Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Roma Rizky Elhadi
NIM: 109048000074
KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Roma Rizky Elhadi
NIM. 109048000074
KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 telah diujikan dalam Sidang Munaqosah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum.
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi satu
syarat memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Januari 2014
Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakulatas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/ 2013 M. xii + 80 halaman + hal lampiran. Penelitian ini menganalisi tentang penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat paska amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mengetahugaimana mekanisme penggunaan hak angket DPR dan permasalahan dalam proses pelaksanaan hak angket itu sendiri. Peneletian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisis kasus penggunaan hak angket pasca amandemen undang-undang dasar 1945. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literature, pendapat ahli, makalah-makalah. Dalam studi kepustakaan penulis menganalisis tentang landasan pelaksanaaan hak angket DPR yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Ketentuan mengenai tata pelaksanaan hak angket yang terdapat di dalamnya saling bertentangan sehingga sering terjadi ketidakkonsistenan dalam penerapannya. Tata cara pelaksanaan hak angket juga diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI, peneliti dalam hal ini meneliti dasar hukum hak angket dan apa saja permasalahan yang terdapat dalam proses pelaksanaan hak angket.
Kata Kunci : Hak Angket, Dewan Perwakilan rakyat, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Pembimbing : 1. Nur Habibi S.H.I., M.H 2. Nur Rohim Yunus L.L.M
Segala puji dan Syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat
serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA
AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Besar kita Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia
dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Nur Habibi SH.I, M.H dan Bapak Nur Rohim Yunus, L.LM. selaku Dosen
memberikan bimbingan dan masukannya selama beberapa tahun kepada penulis.
Semoga apa yang telah bapak arahkan kepada penulis dapat bermanfaat dan
dibalas oleh Allah SWT.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan selama penulis menjadi mahsiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang
diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
6. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
staff Perpustakaan Universitas Indonesia, dan staff Humas DPR yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dan memberi data
guna menyelesaikan skripsi ini.
7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Rushadi S.St., dan Ibunda Usu Suhernih
yang selalu mengirimkan doa dan mencurahkan kasih sayangnya, serta kakak
tercinta Febrian Hadinata S.St dan Adikku tercinta Habil Rahman yang selalu
memberikan semangat dan bantuan baik segi moril dan materil selama proses
menyelesaikan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat penulis seperjuangan semasa kuliah di lingkungan kampus UIN
disebutkan satu persatu). Terimakasih untuk kebersamaannya dalam suka dan
duka selama berada dalam studi Ilmu Hukum.
9. Sahabat-sahabat Alumni SMA Titian Teras angkatan XI ( Iryandi, Paulus Zega,
Suprayogi, Dodi Meyondri, Regi Refyunando, Bari Ariatma, Diky Kurniadi,
Didik Erwanto, Yoza Wiratama, Fariz Amar, Nugroho, Yunita Hasri dan
teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu). Terimakasih untuk
kebersamaannya dalam suka maupun duka baik selama SMA hingga saat
menjalani perkuliahan selama beberapa tahun ini.
10.Sahabat-sahabat KKN KOMPAK UIN Jakarta 2012 (Cahya, Surya, Rizky,
Almam, Ivan, Jumhur, Erin, Aida, Ovi, Tika, Upi, Fikria, Lina, Thalita) yang
memberi warna selama proses kegiatan perkuliahan dan memberi semangat demi
kelancaran penulisan skripsi ini.
11.Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan kalian semua
(Amin).
Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih dan permohonan maaf yang
Jakarta, 23 Januari 2014
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Metode Penelitian... 8
E. Tinjaun (Review) Kajian Terdahulu ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II LANDASAN DAN MEKANISME HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ... 15
A. Pengertian Hak Angket ... 15
B. Sebab Timbulnya Hak Angket ... 17
C. Landasan Hak Angket ... 19
A. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat ... 37
B. Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat ... 42
C. Hubungan Hak Angket dengan Dewan Perwakilan Rakyat... 43
D. Penggunan Hak Angket dibeberapa Negara ... 46
E. Contoh Kasus Hak Angket Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ... 52
BAB IV PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ... 57
A. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 ... 57
BAB V PENUTUP ... 73
A. Kesimpulan... 73
B. Saran ... 74
Indonesia merupakan negara konstitusional atau constitutional state, yaitu
negara yang dibatasai oleh konstitusi.1 Dalam empat ciri klasik negara hukum Eropa
Kontinental yang biasa disebut rechtsstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan
sebagai salah satu ciri pokok negara hukum.2 Oleh karena itu menurut Montesquieu
dengan teori trias politica yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, sehingga tidak ada
lagi yang dominan dalam menjalankan pemerintahan, seperti eksekutif dalam
menjalankan kebijakannya selalu dipantau oleh legislatif atau di Indonesia disebut
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Terdapat tiga fungsi utama DPR, ketiga fungsi utama tersebut adalah Fungsi
Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pada hakikatnya ketiga fungsi
DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga fungsi ini selalu bersentuhan dengan
fungsi yang lainnya, misalnya ketika DPR menghasilkan Undang-Undang yang
kemudian disetujui bersama dengan Presiden, maka DPR harus mengadakan
pengawasan terhadap pelaksanaan produk Undang-Undang oleh lembaga Eksekutif
yakni Presiden.
1
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 281.
2
Peranan DPR diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh berbagai unsur
DPR seperti anggota, pemimpin, fraksi, komisi, dan badan kelengkapan DPR secara
sendiri-sendiri atau secara bersama-sama yang dilakukan dalam rangka melaksanakan
fungsi badan tersebut. Dengan demikian, aktivitas unsur-unsur DPR yang bertujuan
melaksanakan fungsi perwakilan, perundang-undangan dan pengawasan, merupakan
kewenangan lembaga ini.
Pengawasan (controlling) yaitu suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin
agar penyelenggaraan negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan hukum
pemerintahan, pengawasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan
untuk menjamin sikap pemerintah agar berjalan sesuai hukum yang berlaku.
Dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh
lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.3
Melalui pelaksanaan fungsi pengawasan, lembaga ini melindungi kepentingan
rakyat, Sebab melalui penggunaan kekuasaan yang dilandasi oleh fungsi ini, DPR
dapat mengoreksi semua kegiatan lembaga kenegaraan lainnya melalui pelaksanaan
berbagai hak DPR. Dengan demikian tindakan-tindakan yang dapat mengabaikan
kepentingan anggota masyarakat dapat diperbaiki.
Tolak ukur suatu kontrol politik (pengawasan) berupa nilai-nilai politik yang
dianggap ideal dan baik (ideologi) yang dijabarkan dalam kebijakan atau
3
undang. Tujuannya adalah meluruskan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang
menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan dan pelaksananya
sejalan dengan tolak ukur tersebut. Fungsi kontrol merupakan konsekuensi logis
dalam sistem demokrasi dalam memperbaiki dirinya.4
Kegiatan pengawasan bukanlah tujuan dari suatu kegiatan pemerintah, akan
tetapi sebagai salah satu sarana untuk menjamin tercapainya tujuan. Dalam hukum
tata negara berarti menjamin segala sikap tindak lembaga-lembaga pemerintahan
(badan dan pejabat tata usaha negara) berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Mengenai fungsi pengawasan dan anggaran, bahwa pelaksanaan fungsi
anggaran oleh DPR tentunya secara bersama-sama menjalankan pula fungsi
pengawasan dimana di dalamnya harus terdapat sistem checks and balances. Selain
ketiga fungsi di atas, secara konstitusional DPR memiliki hak yang melekat
kepadanya. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dimana yang menjadi hak Dewan Perwakilan
Rakyat adalah Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.5
Pada hakikatnya ketiga fungsi DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga
fungsi ini selalu bersentuhan dengan fungsi yang lainnya, misalnya ketika DPR
menghasilkan Undang-Undang yang kemudian disetujui bersama dengan Presiden,
maka DPR harus mengadakan pengawasan terhadap produk Undang-Undang oleh
4
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet.II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 82.
5
lembaga Eksekutif yakni Presiden. Mengenai fungsi pengawasan dan anggaran,
bahwa pelaksanaan fungsi anggaran oleh DPR tentunya secara bersama-sama
menjalankan pula fungsi pengawasan dimana di dalamnya harus terdapat sistem
checks and balances.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya DPR menjalankan fungsinya dengan
menggunakan kewenangan yang dimilikinya, di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan tentang tugas-tugas DPR, yaitu
mengawasi jalannya kinerja pemerintahan dengan menggunakan hak maupun
kewajibannya.6 Salah satu hak yang dimiliki oleh DPR dalam menjalankan fungsinya
untuk mengawasi pemerintahan yaitu Hak Angket, atau hak anggota badan legislatif
untuk mengadakan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sebelum UUD 1945 diamandemen belum dikenal adanya istilah hak angket,
istilah hak angket DPR baru mulai muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2.
Latar belakang munculnya hak angket pasal 20 A dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum dan setelah perubahan mengandung
beberapa prinsip yang memiliki perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan atas
sistem penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945,
6
adalah upaya untuk menutupi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945
sebelum perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini.
Karena itu arah perubahan yang dilakukan adalah antara lain mempertegas
beberapa prinsip penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip
negara hukum (rechtsstaat) dan prinsip sistem konstitusional (constitutional system),
menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa
lembaga negara yang baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan
prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum. Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD
1945 sebelumnya untuk menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945.
Perubahan terutama ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan
kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan
negara demokrasi modern.7
Berkaitan dengan urgensi bagaimana penggunaan hak angket DPR pasca
amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam amandemen UUD
1945 yang pertama istilah hak angket belum dikenal, istilah hak angket baru mulai
muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2 yang disahkan pada tanggal 18
Agustus 2002. Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diuraikan
diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi dengan judul:
“Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasca
Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945”
7
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Ruang lingkup penulisan skripsi mengenai kewenangan DPR dalam fungsi
pengawasan yang hanya dalam lingkup hak angket DPR RI yang hanya
membatasi masalah pada penggunaan Hak Angket DPR RI pasca amandemen
UUD NRI 1945 berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan pada
penjelasan, maka terdapat tiga pokok permasalahan yang akan menjadi acuan
dalam pembahasan pada bab bab selanjutnya, yakni:
a. Bagaimana Kekuasaan DPR menurut UUD NRI Tahun 1945 ?
b. Bagaimana Kekuasaan DPR dalam Penggunaan Hak Angket Menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 beserta Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009?
c. Apa Saja Permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sesudah amandemen
UUD 1945 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas penelitian ini
bertujuan sebagai berikut :
b. Untuk mengetahui Kekuasaan DPR dalam penggunaan Hak Angket oleh
DPR berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 27 Tahun 2009
c. Untuk mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sebelum dan
sesudah amandemen UUD 1945
Adapun Manfaat penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan
merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut ke dalam bentuk tulisan.
2) Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan dan
menghubungkan dengan praktik di lapangan.
3) Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan di bidang hukum pada
umumnya maupun bidang ketatanegaraan pada khususnya yakni dengan
mempelajari literatur yang ada di kombinasikan dengan perkembangan
hukum yang timbul dalam masyarakat.
b. Manfaat Praktis
Sebagai kajian lebih lanjut Penelitian ini bertujuan untuk menggali
sejauhmana pelaksanaan sistem demokrasi yang dimiliki Indonesia terhadap
pemerintahan diterapkan dalam penerapan kebijakan yaitu dalam pengunaan
menambah khasanah keilmuan yang menyangkut tentang konsep kekuasaan
legislatif dalam tata hukum di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Ada beberapa hal yang terkait dengan metode yang digunakan dalam penelitian
skripsi ini, yakni :
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma
hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan
pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang
menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat,8 karena titik tekannya adalah
pada peraturan perundang-undangan serta peraturan lainnya yang terkait dengan
penggunaan hak angket DPR RI pasca amandemen UUD 1945.
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu Yuridis Normatif,
maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), dan Pendekatan Konsep (conceptual approach). Pendekatan
8
Konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep yang dikemukakan para
ahli hukum dalam pendapatnya.9
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim10. Bahan Hukum primer
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari UUD NRI Tahun 1945,
UUD 1945 (Sebelum Amandemen), UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan peraturan perundang-undangan lain yang
berkaitan dengan penggunaan hak angket DPR RI pasca amandemen UUD
1945.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari buku-buku yang berkenaan dengan Hukum Tata Negara, buku-buku
hukum lainnya, Skripsi hukum tata negara, Tesis hukum tata negara,
9
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi,
(Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, 2012), h. 23.
10
Disertasi hukum tata negara, dan Jurnal ataupun materi-materi mengenai
hukum yang mendukung kepada proses penelitian ini.
c. Bahan non-hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus
Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain-lain.
4. Pengumpulan Data
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum
yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah
dan diklasifikasikan menurut sumber hierarkinya.
5. Analisis Data
Karena pendekatan data utama penelitian ini adalah normatif, maka akan
dilakukan dengan analisis isi (Content Analisis). Teknik analisis ini diawali
dengan mengkompilasi berbagai dokumen termasuk pertauran
perundang-undangan ataupun referensi-referensi Hukum yang berkaitan dengan hak angket
DPR. Kemudian dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content), baik terkait
kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan
lainnya yang dimaksudkan dalam isi Undang-undang tersebut.
Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis
tersebut adalah; Pertama, semua bahan hukum yang diperoleh melalui normatif
disistematisir dan diklasifikasikan menurut masing-masing objek bahasannya.
yakni diuraikan dan dijelaskan sesuai objek yang diteliti berdasarkan teori.
Ketiga, bahan yang telah dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan
ukuran ketentuan hukum yang berlaku.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh penulis dalam skripsi
ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
E. Tinjaun (review) Studi Terdahulu
Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan
dengan penelitian yang dijalankan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda.
Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang lebih
dahulu membahas terkait Hak Angket , diantaranya adalah:
No Nama Penulis/ Judul
skripsi, jurnal / Tahun.
Substansi Perbedaan dengan
Penulis
1. Randhika Oktaviano
/Penorobasan Rahasia
Bank oleh Panitia
Khusus Bank Century,
Skripsi UI 2010
- Dalam skripsi ini
menjelaskan tentang
fokus terhadap ivestigasi
bank century oleh panitia
angket DPR
Penulis menulis skripsi
tidak terfokus terhadap
investigasi terhadap bank
century, namun
hak angket secara umum
pasca amandemen UUD
NRI 1945
2. Lesmana /Hak Angket
sebagai hak DPR:
Mekanisme dan
Implikasinya Terhadap
Kemungkinan
Pemakzulan, UI skripsi
2010
- Skripsi ini Mejelaskan
tentang hak angket
terhadap kemungkinan
terjadinya pemakzulan.
Penulis menulis skripsi
tentang hak angket tidak
hanya fokus terkait
proses pemakzulan,
namun menjelaskan
proses terhadap eksekutif
baik itu presiden dan
jajarannya baik
menteri-menteri dan
penyelenggara negara
yang diduga melanggar
peraturan
perundang-undangan mengenai
kebijakan yang strategis.
3 Meri Yarni,SH.MH dan
Yetniwati, SH.MH/
Pelaksanaan Hak
Angket Dewan
- Jurnal ini menjelaskan
penyebab dan
pelaksanaan hak angket
DPRD di Kota Jambi
Penulis menulis skripsi
tentang penggunaan hak
angket dalam lingkup
Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Jambi
Jurnal Ilmu Hukum
Universitas Jambi ,2009
lingkup provinsi atau
kota. Sehingga dasar
hukum dan mekanisme
penggunaan hak angket
sudah pasti berbeda.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup
dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing
bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang memuat: latar belakang masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu dan sistematika
penelitian.
BAB II Pada bab ini dibahas tentang hak angket dan kekuasaan Legislatif di
Indonesia yang terdiri dari pengertian hak angket, sebab timbulnya hak
angket, landasan hak angket, mekanisme penggunaan hak angket dan
BAB III Bab ini membahas mengenai hak angket DPR yang terdiri dari sejarah DPR, peran dan wewenang DPR, hubungan hak angket dangan DPR,
penggunaan hak angket dibeberapa negara, dan Contoh Kasus Hak
Angket Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
BAB IV Bab ini menjelaskan Penggunaan Hak Angket Pasca Amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri
dari Kekuasaan DPR RI Pasca amandemen UUD 1945, Kekuasaan
Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket Menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 beserta Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009, Permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sebelum
dan sesudah amandemen UUD 1945
BAB V Bab ini merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini. Yang terdiri
BAB II
LANDASAN DAN MEKANISME HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
A. Pengertian Hak Angket
Pengertian angket di dalam Black Law Dictionary yaitu enquete yang artinya
sebagai berikut:
“An examination of witnesses (take down a writing) by or before an authorized judge for the purpose of gathering testimony to be used in trial.”11
Sehingga pengertian angket dalam kamus Black Law dapat diartikan sebagai sebuah
penyelidikan kepada para saksi (secara tertulis) baik sesudah atau sebelum disahkan
oleh hakim dengan tujuan dikumpulkannya kesaksian untuk digunakan di pengadilan.
Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) angket adalah
Penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan pemerintah.12
Hak angket sendiri pertama kali dikenal di Inggris pada pertengahan abad ke
XIV dan bermula dari right to investigate and chastice the abuses of administration
(hak untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan-penyelewengan dalam
administrasi pemerintahan) yang kemudian disebut right of impeachment (hak untuk
menuntut seorang pejabat karena melakukan pelanggaran jabatan). Hak ini pertama
kali digunakan oleh parlemen Inggris pada tahun 1376 yang mengakibatkan
11
Brian A Garner, Black Law Dictionary,Ninth Edition, ( West Group, 2009), h. 610.
12
pemecatan beberapa pejabat istana karena melakukan penyelewengan keuangan.
Sekarang hak angket di Inggris dilakukan oleh sebuah komisi khusus yang bertugas
menyelidiki kegiatan pemerintah dan administrasi.13
Pengertian dan ketentuan mengenai hak angket secara eksplisit diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 Pasal 70 Tentang Perubahan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia, sebagai berikut:
“Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang,”14
Sehingga pengertian Hak Angket sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
adalah hak menyelidiki yang dimiliki oleh DPR, yang untuk selanjutnya pengertian
Hak Angket dapat dilihat pada bagian konsiderans (Menimbang) pada
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954, sebagai berikut:
“bahwa hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan penyelidikan
(angket) perlu diatur dengan undang-undang”
Selanjutnya pengertian dan ketentuan tentang Hak Angket, ditentukan kembali
pada pasal 20 A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen,
sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan
fungsi pengawasan.
13
Arifin Sari Surunganlan Tambunan, Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Suatu Studi Analisis Mengenai Pengaturannya Tahun 1966-1997, (Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1998), h. 158.
14
2. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal
lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai
hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Untuk selengkapnya pengertian Hak Angket dapat dilihat pada Bagian
Penjelasan Pasal 27 huruf b Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang susunan
dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menyatakan
sebagai berikut:
“ Hak Angket adalah Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.15
B. Sebab Timbulnya Hak Angket
Secara normatif, hak Angket diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun
1954 tentang penetapan Hak Angket DPR yang dibuat berdasarkan UUD Sementara
1950 pada masa Demokrasi Parlementer. Kemudian dipertegas dalam pasal 27 huruf
b UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD yang mengatur bahwa hak Angket merupakan hak DPR untuk menyelidiki
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
15
Di dalam Undang-Undang tentang penetapan hak angket tidak menjelaskan
mengenai apa saja yang menjadi alasan untuk memunculkan hak angket. Dalam
ketentuan tersebut ditegaskan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah.
Dengan demikian hak angket dikenakan pada kebijakan pemerintah atau pelaksanaan
Undang-Undang oleh pemerintah.16
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 ini membatasinya dengan
menambahkan ketentuan bahwa kebijakan atau pelaksanaan Undang-Undang yang
dilakukan memiliki hubungan ataupun keterkaitan penting, strategis dan berdampak
luas pada kehidupan masyarakat. Kemudian terdapat kemungkinan terjadinya
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, yang terakhir ini menjadi
ketentuan yang membedakan antara hak angket dengan hak-hak yang dimiliki oleh
DPR.
Hal yang menjadi permasalahan mengenai alasan yang memungkinkan
diadakannya hak angket adalah mengenai syarat kebijakan ataupun pelaksanaan
perundang-undangan tersebut berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak
luas. Tidak ada batasan mengenai seberapa penting kebijakan tersebut, mengenai
tolak ukur yang rigid mengenai dapat tidaknya suatu kebijakan dapat dikenakan hak
angket. Hal yang dapat dijadikan pegangan mengenai alasan untuk mengajukan hak
angket ini adalah:
1. Bila kebijakan tersebut bersentuhan langsung dengan rakyat.
16
2. Bila kebijakan ataupun pelaksanaan Undang-Undang tersebut diduga
melanggar Undang-Undang.
C. Landasan Hak Angket
1. Landasan Filosofis
Zaman Yunani Kuno, Plato dan Aristoteles yakin, dan keyakinan mereka
sejalan dengan tradisi Yunani, bahwa hukum dan perundangan (nomos dan nomoi)
sangatlah penting untuk menata polis. Sejalan dengan keyakinan tersebut, didapati
bahwa tatanan atau bangunan politik yang baik selalu berupa aturan hukum, yakni
peraturan yang sesuai dengan hukum, yang akhirnya dapat membawa keadilan di
dalam masyarakat.17
Menurut John Locke hukum membuktikan bahwa hak rakyat untuk
menyusun aturan bersifat primer. Karena tidak ada manusia yang memiliki kuasa
untuk memasrahkan pelestarian diri, kepada kehendak absolut dan dominasi pihak
lain yang sewenang-wenang, maka bila orang yang hendak membawa pada
kondisi perbudakan maka berhak menolak. Dengan demikian masyarakat bisa
dikatakan sebagai penguasa tertinggi yang tidak berada di bawah bentuk
pemerintahan apapun.18
Walaupun hak angket tidak disebutkan secara jelas, namun sistem aturan
yang ada pada saat itu telah ada dalam pengaturan hubungan antara rakyat dengan
17
Carl Joachim Friedridh, Filsafat Hukum, (The University of Chicago Press, 1969), h. 17.
18
penguasa. Seperti halnya apabila terjadi penyelewengan kekuasaan, maka rakyat
dapat melawan atau menghukum atau mendelegasikan terhadap perwakilannya.
Maka sama halnya dengan hak angket yang tujuan awalnya sama yaitu untuk
mengawasi bagaimana jalannya pemerintahan agar tidak terjadi pelanggaran, yang
pada akhirnya sesuai dengan sila ke Lima Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”
2. Landasan Sosiologis
Pengawasan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar
penyelenggara negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan dengan hukum tata
negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin
terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegaraan sesuai
dengan hukum yang berlaku.19
Berangkat dari banyaknya kasus yang merugikan masyarakat langsung yang
dikarenakan kebijakan pemerintah. Seperti kasus century banyak nasabah yang
harus kehilangan uangnya karena kesalahan Bank Century dan kebijakan negara
yang hingga kini tidak kunjung selesai. Maka dari itu dibentuklah hak angket
untuk menyelidiki kasus tersebut agar kasus tersebut dapat terungkap dan kerugian
nasabah Bank Century dapat dikembalikan secepatnya.
Bentuk pengawasan hak angket di lakukan karena di lapangan pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan sulit dilakukan karena kepolisian maupun
19
kejaksaan masih merupakan bagian dari eksekutif, disaat para penyidik baik itu
polisi atau kejaksaan tidak bisa berjalan maksimal maka DPR dapat menjalankan
fungsinya dengan menggunakan hak angket. Maka dari itu Legislatif di samping
pengawasan dapat menyelidiki apabila terdapat pelanggaran dalam kinerja
pemerintah.
3. Landasan Hukum
Mengenai pengaturan dan dasar hukum hak angket terbagi dalam beberapa
peraturan Perundang-Undangan yakni:
a. Konstitusi Indonesia
Dasar hukum mengenai pengaturan hak angket dalam Konstitusi dapat
ditemui dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat pasal 121 yang berbunyi
“Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut
aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang Federal”.20
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 79 dinyatakan secara jelas bahwa “Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut
aturan-aturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.
Dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak
angket secara jelas tercantum pada Pasal 20A ayat (2) dimana berbunyi” dalam
20
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakian Rakyat mempunyai hak angket”.21
b. Undang-Undang
Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai hak angket
adalah Undang Nomor 6 Tahun 1954 Tentang Hak Angket,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1955, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999, Undang-Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD.
c. Peraturan di bawah Undang-Undang
Hak angket atau hak untuk menyelidiki telah dikenal oleh lembaga
legislasi saat kekuasaan legislasi di bawah komite nasional pusat dan badan
pekerja komite nasional pusat. Hal ini dapat ditemukan pada peraturan Tata
Tertib Badan Pekerja Komite Nasional Pusat.22
Pengaturan mengenai hak angket juga dapat ditemukan dalam peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR.
Dalam peraturan ini hak angket salah satunya diatur dalam pasal 161 dimana
dikatakan bahwa DPR memiliki hak interpelasi, Angket, dan Menyatakan
21
Republik Indonesia, Pasal 20 A ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
22
Pendapat. Dalam peraturan tata tertib ini juga dijelaskan bagaimana proses hak
angket itu dilaksanakan.
D. Mekanisme Penggunaan Hak Angket
Mekanisme penggunaan Hak Angket DPR merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari struktur lembaga DPR. Adapun struktur lembaga DPR diatur dalam
UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan berdasarkan
peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib disebutkan tata cara
pelaksanaan Hak Angket.
Jika dilihat dari pengaturan hak angket maka pada intinya hak angket adalah
hak untuk menyelidiki. Dalam ketentuan KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana) Pasal 1 angka 5 mengatakan bahwa
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”,
M. Karjadi dan R. Soesilo menambahkan bahwa Penyelidikan adalah
tindakan-tindakan yang disebutkan dalam pasal 5 yaitu:23
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
5. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
6. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
23
7. Mengambil sidik jari dan memotret orang; dan
8. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Pengertian menyelidiki yang dimaksud dengan hak angket memang tidak dapat
disamakan secara keseluruhan dengan penyelidikan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Hal mengenai tindakan paksa seperti penangkapan, menyuruh
berhenti, mengambil sidik jari, dan memotret orang dan membawa dan
menghadapkan seorang pada penyidik tentunya DPR tidak berwenang untuk
melakukannya. Meskipun demikian dalam menyelenggarakan hak angket terdapat
beberapa hak dan kewenangan yang dapat dilakukan oleh DPR dalam melakukan
penyelidikan yaitu:
1. Meminta keterangan pada pemerintah, badan hukum, organisasi profesi, saksi, pakar dan/atau pihak terkait;24
a. Saksi dapat merupakan warga negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang ada di Indonesia;25
b. Mendapatkan keterangan dari saksi atau Ahli yang berada diluar negeri melalui pertanyaan secara tertulis kepada menteri yang bersangkutan yang membantu dipenuhinya pertanyaan-pertanyaan itu dengan perantara perwakilan Indonesia di luar negeri;26
c. Dalam melakukan pemanggilan DPR dapat melakukannya secara tertulis;27
2. Melakukan sumpah pada saksi atau ahli yang berumur 16 tahun;28
3. Melakukan penuntutan pada saksi atau ahli ang lalai, melalui Kejaksaan Pengadilan Negeri;29
24
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Pasal 179 jo ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata tertib.
25
Republik Indonesia, Pasal 180, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
26
Republik Indonesia, Pasal 24, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954.
27
Republik Indonesia, Pasal 4, tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat.
28
4. Memaksa saksi atau ahli untuk datang memenuhi panggilan dengan bantuan Kepolisian atau Kejaksaan;30
5. Melakukan penahanan kepada saksi atau ahli yang membangkang melalui ketua Pengadilan Negeri;31
6. Memeriksa surat-surat yang disimpan oleh pegawai kementrian;32
7. Melakukan penyitaan dan atau menyalin surat kecuali berisi rahasia negara melalui Pengadilan Negeri.33
Ketentuan mengenai hal apa yang menjadi objek penyelidikan dapat ditemukan pada
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (3) “Hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.” Dengan demikian jelas yang menjadi objek dari penyelidikan
yang dilakukan oleh DPR adalah kebijakan atau pelaksanaan Undang-Undang oleh
pemerintah.
Dalam bagian umum pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
disebutkan hak-hak yang di miliki oleh DPR yaitu:
a. Hak interpelasi ; b. Hak angket; dan
29
Republik Indonesia, Pasal 10, Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
30
Republik Indonesia, Pasal 180 ayat (3), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Indonesia, jo Pasal 169 ayat (6) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
31
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (2), Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 tentang Hak Angket.
32
Republik Indonesia,Pasal 18, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954.
33
c. Hak menyatakan pendapat.34
Sedangkan tata cara pelaksanaan hak angket tercantum dalam pasal 166 sampai
dengan pasal 170 yaitu:
1. Hak angket diusulkan oleh paling sedikit dua puluh lima orang anggota dan lebih dari satu fraksi.
2. Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan alasan penyelidikan.35
3. Usul hak angket disampaikan, diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna dan dibagikan kepada seluruh anggota.
4. Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat paripurna atas usul hak angket dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasaan atas usul hak angket secara ringkas.
5. Selama usul hak angket belum disetujui oleh rapat paripurna, pengusul berhak mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali.
6. Perubahan atau penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan pimpinan membagikan kepada seluruh anggota
7. Dalam hal jumlah penandatangan usul hak angket yang belum memasuki Pembicaraan Tingkat I menjadi kurang dari jumlah, harus diadakan penambahan penandatangan sehingga jumlahnya mencukupi.
8. Dalam hal terjadi pengunduran diri penandatangan usul hak angket sebelum dan pada saat rapat paripurna yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat terhadap jumlah penandatangan tidak mencukupi, Ketua rapat paripurna mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penandatangan mencukupi.
9. Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul angket dengan membubuhkan tandatangan pada lembar pengusul, Ketua rapat paripurna mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna tetap dapat dilanjutkan.
10. Apabila sampai dua kali masa persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.36
34
Republik Indonesia, Pasal 161, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
35
Republik Indonesia, Pasal 177, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, jo Pasal 166 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib
.
36
11. Dalam hal rapat paripurna memutuskan untuk menyetujui usul mengadakan angket, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket. 12. Keputusan DPR untuk mengadakan angket mencakup juga penentuan biaya
panitia angket.
13. Keputusan DPR disampaikan kepada Presiden dan diumumkan dalam Berita Negara.
14. Dalam melaksanakan hak angket, panitia khusus berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.
15. Panitia khusus meminta kehadiran pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis dalam jangka waktu yang cukup dengan menyebutkan maksud permintaan tersebut dan jadwal pelaksanaannya.
16. Pihak yang hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukkan dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada panitia khusus.
17. Panitia khusus dapat menunda pelaksanaan rapat akibat ketidakhadiran pihak karena suatu alasan yang dapat diterima.
18. Apabila pihak yang dipanggil tidak hadir tanpa alasan yang dapat diterima atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta sekali lagi kehadiran yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan.
19. Apabila pihak tersebut tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua tanpa alasan yang dapat diterima atau menolak hadir, bagi yang bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh aparat yang berwajib yaitu kepolisian atau kejaksaan atas permintaan panitia khusus, yang bersangkutan dapat disandera lima belas hari oleh aparat yang berwajib, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.37
20. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, panitia angket menyampaikan laporan dalam rapat paripurna, kemudian laporan tersebut dibagikan kepada seluruh anggota.
21. Pengambilan keputusan tentang laporan panitia angket, didahului dengan laporan hasil panitia angket dan pendapat akhir fraksi, kemudian keputusan tersebut disampaikan kepada Presiden.
22. DPR dapat menindaklanjuti keputusan sesuai dengan kewenangan DPR menurut peraturan perundang-undangan.38
37
Republik Indonesia, Pasal 169, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009.
38
Dalam melaksanakan hak angket, maka dibentuklah panitia khusus hak angket.
Panitia khusus ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 pasal 136
sampai pasal 141. Penjelasannya sebagai berikut:
1. Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara.39
2. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
3. Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak tiga puluh orang.40
4. Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
5. Pimpinan panitia khusus terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
6. Pemilihan pimpinan panitia khusus dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.41
7. Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna.
8. Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR.
9. Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.
10.Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.42 11.Panitia khusus menggunakan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai
dengan kebutuhan yang diajukan kepada pimpinan DPR.43
39
Republik Indonesia, Pasal 136, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
40
Republik Indonesia, Pasal 137. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
41
Republik Indonesia, Pasal 138, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
42
Republik Indonesia, Pasal 139, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
43
12.Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja panitia khusus diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.44
E. Landasan Teori
1. Teori Lembaga Negara
Ketentuan UUD 1945 hasil amandemen sama sekali tidak terdapat
ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi “Lembaga Negara”, sehingga
banyak pemikir hukum Indonesia yang melakukan penemuan hukum untuk
mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep Lembaga Negara.
Pengertian di atas juga memberi contoh frasa yang menggunakan kata
lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan sebagai badan-badan
pemerintahan dalam lingkungan eksekutif.45 Secara definitif, Lembaga Negara
adalah institusi-institusi yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi
negara.46
Has Natabaya dalam Ernawati Munir mengatakan bahwa istilah badan,
organ, atau lembaga mempunyai makna yang esensinya kurang lebih sama.
Ketiganya dapat digunakan untuk menyebutkan suatu organisasi yang tugas dan
fungsinya menyelenggarakan pemerintahan negara. Namun demikian perlu
44
Republik Indonesia, Pasal 137. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
45
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 905.
46
ditekankan adanya konsistensi penggunaan istilah agar tidak digunakan dua
istilah untuk maksud yang sama.
Secara sederhana istilah Organ Negara atau Lembaga Negara dapat
dibedakan dari perkataan Organ atau Lembaga Swasta, atau yang biasa disebut
Ornop atau Organisasi Nonpemerintah. Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang
dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai Lembaga
Negara. Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif,
yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.47
Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur
kelembagaan Republik Indonesia terdapat delapan buah organ negara yang
mempunyai kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan
konstitusional dari UUD
Delapan lembaga negara tersebut dibagi atas 4 kekuasaan dan satu
Lembaga Negara Bantu sebagai berikut: Pertama, Kekuasaan Legislatif, yaitu:
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tersusun atas: Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Daerah; Kedua, Kekuasaan Eksekutif, yaitu: Presiden dan
47
Wakil Presiden; Ketiga, Kekuasaan Yudisial, meliputi: Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.48
Kekuasaan terakhir adalah di bidang Eksaminatif (Inspektif), yaitu: Badan
Pemeriksa Keuangan. Lembaga Negara Bantu (the state auxiliary body), yaitu
Komisi Yudisial. Di samping kedelapan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa
lembaga atau institusi yang diatur kewenangannya dalam UUD, yaitu: (1)
Tentara Nasional Indonesia, (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (3)
Pemerintah Daerah, dan (4) Partai Politik. 49
Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut
fungsinya, namun kewenangannya dinyatakan akan diatur dengan
undang-undang, yaitu: (1) bank sentral yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”,
dan (2) Komisi Pemilihan Umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan
huruf kecil.50
Oleh karena itu, dapat dibedakan dengan tegas antara kewenangan organ
negara berdasarkan perintah Undang-Undang dan kewenangan organ negara
yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang, bahkan dalam kenyataan ada
pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari
Keputusan Presiden belaka.
48Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia,
cet.I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.151.
49
Titik Triwulan Tutik, Konstitusi Hukum Tata Negara Indonesia Pasaca Amandemen UUD 1945, cet.I, (Jakarta: Kencana, 2010), h.176.
50
Lembaga Negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar
merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang merupakan organ Undang-Undang-Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk
karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat
perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.51
2. Teori Lembaga Perwakilan
Lembaga perwakilan adalah cara yang sangat praktis untuk memungkinkan
anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya terhadap orang-orang yang
menjalankan tugas kenegaraannya. Teori lembaga perwakilan muncul karena
asas demokrasi langsung, menurut Rousseau tidak mungkin lagi dapat
dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara, dan
bertambah rumitnya urusan kenegaraan.52
Adanya penyerahan kekuasaan rakyat pada Caesar yang secara mutlak
diletakkan pada Lex Regia menurut orang Romawi dapat dianggap Caesar itu
sebagai suatu perwakilan. Pada abad menengah mulai nyata timbul lembaga
perwakilan yaitu pada saat sistem monarki feodal yang memungkinkan para
feodal menguasai tanah dan orang di atas tanah tersebut. Dalam teorinya ada
beberapa macam dari lembaga perwakilan:
a. Teori Mandat
51
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi, h.60.
52
Si wakil dianggap duduk di Lembaga Perwakilan karena mendapat
mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di
Perancis sebelum revolusi dan dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh
Petion. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka teori mandat inipun terus
menyesuaikan diri sesuai dengan kebutuhan zamannya.
b. Teori Organ
Teori organ muncul melalui pemikiran Von Gierke, menurut teori ini
negara merupakan suatu organisme yang mempunyai alat-alat
perlengkapannya seperti Eksekutif, Parlemen, dan mempunyai rakyat yang
kesemuanya mempunyai fungsi masing-masing dan saling ketergantungan
satu sama lain. Maka sesudah rakyat memilih Lembaga Perwakilan mereka
tidak perlu lagi mencampuri lembaga tersebut dan lembaga ini bebas
berfungsi sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar.
c. Sifat Perwakilan
Umumnya perwakilan mempunyai kelemahan jika dipilih lewat
pemilihan umum, karena yang terpilih biasanya adalah orang populer karena
reputasi politiknya, tetapi belum tentu menguasai bidang teknik pemerintahan
dan perekonomian. Sedang para ahli sukar terpilih melalui perwakilan politik
ini, apalagi dengan sistem pemilihan distrik.53
53
Di Negara maju kelemahan ini kurang terasa, karena tingkat
pengetahuan dan pendidikan sudah begitu maju. Lain halnya dengan negara
berkembang, menganggap bahwa perlu mengangkat orang-orang tertentu di
dalam Lembaga Perwakilan disamping melalui pemilihan umum karena masih
belum sangat siap dibandingkan negara maju.
3. Teori Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat dikemukakan oleh J.J.Rousseau dan Imanuel Kant.
J.J.Rousseau mengemukakan pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat. Ia
berpendapat sebagai berikut:
“kedaulatan rakyat itu pada prinsipnya merupakan cara atau sistem
mengenai pemecahan sesuatu soal menurut cara atau sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum. Jadi, kehendak umum hanyalah khayalan saja
yang bersifat abstrak dan kedaulatan itu adalah kehendak umum”54
J.J.Rousseau memfokuskan kedaulatan rakyat pada kehendak umum.
Kehendak umum yang dimaksud disini adalah kesatuan yang dibentuk individu
dan mempunyai kehendak. Kehendak individu-individu diperoleh melalui
perjanjian masyarakat. Sementara Immanuel Kant juga mengemukakan
pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat. Ia berpendapat bahwa:
“tujuan negara adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga
negaranya. Dalam pengertian kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundangan, sedangkan yang membuat undang-undang adalah rakyat sendiri. Undang-undang-undang merupakan penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan
tertinggi atau kedaulatan” 55
54
Soehino, Ilmu Negara, ed.3 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 161.
55
Teori kedulatan rakyat juga terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
teori kedaulatan rakyat disajikan berikut ini.
1. Rakyat dapat memberitahukan pada pemerintah keluhan-keluhan yang dirasakan.
2. Rakyat mampu menentukan siapa pemimpin yang dia inginkan. Degan ini semua inspirasi rakyat dapat tertampung sebagai proses menuju kesejahteraan.
3. Kezaliman dapat diberantas karena yang memiliki kekuasaan adalah rakyat56
Jadi, jika pemimpin ingin melakukan kezaliman, pemimpin tersebut dapat
dilengserkan.
Kekurangan teori kedaulatan rakyat adalah sebagai berikut:
1. Dengan adanya pucuk kekuasaan diserahkan pada rakyat, dikhawatirkan sulit untuk memerintah. Contohnya apabila terjadi perang dengan negeri Jiran, dan seumpama rakyat di negara tersebut menolak untuk berjuang dan memilih untuk mengungsi, kedaulatan negara tersebut akan dirampas oleh kekuasaan lain. Ini merupakan salah satu penghinaan terhadap negara yang berdaulat karena pemerintah tidak berkuasa untuk mengumpulkan kekuasaan yang dimilikinya demi memberantas kezaliman dari pihak luar.
2. Kalau rakyat yang memiliki kekuasaan tersebut, sedangkan mereka bukanlah orang yang benar-benar mengerti secara dalam ilmu tentang ilmu politik dan filsafat, lalu mereka menghendaki sebuah kebijakan yang sebenarnya secara realita akan menjalaskan kemakmuran negara, pemerintah yang memerintah pasti kesulitan untuk memberi kebijakan yang terbaik untuknya. Ini dibuktikan pada negara-negara yang melakukan sistem demokrasi bebas yang rakyatnya masih banyak tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk berpikir lebih jauh tentang kemaslahatan negaranya. Contohnya adalah Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya.
56
3. Apabila rakyat secara mayoritas ingin melegalkan sesuatu yang dianggap negatif, pemerintah tidak dapat menghalangi ini. Dengan ini, negara akan menjurus pada kesesatan yang membawa pada negatif moral etika dan moral kepercayaan. Dampak permasalahan ini sangat berbahaya karena akan membawa negara menjadi tidak stabil dari segi moral. Tanpa moral, negara akan terjerumus pada kriminalitas.57
Walaupun teori kedaulatn rakyat terdapat kekurangan, kebanyakan negara
di dunia mengikuti teori kedaulatan rakyat dalam penyelenggara negara. Hal ini
disebabkan karena rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam
penyelenggaraan negara. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan hak angket maka
jelas DPR merupakan representatif dari rakyat yang berhak menjalankan tugas
pengawasannya terhadap pemerintah, yaitu dengan cara menggunakan hak
angket.
57
BAB III
HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
A. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat
Sesuai dengan konsep trias politica, DPR merupakan bagian dari kekuasaan
legislatif di tingkat pusat, sedangkan ditingkat daerah dipegang oleh DPRD. Selama
ini terjadi banyak perubahan baik dari fungsi dan wewenang DPR sejak dari masa
sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga pasca reformasi saat ini terus
mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejarah perkembangan DPR di
Indonesia sebagai berikut:
1. Masa Sebelum Kemerdekaan Volksraad (1918-1942)
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen
bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad.
Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan
yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).
Volksraad hanya dirancang oleh Belanda sebagai konsesi untuk dukungan
popular dari rakyat di tanah jajahan terhadap keberadaan Pemerintahan Hindia
Belanda.58
Pada tanggal 8 Maret 1942 setelah kedatangan penjajah Jepang kemudian
Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian
58
penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad
secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa
perjuangan Kemerdekaan.
2. DPR Pada Masa Orde Lama
Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945
belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan
dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. KNIP merupakan
badan pembantu presiden yang pembentukannya didasarkan pada keputusan
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa ini bangsa
Indonesia masih di hadapkan kepada persoalan pengakuan kemerdekaan dari
negara lain.59
Pada masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) kewenangan yang
dimiliki DPR terus berkembang. Hal ini ditandai dengan hak yang dimiliki DPR
antara lain: hak budget, hak inisiatif, dan hak amandemen, menyusun Rancangan
Undang-Undang (RUU) bersama-sama dengan pemerintah, hak bertanya, hak
interpelasi, dan hak angket.60
Pada tahun 1959 Presiden mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya
menyatakan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, maka keterwakilan yang dimiliki DPR
59
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Dian Rakyat, 1998), Cet.XIX, h. 331.
60
menjadi terbatas. DPR bekerja dalam suatu rangka yang lebih sempit, dalam arti
hak-haknya kurang luas dalam Undang-Undang Dasar 1945 jika dibandingkan
dengan UUD RIS 1945 dan UUD 1950.61
Pada saat DPR Gotong-Royong (DPR-GR) didirikan dengan penetapan
presiden No 4 Tahun 1960 yang mengatur susunan DPR-GR. DPR-GR ini
berbeda sekali dengan DPR sebelumnya, karena DPR-GR bekerja dalam susunan
dimana DPR ditonjolkan peranannya sebagain pembantu pemerintah, yang
tercermin dalam istilah Gotong Royong. Perubahan fungsi ini tercermin dalam
istilah Gotong-Royong. Perubahan fungsi ini tercermin di dalam tata tertib
DPR-GR yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.14 Tahun 1960.62
3. DPR Pada Masa Orde Baru
Dalam suasana penegakkan Orde Baru sesudah terjadinya G 30 S/PKI,
DPR-GR mengalami perubahan, baik mengenai keanggotaan maupun
wewenangnya. Selain itu juga diusahakan agar tata kerja DPR-GR lebih sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU
No. 10/1966, DPR-GR masa Orde Baru memulai kerjanya dengan
menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru.
61
B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), Edisi Revisi, h. 118.
62
Sesudah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan Orde
Baru, akhirnya berhasil menyelenggarakan pemilu yang pertama pada tahun
1971. Seharusnya berdasarkan ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu
diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum
MPR 1967 oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presidden Soekarno,
dengan menetapkan bahwa pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.63
Sejak Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 pemerintahan “Orde Baru”
mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta
Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua
partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi)
ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru”
tergabung dalam Golkar.64
Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara
terbanyak. Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan
presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi
dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu
menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya
63
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.338.
64
sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya
untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
4. DPR Pada Masa Reformasi
DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam
masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang
kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie,
m