• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Roma Rizky Elhadi

NIM: 109048000074

KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Roma Rizky Elhadi

NIM. 109048000074

KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 telah diujikan dalam Sidang Munaqosah

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu

syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum.

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi satu

syarat memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Januari 2014

(5)

Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakulatas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/ 2013 M. xii + 80 halaman + hal lampiran. Penelitian ini menganalisi tentang penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat paska amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mengetahugaimana mekanisme penggunaan hak angket DPR dan permasalahan dalam proses pelaksanaan hak angket itu sendiri. Peneletian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisis kasus penggunaan hak angket pasca amandemen undang-undang dasar 1945. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literature, pendapat ahli, makalah-makalah. Dalam studi kepustakaan penulis menganalisis tentang landasan pelaksanaaan hak angket DPR yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Ketentuan mengenai tata pelaksanaan hak angket yang terdapat di dalamnya saling bertentangan sehingga sering terjadi ketidakkonsistenan dalam penerapannya. Tata cara pelaksanaan hak angket juga diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI, peneliti dalam hal ini meneliti dasar hukum hak angket dan apa saja permasalahan yang terdapat dalam proses pelaksanaan hak angket.

Kata Kunci : Hak Angket, Dewan Perwakilan rakyat, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Pembimbing : 1. Nur Habibi S.H.I., M.H 2. Nur Rohim Yunus L.L.M

(6)

Segala puji dan Syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat

serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA

AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TAHUN 1945”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Besar kita Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia

dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis

ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi

Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Nur Habibi SH.I, M.H dan Bapak Nur Rohim Yunus, L.LM. selaku Dosen

(7)

memberikan bimbingan dan masukannya selama beberapa tahun kepada penulis.

Semoga apa yang telah bapak arahkan kepada penulis dapat bermanfaat dan

dibalas oleh Allah SWT.

5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu

pengetahuan selama penulis menjadi mahsiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang

diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

6. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

staff Perpustakaan Universitas Indonesia, dan staff Humas DPR yang telah

memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dan memberi data

guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Rushadi S.St., dan Ibunda Usu Suhernih

yang selalu mengirimkan doa dan mencurahkan kasih sayangnya, serta kakak

tercinta Febrian Hadinata S.St dan Adikku tercinta Habil Rahman yang selalu

memberikan semangat dan bantuan baik segi moril dan materil selama proses

menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat penulis seperjuangan semasa kuliah di lingkungan kampus UIN

(8)

disebutkan satu persatu). Terimakasih untuk kebersamaannya dalam suka dan

duka selama berada dalam studi Ilmu Hukum.

9. Sahabat-sahabat Alumni SMA Titian Teras angkatan XI ( Iryandi, Paulus Zega,

Suprayogi, Dodi Meyondri, Regi Refyunando, Bari Ariatma, Diky Kurniadi,

Didik Erwanto, Yoza Wiratama, Fariz Amar, Nugroho, Yunita Hasri dan

teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu). Terimakasih untuk

kebersamaannya dalam suka maupun duka baik selama SMA hingga saat

menjalani perkuliahan selama beberapa tahun ini.

10.Sahabat-sahabat KKN KOMPAK UIN Jakarta 2012 (Cahya, Surya, Rizky,

Almam, Ivan, Jumhur, Erin, Aida, Ovi, Tika, Upi, Fikria, Lina, Thalita) yang

memberi warna selama proses kegiatan perkuliahan dan memberi semangat demi

kelancaran penulisan skripsi ini.

11.Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT

memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan kalian semua

(Amin).

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih dan permohonan maaf yang

(9)

Jakarta, 23 Januari 2014

(10)

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian... 8

E. Tinjaun (Review) Kajian Terdahulu ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II LANDASAN DAN MEKANISME HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ... 15

A. Pengertian Hak Angket ... 15

B. Sebab Timbulnya Hak Angket ... 17

C. Landasan Hak Angket ... 19

(11)

A. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat ... 37

B. Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat ... 42

C. Hubungan Hak Angket dengan Dewan Perwakilan Rakyat... 43

D. Penggunan Hak Angket dibeberapa Negara ... 46

E. Contoh Kasus Hak Angket Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ... 52

BAB IV PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ... 57

A. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 ... 57

(12)

BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan... 73

B. Saran ... 74

(13)

Indonesia merupakan negara konstitusional atau constitutional state, yaitu

negara yang dibatasai oleh konstitusi.1 Dalam empat ciri klasik negara hukum Eropa

Kontinental yang biasa disebut rechtsstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan

sebagai salah satu ciri pokok negara hukum.2 Oleh karena itu menurut Montesquieu

dengan teori trias politica yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, sehingga tidak ada

lagi yang dominan dalam menjalankan pemerintahan, seperti eksekutif dalam

menjalankan kebijakannya selalu dipantau oleh legislatif atau di Indonesia disebut

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Terdapat tiga fungsi utama DPR, ketiga fungsi utama tersebut adalah Fungsi

Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pada hakikatnya ketiga fungsi

DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga fungsi ini selalu bersentuhan dengan

fungsi yang lainnya, misalnya ketika DPR menghasilkan Undang-Undang yang

kemudian disetujui bersama dengan Presiden, maka DPR harus mengadakan

pengawasan terhadap pelaksanaan produk Undang-Undang oleh lembaga Eksekutif

yakni Presiden.

1

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 281.

2

(14)

Peranan DPR diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh berbagai unsur

DPR seperti anggota, pemimpin, fraksi, komisi, dan badan kelengkapan DPR secara

sendiri-sendiri atau secara bersama-sama yang dilakukan dalam rangka melaksanakan

fungsi badan tersebut. Dengan demikian, aktivitas unsur-unsur DPR yang bertujuan

melaksanakan fungsi perwakilan, perundang-undangan dan pengawasan, merupakan

kewenangan lembaga ini.

Pengawasan (controlling) yaitu suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin

agar penyelenggaraan negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan hukum

pemerintahan, pengawasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan

untuk menjamin sikap pemerintah agar berjalan sesuai hukum yang berlaku.

Dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang

ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh

lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.3

Melalui pelaksanaan fungsi pengawasan, lembaga ini melindungi kepentingan

rakyat, Sebab melalui penggunaan kekuasaan yang dilandasi oleh fungsi ini, DPR

dapat mengoreksi semua kegiatan lembaga kenegaraan lainnya melalui pelaksanaan

berbagai hak DPR. Dengan demikian tindakan-tindakan yang dapat mengabaikan

kepentingan anggota masyarakat dapat diperbaiki.

Tolak ukur suatu kontrol politik (pengawasan) berupa nilai-nilai politik yang

dianggap ideal dan baik (ideologi) yang dijabarkan dalam kebijakan atau

3

(15)

undang. Tujuannya adalah meluruskan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang

menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan dan pelaksananya

sejalan dengan tolak ukur tersebut. Fungsi kontrol merupakan konsekuensi logis

dalam sistem demokrasi dalam memperbaiki dirinya.4

Kegiatan pengawasan bukanlah tujuan dari suatu kegiatan pemerintah, akan

tetapi sebagai salah satu sarana untuk menjamin tercapainya tujuan. Dalam hukum

tata negara berarti menjamin segala sikap tindak lembaga-lembaga pemerintahan

(badan dan pejabat tata usaha negara) berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Mengenai fungsi pengawasan dan anggaran, bahwa pelaksanaan fungsi

anggaran oleh DPR tentunya secara bersama-sama menjalankan pula fungsi

pengawasan dimana di dalamnya harus terdapat sistem checks and balances. Selain

ketiga fungsi di atas, secara konstitusional DPR memiliki hak yang melekat

kepadanya. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dimana yang menjadi hak Dewan Perwakilan

Rakyat adalah Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.5

Pada hakikatnya ketiga fungsi DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga

fungsi ini selalu bersentuhan dengan fungsi yang lainnya, misalnya ketika DPR

menghasilkan Undang-Undang yang kemudian disetujui bersama dengan Presiden,

maka DPR harus mengadakan pengawasan terhadap produk Undang-Undang oleh

4

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet.II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 82.

5

(16)

lembaga Eksekutif yakni Presiden. Mengenai fungsi pengawasan dan anggaran,

bahwa pelaksanaan fungsi anggaran oleh DPR tentunya secara bersama-sama

menjalankan pula fungsi pengawasan dimana di dalamnya harus terdapat sistem

checks and balances.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya DPR menjalankan fungsinya dengan

menggunakan kewenangan yang dimilikinya, di dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan tentang tugas-tugas DPR, yaitu

mengawasi jalannya kinerja pemerintahan dengan menggunakan hak maupun

kewajibannya.6 Salah satu hak yang dimiliki oleh DPR dalam menjalankan fungsinya

untuk mengawasi pemerintahan yaitu Hak Angket, atau hak anggota badan legislatif

untuk mengadakan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan

strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang

diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Sebelum UUD 1945 diamandemen belum dikenal adanya istilah hak angket,

istilah hak angket DPR baru mulai muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2.

Latar belakang munculnya hak angket pasal 20 A dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum dan setelah perubahan mengandung

beberapa prinsip yang memiliki perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan atas

sistem penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945,

6

(17)

adalah upaya untuk menutupi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945

sebelum perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini.

Karena itu arah perubahan yang dilakukan adalah antara lain mempertegas

beberapa prinsip penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip

negara hukum (rechtsstaat) dan prinsip sistem konstitusional (constitutional system),

menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa

lembaga negara yang baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan

prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum. Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD

1945 sebelumnya untuk menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945.

Perubahan terutama ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan

kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan

negara demokrasi modern.7

Berkaitan dengan urgensi bagaimana penggunaan hak angket DPR pasca

amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam amandemen UUD

1945 yang pertama istilah hak angket belum dikenal, istilah hak angket baru mulai

muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2 yang disahkan pada tanggal 18

Agustus 2002. Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diuraikan

diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi dengan judul:

“Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasca

Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945”

7

(18)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Ruang lingkup penulisan skripsi mengenai kewenangan DPR dalam fungsi

pengawasan yang hanya dalam lingkup hak angket DPR RI yang hanya

membatasi masalah pada penggunaan Hak Angket DPR RI pasca amandemen

UUD NRI 1945 berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan pada

penjelasan, maka terdapat tiga pokok permasalahan yang akan menjadi acuan

dalam pembahasan pada bab bab selanjutnya, yakni:

a. Bagaimana Kekuasaan DPR menurut UUD NRI Tahun 1945 ?

b. Bagaimana Kekuasaan DPR dalam Penggunaan Hak Angket Menurut

Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 beserta Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2009?

c. Apa Saja Permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sesudah amandemen

UUD 1945 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas penelitian ini

bertujuan sebagai berikut :

(19)

b. Untuk mengetahui Kekuasaan DPR dalam penggunaan Hak Angket oleh

DPR berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 27 Tahun 2009

c. Untuk mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sebelum dan

sesudah amandemen UUD 1945

Adapun Manfaat penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan

merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut ke dalam bentuk tulisan.

2) Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan dan

menghubungkan dengan praktik di lapangan.

3) Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan di bidang hukum pada

umumnya maupun bidang ketatanegaraan pada khususnya yakni dengan

mempelajari literatur yang ada di kombinasikan dengan perkembangan

hukum yang timbul dalam masyarakat.

b. Manfaat Praktis

Sebagai kajian lebih lanjut Penelitian ini bertujuan untuk menggali

sejauhmana pelaksanaan sistem demokrasi yang dimiliki Indonesia terhadap

pemerintahan diterapkan dalam penerapan kebijakan yaitu dalam pengunaan

(20)

menambah khasanah keilmuan yang menyangkut tentang konsep kekuasaan

legislatif dalam tata hukum di Indonesia.

D. Metode Penelitian

Ada beberapa hal yang terkait dengan metode yang digunakan dalam penelitian

skripsi ini, yakni :

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode

penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma

hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan

pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang

menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat,8 karena titik tekannya adalah

pada peraturan perundang-undangan serta peraturan lainnya yang terkait dengan

penggunaan hak angket DPR RI pasca amandemen UUD 1945.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu Yuridis Normatif,

maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan

(statute approach), dan Pendekatan Konsep (conceptual approach). Pendekatan

8

(21)

Konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep yang dikemukakan para

ahli hukum dalam pendapatnya.9

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi

perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim10. Bahan Hukum primer

yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari UUD NRI Tahun 1945,

UUD 1945 (Sebelum Amandemen), UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan peraturan perundang-undangan lain yang

berkaitan dengan penggunaan hak angket DPR RI pasca amandemen UUD

1945.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri

dari buku-buku yang berkenaan dengan Hukum Tata Negara, buku-buku

hukum lainnya, Skripsi hukum tata negara, Tesis hukum tata negara,

9

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi,

(Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, 2012), h. 23.

10

(22)

Disertasi hukum tata negara, dan Jurnal ataupun materi-materi mengenai

hukum yang mendukung kepada proses penelitian ini.

c. Bahan non-hukum

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan

bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus

Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain-lain.

4. Pengumpulan Data

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum

yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah

dan diklasifikasikan menurut sumber hierarkinya.

5. Analisis Data

Karena pendekatan data utama penelitian ini adalah normatif, maka akan

dilakukan dengan analisis isi (Content Analisis). Teknik analisis ini diawali

dengan mengkompilasi berbagai dokumen termasuk pertauran

perundang-undangan ataupun referensi-referensi Hukum yang berkaitan dengan hak angket

DPR. Kemudian dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content), baik terkait

kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan

lainnya yang dimaksudkan dalam isi Undang-undang tersebut.

Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis

tersebut adalah; Pertama, semua bahan hukum yang diperoleh melalui normatif

disistematisir dan diklasifikasikan menurut masing-masing objek bahasannya.

(23)

yakni diuraikan dan dijelaskan sesuai objek yang diteliti berdasarkan teori.

Ketiga, bahan yang telah dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan

ukuran ketentuan hukum yang berlaku.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh penulis dalam skripsi

ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012

E. Tinjaun (review) Studi Terdahulu

Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan

dengan penelitian yang dijalankan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda.

Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang lebih

dahulu membahas terkait Hak Angket , diantaranya adalah:

No Nama Penulis/ Judul

skripsi, jurnal / Tahun.

Substansi Perbedaan dengan

Penulis

1. Randhika Oktaviano

/Penorobasan Rahasia

Bank oleh Panitia

Khusus Bank Century,

Skripsi UI 2010

- Dalam skripsi ini

menjelaskan tentang

fokus terhadap ivestigasi

bank century oleh panitia

angket DPR

Penulis menulis skripsi

tidak terfokus terhadap

investigasi terhadap bank

century, namun

(24)

hak angket secara umum

pasca amandemen UUD

NRI 1945

2. Lesmana /Hak Angket

sebagai hak DPR:

Mekanisme dan

Implikasinya Terhadap

Kemungkinan

Pemakzulan, UI skripsi

2010

- Skripsi ini Mejelaskan

tentang hak angket

terhadap kemungkinan

terjadinya pemakzulan.

Penulis menulis skripsi

tentang hak angket tidak

hanya fokus terkait

proses pemakzulan,

namun menjelaskan

proses terhadap eksekutif

baik itu presiden dan

jajarannya baik

menteri-menteri dan

penyelenggara negara

yang diduga melanggar

peraturan

perundang-undangan mengenai

kebijakan yang strategis.

3 Meri Yarni,SH.MH dan

Yetniwati, SH.MH/

Pelaksanaan Hak

Angket Dewan

- Jurnal ini menjelaskan

penyebab dan

pelaksanaan hak angket

DPRD di Kota Jambi

Penulis menulis skripsi

tentang penggunaan hak

angket dalam lingkup

(25)

Perwakilan Rakyat

Daerah Kota Jambi

Jurnal Ilmu Hukum

Universitas Jambi ,2009

lingkup provinsi atau

kota. Sehingga dasar

hukum dan mekanisme

penggunaan hak angket

sudah pasti berbeda.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.

Masing-masing bab terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup

dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing

bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang memuat: latar belakang masalah,

pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu dan sistematika

penelitian.

BAB II Pada bab ini dibahas tentang hak angket dan kekuasaan Legislatif di

Indonesia yang terdiri dari pengertian hak angket, sebab timbulnya hak

angket, landasan hak angket, mekanisme penggunaan hak angket dan

(26)

BAB III Bab ini membahas mengenai hak angket DPR yang terdiri dari sejarah DPR, peran dan wewenang DPR, hubungan hak angket dangan DPR,

penggunaan hak angket dibeberapa negara, dan Contoh Kasus Hak

Angket Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB IV Bab ini menjelaskan Penggunaan Hak Angket Pasca Amandemen

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri

dari Kekuasaan DPR RI Pasca amandemen UUD 1945, Kekuasaan

Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket Menurut

Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 beserta Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2009, Permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sebelum

dan sesudah amandemen UUD 1945

BAB V Bab ini merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini. Yang terdiri

(27)

BAB II

LANDASAN DAN MEKANISME HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

A. Pengertian Hak Angket

Pengertian angket di dalam Black Law Dictionary yaitu enquete yang artinya

sebagai berikut:

“An examination of witnesses (take down a writing) by or before an authorized judge for the purpose of gathering testimony to be used in trial.”11

Sehingga pengertian angket dalam kamus Black Law dapat diartikan sebagai sebuah

penyelidikan kepada para saksi (secara tertulis) baik sesudah atau sebelum disahkan

oleh hakim dengan tujuan dikumpulkannya kesaksian untuk digunakan di pengadilan.

Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) angket adalah

Penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan pemerintah.12

Hak angket sendiri pertama kali dikenal di Inggris pada pertengahan abad ke

XIV dan bermula dari right to investigate and chastice the abuses of administration

(hak untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan-penyelewengan dalam

administrasi pemerintahan) yang kemudian disebut right of impeachment (hak untuk

menuntut seorang pejabat karena melakukan pelanggaran jabatan). Hak ini pertama

kali digunakan oleh parlemen Inggris pada tahun 1376 yang mengakibatkan

11

Brian A Garner, Black Law Dictionary,Ninth Edition, ( West Group, 2009), h. 610.

12

(28)

pemecatan beberapa pejabat istana karena melakukan penyelewengan keuangan.

Sekarang hak angket di Inggris dilakukan oleh sebuah komisi khusus yang bertugas

menyelidiki kegiatan pemerintah dan administrasi.13

Pengertian dan ketentuan mengenai hak angket secara eksplisit diatur dalam

ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 Pasal 70 Tentang Perubahan

Konstitusi Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara

Republik Indonesia, sebagai berikut:

“Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang,”14

Sehingga pengertian Hak Angket sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

adalah hak menyelidiki yang dimiliki oleh DPR, yang untuk selanjutnya pengertian

Hak Angket dapat dilihat pada bagian konsiderans (Menimbang) pada

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954, sebagai berikut:

“bahwa hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan penyelidikan

(angket) perlu diatur dengan undang-undang”

Selanjutnya pengertian dan ketentuan tentang Hak Angket, ditentukan kembali

pada pasal 20 A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen,

sebagai berikut:

1. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan

fungsi pengawasan.

13

Arifin Sari Surunganlan Tambunan, Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Suatu Studi Analisis Mengenai Pengaturannya Tahun 1966-1997, (Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1998), h. 158.

14

(29)

2. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal

lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai

hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Untuk selengkapnya pengertian Hak Angket dapat dilihat pada Bagian

Penjelasan Pasal 27 huruf b Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang susunan

dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menyatakan

sebagai berikut:

“ Hak Angket adalah Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap

kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.15

B. Sebab Timbulnya Hak Angket

Secara normatif, hak Angket diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun

1954 tentang penetapan Hak Angket DPR yang dibuat berdasarkan UUD Sementara

1950 pada masa Demokrasi Parlementer. Kemudian dipertegas dalam pasal 27 huruf

b UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan

DPRD yang mengatur bahwa hak Angket merupakan hak DPR untuk menyelidiki

kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada

kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

15

(30)

Di dalam Undang-Undang tentang penetapan hak angket tidak menjelaskan

mengenai apa saja yang menjadi alasan untuk memunculkan hak angket. Dalam

ketentuan tersebut ditegaskan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan

penyelidikan terhadap pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah.

Dengan demikian hak angket dikenakan pada kebijakan pemerintah atau pelaksanaan

Undang-Undang oleh pemerintah.16

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 ini membatasinya dengan

menambahkan ketentuan bahwa kebijakan atau pelaksanaan Undang-Undang yang

dilakukan memiliki hubungan ataupun keterkaitan penting, strategis dan berdampak

luas pada kehidupan masyarakat. Kemudian terdapat kemungkinan terjadinya

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, yang terakhir ini menjadi

ketentuan yang membedakan antara hak angket dengan hak-hak yang dimiliki oleh

DPR.

Hal yang menjadi permasalahan mengenai alasan yang memungkinkan

diadakannya hak angket adalah mengenai syarat kebijakan ataupun pelaksanaan

perundang-undangan tersebut berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak

luas. Tidak ada batasan mengenai seberapa penting kebijakan tersebut, mengenai

tolak ukur yang rigid mengenai dapat tidaknya suatu kebijakan dapat dikenakan hak

angket. Hal yang dapat dijadikan pegangan mengenai alasan untuk mengajukan hak

angket ini adalah:

1. Bila kebijakan tersebut bersentuhan langsung dengan rakyat.

16

(31)

2. Bila kebijakan ataupun pelaksanaan Undang-Undang tersebut diduga

melanggar Undang-Undang.

C. Landasan Hak Angket

1. Landasan Filosofis

Zaman Yunani Kuno, Plato dan Aristoteles yakin, dan keyakinan mereka

sejalan dengan tradisi Yunani, bahwa hukum dan perundangan (nomos dan nomoi)

sangatlah penting untuk menata polis. Sejalan dengan keyakinan tersebut, didapati

bahwa tatanan atau bangunan politik yang baik selalu berupa aturan hukum, yakni

peraturan yang sesuai dengan hukum, yang akhirnya dapat membawa keadilan di

dalam masyarakat.17

Menurut John Locke hukum membuktikan bahwa hak rakyat untuk

menyusun aturan bersifat primer. Karena tidak ada manusia yang memiliki kuasa

untuk memasrahkan pelestarian diri, kepada kehendak absolut dan dominasi pihak

lain yang sewenang-wenang, maka bila orang yang hendak membawa pada

kondisi perbudakan maka berhak menolak. Dengan demikian masyarakat bisa

dikatakan sebagai penguasa tertinggi yang tidak berada di bawah bentuk

pemerintahan apapun.18

Walaupun hak angket tidak disebutkan secara jelas, namun sistem aturan

yang ada pada saat itu telah ada dalam pengaturan hubungan antara rakyat dengan

17

Carl Joachim Friedridh, Filsafat Hukum, (The University of Chicago Press, 1969), h. 17.

18

(32)

penguasa. Seperti halnya apabila terjadi penyelewengan kekuasaan, maka rakyat

dapat melawan atau menghukum atau mendelegasikan terhadap perwakilannya.

Maka sama halnya dengan hak angket yang tujuan awalnya sama yaitu untuk

mengawasi bagaimana jalannya pemerintahan agar tidak terjadi pelanggaran, yang

pada akhirnya sesuai dengan sila ke Lima Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh

Rakyat Indonesia”

2. Landasan Sosiologis

Pengawasan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar

penyelenggara negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan dengan hukum tata

negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin

terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegaraan sesuai

dengan hukum yang berlaku.19

Berangkat dari banyaknya kasus yang merugikan masyarakat langsung yang

dikarenakan kebijakan pemerintah. Seperti kasus century banyak nasabah yang

harus kehilangan uangnya karena kesalahan Bank Century dan kebijakan negara

yang hingga kini tidak kunjung selesai. Maka dari itu dibentuklah hak angket

untuk menyelidiki kasus tersebut agar kasus tersebut dapat terungkap dan kerugian

nasabah Bank Century dapat dikembalikan secepatnya.

Bentuk pengawasan hak angket di lakukan karena di lapangan pengawasan

terhadap jalannya pemerintahan sulit dilakukan karena kepolisian maupun

19

(33)

kejaksaan masih merupakan bagian dari eksekutif, disaat para penyidik baik itu

polisi atau kejaksaan tidak bisa berjalan maksimal maka DPR dapat menjalankan

fungsinya dengan menggunakan hak angket. Maka dari itu Legislatif di samping

pengawasan dapat menyelidiki apabila terdapat pelanggaran dalam kinerja

pemerintah.

3. Landasan Hukum

Mengenai pengaturan dan dasar hukum hak angket terbagi dalam beberapa

peraturan Perundang-Undangan yakni:

a. Konstitusi Indonesia

Dasar hukum mengenai pengaturan hak angket dalam Konstitusi dapat

ditemui dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat pasal 121 yang berbunyi

“Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut

aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang Federal”.20

Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 79 dinyatakan secara jelas bahwa “Dewan

Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut

aturan-aturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.

Dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak

angket secara jelas tercantum pada Pasal 20A ayat (2) dimana berbunyi” dalam

20

(34)

melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain

Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakian Rakyat mempunyai hak angket”.21

b. Undang-Undang

Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai hak angket

adalah Undang Nomor 6 Tahun 1954 Tentang Hak Angket,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1955, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985,

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999, Undang-Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD.

c. Peraturan di bawah Undang-Undang

Hak angket atau hak untuk menyelidiki telah dikenal oleh lembaga

legislasi saat kekuasaan legislasi di bawah komite nasional pusat dan badan

pekerja komite nasional pusat. Hal ini dapat ditemukan pada peraturan Tata

Tertib Badan Pekerja Komite Nasional Pusat.22

Pengaturan mengenai hak angket juga dapat ditemukan dalam peraturan

Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR.

Dalam peraturan ini hak angket salah satunya diatur dalam pasal 161 dimana

dikatakan bahwa DPR memiliki hak interpelasi, Angket, dan Menyatakan

21

Republik Indonesia, Pasal 20 A ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

22

(35)

Pendapat. Dalam peraturan tata tertib ini juga dijelaskan bagaimana proses hak

angket itu dilaksanakan.

D. Mekanisme Penggunaan Hak Angket

Mekanisme penggunaan Hak Angket DPR merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari struktur lembaga DPR. Adapun struktur lembaga DPR diatur dalam

UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan berdasarkan

peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib disebutkan tata cara

pelaksanaan Hak Angket.

Jika dilihat dari pengaturan hak angket maka pada intinya hak angket adalah

hak untuk menyelidiki. Dalam ketentuan KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana) Pasal 1 angka 5 mengatakan bahwa

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”,

M. Karjadi dan R. Soesilo menambahkan bahwa Penyelidikan adalah

tindakan-tindakan yang disebutkan dalam pasal 5 yaitu:23

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

2. Mencari keterangan dan barang bukti;

3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;

5. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;

6. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

23

(36)

7. Mengambil sidik jari dan memotret orang; dan

8. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

Pengertian menyelidiki yang dimaksud dengan hak angket memang tidak dapat

disamakan secara keseluruhan dengan penyelidikan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana. Hal mengenai tindakan paksa seperti penangkapan, menyuruh

berhenti, mengambil sidik jari, dan memotret orang dan membawa dan

menghadapkan seorang pada penyidik tentunya DPR tidak berwenang untuk

melakukannya. Meskipun demikian dalam menyelenggarakan hak angket terdapat

beberapa hak dan kewenangan yang dapat dilakukan oleh DPR dalam melakukan

penyelidikan yaitu:

1. Meminta keterangan pada pemerintah, badan hukum, organisasi profesi, saksi, pakar dan/atau pihak terkait;24

a. Saksi dapat merupakan warga negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang ada di Indonesia;25

b. Mendapatkan keterangan dari saksi atau Ahli yang berada diluar negeri melalui pertanyaan secara tertulis kepada menteri yang bersangkutan yang membantu dipenuhinya pertanyaan-pertanyaan itu dengan perantara perwakilan Indonesia di luar negeri;26

c. Dalam melakukan pemanggilan DPR dapat melakukannya secara tertulis;27

2. Melakukan sumpah pada saksi atau ahli yang berumur 16 tahun;28

3. Melakukan penuntutan pada saksi atau ahli ang lalai, melalui Kejaksaan Pengadilan Negeri;29

24

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Pasal 179 jo ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata tertib.

25

Republik Indonesia, Pasal 180, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

26

Republik Indonesia, Pasal 24, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954.

27

Republik Indonesia, Pasal 4, tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat.

28

(37)

4. Memaksa saksi atau ahli untuk datang memenuhi panggilan dengan bantuan Kepolisian atau Kejaksaan;30

5. Melakukan penahanan kepada saksi atau ahli yang membangkang melalui ketua Pengadilan Negeri;31

6. Memeriksa surat-surat yang disimpan oleh pegawai kementrian;32

7. Melakukan penyitaan dan atau menyalin surat kecuali berisi rahasia negara melalui Pengadilan Negeri.33

Ketentuan mengenai hal apa yang menjadi objek penyelidikan dapat ditemukan pada

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (3) “Hak angket sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan

terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang

berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.” Dengan demikian jelas yang menjadi objek dari penyelidikan

yang dilakukan oleh DPR adalah kebijakan atau pelaksanaan Undang-Undang oleh

pemerintah.

Dalam bagian umum pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

disebutkan hak-hak yang di miliki oleh DPR yaitu:

a. Hak interpelasi ; b. Hak angket; dan

29

Republik Indonesia, Pasal 10, Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

30

Republik Indonesia, Pasal 180 ayat (3), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Indonesia, jo Pasal 169 ayat (6) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.

31

Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (2), Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 tentang Hak Angket.

32

Republik Indonesia,Pasal 18, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954.

33

(38)

c. Hak menyatakan pendapat.34

Sedangkan tata cara pelaksanaan hak angket tercantum dalam pasal 166 sampai

dengan pasal 170 yaitu:

1. Hak angket diusulkan oleh paling sedikit dua puluh lima orang anggota dan lebih dari satu fraksi.

2. Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan alasan penyelidikan.35

3. Usul hak angket disampaikan, diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna dan dibagikan kepada seluruh anggota.

4. Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat paripurna atas usul hak angket dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasaan atas usul hak angket secara ringkas.

5. Selama usul hak angket belum disetujui oleh rapat paripurna, pengusul berhak mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali.

6. Perubahan atau penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan pimpinan membagikan kepada seluruh anggota

7. Dalam hal jumlah penandatangan usul hak angket yang belum memasuki Pembicaraan Tingkat I menjadi kurang dari jumlah, harus diadakan penambahan penandatangan sehingga jumlahnya mencukupi.

8. Dalam hal terjadi pengunduran diri penandatangan usul hak angket sebelum dan pada saat rapat paripurna yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat terhadap jumlah penandatangan tidak mencukupi, Ketua rapat paripurna mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penandatangan mencukupi.

9. Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul angket dengan membubuhkan tandatangan pada lembar pengusul, Ketua rapat paripurna mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna tetap dapat dilanjutkan.

10. Apabila sampai dua kali masa persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.36

34

Republik Indonesia, Pasal 161, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

35

Republik Indonesia, Pasal 177, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, jo Pasal 166 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib

.

36

(39)

11. Dalam hal rapat paripurna memutuskan untuk menyetujui usul mengadakan angket, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket. 12. Keputusan DPR untuk mengadakan angket mencakup juga penentuan biaya

panitia angket.

13. Keputusan DPR disampaikan kepada Presiden dan diumumkan dalam Berita Negara.

14. Dalam melaksanakan hak angket, panitia khusus berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.

15. Panitia khusus meminta kehadiran pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis dalam jangka waktu yang cukup dengan menyebutkan maksud permintaan tersebut dan jadwal pelaksanaannya.

16. Pihak yang hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukkan dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada panitia khusus.

17. Panitia khusus dapat menunda pelaksanaan rapat akibat ketidakhadiran pihak karena suatu alasan yang dapat diterima.

18. Apabila pihak yang dipanggil tidak hadir tanpa alasan yang dapat diterima atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta sekali lagi kehadiran yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan.

19. Apabila pihak tersebut tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua tanpa alasan yang dapat diterima atau menolak hadir, bagi yang bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh aparat yang berwajib yaitu kepolisian atau kejaksaan atas permintaan panitia khusus, yang bersangkutan dapat disandera lima belas hari oleh aparat yang berwajib, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.37

20. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, panitia angket menyampaikan laporan dalam rapat paripurna, kemudian laporan tersebut dibagikan kepada seluruh anggota.

21. Pengambilan keputusan tentang laporan panitia angket, didahului dengan laporan hasil panitia angket dan pendapat akhir fraksi, kemudian keputusan tersebut disampaikan kepada Presiden.

22. DPR dapat menindaklanjuti keputusan sesuai dengan kewenangan DPR menurut peraturan perundang-undangan.38

37

Republik Indonesia, Pasal 169, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009.

38

(40)

Dalam melaksanakan hak angket, maka dibentuklah panitia khusus hak angket.

Panitia khusus ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 pasal 136

sampai pasal 141. Penjelasannya sebagai berikut:

1. Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara.39

2. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

3. Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak tiga puluh orang.40

4. Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.

5. Pimpinan panitia khusus terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

6. Pemilihan pimpinan panitia khusus dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.41

7. Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna.

8. Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR.

9. Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.

10.Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.42 11.Panitia khusus menggunakan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai

dengan kebutuhan yang diajukan kepada pimpinan DPR.43

39

Republik Indonesia, Pasal 136, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

40

Republik Indonesia, Pasal 137. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

41

Republik Indonesia, Pasal 138, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

42

Republik Indonesia, Pasal 139, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

43

(41)

12.Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja panitia khusus diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.44

E. Landasan Teori

1. Teori Lembaga Negara

Ketentuan UUD 1945 hasil amandemen sama sekali tidak terdapat

ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi “Lembaga Negara”, sehingga

banyak pemikir hukum Indonesia yang melakukan penemuan hukum untuk

mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep Lembaga Negara.

Pengertian di atas juga memberi contoh frasa yang menggunakan kata

lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan sebagai badan-badan

pemerintahan dalam lingkungan eksekutif.45 Secara definitif, Lembaga Negara

adalah institusi-institusi yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi

negara.46

Has Natabaya dalam Ernawati Munir mengatakan bahwa istilah badan,

organ, atau lembaga mempunyai makna yang esensinya kurang lebih sama.

Ketiganya dapat digunakan untuk menyebutkan suatu organisasi yang tugas dan

fungsinya menyelenggarakan pemerintahan negara. Namun demikian perlu

44

Republik Indonesia, Pasal 137. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

45

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 905.

46

(42)

ditekankan adanya konsistensi penggunaan istilah agar tidak digunakan dua

istilah untuk maksud yang sama.

Secara sederhana istilah Organ Negara atau Lembaga Negara dapat

dibedakan dari perkataan Organ atau Lembaga Swasta, atau yang biasa disebut

Ornop atau Organisasi Nonpemerintah. Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang

dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai Lembaga

Negara. Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif,

yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.47

Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur

kelembagaan Republik Indonesia terdapat delapan buah organ negara yang

mempunyai kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan

konstitusional dari UUD

Delapan lembaga negara tersebut dibagi atas 4 kekuasaan dan satu

Lembaga Negara Bantu sebagai berikut: Pertama, Kekuasaan Legislatif, yaitu:

Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tersusun atas: Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Daerah; Kedua, Kekuasaan Eksekutif, yaitu: Presiden dan

47

(43)

Wakil Presiden; Ketiga, Kekuasaan Yudisial, meliputi: Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi.48

Kekuasaan terakhir adalah di bidang Eksaminatif (Inspektif), yaitu: Badan

Pemeriksa Keuangan. Lembaga Negara Bantu (the state auxiliary body), yaitu

Komisi Yudisial. Di samping kedelapan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa

lembaga atau institusi yang diatur kewenangannya dalam UUD, yaitu: (1)

Tentara Nasional Indonesia, (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (3)

Pemerintah Daerah, dan (4) Partai Politik. 49

Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut

fungsinya, namun kewenangannya dinyatakan akan diatur dengan

undang-undang, yaitu: (1) bank sentral yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”,

dan (2) Komisi Pemilihan Umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan

huruf kecil.50

Oleh karena itu, dapat dibedakan dengan tegas antara kewenangan organ

negara berdasarkan perintah Undang-Undang dan kewenangan organ negara

yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang, bahkan dalam kenyataan ada

pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari

Keputusan Presiden belaka.

48Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia,

cet.I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.151.

49

Titik Triwulan Tutik, Konstitusi Hukum Tata Negara Indonesia Pasaca Amandemen UUD 1945, cet.I, (Jakarta: Kencana, 2010), h.176.

50

(44)

Lembaga Negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar

merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan

Undang-Undang merupakan organ Undang-Undang-Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk

karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat

perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.51

2. Teori Lembaga Perwakilan

Lembaga perwakilan adalah cara yang sangat praktis untuk memungkinkan

anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya terhadap orang-orang yang

menjalankan tugas kenegaraannya. Teori lembaga perwakilan muncul karena

asas demokrasi langsung, menurut Rousseau tidak mungkin lagi dapat

dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara, dan

bertambah rumitnya urusan kenegaraan.52

Adanya penyerahan kekuasaan rakyat pada Caesar yang secara mutlak

diletakkan pada Lex Regia menurut orang Romawi dapat dianggap Caesar itu

sebagai suatu perwakilan. Pada abad menengah mulai nyata timbul lembaga

perwakilan yaitu pada saat sistem monarki feodal yang memungkinkan para

feodal menguasai tanah dan orang di atas tanah tersebut. Dalam teorinya ada

beberapa macam dari lembaga perwakilan:

a. Teori Mandat

51

Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi, h.60.

52

(45)

Si wakil dianggap duduk di Lembaga Perwakilan karena mendapat

mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di

Perancis sebelum revolusi dan dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh

Petion. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka teori mandat inipun terus

menyesuaikan diri sesuai dengan kebutuhan zamannya.

b. Teori Organ

Teori organ muncul melalui pemikiran Von Gierke, menurut teori ini

negara merupakan suatu organisme yang mempunyai alat-alat

perlengkapannya seperti Eksekutif, Parlemen, dan mempunyai rakyat yang

kesemuanya mempunyai fungsi masing-masing dan saling ketergantungan

satu sama lain. Maka sesudah rakyat memilih Lembaga Perwakilan mereka

tidak perlu lagi mencampuri lembaga tersebut dan lembaga ini bebas

berfungsi sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang

Dasar.

c. Sifat Perwakilan

Umumnya perwakilan mempunyai kelemahan jika dipilih lewat

pemilihan umum, karena yang terpilih biasanya adalah orang populer karena

reputasi politiknya, tetapi belum tentu menguasai bidang teknik pemerintahan

dan perekonomian. Sedang para ahli sukar terpilih melalui perwakilan politik

ini, apalagi dengan sistem pemilihan distrik.53

53

(46)

Di Negara maju kelemahan ini kurang terasa, karena tingkat

pengetahuan dan pendidikan sudah begitu maju. Lain halnya dengan negara

berkembang, menganggap bahwa perlu mengangkat orang-orang tertentu di

dalam Lembaga Perwakilan disamping melalui pemilihan umum karena masih

belum sangat siap dibandingkan negara maju.

3. Teori Kedaulatan Rakyat

Teori kedaulatan rakyat dikemukakan oleh J.J.Rousseau dan Imanuel Kant.

J.J.Rousseau mengemukakan pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat. Ia

berpendapat sebagai berikut:

“kedaulatan rakyat itu pada prinsipnya merupakan cara atau sistem

mengenai pemecahan sesuatu soal menurut cara atau sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum. Jadi, kehendak umum hanyalah khayalan saja

yang bersifat abstrak dan kedaulatan itu adalah kehendak umum”54

J.J.Rousseau memfokuskan kedaulatan rakyat pada kehendak umum.

Kehendak umum yang dimaksud disini adalah kesatuan yang dibentuk individu

dan mempunyai kehendak. Kehendak individu-individu diperoleh melalui

perjanjian masyarakat. Sementara Immanuel Kant juga mengemukakan

pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat. Ia berpendapat bahwa:

“tujuan negara adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga

negaranya. Dalam pengertian kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundangan, sedangkan yang membuat undang-undang adalah rakyat sendiri. Undang-undang-undang merupakan penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan

tertinggi atau kedaulatan” 55

54

Soehino, Ilmu Negara, ed.3 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 161.

55

(47)

Teori kedulatan rakyat juga terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan

teori kedaulatan rakyat disajikan berikut ini.

1. Rakyat dapat memberitahukan pada pemerintah keluhan-keluhan yang dirasakan.

2. Rakyat mampu menentukan siapa pemimpin yang dia inginkan. Degan ini semua inspirasi rakyat dapat tertampung sebagai proses menuju kesejahteraan.

3. Kezaliman dapat diberantas karena yang memiliki kekuasaan adalah rakyat56

Jadi, jika pemimpin ingin melakukan kezaliman, pemimpin tersebut dapat

dilengserkan.

Kekurangan teori kedaulatan rakyat adalah sebagai berikut:

1. Dengan adanya pucuk kekuasaan diserahkan pada rakyat, dikhawatirkan sulit untuk memerintah. Contohnya apabila terjadi perang dengan negeri Jiran, dan seumpama rakyat di negara tersebut menolak untuk berjuang dan memilih untuk mengungsi, kedaulatan negara tersebut akan dirampas oleh kekuasaan lain. Ini merupakan salah satu penghinaan terhadap negara yang berdaulat karena pemerintah tidak berkuasa untuk mengumpulkan kekuasaan yang dimilikinya demi memberantas kezaliman dari pihak luar.

2. Kalau rakyat yang memiliki kekuasaan tersebut, sedangkan mereka bukanlah orang yang benar-benar mengerti secara dalam ilmu tentang ilmu politik dan filsafat, lalu mereka menghendaki sebuah kebijakan yang sebenarnya secara realita akan menjalaskan kemakmuran negara, pemerintah yang memerintah pasti kesulitan untuk memberi kebijakan yang terbaik untuknya. Ini dibuktikan pada negara-negara yang melakukan sistem demokrasi bebas yang rakyatnya masih banyak tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk berpikir lebih jauh tentang kemaslahatan negaranya. Contohnya adalah Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya.

56

(48)

3. Apabila rakyat secara mayoritas ingin melegalkan sesuatu yang dianggap negatif, pemerintah tidak dapat menghalangi ini. Dengan ini, negara akan menjurus pada kesesatan yang membawa pada negatif moral etika dan moral kepercayaan. Dampak permasalahan ini sangat berbahaya karena akan membawa negara menjadi tidak stabil dari segi moral. Tanpa moral, negara akan terjerumus pada kriminalitas.57

Walaupun teori kedaulatn rakyat terdapat kekurangan, kebanyakan negara

di dunia mengikuti teori kedaulatan rakyat dalam penyelenggara negara. Hal ini

disebabkan karena rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam

penyelenggaraan negara. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan hak angket maka

jelas DPR merupakan representatif dari rakyat yang berhak menjalankan tugas

pengawasannya terhadap pemerintah, yaitu dengan cara menggunakan hak

angket.

57

(49)

BAB III

HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat

Sesuai dengan konsep trias politica, DPR merupakan bagian dari kekuasaan

legislatif di tingkat pusat, sedangkan ditingkat daerah dipegang oleh DPRD. Selama

ini terjadi banyak perubahan baik dari fungsi dan wewenang DPR sejak dari masa

sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga pasca reformasi saat ini terus

mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejarah perkembangan DPR di

Indonesia sebagai berikut:

1. Masa Sebelum Kemerdekaan Volksraad (1918-1942)

Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen

bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad.

Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan

yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).

Volksraad hanya dirancang oleh Belanda sebagai konsesi untuk dukungan

popular dari rakyat di tanah jajahan terhadap keberadaan Pemerintahan Hindia

Belanda.58

Pada tanggal 8 Maret 1942 setelah kedatangan penjajah Jepang kemudian

Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian

58

(50)

penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad

secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa

perjuangan Kemerdekaan.

2. DPR Pada Masa Orde Lama

Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945

belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan

dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. KNIP merupakan

badan pembantu presiden yang pembentukannya didasarkan pada keputusan

sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa ini bangsa

Indonesia masih di hadapkan kepada persoalan pengakuan kemerdekaan dari

negara lain.59

Pada masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) kewenangan yang

dimiliki DPR terus berkembang. Hal ini ditandai dengan hak yang dimiliki DPR

antara lain: hak budget, hak inisiatif, dan hak amandemen, menyusun Rancangan

Undang-Undang (RUU) bersama-sama dengan pemerintah, hak bertanya, hak

interpelasi, dan hak angket.60

Pada tahun 1959 Presiden mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya

menyatakan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan

berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, maka keterwakilan yang dimiliki DPR

59

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Dian Rakyat, 1998), Cet.XIX, h. 331.

60

(51)

menjadi terbatas. DPR bekerja dalam suatu rangka yang lebih sempit, dalam arti

hak-haknya kurang luas dalam Undang-Undang Dasar 1945 jika dibandingkan

dengan UUD RIS 1945 dan UUD 1950.61

Pada saat DPR Gotong-Royong (DPR-GR) didirikan dengan penetapan

presiden No 4 Tahun 1960 yang mengatur susunan DPR-GR. DPR-GR ini

berbeda sekali dengan DPR sebelumnya, karena DPR-GR bekerja dalam susunan

dimana DPR ditonjolkan peranannya sebagain pembantu pemerintah, yang

tercermin dalam istilah Gotong Royong. Perubahan fungsi ini tercermin dalam

istilah Gotong-Royong. Perubahan fungsi ini tercermin di dalam tata tertib

DPR-GR yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.14 Tahun 1960.62

3. DPR Pada Masa Orde Baru

Dalam suasana penegakkan Orde Baru sesudah terjadinya G 30 S/PKI,

DPR-GR mengalami perubahan, baik mengenai keanggotaan maupun

wewenangnya. Selain itu juga diusahakan agar tata kerja DPR-GR lebih sesuai

dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU

No. 10/1966, DPR-GR masa Orde Baru memulai kerjanya dengan

menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru.

61

B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), Edisi Revisi, h. 118.

62

(52)

Sesudah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan Orde

Baru, akhirnya berhasil menyelenggarakan pemilu yang pertama pada tahun

1971. Seharusnya berdasarkan ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu

diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum

MPR 1967 oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presidden Soekarno,

dengan menetapkan bahwa pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.63

Sejak Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 pemerintahan “Orde Baru”

mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta

Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua

partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi

Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi)

ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru”

tergabung dalam Golkar.64

Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara

terbanyak. Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan

presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi

dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu

menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya

63

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.338.

64

(53)

sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya

untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.

4. DPR Pada Masa Reformasi

DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam

masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang

kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie,

m

Referensi

Dokumen terkait

Pada hasil uji perbandingan dengan uji Mann Whitney U didapat nilai sebesar 0,000 dengan nilai signifikan sebesar 0,000 dan nilai Z adalah -6,655 yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil masyarakat commuter, hubungan sosial, dan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat commuter di Dusun Sungai

Noviand Collection lebih sering menerapkan metode B2C (Bussines To Customer) atau kostumer datang ke toko dan melakukan transaksi di toko. Di masa pandemi seperti

Dapatan kajian menunjukkan bahawa tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara faktor suasana sekolah, latar belakang, psikologi, sikap pelajar dan rakan sebaya terhadap

Bahkan pada kelas eksperimen guru menganggap siswa tidak serius ketika proses KBM berjalan (indikator pertama yang mendapat respon negatif di kelas eksperimen

Pada pretest kelompok kontrol didapatkan nilai Q1 atau posisi bawah data sebesar 9,75 yang berarti sebanyak 75 % responden memperoleh skor tersebut dan nilai Q3 atau posisi

Adapun hasil penelitian ini dapat di simpulkan sebagai berikut: (1) Variabel kepemilikan institusional berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap konservatisme akuntansi;

Hal tersebut dilakukan untuk melihat apakah tiap-tiap jalur tersebut berhasil merubah kondisi lampu lalu lintas yang berada pada persimpangan di jalur tersebut ketika