PENGEMBAN
UNTUK PUPUK ORGANIK HAYAT
Koordini perguruan tinggi wilayah VI, kemendikbud RI, sesuai
surat perjanjian pelaksanaan hibah penelitian nomer 008/K6/KL/SP/2013
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA LAPORAN AKHIR
PENELITIAN HIBAH BERSAING
J U D U L
PENGEMBANGAN BERBAGAI LIMBAH DAN KOTORAN HEWA UNTUK PUPUK ORGANIK YANG DIKOMBINASI DENGAN PU
HAYATI BENTUK GRANUL SERTA PENGEMBA ALAT GRANULASI
Siti Chalimah , 0716125901 Suparti, 195706011987032001
Edwi Mahajoeno 0025106001
Dibiayai oleh :
Koordini perguruan tinggi wilayah VI, kemendikbud RI, sesuai
surat perjanjian pelaksanaan hibah penelitian nomer 008/K6/KL/SP/2013 Tanggal 16 Mei 2013
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA DESEMBER 2013
Kode/Nama rumpun Ilmu ; 113, Biologi dan Umum
N KOTORAN HEWAN NG DIKOMBINASI DENGAN PUPUK
PENGEMBANGAN
Koordini perguruan tinggi wilayah VI, kemendikbud RI, sesuai dengan surat perjanjian pelaksanaan hibah penelitian nomer 008/K6/KL/SP/2013
ADIYAH SURAKARTA
ABSTRAK
Tujuan penelitian, i) mengetahui kesesuaian produk pupuk organik terhadap standart pupuk organik Menpan (2009), 2) mengukur kuantitas, dan kualitas kandungan pupuk organik limbah serasah dengan inokulum kotoran hewan dan Jamur pelapuk putih, 3) Mengukur logam berat pupuk organik yang dihasilkan, dan 4) Membuat modifikasi alat granulasi dan cropper. Metode eksperimen dan analisis laboratorium untuk mengetahui kuantitas dan kualitas hara pupuk yang dihasilkan, dan secara diskriptif diperbandingkan dengan ketentuan baku pupuk organic SK Menpan 2005/2009. Analisis kandungan hara makro: C, C/N, N, P, K, dan hara mikro: Mo, Mn, Mg, Fe2O3 dilakukan sesuai SNI (2002). Hasil penelitian pupuk organik yang diperoleh menunjukkan bahwa serasah dengan inokulum kotoran hewan dan Jamur pelapuk putih(Trycoderma sp) sesuai dengan standart Menpan 2009. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa makronutrien relative rendah, dan kualitas makro dan mikronutrien cukup bagus dan lengkap. Alat granulasi semi pilot dapat berproduksi 2 kw/hari, dan alat cropper dengan tipe pisau berputar. Simpulan menunjukan bahwa kualitas dan kuantitas pupuk organik limbah serasah dengan inokulum kotoran hewan dan jamur pelapuk putih mengandung unsur makro dan mikro nutrisi yang relatif lengkap dan hasil pengukuran Logam berat masih dalam standart baku mutu pupuk organik Menpan 2009. Makro nutrien yang dihasilkan relatif masih rendah. Pupuk organik dari serasah dengan berbagai macam inokulum diatas dapat digunakan sebagai pupuk organik pengganti pupuk kimia di lapang. Saran perlu diuji pupuk organik yang dihasilkan terhadap pertumbuhan tanaman baik skala laboratorium maupun lapang
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bumi sebagai tempat tinggal dan aktifitas berbagai macam organisme, yang
kesemuanya akan mengeluarkan limbah yang berbeda. Manusia merupakan salah satu
penghuni Bumi yang mempunyai aktifitas, kebutuhan hidup serta tuntutan yang
tinggi, berinovasi dan kreatif, sehingga berdampak kebutuhan manusia paling utama
adalah sandang, pangan dan papan. Peningkatan aktifitas masyarakat, baik kuantitas
maupun kualitas akan menghasilkan limbah, jika tidak dikelola dengan baik dapat
menimbulkan dampak negatif berupa penurunan kualitas lingkungan. Permasalahan
lingkungan yang umum terjadi adalah pengelolaan sampah. Sampah yang merupakan
bagian sisa aktifitas manusia perlu dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan
berbagai permasalahan terhadap kehidupan manusia, maupun gangguan pada
lingkungan seperti pencemaran lingkungan, penyebaran penyakit, menurunnya
estetika dan sebagai pembawa penyakit. Pengelolaan sampah dimanapun sampai saat
ini belum mencapai hasil yang optimal. Berbagai kendala masih dihadapi dalam
melaksanakan pengelolaan sampah tersebut baik kendala ekonomi, sosial budaya
maupun penerapan teknologi (Nuryani, 2003:56).
Pertumbuhan disektor industri telah mendorong munculnya system pertanian
modern dengan ciri, ketergantungan yang tinggi terhadap pupuk anorganik. Kondisi
ini telah menyebabkan percepatan menurunnya kualitas tanah dan kontaminasi air
bawah tanah. Usaha pertanian dengan mengandalkan bahan kimia seperti pupuk
kimia/anorganik dan pestisida kimiawi yang telah banyak dilakukan pada masa lalu,
dan berlanjut hingga masa sekarang telah banyak menimbulkan dampak negative,
yang ditunjukkan hasil analisis tentang lahan kritis, ditahun 2000 terdapat 23.242.881
ha lahan kritis yang terdiri atas 8.136.647 ha dalam kawasan hutan dan 15.106.234 ha
yang terdiri atas 47.610.081 ha sangat kritis, 23.306.233 ha kritis dan agak kritis
seluas 6.890.567 ha. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa laju lahan kritis
baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan sangat cepat, dibanding
kemajuan realisasi kegiatan rehabilitasi lahan kritis (Anonymus/Dephut ,2006)
Penggunaan input kimiawi dengan dosis tinggi, juga merupakan permasalahan
tersendiri, , tidak saja berpengaruh menurunkan tingkat kesuburan tanah, tetapi juga
berakibat pada merosotnya keragaman hayati dan meningkatnya serangan hama,
penyakit dan gulma. Dampak negatif lain yang dapat ditimbulkan oleh pertanian
kimiawi adalah tercemarnya produk pertanian oleh bahan kimia yang selanjutnya
akan berdampak buruk terhadap kesehatan. Menyadari akan hal tersebut maka
diperlukan usaha untuk meniadakan atau paling tidak mengurangi cemaran,
khususnya akibat penggunaan bahan anorganik/kimia yang berlebihan, sehingga
berdampak terhadap kesehatan masyarakat maupun lingkungan, (Anonymus/Dephut
2006).
Hasil penelitian Asngad (2012) menyatakan bahwa, pupuk organik dari bahan
dasar Gulma air Eceng gondok yang ditambah dengan kotoran kambing, dapat
menghasilkan pupuk organik yang sesuai dengan standart baku mutu Menpan 2009.
Demikian pula hasil penelitian Chalimah (2012) dan Mahajoeno (2013) menyatakan,
dengan bahan dasar yang sama dengan penambahan kotoran ayam, serta campuran
ayam dan kambing, diperoleh hasil pupuk organik yang sesuai dengan standart baku
mutu Menpan 2009. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa limbah gulma air,
dengan kotoran ayam dan atau Kambing dapat digunakan sebagai bahan pembuatan
Pupuk Organik koheyambing, secara aerob. Selain itu dinyatakan bahwa, Formula
pupuk organik yang diperoleh, campuran kotoran ayam, kambing dan Eceng gondok,
dengan perbandingan 1:1:1. Sedang kotoran ayam dan Kambing dengan eceng
gondok, perbandingan 2:1. Pupuk yang dihasilkan dibuat granul dengan penambahan
unsur lain yaitu Cly merah dan putih, serta posphat alami (Chalimah et al2012)
Tingginya persentase tanah marjinal di Indonesia, dengan kondisi pH rendah,
dan tanah berkapur, memiliki persediaan air berlimpah, namun keberadaannya jauh
Kondisi tanah yang memiliki kandungan Ca, Fe dan Al tinggi, dapat mengikat unsur
makronutrien, khususnya Phospat (P), yang dapat menghambat pertumbuhan dan
produksi tanaman. Keunggulan Cendawan Micorrhiza Aarbuskula, yang sering
disebut mikorriza (CMA) sebagai biofertilizer digunakan untuk meningkatkan
kesuburan tanah (Ezawa et al 2002, Johansen et al2000), meningkatkan daya tahan
tehadap serangan pathogen dan kekeringan (Ezawa et al 2002), menguntungkan
untuk pertanian (Jeffries et al 2003), Reklamasi lahan bekas tambang (de-Souza &
Sulva 1996), sebagai sumberdaya yang efisien dan bersifat renewable (Jakobsen
2000), berkemampuan untuk meminimalkan dampak berbagai parasit dan pathogen
(Harley & Smith 1983), dan kolonisasi akar oleh CMA dapat menghambat penyakit
yang disebabkan oleh nematoda dan pathogen yang penularannnya melalui tanah,
seperti Fusarium, Phytium, Rhzoctnia dll (Azcon-Aguilar & Barea 1996), kondsi ini
disebut sebagai bioproteksi, oleh karenanya CMA penting dikembangkan.
CMA Berperan penting memperbaiki produktivitas tanah, siklus hara,
memperbaiki struktur tanah dan menyalurkan unsur karbon dari akar ke organisme
tanah lainnya. CMA juga mampu mengeluarkan enzim fosfatase dan asam organik,
sehingga pada tanah yang kahat P, CMA mampu melepas P yang terikat, sehingga
membantu penyediaan unsur P tanah (Smith et al. 2003). Penggunaan CMA
umumnya meningkatkan kesuburan tanaman, daya tahan terhadap serangan patogen
dan kekeringan (Ezawa et al. 2002). CMA juga menguntungkan untuk pertanian
(Jeffries et al. 2003) maupun reklamasi lahan (de-Souza & Sulva 1996), dan sebagai
sumber daya efisien. Tanaman uji yang digunakan adalah tanaman pangan sorgum
dan Jagung, dipilih karena tanaman tersebut tidak hanya untu pangan, tapi juga pakan
dan industri bioethanol. Tanaman obat kunyit putih dan kunyit merupakan tanaman
yang banyak dimanfaatkan oelh masyarakat untuk berbagai penyakit. Tanaman buah
Rambutan.dan Durian adalah buah yang banyak disukai oleh masyarakat, secra
ekonomis bernilai tinggi, aka perlu dikembangkan dan dilestarikan. Oleh karenanya
pengujian pupuk digunakan jenis tanaman diatas. Kombinasi pupuk yang dihasilkan
dapat bermanfaat meningkatkan kualitas bibit tanaman, sehingga diharapkan bibit
kondisi tanah, sehingga dapat digunakan untuk rehabilitasi tanah lingkungan industri,
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Pupuk Organik
Salah satu jenis pupuk organik adalah pupuk kandang. Menurut Syekhfani
(2000) bahwa pupuk organik memiliki sifat yang alami dan tidak merusak tanah,
menyediakan unsur makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan belerang) dan
mikro (besi, seng, boron, kobalt, dan molibdenium). Selain itu pupuk organik
berfungsi untuk meningkatkan daya menahan air, aktivitas mikrobiologi tanah, nilai
kapasitas tukar kation dan memperbaiki struktur tanah. Menurut Setiawan (2002)
pengaruh pemberian pupuk organik secara tidak langsung memudahkan tanah untuk
menyerap air. Kotoran padat kambing merupakan salah satu jenis kotoran hewan
yang pemanfaatanya belum begitu maksimal, sehingga perlu dieksplorasi
kemanfaatannya.
Hasil penelitian Asngad (2012) menyatakan bahwa, pupuk organik dari bahan
dasar Gulma air Eceng gondok yang ditambah dengan kotoran kambing, dapat
menghasilkan pupuk organik yang sesuai dengan standart baku mutu Menpan 2009.
Demikian pula hasil penelitian Chalimah (2012) dan Mahajoeno (2013) menyatakan,
dengan bahan dasar yang sama dengan penambahan kotoran ayam, serta campuran
ayam dan kambing, diperoleh hasil pupuk organik yang sesuai dengan standart baku
mutu Menpan 2009. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa limbah gulma air,
dengan kotoran ayam dan atau Kambing dapat digunakan sebagai bahan pembuatan
Pupuk Organik koheyambing, secara aerob. Selain itu dinyatakan bahwa, Formula
pupuk organik yang diperoleh, campuran kotoran ayam, kambing dan Eceng gondok,
dengan perbandingan 1:1:1. Sedang campuran kotoran ayam dan Kambing dengan
Eceng gondok, perbandingan 2:1. Pupuk yang dihasilkan dibuat granul dengan
penambahan unsur lain yaitu Cly merah dan putih, serta posphat alami (Chalimah et
, Penggunaan pupuk di dunia terus mengalami peningkatan sesuai dengan
pertambahan luas areal pertanian, pertambahan penduduk, kenaikan tingkat
intensifikasi serta makin beragamnya penggunaan pupuk sebagai usaha peningkatan
hasil pertanian, yang dapat menimbulkan dampak negatif (Lingga dan Marsono,
2000). Penggunaan pupuk kimia secara berkelanjutan menyebabkan pengerasan
tanah, yang disebabkan penumpukan sisa atau residu pupuk kimia, yang sulit terurai.
Sifat bahan kimia relatif lebih sulit terurai atau hancur dibandingkan bahan organik.
Kerasnya tanah dapat mengakibatkan Tanaman sulit menyerap unsur hara. Proses
penyebaran perakaran dan aerasi (pernafasan) akar terganggu, sehingga akar tidak
dapat berfungsi optimal dan pada gilirannya akan menurunkan kemampuan produksi
tanaman tersebut (Notohadiprawiro dkk., 2006). Selain itu penggunaan pupuk kimia
di Indonesia, diindikasikan adanya pengurangan kandungan 10 jenis unsur hara
meliputi sebagian unsur hara makro yaitu N, P dan K (3 unsur) serta unsur hara mikro
yaitu Fe, Na, Mo, Cu, Mg, S dan Ca (7 unsur). 13 macam unsur hara untuk keperluan
proses pertumbuhan dan perkembangannya mutlak dibutuhkan tanaman, dikenal
dengan nama unsur hara essensial (Hardjowigeno, 1997). Oleh karenanya, sebagsai
salah satu pertimbangan mengurangi penggunaan pupuk kimia, dan sebagai alternatif
melakukan pembudidayaan tanaman dengan sistem pertanian organik. Pada system
ini diharapkan tanaman dapat hidup tanpa ada masukan dari luar sehingga dalam
kehidupan tanaman terdapat suatu siklus hidup tertutup (Budianta, 2004).
Kualitas pupuk yang dihasilkan dari bahan dasar gulma air Eceng gondok dan
campuran kotoran ayam dan kambing bentuk granul maupun tidak, kandungan nutrisi
makro maupun mikro nutrient, serta logam berat telah memenuhi kriteria baku mutu
dari menpen 2009, dan nilai makro nutrien relatif rendah yaitu C.organik, N, P2O5
dan K2O, dengan nilai masing-masing 20.43%, 1.43%, 1.13%, 1.62%, Sehingga dikatakan bahwa pupuk dari bahan dasar tersebut aman digunakan sebagai pupuk
organik. (Edwi M, semnas UMS 2013). Asngat (2012) menyatakan bahwa Eceng
gondok yang dicampur dengan kotoran Kambing aman digunakan untuk pupuk
organik, walaupun memiliki kandungan makronutrien yang relatif rendah dibanding
21.45%, 1.47%,1.83%, 1.59% (Kambing). . Eceng gondok yang dicampur dengan kotoran Ayam memiliki kandungan makro dan mikro relatif lengkap. Kandungan
makronutrien relatif rendah yaitu, C.organik, N, P2O5 dan K2O, masing-masing
menghasilkan 20.85%, 1.28%, 1.83%, dan 1.53 %(ayam). Chalimah (2012). Eceng
gondok yang dicampur dengan kotoran ayam, kambing dan campuran kotoran ayam
dan kambing, memberikan hasil kandungan makronutrien yang berbeda, paling tinggi
adalah Eceng gondokyang dicampur dengan kotoran kambing, selanjutnya campuran
kotoran ayam dan kambing, dan terendah Eceng gondok yang dicampur dengan
A.. Standart kualitas pupuk dari Menpan 2009
Tabel 2.1. Standarisasi Pupuk kompos N0: 28/Permentan/SR.130/5/2009,22 Mei 2009
Keterangan :
1. Untuk C organik 7 – 12% dimasukkan sebagai Pembenah Tanah 2. *) Kadar air berdasarkan bobot asal
**) Bahan tertentu yang berasal dari bahan organik alami diperbolehkan mengandung kadar P2O5 dan K2O > 6% (dibuktikan dengan hasil Laboratorium)
No Parameter Satuan Nilai SNI
I Fisik
1 Kadar air % < 50
- Granul % 4 – 15 *)
- Curah.Powder 15 -25 *)
2 Temperatur 0C Suhu udara
3 Warna
-4 Bau
-5 Ukuran Partikel/butiran Mm 2–5 (min80%)
6 Kemampuan ikat air % 58,7
7 pH(Kadar keasaman) - 4 – 8
8 Bahan ikutan (kerikil, pasir) % <2 II Unsur Makro Nutrien
1 C. Oranik % >12
2 Nitrogen % < 6 ***
3 Karbon % < 6 ***
4 Phosor(P2O2) % < 6 **
5 C/N rasio - 15-25
6 Kalium (K2O) % < 6 **
III Unsur Mikro
1 Kalsium (Ca) % < 25,49
2 Magnisium (Mg) Ppm < 0,63
3 Kobal (Co) Ppm Maks 20
4 Kromium (Cr) Ppm < 210
5 Tembaga (Cu) Ppm Maks 5000
6 Besi (Fe) total Ppm Maks 8000
7 Nikel (Ni) Ppm < 62
8 Aluminium (Al) Ppm < 2,20
9 Selenium (Se) Ppm < 2
10 Seng (Zn) Ppm Maks 5000
11 Mangan (Mn) Ppm Maks 5000
12 Boron (Br) Ppm Maks 250
III Kadar Logam berat
1 Timbal (Pb) Ppm <50
2 Kadmium (Cd Ppm <10
3 Merkuri (Hg) Ppm <1
4 Arsen (As) Ppm <10
IV Mikroba Patogen
1 E. Coli Cfu/gr
2 Salmonella
***) N. Total = N-Organik + N-NH4 + N-NH3; N-Kjeldahl = N-organik + N-NH4; C/N
3. N = N total
4. Keterangan ini berlaku untuk standart Karakterisasi Pupuk dari Menpan 2009.
2. Pupuk Hayati
2.1. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)
Cendawan mikorhiza arbuskula (CMA) adalah mikroorganisme tanah bersifat
obligat, sehingga selalu hidup bersimbiosis dengan akar tanaman. Wilcoc (1990)
menyatakan bahwa 83 % CMA berasosiasi dengan tanaman dikotil dan 79%
tanaman monokotil. Hal tersebut didukung oleh Alexopoulos et al.(1996)
menyatakan bahwa 80% CMA bersimbiosis seluruh famili tumbuhan. Anggota
Glomales bersimbiosis dengan banyak tanaman budidaya angiospermae penting, di
antaranya adalah tanaman pertanian yang akhir-akhir ini mendapat perhatian besar.
Smith & Read . (1997) menyatakan bahwa CMA adalah simbion penting dalam
perakaran, karena mampu bersimbiosis dengan sebagian besar familia tanaman darat
(97%), di antaranya adalah tanaman komersial kelompok tanaman pangan,
hortikultura, kehutanan, perkebunan, dan pakan ternak Pada pertanian berkelanjutan,
simbiosis CMA dengan tanaman memainkan peran kunci untuk membantu tidak
hanya ketahanan hidup tanaman, tetapi menjadikan produktif dalam kondisi tanah
marjinal (Barea & Jeffries 2001).
Infeksi CMA pada akar tanaman, dapat meningkatkan kemampuan
penyerapan hara yang tidak tersedia bagi tanaman, serta meningkatkan kemampuan
menyerap air, sehingga tanaman hidup dengan baik pada kondisi tanah kering
(Jeffries 1987). Mekanisme penyerapan hara pada tanaman terinfeksi CMA adalah
bertambah luas permukaan absorbsi dan meningkatkan volume daerah penyerapan
dengan hifa eksternal, serta kemampuan hifa lebih tinggi mengabsorbsi zat makanan
dibanding dengan bulu akar (Abbott et al. 1992). Kondisi demikian menyebabkan
tanaman bermikoriza mampu menyerap hara lebih banyak dan lebih baik
dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza. Secara umum peningkatan
sumber P tersedia. CMA juga mampu mengeluarkan enzim fosfatase dan asam
organik, sehingga pada tanah yang kahat P, CMA mampu melepas P yang terikat,
sehingga membantu penyediaan unsur P tanah (Smith et al. 2003). Selain daya
jelajah hifa sangat tinggi dibanding akar, mikoriza mampu meningkatkan enzim
fosfatase, yang berfungsi untuk menguraikan unsur P terfiksasi atau terikat. Selain itu
diameter hifa sangat kecil (2–4 μm) menyebabkan daya terobos lebih besar (Bolan
1991, Marschner dan Dell 1994).
Simbiosis tanaman dan CMA adalah mutualistis, yaitu saling menguntungkan
dan fotosintat tanaman penting untuk kelangsungan hidup CMA, sebagai sumber
karbon. Proses fotosintesis terkait jumlah khlorofil terkandung dalam daun.
Peningkatan kadar khlorofil disebabkan peningkatan serapan Mg dan N pada tanaman
bermikoriza, karena kedua unsur tersebut berperan penting dalam pembentukan
khlorofil daun. Infeksi CMA mungkin memberi kontribusi penyerapan unsur Mg bagi
tanaman, walaupun hal tersebut belum banyak diketahui (Marschner dan Dell, 1994).
Tanaman bermikoriza menyerap unsur N lebih tinggi dibanding dengan tanaman
tidak bermikoriza. Marschner dan Dell (1994) menyatakan bahwa pengambilan dan
tansport 15N oleh hifa pada tanaman seledri, menunjukkan peningkatan N total
sebesar 2,5% dan 3,5% setelah 30 hari. Kondisi ini terjadi pada tanaman bermikoriza
Penggunaan CMA umumnya meningkatkan kesuburan tanaman, daya tahan
terhadap serangan patogen dan kekeringan (Ezawa et al. 2002). CMA juga
menguntungkan untuk pertanian (Jeffries et al.2003) maupun reklamasi lahan (Jasper
1994, de-Souza & Sulva 1996), dan sebagai sumber daya efisien yang dapat
diperbaharui (Jakobsen 2000). Dari uraian tersebut dapat dimengerti bahwa peran
CMA dalam peningkatkan kualitas tanaman, sehingga diharapkan bibit yang
bermikoriza dapat untuk konservasi diberbagai lahan kritis dan marginal. Gunadi
(2000) menyatakan bahwa tanah masam yang banyak mengandung Al
berkemampuan fiksasi P tinggi. Oleh karena itu efisiensi pemupukan P umumnya
rendah berkisar antara 20 - 25%, demikian pula pada tanah yang mengandung unsur
Ca. Terbatasnya ketersediaan P merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan
tanaman dapat meningkatkan serapan P tanaman yang disebabkan adanya hifa
eksternal yang berfungsi seperti rambut akar. Kolonisasi CMA (terinfeksinya akar
oleh CMA) dapat menyebabkan adanya aktivitas fosfatase (Joner & Johansen 2000),
produksi asam organik (Fabig et al. 1989), perubahan aktifitas kitinase ekstrak akar
tanaman (Lambais & Mehdy 1996).
Mekanisme penyerapan hara pada tanaman terinfeksi CMA adalah bertambah
luas permukaan absorbsi dan meningkatkan volume daerah penyerapan, karena
keberadaan hifa eksternal, serta kemampuan hifa lebih tinggi mengabsorbsi zat
makanan dibanding dengan bulu akar (Abbott et al. 1992). Secara umum
peningkatan pertumbuhan tanaman bermikoriza disebabkan oleh meningkatnya
penyerapan P, karena CMA mampu mengeluarkan enzim fosfatase dan asam organik,
sehingga pada tanah yang kahat P, CMA mampu melepas P yang terikat, sehingga
membantu penyediaan unsur P tanah (Smith et al. 2003). Produksi CMA dengan
teknologi in vivo maupun in vitro telah dikembangkan (Chalimah 2007) dapat
diadopsi untuk mencapai sasaran penelitian ini. Untuk mempercepat perbanyakan
pembibitan tanaman buah yang telah ditargetkan, dapat menggunakan kultur jaringan
(in vitro) dalam memperoleh penyediaan bibit yang cepat, dengan jumlah yang kita
inginkan secara cepat, dengan kualitas yang prima. Lucia (2005) dan Happy (2005)
menyatakan bahwa CMA dapat meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman manggis
dan kelapa sawit, serta meningkatkan arsitektur percabangan perakaran, sehingga area
pengambilan nutrisi semakin luas.
3. Serasah
Mustofa (2005) menyatakan bahwa, serasah daun jati yang menutupi tanah
akan mengalami pelapukan secara lambat, sehingga mempersulit tumbuhnya tanaman
lain. Serasah berupa daun kering yang termasuk sampah coklat kaya akan karbon (C)
yang menjadi sumber energi atau makanan untuk mikrobia. Sampah daun umumnya
kering, kasar, berserat dan berwarna coklat (sampah coklat). Serasah mampu
mendorong perkecambahan biji jati, pada saat pohon lain mati. Oleh karenanya
Sumbner utama bahan organik dalam tanah berasal dari jaringan tanaman,
baik berupa serasah atau sisa tanaman yang telah mati. Sumber bahan organik lainnya
adalah hewan. Bahan organik yang berasal dari serasah, sisa tanaman yang telah
mati, limbah atau kotoran hewan dan bangkai, di dalam tanah akan didekomposisi
oleh jasad renik, akan merubah dari zat organik menjadi bahan anorganik yang
mempunyai arti lebih penting terhadap lingkungan (Sutejo 2010). Selanjutnya
sudrajad (1992) menyatakan bahwa, serasah daun kering secara alami mengandung
lignin sebesar 50,70%. Serasah daun kering memiliki nilai COD sebesar 0,73g/g.
Walaupun nilai COD ini rendah, akan tetapi pemanfaatan serasah daun kering untuk
dijadikan pupuk organik akan lebih menguntungkan daripada serasah daun kering
dibiarkan ditimbun langsung dengan tanah tanpa menerapkan teknologi fermentasi
yang baik. Semakin tingginya jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat
pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan lepasnya gas metana
ke udara, disatusisi potensi sampah dapat diberdayakan menjadi bahan yang lebih
berdaua guna, yaitu pupuk organik yang dapat digunakan untuk kelestarian
lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, maka pengolahan sampah perlu
diperhatikan (Rohendi 2005)
Cecep (2012) menyatakan dari proses produksi dan konsumsi manusia akan
menghasilkan bahan buangan yang berupa sampah. Sampah dihasilkan sebagian
dapat didaur ulang sebagai resources recovery sebagai bahan baku untuk proses
produksi dan konsumsi. Sebagian lagi sampah yang dihasilkan dapat direduksi
kealam, kembali ke lingkungan natural. Kristanto (2004) menyatakan proses
pengolahan limbah secara biologis adalah memanfaatkan mikroorganisme (ganggang,
bakteri, protozoa) untuk menguraikan senyawa organik dalam air limbah menjadi
senyawa yang sederhana dengan demikian mudah mengambilnya. Proses dilakukan
jika proses kimia atau fisika atau gabungan kedua. Proses tersebut tidak lagi
memuaskan, karena penanganannya relatif sulit, maka perlu dicari cara mengolah
sampah menggunakan mikroba, yang dapat menghasilkan manfaat lebih tinggi,
dengan menggunakan proses biologis membutuhkan zat organic, sehingga kadar
dilakukan dengan dua cara, yaitu operasi tanpa udara (anaerob) dan operasi dengan
udara (aerob)
Ginting (2010) menyatakan pupuk organik berasal dari penguraian bahan
organik seperti daun-daun tanaman dan kotoran hewan. Pupuk organik memiliki
beberapa macam, yaitu pupuk kandang, pupuk hijau, bokashi dan kompos. Pupuk
organik memiliki kelebihan dibandingkan dengan jenis pupuk anorganik. Beberapa
kelebihan pupuk organik antara lain: 1) mengandung unsur hara makro dan mikro
yang lengkap, tetapi dalam jumlah sedikit, 2) dapat memperbaiki struktur tanah, 3)
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, L.K., A.D. Robson, D.A. Jasper and C. Gazey. 1992. What is the role of VA mycorrhizal hyphae in soil?. p: 37-41. Mycorrhizas in ecosystems. C.A.B. International.
Alexopoulos, C.W. Mims and M. Blackwell 1996. Introductory Mycology. 4th ed.
John Wiley & Sons Inc. Singapore. Hal 153
Anonymus, (Diphut) 2012. IPTEK mendukung kelestarian hutan dan kesehteraan masyarakat, kumpulan karya Ilmiah Balai Penelitian Kehutanan Makasar 2012.
Asngad,A 2012. Inovasi Pupuk Organik Kotoran Kambing Dan Gulma Air (Eceng Gondok)
Dikombinasi Dengan Bioteknologi Mikoryza Bentuk Granul. Prosiding Semnas Biologi Universitas Negeri Surakarta
Barea J.M., Jeffries 2001. Arbuscular Mycorhhiza- a Key Component of Sustainable
Plant-Soil Ecosystems. In The Mycota a Comprehensive Treatise on fungi as
Experimental Systems for Basic and Applied Research, Fungal Associations, K Esser (Ed). hal 95
Bolan NS. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal fungi in the uptake of
phosphorus by plants. Plant and Soil134: 189 - 207.
Bonfante, P, and S. Perotto. 1995. Strategies of arbuscular mycorrhizal fungi when infecting host plants. New Phytol. 130:3-21
Brundrert MC, Melvillel, Peterson.L 1994. Practical methods in Micorrhiza research Mycologie Publication,ontano, Canada 161 p
Budiaman, I gusti., dkk. 2010. Pengaruh jenis starter, volume pelarut, dan aditif terhadap pengolahan sampah organik rumah tangga menjadi pupuk kompos secara anarob. UPN Veteran Yogyakarta.
Campabell. 2003. BIOLOGI jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Chalimah S 2007. Pemanfaatan teknologi in vivo untuk perkembangan Gigaspora margarita dan Acaulospora tuberculata. Biodiversitas 7: 3-5. UNS
Chalimah Siti, Asngad Aminah, Mahajoeno Edwi . 2012. Produksi Campuran
Pupuk Organik Dan Pupuk Hayati Cma Dari Bahan Gulma Air
dan Kotoran Ayam Menuju Infrastruktur Hijau. Surakarta : UMS.
Chalimah,S 2012. Produksi Campuran Pupuk Organik Dari Gulma Air Dan Kotoran Ayam Serta Penambahan Pupuk Hayati Cma Menuju Infrastruktur Hijau. Makalah Semnas Green Technology 3, UIN Malang
de-Souza, FA. 2005. Biology, Ecology and Lucia.Y. 2005. Cendawan mikoriza arbuskula di bawah tegakan tanaman manggis dan peranannya dalam
pertumbuhan bibit manggis (Garcinia mangostana), Tesis. Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor (Unpublish)
Djuarni, Nan.Ir, M.Sc., Kristian.,Setiawan,Budi Susilo.(2006).Cara Cepat
Membuat Kompos. Jakarta:AgroMedia.Hal 36-38.
Dwidjoseputro. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan.Jakarta PT. Gramedia
Ermawar RA, Yanto DHY, Fitria, Hermiati E. 2006. Biodegradation of Lignin in Rice Straw Pretreated by White-rot Fungi. Jurnal Widya Riset 9 (3) : 197-202
Ezawa. 2002. Phosphat Metabolism and Transport of Anthocyanin and Antifugal Compounds of Palygoneum Tichtorium . Thesis of Kagawa University Japan. Fabig, B., K. Vielhauer, A.M. Moawad and W. Achtnich. 1989. Gas-chromatographic
separation of organic acids and electrophoretic determination of phosphatases from VA mycorrhizal roots. Z. Pfanzenernahs Bodenk. 152, A1-265.
Fatriasari, widya dkk. 2009. Pulping Soda Panas Terbuka Bamboo Betung
Dengan Praperlakuan Fungi Pelapuk Putih (Pleurotus
Ostreatus dan Trametes Versicolor). Jurnal Ilmu dan Teknologi
Hasil Hutan 2(2): 45-50 (2009)
Fitria, Yanto DHY, Ermawar RA, Hermiati E. 2007. Pengaruh Perlakuan
Pendahuluan dengan Jamur Pelapuk Putih (Trametes versicolor dan
Pleurotus ostreatus) terhadap Kadar Lignin dan Selulosa Bagasse.
Laporan Teknik Akhir Tahun 2007, Penelitian dan Penguasaan
Teknologi, UPT BPP Biomaterial LIPI
FNCA Biofertilizer Project Group. 2006. Biofertilizer Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA). Japan Atomic Industrial Forum, Tokyo.
Gaur , AC. 1986. A Manual Of Rulalcomposting. FAO/UNDP Regional Project
Divition Of Microbiology. New Delhi : Indian Agricultural
Recearch Institut.
Harfiah. Optimalisasi Pakan Berserat Tinggi Melalui Sistem Perenggangan
Ikatan Lignoselulosa Dalam Meningkatkan Kualitas Limbah
Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia. Makasar : Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin
Hattaka A et al. 2005. Environmental Biotechnology and Biotechnology Of
Natural Resources. Proceedings Of The Scanbalt Meeting;
Helsinki, 31 Okt 2005. Helsinki: Microbiology Ociety. Hlm
1078-1092.
Jakobsen, J. 2004. Transport of Phosphorus and Carbon in Arbuscular Mycorrhizas. Dalam A. Varma B. Hock (Ed.). Mycorrhiza: Structure, Function, Molecular Biology and Biotechnology. 2nd ed. Springer Verlag Berlin Heidelberg. eye, and the ecological tale of why. Bioscience 51:923-931
Jakobsen, J. 2004. Transport of Phosphorus and Carbon in Arbuscular Mycorrhizas. Dalam A. Varma B. Hock (Ed.). Mycorrhiza: Structure, Function, Molecular Biology and Biotechnology. 2nd ed. Springer Verlag Berlin Heidelberg Johansen, A. and E.J. Joner. 2000. Phosphatase activity of external hyphae of two
arbuscuiar mycorrhizal fungi. Mycol. Res.104:81-86.
Joner, EJ, & A Johansen. 2000. Phosphatase activity of external hyphae of two arbuscuiar mycorrhizal fungi. Mycol. Res. 104, 81-86.
Kristanto, Philip. 2006. Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Lambais, MR & MC Mehdy. 1996. Soybean roots infected by Glorrius intraradices strains differing in infectivity exhibit differential chitinase and B 1,3-glucanase expression. New Phytol. 134, 531-538.
Landau, J.K. 2002. Penyediaan Bibit Unggul Dalam Proses Pembuatan Kompos.
Workshop Bidang Mikrobiologi, Pusat Biologi, LIPI, Bogor, 29
Oktober 2001.
Lieke riadi. 2007 hal 13. Teknologi Fermentasi. Yogyakarta: Graha ilmu.
Mahajoeno,E 2013. Pengayaan Pupuk Kandang Dengan Eceng Gondok Dan Mikorriza Bentuk Granul Untuk Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan. Makalah Semnas Pendidikan dan Saintec Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Marschner, H. and B. Dell. 1994. Nutrient uptake in mycorrizal symbiosis plant and soil. 159:89–102.
Moertinah, dkk. 2010. Kajian proses anaerobik sebagai alternatif teknologi
pengolahan air limbah industri organik tinggi. Vol. 1 (2). November. 104-114.
Musnamar, E. I. 2003. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasinya.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Mustafa. 2005. Peranan Mikrofauna tanah dalam proses dekomposisi serasah
acacia mangium willd. Biodiversitas. 6(1): 63-65.
Nurulita, ulfa dan Budiyono. 2012. Lama watu pengomposan sampah rumah
tangga berdasarkan jenis mikro organism local (MOL) teknik
pengomposan. Semarang : Seminar hasil – hasil penelitian, LPPM
UNIMUS
nurullathifah.wordpress.com/2011/07/07/limbah-organik-anorganik-dan-b3/
Parnata, Ayub.S. (2004).Pupuk Organik Cair. Jakarta:PT Agromedia Pustaka. Hal
15-18.
Perez J, Munoz-Dorado J, De la Rubia T, Martinez J. 2002. Biodegradation and
Biological Treatments of Cellulose, Hemicellulose and Lignin: an Overview, Int. Microbiol 5 : 53-63
Purwanto. 2005. Pengaruh Pupuk Majemuk NPK dan Bahan Pemantap Tanah Terhadaap Hasil dan Kualitas Tomat Var. Intan. Jurnal Penelitian UNIB . (1):54-60.
Read W. 1984. The structure and function of vegetative mycelium of mycorrhizal roots. InD. H. Jennings & A, D. M. Reyner (Ed.) Ecology and Physiology of
the fungal mycelium, p. 215-240 London, Cambridge University Press. Rub. Res. 14(2),131-136.
Rohendi, E. 2005. Lokakarya Sehari Pengelolaan Sampah Pasar DKI Jakarta.
Jakarta: UI-press.
Sahwan, firman L. Sri wahyono dan feddy suryanto. 2011. Evaluasi Populasi
Mikroba Fungsional Pada Pupuk Organik Kompos (POK) Murni Dan
Pupuk Organik Granul (POG) Yang Diperkaya Dengan Pupuk
Hayati. Jurnal Teknologi LingkunganVol. 12. No. 2. ISSN
1441-318X.
Santi, Laksima prima. 2007. Potensi fungi pelapuk putih asal lingkungan tropic
untuk bioremediasi herbisida. Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia, Bogor 16151, Indonesia. Fakultas MIPA,
Jurusan Biologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia
Saraswati et al. 2006. Organisme perombak bahan organik. 211-230.
Setyadi .2001. Optimalisasi Penggunaan Mikoriza Arbuskula Dalam Rehabilitasi
Setyorini, D., 2005, Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Tanaman. Warta
Penelitian dan Pengembanagn Pertanian, 27, 13-15.
Simanungkalit, R.D.M. Suriadikarta, Didi Ardi. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Jawa Barat:Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Hal 2. ISBN 978-979-9474-57-5
Simarmata, T. 2005. Revitalitasi Kesehatan Ekosistem Lahan Kritis Dengan
Smith SE, Smith FA, Jacobsen. 2003. Mycorrhizal fungi can dominate phosphate supply to pints irrespective of growth responses. Plant Physiol. 133, 16-20. Smith SE. and D.J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis, 2nd edition. Academic Press,
London.
Smith, S.E., F.A. Smith and I Jacobsen. 2003. Mycorrhizal fungi can dominate phosphate supply to pints irrespective of growth responses. Plant Physiol. 133:16-20.
Sofian. 2006. Sukses Membuat Kompos Dari Samapah.Jakarta: PT Agro Media
Pustaka.
Soil Science. University of Hawaii
Subba- rao, n.s. 1994. Mikroba Tanah Dan Pertumbuhan Tanaman.Jakarta :
Universitas Indinesia Press.
Sudradjat, R dan E. Herawati. 1992. Pemanfaatan Larutan Kompos Cair
(Larutan Dranco) Hasil Proses Fermentasi Serasah Daun
Kering Sebagai Larutan Hara Hidroponik. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan, Bogor. Belum dipublikasikan.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D. Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Sun Y, Cheng J. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol
production: a Review. Bio resource Technology, 83: 1-11
Suriadikarta, Didi Ardi., Simanungkalit, R.D.M. (2006).Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Jawa Barat:Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Hal 2. ISBN 978-979-9474-57-5.
Sutanto, Rachman. (2002).Pertanian organik: Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan. Jakarta:Kanisius. ISBN 979-21-0187-X,9789792101874
Sutanto, Rahman. 2002. Penerapan Pertanian Organik.Yogyakarta : Kanisus
Sutedjo, Mul Mulyadi. 2010. Pupuk dan cara pemupukan. Jakarta : Rineka
Cipta.
Syafrizal, Rio Ichsan. 2007. Aktifitas Enzim Lignolitik Fungi Pelapuk Putih
Omphalina sp. Dan Pleurotus ostreatus pada Limbah
Tejasukmana, Ahmad Safari. 1997. Kajian mutu pulp tandan sawit yang
didelignifikasi dengan fungi pelapuk putih galur K14. Bogor :
Fakultas teknologl pertanian.
Wahyono, Sri, dkk. 2011. Membuat pupuk organik granul dari aneka limbah.
Jakarta: Agromedia.
Waluyo, Lud. 2009. Mikrobiologi Lingkungan. Yogyakarta : UMM Press.
Wardana, Wisnuarya. 2007. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta:
Andi
Widawati, Sri. 2005. Daya Pacu Aktifator Fungi Asal Kebun Biologi Wamena
Terhadap Kmatangan Hara Kompos, Serta Jumlah Mikroba Pelarut
Fosfat Dan Penambat Nitrogen. Bogor : LIPI.