seru (!) di akhir klausa. Contoh: Dari daerah pemilihan 1, kami panggilkan Saudara Salmon Sijabat, kami persilakan! Coba ambil tempatnya ya! Contoh klausa tersebut direalisasikan dalam modus imperatif dengan prosidi suara agak naik sedikit di akhir klausa dengan bertujuan memanggil para caleg dari dapil 1 hadir ke depan podium untuk diperkenalkan kepada masyarakat. Selain itu, tatabahasa klausa tersebut yaitu kami sebagai subjek yang bertanggung jawab pada argumen dan verba panggilkan menunjukkan predikator.

Tawaran

(13)

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

[image:13.595.104.511.166.269.2]

Hasil temuan penelitian hubungan antara teori kesantunan bahasa dalam maksim menurut Leech dengan teori semiotika bahasa dalam fungsi ujar menurut Halliday sebagai berikut.

Tabel Hubungan Kesantunan Bahasa Antara Maksim dengan Modus

No Maksim Modus

Deklaratif Interogatif Imperatif

1. Kebijaksanaan √ √ √

2. Penerimaan √ - √

3. Kemurahan √ - √

4. Kerendahan Hati √ - √

5. Kesetujuan √ √ √

6. Kesimpatian √ - √

Keterangan: √ = dilakukan; - = tdk dilakukan

Kemudian realisasi daya semiotika bahasa caleg Partai Golkar berkampanye berdasarkan temuan penelitian bahwa salah satu representasi bahasa dari kelangsungan dan ketidaklangsungan ujaran semiotika bahasa dalam fungsi ujar. Temuan penelitian caleg berkampanye menunjukkan bahwa penggunaan modus dalam semiotika bahasa memberikan informasi dalam maksim dan memberikan informasi dalam bahasa jargon bahasa dapat diformulasikan sebagai berikut.

Tabel Penggunaan Modus sebagai Realisasi Daya Semiotika Bahasa No Modus Memberikan informasi

dalam maksim

Alasan Memberikan informasi dalam bahasa jargon Alasan Perilaku santun Perilaku normatif Perilaku santun Perilaku normatif 1. 2. 3. Deklaratif Interogatif Imperatif √ - √ - √ - L L L - - √ √ - - TL TL TL

Keterangan: L = langsung; TL = tidak langsung; √ = ada; - = tidak ada

Salah satu bentuk realisasi daya semiotika bahasa dari upaya mencapai kesantunan tersebut adalah memanfaatkan modus yang mengakomodasikan penggunaan ujaran tidak langsung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesantunan bahasa caleg Partai Golkar dalam berkampanye merupakan salah satu yang dicapai dengan menggunakan modus yang memfasilitasi ketidaklangsungan ujaran.

Realisasi Kesantunan dengan Daya Semiotika Fungsi Ujar

Hasil temuan penelitian ini adalah kesantunan bahasa dalam maksim (Leech) yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, dan maksim kesimpatian yang direalisasikan dengan daya semiotika fungsi ujar (Halliday) yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran. Realisasi maksim dengan daya semiotika fungsi ujar dijababarkan sebagai berikut.

[image:13.595.110.514.376.501.2]
(14)

“Kami panggilkan Saudara Salmon Sijabat, kami persilakan! Dina Natiur Nababan, silakan! Kridalaksana Aulia, silakan! Sarina, S.E., kami persilakan!” Klausa kutipan di atas menempatkan jurkam sebagai pemberi informasi secara langsung dan caleg Partai Golkar sebagai penerima informasi secara langsung. Artinya, lazimnya jurkam menyampaikan informasi secara langsung dalam modus deklaratif, namun secara semantik, fungsi ujar pernyataan tersebut disampaikan secara tidak langsung memerintah masyarakat dengan santun untuk memilih caleg Partai Golkar tersebut.

Dalam perealisasian maksim penerimaan dengan daya semiotika fungsi ujar adalah secara sintaksis dalam bentuk pernyataan dan tawaran dengan modus deklaratif dan secara semantik dalam bentuk perintah dengan modus imperatif. Artinya, jurkam memberi informasi kepada masyarakat secara tidak langsung dengan daya semiotika perintah yang halus dan sopan mengajak masyarakat untuk memilih caleg Partai Golkar karena memberi pernyataan berupa tawaran, seperti dalam kutipan contoh „kemampuan dalam mencurahkan ide dan gagasan yang berguna bagi masyarakat‟ disampaikan dalam modus deklaratif yang memiliki nilai daya semiotika yang cukup santun.

Penggunaan maksim ini dengan daya semiotika fungsi ujar dalam berkampanye dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“Mencurahkan segala kemampuan pemikiran, ide, dan gagasan untuk kemajuan Sumatera Utara”.

Klausa kutipan di atas menempatkan bahwa jurkam sebagai pemberi informasi dan masyarakat sebagai penerima informasi. Dalam perealisasian maksim penerimaan dengan daya semiotika fungsi ujar adalah secara sintaksis dalam bentuk pernyataan dan tawaran dengan modus deklaratif dan secara semantik dalam bentuk perintah dengan modus imperatif. Artinya, jurkam memberi informasi kepada masyarakat secara tidak langsung dengan daya semiotika perintah yang halus dan sopan mengajak masyarakat untuk memilih caleg Partai Golkar karena memberi pernyataan berupa tawaran, seperti dalam kutipan contoh „kemampuan dalam mencurahkan ide dan gagasan yang berguna bagi masyarakat‟ disampaikan dalam modus deklaratif yang memiliki nilai daya semiotika yang cukup santun.

Maksim kemurahan digunakan jurkam Partai Golkar berkampanye yang direalisasikan dengan daya semiotika fungsi ujar secara lisan melalui modus deklaratif. Artinya, lazimnya jurkam memberi pernyataan informasi secara langsung kepada masyarakat, namun secara semantiknya pernyataan informasi tersebut disampaikan secara tidak langsung memberi perintah.

Penggunaan maksim kemurahan dengan daya semiotika fungsi ujar dalam berkampanye dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“Yang sama kita hormati dan kita banggakan, kita sayangi Haji Rambe Kamarul Zaman M.Sc., M.M. selaku komisaris DPP Golkar Pusat dan juga calon anggota DPRD dari Golkar dari SUMUT dua”.

Klausa kutipan di atas bahwa maksim kemurahan menempatkan jurkam sebagai pemberi informasi dan masyarakat sebagai penerima informasi dengan makna daya semiotika jurkam selalu memaksimalkan rasa hormat kepada masyarakat dan meninggikan status sosial masyarakat. Artinya, lazimnya jurkam memberi pernyataan informasi secara langsung kepada masyarakat, namun secara semantiknya pernyataan informasi tersebut disampaikan secara tidak langsung memberi perintah untuk memilih caleg Partai Golkar yang bernama Rambe Kamarul Zaman.

(15)

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

menggunakan maksim ini dalam berkampanye. Penggunaan maksim ini dengan daya semiotika fungsi ujar perintah dalam berkampanye dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“Mohon do‟a restu dan dukungannya!”

Klausa kutipan di atas merupakan pernyataan jurkam Partai Golkar secara tidak langsung memerintah masyarakat untuk memilih caleg Partai Golkar dengan basa-basi bertutur mohon do‟a restu dan dukungannya dalam bentuk imperatif. Artinya, dalam pernyataan tersebut jurkam menggunakan penanda daya semiotika kesantunan mohon dengan meminimalkan rasa hormat pada diri jurkam dan meninggikan status sosial orang lain.

Maksim kesetujuan direalisasikan dengan daya semiotika fungsi ujar tawaran dalam berkampanye dengan modus imperatif. Jurkam dan caleg Partai Golkar menggunakan maksim ini merupakan penggunaan bahasa santun yang ditandai daya semiotika fungsi ujar dengan memaksimalkan kesetujuan dengan masyarakat. Penggunaan maksim ini dengan daya semiotika fungsi ujar perintah dalam berkampanye dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“Suara golkar suara rakyat”

Klausa di atas merupakan pernyataan jurkam dan caleg Partai Golkar secara tidak langsung menawarkan dan memerintah masyarakat untuk untuk bermufakat bahwa suara rakyat itu adalah suara Golkar yang harus diperjuangkan oleh Partai Golkar dan masyarakat. Artinya, maksim kesetujuan yang direalisasikan daya semiotika fungsi ujar bahwa jurkam secara singkat memerintah masyarakat dalam bentuk tawaran yang santun dengan memaksimalkan kesetujuan antara kedua belah pihak yang saling menguntungkan.

Maksim kesimpatian direalisasikan dengan daya semiotika fungsi ujar pernyataan dalam modus imperatif. Maksim ini dalam berkampanye juga digunakan jurkam dan caleg Partai Golkar sebagai upaya untuk menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat. Penggunaan maksim ini dengan daya semiotika fungsi ujar pernyataan dalam berkampanye dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“ Saudara-saudara kemajuan Labura baru lebih kurang dua tahun kita rasakan karena dipimpin oleh Partai Golkar”.

Klausa kutipan di atas merupakan pernyataan jurkam lazimnya direalisasikan dalam fungsi ujar pernyataan dengan modus deklaratif, namun secara semantik merupakan imperatif yang secara tidak langsung memerintah dengan santun. Petanda realisasi itu dengan mengajak masyarakat tetap memilih Partai Golkar karena sudah terbukti hasil pekerjaannya yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Artinya, secara sintaksis merupakan fungsi ujar pernyataan dan secara semantik bukanlah pernyataan, tetapi merupakan imperatif.

(16)

Kesantunan berbahasa ada di dalam berbagai masyarakat bahasa, tetapi cara pengungkapan kesantunan yang dimiliki oleh masyarakat itu berbeda-beda. Kesantunan berbahasa, selain untuk membangun hubungan sosial, digunakan oleh masyarakat untuk bertutur yang santun dan cara untuk menilai tingkat kesantunan tuturan orang lain sebagai strategi kesantunan berbahasa. Strategi kesantunan berbahasa yang dideskripsikan berkaitan dengan cara pemenimalan paksaan terhadap masyarakata dalam konteks dan situasi berlangsungnya komunikasi dalam berkampanye. Realisasi kesantunan bahasa dalam maksim dengan daya semiotika fungsi ujar terlihat ada hubungan secara signifikan. Kesignifikanan itu terlihat bahwa semua maksim direalisasikan dengan daya semiotika fungsi ujar secara sintaksis bentuk pernyataan dengan modus deklaratif dan secara semantik perintah dengan modus imperatif. Dalam perealisasian maksim dengan daya semiotika fungsi ujar adalah secara sintaksis dalam bentuk pernyataan dan tawaran dengan modus deklaratif dan secara semantik dalam bentuk perintah dengan modus imperatif. Artinya, jurkam memberi informasi kepada masyarakat secara tidak langsung dengan daya semiotika perintah yang halus dan sopan. Berdasarkan hal tersebut, realisasi maksim dengan semiotika fungsi ujar bahwa jurkam dan caleg dalam komunikatif berkampanye selalu memaksimalkan keuntungan pada dirinya.

KESIMPULAN

Kesantunan bahasa caleg Partai Golkar dalam berkampanye direpresentasikan melalui kesantunan dalam maksim dilakukan jurkam dan para caleg Partai Golkar berkampanye belum maksimal terialisasi. Hal ini terbukti dari hasil pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2014 dari dua belas partai politik memperebutkan tiga puluh lima kursi hanya enam kursi yang dapat direbut oleh Partai Golkar. Realisasi daya semiotika bahasa jargon caleg Partai Golkar dalam berkampanye yang direalisasikan dalam fungsi ujar pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran. Urutan fungsi ujar yang terbanyak sampai yang terendah digunakan jurkam dan para caleg Partai Golkar adalah fungsi ujar pernyataan, perintah, pertanyaan, dan tawaran. Fungsi ujar berisi informasi dan pesan yang disampaikan jurkam dan para caleg Partai Golkar belum maksimal mempengaruhi masyarakat Labura.

Saran

(1) Bagi mahasiswa S2 dan S3 bahwa penelitian ini belum sempurna memamakai teori LFS. Untuk itu disarankan perlu dilakukan penelitian lagi dengan teori yang sama dengan pendekatan antropolinguistik dan sosiolinguistik.

(2) Penelitian ini baru hanya difokuskan kepada kajian kesantunan bahasa caleg Partai Golkar berkampanye sebagai sebuah masyarakat praktisi. Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti kesantunan bahasa yang digunakan dalam masyarakat praktisi lainnya sebagai perbandingan.

(17)

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

(4) Bagi masyarakat umum yang mencintai dunia politik bahwa penelitian dapat sebagai sumber untuk menambah wawasan dalam berkampanye kepada masyarakat.

(5) Penelitian ini masih lemah pada sumber dan jumlah data yang terbatas oleh karena itu peneliti berikutnya disarankan untuk mempertimbangkan pengambilan data yang lebih bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Johan. (2013). “Representasi Kekuasaan dalam Tuturan Elit Politik Pascareformasi: Pilihan Kata dan Bentuk Gramatikal”. Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia, Tahun ke-27, Nomor 2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Austin, J.L. (1962). How to Do Thingswith Words. London: Oxford University Press.

Bertens. (1993). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.

Beratha, Ni Luh Sudiati. (1998). "Materi Linguistik Kebudayaan" dalam Linguistika Tahun V Edisi 9, Septernber I998. Denpasar Program Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Bogdan, Robert and Taylor Steven J. (1975). Introduction to Qualitative Research Methods. London: Longman.

Brown, Penelope and Stephen C. Levinson. (1978). Politeness Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Chaer, Abdul. (2010). Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Chandler, D. (2008). Semiotics: The Basics. London: Routledge.

Darmojuwono, Setiawan. (2007). “Peran Stereotipe dalam Komunikasi Lintas:

Kasus Indonesia Jerman”. [Jurnal Masyarakat linguistik Indonesia Februari

2007, Tahun ke 25, Nomor 1]. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Djajasudarma, T. Fatimah. (1993). Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco.

Djajasudarma, T. Fatimah, et al. (1997). Nilai Budaya dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depertemen Pendidikan Kebudayaan.

Eco, Umberto. (1979). A Theory of Semiotics. USA: Indian University Press.

Fawcett, R.P. (1984). Foreword. Dalam Fawcett, R.P., M.A.K. Halliday, S. M. Lamb dan A. Makkai (eds) The Semiotics of Culture and Language: Language as Social Semiotics. Vol. 1 London: Frances Pinter.

Fraser, Bruce. (1978). Acquiring Social Competence in a Second Language. RELC Journal 9:1-21.

Guba, Egon G. (1998). Toward Methodology of Naturalistic Inquiry Evaluation. Los Angeles: Center of the Study of Evaluation, UCLA Graduate School of Education, University of California, L.A.

(18)

Gunarwan, Asim. (1992). “Persepsi Kesantunan Direktif di Dalam Bahasa Indonesie di Antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta". [Jurnal Pellba 5]. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Gunarwan, Asim. (1994). “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia -Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmaatik”. [PELLBA 7 Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya: Kelima Bahasa Budaya. Penyunting Bambang Kaswanti Purwo]. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya.

Halliday. M.A.K. (1978). Language, Context and Text: Aspects of Language in a Social-Semiotic Perspective. Oxford: Oxford University Press.

Halliday, M.AK. (1985). An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold.

Halliday, M.AK. (2003). The Language of Early Childhood. London: Continuum.

Halliday, M.AK. (2004). On Language and Linguistics. London: Continuum.

Hanafiah, Ridwan. (2011). “Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dalam Komunikasi Politik Oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh”. [Desertasi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Hasibuan, Namsyah Hot. (2005). “Perangkat Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing)”. [Jurnal LOGAT volume 1].

Iswari, Ery. (2007). “Simbolisme Jender dalam Folklor Makasar”. [Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia Februari 2009, Tahun ke 27, Nomor 1]. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Keraf, Gosys. (1984). Tatabahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.

Kushartanti, B. (2008). “Strategi Kesantunan Bahasa pada Anak-Anak Usia Prasekolah: Mengungkapkan Keinginan”. [Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia Agustus 2009, Tahun ke 27, Nomor 2]. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lakoff, Robin. (1973). “The Logic of Politeness or Minding Tour p’s and q’s”, dalam: Papers from the Ninth Regional Meeting of The Chicago Linguistic Society. Chicago: Linguistics Society.

Lakoff, Robin Tolmach. (1990). Talking Abaut Language. Talking Power. USA: Basic Book.

Lamb, S.M. (1984). Semiotics of Language and Culture: a Relational Approach. Dalam Fawcett, R.P., M.A.K. Halliday, S.M. Lamb and A. Makkai (eds) The Semiotics of Culture and Language: Language and other Semiotics Systems of Culture. Vol. 2 London: Frances Pinter.

Leech, Geoffrey. (1982). Principles of Pragmaatics. London: Longman.

Leech, Geoffrey. (1983). The principles of Pragmatics. Diterjemahkan oleh M.D.D. Oka: Prinsip-Prinsip Pragmatik (1993). Jakarta: Penerbit Universitas lndonesia.

Leeuwen van, T. (2005). Introducing Social Semiotics. London: Routledge.

Levinson, Stephen C. (1983). Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Lubis, Masdiana. (2010). “Struktur dan Strategi Komunikasi dalam Wacana Peradilan

di Medan”. [Desertasi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

(19)

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Martin, J.R. (1985). Language, Register and Gender, dalam Christie, F. (ed), Children Writing: Reader. Victoria: Deakin University Press.

Mallison, Graham and Barry J. Blake. (1981). Language Typologi. Amsterdam: North-Holland.

Miles, M.B. & Huberman. A.M. (1992). Analisa Data Kualitatif. Penerjemah Tjeptjep. Rohendi, Jakarta: Universitas Indonesia.

Moleong. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Murni, Sri Minda. 2008. “Desertasi Berjudul: Kesantunan Linguistik dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara“. [Desertasi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Nurkamto, Joko. (2001).”Berbahasa dalarn Budaya Konteks Rendah dan Budaya Konteks Tinggi". [Jurnal MasyarakatLinguistik Indonesia Agustus 2001]. Jakarta: Atrna Iaya.

Oktavianus. (2002). “Nilai Budaya dalam Ungkapan Minangkabau: Sebuah Kajian dari

Perspektif Antropologi Linguistik”. [Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia

Februari 2006, Tahun 24, Nomor 1]. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Peirce, Charles Sanders. (1940). Logic as Semiotic: The Theory of Sigus. In J. Buchler (ed.) Philosophical Writings of Peirce: Seleetid Writings. London: Routledge & Kegan Paul.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.15 Tahun (2013) Tentang Tatacara Kampanye. Jakarta: Sinar Grafika.

Pramujiono, Agung. (2008). “Kesantunan Positif Komunikasi Dokter-Pasien dalam

Program Konsultasi Seks”. [Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia Agustus 2008,

Tahun ke-26, Nomor 2]. Jakarta: Masyarakat linguistik Indonesia Bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia.

Pranowo. (2009). Bahasa Kesantunan dalam Budaya. Jakarta: PT Gramedia.

Riana, I Ketut. (2003). “Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Kajiannya”. [Pidato sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Linguistik Budaya]. Bali: Universitas Udayana.

Saleh. (2009). “Representasi Kesantunan Berbahasa Mahasiswa dalam Wacana Akademik: Kajian Etnografi Komunikasi di Kampus Universitas Negeri Makasar”. [Desertasi]. Makasar. Universitas Negeri Makasar.

Saragih, Amrin. (2006). Bahasa dalam Konteks Sosial. Medan: PPs Unimed.

Saragih, Amrin. (2012). Semiotik Bahasa. Medan: PPs Unimed.

Saragih, Yenny (2013). “Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Pasisi Barus”. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Saussure, Ferdinand de. (1966). Course in General Linguistics. (Diterjernahkan oleh Wade Baskin dari judul aslinya Course de Linguistique Ge'ne' rale (1961)). New York: McGraw-Hill Paperbacks.

Simpen, I Wayan. (2008). “Kesantunan Berbahasa Pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur”. [Desertasi]. Bali: Universitas Udayana Denpasar.

(20)

Sinar, Tengku Silvina. (2008). Teori Analisis Wacana Pendekatan Sistemik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Siswanto, Edy. (2012). “Kajian Semiotik Budaya Terhadap Syair Dendang Siti Fatimah

Pada Upacara Mengayunkan Anak Masyarakat Melayu Tanjungpura”. [Tesis].

Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sobur, Alex. (2001). Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sudaryanto. (1986). Metode Linguistik ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suprapto, Tommy. (2011). Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: CAPS.

Supriati, Yeni Mulyani. (2007). “Kesantunan Berbahasa dalam Mengungkapkan Perintah”. [Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia Februari 2007, Tahun ke-25, Nomor 1]. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tampubolon, Daulat P. (2001). “Peran Bahasa dalam Pembangunan Bangsa". [Masyarakat Linguistik Indonesia, Februari 200l]. Jakarta: Atma Jaya.

Taylor, Stephan J dan Bogdan, Robert. (1984). Introduction to Qualitative Research Methods: the Search for Meaning. New York: Wiley dan Son Inc.

Undang-Undang Pemilu Republik Indonesi Tahun. (2012). Jakarta: Sinar Grafika.

Wijana, I Dewa Putu. (1996). Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Gambar

Tabel Persentase penggunaan Maksim dalam Berkampanye
Tabel Persentase Fungsi Ujar dalam Berkampanye
Tabel Hubungan Kesantunan Bahasa Antara Maksim dengan Modus

Referensi

Dokumen terkait

(2) Permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas paling lama 3

(4A); (b) permasalahan pembangunan mendasar yang mendesak untuk diselesaikan seperti kemiskinan—dimensi SARA dan ketidak- adilan sosial (dan teknologis) dari kemiskinan,

M UHTARUDIN dan L IMAN (2006) melaporkan bahwa penambahan mikromineral ke dalam ransum dengan dosis sebesar 1,0 kali dari rekomendasi NRC (1988) akan menghasilkan nilai KCBK dan

Siswa diminta menuliskan hasil analisis tentang hubungan antara ciri-ciri hewan dengan habitatnya menggunakan kalimat efektif dengan memperhatikan unsur apa, di mana,

Cuci alat penyaring yang akan dipakai dengan pelarut, keringkan dalam oven pada suhu 103°C selama 30 menit, dinginkan dalam desikator selama 15 menit, timbang.. Tambahkan 50 ml

11 Rino Adi Nugroho (2010) Analisis Perbandingan Efisiensi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dengan metode Stochastic Frontier Analysis periode

Dari perbandingan antara hasil simulasi dan eksperimen dapat diketahui bahwa melalui analisis simulasi untuk densitas dapat diperoleh perubahan yang konstan akibat

3.6.1.1.2 Menyusun angket variabel penelitian, yakni variabel standardisasi kompetensi profesionalisme konselor, angket performansi aktual kompetensi konselor