• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pemeriksaan Dan Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Di Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Proses Pemeriksaan Dan Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Di Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi Tugas-tugas dan memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Oleh :

DESI APRIGUNA SINGARIMBUN

080221004

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

(2)

PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI

ABSTRAK

Desi Apriguna Singarimbun *) Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS **) Suria Ningsih, SH, M.Hum.***)

Dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 dan dengan adanya Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara kita telah selangkah lebih maju dalam usaha melengkapi dan menyempurnakan sistem Peradilan di negara Hukum kita. Karena salah satu unsur dari Negara hukum telah terpenuhi. Kekuasaan penguasa atau pemerintah harus dibatasi dalam arti terkontrol, sehingga hak-hak asasi warga Negara terlindungi dari kemungkinan tindakan sewenang-wenangan penguasa atau pemerintah.

Sebagai suatu Negara Hukum harus ada suatu lembaga yang diberi tugas dan kewenangan untuk menyatakan dengan suatu putusan apakah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah itu berdasarkan atas hukum atau tidak. Di mana lembaga yang dimaksud tidak lain adalah Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara.Konsekuensi negatif dari peran pemerintah adalah dengan munculnya sejumlah penyimpangan seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang {detournement de pouvoir}, pelampauan batas kekuasaan {exces de pouvoir}, sewenang-wenang {willekeur}, pemborosan

{inefficiency}, dan sebagainya.

Perlindungan hukum terhadap rakyat atas tindakan aparatur pemerintah sangatlah penting terlebih adanya sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Sehingga upaya penyelesaian sengketa melalui Peradilan Tata Usaha Negara menjadi salah satu jalur hukum yang mempunyai ciri pembeda dengan penyelesaian masalah pada lembaga Peradilan yang lain. Di samping hal tersebut, keberadaan Peradilan Tata usaha Negara sebagai lembaga Peradilan yang masih baru, tidak tertutup kemungkinan masih adanya hal-hal yang berkaitan dengan lembaga ini yang masih kurang diketahui oleh masyarakat, khususnya menyangkut penyelesaian Sengketa tata usaha Negara.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum **) Pembimbing I

(3)

PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI

KATA PENGANTAR………. i

ABSTRAK……… iii

DAFTAR ISI……… iv

BAB I : PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah .. ... 1

B. Pokok – Pokok Permasalahan,………. 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka……… 7

E. Metode Penelitian………. 8

F. Sistematika Penulisan……… 10

BAB II : TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA……….. 12

A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia……… 12

B. Pelaksanaan Dan Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman…… 15

(4)

BAB III : PERADILAN TATA USAHA DI INDONESIA……… 22

A. Sebelum Berlakunya Undang- Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara………. 22

B. Sesudah Berlakunya Undang- Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara………. 26

C. Kompetensi Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara………….. 28

D. Subjek dan Objek Gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara…... 33

E. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Jambi……. 41

F. Susunan Personalia, Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi…………. 42

BAB IV : PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI……… 48

A. Proses Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi………. 48

B. Hambatan-hambatan Yang Timbul dan Upaya Mengatasinya dalam Proses Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi………. 56

C. Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi……… 67

BAB V : PENUTUP……… 69

A. Kesimpulan………... 69

B. Saran………. 70

(5)

OUTLINE

PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI

Oleh :

DESI APRIGUNA SINGARIMBUN 080221004

KETUA DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

SURIA NINGSIH, S.H., M.HUM NIP. 1960021419870320002

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., MS Suria Ningsih, S.H., M.Hum NIP. 195409121984031001 NIP. 1960021419870320002

FAKULTAS HUKUM

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI

PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI Nama : DESI APRIGUNA SINGARIMBUN

NIM : 080221004

Pembimbing Penguji

Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., MS Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., MS

Suria Ningsih, S.H., M.Hum Suria Ningsih, S.H., M.Hum

Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

Hemat Tarigan, SH, M.Hum

Desi Apriguna Singarimbun

FAKULTAS HUKUM

(7)

PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI

ABSTRAK

Desi Apriguna Singarimbun *) Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS **) Suria Ningsih, SH, M.Hum.***)

Dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 dan dengan adanya Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara kita telah selangkah lebih maju dalam usaha melengkapi dan menyempurnakan sistem Peradilan di negara Hukum kita. Karena salah satu unsur dari Negara hukum telah terpenuhi. Kekuasaan penguasa atau pemerintah harus dibatasi dalam arti terkontrol, sehingga hak-hak asasi warga Negara terlindungi dari kemungkinan tindakan sewenang-wenangan penguasa atau pemerintah.

Sebagai suatu Negara Hukum harus ada suatu lembaga yang diberi tugas dan kewenangan untuk menyatakan dengan suatu putusan apakah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah itu berdasarkan atas hukum atau tidak. Di mana lembaga yang dimaksud tidak lain adalah Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara.Konsekuensi negatif dari peran pemerintah adalah dengan munculnya sejumlah penyimpangan seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang {detournement de pouvoir}, pelampauan batas kekuasaan {exces de pouvoir}, sewenang-wenang {willekeur}, pemborosan

{inefficiency}, dan sebagainya.

Perlindungan hukum terhadap rakyat atas tindakan aparatur pemerintah sangatlah penting terlebih adanya sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Sehingga upaya penyelesaian sengketa melalui Peradilan Tata Usaha Negara menjadi salah satu jalur hukum yang mempunyai ciri pembeda dengan penyelesaian masalah pada lembaga Peradilan yang lain. Di samping hal tersebut, keberadaan Peradilan Tata usaha Negara sebagai lembaga Peradilan yang masih baru, tidak tertutup kemungkinan masih adanya hal-hal yang berkaitan dengan lembaga ini yang masih kurang diketahui oleh masyarakat, khususnya menyangkut penyelesaian Sengketa tata usaha Negara.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum **) Pembimbing I

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan Negara Hukum yang

berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. berdasarkan pada

perkembangan, Negara Hukum maksudnya adalah Negara hukum yang menganut

faham moderen. Menurut Muchsan, SH :

“Dalam Negara Hukum modren fungsi pemerintah tidak hanya terbatas pada penjaga ketertiban saja(nachswakerstaat), akan tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mensejahterakan rakyat (Negara dengan tipe walfare state)” 1

1. Salah satu dari sila Pancasila sebagai falsafah Negara (sila kelima) adalah

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini berarti tujuan Negara

adalah menuju kepada kesejahtraan rakyat.

Republik Indonesia merupakan salah satu Negara yang bertipe Walfare state,

hal ini terbukti dari :

2. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat disebutkan bahwa tujuan

pembentukan Negara Indonesia adalah...mencerdaskan kehidupan bangsa

dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

Sehubungan dengan dianutnya konsepsi dari walfare state, maka yang

menjadi konsekuensinya adalah kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah untuk

1

(9)

campur tangan dalam masyarakat semakin luas. Kewenangan yang dimiliki oleh

pemerintah tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang bertujuan

meewujudkan kewenangan pemerintah yang jelas dan menciptakan tata kehidupan

bernegara dan berbangsa yang tentram, aman, sejahtera dan transparansi.

Dalam rangka melaksanakan pembangunan dalam bermasyarakat dan

bernegara maka terdapat hubungan hukum antara pemerintah dan warga masyarakat

yang mana hubungan hukum tersebut dapat bersifat hukum publik maupun hukum

keperdataan.

Jika timbul sengketa antara warga masyarakat dan pemerintah selaku

penyelenggara Negara, khususnya dengan badan ataupun pejabat Tata usaha Negara,

maka hal ini akan dapat menyebabkan terganggunya ketentraman dan ketertiban

dalam bermasyarakat. Untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul maka,

diperlukan adanya suatu badan Peradilan yang merdeka dan bebas dari tekanan dan

intervensi dari pihak manapun.

Sebagai Landasan yuridis adanya suatu Badan Peradilan yang merdeka di

Indonesia telah dijamin dalam Pasal 24 Undang undang Dasar 1945 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi sebagai berikut :

Ayat (1) : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

Ayat (2) : Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan

(10)

Dalam memenuhi ketentuan Pasal tersebut, maka realisasinya kemudian

pemerintah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35

Tahun 1999 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal

10 ayat (1) Undang0undang Nomor 14 Tahun 1970 ditentukan bahwa kekuasaan

Kehakiman dilakukan oleh berbagai lingkungan badan Peradilan, yaitu :

1. peradilan Umum

2. peradilan Agama

3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara

Dari keempat Badan Peradilan tersebut kesemuanya berpuncak pada Mahkamah

Agung yang merupakan Badan Peradilan tertinggi yang ada di Indonesia.

Untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat terutama

perkara perdata dan perkara pidana, maka badan peradilan umumlah yang berwenang

untuk menyelesaikannya. Sedangkan perkara yang berkaitan dengan hukum islam

diselesaikan melalui Peradilan Agama. Dan perkara yang pelakunya adalah militer

maka diselesaikan perkaranya di Peradilan Militer, sedangkan jika timbul perkara

yang lebih dikenal dengan sengketa antara masyarakat umum dengan pemerintahan

dalam bidang Tata Usaha Negara ataupun lebih kepada kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah maka penyelesaiannya dilakukan oleh Peradilan Tata

Usaha Negara.

Sebelum beroperasinya Peradilan Tata Usaha Negara, pertselisihn yang ada

(11)

diperadilan Umum. Disamping itu ada penyelesaian melalui jalur banding

administratif. Dasar untuk menggugat pemerintah adalah berdasarkan pada Pasal

1365 kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perbuatan melanggar hukum

yang berbunyi :

“tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugan kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu mengganti

kerugian tersebut” 2

2

Prof. R. Subekti, SH. Dan R. Tjitrosidibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Cet. 24 Jakarta: Pradnya Paramita, 1992, hal 288

Dalam prakteknya cara tersebut kurang memuaskan, kaarena dalam hukum

administratif negara dikenal adanya azas”Freis ermessen”, yaitu : suatu azas yang

memberikan suatu kebebasan kepada penyelenggara negara atau pemerintah dan

aparaturnya untuk melakukan suatu tindakan-tindakan yang dianggap dan dipandang

perlu untuk kepentingan umum. Jadi dengan berlakunya azas diskresi ini timbul

kemungkinan-kemungkinan bagi aparatur pemerintah melampaui batasan

kewenangannya dalam bertindak terhadap warga negara.

Penyelesaian sengketa melalui Peradilan Umum tidak memberikan hasil yang

memuaskan bagi masyarakat yang bersengketa Tata Usaha Negara, karena di

Peradilan Umum kedudukan Pemerintah masih lebih tinggi dan dapat menggugat

kembali, serta sering kali Pemerintah yang dimenangkan. Sehingga terbentuklh

Peradilan Tata Usaha Negara guna memberikan perlindungan kepada pencari

keadilan yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu tindakan keputusan Tata Usaha

(12)

Peradilan Tata Usaha Negara bertugas untuk memeriksa, memutuskan dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sesuai dengan maksudnya sengketa itu

merupakan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, yaitu sengketa

antara orang/badan hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Dimana sengeta ini timbul akibat dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara

yang dianggap merugikan Hak orang ataupun Badan Hukum Perdata.

Sejak mulainya pengoperasian Peradilan Tata Usaha Negara khususnya

Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi pada tanggal 3 oktober 1998, telah banyak

gugatan yang masuk. Ini membuktikan bahwa pencari keadilan di Jambi menyambut

baik beroperasinya Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi. Hanya saja walaupun

banyak gugatan yang masuk tetapi banyak yang dicabut atau gugatan Penggugat tidak

dapat dikabulkan. Hipotesanya adalah bahwa masyarakat masih banyak yang belum

memahami dengan baik mengenai fungsi, tugas dan wewenang Pengadilan Tata

Usaha Negara serta cara berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi. Atas

dasar inilah Penulis mengadakan Penelitiaan dan menuangkannya dalam bentuk

skripsi dengan judul : “PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN

(13)

B. Pokok- Pokok Permasalahan

Melalui penelitian ini ditemukan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Prosedur Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Tata Usaha

Negaraa Jambi.

2. Hambatan apa saja yang ditemukan dalam proses pemeriksaan perkara

di Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi.

C. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dilakukannya Penelitian ini oleh Penulis adalah sebagai

berikut :

1. Agar dapat memahami cara berperkara dalam praktek di Pengadilan Tata

Usaha Negara Jambi.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dan upaya

mengatasinya dalam memeriksa, memutuskan dan serta menyelesaikan

gugatan yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi dan upaya

untuk mengatasinya.

Sedangkan tujuan dilakukannya penulisan skripsi ini oleh Penulis adalah

sebagai berikut :

1. Untuk melengkapi persyaratan dalm studi pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui gambaran secara menyeluruh tentang proses

pemeriksaan dan penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara pada

(14)

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka ini memiliki tujuan agar permasalahan yang diungkapkan

dapat lebih dimengerti serta sebagai acuan untuk menemukan teori serta

mendukung pembahasan dalam skripsi ini.

Proses, adalah urutan pelaksanaan ata

atau didesain, mungkin menggunaka

lainnya, yang menghasilkan suatu hasil.

Pemeriksaan, adalah suatu cara, perbuatan memeriksa dengan mendetail

tentang sesuatu hal.

Penyelesaian, adalah suatu akhir dari sebuah cara, perbuatan, menyelesaikan

sesuatu hal yang sebelumnya adalah merupakan suatu permasalahan

Sengketa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yg

menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan: perkara yg kecil

dapat juga menimbulkan perkara besar

Tata Usaha Negara adalah adalah merupakan kaidah, aturan, dan susunan;

cara menyusun; sistem administrasi kenegaraan yang berkaitan dengan

masyarakat

Pengadilan, adalah sebua

ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian

(15)

E. Metode Penelitian

Adapun yang menjadi metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam Penelitian ini Penulis Menggunakan spesifikasi penelitian yang

bersifat Deskriptif, yaitu yang menggambarkn ketentuan-ketentuan yang ada

dalam Undang-undang yang berlaku serta dikaitkan dengan praktek

pelaksanaan nya dilapangan.

2. Metode Pendekatan

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini berbentu normatif dengan metode

pendekatan “in concreto” yang artinya melihat atau menemukan ketentuan

Perundang-undangan dalam kaitannya dengan praktek.

3. Sumber Data.

Yang menjadi sumber data yang digunakan oleh Penulis adalah sebagai

berikut :

a. Sumber Data Kepustakaan, yaitu berupa buku-buku atau

peraturan-peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Peradilan Tata Usaha

Negara.

b. Sumber Data Lpangan, yaitu data yang diperoleh penulis dari Lapangan

terhadap proses pemeriksaan perkara yang ada di Peradilan Tata Usaha

(16)

4. Tehnik Pengumpulan Data

Adapun tehnik yang digunakan penulis dalam pengumpulan data pembuatan

skripsi ini adalah dengan melakukan wawancara, yaitu dengan mengadaan

tatap muka langsung dan mengadakan Tanya jawab terhadap pejabat terkait

guna mendapatkan data-data yang diperlukan penulis untuk menyelesaiakn

penelitian yang sesuai dengan judul skripsi Penulis

5. Analisis Data

Penulis menganalisa data yang diperoleh secra kualitatif, yaitu data yang

diperoleh disusun secara sistematis dan dianalisa berdasarkan peraturan

perundang-undangn yang terkait dengan penulisan skripsi, sehingga

ddiperoleh suatu kebenaran yang akan dimuat dalam penulisan skripsi.

Sedangkan Metode Penarikan Kesimpulan atas Penelitian dilakukan

dengan cara sebagai berikut :

a. Metode Deduktif, yaitu penarikan Kesimpulan dari data yang diperoleh

yang bersifat umum ke suatu kesimpulan yang sifatnya lebih khusus

b. Metode Induktif, yaitu penarikan suatu kesimpulan dari data yang

(17)

F. Sistematika Penulisan

Dalam Penulisan Skripsi ini, Penulis membaginya dalam Lima Bab, dimana

tiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan yang penulis

maksudkan adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam pendahuluan ini penulis membaginya menjadi enam sub bab

yaitu : Latar Belakang Masalah, Pokok – Pokok Permasalahan, Tujuan

Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Bab II ini terdiri dri tiga sub bab, yaitu : Arti Kekuasaan Kehakiman

Di Indonesia, Pelaksanaan Dan Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman

dan yang ketiga Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara.

BAB III PERADILAN TATA USAHA DI INDONESIA

Bab III terdiri dari enam sub bab yang terdiri dari : Sebelum

Berlakunya Undang- Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, Sesudah Berlakunya Undang- Undang No.5 Tahun 1986

Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Kompetensi Mengadili Peradilan

Tata Usaha Negara, Subjek dan Objek Gugatan di Peradilan Tata Usaha

Negara, Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Jambi, dan

terakhir Susunan Personalia, Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pengadilan

(18)

BAB IV PROSES PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI

Bab IV ini terdiri dari Proses Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Tata

Usaha Negara Jambi, Hambatan-hambatan Yang Timbul dan Upaya

Mengatasinya dalam Proses Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Tata Usaha

Negara Jambi, serta sub bab terakhir Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan

Tata Usaha Negara Jambi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab V ini adalah bab yang terakhir dan penutup dimana terdiri

(19)

BAB II

TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia

Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan

Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945. menurut Philipus M. Hadjon dkk., kedua pasal

tersebut mengandung tiga kaidh hokum, yaitu:

1. Bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh badan-badan kehakiman (peradilan) yang berpuncak pada sebuah Mahkamah Agung;

2. Bahwa susunan dn kekuasaan kehakiman itu akn diatur lebih lanjut;

3. Bahwa syarat-syarat untuk menjadi hakim, demikian pula pemberhentiannya juga akan diatur lebih lanjut.3

Dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945

dikemukakan “Kekuasaan Kehakiman ialh kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas

dari pengaruh kekuasaan pemerintah, berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan

dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.” Dari penjelasan tersebut

nyatalah bahwa kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya

tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang sangat

mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor

X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka

Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara menuntut

adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif.

3

Philipus M. Hadjon Et. Al : Pengantar Ilmu Hukum administrasi Indonesia (intoduction To

The Indonesian Administrative Law) Cet. Ketujuh, Gajah Mada uniiversity Press, Bandung 201, hal

(20)

Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang kekuasaan

kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Perubahan pokok dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya mengenai penghapusan campur tangan

kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman (judikatif). Perubahan penting

dalam kekuasaan kehakiman adalah segala urusan organisasi, administrasi dan

finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya berada di

bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara organisatoris,

administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung

berada di bawah departemen.

Kekuasaan Kehakiman yang semula dilakukan oleh Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata

Usaha Negara dengan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian

berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan

Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara, dan oleh sebuah pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut

(21)

Dengan adanya perubahan tersebut, akhirnya undang-undang yang mengatur

tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan pula karena harus

disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar sebagai peraturan yang lebih tinggi agar

peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang

lebih tinggi. Kekuasaan kehakiman yang semula diatur dalam Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

dirubah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian diganti dengan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan karena Undang-Undang ini

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan

menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka

diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman di

Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di

bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,

lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh

(22)

kehakiman diatur dengan peraturan perundang-undangan demi terciptanya dan

terselenggaranya suatu Negara Hukum.

B. Pelaksanaan Dan Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan

kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan,

oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk

berperkara yang baik (general principles of proper justice),4

4

UU No.4 Tahun 2004, Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26. Asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik, yaitu asas kebebasan; asas larangan menolak memeriksa dan mengadili perkara; asas hakim aktif; asas kesamaan; asas penyelesaian perkara secara tuntas; dan asas pengawasan peradilan; (kesimpulan seminar “Pemberdayaan dan tanggungjawab Mahkamah

Agung Republik Indonesia dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri”,

diselenggarakan oleh IKAHI, tanggal 22 Maret 2000 di Jakarta, Varia Peradilan, No.178, Juli 2000, hal.118.

dan peraturan-peraturan

yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya

berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah

keseluruhan rangkaian kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang

individual konkret dan dalam kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang

merdeka, yang dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan

kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan

kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus

konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman

terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan hakim dalam

proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya ini, ada

(23)

tertulis yang disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik (general

principles of proper justice)5

1. azas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan

mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih atau alasan bahwa

hukum kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili; Dengan kata lain, kekuasaan peradilan terikat pada

aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yakni hukum

acara. Dengan demikian aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat

prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan

peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan.

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dalam penyelenggarannya diserahkan

kepada badan peradilan yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24,

dalam pelaksanaan kehakiman yang merdeka yang diartikan bebas dari pengaruh

kekuasaan lain dan dalam penyelenggaraannya dilakukan oleh peradilan dalam

lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan

Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, begitu pula Mahkamah Agung

merupakan Peradilaan Negara tertinggi, penyelenggraan kekuasaan kehakiman oleh

badan peradilan memiliki beberapa prinsip atau azas yang antara lain berbunyi

sebagai berikut :

2. peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan berbiaya ringan;

5

Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26, UU No.4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman; Lihat pula Kesimpulan seminar “Pemberdayaan dan Tanggungjawab

Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri”,

(24)

Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan

kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan

hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan

hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga

individual konkret. 6 Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai

kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap

kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum

dasar negara.7 Dengan demikian dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian

hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada

kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang

berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi

juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan

pemerintah. 8

C. Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan

tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh

kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara

6

Moh. Koesnoe, 1997, Yuridisme Yang Dianut Dalam Tap MPRS No.XIX/1966, Varia Peradilan, No.143 Tahun XII, h.138

7

Paulus Effendie Lotulung, 1999, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam Konteks

Pembagian Kekuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-VII Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, BPHN Departemen Kehakiman, h.156-170.

8

(25)

negara merupakan salah satu badan penyelenggara negara, di samping MPR, DPR,

Presiden dan BPK. Sebagai badan penyelenggara negara, susunan kekuasaan

kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara negara yang lain.

Kekuasaan kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan kekuasaan

kehakiman tingkatan lebih rendah.

Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah dirubah dengan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang

Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam undang-undang ini diatur

susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta tata kerja administrasi

pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan

oleh:

1. Pengadilan Tata Usaha Negara

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Pertama,

Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

berpuncak ke Mahkamah Agung. Pengadilan Tata Usaha Negara

berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi

(26)

Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha Negara

adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha

Negara di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan. Sengketa Tata

Usaha Negara adalah suatu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha

Negara antara orang-orang atau badan hukum perdata dengan badan atau

pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Yang termasuk Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan

tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang

berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan

final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum

perdata. Tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara menurut

undang-undang ini adalah sebagai berikut.

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum

perdata.

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat

umum.

(27)

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan

perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil

pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional

Indonesia.

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah

mengenai hasil pemilihan umum.

Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutus,

dan menyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal yang

disengketakan itu dikeluarkan:

a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau

keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat

(28)

propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pembentukan

Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan dan

mempertimbangkan berbagai faktor baik yang bersifat teknis maupun non

teknis. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan

Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan merupakan

Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan

mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya.

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga berwenang mengadili perkara

pada tingkat pertama terhadap perkara yang telah digunakan upaya

administratif.

(29)

BAB III

PERADILAN TATA USAHA DI INDONESIA

G. Sebelum Berlakunya Undang- Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Di Indonesia sistem peradilan Tata Usaha Negara sebelum berlakunya

Undang-undang No 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara, menurut Prof.

Rochmat Soemitro, SH :

“Di Indonesia Tidak dianut suatu system tertentu, atau dengan perkataan lain Indonesia sesuai dengan Negeri Belanda mengikuti system oppurtunitas. Peradilan administrasi diadakan bila dianggap perlu dan yang sudah pasti ialah bahwa peradilan Administrasi ini diadakan berdasarkan undang-undang.” 9

1. Penyelesaian sengketa melalui jalur intern administrasi yaitu atasan hierarki pejabat yang bersangkutan. Jalur ini lazim dikenal dengan sebutan “Administrative Beroep” atau prosedur pengajuan keberatan.

Sebelum dibentuk dan beroperasinya Peradilan Tata Usaha Negara, untuk

menyelesaikan sengketa antara rakyat dan pemerintah dalam menjalankan

pemerintahan, terutama dalam hokum Publik, menurut Prof. DR. Paulus E. Lotulung,

S.H, dapat melalui beberapa cara yaitu :

2. Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh badan-badan peradilan semu yang sebenarnya secara struktur organisatoris merupakan bagian dari pemerintah

3. Penyelesaian oleh suatu Badan Peradilan yang biasa berupa peradilan Administrasi khusus masalah pajak dan Peradilan Umum. 10

9

Prof. DR. Rochmat Soemitro, SH. Masalah Peradilan Administrasi Dlam hukum Pajak di

Indonesia, Bandung; Eresco, 1970, hal 44 10

(30)

Sejarah Umum Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat dipisahkan dari

campur tangan orang-orang Belanda yang telah menjajah Indonesia dan yang

membawa hukum dari benua Eropa ke Indonesia. Sejarah perkembangan peradilan

tata usaha negara di indonesia dimulai dari masa pemerintahan Hindia Belanda yang

kemudian dilamjutkan oleh pendudukan Jepang, hingga pembentukan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara, jauh setelah

kemerdekaan bangsa Indonesia dan terakhir, diterbitkan Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2004 yang merupakan revisi atas Undang-Undang sebelumnya yang telah

disesuaikan dengan perkembangan masyarakat seiring lengsernya era pemerintahan

Presiden Soeharto atau yang dikenal Orde Baru.

a. Masa pemerintahan Hindia Belanda

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda ini, tidak ada satupun lembaga peradilan

yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa di bidang tata Usaha

Negara. Sengketa Tata Usaha Negara pada saat itu dipegang baik oleh Hakim khusus

yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara Tata Usaha Negara, atau Hakim

Perdata.

Ketentuan-ketentuan yang dipergunakan saat itu adalah pasal 138 Indische

Staatsregeling jo pasal 2 ayat (2) Reglement op de Rechtterlijke Organisatie. Inti dari

kedua pasal tersebut adalah bahwa perkara-perkara yang menurut sifatnya atau

berdasarkan Unang-Undang termasuk dalam kewenangan pertimbangan kekuasaan

administrasi, tetap pada kewenangannya. Pasal-pasal ini menunjukan bahwa sengketa

yang telah ditetapkan sebagai kewenangan lembaga tertentu akan tetap menjadi

(31)

tentang sengketa tata usaha negara dalam pengertian seperti sekarang, tapi hal ini

dapat dianggap sebagai cikal bakal pemikiran dari pembentukan peradilan tata usaha

negara.

b. Masa Pemerintahan Jepang

Dengan ditandatangani Kapitulas Kalijati pada tanggal 8 Maret 1945, menandai

runtuhnya suatu imperium Kerajaan Belanda di Hindia yang telah mencapai usia

ratusan tahun. Pendudukan Jepang di Indonesia antara tahun 1942 dan 1945 lebih

bersifat pendudukan militer dalam rangka Perang Dunia Kedua. Oleh karenanya

pemerintahan Jepang pada saat itu bersifat pemerintahan militer yang tidak banyak

menaruh perhatian pada urusan-urusan sipil.

Dalam melaksanakan pemerintahannya di Indonesia, pemerintah jepang

berpedoman pada Undang-Undang yang disebut Gunseirei. Setiap peraturan yang

diberlakukan demi kepentingan pemerintah Jawa dan Madura dibuat berlandaskan

pada Gunseirei melalui Osamu Seirei yang berlaku secara umum.

Di bidang hukum, diterbitkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942, pasal 3

menyatakan bahwa :

” Semua badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan Undang-Undang dari

pemerintah yang dahulu tetap diakui sah bagi sementara waktu, asal saja tidak

(32)

Berdasarkan hal tersebut maka ketentuan-ketentuan yang tercantum pada Indische

Staatsregeling dan Reglement op de Rechtterlijke Organisatie tetap berlaku pada

masa pemerintahan Jepang.

c. Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Sejak kemerdekaan pada atnggal 17 agustus 1945 hingga tahun 1986, di negara

Indonesia tidak terdapat lembaga peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri.

Perkara-perkara administrasi negara yang terjadi pada kurun waktu tersebut, apabila

bukan sengketa masalah pajak, maka pada umumnya diselesaikan di lingkungan

Peradilan Umum. Perkara-perkara tersebut biasa dikenal sebagai perkara berupa

perbuatan melawan hukm yang dilakukan oleh penguasa (onrechmatige

overheidsdaad). Oleh karena perkara-perkara sebagai perbuatan malawan hukum

maka dasar hukum yang dipergunakannyapun adalah ketentuan pasal 1365 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

Upaya untuk mendirikan suatu lembaga peradilan tata usaha negara yang berdiri

sendiri dimulai pada tahun 1946. saat itu Wirjono Prodjodikoro membuat rancangan

Undang-Undang tentang acara perkara dalam hal tata usaha pemerintahan. Pada tahun

1960, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Ketetapan Nomor

11/MPRS/1960 memerintahkan parwujudan administrasi negara. Perintah tersebut

ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

(33)

Pada tahun 1978, Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Ketetapan Nomor

IV/MPR/1978, menyatakan agar mengusahakan terwujudnya Peradilan tata Usaha

Negara.

Sejak saat itu dilakukan upaya-upaya kearah tercapainya pembentukan lembaga

tersebut yang pada akhirnya yaitu pada tanggal 20 Desember 1986, Dewan

Perwakilan Rakyat secara aklamasi menerima Rancangan Undang-Undang Tentang

peradilan Tata Usaha Negara menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang diundangkan pada

tanggal 29 Desember 1986 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986

Nomor 77.

H. Sesudah Berlakunya Undang- Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-undang No. 5 Tahun 1986 disahkan pada tanggal 29 desember 1986,

tetapi mulai berlaku dan efektif diseluruh Indonesia sejak januari 1991, yaitu sejak

ditetapkannya peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan

Undang-undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Sejalan dengan berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto, maka banyak

hal yang diberlakukan sebagai koreksi atas kekurangan dan penyimpangan yang telah

terjadi. Koreksi tersebt diberlakukan pada semua bidang termasuk bidang hukum,

tidak terkecuali dibidang peradilan tata usaha negara. Untuk itulah maka pada tanggal

(34)

Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata usaha Negara

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan Negara Indonesia merupakan

negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara dan masyarakat yang

tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan serta sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan

ketatanegraaan menurut undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan

oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Terjadinya perubahan yang penting dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

sehingga membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh

perundang-undangan dibidang kekuasaan kehakiman yang dilakukan dalam usaha

memperkuat prinsip kekuasaan kahakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh

kekuasaanlainnya untuk menyelenggarakan peradilan menegakkan hukum dan

(35)

Perubahan atas undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata

Usaha Negara telah meletakan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai

peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan

organisasi, administrasi, dan finansial dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoesia tahun 1945

Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut :

1) Syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara;

2) Batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim; 3) Pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim; 4) Pengaturan pengawasan terhadap hakim;

5) Penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak ketiga dalam suatu sengketa;

6) Adanya sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

I. Kompetensi Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara

Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.11

11

Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 29

Sebagaimana diketahui

berdasarkan Pasal 10 UU No. 14/1970 kita mengenal 4 (empat) lingkungan peradilan,

yakni: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha

negara. Diantara keempat badan peradilan ini masing-masing mempunyai kompetensi

(36)

Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman. Secara konstitusional dan legal formal ketentuan ini ditegaskan dalam

Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang kemudian ditindaklanjuti oleh

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, kompetensi absolut dari

Pengadilan Tata Usaha Negara menurut UU Peradilan Tata Usaha Negara 1986

adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

Sengketa TUN dirumuskan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha

Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya

Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara Keputusan TUN merupakan

suatu ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit,

individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata. Penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada

bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Badan atau Pejabat

TUN adalah Badan atau Pejabat di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan

yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum TUN adalah perbuatan hukum Badan atau

Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan Hukum Tata Usaha Negara yang

dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Bersifat konkret artinya

objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau

(37)

tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Bersifat final artinya sudah

definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.

Dilihat dari penjelasan diatas Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat

dijadikan objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sangat luas.

Namun apabila dilihat pembatasan yang diberikan Uu Peradilan Tata Usaha Negara

2004 junto UU Peradilan Tata Usaha Negara 1986 , KTUN yang dapat dijadikan

objek sengketa TUN adalah terbatas. Dikecualikan atau tidak termasuk dalam

pengertian Keputusan Tata Usaha Negara apabila:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat

umum;

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan

badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Dalam kaitannya dengan huruf g diatas, dalam UU Peradilan Tata Usaha

Negara tidak ada pernyataan tegas apakah KTUN yang dikeluarkan selama proses

pemilu seperti penetapan (KTUN) Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi objek

sengketa TUN yang dapat di gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara oleh warga

masyarakat yang kepentingan hukumnya dirugikan dengan keputusan DPT tersebut.

(38)

hasil pemilu, sehingga KTUN yang dikeluarkan selama proses pemilu pada dasarnya

merupakan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dam dapat di gugat oleh

pihak-pihak yang merasa dirugikan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Demikan pula dikeluarkan dari kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha

Negara dengan menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal

keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan

1. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rumusan atau batasan-batasan mengenai kepentingan umum tidak di jelaskan

dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga dalam implementasinya sangat

ditentukan oleh penafsiran dan kepentingan penyelenggaraan negara yang secara

sepihak ditentukan oleh Pemerintah. Bila dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36

Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, yang menyebutkan sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan

tanah yang dikategorikan sebagai kepentingan umum, sehingga semua KTUN yang

dikeluarkan untuk penyelenggaraan kepentingan umum tersebut tidak dapat dijadikan

objek sengketa TUN atau tidak dapat di gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

(39)

yang dilaksanakan Pemerintah maupun oleh Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :

1. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

2. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; 3. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;

4. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;

5. tempat pembuangan sampah; 6. cagar alam dan cagar budaya;

7. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kompetensi Pengadilan Tata

Usaha Negara sangat terbatas. Walaupun UU Peradilan Tata Usaha Negara secara

eksplisit menyatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan sengketa TUN, namun terdapat pembatasan-pembatasan

baik dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara maupun dalam PP 65 Tahun 2006

terhadap KTUN yang dapat dijadikan objek sengketa TUN. Dengan demikian KTUN

yang dapat dijadikan objek sengketa TUN dalam Pengadilan Tata Usaha Negara

adalah KTUN menurut pengertian Pasal 1 angka 3 UU Peradilan Tata Usaha Negara

1986 berikut penjelasannya ditambah KTUN menurut Pasal 3 kemudian dikurangi

dengan KTUN yang dimaksud Pasal 2 dan Pasal 49 UU Peradilan Tata Usaha

Negara 2004. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kompetensi absolut

Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan

sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 1

angka 3 dan Pasal 3 dengan pengecualian-pengecualian yang ditentukan dalam Pasal

(40)

J. Subjek dan Objek Gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara

1. SUBYEK SENGKETA TUN

a. Penggugat

Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa

kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat

mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi

tata usaha Negara tutan agar Keputusan tata usaha negara yang disengketakan

dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai tata usaha Negara tuntutan

ganti rugi dan rehabilitasi. (Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9

Tahun 2004). Jika disimpulkan maka Penggugat adalah:

(1). Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara

(2). Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat bertindak dalam lalu lintas Hk kecuali minderjarig, curratele, cacat mental

Menurut Indroharto, pengertian kepentingan disini adalah:

(1). Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum

(2). Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan.

Selain itu pula Penggugat dapat mengajukan permohonan penundaan

pelaksanaan keputusan tata usaha negara yang dijadikan obyek gugatan selama

pemeriksaan sengketa tata usaha negara sedang berjalan sampai ada putusan

Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 67

ayat (2) UU No.5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9

(41)

sebagai subyek hokum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata

Usaha Negara untuk menggugat keputusan tata usaha negara.

Untuk mengajukan gugatan diperlukan alasan-alasan yang mendasarinya

terhadap Keputusan tata usaha negara yang digugat, pengadilan memerlukan dasar

pengujian apakah keputusan tata usaha negara tersebut rechtmatig (absah) atau tidak.

pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun1986 UU No. 9 Tahun 2004 menggariskan alasan

mengajukan gugatan bagi penggugat yang merupakan dasar pengujian oleh

pengadilan. Alasan mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun

1986 UU No. 9 Tahun 2004 adalah :

(1). Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2). Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik (AAUPB).

Aspek yang bertentangan itu menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi

keputusan tata usaha negara tersebut.

b. Tergugat

Yang dimaksud dengan tergugat adalah: Badan TUN yang mengeluarkan

Keputusan TUN berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan

kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. (Tergugat adalah

jabatan pada Badan TUN). Ataupun Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan

TUN berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya

yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara utama untuk

(42)

juga mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang,

namun apabila dikaitkan dengan gugatan tata usaha negara (gugatan ke Pengadilan

Tata Usaha Negara), mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena penerima

mandat tidak bisa menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Ketentuan hukum yang menjadi dasar dikeluarkan keputusan yang

disengketakan itu menyebutkan secara jelas Badan atau Pejabat tata usaha negara

yang diberi wewenang pemerintahan. Jadi dasar wewenang yang diberikan oleh suatu

peraturan perundang-undangan sendiri itu dinamakan bersifat atributif. Dan manakala

Badan atau Pejabat tata usaha negara memperoleh wewenang pemerintahan secara

atributif itu mengeluarkan Keputusan tata usaha negara yang kemudian

disengketakan, maka yang harus digugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara

yang memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif tersebut.

Ada kalanya ketentuan dalam peraturan dasarnya menyebutkan bahwa badan

atau pejabat yang mendapat kewenangan atributif mendelegasikan wewenangnya

kepada Badan atau Pejabat lain. Apabila Badan atau pejabat tata usaha negara yang

menerima pendelegasian ini mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang

kemudian disengketakan, maka Badan atau Pejabat tata usaha negara inilah yang

menjadi tergugat.

c. Pihak Ketiga yang berkepentingan

Dalam Pasal 83 UU No. 5 / 1986 jo UU No. 9/ 2004 disebutkan :

(1). Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam

sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas

(43)

hakim, dapat masuk dalam sengketa tata usaha negara, dan bertindak

sebagai pihak yang membela haknya, atau peserta yang bergabung dengan

salah satu pihak yang bersengketa.

(2). Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat l dapat dikabulkan atau

ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita

acara.

(3). Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam ayat 2 tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama

dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa

Pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum perdata

ikut serta dalam pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.

2. OBYEK SENGKETA

Di atas telah disinggung bahwa dalam proses sengketa Tata Usaha Negara yang

lazimnya disebut sebagai pihak Penggugat dan pihak tergugat. Mengenai siapa yang

mempunyai hak menggugat atau pihak Penggugat, berdasarkan ketentuan pasal 53

ayat(1) adalah mereka yang kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata

Usaha Negara.

Seseorang yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan(onbekwaan)

melakukan perbuatan hokum atau menghadap dimuka pengadilan, sehingga tidak

dapat sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Badan Hukum perdata

yang dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara adalah badan atau

(44)

ketentua-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) atau peraturan

lainnya yang telah merupakan badan hokum (rechtspersoon).

Obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha

negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 dan Keputusan fiktif negatif

berdasarkan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004. Dari rumusan

tersebut, nyata bahwa objek sengketa Tata Usaha Negara harus memenuhi

unsur-unsur penetapan tertulis sebagaimana yang dirumuskan pasal tersebut. Jika salah satu

unsur tersebut tidak terpenuhi maka keputusan yang demikian tidaklah merupakan

objek sengketa Tata Usaha Negara. Timbulnya sengketa Tata Usaha Negara tersebut

berkenaan dengan masalah sah atau tidaknya suatu keputusan Tata Usaha Negara

yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, sehingga pengajuan

gugat balik atau rekonveksi tidak dikenal dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara.

Tipologi Keputusan Tata Usaha Negara menurut Hukum Administrasi Negara

(dan UU Peradilan Tata Usaha Negara) terdapat 3 yaitu;

a. Faktual (berupa tindakan),

b. Tertulis

c. Sikap Diam (hal ini terdapat dalam pasal 3 UU 5/86.

Tidak semua KTUN yang tertulis dapat menjadi obyek sengketa TUN karena

harus KTUN yang dikualisir yaitu yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN, bersifat

(45)

Makna tertulis dalam suatu KTUN ditujukan pada isi dan bukan formatnya.

a. Keputusan Tata Usaha Negara

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah Keputusan

Tata Usaha Negara (KTUN) atau dalam bahasa Belanda disebut dengan

Beschikking. Keputusan ini, adalah suatu produk hukum yang dibuat oleh

seorang Pejabat Tata Usaha Negara yang bertujuan untuk semaksimal

mungkin menciptakan keteraturan hidup dalam bermasyarakat.

Masyarakat sebagai obyek dari suatu Keputusan Tata Usaha Negara

tentulah harus memahami betul peraturan-peraturan apa yang mengatur

hidupnya sehari-hari. Namun kenyataannya banyak sekali masyarakat kita

yang masih belum memahami apa itu Keputusan Tata Usaha Negara dan

syarat-syarat sahnya, kapan dan dalam hal apa suatu keputusan tersebut

dinyatakan tidak berlaku lagi serta keputusan apa yang ideal dan dapat

mengakomodir keinginan seluruh masyarakat dan diwujudkan dalam suatu

produk hukum tertulis.

Permasalahan lain yang terjadi adalah, Pejabat Tata Usaha Negara

yang membuat suatu produk hukum, kurang memahami hal-hal apa saja yang

menjadi keinginan masyarakat untuk dijadikan suatu produk hukum. Hal ini

mengakibatkan produk hukum yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara

tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh masyaraka

Pengertian Keputusan tata usaha negara menurut pasal 1 angka 3 uu No. 5

Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 ialah Suatu penetapan tertulis yang

(46)

hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan

akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.

Dari rumusan keputusan tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur yuridis

keputusan menurut hukum positip sebagai berikut :

1) Suatu penetapan tertulis.

2) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara. 3) Berisi tindakan hukum tata usaha negara.

4) Bersifat konkret, individual dan final.

5) Menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.

Dari sisi kekuatan hukum yang dimilikinya, Keputusan Tata Usaha

Negara dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:

1).Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum yang kekal

dan abadi (mutlak). Hal ini berarti apabila telah dikeluarkan suatu Keputusan

Tata Usaha Negara, maka kekuatan hukumnya tetap berlaku terus. Tetapi

ada juga yang bersifat relatif, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara yang

digunakan hanya sekali dalam satu tahap tertentu saja, tetapi tidak berlaku

selamanya dan hanya digunakan pada saat itu saja, misalnya Ijin Mendirikan

Bangunan (IMB).

2). Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum sementara.

Keputusan Tata Usaha Negara ini tegas menunjukan tenggang waktu dari

keputusan tersebut, artinya Keputusan yang dibuat memiliki jangka waktu

berakhirnya sehingga tidak dapat dipakai atau dipergunakan selamanya,

(47)

b. Keputusan tata usaha negara fiktif negatif

Obyek sengketa PERADILAN TATA USAHA NEGARA termasuk

keputusan tata usaha Negara yang fiktif negatif sebagai mana dimaksud

Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004, yaitu :

(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai mana ditentukan dalam peraturan perundang- undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau penjabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu maka setelah lewat jangka waktu 4 bulan sejak diterimanya permohononan, badan atau penjabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan. Jadi jika jangka waktu telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau setelah lewat empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat tata usaha negara itu tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, maka Badan atau Pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Sikap pasif Badan/Pejabat tata usaha negara yang tidak mengeluarkan

keputusan itu dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi penolakan

meskipun tidak tertulis. Keputusan demikian disebut keputusan fiktif-negatif. Fiktif

artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi dapat dianggap telah

mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan negatif berarti karena isi keputusan itu

berupa penolakan terhadap suatu permohonan. Keputusan fiktif negatif merupakan

perluasan dari keputusan tata usaha negara tertulis yang menjadi objek dalam

sengketa tata usaha negara.

Sebaiknya pelaksanaan urusan pemerintahan itu dilakukan dengan tertulis demi

(48)

putusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

itu dapat memilikinya. Selanjutnya dijelaskan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu

ketentuan Hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban

kepada orang lain. 12

K. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Jambi

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lingkungan peradilan di bawah

Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan

Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.

Peradilan Tata Usaha Negara adalah pengadilan tingkat pertama yang

berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya adalah meliputi

kabupaten/ Kota dalam propinsi bersangkutan. Peradilan Tata Usaha Negara Jambi

dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1997 tanggal 29 Januari

1997 dan diresmikan pemakaiannya oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30

Oktober 1998. Secara Fisik (gedung kantor) Peradilan Tata Usaha Negara Jambi

yang dibangun berdasarkan DIP Pusat/APBN Tahun Anggaran 1995/1996 Nomor

: 091/XIII/3/-/1995 tanggal 28 Maret 1995 terletak di Jalan Kol.M.Kukuh No.1

Kotabaru, Jambi. Daerah wilayah Hukum Peradilan Tata Usaha Negara Jambi

12

(49)

meliputi seluruh wilayah yang ada di Kabupaten dan Kota yang terdapat dalam

Wilayah Propinsi Jambi, yaitu(data disertai dengan luas Wilayah masing-masing

daerah):

1. Kota Jambi 103,54 Km²

2. Kabupaten Kerinci 3.355,27 Km²

3. Kabupaten Merangin 7.679,00 Km²

4. Kabupaten Sarolangun 6.184,00 Km²

5. Kabupaten Bungo 4.659,00 Km²

6. Kabupaten Tebo 6.461,00 Km²

7. Kabupaten Batang Hari 5.804,00 Km²

8. Kabupaten Muaro Jambi 5.326,00 Km²

9. Kabupaten Tanjung Jabung Timur 5.445,00 Km² 10. Kabupaten Tanjung Jabung Barat 4.649,85 Km²

11. Kota Sungai Penuh 391,50 Km²

Peradilan Tata Usaha Negara Jambi mulai beroperasi sejak tanggal 30 oktober

1998, yaitu sehari sejak diresmikan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia,

yang pada saat itu dijabat oleh Bapak Muladi, S.H.

L. Susunan Personalia, Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha

Negara Jambi ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :

KMA/SK/III/1993 tanggal 5 Maret 1993, sedangkan susunan Organisasi dan Tata

Kerja Kesekretariatan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.02-PR.07.02 Tahun 1991 tanggal 14

Referensi

Dokumen terkait

Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat adalah suatu kegiatan intrakurikuler wajib yang memadukan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan metode

Walaupun pemburukan yang jelas dan bertahap mungkin tidak ditemukan pada semua kasus, gejala neurologis fokal adalah lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan

Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan secara mendalam berbagai aspek yang terkait dengan realisasi kredit pembiayaan mikro pertanian, termasuk aksesibilitas petani

Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel nilai emosional, nilai sosial, persepsi harga dan persepsi kemudahan penggunaan berpengaruh positif dan signifikan

Pengaturan penggunaan perbekalan farmasi keadaan darurat medis yang sesuai prosedur dapat memudahkan petugas dalam pengelolaan perbekalan farmasi pada emergency trolley.. Pada

Jika informasi mengenai peraturan lainnya yang berlaku belum tersedia di bagian lain dalam lembaran data keselamatan bahan ini, maka hal ini akan dijelaskan dalam bagian

Buah pepaya yang sudah dipanen dilakukan uji kualitas, yaitu bobot buah, panjang buah, diameter buah, kekerasan kulit buah, kekerasan daging buah, tebal daging buah, jumlah

Kedua, pengelolaan aliran material dan aliran finansial supply chain yang baik berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja kontraktor. Semakin tinggi pengelolaan