• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara Tahun 2011"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TENTANG FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP

KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKARAME KECAMATAN KUALUH HULU

KABUPATEN LABUHANBATU UTARA TAHUN 2011

SKRIPSI

Oleh :

SABAR MANULLANG NIM : 091000261

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TENTANG FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP

KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKARAME KECAMATAN KUALUH HULU

KABUPATEN LABUHANBATU UTARA TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

SABAR MANULLANG NIM : 091000261

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TENTANG FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP

KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKARAME KECAMATAN KUALUH HULU

KABUPATEN LABUHANBATU UTARA TAHUN 2011 Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

SABAR MANULLANG NIM. 091000261

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 16 Agustus 2011

Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

dr. Devi Nuraini Santi, M. Kes Ir. Indra Chahaya S, M. Si NIP. 197002191998022001 NIP. 196811011993032005

Penguji II Penguji III

Ir. Evi Naria, M. Kes dr. Taufik Ashar, MKM NIP. 196803201993032001 NIP. 197803312003121001

Medan, September 2011

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Dr. Drs. Surya Utama, MS

(4)

ABSTRAK

Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis Paru batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas. Faktor pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah mempunyai pengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis. Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit Tuberkulosis.

Penelitian ini merupakan survei cross sectional bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan tentang faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru dengan observasi serta pengukuran kondisi lingkungan fisik rumah. Populasi berjumlah 3268 keluarga, sampel 93 orang diambil secara simple random sampling dan objek penelitian adalah kondisi lingkungan fisik rumah responden. Pengumpulan data meliputi data primer terdiri dari data observasi, pengukuran kondisi lingkungan fisik rumah dan wawancara langsung dengan penderita Tuberkulosis Paru dan tetangga yang bertempat tinggal disekitarnya untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan tindakan tentang kondisi lingkungan fisik rumah serta data sekunder melalui studi dokumentasi.

Penelitian menunjukkan responden memiliki pengetahuan baik 49,4%, sikap baik 60,2% dan tindakan baik 68,8%. Pemeriksaan kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah sebanyak 71 rumah (76,3%). Analisis data dengan uji chi square pada taraf kepercayaan 95%, pengetahuan memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,007), sikap memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,002), dan tindakan memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,004) serta kondisi faktor lingkungan fisik rumah memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,001) .

Ventilasi ruangan rumah, sirkulasi udara dan cahaya matahari yang masuk kedalam rumah yang buruk dipengaruhi tindakan dan sikap masyarakat akibat pengetahuan yang kurang akibat pendidikan yang rendah juga dipengaruhi oleh pendapatan yang rendah. Penyuluhan kepada masyarakat dan advokasi kepada pemerintah mengenai perbaikkan lingkungan untuk mencegah penularan penyakit menular.

(5)

ABSTRACT

Pulmonary Tuberculosis disease is an infectius disease directly by Tuberkulosis germ (Mycobacterium Tuberculosis) are transmitted through the air (droplet infection) when Pulmonary Tuberculosis patient coughs and the saliva spray containing bacterial are inhaled by others during breathing. Factor of knowledge, attitudes and actions ofthe public about and the physical environmental factors have a large influence on the incidence of Tuberculosis disease. the bad environments as a reservoir or a good place in transmitting infectious diseases such as Tuberkulosis disease.

This study is a cross-sectional survey that aims to determinethe relationship of knowledge, attitudes and actions on the physical environmental factors with the incidence of Tuberkulosis Pulmonary and observations and measurement of the physical condition of house environment. Total population is 3268 families, total sample taken 93 people was taken with stratified random sampling and the object of research is physical condition of house environment of respondents. Collecting data includes the primary data that consists of observation and measurement data of physical environmental conditions of the house and direct interviews to those patient with pulmonary tuberculosis, and neighbors who live around it to find out the knowledge, attitudes and actions regarding the physical condition of the house environment as well as secondary data through the study documentation.

The result of study showed that respondents have 49,4% of goog knowledge, 60,2% good attitude, and good actions both 68,8%. The result on physical condition of the house that meets the health requirements are as many as 71 houses (76.3%). Analysis of the data with chi square test at 95% confidence level, suggesting that

knowledge has a relationship with the incident of pulmonary tuberculosis (p = 0.007), attitude has a relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis

(p = 0.002), and the action has a relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis (p = 0.004) as well as physical condition of the house environmental factors have relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis (p = 0.001).

Ventilation room of the house, air circulation and sunligh into the poor house influenced by their action and attitude of society because of the poor knowledge and because a lack of education is also affected by low income. Improve counseling to the villagers and advocacy to the goverment about environment improvements to prevent transmission transmitted diseases.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : SABAR MANULLANG

Tempat/Tanggal Lahir : Dolok Sinumbah, 18 Agustus 1971 Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Kawin

Anak ke : 1 dari 5 bersaudara

Alamat Rumah : Desa Sukarame Baru Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 112279 Aekkanopan : 1978-1984 2. SMP Negeri 1 Aekkanopan : 1984-1987 3. SMA Negeri Aekkanopan : 1987-1990 4. AKPER Glugur Medan : 1990-1994 5. Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU : 2009-2011

Riwayat Pekerjaan :

RSU Glugur Medan : 1994-1996

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara Tahun 2011”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagi pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : dr. Devi N Santi, M.Kes selaku pembimbing I (satu) dan Ir. Indra Chahaya S,M.Si selaku pembimbing II (dua) yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(8)

3. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademis yang telah memberi bimbingan dan arahan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Siti Roilan Siregar SKM, M.Ap selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Utara yang telah memberi izin penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

5. dr. Mimi Andayani Nasution selaku Kepala Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara yang telah memberi izin penelitian dan masukan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini.

6. Seluruh keluarga tercinta istri, orang tua, adik dan keponakan yang telah memberi motivasi serta dukungan doa kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan menyelesaikan skripsi ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa dan staf Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini dan semua pihak yang telah membantu proses penyusunan skripsi ini hingga selesai.

Kiranya Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan kasih karuniaNya kepada semua pihak yang telah membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehinggga membutuhkan banyak masukan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memperkaya materi skripsi ini..

Medan, Agustus 2011

(9)

DAFTAR ISI

Halaman Halaman Pengesahan...

Abstrak... i

Abstact... ii

Riwayat Hidup Penulis ... iii

Kata Pengantar ... iv

2.1.2. Penyebab Tuberkulosis... 9

2.1.3. Gejala-gejala Tuberkulosis ... 10

2.1.4. Penemuan Pasien Tuberkulosis ... 11

2.1.5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberkulosis Paru ... 12

2.1.6. Cara Penularan Tuberkulosis... 14

2.1.7. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru ... 17

2.2. Pengertian Lingkungan... 18

2.2.1. Lingkungan Fisik... 18

2.3.2. Sanitasi Perumahan dan Hubungannya dengan Tuberkulosis Paru. 22 2.3.3. Luas Ruangan ... 24

2.3.4. Ventilasi... 25

2.3.5. Lantai ... 29

2.3.6. Pencahayaan Sinar Matahari ... 30

2.4. Perilaku ... 31

2.4.1. Pengetahuan (Knowledge)... 33

2.4.2. Sikap (Attitude) ... 36

(10)

2.5. Kerangka Konsep ... 38

2.6. Hipotesa Penelitian ... 39

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

3.1. Jenis Penelitian ... 40

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 40

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 40

3.2.2. Waktu Penelitian... 40

3.3. Populasi dan Sampel... 40

3.3.1. Populasi ... 40

3.3.2. Sampel ... 41

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 41

3.4.1. Data Primer... 41

3.4.2. Data Skunder ... 42

3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 42

3.5.1. Variabel Penelitian ... 42

3.5.2. Definisi Operasional... 42

3.6. Metode Pengukuran ... 44

3.6.1. Pengukuran Pengetahuan ... 45

3.6.2. Pengukuran Sikap... 45

3.6.3. Pengukuran Tindakan... 46

3.6.4. Lingkungan Fisik Rumah ... 46

3.7. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data ... 47

3.7.1. Pengolahan Data... 47

3.7.2. Analisa Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 48

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 48

4.2. Analisis Univariat ... 49

4.2.1. Karakteristik Responden ... 49

4.2.2. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 49

4.2.1.1. Gambaran Pengetahuan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 50

4.2.1.2. Gambaran Sikap Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Tuberkulosis Paru ... 53

4.2.1.3. Gambaran Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru... 55

4.2.2. Gambaran Kondisi Fisik Rumah ... 58

4.2.3. Observasi terhadap Sanitasi Perumahan ... 59

4.3. Analisis Bivariat ... 62

(11)

BAB V PEMBAHASAN ... 64

5.1. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan tentang Faktor lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 64

5.1.1. Hubungan Pengetahuan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru... 64

5.1.2. Hubungan Sikap Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru... 67

5.1.3. Hubungan Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru... 68

5.1.3. Hubungan Sanitasi Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru... 70

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 73

6.1. Kesimpulan ... 73

6.2. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 2. Hasil Pengolahan Data Penelitian Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

Lampiran 4. Master Data Penelitian

Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Penelitian

(12)

DAFTAR BAGAN DAN TABEL

Nomor Judul Halaman

Bagan 2.1 Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru ... 16

Bagan 2.2 Skema Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesehatan... 32

Tabel 2.1 Persyaratan Temperatur dan Kelembaban Perumahan ... 28

Tabel 4.1 Distribusi Pengetahuan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 51

Tabel 4.2 Kategori Pengetahuan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru i ... 53

Tabel 4.3 Distribusi Sikap Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 54

Tabel 4.4 Kategori Sikap Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 55

Tabel 4.5 Distribusi Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 56

Tabel 4.6 Kategori Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 57

Tabel 4.7 Gambaran Kondisi Fisik Rumah... 58

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Observasi Sanitasi Perumahan ... 59

Tabel 4.9 Gambaran Keadaan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah ... 61

Tabel 4.10 Kategori Kejadian Tuberkulosis Paru pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame ... 61

Tabel 4.11 Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tinadakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame ... 62

(13)

ABSTRAK

Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis Paru batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas. Faktor pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah mempunyai pengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis. Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit Tuberkulosis.

Penelitian ini merupakan survei cross sectional bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan tentang faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru dengan observasi serta pengukuran kondisi lingkungan fisik rumah. Populasi berjumlah 3268 keluarga, sampel 93 orang diambil secara simple random sampling dan objek penelitian adalah kondisi lingkungan fisik rumah responden. Pengumpulan data meliputi data primer terdiri dari data observasi, pengukuran kondisi lingkungan fisik rumah dan wawancara langsung dengan penderita Tuberkulosis Paru dan tetangga yang bertempat tinggal disekitarnya untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan tindakan tentang kondisi lingkungan fisik rumah serta data sekunder melalui studi dokumentasi.

Penelitian menunjukkan responden memiliki pengetahuan baik 49,4%, sikap baik 60,2% dan tindakan baik 68,8%. Pemeriksaan kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah sebanyak 71 rumah (76,3%). Analisis data dengan uji chi square pada taraf kepercayaan 95%, pengetahuan memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,007), sikap memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,002), dan tindakan memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,004) serta kondisi faktor lingkungan fisik rumah memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,001) .

Ventilasi ruangan rumah, sirkulasi udara dan cahaya matahari yang masuk kedalam rumah yang buruk dipengaruhi tindakan dan sikap masyarakat akibat pengetahuan yang kurang akibat pendidikan yang rendah juga dipengaruhi oleh pendapatan yang rendah. Penyuluhan kepada masyarakat dan advokasi kepada pemerintah mengenai perbaikkan lingkungan untuk mencegah penularan penyakit menular.

(14)

ABSTRACT

Pulmonary Tuberculosis disease is an infectius disease directly by Tuberkulosis germ (Mycobacterium Tuberculosis) are transmitted through the air (droplet infection) when Pulmonary Tuberculosis patient coughs and the saliva spray containing bacterial are inhaled by others during breathing. Factor of knowledge, attitudes and actions ofthe public about and the physical environmental factors have a large influence on the incidence of Tuberculosis disease. the bad environments as a reservoir or a good place in transmitting infectious diseases such as Tuberkulosis disease.

This study is a cross-sectional survey that aims to determinethe relationship of knowledge, attitudes and actions on the physical environmental factors with the incidence of Tuberkulosis Pulmonary and observations and measurement of the physical condition of house environment. Total population is 3268 families, total sample taken 93 people was taken with stratified random sampling and the object of research is physical condition of house environment of respondents. Collecting data includes the primary data that consists of observation and measurement data of physical environmental conditions of the house and direct interviews to those patient with pulmonary tuberculosis, and neighbors who live around it to find out the knowledge, attitudes and actions regarding the physical condition of the house environment as well as secondary data through the study documentation.

The result of study showed that respondents have 49,4% of goog knowledge, 60,2% good attitude, and good actions both 68,8%. The result on physical condition of the house that meets the health requirements are as many as 71 houses (76.3%). Analysis of the data with chi square test at 95% confidence level, suggesting that

knowledge has a relationship with the incident of pulmonary tuberculosis (p = 0.007), attitude has a relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis

(p = 0.002), and the action has a relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis (p = 0.004) as well as physical condition of the house environmental factors have relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis (p = 0.001).

Ventilation room of the house, air circulation and sunligh into the poor house influenced by their action and attitude of society because of the poor knowledge and because a lack of education is also affected by low income. Improve counseling to the villagers and advocacy to the goverment about environment improvements to prevent transmission transmitted diseases.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam UU Kesehatan no 23/1992, pembangunan bidang kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat setiap orang sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.( Depkes, 1999 ).

Menurut Hendrik L Blum derajat kesehatan dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Disamping berpengaruh langsung pada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula.(Notoatmodjo, 1993).

Permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia umumnya adalah kondisi sanitasi lingkungan yang jauh dari memenuhi syarat kesehatan, perilaku masyarakat yang kurang mendukung upaya kesehatan dan juga akses terhadap pelayanan kesehatan yang kurang.

(16)

Penyakit Tuberkulosis ( TB ) adalah salah satu penyakit menular langsung yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis. Menurut WHO pada tahun 1995, di dunia setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru Tuberkulosis dengan kematian 3 juta orang. Di negara-negara berkembang kematian penderita Tuberkulosis merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita Tuberkulosis dan 98% kematian akibat Tuberkulosis di dunia berada di negara berkembang, 75% penderita Tuberkulosis adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). (Depkes RI,2008).

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Badan Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Pada tahun 1995, program penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy) yang difokuskan kepada penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB menular sehingga akan memutuskan penularan TB dan demikian akan menurunkan insidens TB di masyarakat dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh UPK terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.(Depkes RI, 2008)

(17)

setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa prevalensi TB BTA positif 110 per 100.000 penduduk. Wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk.( Depkes RI,2008 ).

Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2009), di Sumatera Utara jumlah kasus TB Paru tahun 2008 BTA Positif sebanyak 14.158 orang, dengan cakupan kesembuhan 93,5 %. Tahun 2009 jumlah kasus TB Paru BTA Positif sebanyak 10.219 orang dengan cakupan 92,9 %.

Dari data register Tuberkulosis Paru Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Utara tahun 2010, jumlah penderita baru Tuberkulosis Paru 296 kasus meningkat 11 kasus dari jumlah penderita Tuberkulosis Paru tahun 2009 sebanyak 285 kasus.( Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Utara, 2010).

Di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu pada tahun 2009-2010 dari 15.226 penduduk, penderita Tuberkulosis Paru 20 kasus ( Profil Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu, 2010 ).

Meski jumlah penderitanya terus berkurang, Tuberkulosis (TBC) di Indonesia masih tetap dianggap sebagai ancaman serius. Ada banyak tantangan dalam penanggulangannya, termasuk resistensi atau kekebalan kuman TBC terhadap obat. Kuman yang kebal terhadap minimal 2 obat TBC yakni Isoniazid (INH) dan

Rifampicin disebut sebagai Multiple Drug Resistance (MDR) TBC. Kadang-kadang MDR-TBC disertai juga dengan resistensi obat TBC lini pertama lainnya termasuk

(18)

sudah kebal terhadap obat lini kedua, maka istilahnya menjadi Extensive Drug Resistance (XDR) TBC. XDR TBC ditandai dengan kekebalan kuman TBC terhadap obat TBC lini kedua yakni golongan Floroquinolon. Kekebalan terhadap

Floroquinolon juga disertai kekebalan terhadap salah satu obat suntik lini kedua seperti Kanamycin, Amikasin dan Capreomycin. Salah satu faktor penyebab kuman menjadi resisten adalah pengobatan yang tidak tuntas, sehingga kuman yang belum benar-benar mati akan membentuk sistem kekebalan baru. Akibatnya ketika diberi obat yang sama, kuman itu sudah tidak mempan lagi.

Kebijakan yang telah dilaksanakan Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu dalam rangka mencegah penularan penyakit Tuberkulosis Paru selain pencarian kasus, pemeriksaan kontak, pemeriksaan suspek penderita TB Paru dengan pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosa, penyuluhan, kampanye TB Paru dan pengobatan penderita TB Paru juga penyuluhan tentang sanitasi perumahan telah dilaksanakan melalui program promosi kesehatan.

Dilihat dari kondisi faktor lingkungan fisik rumah, pada tahun 2010 di wilayah kerja Puskesmas terdapat 37,1 % rumah yang tidak memenuhi persyaratan dari rumah yang diperiksa. Hal ini juga terlihat pada survey awal yang dilakukan penulis masih ditemukan bangunan perumahan terbuat dari kayu dan anyaman bambu dengan lantai tanah. Sistem pencahayaan berasal dari jendela yang ukuran luasnya tidak sesuai dengan luas ruangan dan tertutupi oleh pohon di sekitar rumah dan sirkulasi udara juga tidak berjalan baik dikarenakan sering jendela tertutup ketika penghuninya pergi bekerja.

(19)

Faktor perilaku penderita terhadap lingkungan juga mempunyai pengaruh besar terhadap penularan penyakit Tuberkulosis Paru selain faktor lingkungan. Sumber penularan penyakit Tuberkulosis Paru adalah penderita dengan BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.(Depkes RI, 2006).

Penderita penyakit Tuberkulosis Paru perlu dibekali pengetahuan agar tidak menjadi sumber penularan terhadap orang lain yang sehat, karena setiap satu BTA positif menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC adalah 17%.( Widoyono, 2005 ).

Penelitian Lumbantobing (2009), menunjukkan bahwa makin rendah pengetahuan masyarakat tentang bahaya penyakit Tuberkulosis Paru makin besar pula bahaya yang ditimbulkan bagi keluarga maupun orang-orang disekitarnya baik dirumah maupun di tempat pekerjaannya. Sehingga permasalahan Tuberkulosis Paru menjadi lebih besar dan luas.

(20)

Penelitian Siregar (2006), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi fisik perumahan yang meliputi kelembaban, lantai, ventilasi, dan kepadatan hunian dalam rumah dengan kejadian penyakit TB Paru.

Melihat latar belakang dan kondisi diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara Tahun 2011”.

1.2. Perumusan Masalah

(21)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah terhadap Tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik responden meliputi : umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.

2. Mengetahui kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat meliputi kelembaban, suhu, ventilasi, lantai, pencahayaan, serta kepadatan hunian dalam rumah dan kamar tidur. 

3. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah terhadap Tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.

4. Untuk mengetahui gambaran sikap masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah terhadap Tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.

(22)

6. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah terhadap Tuberkulosis Paru dan penularannya yang dipengaruhi lingkungan fisik rumah di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program pemberantasan penyakit menular dan promosi kesehatan di Puskesmas Sukarame

Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.

2. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan penulis dalam melaksanakan tugas.

3. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat dalam rangka menambah pengetahuan masyarakat untuk mencegah penularan penyakit Tuberkulosis

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.(Widoyono, 2008)

2.1.2. Penyebab Tuberkulosis

Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari Tuberkulosis.

(24)

Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Widoyono, 2008) 2.1.3. Gejala-gejala Tuberkulosis

Gejala klinis pasien Tuberkulosis Paru menurut Depkes RI (2008), adalah : - Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.

- Dahak bercampur darah. - Batuk berdarah.

- Sesak napas. - Badan lemas.

- Nafsu makan menurun.

- Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik. - Demam meriang lebih dari satu bulan.

(25)

2.1.4. Penemuan Pasien Tuberkulosis

1. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Orang Dewasa

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.

Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan Tuberkulosis. Penemuan dan penyembuhan pasien Tuberkulosis menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat Tuberkulosis, penularan Tuberkulosis di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan Tuberkulosis yang paling efektif di masyarakat.

Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien Tuberkulosis. Pemeriksaan terhadap kontak pasien Tuberkulosis, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif. 2. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Anak

(26)

aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks. (Depkes RI, 2008).

2.1.5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe PasienTuberkulosis Paru 1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam :

1. Tuberkulosis paru BTA positif.

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif.

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif.

Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi :

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative.

(27)

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru

Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :

a. Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kambuh (Relaps)

Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Pengobatan setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

(28)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Lain-lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.1.6. Cara Penularan Tuberkulosis

(29)

Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Menurut Azwar (1990), peranan faktor lingkungan sebagai predisposing artinya berperan dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab dalam daerah yang endemis terhadap penyakit Tuberkulosis.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

Menurut Depkes RI (2008), risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien Tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar dari pasien Tuberkulosis Paru dengan BTA negatif.

Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular Tubekulosis adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah).(Widoyono, 2008)

Angka risiko penularan infeksi Tuberkulosis setiap ditunjukan dengan

Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi Tuberkulosis selama satu tahun. ARTI di Indonesia sebesar 1-3% yang berarti di antara 100 penduduk terdapat 1-3 warga yang terinfeksi Tuberkulosis. Setengah dari mereka BTAnya akan positif (0,5%). (Depkes RI, 2008)

(30)

dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi Tuberkulosis menjadi sakit Tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunity), seperti Tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.(Depkes RI, 2008)

Menurut Amin, Alsagaf dan Saleh yang dikutip Rajagukguk (2008), faktor-faktor yang erat hubungannya dengan infeksi basil Tuberkulosis adalah :

a. Harus ada sumber penularan

b. Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi, cukup banyak dan terus menurus.

c. Virulensi (keganasan) basil.

d. Daya tahan tubuh yang menurun sehingga memungkinkan basil Tuberkulosis berkembang biak.

Menurut Depkes RI (2008) Faktor risiko kejadian Tuberkulosis, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:

Bagan 2.1

Faktor Risiko Kejadian Tuberkolosis Paru

transmisi

●Diagnosis tepat

Jumlah kasus TB BTA+ dan cepat

Faktor lingkungan: Risiko menjadi TB bila ●Pengobatan tepat

■Ventilasi dengan HIV : dan lengkap

■Kepadatan ● 5-10% setiap tahun ●Kondisi kesehatan

■Dalam ruangan ● >30% lifetime mendukung

Faktor Perilaku

10%

HIV (+)

TERPAJAN

INFEK

SI

TB

SEMBUH

(31)

Kosentrasi Kuman ■Keterlambatan diagnosis

Lama Kontak dan pengobatan

■Malnutrisi ■Tatalaksana tak memadai

■Penyakit DM, ■Kondisi kesehatan

Immuno-supresan

Sumber: Depkes RI, (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis

● Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati menurut Depkes RI, (2008) Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun akan :

50% meninggal

25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

2.1.7. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru

Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit.

Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau tuan rumah (host) dan faktor lingkungan (environment).

Pencegahan Tuberkulosis yang utama bertujuan memutus rantai penularan yaitu menemukan pasien Tuberkulosis paru dan kemudian mengobatinya sampai benar-benar sembuh.

Cara pencegahan dan pemberantasan Tuberkulosis secara efektif diuraikan sebagai berikut :

1. Melenyapkan sumber infeksi, dengan : a. Penemuan penderita sedini mungkin.

(32)

2. Memutuskan mata rantai penularan.

3. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis paru. Untuk memberantas penyakit Tuberkulosis paru kita harus mampu mempengaruhi unsur-unsur seperti manusia, perilaku dan lingkungan serta memperhitungkan interaksi dari ketiga unsur tersebut.

Menurut Rajagukguk (2008), yang mengutip penelitian Entjang keberhasilan usaha pemberantasan Tuberkulosis paru juga tergantung pada :

a. Keadaan sosial ekonomi rakyat.

Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular Tuberkulosis.

b. Kesadaran berobat si penderita

Kadang-kadang walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa sakit, sehingga tidak mau mencari pengobatan.

c. Pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat pada umumnya tentang penyakit Tuberkulosis.

Makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit Tuberkulosis untuk dirinya, keluarga dan masyarakat sekitarnya makin besar pula bahaya si penderita sebagai sumber penularan penyakit, baik dirumah maupun tempat pekerjaannya untuk keluarga dan orang disekitarnya.

(33)

Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis, maupun sosial yang berada disekitar manusia serta pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia.

Unsur-unsur lingkungan sebagai berikut : 2.2.1. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia yang bersifat tidak bernyawa misalnya air, tanah, kelembaban udara, suhu, angin, rumah dan benda mati lainnya.

2.2.2. Lingkungan Biologi

Lingkungan biologi adalah segala sesuatu yang bersifat hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme.

2.2.3. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang mengatur kehidupan manusia dan usaha-usahanya untuk mempertahankan kehidupan seperti pendidikan pada tiap individu, rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis pekerjaan, jumlah penghuni dan keadaan ekonomi.

2.2.4. Lingkungan Rumah

(34)

2.3. Perumahan Sehat

Menurut Winslow dan APHA yang dikutip oleh Suyono dan Budiman (2011), perumahan yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memenuhi kebutuhan fisiologis, memenuhi kebutuhan psikologis, mencegah penularan penyakit, dan mencegah terjadinya kecelakaan.

2.3.1. Persyaratan Rumah Sehat

Rumah sehat menurut Winslow dan APHA yang dikutip oleh Suyono dan Budiman (2011), menetapkan fungsi pokok pembangunan rumah sebagai tempat tinggal yang sehat, sebagai berikut :

a. Perumahan yang sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis :

1. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu).

2. Penghawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses penggantian udara dalam ruangan.

3. Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun dalam rumah (termasuk radiasi).

(35)

1. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya (privacy), tidak terganggu oleh anggota keluarga dalam rumah maupun oleh tetangga atau orang lewat.

2. Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.

3. Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak terlalu ada perbedaan tingkat yang ekstrem di lingkungannya. Misalnya tingkat ekonomi.

4. Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.

5. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan umur dan jenis kelaminnya. Orangtua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu kamar. Anak di atas 10 tahun dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Anak umur 17 tahun ke atas diberi kamar sendiri.

6. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk terjaminnya keleluasaan bergerak, bernapas dan untuk memudahkan membersihkan lantai.

7. Ukuran ruang tidur anak yang berumur ≤ 5 tahun sebesar 4,5 m³, dan yang umurnya 5 tahun adalah 9 m³. Artinya dalam satu ruangan anak yang berumur 5 tahun kebawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 1,5 x 1 x 3 m³, dan diatas 5 tahun menggunakan ruangan 3 x 1 x 3 m³.

8. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan.

9. Hewan/ternak yang akan mengotori ruangan dan ribut/bising hendaknya dipindahkan dari rumah dan dibuat kandang tersendiri dan mudah dibersihkan. c. Perumahan juga harus mampu mencegah penularan penyakit :

(36)

2. Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk dan lalat), tikus dan binatang lainnya bersarang di dalam atau di sekitar rumah.

3. Pembuangan kotoran (tinja) dan air limbah memenuhi syarat kesehatan. 4. Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.

5. Luas kamar tidur maksimal 3,5 m² per orang dan tinggi langit-langit maksimal 2,7 m. Ruangan yang terlalu luas akan menyebabkan mudah masuk angin, tidak nyaman secara psikologis (gamang), sedang apabila terlalu sempit akan menyebabkan sesak napas dan memudahkan penularan penyakit karena terlalu dekat kontak.

6. Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih dan bebas dari pencemaran atau gangguan serangga (lalat, semut, lipas dll) dan tikus serta debu.

d. Perumahan harus memenuhi keamanan untuk terjadinya kecelakaan. 2.3.2. Sanitasi Perumahan dan Hubungannya dengan Tuberkulosis Paru

Menurut Departemen Kesehatan RI (1997), sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit untuk melenyapkan, mengendalikan faktor-faktor lingkungan yang merupakan mata rantai penularan penyakit.

(37)

Jadi berdasarkan kedua definisi diatas, disimpulkan inti dari sanitasi adalah pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan untuk menghindari penularan penyakit dari satu orang kepada orang lain.

Bila dihubungkan dengan perumahan sebagai faktor lingkungan, sanitasi tersebut meliputi kegiatan usaha yang sasarannya adalah segala aspek yang berkaitan dengan rumah sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan penghuninya.

Penyehatan perumahan dan lingkungan perlu dilakukan karena erat kaitannya dengan masalah kesehatan masyarakat. Untuk menunjukkan bahwa kondisi perumahan yang tidak sehat sangat berpengaruh dalam penularan penyakit dilihat dari data-data penelitian yang sudah ada.

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1980 didapatkan hasil sebagai berikut :

1. 35,8% rumah tidak mempunyai kamar tidur terpisah.

2. 34% rumah mempunyai lubang penghawaan, pencahayaan, lantai, dinding dan atap yang buruk.

(38)

Hal diatas menunjukkan betapa besar pengaruh sanitasi perumahan terhadap kejadian penularan penyakit Tuberkulosis, begitu juga untuk penyakit menular lainnya apabila rumah tersebut tidak memenuhi syarat sanitasi.

Di daerah-daerah pedesaan, masalah perumahan masih banyak yang belum memenuhi syarat kesehatan sedangkan di kota-kota sudah ada kemajuan, tetapi di berbagai tempat masih terdapat perumahan yang sama sekali tidak memenuhi persyaratan kesehatan, yang sering disebut dengan daerah kumuh (slum area).

Menurut Reksosoebroto (1978) yang dikutip oleh Rajagukguk (2008), perumahan yang tidak sehat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a. Taraf sosial ekonomi yang masih rendah b. Kurangnya pengertian tentang kesehatan

c. Sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat d. Kepadatan penghuni (over crowding)

e. Konstruksi bangunan yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan

Perumahan yang tidak memenuhi persyaratan fisik akan menimbulkan gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya dengan penyebaran penyakit Tuberkulosis paru adalah luas ruangan, ventilasi, konstruksi lantai dan pencahayaan sinar matahari yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.

2.3.3. Luas Ruangan

Rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan psikologis meliputi privacy

(39)

meliputi konstruksi yang baik dan memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang baik (Reksosoebroto, 1978).

Salah satu syarat konstruksi yang harus diperhatikan sehubungan dengan penyakit Tuberkulosis Paru adalah luas ruangan rumah. Ada dua pendapat yang representatif yang dikutip oleh James and Parkinson (1976) yaitu yang pertama ukuran luas ruangan suatu perumahan erat kaiatannya dengan terjadinya Tuberkulosis Paru.

Pendapat kedua dikemukakan oleh Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru Brandbury yang membuat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian Tuberkulosis Paru paling besar diakibatkan keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya.

Ruangan suatu rumah juga berperan dalam meningkatkan jumlah bakteri, hal ini terjadi apabila terdapat sumbernya misalnya adanya penderita Tuberkulosis Paru, sehingga kondisi ruangan yang memang mendukung perkembangan bakteri dan mikroorganisme lain akan menyebabkan jumlah bakteri juga mengalami peningkatan jumlahnya yang membawa resiko bagi orang lain.

Menurut “ Regional Housing Centre “ seperti yang dikutip oleh Reksosoebroto (1978), suatu bangunan harus memenuhi ukuran luas yang layak (dengan perhitungan untuk setiap keluarga yang terdiri dari 5 anggota rata-rata).

(40)

Penyebaran penyakit menular seperti Tuberkulosis Paru cepat sekali terjadi pada rumah yang padat penghuninya.

Luas bangunan yang optimum menurut Notoatmodjo (1997) adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3 m² untuk tiap orang anggota keluarga. Menurut Lubis (1985) over crowing suatu perumahan apabila kondisi rumah terhadap jumlah penghuni sebagai berikut :

a. Dua individu dari jenis kelamin berbeda dan usia diatas 10 tahun yang bukan suami isteri, tidur dalam satu kamar.

b. Jumlah penghuni dibandingkan dengan luas lantai melebihi ketentuan yang ditetapkan.

Di Indonesia ketentuan mengenai kepadatan hunian ruang tidur oleh keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun.

2.3.4. Ventilasi

Menurut Suyono dan Budiman (2011), hawa segar diperlukan untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara bebas mempunyai susunan unsur :

1. Oksigen (zat asam) 20,7% 2. Nitrogen (zat lemas) 78,8%

(41)

5. Ozon (O ), amoniak (NH ), hidrogen (H2) dan lain-lain.

Suatu ruangan yang terlalu padat penghuninya dapat memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan para penghuni rumah tersebut, untuk itu pengaturan sirkulasi udara sangat diperlukan.

Pengadaan ventilasi menurut Salvato yang dikutip oleh Lubis (1985) dalam Rajagukguk (2008) adalah untuk menyediakan udara segar dan melenyapkan udara jenuh, tapi tidak ada sangkut pautnya dengan komposisi kimia, namun ia tetap menghubungan dengan pencegahan terjadinya akumulasi gas-gas beracun dan mikroorganisme di ruangan.

Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan mengakibatkan perasaan sesak, pengap, cepat lelah dan keaktifan menurun. Hal ini disebabkan oleh peningkatan suhu udara yang dikeluarkan oleh tubuh dan tertahan di dalam ruangan, tidak adanya pergerakan udara serta kelembaban yang tinggi akibat uap air yang dilepaskan oleh paru-paru.

Keadaan ini dapat diatasi dengan menggerakkan udara dalam ruangan, misalnya dengan kipas angin atau dengan membuat ventilasi. Tidak adanya ventilasi yang baik di suatu ruangan akan semakin membahayakan kesehatan jika didalam ruangan tersebut terdapat penderita Tuberkulosis Paru.

(42)

C sudah cukup segar. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m³/orang/jam, kelembaban udara sekitar 60% optimum.

Ventilasi udara dalam ruangan harus memenuhi syarat lain di antaranya : 1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan, selain itu luas

ventilasi insidentil (buka dan tutup) minimum 5% luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai. Ukuran luas ini diatur sedemikian rupa agar udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.

2. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak tercemar gas atau asap dari pembakaran sampah, pabrik, knalpot kendaraan, asap rokok, debu, dll.

3. Aliran udara jangan membuat orang masuk angin, untuk ini jangan menempatkan tempat tidur atau tempat duduk persis pada aliran udara, misalnya di depan jendela atau pintu.

4. Aliran udara mengikuti aturan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan/berseberangan antara 2 dinding ruangan. Aliran udara ini jangan terhalang oleh barang-barang besar seperti lemari, dinding sekat dan lain-lain.

5. Kelembaban udara jangan sampai terlalu tinggi (menyebabkan orang berkeringat) dan jangan terlalu rendah (menyebabkan kulit kering, bibir pecah-pecah dan hidung sampai berdarah).

(43)

Beberapa pendapat para ahli yang dikutip oleh Lubis (1985) dalam Rajagukguk (2008), tentang kondisi paling baik terhadap temperatur kelembaban dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1. Persyaratan Temperatur dan Kelembaban Perumahan

Pendapat dari : Temperatur (ºC) Kelembaban (%) Mac Nall

Joseph Lubart ASHRAE

22,7 – 25 20 – 24,4

25,5 dengan ventilasi ± 17,1 ºC

20 - 60 10 – 50

70 Sumber : Lubis (1985), Perumahan Sehat

Macam ventilasi adalah ventilasi alami dan ventilasi buatan. Ventilasi alami misalnya dengan memasang jendela dan lobang-lobang angin serta menggunakan bahan-bahan untuk dinding, lantai yang berpori-pori.

Ventilasi buatan diperlukan untuk membantu fungsi dari ventilasi alami yang kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik, sehingga kebersihan udara, kelembaban, temperatur, kecepatan angin dan pergantian udara tidak dapat diatasi.

Ventilasi buatan yang kita kenal di antaranya sebagai berikut :

1. Fan (kipas angin), perputaran baling-baling menghasilkan pergerakan udara ke depan. Semakin cepat baling-baling diputar, semakin deras angin yang dihasilkan. Penggunaan kipas angin dapat menimbulkan masuk angin bagi yang tidak tahan. 2. Exhauster/exhaust fan, prinsip kerjanya hampir sama dengan fan, namun

(44)

ruangan melalui lubang udara lain di seberang exhauster tersebut. Exhauster dapat juga menyedot udara dari luar dan menekan udara kotor keluar ruangan melalui lubang udara di seberangnya. Ada jenis lain dari exhauster fan ini dipasang pada lanit-langit atau plafon disebut ceiling fan.

3. Air conditioned (AC). Prinsip kerja AC adalah mengisap udara dalam ruangan, disaring dan didinginkan kemudian disemprotkan kembali ke dalam ruangan dengan temperatur yang dapat disesuaikan melalui tombol mekanik atau melalui

remote control. 2.3.5. Lantai

Perkembangbiakan mikroorganisme pada ruangan rumah juga dipengaruhi oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah juga dipengaruhi oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah biasanya hanya berupa tanah atau batu bata yang langsung diletakkan diatas tanah, sehingga kelembabannya sangat tinggi dan pada musim panas dapat menyebabkan udara berdebu.

Umumnya masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di daerah pedesaan belum memperhatikan kondisi perumahan khususnya kondisi lantai yang biasanya hanya berupa tanah saja.

(45)

Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat mengundang berbagai serangga dan tikus untuk bersarang, demikian juga kotoran yang melekat padanya. Biasanya tanah dan debu banyak mengandung mikroorganisme berbahaya antara lain kuman Tuberkulosis.

Lantai perumahan yang dipersyaratkan di Indonesia seperti telah ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan Umun adalah : tidak mudah aus, kedap air, mudah dibersihkan, tidak lentur, tidak mudah terbakar dan harus memenuhi normalisasi serta peraturan yang berlaku.

2.3.6. Pencahayaan Sinar Matahari

Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup. Karena suatu rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya yang cukup, selain dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat mendatangkan penyakit.

Sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan di dalam suatu ruangan rumah terutama ruangan tidur, khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembang biakan kuman tuberkulosis dan kuman penyakit lainnya.

(46)

penyakit tertentu, misalnya untuk membunuh bakteri adalah cahaya dengan panjang gelombang di bawah 4000 A yakni sinar ultra violet (Azwar,1990).

Cahaya matahari ini berguna selain untuk penerangan, juga dapat mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman penyakit tertentu seperti TBC, Influensa, penyakit mata dan lain-lain. (Sanropie, et.al, 1989).

Cara dalam mengupayakan masuknya sinar matahari ke ruangan rumah, dapat dilakukan dengan membuat jendela kaca, pintu kaca, dinding kaca dan genteng kaca. Pencahayaan yang baik adalah terang dan tidak silau sehingga dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal. (Depkes, 2002).

2.4. Perilaku

Lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan, dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan. (Notoatmodjo, 1993).

Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatar belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni :

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

(47)

c. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors) meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Juga undang-undang dan peraturan.

Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.

Bagan 2.2 Skema

Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesehatan

Keturunan

Pelayanan Status Lingkungan

Kesehatan Kesehatan

Perilaku

Proses Perubahan

Predisposting Enabling Factors Reinforcing Factor Factors (ketersediaan sumber- (sikap dan perilaku (pengetahuan,sikap Sumber/fasilitas) petugas) kepercayaan, tradisi,

nilai,dsb)

Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat Training

(48)

Pendidikan Kesehatan (Promosi Kesehatan)

Sumber : Notoatmodjo (2003), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan

 

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri yang mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan internal seperti berpikir, persepsi dan emosi. (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Menurut Becker (1979) perilaku kesehatan berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi dan sebagainya.

Benyamin Bloom (1908) membagi perilaku ke dalam tiga domain pendidikan yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotor. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, ketiga domain ini diukur dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

2.4.1. Pengetahuan (Knowledge)

(49)

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan bersifat langgeng. Sebaliknya perilaku yang tidak didasari pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama. Ada enam tingkatan pengetahuan yakni :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan sebagainya.

(50)

Memahami diartikan sebagi suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen, tetapi masih didalam suatu stuktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

(51)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau kriteria yang telah ada.

2.4.2. Sikap (Attitude)

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup suatu stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Newcomb seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)

Ketiga komponen ini membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni ; 1. Menerima (Receiving)

(52)

2. Merespons (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti menerima ide tersebut.

3. Menghargai

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah sikap yang paling tinggi.

2.4.3. Praktek atau Tindakan (Practise)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior) sehingga diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan dukungan berbagai pihak.

Tingkatan-tingkat tindakan : 1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah praktek tingkat pertama.

(53)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

3. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4. Adaptasi (Adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

(54)

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Lingkungan Fisik Rumah : - Luas ruangan - Ventilasi - Lantai - Pencahayaan

Keterangan:

______ :Variabel diteliti ---: Variabel tidak diteliti

2.6. Hipotesis Penelitian

‐ Pengetahuan Kejadian Tuberkulosis

Paru

Karakteristik : - Umur

- Jenis kelamin - Pendidikan - Pekerjaan - Penghasilan

‐ Sikap

‐ Tindakan

- Pengukuran kondisi fisik rumah

(55)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:

Ha : Ada hubungan pengetahuan, sikap dan tidakan tentang lingkungan fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu.

Ho : Tidak ada hubungan pengetahuan, sikap dan tidakan tentang lingkungan fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu.

(56)

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian menggunakan metode survey yang bersifat analitik dengan desain Cross sectional study yaitu untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah terhadap kejadian Tuberkulosis Paru serta pemeriksaan lingkungan fisik rumah di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara yang terdiri dari 4 Desa tahun 2010 dan tahun 2011.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah dimulai bulan Nopember 2010 sampai dengan bulan Juli 2011.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah seluruh masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu tahun 2010 sebanyak 3268 keluarga.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara simple random sampling

(57)

Paru dan diambil dengan menggunakan rumus yang dikemukakan Vicent (1991), yaitu sebagai berikut :

N.Zc2.p.(1 – p) n =

NG2 + Zc2.p.(1 – p)

Keterangan :

Zc = Nilai derajat kepercayaan 95% = 1,96 P = Proporsi dari populasi ditetapkan p = 0,5 G = Galat pendugaan = 0,1

N = Besar populasi = 3268 keluarga n = Besar sampel

Dengan perhitungan

3268.(1,96)2.0,5.(1 – 0,5)

n =

3268.(0,1)2 + 1,962.0,5(1 – 0,5)

n= 3138,6/33,6 = 93,3

n= 93 keluarga

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

a. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara kepada responden yang di rumah tersebut ada penderita Tuberkulosis Paru dan tetangga yang bertempat tinggal disekitarnya dengan menggunakan kuesioner.

b. Melakukan observasi dan pengukuran terhadap lingkungan fisik rumah penderita Tuberkulosis Paru dan tetangga yang bertempat tinggal di sekitarnya.

(58)

Data sekunder diperoleh dari register Tuberkulosis Paru Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu di wilayah penelitian.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Penelitian

Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian Tuberkulosis Paru. Pengukuran kondisi fisik rumah dan observasi terhadap sanitasi perumahan merupakan variabel pendukung penyebab kejadian Tuberkulosis Paru.

3.5.2. Definisi Operasinal

Definisi operasional yang dibuat tentang batasan-batasan dari istilah yang dipakai dalam penulisan, yaitu :

1. Penderita Tuberkulosis Paru adalah orang yang menderita penyakit Tuberkulosis Paru yang terdaftar dalam register TB Paru di Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu tahun 2010.

2. Responden adalah orang yang tinggal di sekitar rumah atau tetangga penderita Tuberkulosis Paru dan orang yang tinggal di rumah tersebut ada penderita Tuberkulosis Paru ataupun penderita itu sendiri di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu tahun 2010.

(59)

5. Pendidikan adalah tingkat/jenjang pendidikan formal yang terakhir ditamatkan oleh responden mulai dari SR/SD sampai dengan Perguruan Tinggi.

6. Pekerjaan adalah sumber mata pencarian yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup responden.

7. Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama maupun tambahan (dalam rupiah) yang dikategorikan berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Labuhan Batu = Rp. 1.050.000,- yang dikategorikan :

1. Rendah (< Rp. 1.050.000,-)

2. Sedang (Rp. 1.050.000,- – Rp.2.000.000) 3. Tinggi (> Rp.2.000.000,-)

8. Lingkungan fisik rumah adalah keadaan bagian-bagian dari rumah responden yang diperkirakan ikut berperan dalam penularan penyakit Tuberkulosis Paru, yaitu luas ruangan, ventilasi, lantai, kelembaban dan pencahayaan.

9. Kepadatan hunian ruangan tidur adalah luas ruangan minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

Gambar

Tabel 2.1. Persyaratan Temperatur dan Kelembaban Perumahan
Tabel 4.1. Distribusi Pengetahuan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik
Tabel 4.2.  Kategori  Pengetahuan Masyarakat tentang  Faktor Lingkungan
Tabel 4.3.     Distribusi Sikap Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berjudul “ Konsep dan Capaian Estetis Tale dalam Pertunjukan Seruling Bambu di Kabupaten Kerinci, Jambi ”, bertujuan.. mengetahui konsep tale dalam

Chubb tidak bertanggung jawab atas Ganti Rugi, Ganti Rugi Pemerasan Cyber, Kerugian Gangguan Usaha atau Ongkos akibat Klaim yang langsung atau tidak langsung disebabkan

Apabila keempat elemen tersebut dapat dilaksanakan dalam prakteknya memproduksi barang maupun jasa, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan promosi itu dilakukan

Pada variabel pendapatan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap intensi muzakki, yang artinya pendapatan yang

JUDUL : DIES NATALIS KE-71 DAN TEMU ALUMNI FK UGM MEDIA : KEDAULATAN RAKYAT. TANGGAL : 07

Melaksanakan pengendalian dengan cara mengamati terus menerus proses produksi dan proyek untuk menjamin agar sesuai jadwal dan mutu yang telah ditetapkan.. Mengumpulkan data

Pada penelitian ini motivasi berperan sebagai variabel intervening dalam mempengaruhi hubungan antara partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial, hal ini dibuktikan

Penjelasan untuk grafik hubungan diatas, lebih lengkapnya dapat dilihat pada grafik – grafik berikut ini : 4.4.1 Grafik Hubungan Antara Daya dan Torsi Untuk Kincir Angin dengan