• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepastian Hukum Tentang Peninjauan kembali (HERZIENING) Lebih Dari Satu Kali Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Pasal 268 Ayat (3) Kitab UNdang-Undang Hukum Acara Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepastian Hukum Tentang Peninjauan kembali (HERZIENING) Lebih Dari Satu Kali Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Pasal 268 Ayat (3) Kitab UNdang-Undang Hukum Acara Pidana"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PIDANA

LEGAL CERTAINTY OF MORE THAN ONCE JUDICIAL REVIEW (HERZIENING) IN CRIMINAL CASE IN RELATION WITH THE ARTICLE 268

PARAGRAPH (3) OF THE CRIMINAL PROCEDURAL CODE

Oleh

Nama : Farhan Aziz

Nim : 31610006

Program Kekhususan : Hukum Pidana

ABSTRAK

Skripsi ini mengkaji tentang peninjauan kembali yang dapat diajukan lebih dari satu kali dikarenakan Pasal 268 Ayat (3) yang menjadi pembatasan terhadap pengajuan Peninjauan Kembali telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Permintaan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Antasari Azhar telah diputus oleh Putusan Nomor 117/PK/PID/2011 dan dinyatakan permohonannya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung dikarenakan dasar permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 263 Ayat (3) KUHAP. Permasalahannya adalah tentang kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara pidana dalam ruang lingkup hukum acara pidana di Indonesia berkaitan dengan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dan keabsahan peninjauan kembali yang dapat diajukan lebih dari satu kali.

Penulisan hukum ini dilakukan secara diskriptif analitis, yaitu menggambarkan fakta yang terjadi kemudian dianalisis berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif, yaitu mengkaji atau menganalisa peraturan perundang-undangan yang ada. Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu metode penelitian yang berdasarkan norma-norma, asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang ada, untuk mencapai kepastian hukum.

(2)
(3)

Article 268 Paragraph (3) which limits frequency of filing of judicial review had been declared to have no binding legal force, or null and void, by the Constitutional Court. Request for judicial review made by Antasari Azhar has been decided by the Decision No. 117/PK /PID/2011 and declared that his application could not accepted by the Supreme Court because the application for judicial review did not meet the condition(s) stipulated in the Article 263 Paragraph (3) of the Criminal Procedural Code. The problem is about legal certainty of resolution of criminal case within the scope of the criminal procedural code related with the article 268 Paraghraph (3) of the criminal procedural code had been declared to have no binding legal force and validity of judicial review filed for more than once.

This legal writing was conducted using descriptive-analytical method, i.e. by describing the fact and then analyzing them based on the existing constitutional regulations, using a juridical/normative approach that is reviewing and analyzing the existing regulation. The data obtained were analyzed juridical and qualitatively, which means that research method was based on norms, principles and the existing constitutional regulations, in order to achieve legal certainty.

Based on the results of this research and analysis, it can be concluded that resolution or settlement of criminal case must be based on the Criminal Procedural Code as the rules governing the procedures of settlement of criminal cases that begin with the investigation stage aimed at revealing the material truth, that is, finding criminal incident and any evidence and actors in a criminal incident. Furthermore, results of this investigation were then included in indictment formulated by competent general prosecutor having the authority to prosecute and, finally, examination before the court in

order to obtain a judge’s decision regarding the guilt or innocence of the accused party.

(4)

biasa yang diajukan terpidana kepada Mahkamah Agung guna mengoreksi

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan alasan

ditemukannya keadaan baru yang tidak dihadirkan saat persidangan

berlangsung, dasar pertimbangan putusan yang saling bertentangan, serta

adanya kekhilafan hakim yang apabila Mahkamah Agung membenarkan adanya

ketiga alasan tersebut dalam putusannya maka hasil putusan daripada

peninjauan kembali dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala

tuntutan penuntut umum, atau putusan yang meringankan hukuman.

Antasari Azhar mengajukan permohonan pengujian undang-undang

kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 268 Ayat (3) KUHAP terhadap

Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (1)

UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 34/PUU-X/2013 telah

menyatakan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum yang

mengikat dan hakim dianggap tidak memiliki dasar hukum jika tetap

menggunkannya.

Menurut Pasal 60 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 sebagaimana diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Mahkmah Konstitusi, bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau

bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian

kembali terkecuali materi muatan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang

dijadikan dasar pengujian berbeda.

Sehubungan dengan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut, materi muatan UUD 1945 yang

(5)

16/PUU/VIII/2010 dan Perkara Nomor 64/PUU-VIII/2010 tahun 2010, dengan

demikian terdapat kesenjangan mengenai kepastian hukum dan keadilan

terhadap putusan MK Nomor 34/PUU-X/2013 yang menyatakan Pasal 268 Ayat

(3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan memberikan

peluang terhadap Antasari Azhar untuk dapat mengajukan permohonan

peninjauan kembali lebih dari 1 kali.

Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini

adalah :

1. Bagaimana kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara pidana

dalam ruang lingkup Hukum Acara Pidana di Indonesia berkaitan

dengan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang dinyatakan tidak memiliki

kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi ?

2. Bagaimana keabsahan permohonan peninjauan kembali yang

diajukan lebih dari satu kali dihubungkan dengan Pasal 268 Ayat (3)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ?

Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah

Yuridis Normatif yaitu suatu metode yang mengkonsepkan hukum sebagai

(6)

yang diperoleh dari perundang-undangan, buku-buku teks, hasil penelitian,

majalah, artikel dan lain-lain.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis,

yaitu :

1. Secara Teoritis, penulisan ini diharapkan bermanfaat dalam upaya

pemahaman mengenai peninjauan kembali terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde) dalam perkara pidana.

2. Secara Praktis, memberikan masukan bagi pembentuk undang-undang

dalam menyusun materi pasal tentang peninjauan kembali sebagai

upaya hukum luar biasa dalam perkara pidana di Indonesia.

Simpulan Dan Saran 1. Simpulan

a. Penyelesaian perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana sebagai peraturan yang mengatur tata cara

penyelesaian perkara pidana yang dimulai dengan tahap

penyelidikan dan penyidikan yang bertujuan mendapatkan

kebenaran materiil yaitu menemukan suatu peristiwa pidana beserta

barang bukti dan pelaku dalam suatu peristiwa tindak pidana.

Selanjutnya hasil dari penyelidikan dan penyidikan tersebut

dimasukan ke dalam surat dakwaan oleh penuntut umum yang

(7)

Kepastian hukum merupakan asas dalam hukum yang mewujudkan

adanya suatu peraturan yang diterapkan secara adil berkaitan

dengan perlindungan, jaminan, dan perlakuan yang sama

dihadapan hukum terhadap setiap orang. Kepastian hukum dalam

penyelesaian perkara pidana adalah ketika setiap penegak hukum

(polisi, penuntut umum, penasihat hukum, dan hakim) taat kepada

hukum acara pidana dalam melakukan tugasnya menyelesaikan

perkara pidana guna melindungi hak dan kewajiban korban dan

pelakunya. Setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268

Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,

maka penyelesaian perkara pidana dalam ruang lingkup hukum

acara pidana akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam

penyelesaian perkara pidana yang sudah mendapatkan kekuatan

hukum tetap dalam putusan perkara nya dan telah membuka

peluang bagi terpidana yang sudah terbukti berdasarkan kebenaran

materiil untuk mendapatkan keuntungan berupa putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, atau penerapan hukum yang

lebih ringan.

b. Peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu kali dalam perkara

pidana memiliki keabsahan hukum, dikarenakan ketentuan

mengenai permintaan peninjauan kembali dalam perkara pidana

yang hanya dapat diajukan satu kali dalam Pasal 268 Ayat (3)

(8)

Mahkamah Konstitusi menyatakan apabila terdapat hakim yang

tetap menggunakan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, maka hakim

tersebut tidak memiliki dasar hukum.

2. Saran

a. Dalam beracara pidana, segala ketentuan yang menyangkut

wewenang, fungsi, dan tugas peradilan yang menjalankan

kekuasaan kehakiman hendaknya mengikuti tata cara yang sudah

diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai

pedoman dalam melakukan penyelesaian perkara pidana agar tidak

ada saling tumpang tindih antar lembaga dan menghindari adanya

kesewenang-wenangan.

b. Untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum maka diperlukan

pembaharuan hukum terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, khususnya terhadap Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang telah

dicabut dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang

mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.

c. Berkaitan dengan wewenang Pengujian Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945 oleh MK, maka sebaiknya pengujian

dilakukan sebelum undang disahkan atau saat

undang-undang masih dalam masa pembentukan, sehingga Mahkamah

Konstitusi dapat menyatakan pembentukan undang-undang tidak

memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sebagaimana yang yang

(9)

mengganggu putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum

tetap dan terhadap putusannya dapat dilaksanakan dengan

seadil-adilnya serta menghindari terjadinya kekosongan hukum dalam

(10)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum, hal tersebut sesuai dengan

ketentuan yang terdapat pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945

yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.

Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan bahwa Negara Indonesia

berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat), hal tersebut berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya.

Jaminan bagi segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum tertuang di dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyebutkan :

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Konsep negara hukum bertujuan untuk menghindarkan negara atau

pemerintah bertindak sewenang-wenang dengan cara membatasi

kekuasaan negara atau pemerintah dan melakukan pembagian kekuasaan

(11)

politica, dan pemerintahan yang berdasarkan undang-undang (asas legalitas).1

Penghayatan, pengamalan, dan pelaksanaan hak asasi manusia

maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan

tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara

negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di

pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya

hukum acara pidana.

Moeljatno memberikan pengertian hukum acara pidana sebagai

berikut :2

“Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut”.

Menurut penjelasan KUHAP, demi tegaknya Republik Indonesia sebagai

negara hukum, maka untuk mengatur cara beracara dalam hukum pidana

dibuatlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana yang wajib didasarkan pada falsafah atau pandangan hidup bangsa

dan negara serta sudah seharusnya di dalam ketentuan materi pasal atau

ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasimanusia serta kewajiban

warga negara maupun asas yang mengatur perlindungan terhadap

keluhuran harkat serta martabat manusia.

1 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi,

Alumni, Bandung, 2008, hlm 1

2Moeljatno, Dalam Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti,

(12)

Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat dan

martabat manusia harus ditegakkan dalam dan dengan Undang-Undang

Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, asas tersebut adalah:3

“1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan ;

2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang ;

3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang, pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap ;

4. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi ;

5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”.

Asas yang terdapat di dalam acara pidana mencerminkan adanya suatu

peraturan yang merupakan wujud dari kepastian hukum serta perlakuan

yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum yang merupakan bentuk

dari keadilan. Proses penyelesaian perkara pidana dari tahap penyidikan

sampai dengan peradilan hukum harus diterapkan seadil-adilnya tanpa

memandang status sosial seseorang dengan menerapkan asas persamaan

di muka hukum (equality before the law), asas legalitas, dan asas lainnya.4

3Ibid

(13)

Lembaga peradilan dituntut agar segala proses peradilannya dilakukan

secara jujur, bersih dan tidak memihak serta dilandasi prinsip-prinsip yang

sifatnya terbuka, korektif dan rekorektif.5 Prinsip terbuka, korektif dan

rekorektif tersebut sebenarnya telah lama dianut dalam sistim hukum acara di Indonesia, yaitu sejak berlakunya HIR maupun Rechtsreglement Buitengewesten (selanjutnya disingkat RBg) sampai pemberlakuan KUHAP saat ini. Prinsip tersebut dapat dikatakan sebagai antisipasi terhadap

putusan-putusan pengadilan yang dirasa kurang adil atau kurang tepat,

peninjauan kembali (herziening) sebagai upaya hukum luar biasa (dalam istilah KUHAP), merupakan upaya hukum yang bersifat rekorektif terhadap

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.6

Suatu perkara yang berakhir dengan putusan berkekuatan hukum yang

tetap tidak dapat di buka lagi, hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan

suatu kepastian hukum. Asas ne bis in idem yang terdapat dalam Pasal 76 KUHP yang menyatakan suatu perkara yang sama tidak dapat diajukan

untuk kedua kalinya ke pengadilan, akan tetapi Pasal 263 Ayat (1) KUHAP

membuka kemungkinan bagi terpidana atau ahli warisnya mengajukan

permintaan peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde) kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan negeri yang memutus perkaranya semula, kecuali

dalam hal putusan yang mengandung pembebasan atau pelepasan segala

tuntutan hukum.

5 Rustanto, Analisis Pengajuan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah

Berkekuatan Hukum Tetap Oleh Jaksa Dalam Praktik Peradilan Pidana Di Indonesia, Universitas Udayana, 2011, hlm 4

(14)

Permintaan peninjauan kembali sebagaimana tercantum di dalam Pasal

263 Ayat (2) KUHAP, dilakukan atas dasar :

“a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterpkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan

bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”.

Peninjauan kembali terhadap putusan perkara pidana yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap yang hanya berlandaskan adanya bukti

atau keadaan baru tanpa dibatasi permohonannya, akan menimbulkan celah

hukum dan rekayasa terhadap keadaan atau bukti baru, hal tersebut

mencerminkan pula ketiadaan asas kepastian hukum, asas persamaan di

muka hukum (equality before the law), dan asas keadilan.

Pada saat ini terdapat beberapa perkara pidana yang telah

mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap dan pasti (inkracht van gewjisde), salah satunya yaitu pada perkara pidana Antasari Azhar.Antashari Azhar merupakan terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan Nomor 1532/Pid.B/2009/PN Jkt.Sel yang telah diputus pada

tanggal 11 Februari 2010, pernah melakukan upaya hukum biasa dengan

mengajukan banding kepada pengadilan tinggi serta telah diputus oleh

(15)

Selanjutnya Antashari Azhar mengajukan upaya hukum biasa kasasi

kepada Mahkamah Agung dan telah telah diputus oleh Putusan Nomor

1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010 dan putusan tersebut telah

memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde). Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010,

Antasari Azhar mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan

Kembali dan diputus oleh Mahkamah Agung Nomor putusan

117/PK/Pid/2011 tanggal 13 Februari 2012 yang memutuskan menolak

permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan. Antasari Azhar tidak dapat

mengajukan permohonan untuk melakukan peninjauan kembali karena telah

mengajukan permohonan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali

sebelumnya. Menurut Pasal 268 Ayat (3) KUHAP bahwa Permintaan

peninjauan kembali atas suatu putusan hanya bisa dilakukan satu kali saja.

Berdasarkan ketentuan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tersebut Antasari

Azhar merasa tidak dapat melakukan upaya hukum lain jika suatu saat

terdapat keadaan atau bukti baru, sehingga Antasari mengajukan PUU atau

Pengujian Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal

268 ayat (3) KUHAP yang menganggap membatasi hak mendapatkan

keadilan. Selanjutnya di dalam Putusan Nomor 34/PUU-X/2013 Mahkamah

Konstitusi menyatakan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan

hukum yang mengikat.Menurut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan bahwa :

“(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;

(16)

Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.”

Sehubungan dengan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut, materi muatan UUD 1945 yang

dijadikan MK sebagai dasar pengujian Pasal 268 ayat (3) pada Putusan

Nomor 34/PUU-X/2013 sama dengan materi muatan UUD 1945 yang

dijadikan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar pengujian pada Perkara

Nomor 16/PUU/VIII/2010 dan Perkara Nomor 64/PUU-VIII/2010 tahun 2010,

dengan demikian terdapat kesenjangan mengenai kepastian hukum dan

keadilan terhadap putusan MK Nomor 34/PUU-X/2013 yang menyatakan

Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat

dan memberikan peluang terhadap Antasari Azhar untuk dapat mengajukan

permohonan peninjauan kembali lebih dari 1 kali.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti

mengangkat hal tersebut sebagai karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “Kepastian Hukum Tentang Peninjauan Kembali (Herziening) Lebih

(17)

B. Identifikasi Masalah

Berkaitan dengan latar belakang yang telah diuraikan maka terdapat

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara pidana

dalam ruang lingkup Hukum Acara Pidana di Indonesia berkaitan

dengan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang dinyatakan tidak memiliki

kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi ?

2. Bagaimana keabsahan permohonan peninjauan kembali yang

diajukan lebih dari satu kali dihubungkan dengan Pasal 268 Ayat (3)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ?

C. Maksud dan Tujuan

Maksud dan Tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara

pidana di dalam ruang lingkup Hukum Acara Pidana di Indonesia

berkaitan dengan dinyatakannya Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tidak

memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2013.

2. Untuk mengetahui keabsahan atas permohonan peninjauan kembali

yang dapat diajukan lebih dari satu kali.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun

praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis, penulisan ini diharapkan bermanfaat dalam upaya

(18)

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde)dalam perkara pidana.

2. Secara Praktis, memberikan masukan bagi pembentuk

undang-undang dalam menyusun materi pasal tentang peninjauan kembali

sebagai upaya hukum luar biasa dalam perkara pidana di Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

Negara Indonesia memberikan perlindungan hukum yang adil dan

merata terhadap warga negaranya. Keadilan yang dipegang teguh oleh

Negara Indonesia adalah keadilan sosial, yang artinya keadilan tersebut

harus diberikan terhadap warga negara dengan tidak

membeda-bedakannya. Jaminan perlindungan yang diberikan Negara Indonesia

kepada warga negaranya terwujud dengan adanya suatu peraturan

perundang-undangan yang disusun secara hierarki dan dibentuk

berdasarkan norma yang terdapat di dalam masyarakat, sebagaimana yang

tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, menyebutkan :

(19)

Indonesia merupakan negara hukum, hal tersebut yang tercantum di

dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Ciri-Ciri negara hukum

(rechsstaat) menurut Philipus M. Hardjon adalah :7

“1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;

2. Adanya pembagian kekuasaan;

3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat”.

Ciri-ciri negara hukum tersebut menunjukan bahwa ide pokok dari

negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia

yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya

Undang-Undang Dasar secara teoritis memberikan jaminan konstitusional atas

kebebasan dan persamaan.

Berkenaan dengan tujuan hukum, Van Apeldoorn menyatakan untuk

mengatur pergaulan hidup secara damai, dimaksudkan dengan damai

(vrede) adalah berarti tertib hukum dan kejahatan berarti melanggar perdamaian (vredebreuk) dan dikeluarkan dari perlindungan hukum, namun demikian hukum pada hakikatnya suatu Sollen-Sein sehingga tujuan hukum terletak pada keseimbangan antara keadilan, daya guna, dan kepastian

hukum atau lebih tegasnya tujuan hukum adalah kepastian hukum,

kemanfaatan, dan keadilan.8

Sehubungan dengan yang diungkapkan oleh Van Apeldoorn

sebelumnya, maka jika dihubungkan dengan pembukaan UUD 1945 alinea

keempatbahwa untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang

bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia, Undang-Undang Dasar

Negara Indonesia dibentuk sebagai wadah dari seluruh dari sistem hukum

7Philipus M. Hardjon, Dalam Iriyanto A. Baso Ence, Op. Cit, hlm 32

8Mudiarti Trianingsih, Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama

(20)

atau undang-undang, sehingga dengan adanya dasar-dasar yang dijadikan

acuan dalam pembentukan undang-undang diharapkan tujuan hukum itu

sendiri akan tercapai dalam Pemerintah Negara Indonesia, yang mana

tujuan hukum tersebut adalah keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, dan

kebahagiaan.

Tujuan masyarakat ialah mencari dan mewujudkan ketentraman atau

ketertiban yaitu kehidupan bersama antara sesama anggota masyarakat

yang dituntun dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu

lintas pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan dengan tertib dan

lancar, agar dapat terwujud tata pergaulan yang tertib dan lancar,

satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh masyarakat ialah dengan jalan

menegakkan ketertiban dan kepastian hukum dalam setiap aspek

kehidupan, sesuai dengan kaidah-kaidah dan nilai hukum yang telah

disepakati.9

Hukum yang ditegakkan oleh instansi penegak hukum yang diserahi

tugas untuk itu, harus menjamin kepastian hukum demi tegaknya ketertiban

dan keadlian dalam kehidupan masyarakat, karena ketidakpastian hukum

akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan akan

saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri, keadaan

seperti demikian menjadikan kehidupan berada dalam suasana kekacauan

sosial (social disorganization).10 Oleh karena itu untuk membina peningkatan

suasana kehidupan masyarakat yang aman dan tertib atau untuk tercipta

9M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan

Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 75

(21)

stabilitas keamanan dan ketertiban kehidupan masyarakat, hukum dan

undang-undang harus ditegakkan dengan tepat dan tegas.11

Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang

berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan

dapat dilaksanakan, mesikpun kepastian hukum erat kaitannya dengan

keadilan akan tetapi hukum tidak identik dengan keadilan, hukum bersifat

umum, mengikat setiap orang, bersifat sama rata (equality before the law), sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak

menyamaratakan.12

Syarat kepastian hukum dalam situasi tertentu adalah sebagai berikut :13

“1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten, dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu- mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan

5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan”.

Kepastian hukum sesungguhnya merupakan pertanyaan yang hanya

bisa dijawab secara normative, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara

normative adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis, jelas dalam arti tidak

menimbulkan keragu-raguan atau multi tafsir dan logis dalam arti ia menjadi

suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

11Mudiarti Trianingsih, Loc. Cit 12Ibid

13Jan M. Otto, Dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir,

(22)

menimbulkan konflik norma berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau

distorsi norma.14 Kepastian hukum berkaitan dengan teori hukum murni yang

digagaskan oleh Hans Kelsen dengan aliran positivisme hukumnya.

Membahas mengenai kepastian hukum, maka doktrin yang disebut

dengan teori hukum murni diupayakan terbebas dari segala unsur asing bagi

metode khusus dari suatu ilmu yang tujuannya hanyalah pengetahuan

tentang hukum, dengan kata lain harus dipisahkan dari hal-hal yang bersifat

non yuridis.15

Kepastian hukum merupakan suatu pegangan yang pasti bagi setiap

orang dengan adanya rumusan yang tegas dalam suatu ketentuan tertulis

yang didasarkan pada kaidah dan ajaran-ajaran hukum normatif yang

disesuaikan dengan fungsi hukum itu sendiri untuk melaksanakan ketertiban

dalam masyarakat.16

Kedudukan warga negara dihadapan hukumharus setara. Hal tersebut

sesuai dengan yang tercantum di dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

14Endang Ali Ma’sum, Kepastian Hukum (Rechtszekerheid) ‘itsbat Nikah, hlm 12,

www.pta-banten.go.id/makalah/kepastian-hukum-istbat-nikah.pdf, diakses pada hari Kamis, Tanggal 05 Juni 2014

15 Hans Kelsen, Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara Terjemahan Dari

General Theory Of Law And State, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm vi

16Ande Akhmad Sanusi, Kumpulan Catatan Perkuliahan Semester I s/d Semester VIII,

(23)

Sehubungan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang telah diuraikan,

Solly Lubis menjelaskan bahwa :17

“... yang dimaksud dengan kedudukan yang sama dalam hukum pada Pasal 27 Ayat (1) tersebut adalah meliputi baik bidang hukum privat maupun hukum publik, sehingga karenanya setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dengan mempergunakan kedua kelompok hukum tersebut dan jika ditilik selanjutnya tampak bahwa hukum yang sebagai alat, sudah mencakup segi-segi keperdataan dan kepidanaan, serta cabang-cabang hukum publik lainnya, seperti hukum tatanegara, hukum tata pemerintahan, hukum acara pidana/perdata dan sebagainya, di dalam Pasal 27 Ayat (1) tersebut telah tercakup semua hak-hak hukum seperti disebutkan di dalam UUD”.

Berdasarkan penjelasan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang diuraikan

oleh Solly Lubis, maka setiap warga negara dapat memperoleh hak yang

sama untuk mendapatkan perlindungan dari kedua kelompok hukum yaitu

hukum private dan hukum publik ataupun keperdataan dan kepidanaan yang merupakan bagian daripada kelompok hukum publik.

Keadilan untuk mewujudkan jaminan dan perlindungan hukum yang

setara, selanjutnya terdapat di dalamPasal 28D Ayat (1) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945yang menyebutkan : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Berdasarkan pengertian Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 tersebut bahwa

setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum yang berkepastian

tanpa membeda-bedakan statusnya, dan diperlakukan sama dihadapan

hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Hukum

17Solly Lubis, Dalam Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah

(24)

merupakan suatu bagian penetapan dari kekuasaan penguasa yang

berwenang dan hampir selalu berupa perlengkapan penguasa ( overheids-orgaan) dari suatu tatanan hukum dari tatanan negara yang konkret.18

Pengertian terhadap hukum tidak dapat dijelaskan definisinya secara

pasti dikarenakan penjawaban terhadap pertanyaan mengenai definisi

hukum itu sendiri sangatlah sulit, definisi mengenai hukum merupakan suatu

tema klasik dari filsafat hukum.19 Lemaire dalam bukunya yang berjudul Het

Recht in Indonesie, mengatakan :20

...De veelzijdigheid en veelomvattendheid van het recht brengen niet allen met zich, dat het onmogelijk is in een enkele definitie aan te geven wat recht is (Hukum itu banyak seginya dan meliputi segala lapangan, oleh sebabnya orang tidak mungkin membuat suatu definisi apa sebenarnya hukum itu)”.

Sehubungan dengan sulitnya membuat suatu definisi hukum yang telah

diungkapkan oleh Lemaire tersebut, maka pengertian hukum tidak dapat

diperoleh hanya dari 1 orang ahli hukum, akan tetapi pengertian hukum

tersebut didapatkan dari beberapa ahli hukum, salah satunya adalah

pengertian hukum yang dijelaskan oleh Plato.

Menurut Plato, hukum adalah:21

“Sistem aturan-aturan positif yang teratur, terorganisir dan

terformulasi yang mengikat pada keseluruhan individu atau masyarakat dalam negara”.

18 Meuwissen, Dalam Arief Shidarta, Tentang Pengemban Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,

Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm 35

19Ibid

20Lemaire, Dalam Dudu Duswara Machmudin, Otje Salman Soemadiningrat, Pengantar Ilmu

Hukum Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm 6

21Herman Bakhir, Filsafat Hukum Desain Dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama,

(25)

Selain pengertian hukum yang diungkapkan oleh Plato, terdapat

pengertian hukum menurut beberapa ahli hukum yang lain. Pengertian

hukum menurut beberapa ahli hukum tersebut adalah sebagai berikut :22

“1. Menurut Aristoteles, Hukum adalah kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim (Particular law is that which each community lays down and applies to its own member. Universal law is the law of nature) ;

2. Menurut Grotius/Hugo de Groot, Hukum adalah aturan yang mengharuskan untuk berbuat moral yang baik (Law is a rule or moral action obliging to that which is right) ;

3. Menurut Cornelis van Vollenhoven, Hukum adalah fenomena dari interaksi sosial (Recht is een verschijnsel in rusteloze wisselwerking van stuw en tegenstuw) ;

4. Pengertian Hukum menurut Bellefroid, Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat tersebut (Stellig recht is een ordering van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde gemeenschap geld en op haar gezag is vastgesteld) ;

5. Pengertian Hukum menurut Hans Kelsen, Hukum bukanlah selalu yang dikatakan sebagai aturan, hukum merupakan sekumpulan aturan yang bersatu, kita mengenalnya dengan sistem (Law is not, as is sometimes said, a rule. It is a set of rules having the kind of unity we understand by a system) ; 6. Menurut Erns Utrecht, Hukum adalah himpunan petunjuk

hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah masyarakat itu)”.

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, definisi hukum diartikan

bahwa :23

“Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur

kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan hukum itu dalam kenyataan”.

22Dudu Duswara Machmudin, Otje Salman Soemadiningrat, Op. Cit, hlm 8

23Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung,

(26)

Mengenai beberapa pendapat para ahli tentang pengertian hukum yang

sudah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa hukum itu meliputi berbagai

unsur, yaitu :24

“1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia ; 2. Peraturan itu dibuat oleh badan berwenang ;

3. Peraturan itu bersifat memaksa, walau tidak dapat dipaksakan ;

4. Peraturan itu disertai sanksi yang tegas dan dapat dirasakan oleh yang bersangkutan”.

Sedangkan ciri-ciri dari hukum tersebut adalah :25

“Adanya suatu perintah, larangan, dan kebolehan serta adanya

sanksi yang tegas”.

Sifat hukum yang mengikat masyarakat memiliki tujuan dan fungsi di

dalam kehidupan masyarakat. Tujuan pokok dari hukum apabila hendak

direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order), kebutuhan terhadap

ketertiban merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur, di samping ketertiban tujuan lain dari

hukum adalah keadilan.26

Terdapat empat hal yang merupakan tujuan hukum :27

“1. Keadilan, pendukungnya adalah Plato ;

2. Kepastian Hukum, pendukungnya adalah aliran Positivisme

dan tokohnya yaitu Hans Kelsen ;

3. Kegunaan, pendukungnya adalah aliran Pragmatic Legal Realism, tokohnya yaitu Roscoe Pound ;

4. Kebahagiaan, pendukungnya adalah aliran Utility, tokohnya Jeremy Bentham”.

Fungsi dan tujuan hukum itu sebenarnya sudah terkandung dalam

batasan pengertian atau definisinya, jika hukum adalah perangkat

kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam

24Dudu Duswara Machmudin, Otje Salman Soemadiningrat, Op. Cit, hlm 9 25Ibid

26Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hlm 3

27Otje Salman Soemadiningrat, Filsafat Hukum Perkembangan Dan Dinamika Masalah,

(27)

masyarakat, dapat disimpulkan bahwa salah satu fungsi yang terpenting dari

hukum adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan masyarakat,

keteraturan tersebut menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian

yang artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan

dalam kehidupan bermasyarakat, intinya apabila dihubungkan dengan

kepentingan penjagaan keamanan diri maupun harta milik dapat juga

dinamakan ketertiban.28 Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara

ketertiban dalam masyarakat, fungsi demikian diperlukan dalam setiap

masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun karena di sini

pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi, dan diamankan. Hukum

harus membantu proses perubahan masyarakat yang sedang membangun

atau dalam artian masyarakat yang sedang berubah dengan cepat.29

Hukum memiliki sumber sebagai himpunan dari peraturan-peraturan

yang mengikat bagi masyarakat. Untuk dapat menemukan sumber daripada

hukum tersebut dapat menggunakan teori hukum analitik yang bermula pada

murid Jeremy Bentham yakni John Austin. Principle Of Origin (asas sumber) merupakan asas yang digunakan oleh John Austin dalam menelusuri hukum

untuk menemukan sumbernya, hukum itu dapat ditemukan dalam

undang-undang yang ditetapkan oleh penguasa yang berdaulat.30 Pengertian sumber

(kekuatan) hukum hingga dapat mengikat atau dipatuhi manusia dinamakan

sumber hukum dalam arti materiil, sedangkan tempat untuk dapat

menemukan aturan-aturan hukum yang mengatur masyarakat dinamakan

sumber hukum dalam arti formal.

28Mochtar Kusumaatmadja, Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan

Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, 2009, hlm 49

(28)

Sumber hukum dalam arti materiil adalah tempat dari mana materiil itu

diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu

pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik,

situasi social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil

penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional,

keadaan geografis, dll. Sumber hukum dalam arti formal bertalian dengan

masalah atau persoalan untuk mendapatkan atau menemukan

ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur kehidupan manusia

dalam masyarakat, sumber-sumber hukum dalam arti formal adalah

undang-undang, kebiasaan, keputusan pengadilan, traktat atau perjanjian dan

pendapat ahli hukum terkemuka sebagai sumber tambahan.31

Pengertian undang-undang dalam arti formal yaitu hukum tertulis yang

merupakan produk legislatif (perundang-undangan) hasil kerjasama antara

pemerintah dengan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat.32

Perundang-undangan dalam proses pembuatannya harus disusun secara hirarki dimulai

dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah. Hirarki

undangan harus didasarkan pada asas bahwa suatu ketentuan

perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perperundang-undangan yang

lebih tinggi tingkatannya, asas tersebut adalah Lex Superior Derogat Lex Legi Inferiori.33

Asas-asas yang harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan

menurut Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah : “a. Pengayoman;

31Ibid 32Ibid, hlm 60

(29)

b. Kemanusiaan;

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”.

Selanjutnya hirarki perundang-undangan menurut Pasal 7 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan adalah sebagai berikut :

“a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Undang-Undang telah memberikan kewenangan kepada Mahkamah

Agung untuk memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kewenangan yang dimiliki

oleh Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus permohonan

peninjauan kembali tercantum di dalam Pasal 263 Ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (Herziening) perkara pidana mengacu pada Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, yang menyebutkan :

(30)

Pengertian mengenai peninjauan kembali tidak dapat ditemukan di

dalam perundang-undangan di Indonesia, oleh karena itu untuk

mendapatkan pengertiannya dapat diperoleh dari pendapat para ahli.

Peninjauan Kembali (Herziening) menurut Soediryo, adalah :34

“Suatu upaya hukum yang dipakai untuk memperoleh

penarikan kembali atau perubahan terhadap putusan hakim yang pada umumnya tidak dapat diganggu gugat lagi”.

Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa, namun

sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas kepastian hukum, prinsip

asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan hakim yang sudah

berkekuatan hukum tetap tidak dapat diubah lagi. Asas kepastian hukum ini

disebut dengan nebis in idem yang memiliki pengertian bahwa tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara dua pihak

dalam perkara yang sama.35

Asas nebis in idem terkandung pula di dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa :

“Terhadap pengujian Undang-Undang tidak boleh dilakukan

pengujian yang kedua kali terhadap ayat, pasal, dan materi di

dalam undang-undang yang telah dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi”.

Demi adanya kepastian hukum, undang-undang telah memberi

batasan-batasan mengenai hak untuk mengajukan permohonan upaya hukum bagi

terpidana yang merasa dirugikan oleh putusan hakim, akan tetapi harus

berdasarkan ketentuan dan syarat pengajuan permohonan itu sendiri, yang

(31)

tentunya syarat dan pengajuan tersebut telah diatur undang-undang.

Permintaan peninjauan kembali atas putusan berkekuatan hukum tetap tidak

dibatasi oleh waktu, sehingga permintaan peninjauan kembali dapat diajukan

kapanpun oleh terpidana atau ahli warisnya kepada Mahkamah Agung. Hal

tersebut tercantum di dalam Pasal 264 Ayat (3) KUHAP yang menjelaskan : “Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu

jangka waktu”.

Undang-Undang memberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan

kembali dengan segala persyaratan yang bertujuan untuk menerapkan asas

keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum. Jika kepastian

hukum diseimbangkan dengan keadilan diharapkan ketertiban dalam

masyarakat akan terwujud. Antashari Azhar pernah melakukan upaya hukum

luar biasa peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung namun ditolak dan

Antashari Azhar akhirnya memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk

melakukan pengujian undang-undang terhadap Pasal 268 Ayat (3) KUHAP

dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat di dalam Putusan

(32)

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis, yaitu suatu metode

penelitian yang dilakukan dengan cara melukiskan dan menggambarkan

fakta-fakta baik berupa data sekunder bahan hukum primer (peraturan

perundang-undangan), data sekunder bahan hukum sekunder (doktrin

atau pendapat para ahli), dan data sekunder bahan hukum tersier

(data-data yang didapat melalui makalah atau artikel) yang berhubungan

dengan peninjauan kembali.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah

Yuridis Normatif yaitu suatu metode yang mengkonsepkan hukum

sebagai norma, kaidah, asas, atau dogma-dogma. Pada penelitian ini,

Peneliti mencoba menggunakan penafsiran hukum gramatikal yaitu

penafsiran yang dilakukan dengan cara melihat arti kata atau arti pasal

dalam undang-undang, penafsiran otentik yaitu penafsiran yang

dilakukan berdasarkan bunyi undang-undang yang dibuat sendiri oleh

pembuat undang-undang yang disesuaikan dengan arti kata-kata

tersebut, dan penafsiran ekstensif yaitu penafsiran yang bersifat

memperluas arti kata dalam undang-undang.

3. Tahap Penelitian

a. Studi Kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan mencari data-data

berupa :

1) Data sekunder bahan hukum primer yaitu peraturan

(33)

a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana ;

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman ;

c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah

Konstitusi ;

d) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara

Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan ;

e) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009

tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali ;

f) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012

tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali

Dalam Perkara Pidana.

g) Peraturan DPR RI NOMOR 1 TAHUN 2009 tentang Tata

Tertib

2) Data sekunder bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum

berupa doktrin atau pendapat para ahli hukum.

3) Data sekunder bahan hukum tersier, yaitu bahan yang

memberikan informasi-informasi berupa artikel dan makalah.

4. Tekhnik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan

data-data yang diperoleh dari perundang-undangan, buku-buku teks, hasil

penelitian, majalah, artikel dan lain-lain.

(34)

Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu dengan

cara memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal

tersebut memiliki makna bahwa peraturan perundang-undangan yang

derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.

6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian diambil untuk memperoleh data yang diperlukan dalam

penulisan skripsi. Lokasi tersebut yaitu :

a. Perpustakaan

1) Perpustakaan Universitas KomputerIndonesia,

Jl. Dipatiukur No. 112, Bandung.

2) Perpustakan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran,

Jl. Dipatiukur No. 35, Bandung.

b. Website

1) www.putusan.mahkamahagung.go.id 2) www.mahkamahkonstitusi.go.id 3) www.hukumonline.com

(35)

131 A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan permasalahan yang diangkat dalam

penelitian tersebut maka terdapat beberapa hal pokok yang dapat dijadikan

sebagai kesimpulan, yaitu sebagai berikut :

1. Penyelesaian perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana sebagai peraturan yang mengatur tata cara

penyelesaian perkara pidana yang dimulai dengan tahap

penyelidikan dan penyidikan yang bertujuan mendapatkan

kebenaran materiil yaitu menemukan suatu peristiwa pidana beserta

barang bukti dan pelaku dalam suatu peristiwa tindak pidana.

Selanjutnya hasil dari penyelidikan dan penyidikan tersebut

dimasukan ke dalam surat dakwaan oleh penuntut umum yang

berwenang melakukan penuntutan, dan yang terakhir pemeriksaan

di sidang pengadilan guna mendapatkan keputusan hakim

mengenai bersalah atau tidak seseorang yang didakwakan tersebut.

Kepastian hukum merupakan asas dalam hukum yang mewujudkan

adanya suatu peraturan yang diterapkan secara adil berkaitan

dengan perlindungan, jaminan, dan perlakuan yang sama

dihadapan hukum terhadap setiap orang. Kepastian hukum dalam

penyelesaian perkara pidana adalah ketika setiap penegak hukum

(polisi, penuntut umum, penasihat hukum, dan hakim) taat kepada

hukum acara pidana dalam melakukan tugasnya menyelesaikan

(36)

pelakunya. Setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268

Ayat (3) KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,

maka penyelesaian perkara pidana dalam ruang lingkup hukum

acara pidana akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam

penyelesaian perkara pidana yang sudah mendapatkan kekuatan

hukum tetap dalam putusan perkara nya dan telah membuka

peluang bagi terpidana yang sudah terbukti berdasarkan kebenaran

materiil untuk mendapatkan keuntungan berupa putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, atau penerapan hukum yang

lebih ringan.

2. Peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu kali dalam perkara

pidana memiliki keabsahan hukum, dikarenakan ketentuan

mengenai permintaan peninjauan kembali dalam perkara pidana

yang hanya dapat diajukan satu kali dalam Pasal 268 Ayat (3)

KUHAP, telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang

mengikat yang artinya tidak hanya mengikat para pihak pemohon

akan tetapi juga DPR, pemerintah, serta masyarakat, dan

Mahkamah Konstitusi menyatakan apabila terdapat hakim yang

tetap menggunakan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, maka hakim

(37)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka Penulis memberikan

saran sebagai berikut :

1. Dalam beracara pidana, segala ketentuan yang menyangkut

wewenang, fungsi, dan tugas peradilan yang menjalankan

kekuasaan kehakiman hendaknya mengikuti tata cara yang sudah

diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai

pedoman dalam melakukan penyelesaian perkara pidana agar tidak

ada saling tumpang tindih antar lembaga dan menghindari adanya

kesewenang-wenangan.

2. Untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum maka diperlukan

pembaharuan hukum terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, khususnya terhadap Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang telah

dicabut dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang

mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.

3. Berkaitan dengan wewenang Pengujian Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945 oleh MK, maka sebaiknya pengujian

dilakukan sebelum undang disahkan atau saat

undang-undang masih dalam masa pembentukan, sehingga Mahkamah

Konstitusi dapat menyatakan pembentukan undang-undang tidak

memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sebagaimana yang yang

tercantum dalam Pasal 57 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

(38)

mengganggu putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum

tetap dan terhadap putusannya dapat dilaksanakan dengan

seadil-adilnya serta menghindari terjadinya kekosongan hukum dalam

(39)

KEPASTIAN HUKUM TENTANG PENINJAUAN KEMBALI

(

HERZIENING

) LEBIH DARI SATU KALI DALAM PERKARA

PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 268 AYAT (3)

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

LEGAL CERTAINTY OF MORE THAN ONCE JUDICIAL REVIEW

(HERZIENING) IN CRIMINAL CASE IN RELATION WITH THE ARTICLE

268 PARAGRAPH (3) OF THE CRIMINAL PROCEDURAL CODE

SKRIPSI

Penulisan Hukum

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh

Nama : Farhan Aziz

Nim : 31610006

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Dosen Pembimbing : Hetty Hassanah S.H., M.H.

NIP. 4127 33 00 005

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG

(40)

iii LEMBAR PENGESAHAN

SURAT PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

E. Kerangka Pemikiran ... 9

F. Metode Penelitian ... 23

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DAN PENINJAUAN KEMBALI (HERZIENING) DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA ... 26

(41)

BAB III UPAYA HUKUM LUAR BIASA PENINJAUAN KEMBALI (HERZIENING) LEBIH DARI SATU KALI DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA ...

96

A. Peninjauan Kembali Lebih Dari Satu Kali Dalam Perkara Pidana Di

Indonesia ... 96

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2013 Yang Mengakibatkan Permohonan Peninjauan Kembali Dapat Diajukan Lebih Dari Satu Kali ... 104

BAB IV KEPASTIAN HUKUM TENTANG PENINJAUAN KEMBALI (HERZIENING) LEBIH DARI SATU KALI DALAM PERKARA PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 268 AYAT (3) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA... 113

A. Kepastian Hukum Terhadap Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Ruang Lingkup Hukum Acara Pidana Indonesia Indonesia Berkaitan Dengan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP Yang Dinyatakan Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Yang Mengikat Oleh Mahkamah Konstitusi ... 113

B. Keabsahan Permohonan Peninjauan Kembali Yang Dapat Diajukan Lebih Dari Satu Kali Dihubungkan Dengan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ... 117 BAB V PENUTUP ... 131

A. Simpulan ... 131

B. Saran ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 134 LAMPIRAN

(42)

135 A. Sumber Buku

Adami Chazawi. Lembaga Peninjauan Kembali Perkara Pidana Penegakan Hukum Dalam Peradilan Sesat. Sinar grafika. Jakarta. 2010

Andi Hamzah. Hukum Acara Pid

ana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2010

___________.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2010

Arief Shidarta. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir. Refika Aditama. Bandung. 2006

___________.Tentang Pengemban Hukum. Ilmu Hukum. Teori Hukum. Dan Filsafat Hukum. Refika Aditama. Bandung. 2013

Boy Nurdin. Kedudukan Dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. Alumni. Bandung. 2012

C.S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1986

Dudu Duswara Machmudin. Otje Salman Soemadiningrat. Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa. Refikas Aditama. Bandung. 2010

Erdianto Effendi. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Refika Aditama. Bandung. 2011

Hans Kelsen. Raisul Muttaqien. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara Terjemahan Dari General Theory Of Law And State. Nusa Media. Bandung. 2013

Herman Bakir. Filsafat Hukum Desain Dan Arsitektur Kesejarahan. Refika Aditama. Bandung. 2009

Iriyanto A. Baso Ence. Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi. Alumni. Bandung. 2008

Ishana Hanifah. Himpunan Lengkap KUHper., KUHP., KUHAP., Laksana. Jakarta. 2014

Lilik Mulyadi.Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2008

(43)

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. 2010

___________.Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta. 2008

Mien Rukmini. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Alumni. 2007

Mochtar Kusumaatmadja. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Alumni. Bandung. 2006

__________.Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, 2009

Mudiarti Trianingsih. Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama Di Indonesia. Utomo. Bandung. 2007 Otje Salman Soemadiningrat. Filsafat Hukum Perkembangan Dan Dinamika

Masalah. Refika Aditama. Bandung. 2010

Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2009

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007

Suharto, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana Mulai Proses Penyelidikan Hingga Persidangan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2013

Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1999

Zulkarnain, Praktik Peradilan Pidana Panduan Praktis Memahami Peradilan Pidana, Setara Press, Malang, 2013

B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

(44)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah beberapa pasalnya oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ;

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

Peraturan DPR RI NOMOR 1 TAHUN 2009 tentang Tata Tertib C. Sumber Lain

Ande Akhmad Sanusi. Kumpulan Catatan Perkuliahan Semester I s/d Semester VIII. Universitas Padjadjaran. Bandung. 2013

Rustanto. Analisis Pengajuan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Oleh Jaksa Dalam Praktik Peradilan Pidana Di Indonesia. Universitas Udayana. 2011

Sudikno Mertokusumo. dalam Herlambang Perdana Wiratraman. Presentasi UUD Sebagai Sumber Utama Hukum Tata Negara. Universitas Airlangga. Yogyakarta. 2008

D. Website

Endang Ali Ma’sum, Kepastian Hukum (RECHTSZEKERHEID) ‘Itsbat Nikah, hlm 12,

www.pta-banten.go.id/makalah/kepastian-hukum-itsbat-Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2010, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011, hlm 8,

(45)

Nama : Farhan Aziz

Tempat/Tanggal Lahir : Sukabumi, 08-06-1992

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Kp. Cimaja, Kec. Cikakak, Pelabuhan Ratu,

Kabupaten Sukabumi

Telepon : 081563456669

Email : Kingdom.pirates@gmail.com

Status : Belum Menikah

PENDIDIKAN FORMAL :

TK Tunas Muda Sukabumi : 1997-1999

SDN Nagasari IV Karawang : 1999-2004

SMP Negeri 138 Jakarta Timur : 2004-2007

SMA Negeri 1 Simpenan Sukabumi : 2007-2010

Universitas Komputer Indonesia : 2010-2015

PENGALAMAN KERJA

(46)

i

kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta

karena ridho-Nya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kepastian Hukum Tentang Peninjauan Kembali (Herziening) Lebih Dari

Satu Kali Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”.

Penulisan skripsi ini membahas mengenai kepastian hukum peninjauan

kembali terhadap perkara pidana, setelah Pasal 268 Ayat (3) KUHAP dinyatakan

tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2013.

Peneliti

mengucapkan terima kasih kepada Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H.,

selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan

kesabarannya untuk membimbing Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Selain itu dalam kesempatan ini Peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, M.Sc., selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra., S.E., M.Si selaku Wakil Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati. S.E., M.S., Ak., selaku Wakil Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Ibu Dr. Hj. Aelina Surya., selaku Wakil Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

(47)

6. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, SH., MS., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., M.H, selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

10. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

11. Yth. Ibu Dr. Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

12. Yth. Ibu Rachmani Puspitadewi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

13. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md., selaku Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.

Orang Tua Peneliti yang selalu memberikan do’a kepada Peneliti dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Seluruh teman seperjuangan angkatan 2010 Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yang selalu bersama-sama Peneliti berjuang menempuh pendidikan Ilmu Hukum untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum, dan adik-adik angkatan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya.

Akhir kata, semoga segala pengorbanan yang diberikan oleh orang-orang terkasih, Dosen Pengajar, dan Dosen Pembimbing selama Peneliti menyelesaikan penulisan skripsi ini, baik moril maupun materil mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga tugas penulisan skripsi ini bermanfaat bagi Peneliti sendiri dan bagi para masyarakat pada umumnya.

Bandung, Februari 2015 Peneliti

(48)
(49)
(50)

Referensi

Dokumen terkait

Pada sistem ini menggunakan Real Time Clock untuk mengatur timer penenggelaman 2 menit, penirisan 1 menit, pengapungan 57 menit.. Serta menggunakan sensor

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Assessment Center yang merupakan suatu metodelogi untuk menilai atau mengevaluasi perilaku pegawai dalam pekerjaan sehingga hasil dari proses assessment center

paling tinggi dan tidak tertutup kemungkinan bayi mengalami sakit, sehingga memerlukan pemantauan kesehatan melalui kunjungan neonatus. Tujuan : Penelitian ini

Kota Surakarta cenderung mengalami penurunan jumlah kunjungan wisata tiap tahunnya khususnya Keraton Surakarta Hadiningrat, Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari dan Taman

Upaya yang telah dilakukan industri kendaraan bermotor dalam rangka menekan atau mengurangi gas buang / emisi hasil pembakaran salah satunya dengan menambahkan Catalytic

[r]

Dari banyak penelitian yang ada seperti penelitian rukmono budi utomo dalam penelitiannya berjudul Model Regresi Persentase Keuntungan Perusahaan Manufaktur Ditinjau