• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Berbagai Limbah dan Kotoran Hewan untuk Pupuk Organik yang Dikombinasi dengan Pupuk Hayati Bentuk Granul Serta Pengembangan Alat Granulasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Berbagai Limbah dan Kotoran Hewan untuk Pupuk Organik yang Dikombinasi dengan Pupuk Hayati Bentuk Granul Serta Pengembangan Alat Granulasi"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBAN

UNTUK PUPUK ORGANIK HAYAT

Koordini perguruan tinggi wilayah VI, kemendikbud RI, sesuai

surat perjanjian pelaksanaan hibah penelitian nomer 008/K6/KL/SP/2013

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA LAPORAN AKHIR

PENELITIAN HIBAH BERSAING

J U D U L

PENGEMBANGAN BERBAGAI LIMBAH DAN KOTORAN HEWA UNTUK PUPUK ORGANIK YANG DIKOMBINASI DENGAN PU

HAYATI BENTUK GRANUL SERTA PENGEMBA ALAT GRANULASI

Siti Chalimah , 0716125901 Suparti, 195706011987032001

Edwi Mahajoeno 0025106001

Dibiayai oleh :

Koordini perguruan tinggi wilayah VI, kemendikbud RI, sesuai

surat perjanjian pelaksanaan hibah penelitian nomer 008/K6/KL/SP/2013 Tanggal 16 Mei 2013

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA DESEMBER 2013

Kode/Nama rumpun Ilmu ; 113, Biologi dan Umum

N KOTORAN HEWAN NG DIKOMBINASI DENGAN PUPUK

PENGEMBANGAN

Koordini perguruan tinggi wilayah VI, kemendikbud RI, sesuai dengan surat perjanjian pelaksanaan hibah penelitian nomer 008/K6/KL/SP/2013

ADIYAH SURAKARTA

(2)
(3)

ABSTRAK

Tujuan penelitian, i) mengetahui kesesuaian produk pupuk organik terhadap standart pupuk organik Menpan (2009), 2) mengukur kuantitas, dan kualitas kandungan pupuk organik limbah serasah dengan inokulum kotoran hewan dan Jamur pelapuk putih, 3) Mengukur logam berat pupuk organik yang dihasilkan, dan 4) Membuat modifikasi alat granulasi dan cropper. Metode eksperimen dan analisis laboratorium untuk mengetahui kuantitas dan kualitas hara pupuk yang dihasilkan, dan secara diskriptif diperbandingkan dengan ketentuan baku pupuk organic SK Menpan 2005/2009. Analisis kandungan hara makro: C, C/N, N, P, K, dan hara mikro: Mo, Mn, Mg, Fe2O3 dilakukan sesuai SNI (2002). Hasil penelitian pupuk organik yang diperoleh menunjukkan bahwa serasah dengan inokulum kotoran hewan dan Jamur pelapuk putih(Trycoderma sp) sesuai dengan standart Menpan 2009. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa makronutrien relative rendah, dan kualitas makro dan mikronutrien cukup bagus dan lengkap. Alat granulasi semi pilot dapat berproduksi 2 kw/hari, dan alat cropper dengan tipe pisau berputar. Simpulan menunjukan bahwa kualitas dan kuantitas pupuk organik limbah serasah dengan inokulum kotoran hewan dan jamur pelapuk putih mengandung unsur makro dan mikro nutrisi yang relatif lengkap dan hasil pengukuran Logam berat masih dalam standart baku mutu pupuk organik Menpan 2009. Makro nutrien yang dihasilkan relatif masih rendah. Pupuk organik dari serasah dengan berbagai macam inokulum diatas dapat digunakan sebagai pupuk organik pengganti pupuk kimia di lapang. Saran perlu diuji pupuk organik yang dihasilkan terhadap pertumbuhan tanaman baik skala laboratorium maupun lapang

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bumi sebagai tempat tinggal dan aktifitas berbagai macam organisme, yang

kesemuanya akan mengeluarkan limbah yang berbeda. Manusia merupakan salah satu

penghuni Bumi yang mempunyai aktifitas, kebutuhan hidup serta tuntutan yang

tinggi, berinovasi dan kreatif, sehingga berdampak kebutuhan manusia paling utama

adalah sandang, pangan dan papan. Peningkatan aktifitas masyarakat, baik kuantitas

maupun kualitas akan menghasilkan limbah, jika tidak dikelola dengan baik dapat

menimbulkan dampak negatif berupa penurunan kualitas lingkungan. Permasalahan

lingkungan yang umum terjadi adalah pengelolaan sampah. Sampah yang merupakan

bagian sisa aktifitas manusia perlu dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan

berbagai permasalahan terhadap kehidupan manusia, maupun gangguan pada

lingkungan seperti pencemaran lingkungan, penyebaran penyakit, menurunnya

estetika dan sebagai pembawa penyakit. Pengelolaan sampah dimanapun sampai saat

ini belum mencapai hasil yang optimal. Berbagai kendala masih dihadapi dalam

melaksanakan pengelolaan sampah tersebut baik kendala ekonomi, sosial budaya

maupun penerapan teknologi (Nuryani, 2003:56).

Pertumbuhan disektor industri telah mendorong munculnya system pertanian

modern dengan ciri, ketergantungan yang tinggi terhadap pupuk anorganik. Kondisi

ini telah menyebabkan percepatan menurunnya kualitas tanah dan kontaminasi air

bawah tanah. Usaha pertanian dengan mengandalkan bahan kimia seperti pupuk

kimia/anorganik dan pestisida kimiawi yang telah banyak dilakukan pada masa lalu,

dan berlanjut hingga masa sekarang telah banyak menimbulkan dampak negative,

yang ditunjukkan hasil analisis tentang lahan kritis, ditahun 2000 terdapat 23.242.881

ha lahan kritis yang terdiri atas 8.136.647 ha dalam kawasan hutan dan 15.106.234 ha

(5)

yang terdiri atas 47.610.081 ha sangat kritis, 23.306.233 ha kritis dan agak kritis

seluas 6.890.567 ha. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa laju lahan kritis

baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan sangat cepat, dibanding

kemajuan realisasi kegiatan rehabilitasi lahan kritis (Anonymus/Dephut ,2006)

Penggunaan input kimiawi dengan dosis tinggi, juga merupakan permasalahan

tersendiri, , tidak saja berpengaruh menurunkan tingkat kesuburan tanah, tetapi juga

berakibat pada merosotnya keragaman hayati dan meningkatnya serangan hama,

penyakit dan gulma. Dampak negatif lain yang dapat ditimbulkan oleh pertanian

kimiawi adalah tercemarnya produk pertanian oleh bahan kimia yang selanjutnya

akan berdampak buruk terhadap kesehatan. Menyadari akan hal tersebut maka

diperlukan usaha untuk meniadakan atau paling tidak mengurangi cemaran,

khususnya akibat penggunaan bahan anorganik/kimia yang berlebihan, sehingga

berdampak terhadap kesehatan masyarakat maupun lingkungan, (Anonymus/Dephut

2006).

Hasil penelitian Asngad (2012) menyatakan bahwa, pupuk organik dari bahan

dasar Gulma air Eceng gondok yang ditambah dengan kotoran kambing, dapat

menghasilkan pupuk organik yang sesuai dengan standart baku mutu Menpan 2009.

Demikian pula hasil penelitian Chalimah (2012) dan Mahajoeno (2013) menyatakan,

dengan bahan dasar yang sama dengan penambahan kotoran ayam, serta campuran

ayam dan kambing, diperoleh hasil pupuk organik yang sesuai dengan standart baku

mutu Menpan 2009. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa limbah gulma air,

dengan kotoran ayam dan atau Kambing dapat digunakan sebagai bahan pembuatan

Pupuk Organik koheyambing, secara aerob. Selain itu dinyatakan bahwa, Formula

pupuk organik yang diperoleh, campuran kotoran ayam, kambing dan Eceng gondok,

dengan perbandingan 1:1:1. Sedang kotoran ayam dan Kambing dengan eceng

gondok, perbandingan 2:1. Pupuk yang dihasilkan dibuat granul dengan penambahan

unsur lain yaitu Cly merah dan putih, serta posphat alami (Chalimah et al2012)

Tingginya persentase tanah marjinal di Indonesia, dengan kondisi pH rendah,

dan tanah berkapur, memiliki persediaan air berlimpah, namun keberadaannya jauh

(6)

Kondisi tanah yang memiliki kandungan Ca, Fe dan Al tinggi, dapat mengikat unsur

makronutrien, khususnya Phospat (P), yang dapat menghambat pertumbuhan dan

produksi tanaman. Keunggulan Cendawan Micorrhiza Aarbuskula, yang sering

disebut mikorriza (CMA) sebagai biofertilizer digunakan untuk meningkatkan

kesuburan tanah (Ezawa et al 2002, Johansen et al2000), meningkatkan daya tahan

tehadap serangan pathogen dan kekeringan (Ezawa et al 2002), menguntungkan

untuk pertanian (Jeffries et al 2003), Reklamasi lahan bekas tambang (de-Souza &

Sulva 1996), sebagai sumberdaya yang efisien dan bersifat renewable (Jakobsen

2000), berkemampuan untuk meminimalkan dampak berbagai parasit dan pathogen

(Harley & Smith 1983), dan kolonisasi akar oleh CMA dapat menghambat penyakit

yang disebabkan oleh nematoda dan pathogen yang penularannnya melalui tanah,

seperti Fusarium, Phytium, Rhzoctnia dll (Azcon-Aguilar & Barea 1996), kondsi ini

disebut sebagai bioproteksi, oleh karenanya CMA penting dikembangkan.

CMA Berperan penting memperbaiki produktivitas tanah, siklus hara,

memperbaiki struktur tanah dan menyalurkan unsur karbon dari akar ke organisme

tanah lainnya. CMA juga mampu mengeluarkan enzim fosfatase dan asam organik,

sehingga pada tanah yang kahat P, CMA mampu melepas P yang terikat, sehingga

membantu penyediaan unsur P tanah (Smith et al. 2003). Penggunaan CMA

umumnya meningkatkan kesuburan tanaman, daya tahan terhadap serangan patogen

dan kekeringan (Ezawa et al. 2002). CMA juga menguntungkan untuk pertanian

(Jeffries et al. 2003) maupun reklamasi lahan (de-Souza & Sulva 1996), dan sebagai

sumber daya efisien. Tanaman uji yang digunakan adalah tanaman pangan sorgum

dan Jagung, dipilih karena tanaman tersebut tidak hanya untu pangan, tapi juga pakan

dan industri bioethanol. Tanaman obat kunyit putih dan kunyit merupakan tanaman

yang banyak dimanfaatkan oelh masyarakat untuk berbagai penyakit. Tanaman buah

Rambutan.dan Durian adalah buah yang banyak disukai oleh masyarakat, secra

ekonomis bernilai tinggi, aka perlu dikembangkan dan dilestarikan. Oleh karenanya

pengujian pupuk digunakan jenis tanaman diatas. Kombinasi pupuk yang dihasilkan

dapat bermanfaat meningkatkan kualitas bibit tanaman, sehingga diharapkan bibit

(7)

kondisi tanah, sehingga dapat digunakan untuk rehabilitasi tanah lingkungan industri,

(8)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Pupuk Organik

Salah satu jenis pupuk organik adalah pupuk kandang. Menurut Syekhfani

(2000) bahwa pupuk organik memiliki sifat yang alami dan tidak merusak tanah,

menyediakan unsur makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan belerang) dan

mikro (besi, seng, boron, kobalt, dan molibdenium). Selain itu pupuk organik

berfungsi untuk meningkatkan daya menahan air, aktivitas mikrobiologi tanah, nilai

kapasitas tukar kation dan memperbaiki struktur tanah. Menurut Setiawan (2002)

pengaruh pemberian pupuk organik secara tidak langsung memudahkan tanah untuk

menyerap air. Kotoran padat kambing merupakan salah satu jenis kotoran hewan

yang pemanfaatanya belum begitu maksimal, sehingga perlu dieksplorasi

kemanfaatannya.

Hasil penelitian Asngad (2012) menyatakan bahwa, pupuk organik dari bahan

dasar Gulma air Eceng gondok yang ditambah dengan kotoran kambing, dapat

menghasilkan pupuk organik yang sesuai dengan standart baku mutu Menpan 2009.

Demikian pula hasil penelitian Chalimah (2012) dan Mahajoeno (2013) menyatakan,

dengan bahan dasar yang sama dengan penambahan kotoran ayam, serta campuran

ayam dan kambing, diperoleh hasil pupuk organik yang sesuai dengan standart baku

mutu Menpan 2009. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa limbah gulma air,

dengan kotoran ayam dan atau Kambing dapat digunakan sebagai bahan pembuatan

Pupuk Organik koheyambing, secara aerob. Selain itu dinyatakan bahwa, Formula

pupuk organik yang diperoleh, campuran kotoran ayam, kambing dan Eceng gondok,

dengan perbandingan 1:1:1. Sedang campuran kotoran ayam dan Kambing dengan

Eceng gondok, perbandingan 2:1. Pupuk yang dihasilkan dibuat granul dengan

penambahan unsur lain yaitu Cly merah dan putih, serta posphat alami (Chalimah et

(9)

, Penggunaan pupuk di dunia terus mengalami peningkatan sesuai dengan

pertambahan luas areal pertanian, pertambahan penduduk, kenaikan tingkat

intensifikasi serta makin beragamnya penggunaan pupuk sebagai usaha peningkatan

hasil pertanian, yang dapat menimbulkan dampak negatif (Lingga dan Marsono,

2000). Penggunaan pupuk kimia secara berkelanjutan menyebabkan pengerasan

tanah, yang disebabkan penumpukan sisa atau residu pupuk kimia, yang sulit terurai.

Sifat bahan kimia relatif lebih sulit terurai atau hancur dibandingkan bahan organik.

Kerasnya tanah dapat mengakibatkan Tanaman sulit menyerap unsur hara. Proses

penyebaran perakaran dan aerasi (pernafasan) akar terganggu, sehingga akar tidak

dapat berfungsi optimal dan pada gilirannya akan menurunkan kemampuan produksi

tanaman tersebut (Notohadiprawiro dkk., 2006). Selain itu penggunaan pupuk kimia

di Indonesia, diindikasikan adanya pengurangan kandungan 10 jenis unsur hara

meliputi sebagian unsur hara makro yaitu N, P dan K (3 unsur) serta unsur hara mikro

yaitu Fe, Na, Mo, Cu, Mg, S dan Ca (7 unsur). 13 macam unsur hara untuk keperluan

proses pertumbuhan dan perkembangannya mutlak dibutuhkan tanaman, dikenal

dengan nama unsur hara essensial (Hardjowigeno, 1997). Oleh karenanya, sebagsai

salah satu pertimbangan mengurangi penggunaan pupuk kimia, dan sebagai alternatif

melakukan pembudidayaan tanaman dengan sistem pertanian organik. Pada system

ini diharapkan tanaman dapat hidup tanpa ada masukan dari luar sehingga dalam

kehidupan tanaman terdapat suatu siklus hidup tertutup (Budianta, 2004).

Kualitas pupuk yang dihasilkan dari bahan dasar gulma air Eceng gondok dan

campuran kotoran ayam dan kambing bentuk granul maupun tidak, kandungan nutrisi

makro maupun mikro nutrient, serta logam berat telah memenuhi kriteria baku mutu

dari menpen 2009, dan nilai makro nutrien relatif rendah yaitu C.organik, N, P2O5

dan K2O, dengan nilai masing-masing 20.43%, 1.43%, 1.13%, 1.62%, Sehingga dikatakan bahwa pupuk dari bahan dasar tersebut aman digunakan sebagai pupuk

organik. (Edwi M, semnas UMS 2013). Asngat (2012) menyatakan bahwa Eceng

gondok yang dicampur dengan kotoran Kambing aman digunakan untuk pupuk

organik, walaupun memiliki kandungan makronutrien yang relatif rendah dibanding

(10)

21.45%, 1.47%,1.83%, 1.59% (Kambing). . Eceng gondok yang dicampur dengan kotoran Ayam memiliki kandungan makro dan mikro relatif lengkap. Kandungan

makronutrien relatif rendah yaitu, C.organik, N, P2O5 dan K2O, masing-masing

menghasilkan 20.85%, 1.28%, 1.83%, dan 1.53 %(ayam). Chalimah (2012). Eceng

gondok yang dicampur dengan kotoran ayam, kambing dan campuran kotoran ayam

dan kambing, memberikan hasil kandungan makronutrien yang berbeda, paling tinggi

adalah Eceng gondokyang dicampur dengan kotoran kambing, selanjutnya campuran

kotoran ayam dan kambing, dan terendah Eceng gondok yang dicampur dengan

(11)

A.. Standart kualitas pupuk dari Menpan 2009

Tabel 2.1. Standarisasi Pupuk kompos N0: 28/Permentan/SR.130/5/2009,22 Mei 2009

Keterangan :

1. Untuk C organik 7 – 12% dimasukkan sebagai Pembenah Tanah 2. *) Kadar air berdasarkan bobot asal

**) Bahan tertentu yang berasal dari bahan organik alami diperbolehkan mengandung kadar P2O5 dan K2O > 6% (dibuktikan dengan hasil Laboratorium)

No Parameter Satuan Nilai SNI

I Fisik

1 Kadar air % < 50

- Granul % 4 – 15 *)

- Curah.Powder 15 -25 *)

2 Temperatur 0C Suhu udara

3 Warna

-4 Bau

-5 Ukuran Partikel/butiran Mm 2–5 (min80%)

6 Kemampuan ikat air % 58,7

7 pH(Kadar keasaman) - 4 – 8

8 Bahan ikutan (kerikil, pasir) % <2 II Unsur Makro Nutrien

1 C. Oranik % >12

2 Nitrogen % < 6 ***

3 Karbon % < 6 ***

4 Phosor(P2O2) % < 6 **

5 C/N rasio - 15-25

6 Kalium (K2O) % < 6 **

III Unsur Mikro

1 Kalsium (Ca) % < 25,49

2 Magnisium (Mg) Ppm < 0,63

3 Kobal (Co) Ppm Maks 20

4 Kromium (Cr) Ppm < 210

5 Tembaga (Cu) Ppm Maks 5000

6 Besi (Fe) total Ppm Maks 8000

7 Nikel (Ni) Ppm < 62

8 Aluminium (Al) Ppm < 2,20

9 Selenium (Se) Ppm < 2

10 Seng (Zn) Ppm Maks 5000

11 Mangan (Mn) Ppm Maks 5000

12 Boron (Br) Ppm Maks 250

III Kadar Logam berat

1 Timbal (Pb) Ppm <50

2 Kadmium (Cd Ppm <10

3 Merkuri (Hg) Ppm <1

4 Arsen (As) Ppm <10

IV Mikroba Patogen

1 E. Coli Cfu/gr

2 Salmonella

(12)

***) N. Total = N-Organik + N-NH4 + N-NH3; N-Kjeldahl = N-organik + N-NH4; C/N

3. N = N total

4. Keterangan ini berlaku untuk standart Karakterisasi Pupuk dari Menpan 2009.

2. Pupuk Hayati

2.1. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)

Cendawan mikorhiza arbuskula (CMA) adalah mikroorganisme tanah bersifat

obligat, sehingga selalu hidup bersimbiosis dengan akar tanaman. Wilcoc (1990)

menyatakan bahwa 83 % CMA berasosiasi dengan tanaman dikotil dan 79%

tanaman monokotil. Hal tersebut didukung oleh Alexopoulos et al.(1996)

menyatakan bahwa 80% CMA bersimbiosis seluruh famili tumbuhan. Anggota

Glomales bersimbiosis dengan banyak tanaman budidaya angiospermae penting, di

antaranya adalah tanaman pertanian yang akhir-akhir ini mendapat perhatian besar.

Smith & Read . (1997) menyatakan bahwa CMA adalah simbion penting dalam

perakaran, karena mampu bersimbiosis dengan sebagian besar familia tanaman darat

(97%), di antaranya adalah tanaman komersial kelompok tanaman pangan,

hortikultura, kehutanan, perkebunan, dan pakan ternak Pada pertanian berkelanjutan,

simbiosis CMA dengan tanaman memainkan peran kunci untuk membantu tidak

hanya ketahanan hidup tanaman, tetapi menjadikan produktif dalam kondisi tanah

marjinal (Barea & Jeffries 2001).

Infeksi CMA pada akar tanaman, dapat meningkatkan kemampuan

penyerapan hara yang tidak tersedia bagi tanaman, serta meningkatkan kemampuan

menyerap air, sehingga tanaman hidup dengan baik pada kondisi tanah kering

(Jeffries 1987). Mekanisme penyerapan hara pada tanaman terinfeksi CMA adalah

bertambah luas permukaan absorbsi dan meningkatkan volume daerah penyerapan

dengan hifa eksternal, serta kemampuan hifa lebih tinggi mengabsorbsi zat makanan

dibanding dengan bulu akar (Abbott et al. 1992). Kondisi demikian menyebabkan

tanaman bermikoriza mampu menyerap hara lebih banyak dan lebih baik

dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza. Secara umum peningkatan

(13)

sumber P tersedia. CMA juga mampu mengeluarkan enzim fosfatase dan asam

organik, sehingga pada tanah yang kahat P, CMA mampu melepas P yang terikat,

sehingga membantu penyediaan unsur P tanah (Smith et al. 2003). Selain daya

jelajah hifa sangat tinggi dibanding akar, mikoriza mampu meningkatkan enzim

fosfatase, yang berfungsi untuk menguraikan unsur P terfiksasi atau terikat. Selain itu

diameter hifa sangat kecil (2–4 μm) menyebabkan daya terobos lebih besar (Bolan

1991, Marschner dan Dell 1994).

Simbiosis tanaman dan CMA adalah mutualistis, yaitu saling menguntungkan

dan fotosintat tanaman penting untuk kelangsungan hidup CMA, sebagai sumber

karbon. Proses fotosintesis terkait jumlah khlorofil terkandung dalam daun.

Peningkatan kadar khlorofil disebabkan peningkatan serapan Mg dan N pada tanaman

bermikoriza, karena kedua unsur tersebut berperan penting dalam pembentukan

khlorofil daun. Infeksi CMA mungkin memberi kontribusi penyerapan unsur Mg bagi

tanaman, walaupun hal tersebut belum banyak diketahui (Marschner dan Dell, 1994).

Tanaman bermikoriza menyerap unsur N lebih tinggi dibanding dengan tanaman

tidak bermikoriza. Marschner dan Dell (1994) menyatakan bahwa pengambilan dan

tansport 15N oleh hifa pada tanaman seledri, menunjukkan peningkatan N total

sebesar 2,5% dan 3,5% setelah 30 hari. Kondisi ini terjadi pada tanaman bermikoriza

Penggunaan CMA umumnya meningkatkan kesuburan tanaman, daya tahan

terhadap serangan patogen dan kekeringan (Ezawa et al. 2002). CMA juga

menguntungkan untuk pertanian (Jeffries et al.2003) maupun reklamasi lahan (Jasper

1994, de-Souza & Sulva 1996), dan sebagai sumber daya efisien yang dapat

diperbaharui (Jakobsen 2000). Dari uraian tersebut dapat dimengerti bahwa peran

CMA dalam peningkatkan kualitas tanaman, sehingga diharapkan bibit yang

bermikoriza dapat untuk konservasi diberbagai lahan kritis dan marginal. Gunadi

(2000) menyatakan bahwa tanah masam yang banyak mengandung Al

berkemampuan fiksasi P tinggi. Oleh karena itu efisiensi pemupukan P umumnya

rendah berkisar antara 20 - 25%, demikian pula pada tanah yang mengandung unsur

Ca. Terbatasnya ketersediaan P merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan

(14)

tanaman dapat meningkatkan serapan P tanaman yang disebabkan adanya hifa

eksternal yang berfungsi seperti rambut akar. Kolonisasi CMA (terinfeksinya akar

oleh CMA) dapat menyebabkan adanya aktivitas fosfatase (Joner & Johansen 2000),

produksi asam organik (Fabig et al. 1989), perubahan aktifitas kitinase ekstrak akar

tanaman (Lambais & Mehdy 1996).

Mekanisme penyerapan hara pada tanaman terinfeksi CMA adalah bertambah

luas permukaan absorbsi dan meningkatkan volume daerah penyerapan, karena

keberadaan hifa eksternal, serta kemampuan hifa lebih tinggi mengabsorbsi zat

makanan dibanding dengan bulu akar (Abbott et al. 1992). Secara umum

peningkatan pertumbuhan tanaman bermikoriza disebabkan oleh meningkatnya

penyerapan P, karena CMA mampu mengeluarkan enzim fosfatase dan asam organik,

sehingga pada tanah yang kahat P, CMA mampu melepas P yang terikat, sehingga

membantu penyediaan unsur P tanah (Smith et al. 2003). Produksi CMA dengan

teknologi in vivo maupun in vitro telah dikembangkan (Chalimah 2007) dapat

diadopsi untuk mencapai sasaran penelitian ini. Untuk mempercepat perbanyakan

pembibitan tanaman buah yang telah ditargetkan, dapat menggunakan kultur jaringan

(in vitro) dalam memperoleh penyediaan bibit yang cepat, dengan jumlah yang kita

inginkan secara cepat, dengan kualitas yang prima. Lucia (2005) dan Happy (2005)

menyatakan bahwa CMA dapat meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman manggis

dan kelapa sawit, serta meningkatkan arsitektur percabangan perakaran, sehingga area

pengambilan nutrisi semakin luas.

3. Serasah

Mustofa (2005) menyatakan bahwa, serasah daun jati yang menutupi tanah

akan mengalami pelapukan secara lambat, sehingga mempersulit tumbuhnya tanaman

lain. Serasah berupa daun kering yang termasuk sampah coklat kaya akan karbon (C)

yang menjadi sumber energi atau makanan untuk mikrobia. Sampah daun umumnya

kering, kasar, berserat dan berwarna coklat (sampah coklat). Serasah mampu

mendorong perkecambahan biji jati, pada saat pohon lain mati. Oleh karenanya

(15)

Sumbner utama bahan organik dalam tanah berasal dari jaringan tanaman,

baik berupa serasah atau sisa tanaman yang telah mati. Sumber bahan organik lainnya

adalah hewan. Bahan organik yang berasal dari serasah, sisa tanaman yang telah

mati, limbah atau kotoran hewan dan bangkai, di dalam tanah akan didekomposisi

oleh jasad renik, akan merubah dari zat organik menjadi bahan anorganik yang

mempunyai arti lebih penting terhadap lingkungan (Sutejo 2010). Selanjutnya

sudrajad (1992) menyatakan bahwa, serasah daun kering secara alami mengandung

lignin sebesar 50,70%. Serasah daun kering memiliki nilai COD sebesar 0,73g/g.

Walaupun nilai COD ini rendah, akan tetapi pemanfaatan serasah daun kering untuk

dijadikan pupuk organik akan lebih menguntungkan daripada serasah daun kering

dibiarkan ditimbun langsung dengan tanah tanpa menerapkan teknologi fermentasi

yang baik. Semakin tingginya jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat

pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan lepasnya gas metana

ke udara, disatusisi potensi sampah dapat diberdayakan menjadi bahan yang lebih

berdaua guna, yaitu pupuk organik yang dapat digunakan untuk kelestarian

lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, maka pengolahan sampah perlu

diperhatikan (Rohendi 2005)

Cecep (2012) menyatakan dari proses produksi dan konsumsi manusia akan

menghasilkan bahan buangan yang berupa sampah. Sampah dihasilkan sebagian

dapat didaur ulang sebagai resources recovery sebagai bahan baku untuk proses

produksi dan konsumsi. Sebagian lagi sampah yang dihasilkan dapat direduksi

kealam, kembali ke lingkungan natural. Kristanto (2004) menyatakan proses

pengolahan limbah secara biologis adalah memanfaatkan mikroorganisme (ganggang,

bakteri, protozoa) untuk menguraikan senyawa organik dalam air limbah menjadi

senyawa yang sederhana dengan demikian mudah mengambilnya. Proses dilakukan

jika proses kimia atau fisika atau gabungan kedua. Proses tersebut tidak lagi

memuaskan, karena penanganannya relatif sulit, maka perlu dicari cara mengolah

sampah menggunakan mikroba, yang dapat menghasilkan manfaat lebih tinggi,

dengan menggunakan proses biologis membutuhkan zat organic, sehingga kadar

(16)

dilakukan dengan dua cara, yaitu operasi tanpa udara (anaerob) dan operasi dengan

udara (aerob)

Ginting (2010) menyatakan pupuk organik berasal dari penguraian bahan

organik seperti daun-daun tanaman dan kotoran hewan. Pupuk organik memiliki

beberapa macam, yaitu pupuk kandang, pupuk hijau, bokashi dan kompos. Pupuk

organik memiliki kelebihan dibandingkan dengan jenis pupuk anorganik. Beberapa

kelebihan pupuk organik antara lain: 1) mengandung unsur hara makro dan mikro

yang lengkap, tetapi dalam jumlah sedikit, 2) dapat memperbaiki struktur tanah, 3)

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, L.K., A.D. Robson, D.A. Jasper and C. Gazey. 1992. What is the role of VA mycorrhizal hyphae in soil?. p: 37-41. Mycorrhizas in ecosystems. C.A.B. International.

Alexopoulos, C.W. Mims and M. Blackwell 1996. Introductory Mycology. 4th ed.

John Wiley & Sons Inc. Singapore. Hal 153

Anonymus, (Diphut) 2012. IPTEK mendukung kelestarian hutan dan kesehteraan masyarakat, kumpulan karya Ilmiah Balai Penelitian Kehutanan Makasar 2012.

Asngad,A 2012. Inovasi Pupuk Organik Kotoran Kambing Dan Gulma Air (Eceng Gondok)

Dikombinasi Dengan Bioteknologi Mikoryza Bentuk Granul. Prosiding Semnas Biologi Universitas Negeri Surakarta

Barea J.M., Jeffries 2001. Arbuscular Mycorhhiza- a Key Component of Sustainable

Plant-Soil Ecosystems. In The Mycota a Comprehensive Treatise on fungi as

Experimental Systems for Basic and Applied Research, Fungal Associations, K Esser (Ed). hal 95

Bolan NS. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal fungi in the uptake of

phosphorus by plants. Plant and Soil134: 189 - 207.

Bonfante, P, and S. Perotto. 1995. Strategies of arbuscular mycorrhizal fungi when infecting host plants. New Phytol. 130:3-21

Brundrert MC, Melvillel, Peterson.L 1994. Practical methods in Micorrhiza research Mycologie Publication,ontano, Canada 161 p

Budiaman, I gusti., dkk. 2010. Pengaruh jenis starter, volume pelarut, dan aditif terhadap pengolahan sampah organik rumah tangga menjadi pupuk kompos secara anarob. UPN Veteran Yogyakarta.

Campabell. 2003. BIOLOGI jilid 2. Jakarta : Erlangga.

Chalimah S 2007. Pemanfaatan teknologi in vivo untuk perkembangan Gigaspora margarita dan Acaulospora tuberculata. Biodiversitas 7: 3-5. UNS

Chalimah Siti, Asngad Aminah, Mahajoeno Edwi . 2012. Produksi Campuran

Pupuk Organik Dan Pupuk Hayati Cma Dari Bahan Gulma Air

dan Kotoran Ayam Menuju Infrastruktur Hijau. Surakarta : UMS.

Chalimah,S 2012. Produksi Campuran Pupuk Organik Dari Gulma Air Dan Kotoran Ayam Serta Penambahan Pupuk Hayati Cma Menuju Infrastruktur Hijau. Makalah Semnas Green Technology 3, UIN Malang

de-Souza, FA. 2005. Biology, Ecology and Lucia.Y. 2005. Cendawan mikoriza arbuskula di bawah tegakan tanaman manggis dan peranannya dalam

pertumbuhan bibit manggis (Garcinia mangostana), Tesis. Sekolah

Pascasarjana IPB. Bogor (Unpublish)

Djuarni, Nan.Ir, M.Sc., Kristian.,Setiawan,Budi Susilo.(2006).Cara Cepat

Membuat Kompos. Jakarta:AgroMedia.Hal 36-38.

Dwidjoseputro. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan.Jakarta PT. Gramedia

(18)

Ermawar RA, Yanto DHY, Fitria, Hermiati E. 2006. Biodegradation of Lignin in Rice Straw Pretreated by White-rot Fungi. Jurnal Widya Riset 9 (3) : 197-202

Ezawa. 2002. Phosphat Metabolism and Transport of Anthocyanin and Antifugal Compounds of Palygoneum Tichtorium . Thesis of Kagawa University Japan. Fabig, B., K. Vielhauer, A.M. Moawad and W. Achtnich. 1989. Gas-chromatographic

separation of organic acids and electrophoretic determination of phosphatases from VA mycorrhizal roots. Z. Pfanzenernahs Bodenk. 152, A1-265.

Fatriasari, widya dkk. 2009. Pulping Soda Panas Terbuka Bamboo Betung

Dengan Praperlakuan Fungi Pelapuk Putih (Pleurotus

Ostreatus dan Trametes Versicolor). Jurnal Ilmu dan Teknologi

Hasil Hutan 2(2): 45-50 (2009)

Fitria, Yanto DHY, Ermawar RA, Hermiati E. 2007. Pengaruh Perlakuan

Pendahuluan dengan Jamur Pelapuk Putih (Trametes versicolor dan

Pleurotus ostreatus) terhadap Kadar Lignin dan Selulosa Bagasse.

Laporan Teknik Akhir Tahun 2007, Penelitian dan Penguasaan

Teknologi, UPT BPP Biomaterial LIPI

FNCA Biofertilizer Project Group. 2006. Biofertilizer Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA). Japan Atomic Industrial Forum, Tokyo.

Gaur , AC. 1986. A Manual Of Rulalcomposting. FAO/UNDP Regional Project

Divition Of Microbiology. New Delhi : Indian Agricultural

Recearch Institut.

Harfiah. Optimalisasi Pakan Berserat Tinggi Melalui Sistem Perenggangan

Ikatan Lignoselulosa Dalam Meningkatkan Kualitas Limbah

Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia. Makasar : Fakultas

Peternakan Universitas Hasanuddin

Hattaka A et al. 2005. Environmental Biotechnology and Biotechnology Of

Natural Resources. Proceedings Of The Scanbalt Meeting;

Helsinki, 31 Okt 2005. Helsinki: Microbiology Ociety. Hlm

1078-1092.

Jakobsen, J. 2004. Transport of Phosphorus and Carbon in Arbuscular Mycorrhizas. Dalam A. Varma B. Hock (Ed.). Mycorrhiza: Structure, Function, Molecular Biology and Biotechnology. 2nd ed. Springer Verlag Berlin Heidelberg. eye, and the ecological tale of why. Bioscience 51:923-931

Jakobsen, J. 2004. Transport of Phosphorus and Carbon in Arbuscular Mycorrhizas. Dalam A. Varma B. Hock (Ed.). Mycorrhiza: Structure, Function, Molecular Biology and Biotechnology. 2nd ed. Springer Verlag Berlin Heidelberg Johansen, A. and E.J. Joner. 2000. Phosphatase activity of external hyphae of two

arbuscuiar mycorrhizal fungi. Mycol. Res.104:81-86.

Joner, EJ, & A Johansen. 2000. Phosphatase activity of external hyphae of two arbuscuiar mycorrhizal fungi. Mycol. Res. 104, 81-86.

(19)

Kristanto, Philip. 2006. Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Lambais, MR & MC Mehdy. 1996. Soybean roots infected by Glorrius intraradices strains differing in infectivity exhibit differential chitinase and B 1,3-glucanase expression. New Phytol. 134, 531-538.

Landau, J.K. 2002. Penyediaan Bibit Unggul Dalam Proses Pembuatan Kompos.

Workshop Bidang Mikrobiologi, Pusat Biologi, LIPI, Bogor, 29

Oktober 2001.

Lieke riadi. 2007 hal 13. Teknologi Fermentasi. Yogyakarta: Graha ilmu.

Mahajoeno,E 2013. Pengayaan Pupuk Kandang Dengan Eceng Gondok Dan Mikorriza Bentuk Granul Untuk Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan. Makalah Semnas Pendidikan dan Saintec Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Marschner, H. and B. Dell. 1994. Nutrient uptake in mycorrizal symbiosis plant and soil. 159:89–102.

Moertinah, dkk. 2010. Kajian proses anaerobik sebagai alternatif teknologi

pengolahan air limbah industri organik tinggi. Vol. 1 (2). November. 104-114.

Musnamar, E. I. 2003. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasinya.

Jakarta: Penebar Swadaya.

Mustafa. 2005. Peranan Mikrofauna tanah dalam proses dekomposisi serasah

acacia mangium willd. Biodiversitas. 6(1): 63-65.

Nurulita, ulfa dan Budiyono. 2012. Lama watu pengomposan sampah rumah

tangga berdasarkan jenis mikro organism local (MOL) teknik

pengomposan. Semarang : Seminar hasil – hasil penelitian, LPPM

UNIMUS

nurullathifah.wordpress.com/2011/07/07/limbah-organik-anorganik-dan-b3/

Parnata, Ayub.S. (2004).Pupuk Organik Cair. Jakarta:PT Agromedia Pustaka. Hal

15-18.

Perez J, Munoz-Dorado J, De la Rubia T, Martinez J. 2002. Biodegradation and

Biological Treatments of Cellulose, Hemicellulose and Lignin: an Overview, Int. Microbiol 5 : 53-63

Purwanto. 2005. Pengaruh Pupuk Majemuk NPK dan Bahan Pemantap Tanah Terhadaap Hasil dan Kualitas Tomat Var. Intan. Jurnal Penelitian UNIB . (1):54-60.

Read W. 1984. The structure and function of vegetative mycelium of mycorrhizal roots. InD. H. Jennings & A, D. M. Reyner (Ed.) Ecology and Physiology of

the fungal mycelium, p. 215-240 London, Cambridge University Press. Rub. Res. 14(2),131-136.

Rohendi, E. 2005. Lokakarya Sehari Pengelolaan Sampah Pasar DKI Jakarta.

Jakarta: UI-press.

Sahwan, firman L. Sri wahyono dan feddy suryanto. 2011. Evaluasi Populasi

Mikroba Fungsional Pada Pupuk Organik Kompos (POK) Murni Dan

Pupuk Organik Granul (POG) Yang Diperkaya Dengan Pupuk

Hayati. Jurnal Teknologi LingkunganVol. 12. No. 2. ISSN

1441-318X.

(20)

Santi, Laksima prima. 2007. Potensi fungi pelapuk putih asal lingkungan tropic

untuk bioremediasi herbisida. Balai Penelitian Bioteknologi

Perkebunan Indonesia, Bogor 16151, Indonesia. Fakultas MIPA,

Jurusan Biologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia

Saraswati et al. 2006. Organisme perombak bahan organik. 211-230.

Setyadi .2001. Optimalisasi Penggunaan Mikoriza Arbuskula Dalam Rehabilitasi

Setyorini, D., 2005, Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Tanaman. Warta

Penelitian dan Pengembanagn Pertanian, 27, 13-15.

Simanungkalit, R.D.M. Suriadikarta, Didi Ardi. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Jawa Barat:Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Sumberdaya Lahan Pertanian. Hal 2. ISBN 978-979-9474-57-5

Simarmata, T. 2005. Revitalitasi Kesehatan Ekosistem Lahan Kritis Dengan

Smith SE, Smith FA, Jacobsen. 2003. Mycorrhizal fungi can dominate phosphate supply to pints irrespective of growth responses. Plant Physiol. 133, 16-20. Smith SE. and D.J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis, 2nd edition. Academic Press,

London.

Smith, S.E., F.A. Smith and I Jacobsen. 2003. Mycorrhizal fungi can dominate phosphate supply to pints irrespective of growth responses. Plant Physiol. 133:16-20.

Sofian. 2006. Sukses Membuat Kompos Dari Samapah.Jakarta: PT Agro Media

Pustaka.

Soil Science. University of Hawaii

Subba- rao, n.s. 1994. Mikroba Tanah Dan Pertumbuhan Tanaman.Jakarta :

Universitas Indinesia Press.

Sudradjat, R dan E. Herawati. 1992. Pemanfaatan Larutan Kompos Cair

(Larutan Dranco) Hasil Proses Fermentasi Serasah Daun

Kering Sebagai Larutan Hara Hidroponik. Jurnal Penelitian

Hasil Hutan, Bogor. Belum dipublikasikan.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D. Bandung:

Penerbit Alfabeta.

Sun Y, Cheng J. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol

production: a Review. Bio resource Technology, 83: 1-11

Suriadikarta, Didi Ardi., Simanungkalit, R.D.M. (2006).Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Jawa Barat:Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Hal 2. ISBN 978-979-9474-57-5.

Sutanto, Rachman. (2002).Pertanian organik: Menuju Pertanian Alternatif dan

Berkelanjutan. Jakarta:Kanisius. ISBN 979-21-0187-X,9789792101874

Sutanto, Rahman. 2002. Penerapan Pertanian Organik.Yogyakarta : Kanisus

Sutedjo, Mul Mulyadi. 2010. Pupuk dan cara pemupukan. Jakarta : Rineka

Cipta.

Syafrizal, Rio Ichsan. 2007. Aktifitas Enzim Lignolitik Fungi Pelapuk Putih

Omphalina sp. Dan Pleurotus ostreatus pada Limbah

(21)

Tejasukmana, Ahmad Safari. 1997. Kajian mutu pulp tandan sawit yang

didelignifikasi dengan fungi pelapuk putih galur K14. Bogor :

Fakultas teknologl pertanian.

Wahyono, Sri, dkk. 2011. Membuat pupuk organik granul dari aneka limbah.

Jakarta: Agromedia.

Waluyo, Lud. 2009. Mikrobiologi Lingkungan. Yogyakarta : UMM Press.

Wardana, Wisnuarya. 2007. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta:

Andi

Widawati, Sri. 2005. Daya Pacu Aktifator Fungi Asal Kebun Biologi Wamena

Terhadap Kmatangan Hara Kompos, Serta Jumlah Mikroba Pelarut

Fosfat Dan Penambat Nitrogen. Bogor : LIPI.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi Penggunaan Bahasa Daerah Dalam Tayangan Berita Televisi.. Catur

Dari uji t-test, untuk variabel periklanan diperoleh dari t hitung = 2,443 &gt; t tabel = 2.160, menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara biaya periklanan terhadap

Pendekatan CTL juga menjadi sangat penting untuk diterapkan dalam pelajaran biologi di sekolah tingkat dasar, termasuk di MTs Miftahul ‘Ulum Klego Boyolali yang merupakan

Dapat pula disimpulkan bahwa kandungan total fenol yang ada dalam teh hijau memiliki nilai korelasi yang tinggi dengan daya inhibisi enzim alfa- amilase dan

pada lampu utama diperiksa sebelum pengambilan gambar mulai sesuai persyaratan keamanan dan praktek kerja aman, dengan kepastian bahwa: Semua peralatan telah disusun

Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk : a) mengetahui tingkat ketrampilan membaca siswa kelas 3 SD N 12 Sragen, b) mengetahui sejauh mana asesmen berperan

Berdasarkan penjelasan diatas, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, yaitu hasil penelitian yang kemudian

Apabila dikaitkan dengan target Renstra Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali, dimana target pada tahun 2018 sebesar 89,78% sedangkan capaian sampai tahun ini sebesar