• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Dan Efektivitas Difructose Anhydride Iii Dari Umbi Dahlia Untuk Meningkatkan Penyerapan Kalsium Pada Model Tikus Defisien Kalsium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Dan Efektivitas Difructose Anhydride Iii Dari Umbi Dahlia Untuk Meningkatkan Penyerapan Kalsium Pada Model Tikus Defisien Kalsium"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI DAN EFEKTIVITAS

Difructose Anhydride

III

DARI UMBI DAHLIA UNTUK MENINGKATKAN PENYERAPAN

KALSIUM PADA MODEL TIKUS DEFISIEN KALSIUM

AINIA HERMINIATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Aplikasi dan Efektivitas Difructose Anhydride III dari Umbi Dahlia untuk Meningkatkan Penyerapan Kalsium pada Model Tikus Defisien Kalsium adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

(4)

RINGKASAN

AINIA HERMINIATI. Aplikasi dan Efektivitas Difructose Anhydride III dari Umbi Dahlia untuk Meningkatkan Penyerapan Kalsium pada Model Tikus Defisien Kalsium. Dibimbing oleh RIMBAWAN, BUDI SETIAWAN, DEWI APRI ASTUTI dan LINAR ZALINAR UDIN.

Tanaman dahlia tumbuh baik di Indonesia dan dikenal dengan keindahan bunganya yang beraneka warna. Bagian umbinya memiliki potensi yang prospektif untuk dikembangkan menjadi sumber bahan baku inulin sebagai pangan fungsional yang bersifat prebiotik. Difructose Anhydride III (DFA III) merupakan salah satu produk turunan dari inulin yang dapat digunakan sebagai pengayaan pada yoghurt. Yoghurt kering merupakan salah satu inovasi pengembangan produk dari yoghurt. Selain meningkatkan daya simpan, yoghurt kering juga lebih praktis karena mengurangi volume sehingga lebih memudahkan dalam proses distribusi. Pengayaan yoghurt kering dengan Difructose Anhydride III sebagai pangan fungsional yang berperan dalam meningkatkan penyerapan kalsium dan bermanfaat sebagai pencegahan osteoporosis.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis karakteristik yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi dahlia dan umbi chicory terhadap sifat kimia, fisik, mikrobiologi, dan organoleptik; (2) menganalisis pembuatan model tikus betina yang mengalami defisiensi kalsium jenis Sprague dawley umur premenopause; (3) menganalisis efektivitas DFA III yang berperan meningkatkan penyerapan kalsium pada model tikus premenopause Sprague dawley yang mengalami defisien kalsium.

(5)

komposisi penyusun tulang femur; kekuatan tulang; densitas massa tulang; dan hormon progesteron.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemurnian DFA III dari umbi dahlia 96.0% dan DFA III dari umbi chicory 99.9%. Hasil terbaik diperoleh dari yoghurt kering yang diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia (YD) menghasilkan rendemen 17.83±0.36% lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan tanpa pengayaan (Y) 14.90±1.27% dan pengayaan DFA III dari umbi chicory (YC) 14.71±1.69% (p<0.05). Produk YD mengandung kadar air 7.89±0.01%; kadar abu 3.43±0.06%; kadar protein 12.43±0.13%; kadar lemak 1.22±0.07%; kadar karbohidrat 75.02±0.10%; pH/derajat keasaman 3.9±0.00; keasaman sebagai asam laktat 0.49±0.02%; derajat putih 89.29±0.08%; dan viabilitas bakteri asam laktat 1.20x107 cfu g-1. Pengujian organoleptik menggunakan 40 panelis semi terlatih, dengan hasil penilaian untuk aroma dan warna menunjukkan kriteria suka, untuk tekstur dan rasa menunjukkan kriteria agak suka. Yoghurt kering yang diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia yang bersifat prebiotik dapat meningkatkan viabilitas bakteri asam laktat sebagai probiotik yang menunjukkan bahwa produk tersebut dapat digolongkan sebagai produk sinbiotik dan dapat digunakan sebagai minuman fungsional untuk meningkatkan penyerapan kalsium sebagai pencegahan terhadap osteoporosis.

Tikus defisien kalsium merupakan kondisi tikus yang mengalami penurunan kalsium di dalam darah, salah satu penyebabnya adalah konsumsi diet yang rendah kalsium. Pemberian diet defisien kalsium selama 12 minggu dapat menurunkan kadar kalsium serum tikus menjadi 7.72±1.08 mg dL-1 pada tikus defisien kalsium dan 11.60±0.85 mg dL-1 pada tikus kontrol. Dengan demikian pemberian diet defisien kalsium dapat menjadi hewan model defisien kalsium dan konsumsi kalsium sangat berperan dalam profil kalsium dalam serum. Kadar progesteron serum pada tikus kontrol dan tikus defisien kalsium tidak dipengaruhi oleh perlakuan pemberian diet, tetapi dipengaruhi oleh umur tikus yang ditunjukkan pada akhir penelitian tikus umur 15 bulan mulai mengalami penurunan kadar progesteron.

Perlakuan (DC+DFA III chicory) menunjukkan kadar kalsium pada tulang femur yang tinggi (34.94±3.21%), kekuatan tulang yang relatif tinggi (9.34±3.61 kg cm-2), dan kondisi matriks tulang femur yang lebih padat dan radiopaque memberikan hasil yang signifikan lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan pada perlakuan (DC+DFA III dahlia) dan (DC+inulin). Perlakuan (DC+DFA III dahlia) dapat meningkatkan penyerapan kalsium sebesar 18.74% dengan deposisi kalsium di tulang femur 28.95±1.95%, sedangkan perlakuan (DC+DFA III chicory) dapat meningkatkan penyerapan kalsium sebesar 19.75% dengan deposisi kalsium di tulang femur 34.94±3.21%. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi chicory (3.6% dari diet), efektivitasnya lebih tinggi dibandingkan yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi dahlia (3.6% dari diet). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, DFA III dari umbi dahlia sebagai produk lokal dapat digunakan untuk pengganti DFA III dari umbi chicory yang merupakan produk impor.

(6)

SUMMARY

AINIA HERMINIATI. The Application and Effectiveness of Difructose Anhydride III from Dahlia Tubers to Increase Calcium Absorption in Calcium Deficient Rat Model. Supervised by RIMBAWAN, BUDI SETIAWAN, DEWI APRI ASTUTI and LINAR ZALINAR UDIN.

Dahlia plants which grow well in Indonesia and are known by the public as ornamental plants which have beautiful flowers. Their tuber parts have prospective potential as inulin sources which become a prebiotic food functional. Difructose Anhydride III (DFA III) is one of derived product of inulin which can be enriched of yogurt. Dried yogurt is one of yogurt product development innovations. Beside increases the shelf life, dried yogurt also more practical because it reduces the volume to easier the distribution process. Dried yogurt enriched by Difructose Anhydride III as functional food in increasing calcium absorption is useful as osteoporosis prevention.

The purposes of this study were: (1) to analyze the characteristics of dried yogurt enriched by DFA III from dahlia and chicory tubers to physicochemical, microbiology and organoleptic characteristics; (2) to analyze the effect of calcium deficient diet in female rat model, strain Sprague dawley, premenopausal age; (3) to analyze the effectiveness of Difructose Anhydride III to increase the absorption of calcium in female rat model, strain Sprague dawley, in premenopausal age, which calcium deficient condition.

The research stages include: (1) The production of dried yogurt without enrichment (Y), with DFA III enrichment from dahlia tubers (YD), with DFA III enrichment from chicory tubers (YC); and with enrichment from commercial inulin (YI), the test for physicochemical, microbiology, and organoleptic properties. (2) Formulation of purified diet and calcium deficient diet, preparation of deficient calcium rat model, measurement of consumption of dry matter; consumption of calcium; calcium concentration in feces; bone calcium concentration; calcium absorption; serum calcium concentration; progesterone hormone concentration; and daily body weight gain. (3) The effectiveness test of Difructose Anhydride III to increase absorption of calcium in premenopause Sprague dawley rat in calcium deficient condition. Experimental design used completely randomized design with 6 treatments for 6 weeks and 4 replications i.e. normal rats with purified diet (C), calcium deficient rats with calcium deficient diet (DC), calcium deficient rats with calcium deficient diet and dry yogurt (DC+yogurt), calcium deficient rats with calcium deficient diet and DFA III (dahlia tubers) enriched in dry yogurt (DC+DFA III dahlia), calcium deficient rats with calcium deficient diet and DFA III (chicory roots) enriched in dry yogurt (DC+DFA III chicory), and calcium deficient rats with calcium deficient diet and inulin enriched in dry yogurt (DC+inulin). Parameters measured were serum calcium concentration; calcium concentration in feces; femur bone calcium concentration; calcium retention; femur bone matrix condition; femur bone strength; femur bone mass density; and progesterone hormone concentration.

(7)

were obtained from the dried yogurt enriched by DFA III from dahlia tubers (YD) which produced yield of 17.83±0.36%. It was significantly higher than dried yogurt without enrichment (Y) which produced yield of 14.90±1.27% and dried yogurt enriched by DFA III from chicory tubers (YC) which produced yield of 14.71±1.69% (p<0.05). YD product had moisture content of 7.89±0.01%; ash content of 3.43±0.06%; protein content of 12.43±0.13%; fat content of 1.22±0.07%; carbohydrate content of 75.02±0.10%; pH/acidity of 3.9±0.00; acidity as lactic acid of 0.49±0.02%; whiteness degree of 89.29±0.08%; and lactic acid bacteria viability of 1.20x107 cfu g-1. Organoleptic test was conducted by 40 semi-trained panelists. The results showed that for flavour and color levels got like preference, while for texture and taste level got medium-like preference. Dried yogurt enriched by DFA III from dahlia tubers could improve the viability of lactic acid bacteria as probiotic. It means that the dried yogurt could be classified as synbiotic products and used as a functional drink to increase calcium absorption as osteoporosis prevention.

Calcium deficient rat was rat with deficient of calcium condition in its body. A reason of this condition was the low calcium diet consumption. Provision of calcium deficient diet for 12 weeks could reduce serum calcium levels of deficient calcium rat to 7.72±1.08 mg dL-1 and control rat to 11.60±0.85 mg dL-1. Thus, animal model given deficient calcium diet could be a calcium deficient animal. Serum progesterone hormone concentration in control rat and calcium deficient rat was not affected by treatment of diet, but it was affected by the age of rat at the end of the study. The serum progesterone concentration of 15 month old rat was decreasing.

DC+DFA III chicory treatments showed the high of calcium level in femur bone (34.94±3.21%), the high of bone strength (9.34±3.61 kg cm-2), and the femur bone matrix condition which was denser than before. Its radiopaque gave result which was significantly higher than radiopaque of (DC+DFA III dahlia) and (DC+inulin) treatments. DC+DFA III dahlia treatments could increase calcium absorption 18.74% with the deposition of calcium in the femur bone 28.95±1.95%, while DC+DFA III chicory treatments could increase calcium absorption 19.75% with the deposition of calcium in the femur bone 34.94±3.21%. In conclusion, the effectiveness of dried yogurt enriched by DFA III from chicory tubers (3.6% of diet) was higher than that of dried yogurt enriched by DFA III from dahlia tubers (3.6% of diet). Based on the research results, the local potency of DFA III from dahlia tubers can be used to replace DFA III from chicory as import product.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Gizi Manusia

AINIA HERMINIATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

APLIKASI DAN EFEKTIVITAS

Difructose Anhydride

III

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof Ir Wasmen Manalu, PhD 2. Dr Ir Hadi Riyadi, MS

(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat, petunjuk, dan karunia-Nya sehingga penulisan disertasi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih untuk serangkaian penelitian yang dilaksanakan sejak Januari 2013 hingga Mei 2014 adalah: “Aplikasi dan Efektivitas Difructose Anhydride III dari Umbi Dahlia untuk Meningkatkan Penyerapan Kalsium pada Model Tikus Defisien Kalsium”.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Rimbawan selaku ketua komisi pembimbing yang selalu bersedia untuk

berdiskusi, memberikan nasihat dan solusi pada setiap masalah yang dihadapi penulis. Dr Ir Budi Setiawan MS, Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti MS dan Dr Linar Zalinar Udin selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran, masukan dan arahan yang bermakna selama penelitian dan penulisan disertasi ini.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu Gizi Manusia dan Dekan Fakultas Ekologi Manusia atas fasilitas dan pelayanan yang telah diberikan, Dr Ir Sri Anna Marliyati MS dan Dr Damiana Rita selaku penguji pada prelim lisan, Prof Dr Ir Evy Damayanthi MS dan Dr Puspo Edi Giriwono STP selaku pembahas pada kolokium, Prof Ir Wasmen Manalu PhD dan Dr Ir Hadi Riyadi MS sebagai penguji pada ujian tertutup, Dr Ir Akmadi Abbas MEngSc dan Sandjaja MPH DRPH sebagai penguji pada ujian terbuka atas masukan dan koreksinya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr Sri Pudjiraharti, Ir Nanang Surya MSi, Dr Safrida, dan teman-teman seperjuangan dari Program Studi Ilmu Gizi Manusia dan Ilmu Pangan angkatan 2009-2010, untuk diskusi dan arahannya dalam penelitian dan penulisan disertasi ini. Terima kasih juga pada tim Laboratorium di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan untuk persiapan, pelaksanaan penelitian, dan koleksi data hasil penelitian.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Kepala Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI Subang dan Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Deputi Bidang Sumber Daya Iptek Kementerian Negara Riset dan Teknologi atas beasiswa yang telah diberikan, Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian yang telah memberikan dana penelitian melalui program Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) pada tahun anggaran 2013, Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri IPB dan Direktorat Riset Inovasi IPB yang telah memberikan bantuan dana publikasi.

Ungkapan terima kasih yang tulus dan tak terhingga disampaikan kepada Almh ibu (Hj Sri Hindun Diningsih) dan Alm ayah (H Encep Supratman), suami H Urman Supriadi ST, ananda Alfatiya Muzdalifa, keluarga di Cianjur dan keluarga di Subang, atas do’a, kasih sayang dan dukungan yang diberikan sehingga dapat mencapai jenjang pendidikan yang tertinggi.

Harapan penulis, semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya bidang ilmu gizi manusia.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat yang Digunakan 6

Waktu dan Tempat Penelitian 6

Tahapan Penelitian 7

Pengolahan dan Analisis Data 7

3 APLIKASI INULIN DAN DFA III PADA YOGHURT KERING SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL

Pendahuluan 9

Metode 9

Hasil dan Pembahasan 11

Simpulan 21

4 PEMBUATAN HEWAN MODEL TIKUS DEFISIEN KALSIUM KONDISI PREMENOPAUSE

Pendahuluan 22

Metode 23

Hasil dan Pembahasan 24

Simpulan 32

5 EFEKTIVITAS DFA III UNTUK MENINGKATKAN

PENYERAPAN KALSIUM DAN DEPOSISINYA PADA TULANG FEMUR TIKUS

Pendahuluan 33

Metode 34

Hasil dan Pembahasan 37

(15)

6 PEMBAHASAN UMUM

Keterbatasan Penelitian 49

Implikasi Hasil Penelitian 50

7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 51

Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 53

LAMPIRAN 62

RIWAYAT HIDUP 72

(16)

DAFTAR TABEL

1 Formulasi yoghurt kering dengan 4 perlakuan 11

2 Karakteristik DFA III umbi dahlia, DFA III dan inulin umbi chicory 14 3 Hasil analisis yoghurt segar dibandingkan dengan

SNI No. 01.2981-2009

15 4 Kadar kalsium yoghurt segar dan yoghurt kering 15 5 Hasil analisis kimia yoghurt kering dengan 4 perlakuan 16 6 Hasil analisis rendemen produk dan derajat putih dengan 4 perlakuan 17 7 Viabilitas bakteri asam laktat yoghurt kering dengan 4 perlakuan 18 8 Kelompok perlakuan pada pembuatan model tikus defisien kalsium 23 9 Komposisi purified diet dan diet defisien kalsium 24 10 Komposisi penyusun mineral mix dengan kalsium dan tanpa kalsium 24 11 Hasil analisis formulasi purifieddiet dan diet defisien kalsium 25 12 Parameter pengukuran kelompok tikus normal yang diberi purified diet

dan diet defisien kalsium

26

13 Parameter pengukuran hormon progesteron 30

14 Kelompok perlakuan pada uji efektivitas 34

15 Komposisi purified diet untuk 6 perlakuan 34

16 Kadar kalsium serum dan kalsium di feses dari 6 kelompok perlakuan 37 17 Komposisi penyusun mineral makro pada tulang femur tikus 40 18 Rataan panjang dan bobot tulang femur tikus dari 6 perlakuan 42 19 Rataan kepadatan, kekuatan, dan densitas tulang femur pada

6 perlakuan

43 20 Kadar hormon progesteron tikus defisien kalsium dengan 6 perlakuan 44 21 Karakteristik yoghurt kering yang diperkaya DFA III 46

(17)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran DFA III untuk meningkatkan penyerapan kalsium pada model tikus premenopause kondisi defisien kalsium

4 2 Skema alur penelitian aplikasi dan efektivitas DFA III dari umbi

dahlia untuk meningkatkan penyerapan kalsium pada model tikus defisien kalsium

8

3 Diagram alir proses pembuatan yoghurt kering (modifikasi Eddy 1999; Lestari 2011)

10 4 Bunga dahlia warna merah hati (A), bunga dahlia warna merah terang

(B), dan umbi dahlia (C)

12 5 Kromatogram KLT hasil reaksi pembentukan DFA III dari umbi

dahlia, 1= standar; 2=hasil reaksi enzimatis; 3=hasil fermentasi ragi 12 6 DFA III dari umbi dahlia setelah kristalisasi (A)

DFA III dari umbi dahlia setelah re-kristalisasi (B)

13 7 Reaksi pembentukan DFA III dari inulin (Jung et al. 2007) 13 8 DFA III dari umbi dahlia (A), DFA III dari umbi chicory (B),

inulin komersial dari umbi chicory (C).

14 9 Hasil pengamatan Scanning Electron Microscopy yoghurt kering 17 10 Hasil pengujian organoleptik terhadap aroma, tekstur, rasa, dan warna 19 11 Metabolisme kalsium di dalam tubuh (Roberfroid 2005) 28 12 Kadar progesteron dengan kondisi rendah pada tikus normal yang

diberi diet defisien kalsium.

31

13 Proses penyerapan kalsium dalam tubuh tikus 38

14 Kondisi matriks tulang menggunakan SEM dengan pembesaran 1000 39 15 Mekanisme penyerapan kalsium yang dipengaruhi inulin

(Roberfroid 2005)

49

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur analisis 62

2 Format uji organoleptik untuk yoghurt kering 67 3 Studi yang terkait DFA III untuk meningkatkan penyerapan kalsium 68

4 Dokumentasi penelitian 70

5 Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi dosis

(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hasil penelitian Analisis Data Risiko Osteoporosis yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Fonterra Brands Indonesia menyatakan bahwa 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki risiko osteoporosis (Departemen Kesehatan 2007). Angka ini lebih tinggi dari prevalensi penduduk dunia, bahwa setiap 1 dari 3 wanita di atas 50 tahun memiliki kecenderungan terkena osteoporosis (International Osteoporosis Foundation 2008). Menurut Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (2011), prevalensi osteoporosis di Indonesia pada wanita usia 50-70 tahun sebanyak 18-36% dan pada pria 20-27%, sedangkan pada usia di atas 70 tahun untuk wanita 53.6% dan pria 38%.

Osteoporosis merupakan kelainan tulang sistemik yang dikarakterisasi dengan massa tulang yang rendah dan deteriorasi mikroarsitektural jaringan tulang, dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan kerentanan terhadap terjadinya fraktur (Anderson 2008). Penyakit osteoporosis adalah keadaan di mana tulang mengalami penurunan massa, akibat menurunnya aktivitas pembentukan sel tulang oleh sel osteoblast dan meningkatnya resorpsi tulang oleh sel osteoclast, yang akan diikuti oleh gejala gangguan penyerapan kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium di urin (Kawiyana 2009). Faktor yang mempengaruhi aktivitas osteoblast adalah estrogen, nutrisi, hormon paratiroid, vitamin D, sitokin, kortisol, dan aktivitas individu (Smith 1993).

Osteoporosis primer pada umumnya terjadi pada wanita pascamenopause dan usia lanjut, sedangkan osteoporosis sekunder dapat terjadi pada wanita dan pria usia produktif (Kawiyana 2009). Menurut Sanusi (2003), hal ini terjadi karena pola makan dengan asupan kalsium rendah, kurang aktivitas fisik, faktor genetik, defisiensi estrogen, dan akibat pemakaian obat glukokortikoid jangka panjang.

Wanita berusia 16-18 tahun telah berhenti mengalami bone modelling yang berguna untuk pertambahan tinggi. Setelah usia 18 tahun, wanita akan memasuki usia ketika tulang akan mengalami remodelling untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh (Anderson 2008). Ketika memasuki usia 20 sampai 30 tahun terjadi peningkatan pembentukan massa tulang dengan tercapainya massa tulang puncak (Goldberg 2004). Menurut Anderson (2008) puncak densitas mineral tulang terjadi sampai usia 30 tahun, penurunan densitas tulang terjadi pada usia sekitar 50 tahun saat memasuki kondisi menopause, dan risiko mengalami fraktur tulang dapat terjadi pada kondisi pascamenopause. International Osteoporosis Foundation (2008) menyatakan bahwa wanita berusia 25 tahun sudah berisiko terkena osteoporosis. Hasil penelitian Agustin (2009) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara umur dan kejadian osteoporosis (kepadatan tulang <648 mg cm-2) dan osteopenia (kepadatan tulang antara 648-833 mg cm-2).

(19)

2

(Karlson et al. 1995). Untuk memelihara kesehatan tulang, wanita premenopause perlu mengkonsumsi pangan yang mengandung kalsium tinggi (Hardcastle et al. 2011). Kepadatan tulang yang tinggi pada masa premenopause dapat mempertahankan deposit kalsium tulang, sehingga mengurangi kehilangan atau penurunan kalsium pada masa menopause. Dengan demikian, wanita dengan kepadatan tulang yang tinggi pada masa pertumbuhan sampai masa premenopause akan terhindar dari osteoporosis pada masa pascamenopause (Compston et al. 1993).

Karena adanya pengaruh gangguan penyerapan kalsium pada wanita pascamenopause, perlu pangan fungsional yang memiliki aktivitas fisiologis dapat meningkatkan penyerapan kalsium (Heuvel et al. 2000), identifikasi komponen pangan dan komposisi pangan fungsional yang secara positif dapat mempengaruhi penyerapan kalsium (Kennefick dan Cashman 2000), salah satunya dengan menggunakan inulin (Roberfroid 2005) dan Difructose Anhydride III (Shigematsu et al. 2004).

Difructose Anhydride III merupakan senyawa disakarida siklik dan termasuk dalam kategori pangan fungsional, dapat dihasilkan melalui proses enzimatis dari umbi chicory dengan menggunakan enzim fructosyltransferase Arthrobacter sp. H65-7 (Kikuchi et al. 2009). Pudjiraharti dan Asano (2012) menggunakan enzim inulinfruktotransferase yang diisolasi dari Nonomuraea sp. ID06-A0189 untuk proses pembuatan DFA III dari umbi dahlia. DFA III telah terbukti dapat meningkatkan penyerapan kalsium pada usus tikus, sapi dan manusia yang berperan sebagai carrier/transporter, reseptor, kofaktor, pentrigger pembuka signal channel kalsium, dan memberi pengaruh asam pada usus besar (Suzuki et al. 1998; 2004; Mitamura et al. 2002; Shigematsu et al. 2004; Minamida et al. 2006; Sato et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut, DFA III sebagai prebiotik dapat dikonsumsi dengan cara ditambahkan pada produk pangan fungsional yang berperan dalam meningkatkan penyerapan kalsium dan bermanfaat sebagai pencegahan osteoporosis.

DFA III yang diproduksi saat ini berasal dari inulin komersial dengan menggunakan bahan baku umbi chicory yang merupakan produk impor (Kikuchi et al. 2009). Tanaman chicory tidak cocok tumbuh di Indonesia karena iklim yang tidak menunjang. Sumber bahan baku inulin yang dapat dikembangkan di Indonesia adalah umbi dahlia (Widowati 2006). Hasil penelitian Zaharanti (2005), umbi dahlia yang berpotensi sebagai inulin untuk sumber prebiotik berasal dari tanaman dahlia dengan jenis bunga pompon berwarna merah darah, yang mengandung kadar karbohidrat 87.14%, rendemen inulin 4.37%, kadar air 8.19%, kadar abu 0.30%, kadar gula total 3.08%, kelarutan dalam air dingin 7.26%, daya serap air 1 : 2.20 (b:v), dan kadar serat pangan larut 98.05%.

(20)

3 Bahan pangan yang mengandung kadar kalsium tinggi, di antaranya adalah susu sapi 119 mg 100 g-1 dan yoghurt 145 mg 100 g-1 (Tamime dan Robinson 2007). Kadar kalsium yang tinggi dalam yoghurt dapat diberikan sebagai konsumsi harian pada wanita premenopause dan pascamenopause, untuk memelihara kesehatan tulangnya dan mencegah terjadinya osteoporosis (Hardcastle et al. 2011). Pengembangan produk inovasi yoghurt yang mengandung probiotik, dapat ditambahkan dengan prebiotik yang berasal dari pangan lokal, sehingga menjadi produk yoghurt sinbiotik (Lestari 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa DFA III sebagai produk turunan dari inulin dapat diperkaya pada produk yoghurt dengan tujuan meningkatkan penyerapan kalsium.

Salah satu bahan prebiotik adalah inulin dengan produk turunannya DFA III. Hasil penelitian Roberfroid (2005) menunjukkan bahwa inulin dapat meningkatkan kelarutan kalsium pada lumen usus halus karena terbentuknya short chain fatty acids (SCFA), yang dapat menurunkan pH usus halus sehingga terjadi peningkatan luas permukaan penyerapan dan peningkatan produksi calbindin sebagai protein transport kalsium. Menurut Jenie (2003), keunggulan yoghurt selain mengandung kalsium yang tinggi, apabila dikonsumsi secara teratur dapat menyeimbangkan mikroflora usus, di mana bakteri-bakteri yang merugikan dapat ditekan jumlahnya dan usus akan didominasi oleh bakteri yang menguntungkan. Penelitian secara in vitro dan in vivo menyatakan bahwa inulin dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas Bifidobacteri dan Lactobacilli yang merupakan mikroflora yang berperan dalam saluran cerna (Roberfroid 2007).

DFA III merupakan di-D-fructofuranose 1,2’:2,3’ dianhydride yang memiliki struktur disakarida siklik yang terdiri atas dua buah residu fruktosa yang terikat melalui atom karbon pereduksi membentuk struktur lingkar dioksan intramolekul (Kikuchi et al. 2004). Adanya struktur dioksan membuat senyawa DFA III sangat stabil dan bersifat prebiotik, yaitu tidak dapat dimetabolisme oleh mikroorganisme sistem pencernaan dalam usus kecil, tetapi dapat diassimilasi oleh mikroflora yang terdapat dalam usus besar dan mempengaruhi komposisi mikroflora tersebut secara positif (Minamida et al. 2005; 2006).

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian aplikasi pengayaan DFA III dan inulin komersial pada yoghurt sebagai pangan fungsional yang mengandung kadar kalsium tinggi. Pengujian efektivitas DFA III dan inulin dilakukan dengan menggunakan tikus umur 15 bulan jenis Sprague dawley kondisi premenopause yang mengalami defisien kalsium. Berdasarkan hasil penelitian Safrida (2013) bahwa premenopause pada tikus betina dari jenis Sprague dawley terjadi pada umur 15-18 bulan, yang ditandai dengan penurunan densitas tulang dan rasio Ca/P tulang tibia. Penggunaan model hewan ditujukan untuk pengujian efektivitas terhadap DFA III dari umbi dahlia, DFA III dari umbi chicory, dan inulin komersial yang telah umum digunakan di industri pangan.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka perumusan masalah pada penelitian ini meliputi:

(21)

4

2. Perlu disediakan pangan fungsional yang dapat meningkatkan penyerapan kalsium.

3. Potensi lokal umbi dahlia sebagai bahan baku inulin dan DFA III yang berpotensi meningkatkan penyerapan kalsium belum banyak diteliti.

4. Perlu kajian untuk membuktikan peran DFA III dari umbi dahlia dalam meningkatkan penyerapan kalsium pada model hewan defisien kalsium.

Pada Gambar 1 disajikan bagan alir kerangka pemikiran DFA III untuk meningkatkan penyerapan kalsium pada model tikus premenopause kondisi defisien kalsium.

Gambar 1 Kerangka pemikiran DFA III untuk meningkatkan penyerapan kalsium pada model tikus premenopause kondisi defisien kalsium

Osteoporosis

Meningkatkan konsumsi Ca

Yoghurt sebagai pangan fungsional yang mengandung Ca tinggi

Penyerapan Ca dapat terganggu

Menambahkan komponen bioaktif untuk meningkatkan penyerapan Ca

Inulin dari umbi chicory

Inulin dari umbi dahlia

Difructose Anhydride (DFA III)

Studi efektivitas DFA III untuk meningkatkan penyerapan Ca

Defisiensi Ca Defisiensi estrogen

Uji efektivitas DFA III pada tikus Pembuatan model tikus

defisien Ca

(22)

5 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis aplikasi pengayaan DFA III dari (umbi dahlia dan umbi chicory) pada yoghurt kering, dan menganalisis efektivitas peran DFA III dalam meningkatkan penyerapan kalsium pada tikus jenis Sprague dawley umur premenopause yang mengalami defisien kalsium.

Tujuan khususnya adalah : (1) Menganalisis aplikasi pengayaan DFA III dari umbi dahlia dibandingkan dengan DFA III dari umbi chicory pada yoghurt kering. (2) Membuat model tikus defisien kalsium pada umur premenopause dari jenis Sprague dawley. (3) Menganalisis efektivitas pemberian pengayaan DFA III dari umbi dahlia dibandingkan dengan DFA III dari umbi chicory pada yoghurt kering, terhadap kadar kalsium serum, kalsium feses, kalsium tulang, retensi kalsium, kekuatan tulang, densitas mineral tulang, matriks tulang, komposisi penyusun tulang, dan hormon progesteron pada tikus premenopause kondisi defisien kalsium jenis Sprague dawley.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian, yaitu: (1) menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk memberikan perhatian pada sumber bahan pangan lokal, yaitu DFA III dari umbi dahlia yang dapat digunakan secara luas oleh industri pangan yang berbasis produk pangan berkalsium tinggi; dan (2) memberikan kontribusi yang berarti bagi kesehatan untuk meningkatkan penyerapan kalsium pada wanita premenopause yang mengalami defisien kalsium sehingga mengurangi risiko penyakit osteoporosis.

Ruang Lingkup Penelitian

(23)

6

2 METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat yang Digunakan

Bahan yang digunakan meliputi: DFA III dari umbi dahlia (Dahlia pinnata) yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kimia LIPI. DFA III dari umbi chicory (Chicoryum intybus L.) yang diperoleh dari Nippon Beet Sugar Mfg. Co. Ltd. Obihiro Hokkaido Jepang. Yoghurt segar diperoleh dari Laboratorium Teknologi Hasil Peternakan Fakultas Peternakan IPB. Pati jagung, susu skim, sukrosa, asam sitrat dan gum arab diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor. Tikus betina jenis Sprague dawley umur 12 bulan dari Peternakan Satwa Harapan Fakultas Peternakan IPB. Kit kalsium (FAST, PZ Cormay SA, Polandia), kit progesteron (DRG Instruments GmbH, Jerman), larutan hydraziniumhydroxid, purified diet (NRC 1995), dan diet defisien kalsium. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan purified diet terdiri atas tepung beras, kasein, minyak jagung, tepung gula, vitamin mix, DL-metionin, mineral mix, carboxy methyl cellulose (CMC), garam, dan aquadest, diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor. Diet defisien kalsium terbuat dari bahan yang sama kecuali tanpa penambahan kalsium pada penggunaan bahan mineral mix.

Peralatan yang digunakan adalah spray dryer (Buchi 190, Swedia), homogenizer (Armfield L4R, Inggris), peralatan gelas untuk analisis kimia, pH meter, peralatan untuk pengujian organoleptik, alat bedah tikus, perlengkapan pemeliharaan dan perlakuan tikus, UV-Vis spectrophotometer (Genesys 10S UV-VIS, Thermo Fisher Scientific, America), cabinet dryer, High Performance Liquid Chromatography, Universal Testing Machine (Instron, America), Scanning Electron Microscopy dan Energy Dispersive X-ray Analysis (JEOL JSM 6510 LA, Jepang).

Waktu dan Tempat Penelitian

(24)

7 (EDXA), Badan Tenaga Nuklir Nasional Puspiptek Serpong. Pengujian hormon progesteron di Laboratorium Hormon Unit Rehabilitasi Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pengujian kekuatan tulang di Laboratorium Keteknikan Kayu, Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Tahapan Penelitian

Rangkaian penelitian dilakukan dengan tiga tahapan, meliputi: (1) pengembangan formulasi pangan fungsional yang diperkaya oleh DFA III, (2) pembuatan model tikus defisien kalsium, dan (3) pengujian efektivitas produk pada model tikus defisien kalsium. Pada Gambar 2 disajikan skema alur penelitian aplikasi dan efektivitas DFA III dari umbi dahlia untuk meningkatkan penyerapan kalsium pada model tikus defisien kalsium.

Pengolahan dan Analisis Data

(25)

8

Gambar 2 Skema alur penelitian aplikasi dan efektivitas DFA III dari umbi dahlia untuk meningkatkan penyerapan kalsium pada model tikus

defisien kalsium.

 Pengujian kemurnian DFA III dari umbi dahlia dan umbi chicory.

 Proses pembuatan yoghurt kering yang diperkaya oleh DFA III.

 Analisis produk: (1) organoleptik (aroma, tekstur, rasa, dan warna); (2) rendemen produk; (3) pH/derajat keasaman; (4) total asam tertitrasi; (5) viabilitas bakteri asam laktat; (6) kadar kalsium; dan (7) analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat). Penelitian Tahap I

Kajian pengembangan formulasi pangan fungsional yang diperkaya oleh DFA III Perlakuan :

A. Yoghurt kering tanpa pengayaan B. Yoghurt kering diperkaya DFA III (dahlia)

C. Yoghurt kering diperkaya DFA III (chicory)

 Analisis kadar kalsium serum: sebelum perlakuan (t0), minggu ke-4 (t1), minggu

ke- Analisis kalsium tulang femur: sebelum perlakuan (t0), dan setelah perlakuan (t3).

. Penelitian Tahap II

Kajian pembuatan model tikus defisien kalsium

Perlakuan :

A. Pemberian purified diet (7 ekor) B. Pemberian diet defisien kalsium

A. Tikus normal yang diberi purified diet B. Tikus defisien kalsium diberi diet defisien kalsium

C. Tikus defisien kalsium diberi diet defisien kalsium dan yoghurt kering F. Tikus defisien kalsium diberi diet defisien kalsium dan yoghurt kering yang diperkaya inulin komersial Rancangan percobaan :

RAL, 6 taraf, 4 ulangan

Uji kontras terhadap perlakuan A

 Kelompok perlakuan pada uji efektivitas  Perlakuan selama 6 minggu.

 Analisis kadar kalsium dari serum dan feses: minggu ke-2, minggu ke-4, minggu ke-6.

 Analis kadar kalsium dari tulang femur: setelah perlakuan (minggu ke-6).  Analisis retensi kalsium (minggu ke-6).  Analisis hormon progesteron: minggu ke-2,

minggu ke-4, minggu ke-6.

(26)

3 APLIKASI INULIN DAN DFA III PADA YOGHURT

KERING SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL

Pendahuluan

Aplikasi DFA III pada pangan fungsional dipilih yoghurt, karena yoghurt mengandung kadar kalsium relatif tinggi 145 mg 100 g-1 (Tamime dan Robinson 2007). Menurut Mazahreh dan Ershidat (2009) bahwa produk yoghurt mengandung protein 4.30%; riboflavin 0.21%; kalsium 0.16%; dan fosfor 0.13%. Salah satu pangan fungsional yang populer di kalangan masyarakat dan dikembangkan oleh industri pangan adalah susu fermentasi dalam bentuk yoghurt (Jenie 2003). Saint-Eve et al. (2006) mengemukakan bahwa yoghurt adalah salah satu produk susu yang paling umum dikonsumsi di seluruh dunia, dan memiliki atribut sensori yang berpengaruh besar dalam penerimaan konsumen.

Hasil penelitian Sadek et al. (2004) pada yoghurt yang diperkaya inulin di antaranya dapat: (1) mempertahankan warna dan aktivitas air; (2) menghasilkan skor organoleptik yang lebih tinggi dibandingkan dengan yoghurt tanpa pengayaan inulin; (3) meningkatkan viabilitas dari bakteri asam laktat. Lestari (2011) melakukan penelitian formulasi yoghurt sinbiotik dengan penambahan puree pisang dan inulin, di mana proses penambahan inulin dilakukan sebelum proses pasteurisasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kontaminasi oleh inulin jika ditambahkan setelah proses pasteurisasi. Menurut Roberfroid (2005), inulin tahan jika dipanaskan hingga proses pasteurisasi.

Salah satu produk turunan dari inulin yang dapat digunakan sebagai bahan pengayaan pada yoghurt adalah Difructose Anhydride III. Pengembangan produk pangan fungsional dari yoghurt yang diperkaya dengan DFA III dapat dibuat dalam bentuk kering. Menurut Eddy (1999) kelebihan yoghurt kering adalah dapat disimpan dalam bentuk yang stabil dan siap untuk digunakan, juga dapat memperpanjang masa simpan yoghurt.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis karakteristik yoghurt kering yang diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia dan umbi chicory terhadap sifat kimia, fisik, mikrobiologi, dan organoleptik.

Metode

Prinsip pembuatan yoghurt, yaitu transformasi laktosa menjadi asam laktat dan koagulasi kasein pada suhu yang sesuai. Menurut Wulandari (2006), tahapan pengolahan yoghurt meliputi : (1) standardisasi susu; (2) penambahan stabilizer dan pemanis; (3) homogenisasi susu; (4) pasteurisasi susu pada suhu 85-90°C selama 30 menit; (5) pendinginan susu hingga mencapai suhu 40-45°C untuk inokulasi; (6) inokulasi susu secara aseptis dengan starter yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus); (7) proses inkubasi selama 3-6 jam pada suhu 40-45°C; (8) pengemasan secara aseptis dan penyimpanan pada suhu 4°C (produk cair) dan < -5°C (produk beku).

(27)

10

menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Tamime dan Robinson (2007) mengklasifikasikan tipe yoghurt yang diproduksi berdasarkan proses pascainkubasi, meliputi: (1) yoghurt pasteurisasi, (2) yoghurt beku, (3) dietetik yoghurt, (4) yoghurt padat, dan (5) yoghurt kering.

Pembuatan yoghurt kering yang diperkaya oleh DFA III merupakan modifikasi dari metode (Eddy 1999; Lestari 2011) yang disajikan pada Gambar 3. Proses pembuatan yoghurt kering dilakukan dengan cara yoghurt segar ditambahkan pati jagung, DFA III, susu skim, sukrosa, asam sitrat, dan gum arab. Selanjutnya dilakukan pencampuran menggunakan homogenizer 1000 rpm selama 10 menit. Tahap berikutnya dilakukan proses pengeringan menggunakan (spray dryer dengan suhu inlet 120oC dan outlet 80oC. Yoghurt kering tanpa pengayaan dibuat dengan bahan yang sama tetapi tanpa penambahan DFA III dan inulin.

Gambar 3 Diagram alir proses pembuatan yoghurt kering (modifikasi Eddy 1999; Lestari 2011)

Homogenisasi t = 10 menit

Pemanasan

T = 85-90oC, t = 30 menit Pendinginan T = 40-45oC

Inkubasi T = 42oC, t = 3 jam

Homogenisasi t = 10 menit Pati 10.0%

DFA III/inulin 3.0% Susu skim 1.9% Sukrosa 2.0% Asam sitrat 0.1% Gum arab 0.1%

Yoghurt segar Starter 5%

Susu skim 10%

Susu segar

Pengeringan dengan spray dryer T inlet = 120oC, outlet = 80oC

(28)

11 Pada Tabel 1 dapat dilihat formulasi yoghurt kering dengan 4 perlakuan, yaitu: (1) yoghurt kering tanpa pengayaan, (2) yoghurt kering diperkaya DFA III dari umbi dahlia, (3) yoghurt kering diperkaya DFA III dari umbi chicory, dan (4) yoghurt kering diperkaya inulin komersial. Rancangan percobaan menggunakan metode eksperimental dengan pola Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat taraf dan dilakukan tiga kali ulangan.

Analisis yang dilakukan meliputi: (1) pengujian karakteristik DFA III umbi dahlia, DFA III umbi chicory, dan inulin komersial; (2) pengujian sifat kimia yoghurt kering meliputi: kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, pH atau derajat keasaman, keasaman sebagai asam laktat, dan kadar kalsium (AOAC 2005); (3) pengujian sifat fisik meliputi: rendemen produk, derajat putih (AOAC 2005), pengamatan bentuk fisik menggunakan Scanning Electron Microscopy (Goldstein et al. 1992); (4) pengujian mikrobiologi dengan viabilitas bakteri asam laktat (BSN 2009); (5) pengujian organoleptik meliputi: aroma, tekstur, rasa, dan warna berdasarkan tingkat hedonik dengan skala 1 - 6 (Soekarto dan Hubeis 1992).

Tabel 1 Formulasi yoghurt kering dengan 4 perlakuan

Komposisi Y YD YC YI

Yoghurt segar 500 g 500 g 500 g 500 g

Pati jagung 10.0% 50 g 50 g 50 g 50 g DFA III 3.0% 0 15 g 15 g 0 Inulin 3.0% 0 0 0 15 g Susu skim 1.9% 9.5 g 9.5 g 9.5 g 9.5 g Sukrosa 2.0% 10 g 10 g 10 g 10 g Asam sitrat 0.1% 0.5 g 0.5 g 0.5 g 0.5 g Gum arab 0.1% 0.5 g 0.5 g 0.5 g 0.5 g Keterangan : Y = yoghurt kering tanpa pengayaan, YD = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi dahlia, YC = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi chicory, YI = yoghurt kering diperkaya inulin komersial.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik inulin dan Difructose Anhydride III

Inulin pada sistem akar tanaman keluarga Compositae berfungsi sebagai cadangan energi menggantikan pati. Inulin termasuk golongan karbohidrat yang disebut fruktan, yaitu polimer yang mengandung gugus fruktosa dengan ikatan glikosidik (Tungland 2000). Menurut Roberfroid (2005) fruktan tersedia sebagai cadangan makanan pada beberapa tanaman keluarga Compositae, seperti Chicorium intibus (chicory), Inula helenium (elecampane), Taraxacum officinalis (dandelion), dan Helianthus tuberosus (jerusalem artichoke).

DFA III komersial berasal dari umbi chicory yang sudah diproduksi oleh Nippon Beet Sugar Mfg. Co. Ltd. Obihiro Hokkaido Jepang. DFA III dari umbi dahlia diperoleh dari Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tanaman dahlia tumbuh baik di daerah Cihideung dan Cihanjuang kawasan Lembang, Cibodas dan Cipanas kawasan Cianjur, dan Salabintana kawasan Sukabumi.

(29)

12

DFA III

mempunyai masa panen 210 hari dengan produksi umbi sebesar 28.5 ton ha-1. Inulin yang terdapat di dalam umbi dahlia dapat terurai menjadi fruktosa oleh enzim inulinase yang terdapat di dalam umbi (Whitley 1985). Oleh karena itu, umbi dahlia perlu segera diolah setelah dipanen, dengan cara diproses menjadi irisan tipis dan dikeringkan pada suhu 60oC. Menurut Takeuchi dan Nagashima (2011), pemanasan pada suhu 60oC untuk menginaktifkan enzim inulinase. Irisan (chips) umbi dahlia yang sudah kering kemudian dihaluskan menjadi tepung yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan DFA III (Pudjiraharti dan Asano 2012). Selanjutnya dilakukan proses pembentukan DFA III dari tepung umbi dahlia menggunakan enzim inulinfruktotransferase (IFTase) dari Nonomuraea sp. (Pudjiraharti et al. 2011). Umbi dahlia yang digunakan dari jenis bunga warna merah hati (formal decorative) dan merah terang (semi cactus) dapat dilihat pada Gambar 4.

A B C

Gambar 4 Bunga dahlia warna merah hati (A), bunga dahlia warna merah terang (B), dan umbi dahlia (C).

Umbi dahlia yang berpotensi sebagai inulin untuk sumber prebiotik berasal dari tanaman dahlia dengan jenis bunga pompon berwarna merah darah dengan kandungan inulin 72.56% (Zaharanti 2005), sedangkan dari umbi chicory 41.6%, umbi jerusalem artichoke 18% (Tungland 2000), dan dari umbi gembili (Dioscorea esculenta) 14.77% (Winarti et al. 2011).

Gambar 5 Kromatogram KLT hasil reaksi pembentukan DFA III dari umbi dahlia, 1= standar; 2=hasil reaksi enzimatis; 3=hasil fermentasi ragi

Setelah reaksi enzimatis, campuran reaksi dianalisis dengan kromatografi lapis tipis (KLT) untuk mengidentifikasi terbentuknya DFA III secara kualitatif. Seperti dapat dilihat pada Gambar 5, hasil reaksi menunjukkan spot DFA III

Fruktosa

(30)

13 dengan faktor retensi sesuai dengan standar DFA III, menggunakan pelat KLT Silika Gel 60, E. Merck, larutan pengembang n-butanol-iso propanol-H2O (10:5:4,

v v-1).

Selain spot DFA III, teramati pula spot fruktosa dan sukrosa dengan intensitas rendah serta spot sakarida-sakarida yang lain dengan faktor retensi paling rendah. Sakarida-sakarida tersebut akan mengganggu pada saat proses kristalisasi dan peragian yang dikonsumsi oleh Saccharomyces cereviseae dalam ragi roti seperti tampak pada kromatogram KLT.

A B

Gambar 6 DFA III dari umbi dahlia setelah kristalisasi (A). DFA III dari umbi dahlia setelah re-kristalisasi (B).

Pada Gambar 6 disajikan DFA III setelah proses kristalisasi dengan rendemen 9.3%. Rendahnya rendemen DFA III yang dihasilkan menunjukkan bahwa reaksi pembentukan DFA III dari tepung umbi dahlia masih perlu dilakukan optimasi-optimasi dan studi lebih lanjut untuk meningkatkan rendemennya. Selain itu, perlu dilakukan pula kajian dan studi pengolahan umbi dengan cara yang lain sehingga reaksi enzimatis dapat berlangsung lebih baik dan pada proses pemurnian dan kristalisasi tidak terjadi banyak kehilangan DFA III. Reaksi pembentukan DFA III dari inulin dapat dilihat pada Gambar 7.

(31)

14

A B C

Gambar 8 DFA III dari umbi dahlia (A), DFA III dari umbi chicory (B), inulin komersial dari umbi chicory (C).

Hasil analisis HPLC menunjukkan DFA III dari umbi dahlia yang dihasilkan memiliki tingkat kemurnian 96.0% dan DFA III dari umbi chicory 99.9%. Kemurnian DFA III juga dapat terlihat pada hasil SEM, di mana DFA III dari umbi dahlia tampak masih mengandung material pengotor dibandingkan dengan DFA III dari umbi chicory.

DFA III merupakan produk turunan dari inulin umbi dahlia dan aman digunakan sebagai bahan pangan, berdasarkan hasil penelitian Anan’ina et al. (2009) terhadap standardisasi ekstrak inulin dari umbi dahlia dan sifat fisiko kimianya, yaitu kemampuan mengikat air, aktivitas pada bagian permukaan, kemampuan pembentukan misel, dan daya larut. Hasil analisis karakteristik DFA III dan inulin komersial sebagai bahan pengayaan untuk yoghurt kering dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik DFA III umbi dahlia, DFA III dan inulin umbi chicory. Karakteristik DFA III

Derajat putih DFA III dari umbi dahlia 55.14%, lebih rendah dibandingkan DFA III dari umbi chicory dan inulin komersial. Hal ini terjadi karena DFA III dari umbi dahlia yang digunakan masih berwarna kecokelatan. Warna tersebut kemungkinan berasal dari komponen-komponen hasil oksidasi senyawa polifenol atau fenolik atau poliasetilin, di mana pada saat pengeringan terjadi perubahan warna pada irisan umbi dahlia yang tidak di blanching menjadi kecokelatan. Menurut Takeuchi dan Nagashima (2011) bahwa proses browning pada irisan umbi selama pengeringan terjadi karena oksidasi senyawa fenolik oleh poli fenol oksidase (PPO).

(32)

15 siklik terdiri dari dua buah residu fruktosa yang terikat melalui atom karbon pereduksi membentuk struktur lingkar dioksan intramolekul (Kikuchi et al. 2004). Pengayaan inulin dan Difructose Anhydride III pada yoghurt kering

Hasil pengujian yoghurt segar yang digunakan dalam proses pembuatan yoghurt kering ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia untuk yoghurt segar dengan nomor 01.2981-2009 (Badan Standardisasi Nasional 2009) sehingga memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan yoghurt kering. Hasil analisis yoghurt segar dibandingkan dengan SNI disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil analisis yoghurt segar dibandingkan dengan SNI No. 01.2981-2009 Parameter Yoghurt segar SNI yoghurt segar

pH/ derajat keasaman 3.85 -

Keasaman sebagai asam laktat 0.5% 0.5 – 2.0% Viabilitas bakteri asam kaktat 6.1 x 107 cfu g-1 Min 107 cfu g-1

Kadar air 92.24% -

Kadar abu 0.78% Maks 1.0%

Kadar protein (N x 6.38) 2.80% 2.70%

Kadar lemak 0.97% 0.50%

Kadar karbohidrat 3.21% -

Pengayaan DFA III pada pangan fungsional dipilih yoghurt, karena yoghurt mengandung kadar kalsium relatif lebih tinggi (0.179%) dibandingkan susu segar. Menurut Tamime dan Robinson (2007) yoghurt mengandung kadar kalsium (0.145%) dan susu segar (0.119%). Hasil analisis kadar kalsium dari yoghurt segar dan yoghurt kering yang diperkaya DFA III dan inulin komersial disajikan pada Tabel 4.

Tahapan proses yang paling penting pada pembuatan yoghurt kering adalah pencampuran bahan-bahan penunjang ke dalam yoghurt segar, untuk homogenisasi larutan menggunakan homogenizer, selanjutnya dikeringkan menggunakan spray dryer. Menurut Eddy (1999), spray dryer dapat digunakan untuk pengeringan yoghurt, hasil pengeringan menggunakan suhu inlet 120oC dan outlet 80oC, setelah rehidrasi 10% memiliki aroma yang terbaik.

Tabel 4 Kadar kalsium yoghurt segar dan yoghurt kering

Jenis yoghurt Kadar kalsium Keterangan

Yoghurt segar 0.199% Weinsier dan Krumdieck (2000) Yoghurt segar 0.145% Tamime dan Robinson (2007) Yoghurt segar 0.160% Mazahreh dan Ershidat (2009) Yoghurt segar 0.179% Hasil analisis (2013)

Yoghurt kering tanpa pengayaan 0.302% Hasil analisis (2013) Yoghurt kering diperkaya DFA III dari

umbi dahlia

0.334% Hasil analisis (2013)

Yoghurt kering diperkaya DFA III dari umbi chicory

0.322% Hasil analisis (2013)

Yoghurt kering diperkaya inulin komersial

(33)

16

Karakteristik sifat kimia, fisik, dan mikrobiologi yoghurt kering

Hasil analisis kimia dari keempat perlakuan yoghurt kering disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi dahlia (YD) 7.89±0.01% lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan produk Y, YC, dan YI. Kadar abu dari yoghurt kering tanpa pengayaan (Y) 4.42±0.09% lebih tinggi secara nyata dibandingkan produk YD, YC, dan YI. Kadar abu pada produk yoghurt dipengaruhi oleh kandungan mineral di dalam produk, yang dapat berasal dari susu skim, DFA III, dan inulin. Analisis pH atau derajat keasaman berkisar antara 3.85±0.07 – 3.90±0.00 menunjukkan tidak berbeda nyata, nilai ini sudah memenuhi pH yoghurt yang baik antara pH 3.8-4.6 (Tamime dan Robinson 2007), selanjutnya menurut Chandan et al.(2006) pH minuman yoghurt segar bervariasi antara 4.0–4.5. Nilai pH yang rendah pada produk yoghurt terbentuk karena adanya asam laktat sebagai hasil degradasi laktosa oleh bakteri asam laktat. Keasaman sebagai asam laktat pada produk Y lebih tinggi secara nyata dibandingkan produk YD, YC, dan YI, hal ini dipengaruhi oleh pengayaan DFA III sebagai prebiotik.

Kadar protein pada yoghurt kering antara 12.43±0.13% - 13.24±0.15%, kadar protein ini diperoleh dari penambahan susu skim. Kadar karbohidrat pada produk YD, YC, dan YI lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan produk Y, karena pada produk YD, YC, dan YI selain ditambahkan pati jagung sebagai sumber karbohidrat juga ditambahkan DFA III dan inulin.

Tabel 5 Hasil analisis kimia yoghurt kering dengan 4 perlakuan

Parameter Y YD YC YI

Air (%) 7.32 ± 0.16bc 7.89 ± 0.01c 7.29 ± 0.18b 6.68 ± 0.35a Abu (%) 4.42 ± 0.09c 3.43 ± 0.06ab 3.25 ± 0.07a 3.47 ± 0.04b Protein (%) 13.24 ± 0.15c 12.43 ± 0.13b 12.48 ± 0.26b 11.29 ± 0.20a Lemak (%) 1.58 ± 0.42a 1.22 ± 0.07a 0.98 ± 0.05a 0.97 ± 0.01a Karbohidrat (%) 63.44 ± 0.64a 75.02 ± 0.10b 76.00 ± 0.55b 77.60 ± 0.52c pH 3.90 ± 0.00a 3.90 ± 0.00a 3.85 ± 0.07a 3.90 ± 0.00a Asam laktat (%) 0.63 ± 0.00c 0.49 ± 0.02ab 0.45 ± 0.04a 0.53 ± 0.00b Huruf yang sama pada baris yang sama, menunjukkan tidak ada perbedaan pada uji lanjut Duncan dengan tingkat kepercayaan 95% (p<0.05).

Keterangan : Y = yoghurt kering tanpa pengayaan, YD = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi dahlia, YC = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi chicory, YI = yoghurt kering diperkaya inulin komersial.

Hasil analisis fisik meliputi rendemen produk dan derajat putih dapat dilihat pada Tabel 6, dan bentuk yoghurt kering dari hasil pengamatan Scanning Electron Microscopy (SEM) dengan pembesaran 1000x disajikan pada Gambar 9.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi dahlia (17.83±0.36%) lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan produk Y, YC, dan YI. Pengayaan DFA III dari umbi chicory memberikan hasil yang lebih rendah, karena produk yoghurt kering sebagian menempel pada kolom spray dryer pada saat proses pengeringan berlangsung.

(34)

17 pemanasan tinggi menggunakan spray dryer terbentuk karamel dari DFA III dan inulin menimbulkan warna agak kecokelatan.

Tabel 6 Hasil analisis rendemen produk dan derajat putih dengan 4 perlakuan

Parameter Y YD YC YI

Rendemen produk (%) 14.90 ± 1.27a 17.83 ± 0.36b 14.71 ± 1.69a 16.84 ± 0.64ab Derajat putih (%) 92.27 ± 0.11d 89.29 ± 0.08c 86.66 ± 0.08a 88.40 ± 0.99b Huruf yang sama pada baris yang sama, menunjukkan tidak ada perbedaan pada uji lanjut Duncan dengan tingkat kepercayaan 95% (p<0.05).

Keterangan : Y = yoghurt kering tanpa pengayaan, YD = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi dahlia, YC = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi chicory, YI = yoghurt kering diperkaya inulin komersial.

Pengujian dengan SEM dilakukan untuk menentukan morfologi permukaan dan ukuran kapsul serta gambar permukaan spesimen. Bentuk fisik produk YC terlihat lebih merata dan partikel memiliki bentuk bola dan kubus dengan permukaan yang halus dibandingkan dengan produk Y, YD, dan YI. Hal ini dipengaruhi oleh pengayaan DFA III dari umbi chicory yang memiliki tingkat kemurnian 99.9%, sedangkan DFA III dari umbi dahlia 96.0%. Pada produk YC terlihat bentuk kristal DFA III, walaupun telah melewati proses pemanasan dengan menggunakan spray dryer masih bisa terlihat kompak dan stabil.

Y YD YC YI

Keterangan : Y = yoghurt kering tanpa pengayaan, YD = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi dahlia, YC = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi chicory, YI = yoghurt kering diperkaya inulin komersial.

Gambar 9 Hasil pengamatan Scanning Electron Microscopy yoghurt kering

Bentuk fisik yang tidak merata dengan permukaan yang padat pada produk Y, YD, dan YI, disebabkan penggunaan panas pada proses spray drying. Menurut Deladino et al. (2008), suhu pemanasan pada proses pengeringan dapat mengakibatkan kehilangan senyawa aktif sehingga permukaan menjadi lebih padat.

(35)

18

kering yang sebelumnya ditambahkan 10% pati, setelah rehidrasi dapat memberikan rasa yang lebih baik dan total bakteri asam laktat tertinggi.

Tabel 7 Viabilitas bakteri asam laktat yoghurt kering dengan 4 perlakuan Viabilitas bakteri

asam laktat (cfu g-1)

Y YD YC YI

T = 20°C, t = 0 hari 1.61 x 106 1.20 x 107 7.50 x 106 1.98 x 106 T = 20°C, t = 15 hari 1.56 x 106 2.60 x 106 2.80 x 106 1.83 x106 T = 20°C, t = 30 hari 9.50 x 104 1.90 x 106 2.20 x 106 1.30 x 105 Keterangan : Y = yoghurt kering tanpa pengayaan, YD = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi dahlia, YC = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi chicory, YI = yoghurt kering diperkaya inulin komersial.

Pada awal penyimpanan dengan suhu 20°C menggunakan pengemas aluminum foil, viabilitas bakteri asam laktat dari yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi dahlia (YD) memberikan hasil yang lebih tinggi, yaitu 1.20 x 107 cfu g-1. Hal ini menunjukkan bahwa pengayaan dengan DFA III yang bersifat prebiotik mampu meningkatkan substrat yang dapat digunakan oleh bakteri asam laktat (BAL) sebagai probiotik sehingga mempunyai kemampuan untuk hidup lebih lama. Hasil penelitian Ngatirah dan Ulfah (2013) dengan penambahan tepung sumber prebiotik dari umbi dahlia untuk enkapsulasi probiotik dapat meningkatkan jumlah sel sampai 1 silkus log, karena senyawa prebiotik dari umbi dahlia dapat masuk ke dalam matriks kapsul serta menutupi pori-pori kapsul sehingga dapat menahan laju difusi asam.

Viabilitas bakteri asam laktat dari produk YD dan YC relatif lebih tinggi dibandingkan produk Y dan YI, hal ini dipengaruhi oleh pengayaan DFA III yang berasal dari umbi dahlia dan umbi chicory. Produk Y dan YI masih memiliki viabilitas bakteri asam laktat (106 cfu g-1) sesuai standar. Hal ini terjadi, karena proses pembuatan yoghurt kering dengan menggunakan spray dryer pada suhu inlet 120°C dan outlet 80°C, dengan penambahan pati jagung, inulin, dan DFA III sebagai senyawa prebiotik dapat melindungi probiotik dengan cara enkapsulasi, sehingga dapat mempertahankan viabilitas bakteri asam laktat. And dan Kailasapathy (2005) menjelaskan bahwa penambahan pati Hi-Maize dengan konsentrasi 1% (b/v) pada proses enkapsulasi mampu melindungi sel terhadap pengaruh pH 2.0 dan mampu meningkatkan jumlah sel secara nyata, karena pati Hi-Maize mampu masuk ke dalam matriks kapsul dan menutupi pori-pori kapsul sehingga mencegah terjadinya difusi asam ke dalam kapsul.

(36)

19 Roberfroid (2007) menyatakan bahwa inulin sebagai prebiotik dapat menghasilkan short chain fatty acids (SCFA) yang meliputi propionat, butirat, asetat, dan laktat. Asam laktat dapat membuat pH usus menjadi asam, kondisi ini menyebabkan ion kalsium menjadi lebih mudah larut, sehingga meningkatkan penyerapan kalsium pada usus besar. Selanjutnya Donkor et al. (2007) menjelaskan bahwa yoghurt yang mengandung probiotik dengan ditambahkan prebiotik dapat meningkatkan konsentrasi asam asetat dan asam laktat, dimana keberadaan asam laktat dan asam lemak rantai pendek di dalam usus besar mampu meningkatkan penyerapan kalsium. Dengan demikian yoghurt kering yang diperkaya DFA III dan inulin selain bersifat prebiotik juga masih mengandung probiotik yang tinggi, sehingga masuk kriteria sebagai minuman sinbiotik.

Karakteristik organoleptik yoghurt kering

Pengujian organoleptik meliputi: aroma, tekstur, rasa, dan warna menggunakan metode Soekarto dan Hubeis (1992) oleh 40 panelis semi terlatih. Skala hedonik yang dijadikan penilaian : 1 = tidak suka, 2 = kurang suka, 3 = agak suka, 4 = suka, 5 = sangat suka, dan 6 = amat sangat suka. Hasil pengujian organoleptik disajikan pada Gambar 10.

Hasil penilaian untuk aroma dan rasa lebih tinggi secara nyata pada yoghurt yang diperkaya DFA III dari umbi chicory (YC), sedangkan untuk tekstur dan warna menunjukkan hasil tidak berbeda secara nyata dari ke empat produk tersebut.

Keterangan : Y = yoghurt kering tanpa pengayaan, YD = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi dahlia, YC = yoghurt kering diperkaya DFA III umbi chicory, YI = yoghurt kering diperkaya inulin komersial.

(37)

20

pada yoghurt kering yang diperkaya DFA III dari umbi chicory (YC) agak disukai dibandingkan dengan produk Y, YD, dan YI, karena DFA III memiliki rasa manis separuh kemanisan sukrosa (Asano 2005), akibatnya setelah proses spray drying produk yoghurt kering terasa sedikit lebih manis. DFA III juga memiliki titik leleh yang tinggi (162oC) dan tidak akan membentuk karamel pada proses spray drying (Kikuchi et al. 2004), karena karamelisasi yang berlebih dapat menyebabkan rasa pahit.

Pengayaan DFA III dan inulin tidak mempengaruhi tekstur yoghurt kering, karena DFA III adalah senyawa yang sangat mudah larut dalam air dan pada saat dicampurkan ke dalam yoghurt segar larut sempurna membentuk campuran yang homogen, sehingga setelah proses spray drying tidak mengubah tekstur produk yoghurt kering. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Anan’ina et al. (2009) bahwa ekstrak inulin dari umbi dahlia sebagai bahan baku DFA III memiliki kemampuan mengikat air dengan daya larut tinggi. Penilaian panelis menunjukkan tidak berbeda nyata pada warna yoghurt kering yang disajikan dengan cara melarutkan 10 gram yoghurt kering ke dalam 100 ml air.

Yoghurt kering sebagai minuman fungsional

Produk yoghurt kering Y, YD, YC, dan YI dapat digolongkan sebagai minuman fungsional. Menurut FAO (2004) pangan fungsional mengandung komponen biologis aktif yang terdapat secara alami atau ditambahkan dan mempunyai manfaat fisiologis bagi kesehatan. Senada dengan hasil penelitian Allgeyer et al. (2010) bahwa produk susu yang diperkaya dengan prebiotik dan probiotik perkembangannya pesat dan meningkat, karena konsumen lebih menyukai makanan yang beraroma dan menunjang kesehatan.

Sinbiotik didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari prebiotik dan probiotik yang menguntungkan inang, dengan meningkatkan pertahanan dan implantasi suplemen makanan yang mengandung mikrob hidup dalam saluran pencernaan, yang secara selektif memicu pertumbuhan dan atau mengaktifkan metabolisme dari sejumlah bakteri baik sehingga meningkatkan kesehatan inangnya (Panesar et al. 2009). Kombinasi ini dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup probiotik dan memberikan manfaat kesehatan tambahan untuk host (Collins dan Gibson 1999). Manfaat mengkonsumsi pangan sinbiotik di antaranya dapat meningkatkan penyerapan mineral dan kalsium sehingga dapat mencegah osteoporosis (Bosscher et al. 2006).

Produk yoghurt kering Y, YD, YC, dan YI memenuhi kategori minuman fungsional. Menurut Hasler (1995), pangan fungsional pertama kali diperkenalkan di Jepang sekitar pertengahan tahun 1980an dengan nama FOSHU (Foods for Specified Health Use), yang mengacu pada makanan yang mengandung bahan yang berfungsi untuk kesehatan dan secara resmi telah diklaim mempunyai efek fisiologis pada tubuh manusia. Pangan fungsional juga didefinisikan oleh Functional Food Science in Europe (FUFOSE) sebagai pangan dalam bentuk makanan yang biasa dikonsumsi dengan jumlah rata-rata konsumsi secara umum, dan menunjukkan efek fisiologis bagi tubuh (Madsen 2007).

(38)

21 dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya (Hasler 1995).

Berdasarkan hasil kajian FAO, FOSHU, dan FUFOSE bahwa ketentuan terhadap pangan fungsional meliputi : (1) menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan serta standar dan persyaratan lain yang ditetapkan; (2) mempunyai manfaat bagi kesehatan yang dinilai dari komponen pangan fungsional; (3) disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman; dan (4) memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen.

Produk yoghurt kering Y, YD, YC, dan YI telah diuji dan telah memenuhi ketentuan dari pangan fungsional. Untuk memenuhi ketentuan terhadap manfaat bagi kesehatan, perlu dilakukan uji efektivitas produk dengan menggunakan hewan percobaan. Pengujian efektivitas dilakukan terhadap model tikus betina jenis Sprague dawley yang mengalami defisien kalsium, dengan klaim kesehatan bahwa produk yoghurt kering yang diperkaya DFA III dan inulin dapat meningkatkan penyerapan kalsium sehingga dapat mencegah dan mengatasi osteoporosis.

Simpulan

Karakteristik yoghurt kering yang diperkaya dengan DFA III dari umbi dahlia dan umbi chicory yang bersifat prebiotik dapat mempertahankan viabilitas bakteri asam laktat sebagai probiotik sampai penyimpanan hari ke-30 pada suhu 20°C dengan menggunakan pengemas aluminum foil, yang membuktikan bahwa produk yoghurt kering tersebut dapat digolongkan sebagai produk sinbiotik.

Potensi lokal umbi dahlia sebagai bahan baku inulin dan DFA III dapat menggantikan inulin dan DFA III dari umbi chicory yang merupakan produk impor.

(39)

22

4 PEMBUATAN HEWAN MODEL TIKUS DEFISIEN

KALSIUM KONDISI PREMENOPAUSE

Pendahuluan

Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah hewan model yang banyak digunakan dalam penelitian, antara lain untuk mempelajari pengaruh konsumsi pangan, obat-obatan, toksisitas, komponen bioaktif pangan, pemberian suplemen, metabolisme, embriologi, dan mempelajari tingkah laku. Model tikus defisien kalsium adalah tikus yang kadar kalsium dalam serum lebih rendah dibandingkan tikus dalam kondisi normal.

Pembuatan model tikus defisien kalsium dapat dilakukan dengan cara tikus betina jenis Sprague dawley umur 6 minggu diovariektomi (Mitamura et al. 2002). Sabri (2011) menggunakan tikus betina jenis Sprague dawley umur 50 hari diovariektomi yang mengakibatkan kekurangan hormon estrogen dan memiliki kondisi hormonal mirip dengan wanita pascamenopause. Hasil penelitian Safrida (2013) menunjukkan kondisi premenopause pada tikus betina jenis Sprague dawley terjadi pada umur 18 bulan yang ditandai dengan penurunan kadar hormon progesteron, densitas tulang, dan rasio kadar Ca/P tulang tibia. Kondisi pascamenopause terjadi pada tikus umur 36 bulan atau tikus umur 12 bulan setelah 3 bulan diovariektomi, ditandai dengan penurunan secara drastis kadar hormon progesteron, kadar kalsium tulang, persentase rasio kadar Ca/P tulang tibia, kadar kolagen tulang, dan densitas tulang. Menurut Wronski dan Yen (1991) pertumbuhan tulang longitudinal meningkat setelah tikus diovariektomi pada umur muda, tetapi tikus umur 9-12 bulan pertumbuhan tulangnya minimal.

Pembuatan model tikus defisien kalsium dengan cara diovariektomi dapat menimbulkan rasa nyeri dan membuat stress. Menurut Sajuthi et al. (2012) penggunaan hewan dalam suatu penelitian biomedis harus memenuhi kaidah ilmiah yang berstandar internasional terhadap pemenuhan azas kesejahteraan hewan (animal welfare). Berdasarkan hal tersebut, untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan, dilakukan perlakuan terhadap konsumsi diet yang defisien kalsium untuk membuat model tikus defisien kalsium.

Pemberian diet defisien kalsium dilakukan hingga tikus dalam keadaan defisien kalsium yang ditandai dengan kadar kalsium serum kurang dari 9.2 mg dL-1. Menurut Murray et al. (2003) kadar kalsium serum normal berkisar antara 9.2-10.4 mg dL-1. Calvo dan Park (1996) menyatakan bahwa osteoporosis pada hewan yang disebabkan oleh defisiensi kalsium menjadi faktor penyebab utama, sedangkan faktor lainnya adalah malnutrisi dan defisiensi fosfor. Penggunaan tikus betina untuk model tikus defisien kalsium senada dengan hasil penelitian Turner (2001) bahwa tikus jantan muda tidak cocok digunakan sebagai hewan model osteoponia karena pertumbuhan tulang (growth plate) belum menutup pada umur di bawah 30 bulan.

Gambar

Gambar 6 DFA III dari umbi dahlia setelah kristalisasi (A).
Gambar 8  DFA III dari umbi dahlia (A), DFA III dari umbi chicory (B), inulin
Tabel 4 Kadar kalsium yoghurt segar dan yoghurt kering
Tabel 5 Hasil analisis kimia yoghurt kering dengan 4 perlakuan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu maka pada penelitian ini akan diamati pengaruh komposisi dalam pembuatan briket biobatubara campuran batubara dan biomassa purun tikus (eleocharis dulcis)

Hasil dari rata-rata laju pertumbuhan tanaman kedelai dengan perlakuan pemberian pupuk SP-36 (B0) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan tanaman

Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memudahkan kurator dan pengguna lain dalam karakterisasi jagung dan sorgum Komisi Nasional Plasma Nutfah menterjemahkan Panduan

Airborne Laser Scanning (ALS), Terrestrial Laser Scanning (TLS) and Vehicle based Laser Scanning (VLS) are widely used as data acquisition methods for 3D building modelling.. ALS

Dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi interaksi antara metode eksperimen melalui laboratorium riil dan virtuil, kemampuan berfikir kritis dan gaya belajar

Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah memetakan waktu beban puncak yaitu pada pukul 17.00 sampai dengan pukul 22.00. Pada penelitian ini waktu beban puncak digunakan

Sistem indoor localization yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi lokasi pengguna di dalam ruangan dengan menggunakan data kekuatan sinyal Wi-fi yang ditangkap

Sedangkan sistem informasi persediaan adalah sistem yang menyangkut masalah pencatatan dan pelaporan yang dikaitkan dengan pencatatan persediaan dan penilaiannya, baik