• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencatatan daftar harta benda anak auh menurut hukum Islam dan undang-undang (studi kasus di panti asuhan Islamic village Karawaci Tangerang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pencatatan daftar harta benda anak auh menurut hukum Islam dan undang-undang (studi kasus di panti asuhan Islamic village Karawaci Tangerang)"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PENCATATAN DAFTAR HARTA BENDA ANAK ASUH

MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG

(Studi Kasus di Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh :

NURUL LINDA YOMI NIM: 107044101905

K O N S E N T R A S I PE R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

PBNCATATAN DAFTAR HARTA BENDA ANAK

ASUH

MENURUT

ISLAM

DAN

UNDANG-UNDANG

(Studi kasus di Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi salah

Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. SV)

Disusun Oleh :

NURUL LINDA YOMI

NIM:

1070441019A5

Dibawah Bimbingan :

KOI{SENTRASI PERADILAN

AGAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011l4

(3)

PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI

SKTiPSi bETJUdUI PENCATATAN DAFTAR HARTA BENDA

ANAK

ASUH MENURUT

HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG (Studi kasus di Panti Asuhan IslamicViilage

Karawaci Tangerang) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri

ruf$

Syarif Hidauatulah Jakarta pada 27 September 2011. Skripsi ini

telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. sy) pada program Studi Peradilan Agama.

Jakarta, 29 September 2011 Mengesahkan,

PANITIA UJIAN

1.

Ketua Majelis Drs. H. A. Basiq Djalil. SH. MA NIP. 1 95003061 97603 1 001

Hj. Rosdiana. MA

NrP. 1 96906102003122001

Drs. H. A. Basiq Djalil. SH. MA

NIP. 19500306i97603 1001

Drs. Sinil Wafa. M. Ag

NrP. I 96003 18 199103 1 001

2.

Sekretaris

3.

Pembimbing

4.

Penguji I

: Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie. S. Ag. MA(

NIP. 1 97 608072003 121 001

NIP. 1 9s50 505198281A12

(4)

1.

2.

J.

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku

di Universitas

Islam Negeri OfN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri

Of$

Syarif Hidayatullah

Iakarta.

Jakarta, 23 Juli 2011

433641444

flm-ffi

ffifrffi

(5)

i

KATA PENGANTAR

ميح رلا نمح رلا ها مسب

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada umat manusia yang ada dimuka bumi ini, khususnya kepada penulis. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan ummatnya hingga akhir zaman.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyadari bahwa rintangan dan hambatan yang terus menerus datang silih berganti. Berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat diatasi dan tentunya dengan izin Allah SWT, serta dengan wujud yang berbeda-beda dapat diminimalisir dengan adanya nasihat-nasihat atau dukungan yang diberikan oleh keluarga dan teman-teman penulis.

(6)

ii

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta Pembantu Dekan I, II, III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyyah dan sekaligus pembimbing skripsi yang telah banyak membimbing, memberikan pencerahan, motifasi semangat dan ilmunya kepada penulis, serta ibu Hj. Rosdiana, MA. Selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah yang telah bekerja dengan maksimal.

3. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu-ilmu yang tak ternilai harganya, seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bagian Tata Usaha Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan dengan baik.

4. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis yaitu ayahanda Deky Saprudin, ME dan ibunda Siti Marwah yang telah memberikan motivasi dan arahan yang tak pernah jenuh serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan. Juga kepada kakak tercinta Depry Maulana yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yang tiada tara.

(7)

iii

6. Penyemangat hidupku Reza Ara, yang selama ini menyemangati jalannya penulisan skripsi ini yang tak kenal lelah untuk terus memberi dukungan penuh kepada penulis.

7. Keluarga Kuliah Kerja Nyata (KKN) Rawa Kalong yang selalu memberikan semangat dan hiburan kepada penulis.

8. Teman-teman Program Studi Peradilan Agama Angkatan 2007 yang telah memberikan masukan, saran, motifasi dan menghibur kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak sampai sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik, penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Semoga semua bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 23 Juli 2011

(8)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi ... 8

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II EFEKTIVITAS HUKUM DAN FUNGSI HUKUM A. Pengertian dan Tolak Ukur Efektivitas ... 14

B. Hukum sebagai Sarana Memperlancar Interaksi Sosial... 23

C. Rang Lingkup Perwalian... 28

BAB III POTRET PANTI ASUHAN ISLAMIC VILLAGE KARAWACI TANGERANG A. Sejarah Berdirinya Panti Asuhan ... 39

B. Visi, Misi dan Struktur Organisasi... 41

C. Tugas dan Wewenang ... 42

(9)

v

B. Efektivitas Pasal 5 ayat (4) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

dalam Mendaftarkan Harta Benda Anak Asuh ... 48

C. Analisis Penulis ... 56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 59

B. Saran-saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN -LAMPIRAN 1. Surat Pernyataan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ... 65

2. Surat Observasi Permohonan Data dan Wawancara ... 66

3. Surat Keterangan Observasi ... 67

4. Pedoman Wawancara ... 68

(10)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah salah satu produk perundang-undangan yang secara khusus mengakomodasi kepentingan umat Islam. Undang-undang ini secara implisit mewajibkan masyarakat yang beragama Islam untuk menggunakan undang-undang ini sebagai dasar praktik perkawinan. Banyak hal yang diatur di dalam Undang-undang ini, dari mulai syarat-syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, hingga pengaturan mengenai perwalian (perwalian anak).1

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan penerus generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas

1

(11)

2

perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.2

Sejak lahir anak diperkenalkan dengan pranata, aturan, norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku melalui pembinaan yang diberikan oleh orang tua dalam keluarga. Proses sosoalisasi pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga melalui pembinaan anak yang diberikan oleh orang tuanya. Di sini pembinaan anak sebagai bagian dari proses sosialisasi yang paling penting dan mendasar karena fungsi utama pembinaan anak adalah mempersiapkan anak menjadi warga masyarakat. Karena tuntutan dan kedudukan yang sama sebagai warga negara maka anak perlu mendapatkan perhatian secara khusus dengan pembinaan sikap dan perilaku sosial anak, dengan demikian untuk terbentuknya pendewasaan seseorang anak dibutuhkan interaksi sosial

Jelas terlihat bagaimana kaitan antara sikap dan perilaku seseorang. Perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatar belakangi dengan sikap yang ada pada orang yang bersangkutan yaitu antara sikap dan perilaku saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu sama lain. Pembinaan anak pada umumnya dilakukan dalam keluarga, oleh karena itu keutuhan keluarga sangat diperlukan bagi anak. Keluarga merupakan lembaga yang pertama dan utama dalam perkembangan seorang anak. Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan

2

(12)

pergaulan serta pandangan keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan.

Dalam keluarga anak di wariskan norma-norma atau aturan-aturan serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Keutuhan keluarga sangat di perlukan dan penting dalam pendewasaan anak, di dalam dirinya bercampur sifat-sifat yang diturunkan dari ayah-ibu, kakek-nenek, termasuk buyut-buyut. Sang anak adalah manusia yang berada dalam menumbuh kembangkan diri menjadi mandiri.3

Mandiri sebagai manusia dan warga negara sebagai satu totalitas yang tidak dapat dipisahkan. Menjadi mandiri sebagai manusia dan warga negara mempunyai makna bahwa ia mampu bertanggung jawab penuh atas keberadaan jatidiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT yang bersifat individualis sekaligus bersifat sosialis di tengah-tengah kehidupan masyarakat.4

Secara kodrati proses menjadi mandirinya sang anak, selamanya memerlukan bantuan orang dewasa, yaitu manusia yang berada dalam periode telah mampu menjadikan dirinya mandiri sesuai dengan nilai-nilai luhur manusia yang universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsanya. Dewasa ini sesuai dengan dinamika kehidupan modern manusia, pertumbuhan dan perkembangan fisik dan

3

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hopee, 1999), h. 415.

4

(13)

4

psikis sang anak, usia anak cenderung masih sepenuhnya berada dalam payung perlindungan ibu dan ayah dalam lingkungan kehidupan keluarga. Kehadiran orang tua memungkinkan adanya rasa kebersamaan sehingga memudahkan orang tua mewariskan nilai-nilai moral yang dipatuhi dan ditaati dalam berperilaku. Keadaan tersebut di atas akan berbeda pada mereka (anak) yang tidak mempunyai keluarga secara utuh. Maka salah satu cara yang dapat dilakukan oleh anak-anak yang telah kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya dimasukkan ke dalam suatu lembaga sosial yaitu Panti Asuhan. Panti Asuhan membantu meningkatkan kesejahteraan anak dengan cara membina, mendidik, membimbing, mengarahkan, memberikan kasih sayang serta keterampilan-keterampilan yang diberikan oleh orang tua dalam lingkungan keluarga. Anak-anak yang berada dalam Panti Asuhan juga mempunyai persamaan juga mempunyai perbedaan.5

Anak merupakan salah satu aset keluarga sebagai penerus bagi tiap-tiap keluarga atau keturunannya. Panti Asuhan adalah salah satu wadah bagi anak yatim piatu meneruskan kehidupannya dengan keluarga baru, oleh karena itu Panti asuhan memiliki tanggung jawab yang besar dan penuh sebagai wali bagi anak asuhnya (yatim atau piatu).

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan BAB XI tentang Perwalian dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

5Satria Effendi, “

Makna Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga

(14)

Anak pada BAB Perwalian menjelaskan tatacara dan wewenang bagi para wali untuk melaksanakan kewajibannya sebagai wali. Di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 51 ayat (4) menjelaskan bahwasanya setiap wali yang bertanggung jawab atas perwalian anak asuhnya wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dalam kekuasaanya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda si anak.

Dalam penjelasan di atas tertulis bahwasannya wali bertanggung jawab atas semua harta anak asuhnya. Jelas bahwasnnya wali wajib menulis semua harta si anak. Panti asuhan merupakan salah satu Badan Sosial yang di berikan mandat oleh negara untuk mengasuh anak asuhannya dengan baik dan benar sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam pasal dan ayat tersebut, agar dalam penerapannya pun seimbang serta sepadan atas apa yang telah ditentukan secara tertulis.

Pada prinsipnya Panti Asuhan merupakan salah satu badan hukum yang dapat memberikan bimbingan serta arahan bagi anak asuhnya (yatim atau piatu), yang mana secara otomatis harus mengikuti atau melaksanakan dengan taat segala atauran-aturan yang telah di tetapkan dalam Undang-undang sebagai wali bagi anak-anak asuhnya. Akan tetapi, setiap panti asuhan memiliki sistem dan penerapan yang berbeda-beda untuk melaksanakan kewajiban sebagai wali bagi anak-anak asuhnya.6

6

(15)

6

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang seberapa jauh penerapan sistem perwalian anak asuh (yatim atau piatu) di linkungan Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang, oleh sebab itu dalam penulisan skripsi ini penulis memilih judul “PENCATATAN DAFTAR HARTA BENDA ANAK ASUH MENURUT HUKUM ISLAM

DAN UNDANG-UNDANG”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Adapun dalam penelitian skripsi ini agar tidak meluas dan mudah dipahami maka penulis membatasinya yaitu pada pencatatan daftar harta benda anak asuh menurut Hukum Islam dan Undang-undang, yang di maksud dengan Undang-undang di sini adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan di dukung dengan Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dilengkapi dengan Kompolasi Hukum Islam (KHI).

2. Rumusan Masalah

(16)

prakteknya yang dilakukan di Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang tidak sesuai dengan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan BAB Perwalian pasal 51 ayat (4) tentang daftar Harta Benda Anak Asuh.

Rumusan masalah di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah berjalan dengan maksimal?

2. Apa alasan Panti Asuhan Islamic Village Karwaci Tangerang untuk tidak mencatat atau mendaftarkan harta benda anak asuh?

3. Apakah hak dan kewajiban bagi anak asuh Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang telah terpenuhi secara maksimal ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

1. Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Untuk mengetahui efektivitas Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam mendaftarkan harta benda anak asuh.

(17)

8

4. Untuk mengetahui apakah hak dan kewajiban anak asuh sudah terpenuhi atau belum.

2. Manfaat

1. Secara akademik, sebagai pengembangan ilmu pengetahuan bidang Ahwal As-Syakhsiyyah.

2. Dapat memberikan wawasan kepada penulis tentang peran panti asuhan dalam mendaftarkan harta benda anak asuh menurut Undang-undang.

3. Sebagai salah satu refrensi bagi penelitian yang berkaitan dengan pencatatan daftar harta benda anak asuh menurut Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

4. Memberiakan masukan positif dan saran kepada Panti Asuhan khususnya petugas agar lebih optimal dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengasuh.

5. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pencatatan daftar harta benda anak asuh menurut Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

D. Review Studi

1. Skripsi tentang “Peranan Komisi Perlindungan Anak terhadap

Perlindungan Hak Asuh Anak Akibat Perceraian” UIN 2008 oleh

(18)

perlindungan anak terhadap hak asuh anak akibat perceraian masih kurang maksimal, serta upaya-upaya komisi perlindungan anak dalam pemenuhan hak-hak anak akibat perceaian banyak anak yang menjadi rebutan kedua orang tua, oleh karena itu penulis lebih menekankan kepada kinerjanya agar lebih maksimal.

2. Skripsi tentang “Pengaruh Panti Asuhan di Indonesia” UIN 2006, oleh

Nur Laila. Peneliti ini berpendapat bahwa panti asuhan di Indonesia masih kurang dalam mendidik anak-anak yang terlantar serta kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap panti asuhan-panti asuhan di Indonesia dan masih banyak persoalan yang belum terjawab dalam penelitian ini, oleh karena itu penulis lebih menekankan kepada kinerjanya agar lebih optimal serta membuka kesadaran pemerintah terhadap pentingnya panti asuhan.

3. Skripsi tentang “Aspek Hukum Yuridis terhadap Perwalian dalam

Lingkungan Yayasan” UIN 2008 oleh Ahmad Maulana. Peneliti ini

berpendapat bahwa aspek hukum yuridis terhadap perwalian di lingkungan yayasan masih kurang, karena yayasan tidak memakai hukum sebagi landasan berdirinya, mereka membuat hukum sendiri. Judul skripsi di atas berbeda dengan yang penulis angkat, namun maksudnya hamper sama yakni untuk lebih membuka kesadaran hukum Yayasan atau Panti Asuhan agar lebih sadar hukum dan taat huku, karena kita hidup di negara hukum.

(19)

10

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yuridis sosiologis.9 Yakni penelitian tentang pelaksanaan berlakunya hukum positif yaitu Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap peran pasal 51 ayat (4) tentang Daftar Harta Benda Anak Asuh di Panti Asuhan Islamic Village Krawaci Tangerang karena masih kurang maksimal.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan memakai bentuk studi deskriptif biasa. Maksudnya adalah dalam penelitian deskriptif data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo dan catatan dokumen resmi lainnya.

Tujuan dalam penelitian deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan realitas empiris sesuai dengan fenomena yang ada secara mendalam, rinci dan tuntas.7

Oleh karena itu, bentuk penelitian yang dilakukan adalah studi biasa, maksudnya yaitu penelitian tentang subyek penyuluhan yang berkenaan dengan fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas dan subyek

9

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif , (Malang: 2007), h. 40.

7

(20)

penelitian dapat saja seperti individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat.

3. Obyek Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi kantor di Panti Asuhan Islamic Village Krawaci Tangerang. Adapun pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena masih kurangnya kesadaran hukum dari Panti suhan dan kinerja sistemnya masih kurang maksimal.

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai dari menghimpun data penelitian dengan menggunakan metode sebagai berikut:

a. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan untuk menjawab semua permasalahan penelitian.10

b. Observasi yaitu mengumpulkan data dengan melihat kinerja petugas panti asuhan dalm mendaftarkan harta benda anak asuh.11

c. Metode dokumentasi dilakukan untuk pengumpulan data dengan cara mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya.

10

Djawahir, Hejazziey (ed.), Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007), Cet. Ke-1, h. 25.

11

(21)

12

5. Analisa data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Adapun pengertian deskriptif kualitatif adalah membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun, menganalisa dan menginterpretasikan.

Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan, sebab data-data yang telah dikumpulkan disusun secara sitematis, kemudian dianalisa secara mendetail yang akhirnya sampai interpretasinya kemudian dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang dirumuskan dalam penelitian.12

Analisa dilaksanakan dengan menghubungkan ketentuan normatif

(Das Solen) dengan implementasinya terhadap realitas kehidupan (Das Sein), sehingga akan muncul kesadaran hukum terhadap masyarakat. Dengan demikian, satuan analisis dalam penelitian ini peristiwa pencatatn daftar harta benda anak asuh tanah, yang mengharuskan adanya pencatatan daftar harata benda anak asuh dilakukan secara tertulis, tidak cukup hanya dengan lisan saja, dengan demikian kesadaran hukum Pengurus Panti Asuhan untuk melaksanakan hukum Islam dan Undang-undang akan meningkat.

12

(22)

Adapun tehnik penulisan skripsi ini berpedoman pada penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi ke dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut

BAB Kesatu : Tentang pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB Kedua : Membahas tentang efektivitas hukum dan fungsi hukum yang meliputi, pengertian dan tolak ukur efektivitas, rung lingkup perwalian.

BAB Ketiga : Membahas Potret Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang yang meliputi, Sejarah Berdirinya Panti Asuhan, visi, misi, dan struktur organisasi, tugas dan wewenang.

BAB Keempat : Membahas tentang pemeliharaan harta benda anak asuh dalam konteks perwalian yang meliputi, hak dan kewajiban Panti Asuhan terhadap anak asuh, efektivitas pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam mendaftarkan harta benda anak asuh, serta analisis penulis.

(23)

14

BAB II

EFEKTIVITAS HUKUM DAN FUNGSI HUKUM

A. Pengertian Efektivitas dan Tolak Ukur Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian di capainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Efektivitas merupakam pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah di tentukan. Sebagai contoh, jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah di tentukan, maka cara tersebut adalah benar atau efektif.1

Efektivitas erat kaitannya dengan efisien, yakni mengerjakan sesuatu dengan benar dan baik (doing the right things). Efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum, yang dimaksud di sini adalah output dengan input berjalan seimbang.2 Sedangkan efektivitas adalah melakukan tugas yang benar sedangkan efisiensi adalah melakukan tugas dengan benar. Penyelesaian yang efektif belum tentu efisien begitu juga sebaliknya. Yang efektif bisa saja membutuhkan sumber daya yang

1

T Hani Handoko, Manajement, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 100.

2

(24)

sangat besar, sedangkan yang efisien memakan waktu yang lama, sehingga sebisa mungkin efektivitas dan efisiensi bisa mencapai tingkat optimum untuk keduanya.3

Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Hal itu dapat di lihat dari berbagai sudut pandang (view point) dan dapat dinilai dengan berbagai cara dan mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi. Seperti yang dikemukakan oleh Arthur G. Gedeian dkk dalam bukunya Organization Theory and Design yang mendefinisikan efektivitas, sebagai berikut:

That is, the greater the extent it which an organization’s goals are met or

surpassed, the greater its effectiveness” (Semakin besar pencapaian

tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas)4

Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya.

Melihat pengertian efektivitas di atas, maka untuk mencapai efektivitas rencana harus memenuhi syarat-syarat atau ukuran sebagai berikut:

a. Kegunaan.

Agar berguna dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya yang lain, suatu rencana harus fleksibel, stabil, berkesinambungan dan sederhana.

3

Ilo, Efektifitas Hukum, (Jakarta: Artikel, 2001), h. 8.

4

(25)

16

b. Ketepatan dan Objektifitas.

Semua rencana harus di evaluasi untuk mengetahui apakah jelas, ringkas, nyata dan akurat. Berbagai keputusan dan kegiatan manajemen lainnya hanya efektif bila didasarkan atas informasi yang tepat.

c. Ruang Lingkup.

Arti dari ruang lingkup disini adalah perlu memperhatikan prinsip-prinsip kelengkapan (comprehensiveness), kepaduan (unity), dan konsistensi. d. Efektivitas Biaya.

Dalam hal ini efektivitas biaya menyangkut waktu, usaha dan aliran emosional.

e. Akuntabilitas.

Ada dua aspek akuntabilitas: pertama, tanggung jawab atas pelaksanaan,

kedua, tanggung jawab atas implementasi rencana. Karena suatu perencanaan harus mencangkup semuanya.

f. Ketepatan Waktu Perencanaan.

Perubahan-perubahan yang terjadi sangat cepat dan akan dapat menyebabkan rencana tidak tepat atau sesuai untuk berbagai perbedaan waktu yang ada. 5

Adapula yang menghambat efektivitas, yaitu ada 7 (tujuh) hal yang berpotensi menghambat efektivitas kerja, diantaranya:6

5

(26)

a. Tidak Memiliki Tujuan yang Jelas dan Target.

Tanpa tujuan yang jelas dan target terukur, semua yang kita lakukan menjadi tidak fokus dan menjadikan waktu dan energy menjadi tidak efektif.

b. Tidak Memiliki Rencana Detil.

Setelah memiliki tujuan jelas serta target terukur kitapun di tuntut memiliki rencana detil. Rencana detil seperti peta yang memandu setiap langkah sehingga waktu yang kita miliki benar-benar efektif.

c. Tidak Teratur dalam Hidup.

Ketidakteraturan ini biasanya akan mendatangkan banyak masalah. d. Komunikasi yang Tidak Baik.

Sekitar 70% aktifitas hidup kita di isi dengan komunikasi, maka siapapun yang ingin efektif dalam bekerja harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Banyak masalah yang lahir dari misscomunication. Masalah spele saja bisa menghancurkan rumah tangga bila suami dan istri tidak bisa berkomunikasi dengan baik.

e. Konflik yang Tidak Perlu.

Mempermasalahkan hal-hal yang kecil dan tidak prinsipil, bila sudah terjadi konflik maka energi kita tekuras, sehinggaa tugas utama kita terbengkalai. Saat suami istri terlibat konflik misalnya, maka fungsi-fungsi rumah tangga akan terbengkalai, anak kehilangan keberkahan

6

(27)

18

hidup dan kasih sayang untuk anak akan hilang, karena itu apa yang kita kedepankan bukan ego dan nafsu, namun semangat persaudaraan, semangat solusi dan semangat kesuksesan bersama.

f. Besikap Emosional.

Selain mengganggu suasana, sikap emosional akan menghambat efektivitas kerja. Orang emosional cenderung membesar-besarkan masalah, pendendam, dan menuntut. Jika sudah demikian waktu-waktu produktif kita banyak yang terbuang percuma, karena itu mustahil sebuah pekerjaan akan berkualitas jika dilakukan dengan keadaan emosi dan berakibat menunda-nunda pekerjaan.

Setiap waktu memiliki haknya sendiri-sendiri, saat kita menunda sebuah pekerjaan maka pada saat bersamaan kita sudah mengambil hak sepenggalan waktu dan ini awal menjadi datangnya masalah setiap detik yang kita lalui. Maka pilihlah keputusan terbaik, salah satunya jangan menunda-nunda pekerjaan.

Untuk membahas tidak efektifnya hukum, ada baiknya juga memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu penerapan hukum. Setiap proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut.7

7

(28)

Kemudian Menurut Soedjono Soekanto dalam bukunya tentang Pokok-pokok Sosiologi Hukum ia berpendapat bahwasannya faktor tersebut ada 5 ( lima) hal, yaitu:

1) Hukum itu Sendiri.

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.8

Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup

low enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi

8

(29)

20

setiap warga masyarakat yang diatur dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.9

Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum ilmuwan atau doktrin.

Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan itu.10 2) Penegak Hukum.

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E.Sahetapy yang mengatakan:

“Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum

9Ibid

., h. 80.

10

(30)

(inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus di aktualisasikan”.11

Pada konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum di identikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum.12

3) Sarana dan Fasilitas.

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang di terima oleh Polisi dewasa ini cenderung praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan komputer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada Jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap.13

Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak. Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab apabila

11

J. E.Sahetapy.

12

Soerdjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 81.

13

(31)

22

sarana fisik seperti kertas tidak ada, karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan.

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa bagaimana Polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum, tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.14

4) Masyarakat.

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yangber sangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta

14

(32)

keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.15

5) Kebudayaan.

Dalam kebudayaan sehari-hari orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan yang dilarang.16

Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto di atas, tidak disebutkan faktor mana yang sangat dominan berpengaruh karena semua faktor tersebut harus mendukung untuk membentuk efektivitas hukum. Jika sistematika dari kelima faktor ini bisa optimal, setidaknya hukum di nilai dapat efektif.17

B. Hukum sebagai Sarana Memperlancar Interaksi Sosial

Tentang fungsi hukum ada beberpa kecenderungan untuk menganggap hukum sebagai salah satu sarana pengendalian sosial (social control). Pengedalian sosial mencangkup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan

15Ibid

., h. 81.

16Ibid

., h. 82.

17

(33)

24

serta memelihara ikatan sosial. Teori Impertif tentang fungsi hukum banyak menghubungkannya dengan hukum pidana, dalam hal ini ada G. Sawer mengatakan dalam bukunya:

„it is obedience that articulates the solid bony framework of social order‟, and will speaking often of society or the state as imposing law, he seemed also to accept the necessity for a wise minority or organization of distinct elements of the population to exert social control through law‟.18

Hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman manapun, maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri, serta harta bendanya. Selain itu, fungsi hukum juga merupakan sarana pegendalian sosial, akan tetapi dilain pihak hukum juga berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial (law as a facilitation of human interaction).19

Untuk mengetahui mana yang lebih penting atau utama antara keduanya tergantung pada bidang hukum yang dipersoalkan dan terkadang dua fungsi tersebut tadi berkaitan dengan eratnya, sehingga sulit untuk dibedakan secara tegas. Akan tetapi, kurang tepat jika mengatakan kedua fungsi tersebut hanya semata-mata untuk mengatasi masalah saja, karena fungsi yang ada tidak saja untuk mengatasi hal tersebut melainkan jika kegunaannya jauh sebelum adanya timbul masalah itu lebih baik.

18

Soerdjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV Rajawali, 1982), h.58.

19Ibid

(34)

Ada beberapa contoh dalam kedua fungsi tersebut, salah satunya yaitu: dalam norma-norma yang mengatur perihal perbuatan penganiayaan yang merupakan suatu kejahatan yang mana telah diatur dalam Bab XX tentang Penganiayaan KUHP, pasal 351 sampai dengan pasal 358.20

Norma-norma hukum tersebut jelas merupakan sarana pemaksa yang berfungsi untuk melindungi warga masyarakat terhadap perbuatan yang mengakibatkan terjadinya penderitaan pada pihak yang lain. Selain itu ada contoh lain dari hukum perdata, khususnya hukum perjanjian misalya dalam buku ke-III B.W. atau KUHPerdata termasuk salah satu norma yang dapat mengatur untuk memperlancar atau mempermudah berprosesnya interaksi sosial, yang mana dalam buku tersebut banyak sekali aturan-aturan yang mengatur tata cara dalam berbagai macam hal tentang perjanjian yang dapat menghidupkan interaksi sosial antara orang yang satu dengan orang banyak, hak-hak dan kewajiban-kewajiban pihak-hak-pikak yang membuat perjanjian, tercantum dalam dokumen yang telah dibuat bersama dan disepakati dan semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang telah membuatnya.21

Terlihat bahwasannya unsur paksaan dalam hukum ada, oleh karea itu jika ada salah satu dari pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut maka dia harus mengganti kerugian. Jadi ada semacam „kontrol sosial ata social control’’

20

http://welcome.to/RGS_Mitra ; rgs@cbn.net.id ; pengacara_rgs@yahoo.com

21

(35)

26

bagi mereka yang melanggar perjanjian tersebut. Dengan demikian terlihat bahwasanya kedua fungsi hukum yang di asumsikan dapat di ketemukan dalam hukum perjanjian di atas.

Selain itu juga, ada norma-norma hukum yang secara implisit maupun eksplisit yang mana menyangkut dengan interaksi sosial, yaitu seperti peraturan lalu lintas dan angkutan jalan raya yang mana salah satu dari peraturan ini adalah berkewajiban untuk berjalan sebelah kiri di Indonesia. Artinya, apabila ada kendaraan yang datang dari arah yang berlawanan, maka kendaraan yang ditumpangi harus mengambil jalur kiri,22 jelas bahwa peraturan ini berfungsi untuk mempermudah proses interaksi. Hal ini terwujud dengan menciptakan harapan timbal balik (shared reciprocal expectations) pada pengendara, sehingga mereka dapat menyelaraskan dengan perilaku pihak yang lain. Dalam hal ini fungsi peraturan tersebut adalah untuk meringankan warga masyarakat dari beban-beban dan melepaskannya dari resiko yang dihadapi mereka dalam situasi dan kondisi tertentu.

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi mempermudahnya terjadinya interaksi sosial atau perubahan social serta faktor-faktor yang menghambat interaksi tersebut. Hal-hal yang mempermudah atau memperlancar terjadinya perubahan sosial antara lain adalah apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat-masyarakat lain, sistim lapisan sosial

22

(36)

yang terbuka, penduduk yang heterogen maupun ketidak puasan masyarakat terhadap kehidupan tertentu dan lain sebagainya. Sedangan faktor-faktor yang memperlambat terjadinya perubahan sosial antara lain sikap masyarakat yang mengagung-agungkan masa lampau (tradisionalisme), adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing dan sebagainya.23

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor:24 1) Imitasi.

Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. 2) Sugesti.

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain.

3) Identifikasi.

Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.

4) Proses simpati.

23

Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Nusantara Media, 2009), h. 56.

24

(37)

28

Sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.

Selain ada beberapa proses interaksi yang telah di sebutkan di atas, ada juga syarat-syarat terjadinya interaksi sosial:25

1) Adanya kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu antarindividu, antarindividu dengan kelompok, antarkelompok. Selain itu, suatu kontak dapat pula bersifat langsung maupun tidak langsung.

2) Adanya Komunikasi, yaitu seseorang memberi arti pada perilaku orang lain, perasaan-perassaan apa yang ingin disampaikan orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut

Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interkasi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama.

C. Ruang Lingkup Perwalian

Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab dari kata dasar waliya,

wilayah atau walayah. Kata wilayah atau walayah mempunyai makna etimologis

25

(38)

lebih dari satu, diantaranya dengan makna, pertolongan, cinta, (mahabbah),

kekuasaan atau kemampuan (al-Sulthah) yang artinya kepemimpinan seseorang terhadap sesuatu.26 Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka dapat difahami bahwasannya perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan terhadap ketidak-mampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya.

Dalam literatur-literatur Fiqih klasik dan kontemporer, kata al-wilayah

digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak yatim, dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al-wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan sorang wanita. Hak itu di pegang oleh wali nikah.27

Mengasuh anak maksudnya mendidik dan memelihara anak, mengurus makanan, minuman, pakaian dan kebersihannya, dalam periode umurnya yang pertama.

Mengasuh anak itu adalah hak ibu, kalau tidak ada ibu maka di gantikan oleh kaum wanita dari keluarga ibu, dan kalaupun mereka itu tidak ada maka

26

Abdurrahman Al-Nahlawi, “Ushul al-tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Bait wa al-Madrasah wa al-mujtama”. (Beirut: Dar al-fikr, 1983), Cet ke-2, h. 98.

27

(39)

30

digantikan oleh kaum wanita dari keluarga ayah, kemudian keluarga lain dari pihak ibu, kalau tidak maka digantikan dari keluarga lain dari pihak ayah.28

Hak mengasuh itu di utamakan kepada kaum wanita dan dari keluarga ibu, karena hal itulah yang wajar. Wanita lebih mampu dari laki-laki untuk mengurus anak kecil dan memeliharanya dalam usia belum baligh itu, dan juga lebih lemah lembut, lebih sabar, lebih tekun, dan lebih banyak waktunya. Dalam masalah ini diterangkan dalam Hadits dari Abdullah bin „Amr, bahwasanya ada sorang wanita pernah mendatangi Rasulullah SAW mengadukan masalahnya, wanita itu berkata:

د ع ع

ا

تل ق ا ا ا ع ه ا يض ع ب ه

:

ي با ا ه ا س ي

ء ع ل ي طب ك ا

ل يي د

ا ا ءا ح ل ي جح ء ق

ا

ي ق ط

ع ي ادا ا

ي

قف

ل ب قحا ت ا س ي ع ها ي ص ها س ل

يح ت

(

ي حلا ححص د اد با د حا ا

)

29

Artinya: “Ya Rasulallah, anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya di dalam rahim saya, kemudian saya yang memeliharanya dalam pangkuan saya dan saya yang memberikan minum dan air susu saya, kemudian ayahnya menceraikan saya, lalu bermaksud menarik anak ini dari saya!. Mendengar pengaduan itu, Rasulallah SAW bersabda : “Engkau lebih berhak mengurus anakmu itu, selama engkau belum menikah lagi dengan laki-laki lain”. (di riwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dan mensohihkannya oleh Imam Hakim)

Al-Quran juga menjelaskan tentang dasar hukum atas pengasuhan dalam Islam surat al-Baqarah ayat 233:

28

Sri Widoyati, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983), h. 48.

29

(40)





















































)

ا ق لا

/

1

:

223

)

30

Artinya: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Baqarah (1):223)

Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah di tinggalkan oleh orang tuannya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 2:

30

(41)

32 













)

ء س لا

/

4

:

2

)

31

Artinya: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar." (Q.S. An-Nisa (4): 2)

Ayat di atas menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah ditinggalkan orang orang tuanya atau ahli warisnya. Ayat tersebut secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa), artinya jika anak-anak yatim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 6:























)

ء س لا

/

4

:

6

)

32

Artinya: "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di

31Ibid.

32

(42)

antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)."

(Q.S. an-Nisa (4): 6)

Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka. Dan Allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan memelihara harta tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 10:

















)

ء س لا

/

4

:

10

)

33

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka)." (Q.S. an-Nisa (4): 10)

Selain Al-Qur‟an dan Hadis sebagai landasan ketentuan mengenai perwalian. Dalam konteks sistem hukum Indonesia, landasan tersebut juga telah diadopsi dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), landasan hukum terhadap perwalian tersebut, diatur dalam BAB XV mengenai perwalian, pada pasal 107 ayat (1-4) dinyatakan bahwa: “(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan; (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan; (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka

33

(43)

34

Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut, dan (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.”34

Dalam sistem hukum Indonesia, wali memiliki tanggung jawab yang bertujuan untuk memelihara akan kesejahteraan dari pada yang di perwalikan, termasuk dalam pemeliharaan harta benda yang di pertinggalkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 110 KHI, yaitu:35

(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada dibawah perwaliannya;

(2) Wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari;

(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan dan kelalainnya;

34

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h, 139.

35

(44)

(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus di buktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun sekali. Sementara dalam pasal 51 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: (1) Wali wajib mengurus anak yang berada di bawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu; (2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut; (3) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya; (4) Larangan Bagi Wali.

Mengenai larangan bagi wali, telah diatur di dalam pasal 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.36

Ketentuan tersebut di atas menjadi landasan hukum yang mengikat terhadap kedudukan dan wewenangan seorang wali dalam menjaga dan atau memelihara baik jiwa dan harta anak yatim.

36

(45)

36

Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang landasan hukum menurut KHI dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan pula landasan hukum tentang perwalian dalam KUHPerdata dalam pasal 330 bahwasanya belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. 37

Secara umum dalam KUHPerdata terdapat beberapa asas mengenai perwalian, yaitu:

1) Asas Tak Dapat Dibagi-bagi (Ondeelbaarheid). Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 KUHPerdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam 2 hal, yaitu:38

a) Dalam pasal 351 KUHPerdata disebutkan bahwa jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (Langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi wali serta atau (medevoogd).

b) Dalam pasal 361 KUHPerdata, dinyatakan bahwa jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang

minderjarige di luar Indonesia

2) Asas Persetujuan Dari Keluarga. Asas persetujuan keluarga merupakan asas dimana keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Jika

37

Subekti dan Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang HUkum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1999), h. 90.

38

(46)

keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUHPerdata.

Dalam KUHPerdata, juga mengatur tentang perwalian bagi seorang perempun. Dimana dalam pasal 332b (1) dikatakan mengenai wewenang wali: “perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin

tertulis dari suaminya." Namun, jika suami tidak memberika izin, maka bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 332b ayat 2 KUHPerdata: "Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut pasal 112 atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula".39

Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUHPerdata juga mengatur tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum dalam pasal 355 ayat 2 KUHPerdata dinyatakan bahwa “badan hukum tidak dapat diangkat sebagai

39Ibid

(47)

38

wali”. Tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang dilaksanakan oleh badan hukum harus diperintahkan oleh Pengadilan.40

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 365a (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa: "dalam hal sebuah badan hukum diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu ia memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan." Akan tetapi jika pengurus badan hukum tersebut tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai wali, maka badan tersebut dapat dicabut kewenangannya sebagai wali. Selain itu, pasal 379 KUHPerdata mengatur tentang golongan orang yang tidak boleh menjadi wali, yaitu:

1) Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen).

2) Mereka yang belum dewasa (minderjarigen). 3) Mereka yang berada dibawah pengampuan.

4) Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan.

5) Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap anak- anak atau anak tiri mereka sendiri.41

40Ibid

., h. 103.

41

(48)

39

BAB III

POTRET PANTI ASUHAN ISLAMIC VILLAGE

KARAWACI TANGERANG

A. Sejarah Singkat Berdirinya Panti Asuhan

Berawal dari rasa kepedulian dan semangat pendidikan yang tinggi seorang tentara yang berasal dari Medan, Sumatera. Pada tahun 1972 KH. Junan Helmi Nasution (alm) mendirikan sebuah Panti Asuhan Islamic Village yang bertempat di Karawaci Tangerang, yang

Gambar

Grafika, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang Persepsi Mahasiswa FISIP UNDIP Terhadap Kebijakan.. Rcmunerasi ini terwujud berawal dari keprihatinan penulis akan situasi dan kondisi

Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Dewan Komisaris adalah organ perusahaan yang mewakili Pemegang Saham untuk melakukan fungsi pengawasan atas pelaksanaan kebijakan

Demikian halnya dengan sunat perem- puan di desa Bodia, bahwa sunat perem- puan adalah praktek budaya turun temurun dari nenek moyang mereka, budaya yang melekat tersebut

LAPORAN AKHIR KULIAH KERJA NYATA.. PEMBELAJARAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (KKN

Hasil uji dengan Chi square dengan CI = 95% ( α = 0,05) diperoleh p.value = 0,038, ka- rena p.value < α maka Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat dinterpretasikan bahwa

M aka t indakan yang dapat dilakukan oleh pemerint ah adalah mengurangi jumlah uang beredar dan meningkat kan persediaan barang.. perubahan fisik

C Pasar Sepeda Jokteng

PENGEMBANGAN TES TERTULIS PADA MATERI PENGANTAR KIMIA MENGGUNAKAN MODELTRENDS IN INTERNATIONAL MATHEMATICS AND SCIENCE STUDY(TIMSS).. Universitas Pendidikan Indonesia |