• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Berbagai Konsentrasi Khitosan Dan Fipronil Terhadap Pengendalian Hama Rayap Tanah Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera ; Termitidae) Di Laboratorium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penggunaan Berbagai Konsentrasi Khitosan Dan Fipronil Terhadap Pengendalian Hama Rayap Tanah Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera ; Termitidae) Di Laboratorium"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN BERBAGAI KONSENTRASI KHITOSAN DAN

FIPRONIL TERHADAP PENGENDALIAN HAMA RAYAP

TANAH Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera ; Termitidae)

DI LABORATORIUM

SKRIPSI

OLEH :

DORIS ROASIANNA L TOBING 020302016

HPT

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENGGUNAAN BERBAGAI KONSENTRASI KHITOSAN DAN

FIPRONIL TERHADAP PENGENDALIAN HAMA RAYAP

TANAH Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera ; Termitidae)

DI LABORATORIUM

SKRIPSI

OLEH :

DORIS ROASIANNA L TOBING 020302016

HPT

Skripsi Merupakan Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

( Prof. Dr. Ir. Darma Bakti,MS ) ( Ir. Syahrial Oemry, MS ) Ketua Anggota

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sidikalang pada tanggal 03 Oktober 1984, anak dari Bapak T. H. L Tobing dan Ibu R br Purba Tondang. Penulis merupakan anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara.

Pendidikan yang telah ditempuh adalah :

- Tahun 1996 lulus dari SD Negeri No. 033911 Belang Malum, Sidikalang - Tahun 1999 lulus dari SLTP Swasta St. Paulus Sidikalang

- Tahun 2002 lulus dari SMUN I Sidikalang

- Tahun 2002 diterima di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian USU, Medan melalui jalur SPMB.

Selama Perkuliahan penulis mengikuti beberapa kegiatan, yaitu :

- Tahun 2002 menjadi anggota dalam organisasi IMAPTAN (Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman) FP, USU.

- Tahun 2003 hingga sekarang mengikuti kegiatan mahasiswa UKM KMK USU UP FP sebagai Anggota Kelompok Kecil. Tahun 2005-2006 menjadi pengurus sebagai Anggota Komisi Doa dan PI dan 2006-2007 sebagai Tim Koordinator Komisi Doa dan PI di UKM KMK USU UP FP

- Tahun 2006 menjadi Asisten di Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman Sub-Hama, Fakultas Pertanian USU, Medan

- Tahun 2006 melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Pengembangan Proteksi Tanaman Perkebunan (BP2TP) Sumatera Utara, Medan - Tahun 2007 melaksanakan Praktek Skripsi di Laboratorium Hama dan Penyakit,

(4)

ABSTRAK

Doris Roasianna L Tobing, “ Penggunaan berbagai konsentrasi khitosan terhadap pengendalian hama rayap tanah Macrotermes gilvus ( Isoptera : Termitidae ) di laboratorium. Rayap merupakan serangga sosial dan hidup dalam suatu koomunitas. Di dalam koloni rayap terdapat 3 kasta yaitu kasta prajurit, kasta pekerja dan kasta reproduktif. Rayap mengakibatkan kerugian yang sangat besar dan kerusakan yang cukup parah bagi kehidupan manusia dan merupakan rayap perusak seperti bangunan, perumahan, tanaman, arsip, buku. Berbagai metode telah dilakukan untuk mengendalikan serangan rayap dari yang sederhana sampai yang rumit hingga yang ramah lingkungan sehingga ditemukan khitosan. Khitosan sebagai bahan aktif pengganti bahan kimia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan berbagai konsentrasi khitosan terhadap pengendalian hama rayap tanah

Macrotermes gilvus di laboratorium. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Penggunaan Berbagai Konsentrasi Khitosan Terhadap Pengendalian Hama Rayap Tanah Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera :

Termitidae) di Laboratorium”.

Adapun tujuan dan kegunaan Skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk dapat melaksanakan penelitian di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkannya.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen yang telah membimbing penulis, yaitu bapak Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS selaku ketua pembimbing dan bapak Ir. Syahrial Oemry, MS selaku anggota pembimbing.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu Ir. Marheni, MP selaku ketua Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Fakultas Pertanian USU, bapak Prof. Dr. Ir. Zulkifli Nasution, MSc, Ph.D selaku Dekan Fakultas Pertanian USU, bapak Darsono dan Kak Helmi selaku KTU di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan FP USU.

(6)

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih kurang sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan sumbangan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan Skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terimakasih, semoga Skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2006

(7)

DAFTAR ISI

2. Persiapan Serangga Uji dan aplikasi Khitosan ... 18

(8)

Persentase Mortalitas Macrotermes gilvus ... 20 Gejala Serangan Khitosan terhadap Rayap tanah ... 24

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 25 Saran ... 25 DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

NO Keterangan Hal

1. 1.Rataan Persentase Mortalitas Rayap untuk setiap

Perlakuan selama 3 kali pengamatan 20

2. 2.Rataan Persentase Mortalitas M gilvus untuk pengama

tan I ( 1 HSA) 21

3. 3.Rataan Persentase Mortalitas M gilvus untuk pengama

(10)

DAFTAR GAMBAR

NO. Keterangan Hal

1. 1. Koloni Rayap Macrotermes gilvus Hagen 7

2. 2. Serbuk Khitosan 14

3. 3. Larutan Khitosan dengan Fipronil 14

4. 4. Grafik Rataan Persentase Mortalitas Rayap 23 5. 5. Gejala Serangan rayap akibat pemberian Khitosan 24

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

NO Keterangan Hal

1. 1. Data Persentase Mortalitas rayap

Macrotermes gilvus Hagen 29

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rayap adalah serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang disebut koloni. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk hidup lebih lama bila tidak berada dalam koloninya. Komunitas tersebut bertumbuh efisien dengan adanya spesialisasi (kasta) dimana masing-masing kasta mempunyai bentuk dan peran yang berbeda dalam kehidupannya. Di dalam setiap koloni rayap, terdapat tiga kasta yang berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing yaitu ; kasta prajurit, kasta pekerja dan kasta reproduktif (Nandika , dkk, 2003).

Penyebaran rayap berhubungan dengan suhu dan curah hujan sehingga sebagian besar jenis rayap terdapat di dataran rendah tropik dan hanya sebagian kecil ditemukan di dataran tinggi. Sebarannya cenderung meluas ke daerah-daerah temperate dengan batas-batas 500 LU dan 500 LS. Demikian juga beberapa genus rayap hidup di daerah–daerah yang sangat dingin, seperti ; Archotermepsis,

Zootermepsis, Prototermes, sedangkan Coptotermes banyak di jumpai di

daerah-daerah tropik Afrika, Australia, Kepulauan Pasifik, Jepang. Rayap tingkat tinggi (Termitidae) hanya dijumpai di daerah tropik (Nandika, dkk, 2003).

(13)

Beberapa jenis serangga yang mengakibatkan kerugian bagi kehidupan manusia, seperti rayap perusak yang merusak bangunan, perumahan, tanaman, buku, arsip atau dokumen lainnya. Saat ini rayap perusak termasuk serangga yang meresahkan masyarakat. Serangannya sangat cepat dan menimbulkan kerusakan yang cukup parah. Di Indonesia, kerugian akibat serangan rayap perusak bisa mencapai 224-238 milyar per tahun. Untuk ukuran dunia akan dipastikan lebih besar dari nilai tersebut (Metcalf and Flint, 1982).

Semua jenis rayap bisa memakan jenis kayu dan bahan berselulosa tinggi, tetapi perilaku makan (feeding behavior) setiap jenis rayap berbeda. Inilah yang menjadi salah satu keunikan perilaku rayap. Di dalam usus bagian belakang rayap dari sistem pencernaannya terdapat berbagai protozoa flagellate yang berperan sebagai simbion dalam sistem pencernaan rayap yang mampu menguraikan selulosa menjadi bahan yang dapat diserap rayap (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).

Upaya pencegahan dan pengendalian serangan rayap harus memperhatikan karakteristik rayap seperti jenis rayap, habitat rayap, cara menyerang dan tanda serangan rayap. Berbagai metode telah dilakukan untuk pengendalian serangan rayap dari metode yang murah sampai yang mahal serta dari yang sederhana sampai yang rumit hingga yang ramah lingkungan (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).

(14)

Khitosan berasal dari khitin yang telah mengalami proses kehilangan gugus asetil (deasetilasi) (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).

Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, tersi dan bahan pakan pencampur ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan (Marganof, 2005).

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui penggunaan berbagai konsentrasi khitosan terhadap pengendalian rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera : Termitidae) di Laboratorium.

Hipotesa Penelitian

Di duga semakin tinggi konsentrasi Khitosan yang diberikan maka semakin tinggi tingkat mortalitas rayap.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk dapat meraih gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Rayap Sebagai Hama Perusak

Rayap dalam biologi adalah sekelompok hewan dalam salah satu ordo yaitu ordo Isoptera dari kelas Arthropoda. Ordo Isoptera beranggotakan sekitar 2000 spesies dan di Indonesia tercatat kurang lebih 200 jenis (spesies). Nama lain dari rayap adalah anai-anai, semut putih, rangas dan laron (khusus individu bersayap, alates) (Tarumingkeng, 2005a ).

Terdapat tiga famili rayap perusak kayu yaitu famili Kalotermitidae,

Rhinotermitidae dan Termitidae. Masih banyak jenis-jenis rayap yang juga

penting tetapi agak jarang di jumpai menyerang bangunan (Tarumingkeng, 2005b).

Rayap Macrotermes gilvus Hagen termasuk ke dalam famili Termitidae sebagai rayap tingkat tinggi. Jenis rayap ini sebagian besar menyerang tanaman perkebunan, seperti kelapa, karet, kelapa sawit dan kakao. Mereka hidup di dalam tanah yang banyak mengandung bahan berlignoselulosa seperti kayu yang telah mati . Adanya serangan rayap pada tanaman tidak dapat dilihat sejak awal karena

bagian yang biasa di serang ada di bawah permukaan tanah (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).

(16)

cocok untuk di serang. Kerusakan juga telah dilaporkan pada tanaman kopi, sawit, kelapa, pohon buah-buahan dan singkong. Mereka membuat lumpur sebagai penutup pada kulit kayu di batang pohon setinggi 2-3 m (Kalshoven, 1981).

Rayap Macrotermes gilvus Hag. merupakan hama penting pada tanaman perkebunan khususnya pada perkebunan kelapa sawit dan kelapa, juga menyerang beberapa spesies tanaman kehutanan. Tingkat serangannya pada tanaman kayu putih menyebabkan kematian hingga 71 % (Nandika, dkk, 2003)

Biologi Rayap

Menurut Nandika (2003), Macrotermes gilvus berasal dari ordo Isoptera, famili dari Termitidae.

Telur

Individu betina pertama yang disebut ratu meletakkan beribu-ribu telur yang kemudian menetas dan berkembang menjadi individu-individu yang polimorfis-sub kelompok yang berbeda bentuk yaitu kasta pekerja, kasta prajurit dan neoten (Tarumingkeng, 2005b).

Nimfa

Nimfa muda akan mengalami pergantian kulit sebanyak 8 kali, sampai kemudian berkembang menjadi kasta pekerja, prajurit dan calon laron. Jenis rayap

Macrotermes melakukan kopulasi 3-8 hari (Nandika, dkk, 2003).

(17)

tidak jelas, pendek dan melingkar. Labrum mempunyai hialin pada ujungnya. Antena terdiri dari 16-17 ruas (Nandika, dkk, 2003).

Kasta Rayap

Terdapat 2 jenis kasta prajurit M. gilvus kasta prajurit yang besar dan kasta prajurit yang kecil. Kasta prajurit mayor, kepala berwarna coklat kemerahan dengan lebar 2,88-3,10 mm. panjang kepala dengan mandible 4,80-5,00 mm. Antena 17 ruas, ruas ketiga sama panjang dengan ruas kedua, ruas ketiga lebih panjang dari ruas ke empat. Sedangkan kasta prajurit minor, kepala berwarna coklat tua, dengan lebar 1,52-1,71 mm, panjang kepala dengan mandibel 3,07-3,27 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,84-2,08 mm. Antena 17 ruas, ruas kedua sama panjang dengan ruas keempat (Nandika, dkk, 2003).

Koloni rayap yang merupakan jenis serangga sosial terbagi atas tiga kasta yang memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda. Ketiga kasta tersebut adalah kasta reproduktif, kasta pekerja dan kasta prajurit. Tidak kurang dari 80-90% populasi koloni rayap merupakan rayap kasta pekerja (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).

Kasta reproduktif terbagi atas ratu yang tugasnya bertelur untuk menghasilkan rayap yang baru dan raja yang bertugas membuahi ratu. Kasta ini

terdiri dari kasta reproduktif primer dan suplementer (neoten) (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).

(18)

dalam sarang dan ratu tambahan di bangun di dalam koloni (Boror and De Long, 1971).

Kasta pekerja terdiri dari nimpha dan dewasa yang steril, memiliki warna yang pucat dan mengalami penebalan di bagian kutikula, tanpa sayap dan biasanya kekurangan komposisi mata, memiliki mandibel yang relatif kecil, setiap individu ini kebanyakan bertanggungjawab pada seluruh koloni, mengumpulkan makanan dan memberi makan ratu dan prajurit dan menetaskan individu baru,

membangun sarang dan daya jelajah, terowongan dan serambi (Borror and De Long, 1971).

Kasta prajurit terdiri dari dewasa steril yang memiliki kepala dan mandibel yang membesar. Karena mandibel yang besar sehingga serangga tidak mampu dimasukkan sebagai makanannya sendiri dan harus di beri makan oleh pekerja. Tidak memiliki komposisi mata, ketika mereka di ganggu, tentara menyerang hama yang masuk; jika lobang kecil ditusukkan ke dinding serambi, mereka berusaha untuk menyumbatnya dengan kepalanya (Borror and De Long, 1971).

Gambar 1. Koloni rayap Macrotermes gilvus

(19)

Diakses tanggal 25 Agustus 2006

Perilaku Rayap

Satu koloni terbentuk dari sepasang laron (alates) betina dan jantan yang melakukan kopulasi dan mampu memperoleh habitat yang cocok yaitu bahan berselulosa untuk membentuk sarang utama. Koloni rayap juga terbentuk dari fragmen koloni yang terpisah dari koloni utama karena sesuatu bencana yang menimpa koloni utama itu (Tarumingkeng, 2005a).

Pola perilaku rayap adalah sifat kriptobiotik atau sifat selalu menyembunyikan diri, mereka hidup dalam tanah dan bila akan invasi mencari objek makanan juga menerobos di bagian dalam, bila perlu lapisan logam tipis dan tembok (apalagi plastik) ditembusinya dan bila terpaksa harus berjalan di permukaan yang terbuka. Mereka membentuk pipa pelindung dari bahan tanah atau humus (Sheltertubes) (Tarumingkeng, 2005a).

Untuk mendeteksi jalur yang dijelajahinya, individu rayap yang berada di depan mengeluarkan feromon penanda jejak (trail following pheromone) yang keluar dai kelenjar sternum (sternal gland di bagian bawah, belakang abdomen) yang dapat dideteksi oleh rayap berada di belakangnya. Terhambatnya pembentukan neoten yang disebabkan oleh adanya semacam feromon dasar yang dikeluarkan oleh ratu, yang menghambat diferensiasi kelamin (Anonimus, 2006a) .

(20)

potensial untuk di makan rayap. Bagi rayap subteran (bersarang di dalam tanah tetapi dapat mencari makanan sampai jauh di atas tanah) keadaan lembab mutlak diperlukan (Tarumingkeng, 2005b).

Rayap muda yang baru saja di tetaskan dari telur belum memiliki protozoa yang diperlukannya untuk mencerna selulosa. Demikian pula setiap individu rayap yang baru saja berganti kulit tidak memiliki protozoa karena simbion ini telah dikeluarkan bersama kulit yang ditanggalkannya. Individu rayap diberi re-infeksi protozoa oleh para pekerja dengan melalui trofalaksis. Trofalaksis adalah perilaku berkerumun di antara anggota-anggota koloni dan saling menjilat anus dan mulut, sehingga protozoa ini dapat ditularkan pada individu-individu lain (Tarumingkeng, 2005b).

Siklus Hidup Rayap

Siklus hidup perkembangan rayap adalah melalui metamorfosa hemimetabola, yaitu secara bertahap, yang secara teori melalui stadium (tahap petumbuhan) telur, nimfa, dewasa. Walau stadium dewasa pada serangga umumnya terdiri atas individu-individu bersayap (laron) (Tarumingkeng, 2005b).

Perubahan yang gradual ini berakibat terhadap kemasaman bentuk badan secara umum, cara hidup dan jenis makanan antara nimfa dan dewasa. Namun nimfa yang memiliki tunas, sayapnya akan tumbuh sempurna pada instar terakhir ketika rayap telah mencapai tingkat dewasa (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).

(21)

Koloni rayap berperan penting dalam siklus biogeochemical (dekomposer bahan organik) seperti siklus nitrogen, karbon, sulfur, oksigen dan fosfor. Rayap mudah beradaptasi dengan lingkungannya di hampir semua bentuk ekosistem. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap aktivitas rayap. Rayap lebih senang di sarangnya pada tengah hari sampai awal sore hari. Curah hujan juga berpengaruh dalam membangun sarang dan aktivitas jelajah rayap (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).

Sarang rayap Macrotermes dapat mencapai ketinggian lebih dari 10 meter dan berdiri dengan sangat kokoh yang tidak mudah hancur oleh hujan atau hempasan angin (Kalshoven, 1981).

Rayap tanah seperti Macrotermes memerlukan kelembaban yang tinggi. Perkembangan optimumnya dicapai pada kisaran kelembaban 75-90 %. Pada

sebagian besar serangga kisaran suhu optimum adalah 15-380 C (Nandika, dkk, 2003).

Pengendalian Rayap

1. Pengendalian Hama Terpadu Pada Rayap

(22)

Dampak penggunaan pestisida merupakan kekhawatiran yang telah lama muncul. Oleh karena itu, pengendalian rayap di masa kini dan di masa depan tidak hanya bertumpu pada pemakaian pestisida. Pengendalian rayap dan lingkungan agroekosistem harus mulai menggunakan pendekatan pengendalian hama secara terpadu (Integrated Termite Manajemen). Pengendalian ini memiliki dasar ekologis, biologi dan tingkah laku serangga. Pengendalian secara terpadu, pada lingkungan agroekosistem akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Pengendalian rayap secara terpadu adalah bagian dari tindakan budidaya (Nandika, dkk, 2003).

Pelaksanaan teknis penanggulangan rayap yang menyerang agrikultura adalah terdiri atas tindakan-tindakan, tanah di sekeliling lingkungan tanaman harus dibersihkan dari sampah tanaman, sisa-sisa kayu membusuk yang terpendam dan sisa-sisa akar (Hasan, 1986).

Dengan demikian pada umumnya, dan penggunaan secara klasik pengendalian biologis mempunyai keunggulan ekonomis yang besar. Pemakaian bahan kimia jauh lebih menyerap biaya-biaya yang terjadi berulang kali (Huffaker dan Messenger, 1989).

(23)

2. Khitosan

Rouget pada tahun 1859, telah menyediakan suatu bahan yang dinamainya kitin dengan merefleksikan kitin dengan larutan KOH pekat. Bahan tersebut didapati melarut di dalam asid organik cair. Komposisi kitin dan khitosan telah dipastikan pada tahun 1902 oleh Frankel dan Kelly. Sehingga pada tahun 1970-an penekanan terhadap kitin dan kitosan telah dipelopori. Semenjak itu penyelidikan berkembang dengan pesat di seluruh dunia, terutama di AS, Korea dan Eropah Utara sampai pada tahun 1980, dikenal pasti dengan proses kimia

(Anonimus, 2006b).

Sumber : Diakses 28 Januari 2006

Khitin dari limbah udang dapat diubah menjadi khitosan melalui proses deasetilasi. Lama proses deasetilasi mempengaruhi nilai derajat deasetilasi khitosan yang dihasilkan. Dalam penelitian khitosan ini mempunyai derajat deasetilasi khitosan sebesar 58,50%; 60,66%; 60,90 % dan 64, 04 %, sesuai dengan lama proses deasetilasi selama 1,3,5,7 jam (Mulyono, 2005).

(24)

Fipronil dipergunakan untuk mengendalikan rayap pada tanaman. Fipronil memiliki mekanisme mengganggu sistem syaraf pusat khususnya gangguan pada pertukaran ion-ion klorida melalui Gamma Amino Butyric Acid (GABA) pada serangga lebih tinggi bila dibandingkan dengan mamalia, sehingga penggunaan insektisida ini diharapkan relatif kurang berbahaya pada hewan mamalia maupun manusia ( Nandika, dkk, 2003).

Fipronil diproduksi oleh percobaan pada 5-amino-3-cyani-1-(2,6-dichloro-4-4trifluoromethyl phenyl) pyrazole dengan trifluoromethyl sulfenyl chloride. Fipronil adalah insektisida berspektrum luas untuk mengendalikan spesies serangga pada range yang luas sewaktu panen (Muller, 2000).

Fipronil mempunyai selektivitas yang tinggi terhadap hama sasaran. Fipronil efektif melawan serangga hama yang tebal resisten oleh pestisida konvensional karena cara kerjanya yang berbeda dengan insektisida sebelumnya (Anonimus, 1996).

Sumber : Diakses 13 September 2007

Sumber dan Cara Membuatnya

(25)

senyawa tersebut. AS misalnya, mengenakan embargo udang dari Indonesia karena disinyalir kandungan antibiotik pada tubuh udang tersebut cukup tinggi. Salah satu dampaknya adalah produksi limbah udang akan meningkat. Ternyata, kulit dan cangkang udang juga merupakan bahan baku untuk membuat khitin dan khitosan (Anonimus, 2004).

Limbah udang yang berupa kulit kepala dan ekor dengan mudah didapatkan mengandung senyawa kimia berupa kitin dan khitosan. Senyawa ini dapat dimanfaatkan dan diolah sebagai bahan penyerap logam, karena senyawa khitin dan khitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifitas kimia yang tinggi (Marganof, 2006).

Pengaplikasian khitosan diperkirakan dapat membasmi seluruh koloni rayap karena memiliki perilaku trofalaksis, sehingga khitosan cepat menyebar kepada rayap lainnya. Khitosan bersifat nontoksik dan akan mengganggu kinerja protozoa dalam sistem pencernaan rayap yang menyebabkan rayap sulit

(26)

Gbr 2. Serbuk Khitosan (Foto Langsung)

Gbr 3. Larutan Khitosan dengan fipronil sebagai pembanding (Foto langsung)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

(27)

ketinggian ± 25 m di atas permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2007 hingga selesai.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah hama rayap tanah (Macrotermes gilvus Hagen), limbah cangkang udang, ekstrak kulit udang (serbuk khitosan) dengan konsentrasi yang ditentukan, Air, CH3COOH (asam asetat) 1 %, HCl 1 N, Sodium Hidroksida 3,5 %, Fipronil sebagai pembanding.

Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah stoples, kain kasa, karet gelang, handsprayer, label nama, kaca pembesar, mikroskop, handcounter, ayakan 40-60 mesh, gilingan (blender), oven, panci, kain muslin, erlenmeyer, kompor gas.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial yang terdiri dari 6 perlakuan :

K0 : Kontrol (tanpa perlakuan)

K1 : 5 gr serbuk khitosan/ 500 ml CH3COOH K2 : 10 gr serbuk khitosan/ 500 ml CH3COOH K3 : 15 gr serbuk khitosan/ 500 ml CH3COOH K4 : 20 gr serbuk khitosan/ 500 ml CH3COOH K5 : Fipronil ( 3 ml/ L)

(28)

6 (n-1) ≥ 15 6 n-6 ≥ 15

6 n ≥ 21

n ≥ 3,5 ulangan yang digunakan = 4 Model linier rancangan yang digunakan adalah :

Yij = µ + i + j + ij

Keterangan :

Yij = Data pengamatan dari setiap perlakuan µ = Nilai tengah umum

i = Pengaruh ulangan ke-i j = Pengaruh perlakuan ke-j

ij = Galat percobaan pada ulangan ke-i dan ke-j

Jika hasil analisa menunjukkan nilai nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncan (DMRT) (Sastrosupadi, 2000).

Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Serbuk Khitosan

Khitosan dapat dihasilkan dari limbah cangkang melalui beberapa proses yaitu demineralisasi, deproteinasi cangkang udang , deasetilasi khitin menjadi khitosan.

a. Demineralisasi

(29)

cangkang udang tadi di cuci menggunakan air panas sebanyak 2 kali sambil diaduk, kemudian di rebus selama 10 menit. Setelah di rebus, cangkang udang ditiriskan dan dikeringkan.

Cangkang udang yang sudah kering digiling sampai menjadi serbuk berukuran 40-60 mesh. Setelah itu, serbuk cangkang udang dicampur dengan asam klorida (HCl) 1 N dengan perbandingan 10 : 1. Larutan tersebut diaduk secara merata selama 1 jam, lalu dipanaskan pada suhu 900 C selama 1 jam.

Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral. Selanjutnya, residu padatan ini dikeringkan dalam oven pada suhu 800 C selama 24 jam atau dijemur sampai kering.

b. Deproteinasi

Limbah udang yang telah didemineralisasi (residu padatan yang sudah kering) dicampur dengan larutan Sodium Hidroksida 3,5 % dengan perbandingan pelarut dan cangkang udang sebesar 6 : 1. Larutan tadi diaduk secara merata selama 1 jam, lalu dipanaskan pada suhu 900 C selama 1 jam.

Setelah itu, larutan disaring dan didinginkan hingga diperoleh residu padatan. Residu padatan ini dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 800 C selama 24 jam atau dijemur sampai kering.

c. Deasetilasi khitin menjadi khitosan

(30)

dengan air sampai pH netral. Lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 700 C selama 24 jam atau dijemur sampai kering.

2. Persiapan Hama dan Pengaplikasian Khitosan

Rayap tanah Macrotermes gilvus sebagai hama yang diberi perlakuan , diambil koloninya pada kayu yang diserang bersama dengan sarang-sarangnya. Kemudian disediakan stoples lalu dimasukkan hama beserta sarangnya. Diaplikasikan khitosan dengan berbagai konsentrasi terhadap perlakuan yang telah ditentukan dengan cara dioleskan. Lalu setelah satu hari aplikasi dihitung persentase mortalitas kasta rayap per perlakuan, dihitung rayap yang mati dan diamati gejala kematian pada rayap akibat pemberian khitosan tersebut.

Peubah Amatan

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah : 1.Persentase Mortalitas Rayap

Persentase mortalitas rayap yang dihitung adalah mortalitas rayap per perlakuan. Pengamatan terhadap persentase mortalitas dilakukan pada waktu dengan interval 2 hari, yaitu 1,3,5….setelah aplikasi kitosan. Pengamatan persentase kematian rayap setelah aplikasi diperoleh dari hasil pengamatan parameter jumlah rayap yang mati/ ekor kemudian dihitung persentase mortalitas rayap dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

rayap yang mati

(31)

Untuk membandingkan perlakuan terhadap control digunakan rumus Abbott’s Formula,CRI ( Corrective Relative Infestation) yaitu :

Control pre x Treatment post

CRI = --- x 100% Control post x Treatment pre

Keterangan :

Control pre : Jumlah populasi control sebelum aplikasi

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Mortalitas Rayap Macrotermes gilvus Hagen.

Hasil analisis sidik ragam penggunaan berbagai konsentrasi khitosan terhadap pengendalian hama rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen di laboratorium menunjukkan pengaruh nyata. Hasil Uji jarak Duncan beserta

persentase mortalitas pada masing-masing perlakuan selama pengamatan (Tabel 1) ,

Tabel 1. Rataan Persentase Mortalitas Rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen untuk setiap perlakuan selama 3 kali pengamatan

Perlakuan Pengamatan Keterangan : Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan

pengaruh tidak berbeda nyata pada taraf 5 % dengan Uji Jarak Duncan

(33)

Table 2. Rataan Persentase mortalitas M. gilvus untuk pengamatan I (1 hari setelah aplikasi ) pada taraf 0,05

Perlakuan Ulangan Total Rataan Notasi

I II III IV

Keterangan : Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata pada taraf 5 % dengan Uji Jarak Duncan

Pada pengamatan pertama (1 HSA) terlihat bahwa perlakuan K5,K4,K3 berbeda nyata dengan perlakuan K0,K1 dan K2. Sedangkan pada perlakuan K0,K1 dan K2 menunjukkan perbedaan tidak nyata antara satu dengan yang lainnya dari ketiga perlakuan tersebut. Dari Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa untuk pengamatan I (1 HSA) perlakuan K5 juga berbeda nyata dengan perlakuan K3 dan K4. Dari hasil penelitian bahwa konsentrasi terendah belum menunjukkan gejala kematian pada rayap pada perlakuan K1 dan K2 tetapi pada K3 dan K4 sudah langsung menunjukkan gejala kematian. Demikian juga pada perlakuan fipronil sudah langsung menunjukkan gejala kematian dan lebih cepat membunuh rayap.

Tabel 3. Rataan Persentase mortalitas M. gilvus untuk pengamatan II (3 hari setelah aplikasi ) pada taraf 0,05

Perlakuan Ulangan Total Rataan Notasi

(34)

K5 ( 3 ml fipronil ) 100,00 100,00 100,00 100,00 202,00 400,00

100,00 a

Total 229,10 340,15 285,27 300,22 1154,74

Rataan 38,18 56,69 47,55 50,04 48,11

Dari Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa pada perlakuan K5 berbeda nyata dengan K0,K1,K2,K3,K4. Sedangkan K4,K3,K2,K1 berbeda nyata dengan kontrol (K0). Pada pengamatan ini diketahui bahwa pada kontrol (K0) terjadi mortalitas pada rayap M. gilvus yaitu sebesar 11,77 %. Untuk melihat persentase mortalitas rayap M. gilvus yang murni akibat efektifitas dari insektisida digunakan rumus Abbout, tetapi rumus Abbout tidak dapat digunakan untuk data hasil pengamatan karena jumlah populasi serangga uji pada kontrol tidak sama di masing-masing perlakuan ( hal ini berlaku untuk masing-masing ulangan ), sehingga plot kontrol tidak bisa sebagai pembanding untuk setiap perlakuan.

Pada pengamatan ini juga dapat dilihat bahwa mortalitas rayap akibat pemberian fipronil menunjukkan hasil 100 %. Penggunaan fipronil (3 ml/L) dibandingkan dengan khitosan lebih cepat menunjukkan angka kematian pada setiap ulangan. Daya bunuh fipronil sebagai insektisida memberikan pengaruh yang sangat cepat terhadap mortalitas rayap M. gilvus. Hal ini dapat dilihat pada 1 HSA dengan jumlah 60,98 %.

(35)

0

Prasetyo dan Yusuf ( 2005 ) khitosan bersifat non toksik dan mengganggu kinerja protozoa dalam sistem pencernaan rayap yang menyebabkan rayap sulit mendapatkan makanan yang dihasilkan oleh protozoa.

Khitosan yang berinteraksi dengan kutikula rayap sehingga rayap mengalami kematian. Sesuai dengan Marganof yang menyatakan senyawa kutikula serangga yang mengandung khitin dan khitosan mudah bereaksi dengan protein yang dikandung oleh makanan rayap.

Pada pengamatan yang terakhir dapat dilihat bahwa perlakuan K0 berbeda nyata terhadap perlakuan yang diberi khitosan (K1,K2,K3,K4,K5). Sedangkan perlakuan yang diberi khitosan (K1,K2,K3,K4) menunjukkan tidak berbeda nyata, diantara masing-masing perlakuan tersebut. Hal ini ditandai dengan matinya semua rayap pada setiap perlakuan.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini;

Gambar 4. Grafik Rataan Persentase Mortalitas Rayap M. Gilvus (Keterangan: PI = pengamatan I, PII= pengamatan II, PIII= pengamatan III)

(36)

(2005) Trofalaksis yaitu menjilati mulut antar rayap untuk memberikan cairan makanan, sehingga kinerja protozoa dalam sistem pencernaan terganggu.

Gejala serangan Khitosan terhadap Macrotermes gilvus Hagen.

Berdasarkan hasil pengamatan pada pemberian perlakuan khitosan dapat dilihat bahwa M. gilvus pada awalnya, beberapa hari setelah aplikasi menunjukkan perubahan kurang aktif bergerak, baik pada kasta prajurit dan pekerja. Tetapi kemudian rayap pekerja aktif kembali bergerak dan berusaha untuk menghindar dari cahaya. Pada hari pertama setelah aplikasi, ditemukan rayap yang mati pada konsentrasi yang lebih tinggi (K4) menunjukkan perubahan warna pada abdomen kasta pekerja berwarna kehitaman dan pada kasta prajurit berwarna lebih tua dari coklat kemerahan, tubuh rayap juga menjadi kering dan mudah hancur.

Dengan adanya perubahan tersebut sesuai dengan Nandika,dkk (2003) dapat diketahui bahwa komponen esensial di dalam kutikula rayap adalah khitin, yang sangat resisten terhadap bahan kimia sangat keras dan sukar diuraikan.

A

(37)

Gbr 5. Gejala serangan akibat khitosan terhadap Rayap

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pemberian khitosan memiliki pengaruh yang nyata dan efektif dalam mengendalikan hama rayap tanah Macrotermes gilvus.

2. Persentase mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan K4 dengan konsentrasi khitosan sebesar 50,5 % dan terendah pada perlakuan K2 36,67 % pada pengamatan kedua.

3. Pada pengamatan terakhir semua perlakuan memiliki persentase 100 % kecuali pada kontrol sebesar 83,29 %.

4. Gejala kematian rayap akibat perlakuan khitosan pada abdomen kasta pekerja berwarna kehitaman dan kering.

5. Kecepatan membunuh fipronil lebih cepat (60,98 %) pada pengamatan pertama karena bahan aktif kimia yang sangat tinggi sehingga merusak system saraf dibandingkan dengan khitosan.

Saran

(38)

(Macrotermes gilvus) dan dicobakan pada spesies rayap lain seperti Cryptotermes cynocephalus yang merusak di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 1996. Technical Buletin Asia. Pasific Zone. PT. Rhone Poulenc Agricarb. Jakarta. 18 Hal

________, 2004. Kelautan dan Perikanan, Mengharap Kenaikan Devisa dan

Menurunnya Stok Udang.

(diakses 28 Januari 2006).

________, 2006a. Feromon

________, 2006b. Sejarah Khitosan.

________, 2007. Fipronil.

September 2007).

Borror, D.J. and D.M. DeLong, 1971. An Introduction to The Study of Insects. United State of America. Hal. 153.

Hasan, T. 1986. Rayap dan Pemberantasannya (Penanggulangan dan Pencegahan). Yasaguna. Jakarta.

Kalshoven, L.G.E., 1981. Pest Of Crops In Indonesia. Ichtiar baru-Van Hoeve. Jakarta. Hal 73-75.

(39)

Metcalf C.L. and W.P. Flint, 1982. Destructive and Useful insects Their Habits and Control. Tata McGraw-Hill Publishing Company. New Delhi. Hal 39-40.

Muller, F., 2000a. Agrochemicals, Composition, Production, Toxicology, Application. Wiley-VCH. Federal Republik of Germany.

Mulyono, S., 2005. Pengaruh Derajat Deasetilasi Khitin Terhadap Permeabilitas

Membrane Khitosan Berikat Silang.

Nandika, D., Y. Rismayadi dan F. Diba, 2003. Rayap, Biologi dan Pengendaliannya. Muhammadiyah University Press. Surakarta.

Prasetiyo, K.W. dan S. Yusuf, 2005. Mencegah dan Membasmi Rayap Secara Ramah Lingkungan dan Kimiawi. Agromedia Pustaka. Jakarta..

Sastrosupadi, A., 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.

Tarumingkenga, R.C., 2005a. Biologi dan Perilaku Rayap. Januari 2006).

_________________., 2005b. Biologi dan Pengendalian rayap hama bangunan di Indonesia. Januari 2006).

(40)

BAGAN PENELITIAN

U

I

II

III IV

S

K5

K2

K0

K2 K5 K3 K4

K2 K1 K4 K0

K5 K3

K4

K0

K2

K1

K4

K3

(41)

Keterangan : K5 : Fipronil sebagai pembanding (3 ml/L)

Lampiran 1. Data Persentase Mortalitas Rayap Macrotermes gilvus Hagen Data Persentase Mortalitas Rayap 1 HSA

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(42)

Rataan 13,96 16,46 14,63 14,60 14,91 Daftar Sidik Ragam

SK dB JK KT F Hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 5 6466,21 1293,24 90,56 ** 2,77 4,25

Galat 18 257,06 14,28

Total 23 6723,27

KK = 25,34%

FK = 5336,15

Keterangan : ** = Sangat Nyata * = Nyata

tn = Tidak Nyata

Uji Jarak Duncan Sy = 1,89

P 2 3 4 5 6

SSR 0.05 2,97 3,12 3,21 3,27 3,32

LSR 0.05 5,61 5,90 6,07 6,18 6,27

Perlakuan K0 K1 K2 K3 K4 K5

Rataan 6,42 6,42 8,07 10,68 51,46

(43)

Data Persentase Mortalitas Rayap 2 HSA

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

K0 11,90 13,15 14,63 7,40 47,08 11,77

K1 25,40 59,10 35,29 26,90 146,69 36,67

K2 23,80 45,90 45,31 67,64 182,65 45,66

K3 43,00 50,00 38,88 44,44 176,32 44,08

K4 25,00 72,00 51,16 53,84 202,00 50,50

K5 100,00 100,00 100,00 100,00 400,00 100,00 Total 229,10 340,15 285,27 300,22 1154,74

Rataan 38,18 56,69 47,55 50,04 48,11

Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

K0 20,18 21,26 22,49 15,79 79,71 19,93

K1 30,26 50,24 36,45 31,24 148,19 37,05

K2 29,20 42,65 42,31 55,33 169,49 42,37

K3 40,98 45,00 38,57 41,81 166,36 41,59

(44)
(45)

Data Persentase Mortalitas Rayap 3 HSA

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

K0 80,76 82,60 85,41 84,37 333,14 83,29

K1 100,00 100,00 100,00 100,00 400,00 100,00 K2 100,00 100,00 100,00 100,00 400,00 100,00 K3 100,00 100,00 100,00 100,00 400,00 100,00 K4 100,00 100,00 100,00 100,00 400,00 100,00 K5 100,00 100,00 100,00 100,00 400,00 100,00 Total 580,76 582,60 585,41 584,37 2333,14

Rataan 96,79 97,10 97,57 97,40 97,21

Daftar Analisa Sidik Ragam Transformasi Arcsin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV

K0 64,01 65,34 67,54 66,74 263,63 65,91

(46)

K2 83,58 83,58 83,58 83,58 334,32 83,58

Lampiran 4. Data Pengamatan Suhu dan Kelembaban

(47)

1. 2. 3.

15 Maret 2007 17 Maret 2007 19 Maret 2007

32 31 31

67 63 63

Gambar

Gambar 1. Koloni rayap Macrotermes gilvus Sumber : www.chem-unep.ch/POPS/termites/pics/pics.htm
Table 2. Rataan Persentase mortalitas M. gilvus untuk pengamatan I  (1 hari setelah aplikasi ) pada taraf 0,05
Gambar 4. Grafik Rataan Persentase Mortalitas Rayap M. Gilvus         (Keterangan: PI = pengamatan I, PII= pengamatan II, PIII= pengamatan III)

Referensi

Dokumen terkait