RELASI SOSIAL DALAM TINJAUAN KONSEP e-GOVERNMENT
SOCIAL RELATION IN THE POINT OF VIEW OF e-GOVERNMENT CONCEPT
Dewi Kurniasih1
Abstrak
Pemanfaatan teknologi komputer dewasa ini diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang lebih baik (good governance). Konsep e-Government muncul sebagai upaya untuk mengembangkan aktivitas pemerintahan berbasis elektronik. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas layanan publik yang lebih efektif
dan efisien. Namun, relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Dalam konteks sosiologi tanpa disadari teknologi telah
mengubah relasi sosial aparatur.
Abstract
The usage of computer technology these days is expected in creating a better ’good governance’. The e-Government concept appeared as an effort to develop electronic-based government activities. This concept is aimed to improve a more effective and more efficient public service quality. The relation between human and technology, however, is not as simple as it can be imagined. In the context of
sociology the technology has unconsciously changed the aparatus of social relation.
1. Pendahuluan
Era globalisasi yang ditandai dengan berkembangnya pemanfaatan
teknologi komunikasi dan komputer, telah mempengaruhi penyelenggaraan
pemerintahan suatu negara. Pemerintah di belahan negara manapun, saat ini mulai
memanfaatkan teknologi komputer sejalan dengan perkembangan jaman tersebut.
Pemanfaatan teknologi komputer ini diharapkan dapat menciptakan pemerintahan
1 Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom
yang lebih baik (good governance). Penerapan tata pemerintahan yang baik akan
berimplikasi terhadap pelayanan publik yang lebih baik pula kepada masyarakat.
Kondisi umum administrasi pelayanan publik saat ini masih ada yang
menggunakan pola manual. Hal ini mengakibatkan kegiatan penyelenggaraan
administrasi pemerintahan berjalan lamban, tidak efektif dan tidak efisien baik
dari segi waktu, maupun dalam pencapaian hasil secara optimal. Selain itu,
birokrasi yang ada cenderung tidak seperti apa yang diharapkan. Pola birokrasi
yang ada belum dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas kerja, sehingga
birokrasi sering dianggap menjadi penghambat untuk mencapai tujuan
pemerintahan. Demi pencapaian cita-cita ideal tersebut, maka pemerintah perlu
memperbaiki sistem birokrasi yang ada. Teknologi, Informasi dan Komunikasi
(TIK) merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki birokrasi, dalam rangka
menciptakan pemerintahan yang lebih baik. Tetapi yang terpenting adalah untuk
memberikan pelayanan yang prima antar pemerintah dan dari pemerintah untuk
masyarakat. Pemerintah memiliki hak dan wewenang untuk mengatur kehidupan
masyarakatnya karena pada dasarnya penyelenggaraan pemerintahan mengemban
tiga fungsi hakiki yaitu pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan
pembangunan (development).
Penerapan e-Government ini merupakan upaya untuk mengembangkan
penyelenggaraan pemerintahan berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan
kualitas layanan publik yang lebih efektif dan efisien. Pembangunan Teknologi
Informasi (TI) dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar keseluruh
dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat setempat.
Dalam konteks sosiologi tanpa disadari teknologi telah mengubah
kehidupan sosial aparatur. Penerapan e-Government telah mengubah pola
komunikasi aparatur Pemerintah dalam melakukan rutinitas mereka secara
bertatap muka. Interaksi sosial yang selama ini terjadi pun mengalami perubahan.
Teknologi telah mengubah ikatan sosial kultural yang kuat diantara aparatur,
sebuah ikatan yang membentuk aparatur sebagai sebuah komunitas baru. Kondisi
ini adalah sebuah parameter modernitas yang menunjukkan bagaimana sebuah
tatanan sistem sosial mengalami perubahan dengan adanya intervensi teknologi.
Relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan
bahwa teknologi adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah
bersikap pasif terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai
interaksi timbal balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu
melibatkan dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara
manusia dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik
karena kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari
setiap episode sejarah kehidupan manusia.
Sosiologi teknologi telah membangun berbagai model sosial untuk
menjelaskan perkembangan teknologi dan mencari tahu apa dan bagaimana
faktor-faktor sosial bekerja dalam proses tersebut. Salah satu konsep dalam
sosiologi teknologi saat ini adalah Social Construction Of Technology (SCOT)
diilhami oleh sosiologi pengetahuan ilmiah yang sangat kental dengan muatan
konstruktivisme. Tidak heran apabila pendekatan konstruktivisme dalam studi
sains diimpor ke dalam SCOT dan menjadi inti dari konsep ini.
Seperti diketahui sebelumnya bahwa gagasan SCOT berpusat pada tesis
yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi dalam suatu sistem sosial
melewati tiga fase melalui interaksi kelompok sosial relevan yang memiliki
kepentingan dan memberi makna terhadap suatu artifak teknologi. Pada fase
pertama terjadi fleksibilitas interpretatif dimana sejumlah kelompok sosial
menginterpretasikan suatu artefak teknologi secara berbeda. Pada fase kedua
terjadi proses stabilisasi melalui interaksi antarkelompok sosial. Fase ini diwarnai
dengan konflik dan negosiasi antara kelompok sosial yang berujung pada sebuah
kompromi. Fase ketiga tercapai setelah para kelompok sosial mencapai suatu
"persetujuan" akan makna dari artifak teknologi tersebut. Pada fase ini desain dari
artefak teknologi menjadi stabil.
Penerapan e-Government pada lembaga pemerintahan diharapkan dapat
menciptakan suatu hasil kerja yang efisien, partisipatif, berkeadilan, demokratis,
transparan dan bertanggung jawab. Hal tersebut di atas, merupakan unsur penting
dalam sistem aparatur negara yang modern, yang dilandasi oleh derajat
rasionalitas yang tinggi. Harapan yang muncul adalah penerapan e-Government
akan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Namun, untuk
penerapannya memang tidak mudah, karena memerlukan proses dan
2. Maksud
Makalah ini dimaksudkan untuk menggambarkan relasi sosial dalam
tinjauan konsep e-Government.
3. Tinjauan Teoritis
Kajian tentang relasi dalam memahami sebuah fenomena sosial oleh
ilmuwan sosiologi dan antropologi memiliki arti yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh kontekstual konsep
tersebut dibentuk dan diterapkan untuk menjelaskan fenomena sosial di tempat
mana ilmuwan tersebut melakukan kajian. Secara konvensional ilmuwan sosiologi
dan antropologi terlalu membatasi diri pada lingkup kajian mereka, seperti
ilmuwan sosiolog terlalu membatasi diri pada masyarakat tradisional dan
pedesaan. Namun ruang lingkup tersebut mulai mengalami pergeseran, dimana
ruang lingkup antara sosiologi dengan antropologi bisa pada masyarakat
perkotaan dan pedesaan atau masyarakat tradisional.
Implikasi lainnya pergeseran ruang lingkup kajian sosiologi dan
antropologi adalah pada penerapan konsep yang bersifat menunjang. Konsep yang
dipakai oleh ilmuwan sosiologi juga dipergunakan oleh ilmuwan antropologi
begitu sebaliknya. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa ilmuwan sosiologi dan
antropologi dengan menggunakan teori struktural fungsional. Lahirnya teori
tersebut juga dipengaruhi oleh pandangan keilmuan yang sama, seperti pengaruh
Emile Durkheim (1964) tentang fakta sosial. Pada antropologi, seperti
mengembangkan teori struktural fungsional, sedangkan ilmuwan sosiologi adalah
Parson (1989) dan Merton (1992) serta Smelser (1994).
Perbedaan-perbedaan antara ilmuwan sosiologi dan antropologi yang
selama ini sering menjadi persoalaan dalam metode dan analisis. Sekarang ini
menurut Koentjaraningrat (1990:24) tidak lagi memperlihatkan perbedaan, karena
konsep yang dipakai dalam antropologi bisa dipergunakan untuk analisis
sosiologi. Titik temu kedua ilmu tersebut adalah melihat sebuah masyarakat
sebagai sebuah sistem kehidupan yang multi kompleks. Dimana di dalamnya
terdapat sebuah proses sosial yang ditandai dengan adanya interaksi sosial dalam
menggunakan simbol-simbol yang sama. Proses intraksi sosial dengan
menggunakan simbol yang disepakati bersama adalah sebuah kebudayaan yang
diwujudkan dalam bentuk hubungan sosial. Oleh karena itu dalam sosiologi dan
antropologi masyarakat yang memiliki ciri kebudayaan khas dan mengikat
warganya dalam berhubungan merupakan sebuah komunitas sosial.
Konsep relasi sosial dan komunitas sosial merupakan satu kesatuan dalam
menjelaskan aktifitas dan dinamika sebuah masyarakat. Semakin meningkat dan
komplek aktifitas seuatu masyarakat semakin tinggi tingkat dinamika masyarakat
tersebut. Dengan demikian dasar terbentuknya relasi dan corak komunitas juga
akan semakin berbeda. Hal ini bisa dilihat dari bentuk dan corak sebuah relasi
sosial yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan, seperti Comte (dalam
Jhonsons,1988), Durkheim (1964), Tonnies (dalam Garna, 1992), membuat dasar
relasi sosial dari perkembangan cara berfikir manusia. Begitu pula dengan
perkembangan struktur masyarakat. Sehingga konsep relasi sosial yang dibentuk
selalu bersifat konsep pasangan kontradiktif.
Cooley (dalam Soekanto, 1983:34) membedakan antara hubungan primer
dengan hubungan sekunder. Gejala yang menonjol dalam hubungan primer adalah
hubungan tatap muka yang erat dan gotong royong, sehingga
kepentingan-kepentingan pribadi lebur dalam kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan umum. Begitu pula
sebaliknya hubungan sekunder lebih pada bentuk hubungan formal. Demikian
pula Inkeles (dalam Soekanto, 1983:35) menggambarkan hubungan-hubungan
sosial dari aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif mencakup
jumlah orang yang berpartisipasi dalam sistem aksi. Sedangkan aspek kualitatif
dari hubungan kualitatif dari hubungan-hubungan sosial dikategorikan oleh
Kingsley Davis sebagai berikut:
Relasi Sosial Primer dan Sekunder
Relasi Primer
Kondisi fisik Karakteristik sosial Contoh Relasi Contoh kelompok Tempat tinggal berdekatan Perkenalan sangat mendalam Antara teman suami-istri Kelompok bermain keluarga Berjumlah kecil
Nilai hubungan muncul dari dalam diri
Orang tua dengan anak
Tetangga
Jangka panjang Nilai hubungan dengan orang lain muncul dari kebiasaaan
Pengetahuan terhadap orang lain lebih mendasar
Perasaan bebas dan spontan
Aktifitas dikontrol secara informal
Guru-murid Kerja tim
Relasi Sekunder
kelompok Tempat tinggal
berjauhan
Perkenalan kurang mendalam
Nilai hubungan muncaul dari luar diri
Penjual dan pembeli Penyiar dan pendengar Bangsa Nasabah Berjumlah besar
Nilai hubungan dengan orang lain muncul dari luar diri Pemain dan penonton Profesional Asosiasi Berjangka pendek Pengetahuan tentang orang lain terbatas dan khusus Perasaan dikendalikan dari luar Aktifitas dikontrol secara formal Atasan dan bawahan Penulis dan pembaca Perusahaan
Sumber: (Davis dalam Soekanto, 1983:35)
Mengekspresikan tujuan-tujuan atau tujuan dari tindakan sosial para
antropolog dan sosiolog melihat nilai (value) sebagai unsur terpenting. Setiap
hubungan sosial dapat menjadi objek dari nilai. Inkeles menyatakan bahwa:
”much the same range of human qualities and aspects of relationship are recognize in most societies, the main defferences betwen culture being in the value the put on these qualities as important or minor, good or bad. One value aggresivenes and deplores possivity, another the reverse. And a third gives little attention to this dimention alltogether, emphasizing, instead the virtue of sobriety over emotionality, which may be quite important in either of the other culture”. (dalam Soekanto, 1983:39)
Pemikiran Inkeles di atas menekankan pada aspek nilai dan kebudayaan sebuah
masyarakat merupakan dimensi terpenting dalam hubungan sosial dalam
mencapai kebersamaan menjadi ikatan emosional.
Von Wiese membagi hubungan antar manusia dalam masyarakat menjadi
tiga macam, yaitu:
1. hubungan yang terdekat
2. hubungan yang saling menjauh
Dalam hubungan yang saling mendekat terdapat kesediaan untuk saling
bertemu dan saling bekerjasama antara pihak-pihak yang sedang berhubungan.
Hubungan yang saling mendekat ini ada kalanya tidak laigi murni sifatnya dan
kemudian tercampur dengan konflik hubungan. Bentuk hubungan ini sudah
tergolong kepada hubungan yang saling menjauh. Apabila kerjasama ini sifatnya
terpaksa, hanya karena keadaan-keadaan tertentu saja pihak-pihak mau mendekat
dan bekerjasama. Hubungan ini termasuk didalam golongan kerjasama kombinasi
mendekat dan menjauh.
Hubungan sosial sebelum masyarakat mengalami proses diferensiasi
menurut smelser (dalam weiner, 1994:5) hubungan-hubungan kekeluargaan dan
hubungan-hubungan komunitas secara kolektif. Artiya hubungan sosial
berlangsung secra spontan dan dalam suatu kondisi yang penuh akrab dan
emosional. Keuntungan pribadi tidak menjadi dasar utama terjadinya hubungan
diantara mereka, tetapi lebih pada faktor integritas kelompok. Namun masyarakat
yang telah mengalami proses diferensiasi akan terjadi hubungan yang impersonal
dan rasional. Perhitungan untung rugi dalam membentuk hubungan sosial menjadi
dominan dalam masyarakat yang telah mengalami diferensiasi. Sehingga nilai dan
motif yang menyertai dari hubungan ini lebih mengarah pada unsur kepentingan.
Jika tidak penting dan tidak memberi keuntungan pribadi maka hubungan sosial
tidak akan terjadi.
Kerjasama kelompok (living together) menurut Hawley (1950:209)
merupakan sebuah hubungan yang bersifat simbiotik. Hubungan simbiotis adalah
sangat akrab. Ada tiga kategori simbiosis menurut Hawley (1950:210), yaitu: ”(1)
commensalism, (2) mutualism, (3) parrasitism. Pada hubungan yang bersifat
komensalistis, salah satu pihak mendapat untung sedangkan pihak lainnya tidak
merasa dirugikan. Hubungan yang bersifat mutualism, kedua belah pihak
sama-sama mendapat untung. Hubungan yang ketiga yaitu simbiosis parasitis, salah satu
pihak mendapat untung, sedangkan pihak lainnya dirugikan.
Konsep relasi sosial atau hubungan sosial yang dijelaskan di atas sangat
terkait dengan karakteristik sebuah komunitas sosial. Hal ini bisa dilihat dari
penjelasan beberapa ahli di atas bahwa relasi sosial atau hubungan sosial
terbentuk sangat dipengaruhi oleh nilai dan orientasi sebuah masyarakat. Semakin
berkembang sebuah masyarakat maka semakin rasional hubungan sosial yang
terjadi. perkembangan masyarakat juga akan menggeser nilai dan karakteristik
mereka, pada akhirnya akan merubah pula dasar terbentuknya relasi sosial atau
hubungan sosial.
Horton mendefinisikan komunitas adalah suatu kelompok setempat (lokal)
dimana orang melaksanakan segenap kegiatan (aktifitas) kehidupannya. Lebih
rinci ia menjelaskan sebuah komunitas yaitu :
Ciri sebuah komunitas sosial akan terlihat dari bentuk atau pola sosial yang
terjadi diantara individu-individu yang menjadi bagian keseluruhan kehidupan
komunitas. Komunitas yang sederhana atau perdesaan memiliki relasi sosial
berbeda dengan komunitas sosial yang modern atau perkotaan. homogenitas
kehidupan anggota-anggotanya masih mendominasi dalam komunitas sosial
perdesaan, sedangkan pada komunitas sosial modern anggota-anggotanya dan
corak kehidupan sosialnya sudah heterogen.
Relasi sosial atau hubungan sosial yang terjadi dalam komunitas, menurut
Radcliffe-Brown adalah:
”akan dipengaruhi oleh bentuk struktur sosial sebuah komunitas itu sendiri. Struktur komunitas sosial berfungsi menentukan tingkah laku manusia dalam menjalankan peran dan statusnya. Oleh karena itu struktur sosal merupakan suatu rangkaian komplek dari relasi-relasi sosial yang berwujud dalam suatu masyarakat. Struktur sosial meliputi segala (1)relasi sosial diantara para individu; dan (2) perbedaan individu serta kelas sosial menurut peranan sosial mereka.” (Brown dalam Garna, 1996:150)
Kata kunci dari penerapan e-Government adalah teknologi informasi dan
komunikasi. E-Government berbeda dengan komputerisasi, karena e-Government
berbicara tentang penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam bentuk
jejaring kerja (network). Artinya, ada saling keterkaitan (interkoneksi) antara
berbagai perangkat dimana berbagai informasi dikomunikasikan. Tersedianya
perangkat komputer dan software atau basis data belum memadai untuk dikatakan
sebagai e-Government bila keseluruhan komponen tersebut belum saling
terkoneksi dan belum mengkomunikasikan suatu informasi.
Douglas Holmes menyebutkan definisi dari e-Government yaitu:
particular the internet, to deliver public services in a much more convenient,
customer-oriented, cost-effective, and altogether different and better way
(Holmes, 2001:2). Definisi tersebut menggambarkan pelayanan yang diberikan
pemerintah secara online akan memudahkan warga negara untuk ikut
berpartisipasi dalam berbagai penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu,
pelayanan yang diberikan secara online juga bermanfaat untuk mengurangi biaya,
proses yang berbelit-belit, menambah kecepatan, serta membuat proses lebih
fleksibel dan responsif.
Sedangkan James L. Yong memaparkan definisi e-Government dengan
uraian sebagai berikut :
A number of definition for e-government have been offered in existing literature. Very often, these definitions have come to imply e-government as the government’s use of technology, in particular, web-based Internet applications to enhance acces and delivery of government services to citizens, business partner, employees and other government entities (Yong,2003: 11).
Dari sini kita tangkap bahwa sangat sering pendefinisian mengenai
e-government datang dari penggunaan teknologi dalam pemerintahan terutama
aplikasi basis web internet untuk memperluas akses dan pelayanan pemerintahan
kepada masyarakat, partner bisnis, pekerja dan entitas pemerintahan lainnya.
Center for Democracy and Technology dan InfoDev menyatakan bahwa
proses implementasi e-Government terbagai menjadi 3 (tiga) tahapan, yang tidak
bergantung satu sama lain, atau harus dilakukan secara berurutan. Namun
masing-masing menjelaskan mengenai tujuan e-Government. Tahapan tersebut antara lain:
lembaga, penyiapan sumber daya manusia, sosialisasi situs informasi baik untuk internal maupun untuk publik, serta penyiapan sarana akses yang mudah.
2. Tahap kedua, adalah Interact, yaitu meluaskan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Misalnya dengan cara pembuatan situs yang interaktif dengan publik, serta adanya antar muka yang terhubung dengan lembaga lain.
3. Tahap ketiga, adalah Transact, yaitu menyediakan layanan pemerintah secara online. Misalnya dengan cara pembuatan situs transaksi pelayanan publik, serta interoperabilitas aplikasi maupun data dengan lembaga lain.
Terdapat beberapa faktor dalam pengembangan e-Government faktor
tersebut berasal dari faktor teknologi, ekonomi, globalisasi, nasional serta lokal.
Berdasarkan hal tersebut maka akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Faktor teknologi, peradaban manusia dari tatanan masyarakat agraris dan industrialis menuju masyarakat informasi.
2. Faktor ekonomi, dalam era reformasi terjadi transformasi dari ekonomi konvensional ke arah ekonomi digital dan ekonomi jaringan.
3. Faktor globalisasi, dengan liberalisasi perdagangan batas negara di bidang ekonomi semakin pudar, maka sangat perlu perencanaan yang matang dan menyeluruh di bidang teknologi informasi dan menciptakan infrastruktur dan aplikasi teknologi informasi yang memadai serta meningkatkan sumber daya manusia di bidang teknologi informasi.
4. Faktor nasional, era reformasi menuntut suatu pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab kepada rakyat.
5. Faktor lokal, adanya sektor pariwisata yang sangat perlu promosi potensi wisata. Disamping itu keberadaan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang terbukti tahan hidup dalam kondisi ekonomi yang kritis.
(Indrajit, 2002:27).
Terdapat lima dimensi dalam balanced e-government scorecard yang
dikemukakan Stiftung dalam buku e-Government in action oleh Richardus Eko
Indrajit, yaitu:
manfaat dari layanan tersebut. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah:
1) Cakupan layanan yang sudah diimplementasikan.
2) Bagaimana layanan tersebut bisa diakses dalam one stop shop dari satu portal menuju berbagai layanan.
3) Kemudahan penggunaan dalam mendapatkan layanan tersebut. 2. Dimensi kedua, efisiensi. Efisiensi berhubungan dengan bagaimana
teknologi bisa mempercepat proses dan meningkatkan kualitas layanan. Kriteria dalam efisiensi, diantaranya:
1) Ketersediaan arsitektur proses, aplikasi, dan database yang bisa berjalan baik ketika dibutuhkan.
2) Perencanaan sumber daya dan keuangan secara baik.
3) Pemanfaatan platform TI dan teknologi secara maksimal pada keseluruhan aspek.
4) Kualitas dan ruang lingkup pelatihan bagi para staf dan pegawai. 3. Dimensi ketiga, partisipasi. Ini berhubungan dengan pertanyaan
apakah layanan yang diberikan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk memberikan partisipasi dalam penyampaian pendapat dan proses pengambilan keputusan. Beberapa kriteria dalam hal ini, diantaranya:
1) Akses langsung masyarakat terhadap orang yang berkepentingan melalui web.
2) Pertimbangan terhadap umpan balik dan keinginan masyarakat. 3) Pengaruh dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan.
4) Kemungkinan untuk memperdebatkan topik yang menyangkut masyarakat umum (tersedianya fasilitas chatting, forum, milis). 4. Dimensi keempat, transparansi. Jumlah dan karakter informasi yang
disampaikan.
5. Dimensi kelima, manajemen perubahan. Ini terkait dengan proses implementasi apakah ada proses review yang jelas dan dikelola dengan baik. Kriteria dalam hal ini, diantaranya:
1) Strategi pengembangan. 2) Kualitas kontrol dan review.
3) Keterlibatan dan motivasi pegawai. (dalam Indrajit, 2005:43-45)
Teori balanced e-government scorecard yang terdiri dari dimensi manfaat,
efisiensi, partisipasi, transparansi dan manajemen perubahan di atas merupakan
4. Pembahasan
Penggunaan teknologi informasi ini kemudian menghasilkan hubungan
dan memperluas akses publik untuk memperoleh informasi sehingga akuntabilitas
pemerintah meningkat. Terkait dengan e-Government, konsep ini merupakan
sistem teknologi informasi yang dikembangkan oleh pemerintah dalam
memberikan pilihan kepada masyarakatnya kapan dan dimanapun agar mereka
bisa mendapatkan kemudahan akses informasi dan layanan yang pemerintah
berikan kepadanya. Hal ini merupakan salah satu bentuk fungsi pemerintah untuk
memberikan alternatif pilihan melalui teknologi informasi (media internet). Relasi
sosial yang terkandung dalam konsep ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Relation in e-Government Concept
Gambaran di atas terlihat bahwa e-Government bertujuan untuk membuat
interaksi antara pemerintah dan masyarakat (Government to Citizen – G2C),
pemerintah dan kalangan bisnis (Government to Business – G2B), serta antar
instansi pemerintah (Government to Government – G2G) yang lebih bersahabat,
nyaman, trasnparan dan murah. Selain itu, konsep e-Government menyangkut
juga dengan model e-Business lainya, yaitu B to B (Busines to Business), B to C
(Business to Customer), C to C (Customer to Customer), dan C to B (Customer to
Government to Citizens (G-to-C), tujuannya adalah untuk mendekatkan
pemerintah dengan masyarakat melalui kanal-kanal akses yang beragam agar
masyarakat dapat dengan mudah menjangkau pemerintahnya untuk pemenuhan
berbagai kebutuhan pelayanan sehari-hari. Government to Business (G-to-B),
merupakan bentuk relasi antara pemerintah dengan para pengusaha, dengan
tujuan untuk memperlancar para praktisi bisnis dalam menjalankan roda
perusahaannya.
Government to Government (G-to-G), merupakan interaksi antar satu
pemerintah dengan pemerintah lainnya dengan tujuan untuk memperlancar
kerjasama antar negara dan kerjasama antar entiti-entiti negara dalam melakukan
hal-hal yang berkaitan dengan administrasi perdagangan, proses-proses politik dan
mekanisme hubungan sosial dan budaya. Government to Employes (G-to-E),
tujuannya untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan para pegawai negri atau
karyawan pemerintahan yang bekerja di sejumlah institusi sebagai pelayan
masyarakat.
Hal di atas membuktikan bahwa tingkat pertumbuhan penggunaan internet
menunjukan angka sangat fantastik, bahkan internet telah menjadi bagian
kebutuhan dalam sebuah rumah tangga, fenomena ini menunjukan bahwa 5
sampai 10 tahun yang akan datang teknologi informasi akan menguasai sebagian
besar pola kehidupan masyarakat, sehingga model e-Government harus
5. Kesimpulan
Implementasi e-Government merupakan realita dalam mengantisipasi
perubahan sosial yang makin dinamis, sekaligus sebagai respon terhadap tuntutan
akan pelayanan publik yang makin berkualitas. Hal ini diperlukan mengingat
dinamisnya gerak masyarakat pada saat ini, sehingga pemerintah harus dapat
menyesuaikan fungsinya dalam negara, agar masyarakat dapat menikmati haknya
dan menjalankan kewajibannya dengan nyaman dan aman, yang kesemuanya itu
dapat dicapai dengan pembenahan sistem dari pemerintahan itu sendiri, dan
Referensi
Andrianto, Nico. (2007). Good e-Government: Transparansi dan Akuntansi Publik Melalui e-Government. Malang:Bayumedia.
Giddens, Anthony. (1986). Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta:UI Press.
Hall, Bradley W. (2008). The New Human Capital Strategy. New York:AMACOM.
Henry, Nicholas. (2006). Public Administration and Public Affairs. New Jersey:Pearson Prentice Hall.
Holmes, Douglas. (2001). E-Gov, E-Business Strategies fot Government. London:Nicholas Brealey Publishing.
Indrajit, Richardus Eko. (2006). Electronic Government: Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital. Yogyakarta:Andi.
_______, dkk. (2005). E-Government in Action Ragam Kasus Implementasi Sukses di Berbagai Belahan Dunia. Yogyakarta:Andi.
Koentjaraningrat. (1990). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:Gramedia.
Mackenzie, Christine and Froud, Rob. (2002). E-Government and Public Libraries. Bertelsmann Foundation.
Sedarmayanti. (2004). Good Governance, Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance. Bandung:Mandar Maju.
Soekanto, S. 1986. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta:Ghalia Indonesia.
Stiftung, Bertelsmann dan Booz-Allen-Hamilton. (2001). Balanced e-Government. United States: Bertelsmann Foundation Publication.
Tjokroamidjojo, Bintoro. (2000). Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Jakarta:UI Press.
Westcott, Clay G. (2001). Business Case fore-Government. Asia Development Bank.
Wilhelm, Anthony. G. (2003). Demokrasi di Era Digital, Tantangan Kehidupan Politik di Ruang Cyber. Yogyakarta:Pustaka Pelajar..