PIDANA
LEGAL CERTAINTY OF MORE THAN ONCE JUDICIAL REVIEW (HERZIENING) IN CRIMINAL CASE IN RELATION WITH THE ARTICLE 268
PARAGRAPH (3) OF THE CRIMINAL PROCEDURAL CODE
Oleh
Nama : Farhan Aziz
Nim : 31610006
Program Kekhususan : Hukum Pidana
ABSTRAK
Skripsi ini mengkaji tentang peninjauan kembali yang dapat diajukan lebih dari satu kali dikarenakan Pasal 268 Ayat (3) yang menjadi pembatasan terhadap pengajuan Peninjauan Kembali telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Permintaan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Antasari Azhar telah diputus oleh Putusan Nomor 117/PK/PID/2011 dan dinyatakan permohonannya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung dikarenakan dasar permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 263 Ayat (3) KUHAP. Permasalahannya adalah tentang kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara pidana dalam ruang lingkup hukum acara pidana di Indonesia berkaitan dengan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dan keabsahan peninjauan kembali yang dapat diajukan lebih dari satu kali.
Penulisan hukum ini dilakukan secara diskriptif analitis, yaitu menggambarkan fakta yang terjadi kemudian dianalisis berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif, yaitu mengkaji atau menganalisa peraturan perundang-undangan yang ada. Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu metode penelitian yang berdasarkan norma-norma, asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang ada, untuk mencapai kepastian hukum.
Article 268 Paragraph (3) which limits frequency of filing of judicial review had been declared to have no binding legal force, or null and void, by the Constitutional Court. Request for judicial review made by Antasari Azhar has been decided by the Decision No. 117/PK /PID/2011 and declared that his application could not accepted by the Supreme Court because the application for judicial review did not meet the condition(s) stipulated in the Article 263 Paragraph (3) of the Criminal Procedural Code. The problem is about legal certainty of resolution of criminal case within the scope of the criminal procedural code related with the article 268 Paraghraph (3) of the criminal procedural code had been declared to have no binding legal force and validity of judicial review filed for more than once.
This legal writing was conducted using descriptive-analytical method, i.e. by describing the fact and then analyzing them based on the existing constitutional regulations, using a juridical/normative approach that is reviewing and analyzing the existing regulation. The data obtained were analyzed juridical and qualitatively, which means that research method was based on norms, principles and the existing constitutional regulations, in order to achieve legal certainty.
Based on the results of this research and analysis, it can be concluded that resolution or settlement of criminal case must be based on the Criminal Procedural Code as the rules governing the procedures of settlement of criminal cases that begin with the investigation stage aimed at revealing the material truth, that is, finding criminal incident and any evidence and actors in a criminal incident. Furthermore, results of this investigation were then included in indictment formulated by competent general prosecutor having the authority to prosecute and, finally, examination before the court in
order to obtain a judge’s decision regarding the guilt or innocence of the accused party.
biasa yang diajukan terpidana kepada Mahkamah Agung guna mengoreksi
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan alasan
ditemukannya keadaan baru yang tidak dihadirkan saat persidangan
berlangsung, dasar pertimbangan putusan yang saling bertentangan, serta
adanya kekhilafan hakim yang apabila Mahkamah Agung membenarkan adanya
ketiga alasan tersebut dalam putusannya maka hasil putusan daripada
peninjauan kembali dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala
tuntutan penuntut umum, atau putusan yang meringankan hukuman.
Antasari Azhar mengajukan permohonan pengujian undang-undang
kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 268 Ayat (3) KUHAP terhadap
Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (1)
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 34/PUU-X/2013 telah
menyatakan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat dan hakim dianggap tidak memiliki dasar hukum jika tetap
menggunkannya.
Menurut Pasal 60 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 sebagaimana diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Mahkmah Konstitusi, bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali terkecuali materi muatan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang
dijadikan dasar pengujian berbeda.
Sehubungan dengan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut, materi muatan UUD 1945 yang
16/PUU/VIII/2010 dan Perkara Nomor 64/PUU-VIII/2010 tahun 2010, dengan
demikian terdapat kesenjangan mengenai kepastian hukum dan keadilan
terhadap putusan MK Nomor 34/PUU-X/2013 yang menyatakan Pasal 268 Ayat
(3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan memberikan
peluang terhadap Antasari Azhar untuk dapat mengajukan permohonan
peninjauan kembali lebih dari 1 kali.
Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini
adalah :
1. Bagaimana kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara pidana
dalam ruang lingkup Hukum Acara Pidana di Indonesia berkaitan
dengan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi ?
2. Bagaimana keabsahan permohonan peninjauan kembali yang
diajukan lebih dari satu kali dihubungkan dengan Pasal 268 Ayat (3)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ?
Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah
Yuridis Normatif yaitu suatu metode yang mengkonsepkan hukum sebagai
yang diperoleh dari perundang-undangan, buku-buku teks, hasil penelitian,
majalah, artikel dan lain-lain.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis,
yaitu :
1. Secara Teoritis, penulisan ini diharapkan bermanfaat dalam upaya
pemahaman mengenai peninjauan kembali terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde) dalam perkara pidana.
2. Secara Praktis, memberikan masukan bagi pembentuk undang-undang
dalam menyusun materi pasal tentang peninjauan kembali sebagai
upaya hukum luar biasa dalam perkara pidana di Indonesia.
Simpulan Dan Saran 1. Simpulan
a. Penyelesaian perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sebagai peraturan yang mengatur tata cara
penyelesaian perkara pidana yang dimulai dengan tahap
penyelidikan dan penyidikan yang bertujuan mendapatkan
kebenaran materiil yaitu menemukan suatu peristiwa pidana beserta
barang bukti dan pelaku dalam suatu peristiwa tindak pidana.
Selanjutnya hasil dari penyelidikan dan penyidikan tersebut
dimasukan ke dalam surat dakwaan oleh penuntut umum yang
Kepastian hukum merupakan asas dalam hukum yang mewujudkan
adanya suatu peraturan yang diterapkan secara adil berkaitan
dengan perlindungan, jaminan, dan perlakuan yang sama
dihadapan hukum terhadap setiap orang. Kepastian hukum dalam
penyelesaian perkara pidana adalah ketika setiap penegak hukum
(polisi, penuntut umum, penasihat hukum, dan hakim) taat kepada
hukum acara pidana dalam melakukan tugasnya menyelesaikan
perkara pidana guna melindungi hak dan kewajiban korban dan
pelakunya. Setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268
Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,
maka penyelesaian perkara pidana dalam ruang lingkup hukum
acara pidana akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
penyelesaian perkara pidana yang sudah mendapatkan kekuatan
hukum tetap dalam putusan perkara nya dan telah membuka
peluang bagi terpidana yang sudah terbukti berdasarkan kebenaran
materiil untuk mendapatkan keuntungan berupa putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, atau penerapan hukum yang
lebih ringan.
b. Peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu kali dalam perkara
pidana memiliki keabsahan hukum, dikarenakan ketentuan
mengenai permintaan peninjauan kembali dalam perkara pidana
yang hanya dapat diajukan satu kali dalam Pasal 268 Ayat (3)
Mahkamah Konstitusi menyatakan apabila terdapat hakim yang
tetap menggunakan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, maka hakim
tersebut tidak memiliki dasar hukum.
2. Saran
a. Dalam beracara pidana, segala ketentuan yang menyangkut
wewenang, fungsi, dan tugas peradilan yang menjalankan
kekuasaan kehakiman hendaknya mengikuti tata cara yang sudah
diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai
pedoman dalam melakukan penyelesaian perkara pidana agar tidak
ada saling tumpang tindih antar lembaga dan menghindari adanya
kesewenang-wenangan.
b. Untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum maka diperlukan
pembaharuan hukum terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, khususnya terhadap Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang telah
dicabut dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
c. Berkaitan dengan wewenang Pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 oleh MK, maka sebaiknya pengujian
dilakukan sebelum undang disahkan atau saat
undang-undang masih dalam masa pembentukan, sehingga Mahkamah
Konstitusi dapat menyatakan pembentukan undang-undang tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sebagaimana yang yang
mengganggu putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap dan terhadap putusannya dapat dilaksanakan dengan
seadil-adilnya serta menghindari terjadinya kekosongan hukum dalam
1
A.
Latar Belakang MasalahIndonesia merupakan negara hukum, hal tersebut sesuai dengan
ketentuan yang terdapat pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat), hal tersebut berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
Jaminan bagi segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum tertuang di dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyebutkan :
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Konsep negara hukum bertujuan untuk menghindarkan negara atau
pemerintah bertindak sewenang-wenang dengan cara membatasi
kekuasaan negara atau pemerintah dan melakukan pembagian kekuasaan
politica, dan pemerintahan yang berdasarkan undang-undang (asas legalitas).1
Penghayatan, pengamalan, dan pelaksanaan hak asasi manusia
maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan
tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara
negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di
pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya
hukum acara pidana.
Moeljatno memberikan pengertian hukum acara pidana sebagai
berikut :2
“Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut”.
Menurut penjelasan KUHAP, demi tegaknya Republik Indonesia sebagai
negara hukum, maka untuk mengatur cara beracara dalam hukum pidana
dibuatlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang wajib didasarkan pada falsafah atau pandangan hidup bangsa
dan negara serta sudah seharusnya di dalam ketentuan materi pasal atau
ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasimanusia serta kewajiban
warga negara maupun asas yang mengatur perlindungan terhadap
keluhuran harkat serta martabat manusia.
1 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi,
Alumni, Bandung, 2008, hlm 1
2Moeljatno, Dalam Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti,
Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat dan
martabat manusia harus ditegakkan dalam dan dengan Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, asas tersebut adalah:3
“1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan ;
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang ;
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang, pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap ;
4. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi ;
5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”.
Asas yang terdapat di dalam acara pidana mencerminkan adanya suatu
peraturan yang merupakan wujud dari kepastian hukum serta perlakuan
yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum yang merupakan bentuk
dari keadilan. Proses penyelesaian perkara pidana dari tahap penyidikan
sampai dengan peradilan hukum harus diterapkan seadil-adilnya tanpa
memandang status sosial seseorang dengan menerapkan asas persamaan
di muka hukum (equality before the law), asas legalitas, dan asas lainnya.4
3Ibid
Lembaga peradilan dituntut agar segala proses peradilannya dilakukan
secara jujur, bersih dan tidak memihak serta dilandasi prinsip-prinsip yang
sifatnya terbuka, korektif dan rekorektif.5 Prinsip terbuka, korektif dan
rekorektif tersebut sebenarnya telah lama dianut dalam sistim hukum acara di Indonesia, yaitu sejak berlakunya HIR maupun Rechtsreglement Buitengewesten (selanjutnya disingkat RBg) sampai pemberlakuan KUHAP saat ini. Prinsip tersebut dapat dikatakan sebagai antisipasi terhadap
putusan-putusan pengadilan yang dirasa kurang adil atau kurang tepat,
peninjauan kembali (herziening) sebagai upaya hukum luar biasa (dalam istilah KUHAP), merupakan upaya hukum yang bersifat rekorektif terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.6
Suatu perkara yang berakhir dengan putusan berkekuatan hukum yang
tetap tidak dapat di buka lagi, hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan
suatu kepastian hukum. Asas ne bis in idem yang terdapat dalam Pasal 76 KUHP yang menyatakan suatu perkara yang sama tidak dapat diajukan
untuk kedua kalinya ke pengadilan, akan tetapi Pasal 263 Ayat (1) KUHAP
membuka kemungkinan bagi terpidana atau ahli warisnya mengajukan
permintaan peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde) kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan negeri yang memutus perkaranya semula, kecuali
dalam hal putusan yang mengandung pembebasan atau pelepasan segala
tuntutan hukum.
5 Rustanto, Analisis Pengajuan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah
Berkekuatan Hukum Tetap Oleh Jaksa Dalam Praktik Peradilan Pidana Di Indonesia, Universitas Udayana, 2011, hlm 4
Permintaan peninjauan kembali sebagaimana tercantum di dalam Pasal
263 Ayat (2) KUHAP, dilakukan atas dasar :
“a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterpkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan
bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”.
Peninjauan kembali terhadap putusan perkara pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang hanya berlandaskan adanya bukti
atau keadaan baru tanpa dibatasi permohonannya, akan menimbulkan celah
hukum dan rekayasa terhadap keadaan atau bukti baru, hal tersebut
mencerminkan pula ketiadaan asas kepastian hukum, asas persamaan di
muka hukum (equality before the law), dan asas keadilan.
Pada saat ini terdapat beberapa perkara pidana yang telah
mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap dan pasti (inkracht van gewjisde), salah satunya yaitu pada perkara pidana Antasari Azhar.Antashari Azhar merupakan terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 1532/Pid.B/2009/PN Jkt.Sel yang telah diputus pada
tanggal 11 Februari 2010, pernah melakukan upaya hukum biasa dengan
mengajukan banding kepada pengadilan tinggi serta telah diputus oleh
Selanjutnya Antashari Azhar mengajukan upaya hukum biasa kasasi
kepada Mahkamah Agung dan telah telah diputus oleh Putusan Nomor
1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010 dan putusan tersebut telah
memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde). Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010,
Antasari Azhar mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan
Kembali dan diputus oleh Mahkamah Agung Nomor putusan
117/PK/Pid/2011 tanggal 13 Februari 2012 yang memutuskan menolak
permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan. Antasari Azhar tidak dapat
mengajukan permohonan untuk melakukan peninjauan kembali karena telah
mengajukan permohonan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali
sebelumnya. Menurut Pasal 268 Ayat (3) KUHAP bahwa Permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya bisa dilakukan satu kali saja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tersebut Antasari
Azhar merasa tidak dapat melakukan upaya hukum lain jika suatu saat
terdapat keadaan atau bukti baru, sehingga Antasari mengajukan PUU atau
Pengujian Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal
268 ayat (3) KUHAP yang menganggap membatasi hak mendapatkan
keadilan. Selanjutnya di dalam Putusan Nomor 34/PUU-X/2013 Mahkamah
Konstitusi menyatakan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat.Menurut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan bahwa :
“(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.”
Sehubungan dengan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut, materi muatan UUD 1945 yang
dijadikan MK sebagai dasar pengujian Pasal 268 ayat (3) pada Putusan
Nomor 34/PUU-X/2013 sama dengan materi muatan UUD 1945 yang
dijadikan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar pengujian pada Perkara
Nomor 16/PUU/VIII/2010 dan Perkara Nomor 64/PUU-VIII/2010 tahun 2010,
dengan demikian terdapat kesenjangan mengenai kepastian hukum dan
keadilan terhadap putusan MK Nomor 34/PUU-X/2013 yang menyatakan
Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat
dan memberikan peluang terhadap Antasari Azhar untuk dapat mengajukan
permohonan peninjauan kembali lebih dari 1 kali.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti
mengangkat hal tersebut sebagai karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “Kepastian Hukum Tentang Peninjauan Kembali (Herziening) Lebih
B. Identifikasi Masalah
Berkaitan dengan latar belakang yang telah diuraikan maka terdapat
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara pidana
dalam ruang lingkup Hukum Acara Pidana di Indonesia berkaitan
dengan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi ?
2. Bagaimana keabsahan permohonan peninjauan kembali yang
diajukan lebih dari satu kali dihubungkan dengan Pasal 268 Ayat (3)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ?
C. Maksud dan Tujuan
Maksud dan Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara
pidana di dalam ruang lingkup Hukum Acara Pidana di Indonesia
berkaitan dengan dinyatakannya Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2013.
2. Untuk mengetahui keabsahan atas permohonan peninjauan kembali
yang dapat diajukan lebih dari satu kali.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun
praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis, penulisan ini diharapkan bermanfaat dalam upaya
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde)dalam perkara pidana.
2. Secara Praktis, memberikan masukan bagi pembentuk
undang-undang dalam menyusun materi pasal tentang peninjauan kembali
sebagai upaya hukum luar biasa dalam perkara pidana di Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran
Negara Indonesia memberikan perlindungan hukum yang adil dan
merata terhadap warga negaranya. Keadilan yang dipegang teguh oleh
Negara Indonesia adalah keadilan sosial, yang artinya keadilan tersebut
harus diberikan terhadap warga negara dengan tidak
membeda-bedakannya. Jaminan perlindungan yang diberikan Negara Indonesia
kepada warga negaranya terwujud dengan adanya suatu peraturan
perundang-undangan yang disusun secara hierarki dan dibentuk
berdasarkan norma yang terdapat di dalam masyarakat, sebagaimana yang
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, menyebutkan :
Indonesia merupakan negara hukum, hal tersebut yang tercantum di
dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Ciri-Ciri negara hukum
(rechsstaat) menurut Philipus M. Hardjon adalah :7
“1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat”.
Ciri-ciri negara hukum tersebut menunjukan bahwa ide pokok dari
negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya
Undang-Undang Dasar secara teoritis memberikan jaminan konstitusional atas
kebebasan dan persamaan.
Berkenaan dengan tujuan hukum, Van Apeldoorn menyatakan untuk
mengatur pergaulan hidup secara damai, dimaksudkan dengan damai
(vrede) adalah berarti tertib hukum dan kejahatan berarti melanggar perdamaian (vredebreuk) dan dikeluarkan dari perlindungan hukum, namun demikian hukum pada hakikatnya suatu Sollen-Sein sehingga tujuan hukum terletak pada keseimbangan antara keadilan, daya guna, dan kepastian
hukum atau lebih tegasnya tujuan hukum adalah kepastian hukum,
kemanfaatan, dan keadilan.8
Sehubungan dengan yang diungkapkan oleh Van Apeldoorn
sebelumnya, maka jika dihubungkan dengan pembukaan UUD 1945 alinea
keempatbahwa untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia, Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia dibentuk sebagai wadah dari seluruh dari sistem hukum
7Philipus M. Hardjon, Dalam Iriyanto A. Baso Ence, Op. Cit, hlm 32
8Mudiarti Trianingsih, Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama
atau undang-undang, sehingga dengan adanya dasar-dasar yang dijadikan
acuan dalam pembentukan undang-undang diharapkan tujuan hukum itu
sendiri akan tercapai dalam Pemerintah Negara Indonesia, yang mana
tujuan hukum tersebut adalah keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, dan
kebahagiaan.
Tujuan masyarakat ialah mencari dan mewujudkan ketentraman atau
ketertiban yaitu kehidupan bersama antara sesama anggota masyarakat
yang dituntun dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu
lintas pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan dengan tertib dan
lancar, agar dapat terwujud tata pergaulan yang tertib dan lancar,
satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh masyarakat ialah dengan jalan
menegakkan ketertiban dan kepastian hukum dalam setiap aspek
kehidupan, sesuai dengan kaidah-kaidah dan nilai hukum yang telah
disepakati.9
Hukum yang ditegakkan oleh instansi penegak hukum yang diserahi
tugas untuk itu, harus menjamin kepastian hukum demi tegaknya ketertiban
dan keadlian dalam kehidupan masyarakat, karena ketidakpastian hukum
akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan akan
saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri, keadaan
seperti demikian menjadikan kehidupan berada dalam suasana kekacauan
sosial (social disorganization).10 Oleh karena itu untuk membina peningkatan
suasana kehidupan masyarakat yang aman dan tertib atau untuk tercipta
9M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 75
stabilitas keamanan dan ketertiban kehidupan masyarakat, hukum dan
undang-undang harus ditegakkan dengan tepat dan tegas.11
Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang
berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan
dapat dilaksanakan, mesikpun kepastian hukum erat kaitannya dengan
keadilan akan tetapi hukum tidak identik dengan keadilan, hukum bersifat
umum, mengikat setiap orang, bersifat sama rata (equality before the law), sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak
menyamaratakan.12
Syarat kepastian hukum dalam situasi tertentu adalah sebagai berikut :13
“1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten, dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu- mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan”.
Kepastian hukum sesungguhnya merupakan pertanyaan yang hanya
bisa dijawab secara normative, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara
normative adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis, jelas dalam arti tidak
menimbulkan keragu-raguan atau multi tafsir dan logis dalam arti ia menjadi
suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
11Mudiarti Trianingsih, Loc. Cit 12Ibid
13Jan M. Otto, Dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir,
menimbulkan konflik norma berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau
distorsi norma.14 Kepastian hukum berkaitan dengan teori hukum murni yang
digagaskan oleh Hans Kelsen dengan aliran positivisme hukumnya.
Membahas mengenai kepastian hukum, maka doktrin yang disebut
dengan teori hukum murni diupayakan terbebas dari segala unsur asing bagi
metode khusus dari suatu ilmu yang tujuannya hanyalah pengetahuan
tentang hukum, dengan kata lain harus dipisahkan dari hal-hal yang bersifat
non yuridis.15
Kepastian hukum merupakan suatu pegangan yang pasti bagi setiap
orang dengan adanya rumusan yang tegas dalam suatu ketentuan tertulis
yang didasarkan pada kaidah dan ajaran-ajaran hukum normatif yang
disesuaikan dengan fungsi hukum itu sendiri untuk melaksanakan ketertiban
dalam masyarakat.16
Kedudukan warga negara dihadapan hukumharus setara. Hal tersebut
sesuai dengan yang tercantum di dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
14Endang Ali Ma’sum, Kepastian Hukum (Rechtszekerheid) ‘itsbat Nikah, hlm 12,
www.pta-banten.go.id/makalah/kepastian-hukum-istbat-nikah.pdf, diakses pada hari Kamis, Tanggal 05 Juni 2014
15 Hans Kelsen, Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara Terjemahan Dari
General Theory Of Law And State, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm vi
16Ande Akhmad Sanusi, Kumpulan Catatan Perkuliahan Semester I s/d Semester VIII,
Sehubungan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang telah diuraikan,
Solly Lubis menjelaskan bahwa :17
“... yang dimaksud dengan kedudukan yang sama dalam hukum pada Pasal 27 Ayat (1) tersebut adalah meliputi baik bidang hukum privat maupun hukum publik, sehingga karenanya setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dengan mempergunakan kedua kelompok hukum tersebut dan jika ditilik selanjutnya tampak bahwa hukum yang sebagai alat, sudah mencakup segi-segi keperdataan dan kepidanaan, serta cabang-cabang hukum publik lainnya, seperti hukum tatanegara, hukum tata pemerintahan, hukum acara pidana/perdata dan sebagainya, di dalam Pasal 27 Ayat (1) tersebut telah tercakup semua hak-hak hukum seperti disebutkan di dalam UUD”.
Berdasarkan penjelasan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang diuraikan
oleh Solly Lubis, maka setiap warga negara dapat memperoleh hak yang
sama untuk mendapatkan perlindungan dari kedua kelompok hukum yaitu
hukum private dan hukum publik ataupun keperdataan dan kepidanaan yang merupakan bagian daripada kelompok hukum publik.
Keadilan untuk mewujudkan jaminan dan perlindungan hukum yang
setara, selanjutnya terdapat di dalamPasal 28D Ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945yang menyebutkan : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Berdasarkan pengertian Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 tersebut bahwa
setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum yang berkepastian
tanpa membeda-bedakan statusnya, dan diperlakukan sama dihadapan
hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Hukum
17Solly Lubis, Dalam Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah
merupakan suatu bagian penetapan dari kekuasaan penguasa yang
berwenang dan hampir selalu berupa perlengkapan penguasa ( overheids-orgaan) dari suatu tatanan hukum dari tatanan negara yang konkret.18
Pengertian terhadap hukum tidak dapat dijelaskan definisinya secara
pasti dikarenakan penjawaban terhadap pertanyaan mengenai definisi
hukum itu sendiri sangatlah sulit, definisi mengenai hukum merupakan suatu
tema klasik dari filsafat hukum.19 Lemaire dalam bukunya yang berjudul Het
Recht in Indonesie, mengatakan :20
“...De veelzijdigheid en veelomvattendheid van het recht brengen niet allen met zich, dat het onmogelijk is in een enkele definitie aan te geven wat recht is (Hukum itu banyak seginya dan meliputi segala lapangan, oleh sebabnya orang tidak mungkin membuat suatu definisi apa sebenarnya hukum itu)”.
Sehubungan dengan sulitnya membuat suatu definisi hukum yang telah
diungkapkan oleh Lemaire tersebut, maka pengertian hukum tidak dapat
diperoleh hanya dari 1 orang ahli hukum, akan tetapi pengertian hukum
tersebut didapatkan dari beberapa ahli hukum, salah satunya adalah
pengertian hukum yang dijelaskan oleh Plato.
Menurut Plato, hukum adalah:21
“Sistem aturan-aturan positif yang teratur, terorganisir dan
terformulasi yang mengikat pada keseluruhan individu atau masyarakat dalam negara”.
18 Meuwissen, Dalam Arief Shidarta, Tentang Pengemban Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,
Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm 35
19Ibid
20Lemaire, Dalam Dudu Duswara Machmudin, Otje Salman Soemadiningrat, Pengantar Ilmu
Hukum Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm 6
21Herman Bakhir, Filsafat Hukum Desain Dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama,
Selain pengertian hukum yang diungkapkan oleh Plato, terdapat
pengertian hukum menurut beberapa ahli hukum yang lain. Pengertian
hukum menurut beberapa ahli hukum tersebut adalah sebagai berikut :22
“1. Menurut Aristoteles, Hukum adalah kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim (Particular law is that which each community lays down and applies to its own member. Universal law is the law of nature) ;
2. Menurut Grotius/Hugo de Groot, Hukum adalah aturan yang mengharuskan untuk berbuat moral yang baik (Law is a rule or moral action obliging to that which is right) ;
3. Menurut Cornelis van Vollenhoven, Hukum adalah fenomena dari interaksi sosial (Recht is een verschijnsel in rusteloze wisselwerking van stuw en tegenstuw) ;
4. Pengertian Hukum menurut Bellefroid, Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat tersebut (Stellig recht is een ordering van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde gemeenschap geld en op haar gezag is vastgesteld) ;
5. Pengertian Hukum menurut Hans Kelsen, Hukum bukanlah selalu yang dikatakan sebagai aturan, hukum merupakan sekumpulan aturan yang bersatu, kita mengenalnya dengan sistem (Law is not, as is sometimes said, a rule. It is a set of rules having the kind of unity we understand by a system) ; 6. Menurut Erns Utrecht, Hukum adalah himpunan petunjuk
hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah masyarakat itu)”.
Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, definisi hukum diartikan
bahwa :23
“Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan hukum itu dalam kenyataan”.
22Dudu Duswara Machmudin, Otje Salman Soemadiningrat, Op. Cit, hlm 8
23Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung,
Mengenai beberapa pendapat para ahli tentang pengertian hukum yang
sudah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa hukum itu meliputi berbagai
unsur, yaitu :24
“1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia ; 2. Peraturan itu dibuat oleh badan berwenang ;
3. Peraturan itu bersifat memaksa, walau tidak dapat dipaksakan ;
4. Peraturan itu disertai sanksi yang tegas dan dapat dirasakan oleh yang bersangkutan”.
Sedangkan ciri-ciri dari hukum tersebut adalah :25
“Adanya suatu perintah, larangan, dan kebolehan serta adanya
sanksi yang tegas”.
Sifat hukum yang mengikat masyarakat memiliki tujuan dan fungsi di
dalam kehidupan masyarakat. Tujuan pokok dari hukum apabila hendak
direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order), kebutuhan terhadap
ketertiban merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur, di samping ketertiban tujuan lain dari
hukum adalah keadilan.26
Terdapat empat hal yang merupakan tujuan hukum :27
“1. Keadilan, pendukungnya adalah Plato ;
2. Kepastian Hukum, pendukungnya adalah aliran Positivisme
dan tokohnya yaitu Hans Kelsen ;
3. Kegunaan, pendukungnya adalah aliran Pragmatic Legal Realism, tokohnya yaitu Roscoe Pound ;
4. Kebahagiaan, pendukungnya adalah aliran Utility, tokohnya Jeremy Bentham”.
Fungsi dan tujuan hukum itu sebenarnya sudah terkandung dalam
batasan pengertian atau definisinya, jika hukum adalah perangkat
kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
24Dudu Duswara Machmudin, Otje Salman Soemadiningrat, Op. Cit, hlm 9 25Ibid
26Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hlm 3
27Otje Salman Soemadiningrat, Filsafat Hukum Perkembangan Dan Dinamika Masalah,
masyarakat, dapat disimpulkan bahwa salah satu fungsi yang terpenting dari
hukum adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan masyarakat,
keteraturan tersebut menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian
yang artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan
dalam kehidupan bermasyarakat, intinya apabila dihubungkan dengan
kepentingan penjagaan keamanan diri maupun harta milik dapat juga
dinamakan ketertiban.28 Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara
ketertiban dalam masyarakat, fungsi demikian diperlukan dalam setiap
masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun karena di sini
pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi, dan diamankan. Hukum
harus membantu proses perubahan masyarakat yang sedang membangun
atau dalam artian masyarakat yang sedang berubah dengan cepat.29
Hukum memiliki sumber sebagai himpunan dari peraturan-peraturan
yang mengikat bagi masyarakat. Untuk dapat menemukan sumber daripada
hukum tersebut dapat menggunakan teori hukum analitik yang bermula pada
murid Jeremy Bentham yakni John Austin. Principle Of Origin (asas sumber) merupakan asas yang digunakan oleh John Austin dalam menelusuri hukum
untuk menemukan sumbernya, hukum itu dapat ditemukan dalam
undang-undang yang ditetapkan oleh penguasa yang berdaulat.30 Pengertian sumber
(kekuatan) hukum hingga dapat mengikat atau dipatuhi manusia dinamakan
sumber hukum dalam arti materiil, sedangkan tempat untuk dapat
menemukan aturan-aturan hukum yang mengatur masyarakat dinamakan
sumber hukum dalam arti formal.
28Mochtar Kusumaatmadja, Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, 2009, hlm 49
Sumber hukum dalam arti materiil adalah tempat dari mana materiil itu
diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu
pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik,
situasi social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil
penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional,
keadaan geografis, dll. Sumber hukum dalam arti formal bertalian dengan
masalah atau persoalan untuk mendapatkan atau menemukan
ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, sumber-sumber hukum dalam arti formal adalah
undang-undang, kebiasaan, keputusan pengadilan, traktat atau perjanjian dan
pendapat ahli hukum terkemuka sebagai sumber tambahan.31
Pengertian undang-undang dalam arti formal yaitu hukum tertulis yang
merupakan produk legislatif (perundang-undangan) hasil kerjasama antara
pemerintah dengan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat.32
Perundang-undangan dalam proses pembuatannya harus disusun secara hirarki dimulai
dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah. Hirarki
undangan harus didasarkan pada asas bahwa suatu ketentuan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perperundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya, asas tersebut adalah Lex Superior Derogat Lex Legi Inferiori.33
Asas-asas yang harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan
menurut Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah : “a. Pengayoman;
31Ibid 32Ibid, hlm 60
b. Kemanusiaan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”.
Selanjutnya hirarki perundang-undangan menurut Pasal 7 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
“a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.
Undang-Undang telah memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Agung untuk memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kewenangan yang dimiliki
oleh Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus permohonan
peninjauan kembali tercantum di dalam Pasal 263 Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (Herziening) perkara pidana mengacu pada Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, yang menyebutkan :
Pengertian mengenai peninjauan kembali tidak dapat ditemukan di
dalam perundang-undangan di Indonesia, oleh karena itu untuk
mendapatkan pengertiannya dapat diperoleh dari pendapat para ahli.
Peninjauan Kembali (Herziening) menurut Soediryo, adalah :34
“Suatu upaya hukum yang dipakai untuk memperoleh
penarikan kembali atau perubahan terhadap putusan hakim yang pada umumnya tidak dapat diganggu gugat lagi”.
Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa, namun
sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas kepastian hukum, prinsip
asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan hakim yang sudah
berkekuatan hukum tetap tidak dapat diubah lagi. Asas kepastian hukum ini
disebut dengan nebis in idem yang memiliki pengertian bahwa tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara dua pihak
dalam perkara yang sama.35
Asas nebis in idem terkandung pula di dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa :
“Terhadap pengujian Undang-Undang tidak boleh dilakukan
pengujian yang kedua kali terhadap ayat, pasal, dan materi di
dalam undang-undang yang telah dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi”.
Demi adanya kepastian hukum, undang-undang telah memberi
batasan-batasan mengenai hak untuk mengajukan permohonan upaya hukum bagi
terpidana yang merasa dirugikan oleh putusan hakim, akan tetapi harus
berdasarkan ketentuan dan syarat pengajuan permohonan itu sendiri, yang
tentunya syarat dan pengajuan tersebut telah diatur undang-undang.
Permintaan peninjauan kembali atas putusan berkekuatan hukum tetap tidak
dibatasi oleh waktu, sehingga permintaan peninjauan kembali dapat diajukan
kapanpun oleh terpidana atau ahli warisnya kepada Mahkamah Agung. Hal
tersebut tercantum di dalam Pasal 264 Ayat (3) KUHAP yang menjelaskan : “Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu
jangka waktu”.
Undang-Undang memberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan
kembali dengan segala persyaratan yang bertujuan untuk menerapkan asas
keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum. Jika kepastian
hukum diseimbangkan dengan keadilan diharapkan ketertiban dalam
masyarakat akan terwujud. Antashari Azhar pernah melakukan upaya hukum
luar biasa peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung namun ditolak dan
Antashari Azhar akhirnya memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
melakukan pengujian undang-undang terhadap Pasal 268 Ayat (3) KUHAP
dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat di dalam Putusan
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis, yaitu suatu metode
penelitian yang dilakukan dengan cara melukiskan dan menggambarkan
fakta-fakta baik berupa data sekunder bahan hukum primer (peraturan
perundang-undangan), data sekunder bahan hukum sekunder (doktrin
atau pendapat para ahli), dan data sekunder bahan hukum tersier
(data-data yang didapat melalui makalah atau artikel) yang berhubungan
dengan peninjauan kembali.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah
Yuridis Normatif yaitu suatu metode yang mengkonsepkan hukum
sebagai norma, kaidah, asas, atau dogma-dogma. Pada penelitian ini,
Peneliti mencoba menggunakan penafsiran hukum gramatikal yaitu
penafsiran yang dilakukan dengan cara melihat arti kata atau arti pasal
dalam undang-undang, penafsiran otentik yaitu penafsiran yang
dilakukan berdasarkan bunyi undang-undang yang dibuat sendiri oleh
pembuat undang-undang yang disesuaikan dengan arti kata-kata
tersebut, dan penafsiran ekstensif yaitu penafsiran yang bersifat
memperluas arti kata dalam undang-undang.
3. Tahap Penelitian
a. Studi Kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan mencari data-data
berupa :
1) Data sekunder bahan hukum primer yaitu peraturan
a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana ;
b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman ;
c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi ;
d) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan ;
e) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009
tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali ;
f) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012
tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
Dalam Perkara Pidana.
g) Peraturan DPR RI NOMOR 1 TAHUN 2009 tentang Tata
Tertib
2) Data sekunder bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum
berupa doktrin atau pendapat para ahli hukum.
3) Data sekunder bahan hukum tersier, yaitu bahan yang
memberikan informasi-informasi berupa artikel dan makalah.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan
data-data yang diperoleh dari perundang-undangan, buku-buku teks, hasil
penelitian, majalah, artikel dan lain-lain.
Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu dengan
cara memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal
tersebut memiliki makna bahwa peraturan perundang-undangan yang
derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.
6. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian diambil untuk memperoleh data yang diperlukan dalam
penulisan skripsi. Lokasi tersebut yaitu :
a. Perpustakaan
1) Perpustakaan Universitas KomputerIndonesia,
Jl. Dipatiukur No. 112, Bandung.
2) Perpustakan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran,
Jl. Dipatiukur No. 35, Bandung.
b. Website
1) www.putusan.mahkamahagung.go.id 2) www.mahkamahkonstitusi.go.id 3) www.hukumonline.com
131 A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan permasalahan yang diangkat dalam
penelitian tersebut maka terdapat beberapa hal pokok yang dapat dijadikan
sebagai kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
1. Penyelesaian perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sebagai peraturan yang mengatur tata cara
penyelesaian perkara pidana yang dimulai dengan tahap
penyelidikan dan penyidikan yang bertujuan mendapatkan
kebenaran materiil yaitu menemukan suatu peristiwa pidana beserta
barang bukti dan pelaku dalam suatu peristiwa tindak pidana.
Selanjutnya hasil dari penyelidikan dan penyidikan tersebut
dimasukan ke dalam surat dakwaan oleh penuntut umum yang
berwenang melakukan penuntutan, dan yang terakhir pemeriksaan
di sidang pengadilan guna mendapatkan keputusan hakim
mengenai bersalah atau tidak seseorang yang didakwakan tersebut.
Kepastian hukum merupakan asas dalam hukum yang mewujudkan
adanya suatu peraturan yang diterapkan secara adil berkaitan
dengan perlindungan, jaminan, dan perlakuan yang sama
dihadapan hukum terhadap setiap orang. Kepastian hukum dalam
penyelesaian perkara pidana adalah ketika setiap penegak hukum
(polisi, penuntut umum, penasihat hukum, dan hakim) taat kepada
hukum acara pidana dalam melakukan tugasnya menyelesaikan
pelakunya. Setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268
Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,
maka penyelesaian perkara pidana dalam ruang lingkup hukum
acara pidana akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
penyelesaian perkara pidana yang sudah mendapatkan kekuatan
hukum tetap dalam putusan perkara nya dan telah membuka
peluang bagi terpidana yang sudah terbukti berdasarkan kebenaran
materiil untuk mendapatkan keuntungan berupa putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, atau penerapan hukum yang
lebih ringan.
2. Peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu kali dalam perkara
pidana memiliki keabsahan hukum, dikarenakan ketentuan
mengenai permintaan peninjauan kembali dalam perkara pidana
yang hanya dapat diajukan satu kali dalam Pasal 268 Ayat (3)
KUHAP, telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat yang artinya tidak hanya mengikat para pihak pemohon
akan tetapi juga DPR, pemerintah, serta masyarakat, dan
Mahkamah Konstitusi menyatakan apabila terdapat hakim yang
tetap menggunakan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, maka hakim
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka Penulis memberikan
saran sebagai berikut :
1. Dalam beracara pidana, segala ketentuan yang menyangkut
wewenang, fungsi, dan tugas peradilan yang menjalankan
kekuasaan kehakiman hendaknya mengikuti tata cara yang sudah
diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai
pedoman dalam melakukan penyelesaian perkara pidana agar tidak
ada saling tumpang tindih antar lembaga dan menghindari adanya
kesewenang-wenangan.
2. Untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum maka diperlukan
pembaharuan hukum terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, khususnya terhadap Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang telah
dicabut dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
3. Berkaitan dengan wewenang Pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 oleh MK, maka sebaiknya pengujian
dilakukan sebelum undang disahkan atau saat
undang-undang masih dalam masa pembentukan, sehingga Mahkamah
Konstitusi dapat menyatakan pembentukan undang-undang tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sebagaimana yang yang
tercantum dalam Pasal 57 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
mengganggu putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap dan terhadap putusannya dapat dilaksanakan dengan
seadil-adilnya serta menghindari terjadinya kekosongan hukum dalam
KEPASTIAN HUKUM TENTANG PENINJAUAN KEMBALI
(
HERZIENING
) LEBIH DARI SATU KALI DALAM PERKARA
PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 268 AYAT (3)
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
LEGAL CERTAINTY OF MORE THAN ONCE JUDICIAL REVIEW
(HERZIENING) IN CRIMINAL CASE IN RELATION WITH THE ARTICLE
268 PARAGRAPH (3) OF THE CRIMINAL PROCEDURAL CODE
SKRIPSI
Penulisan Hukum
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
Oleh
Nama : Farhan Aziz
Nim : 31610006
Program Kekhususan : Hukum Pidana
Dosen Pembimbing : Hetty Hassanah S.H., M.H.
NIP. 4127 33 00 005
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG
iii LEMBAR PENGESAHAN
SURAT PERNYATAAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8
D. Kegunaan Penelitian ... 8
E. Kerangka Pemikiran ... 9
F. Metode Penelitian ... 23
BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DAN PENINJAUAN KEMBALI (HERZIENING) DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA ... 26
BAB III UPAYA HUKUM LUAR BIASA PENINJAUAN KEMBALI (HERZIENING) LEBIH DARI SATU KALI DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA ...
96
A. Peninjauan Kembali Lebih Dari Satu Kali Dalam Perkara Pidana Di
Indonesia ... 96
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2013 Yang Mengakibatkan Permohonan Peninjauan Kembali Dapat Diajukan Lebih Dari Satu Kali ... 104
BAB IV KEPASTIAN HUKUM TENTANG PENINJAUAN KEMBALI (HERZIENING) LEBIH DARI SATU KALI DALAM PERKARA PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 268 AYAT (3) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA... 113
A. Kepastian Hukum Terhadap Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Ruang Lingkup Hukum Acara Pidana Indonesia Indonesia Berkaitan Dengan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP Yang Dinyatakan Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Yang Mengikat Oleh Mahkamah Konstitusi ... 113
B. Keabsahan Permohonan Peninjauan Kembali Yang Dapat Diajukan Lebih Dari Satu Kali Dihubungkan Dengan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ... 117 BAB V PENUTUP ... 131
A. Simpulan ... 131
B. Saran ... 133
DAFTAR PUSTAKA ... 134 LAMPIRAN
135 A. Sumber Buku
Adami Chazawi. Lembaga Peninjauan Kembali Perkara Pidana Penegakan Hukum Dalam Peradilan Sesat. Sinar grafika. Jakarta. 2010
Andi Hamzah. Hukum Acara Pid
ana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2010
___________.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2010
Arief Shidarta. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir. Refika Aditama. Bandung. 2006
___________.Tentang Pengemban Hukum. Ilmu Hukum. Teori Hukum. Dan Filsafat Hukum. Refika Aditama. Bandung. 2013
Boy Nurdin. Kedudukan Dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. Alumni. Bandung. 2012
C.S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1986
Dudu Duswara Machmudin. Otje Salman Soemadiningrat. Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa. Refikas Aditama. Bandung. 2010
Erdianto Effendi. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Refika Aditama. Bandung. 2011
Hans Kelsen. Raisul Muttaqien. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara Terjemahan Dari General Theory Of Law And State. Nusa Media. Bandung. 2013
Herman Bakir. Filsafat Hukum Desain Dan Arsitektur Kesejarahan. Refika Aditama. Bandung. 2009
Iriyanto A. Baso Ence. Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi. Alumni. Bandung. 2008
Ishana Hanifah. Himpunan Lengkap KUHper., KUHP., KUHAP., Laksana. Jakarta. 2014
Lilik Mulyadi.Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2008
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. 2010
___________.Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta. 2008
Mien Rukmini. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Alumni. 2007
Mochtar Kusumaatmadja. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Alumni. Bandung. 2006
__________.Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, 2009
Mudiarti Trianingsih. Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama Di Indonesia. Utomo. Bandung. 2007 Otje Salman Soemadiningrat. Filsafat Hukum Perkembangan Dan Dinamika
Masalah. Refika Aditama. Bandung. 2010
Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2009
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007
Suharto, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana Mulai Proses Penyelidikan Hingga Persidangan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2013
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1999
Zulkarnain, Praktik Peradilan Pidana Panduan Praktis Memahami Peradilan Pidana, Setara Press, Malang, 2013
B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah beberapa pasalnya oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
Peraturan DPR RI NOMOR 1 TAHUN 2009 tentang Tata Tertib C. Sumber Lain
Ande Akhmad Sanusi. Kumpulan Catatan Perkuliahan Semester I s/d Semester VIII. Universitas Padjadjaran. Bandung. 2013
Rustanto. Analisis Pengajuan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Oleh Jaksa Dalam Praktik Peradilan Pidana Di Indonesia. Universitas Udayana. 2011
Sudikno Mertokusumo. dalam Herlambang Perdana Wiratraman. Presentasi UUD Sebagai Sumber Utama Hukum Tata Negara. Universitas Airlangga. Yogyakarta. 2008
D. Website
Endang Ali Ma’sum, Kepastian Hukum (RECHTSZEKERHEID) ‘Itsbat Nikah, hlm 12,
www.pta-banten.go.id/makalah/kepastian-hukum-itsbat-Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2010, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011, hlm 8,
Nama : Farhan Aziz
Tempat/Tanggal Lahir : Sukabumi, 08-06-1992
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Kp. Cimaja, Kec. Cikakak, Pelabuhan Ratu,
Kabupaten Sukabumi
Telepon : 081563456669
Email : Kingdom.pirates@gmail.com
Status : Belum Menikah
PENDIDIKAN FORMAL :
TK Tunas Muda Sukabumi : 1997-1999
SDN Nagasari IV Karawang : 1999-2004
SMP Negeri 138 Jakarta Timur : 2004-2007
SMA Negeri 1 Simpenan Sukabumi : 2007-2010
Universitas Komputer Indonesia : 2010-2015
PENGALAMAN KERJA
i
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta
karena ridho-Nya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kepastian Hukum Tentang Peninjauan Kembali (Herziening) Lebih Dari
Satu Kali Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”.
Penulisan skripsi ini membahas mengenai kepastian hukum peninjauan
kembali terhadap perkara pidana, setelah Pasal 268 Ayat (3) KUHAP dinyatakan
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2013.
Peneliti
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H.,
selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan
kesabarannya untuk membimbing Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Selain itu dalam kesempatan ini Peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, M.Sc., selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;
2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra., S.E., M.Si selaku Wakil Rektor I Universitas Komputer Indonesia;
3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati. S.E., M.S., Ak., selaku Wakil Rektor II Universitas Komputer Indonesia;
4. Yth. Ibu Dr. Hj. Aelina Surya., selaku Wakil Rektor III Universitas Komputer Indonesia;
6. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, SH., MS., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
7. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
8. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
9. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., M.H, selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
10. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
11. Yth. Ibu Dr. Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
12. Yth. Ibu Rachmani Puspitadewi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
13. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md., selaku Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.
Orang Tua Peneliti yang selalu memberikan do’a kepada Peneliti dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Seluruh teman seperjuangan angkatan 2010 Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yang selalu bersama-sama Peneliti berjuang menempuh pendidikan Ilmu Hukum untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum, dan adik-adik angkatan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya.
Akhir kata, semoga segala pengorbanan yang diberikan oleh orang-orang terkasih, Dosen Pengajar, dan Dosen Pembimbing selama Peneliti menyelesaikan penulisan skripsi ini, baik moril maupun materil mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga tugas penulisan skripsi ini bermanfaat bagi Peneliti sendiri dan bagi para masyarakat pada umumnya.
Bandung, Februari 2015 Peneliti