• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 71 /DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 23 TAHUN 2007

TENTANG

PERKERETAAPIAN

JAKARTA

2013

(2)
(3)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 /DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG

PERKERETAAPIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara;

b. bahwa perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara massal dan keunggulan tersendiri yang tidak dapat dipisahkan dari moda transportasi lain;

c. bahwa penyelenggaraan perkeretaapian perlu dilakukan pengawasan dan dikembangkan potensinya untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional guna mendukung pemerataan kesejahteraan rakyat;

d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama;

e. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d diatas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian; f. bahwa hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada huruf e telah

disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Hasil Pengawasan Dewan

(4)

Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

6. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2/ DPD/2005 tentang Pedoman Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Tertentu;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-15 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2013 Tanggal 8 Juli 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN

PERTAMA : Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. KEDUA : Isi dan rincian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Diktum

Pertama, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2013

PIMPINAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

(5)

499

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PELAKSANAAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN BAB I

PENDAHULUAN A. UMUM

Salah satu alasan pokok pembentukan UU 23 Tahun 2007 menggantikan UU 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian adalah kondisi perkeretaapian nasional yang dinilai bersifat monopoli sehingga dihadapkan dengan berbagai masalah, antara lain: kontribusi perkeretaapian terhadap transportasi nasional masih rendah, prasarana dan sarana belum memadai, jaringan masih terbatas, kemampuan pembiayaan terbatas, tingkat kecelakaan masih tinggi dan tingkat pelayanan masih jauh dari harapan.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan RI, 92,23 persen barang di darat diangkut truk, dan hanya 0,96 persen oleh kereta api. Untuk penumpang darat, sebanyak 98,7 persennya diangkut bus dan kendaraan pribadi, serta hanya 1,3 persen penumpang diangkut kereta api. Begitu besarnya porsi pengangkutan oleh kendaraan bermotor, sesungguhnya berimplikasi besar, yakni pada kerusakan di banyak ruas jalan akibat truk bertonase berlebih, dan membengkaknya dana subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Selama ini kebijakan mengenai angkutan umum di darat masih cenderung berpihak kepada pengembangan moda transportasi yang mengandalkan jalan. Hal ini dapat dilihat pada besaran anggaran yang disediakan Pemerintah. Sektor Perkeretaapiaan mendapatkan anggaran lebih kecil daripada sektor pembangunan infrastruktur jalan yang mendapatkan porsi anggaran yang lebih besar. Tahun 2010, misalnya, pagu anggaran Direktorat Jenderal Perkeretaapian hanya mendapat Rp 4 triliun, sedangkan Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Rp 18 triliun. Tahun 2011, Ditjen Perkeretaapian masih berkutat di angka Rp 4 triliun, sementara Ditjen Bina Marga memperoleh Rp 23 triliun.

Oleh karena itu, diperlukan revitalisasi dalam pembangunan sektor perkeretaapian sebagaimana dinyatakan dalam pokok-pokok perubahan perubahan dikeluarkannya UU 23 Tahun 2007 menggantikan UU 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian yang dinyatakan juga dalam bagian konsideran yaitu bahwa perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara massal dan keunggulan tersendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari moda transportasi lain, perlu dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah, baik nasional maupun internasional, untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam masa sidang sebelumnya DPD RI selalu konsisten untuk melakukan tugas-tugas konstitusionalnya salah satunya dengan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Hal ini merupakan wujud akuntabilitas pelaksanaan mandat konstitusional yang diemban DPD RI untuk senantiasa menyuarakan berbagai aspirasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat daerah. Selain itu, juga menandaskan bahwa keterbatasan kewenangan yang dimiliki DPD RI sekarang ini, tidak mengurangi kualitas output kinerja yang dihasilkan DPD RI secara umum.

B. DASAR HUKUM

1) Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Dewan Perwakilan Daerah yang berbunyi “Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,

(6)

pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”. 2) Pasal 224 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD yang berbunyi: “dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama”.

3) Pasal 224 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”.

4) Pasal 233 huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat”. 5) Pasal 240 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD,

dan DPRD yang berbunyi: “melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu”.

6) Pasal 259 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf f kepada DPR sebagai bahan pertimbangan”.

7) Pasal 5 ayat (1) huruf e Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama”. 8) Pasal 5 ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor

02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”.

9) Pasal 68 ayat (4) huruf a Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu”.

10) Pasal 70 Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPD, Komite I mempunyai lingkup tugas dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat sebagai berikut; pemerintahan daerah, hubungan pusat dan daerah serta antardaerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pemukiman dan kependudukan, pertanahan dan tata ruang, politik, hukum, HAM, dan ketertiban umum, serta permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara”.

11) Pasal 159 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh Anggota dan Komite”.

C. MAKSUD DAN TUJUAN

Dalam rangka pelaksanaan tugas DPD RI pada periode 2012 s.d. 2013, maka DPD RI telah menentukan program-program kerja dan target capaian yang dialokasikan dalam 4 (empat) masa sidang melalui masing-masing Komite sebagai alat kelengkapan. Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sesuai amanat konstitusi, DPD RI memfokuskan pada pengawasan terhadap pelaksanaan beberapa undang-undang, diantaranya UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkretaapian.

Dengan demikian, maka maksud dan tujuan dari dilaksanakannya pengawasan terhadap undang-undang ini adalah untuk menjamin efektifitas pelaksanaan undang-undang-undang-undang di lapangan dan kendala-kendala atau persoalan-persoalan terkait implementasi dapat segera ditindaklanjuti oleh berbagai lembaga/instansi terkait.

D. KELUARAN (OUTPUT) DAN TINDAK LANJUT

Kegiatan-kegiatan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud akan menghasilkan keluaran berupa Hasil Pengawasan DPD RI terhadap Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian. Hasil Pengawasan ini disampaikan dalam Sidang Paripurna DPD RI ke-15 pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2013 pada tanggal 8 Juli 2013 guna disahkan menjadi produk pengawasan DPD RI. Hasil Pengawasan selanjutnya disampaikan kepada DPR RI, pemerintah, dan lembaga-lembaga negara terkait guna ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan ketentuan undang-undang yang berlaku.

(7)

501

BAB II

PELAKSANAAN PENGAWASAN A. SUBYEK

Pengawasan terhadap pelaksanaan atau implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian ini dilaksanakan oleh Komite II DPD-RI. Komite II DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya.

Lingkup tugas Komite II sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut: Pertanian dan Perkebunan, Perhubungan, Kelautan dan Perikanan, Energi dan Sumber daya mineral, Kehutanan dan Lingkungan hidup, Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dan Daerah Tertinggal, Perindustrian dan Perdagangan, Penanaman Modal dan Pekerjaan Umum.

B. OBYEK PENGAWASAN

Salah satu program kerja DPD RI pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2013 adalah pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Berbagai kasus dan aspirasi terkait dengan masalah perkeretaapian menjadi dasar pada rapat pleno Komite II DPD RI sehingga menetapkan untuk melakukan pengawasan tehadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pengawasan sebagaimana dimaksud merupakan kristalisasi dari pembahasan tindak lanjut terhadap aspirasi masyarakat yang berhasil ditampung anggota DPD RI.

C. METODE DAN INSTRUMEN PENGAWASAN

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD RI, terutama Pasal 58, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dilakukan melalui rangkaian kegiatan: kunjungan kerja, pembahasan terhadap aspirasi masyarakat, inventarisasi masalah, dan pengayaan materi pengawasan melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan para pihak terkait, yang selanjutnya disusun menjadi suatu Hasil Pengawasan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPD RI, maka pembahasan materi Perkeretaapian, merupakan ruang lingkup tugas Komite II DPD RI.

D. WAKTU DAN TEMPAT PENGAWASAN

Dalam rangka penyusunan Hasil Pengawasan terhadap Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, maka Komite II DPD RI telah melakukan bentuk-bentuk kegiatan sebagai berikut:

1. Inventarisasi materi, yang disarikan dari kegiatan-kegiatan: a. Penyerapan aspirasi masyarakat, meliputi:

i. Penyerapan aspirasi masyarakat oleh Anggota DPD RI di masing-masing provinsi selama periode Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012 -2013;

ii. Penyerapan aspirasi masyarakat melalui kegiatan Kunjungan Kerja Komite II DPD RI ke Kunjungan ke stasiun Kota, Senen dan Tanah Abang pada tanggal Rabu tanggal 22 Mei 2013;

iii. Penyerapan aspirasi masyarakat melalui kegiatan Kunjungan Kerja Daerah Anggota Komite II DPD RI pada masing-masing daerah pemilihan pada tanggal 4 s.d. 8 Februari 2013;

b. Rapat Kerja dengan Kementerian Negara dan lembaga-lembaga negara, antara lain:

i. PT Kereta Api Indonesia pada hari Selasa Tanggal 14 Mei 2013 ii. Asosiasi Pengguna Jasa Kereta Api hari Selasa Tanggal 14 Mei 2013 iii. Pakar Perkeretaapian dari Masyarakat Transportasi Indonesia

iv. Mantan Direktur Perkeretaapian Departemen Perhubungan Republik Indonesia 2. Penyusunan Pokok-Pokok Materi Hasil Pengawasan DPD RI Terhadap Pelaksanaan

UU No. 23 Tahun 2007;

3. Penyusunan Hasil Pengawasan DPD RI Terhadap Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2007, pada tanggal 17 s/d 19 Juni 2013.

(8)

BAB III TEMUAN UTAMA

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian belum berjalan efektif di daerah. Bahkan dari pengawasan yang dilakukan oleh Komite II DPD RI diketahui bahwa di beberapa tempat, pemerintah daerah masih tidak memahami secara baik UU Perkretaapian, karena dalam banyak hal, UU Perkeretaapian tidak sepenuhnya menjadi perhatian utama oleh Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pada bagian ini, DPD-RI akan memaparkan sejumlah persoalan terkait pemberlakuan UU No. 23 tahun 2007 ini di berbagai daerah.

1. Masalah sosialisasi:

Meskipun UU No. 23 tahun 2007 sudah berlaku efektif selama 5 tahun, namun, UU ini masih relatif tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada pengembangan perkeretaapian. Substansi perubahan UU 13 Tahun 1992 menjadi UU 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapain adalah diperbolehkan sektor swasta untuk ikut berperan aktif dalam membangun prasarana dan sarana perkeretaapian. Hal ini belum tampak dari berbagai temuan Komite II DPD RI di daerah. Sektor swasta belum banyak terlibat baik melalui skema public private partnership dengan Pemerintah maupun dengan Badan Usaha.

2. Masalah koordinasi antara Pemerintah sebagai Regulator dan PT. KAI sebagai operator.

Terkait dengan pertanggungjawaban atas penyelenggaraan perkeretaapian. Pembagian kewenangan baik Pemerintah sebagai regulator maupun penyelenggara sarana perkeretaapian sebagai operator (PT. KAI dan Swasta), pengaturannya menjadi tumpangtindih. Pasal 3 menyebutkan mengenai perkeretaapian diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat dan aman.

Di dalam penjelasan pasal disebutkan definisi mengenai selamat adalah terhindarnya perjalanan kereta api dari kecelakaan akibat faktor internal. Hal ini dapat dikelola karena faktor internal dapat dikendalikan oleh penyelenggara sarana dan prasarana. Tetapi “aman” didefinisikan sebagai terhindarnya perjalanan kereta api akibat faktor eksternal baik berupa gangguan alam maupun manusia. Faktor-faktor tersebut di luar kendali penyelenggara perkeretaapian sehingga pertanggungjawabannya menjadi sulit dan tidak jelas.

3. Masalah koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah dan Perlintasan sebidang yang sering mengakibatkan kecelakaan lalu lintas

Masalah kejelasan pembagian urusan Pemerintah (Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pekerjaan Umum), Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Operator kereta api terhadap keberadaan perlintasan sebidang jalur kereta api. Minimnya koordinasi ditunjukkan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten /Kota serta Operator Kereta api dalam percepatan pelaksanaan program revitalisasi/reaktivasi jalur kereta api yang tidak beroperasi di daerah.

Terkait dengan perlintasan sebidang sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 94 ayat (1) “Untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup” dan ayat (2) “Penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah”.

Pada kenyataannya, banyak perlintasan sebidang yang kurang mempertimbangkan faktor keselamatan. Ketentuan ini di satu sisi mengusahakan agar tidak ada perlintasan sebidang yang liar, namun di sisi lain membuka celah untuk legalisasi perlintasan liar. Hal ini, sealur dengan temuan Komite II DPD RI di Pemerintah Provinsi Sumatera Barat yang tidak mendirikan pintu palang lintasan atau penutupan perlintasan sebidang bagi pemukiman warga.

Di sisi lainnya, Pemerintah Daerah atas persetujuan PT. KAI. berwenang dalam mengeluarkan izin bangunan untuk perumahan pada ruas tepi rel kereta api.

4. Masalah Keterbatasan dana dalam pengembangan sarana dan prasarana perkeretaapian.

Permasalahan terkait hambatan regulasi dan ketidakpastian hukum mengenai alokasi anggaran dan pendanaan untuk mengembangkan kereta api sebagai moda transportasi yang andal. Dari 218 pasal di dalam undang-undang ini, tidak ada bagian yang mengatur mengenai anggaran penyelenggaraan perkeretaapian. Temuan Komite II DPD RI di Provinsi Aceh memperlihatkan minimnya alokasi anggaran untuk pembangunan perkeretaapian setiap tahunnya. Akibatnya, target penyelesaian pembangunan perkeretaapian yang direncanakan tidak terpenuhi. Ketidakjelasan mengenai pengaturan anggaran ini juga menimbulkan masalah lain dari sisi implementasi UU antara lain mengenai ganti rugi

(9)

503

pengadaan tanah, biaya pemeliharaan, dan lainnya yang ditemukan disejumlah proyek pengembangan di Sulawasi Selatan dan Sumatera Bagian Selatan.

5. Masalah pelaksanaan RTRW yang tidak konsisten.

Terkait dengan masih banyaknya masalah yang terjadi di dalam pengadaan tanah untuk prasarana perkeretaapian yang juga seringkali menimbulkan sengketa pertanahan dengan warga. Pengadaan tanah telah dijelaskan secara khusus pada Bab VII UU Perkeretaapian.

Beberapa hal yang dinilai masih menghambat misalnya soal ganti rugi lahan masyarakat yang terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan kurangnya koordinasi antar instansi dan aparat pemerintah. Temuan Komite II DPD RI di Provinsi Aceh memperlihatkan perubahan fungsi lahan dan RTRW menambah komplikasi proses pembebasan lahan pada trase baru (relokasi) akibat alotnya proses negosiasi harga ganti rugi tanah dengan warga. Demikian pula maslah kepemilikan lahan dan asset PT. KAI Divre Sumatera Barat.

(10)

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

Substansi UU 23 Tahun 2007 menggantikan UU 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian adalah untuk merevitalisasi dan merestrukturisasi kondisi perkeretaapian nasional yang dinilai bersifat monopoli. Dengan revitalisasi diharapkan dapat meningkatkan kontribusi perkeretaapian terhadap transportasi nasional, peningkatan prasarana dan sarana dan anggaran dari Pemerintah dan mengurangi tingkat kecelakaan yang masih relatif tinggi dan meningkatkan kualitas layanan.

Terkait masalah alokasi anggaran dan pendanaan untuk mengembangkan kereta api sebagai moda transportasi, dari 218 pasal di dalam undang-undang ini, tidak ada bagian yang mengatur mengenai anggaran penyelenggaraan perkeretaapian. Temuan Komite II DPD RI memperlihatkan minimnya alokasi anggaran untuk pembangunan perkeretaapian setiap tahunnya. Akibatnya, target penyelesaian pembangunan perkeretaapian yang direncanakan tidak terpenuhi. Ketidakjelasan mengenai pengaturan anggaran ini juga menimbulkan masalah lain dari sisi implementasi UU antara lain mengenai ganti rugi pengadaan tanah, biaya pemeliharaan yang menjadi tanggungjawab penuh Pemerintah dan sejumlah proyek pengembangan sarana dan prasarana perkeretaapain di berbagai daerah belum juga dapat diselesaikan.

B. Rekomendasi:

1. Sosialisasi secara intensif kepada stakeholder.

Sosialisasi kepada masyarakat sebaiknya dilakukan secara terus menerus , terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat yaitu kepada masyarakat yang lahannya berdekatan dengan jalur dan perlintasan kereta api. Selain itu sosialisasi diperlukan terkait dengan perubahan fungsi lahan dan ganti rugi lahan masyarakat. Sosialisasi secara menyeluruh diperlukan guna menunjang efektivitas dan kesuksesan penyelenggaraan dan pembangunan sarana dan prasarana perkeretaapian di daerah.

2. Efektivitas koordinasi antara Pemerintah sebagai Regulator dan PT. KAI sebagai operator.

Terkait dengan pertanggungjawaban penyelenggaraan perkeretaapian, DPD RI merekomendasikan perlunya kejelasan pembagian urusan Pemerintah (Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pekerjaan Umum), Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Operator kereta api terutama yang terkait dengan perpindahan orang dan atau barang secara massal dengan selamat dan aman.

3. Koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah terkait Perlintasan sebidang yang sering mengakibatkan kecelakaan lalu lintas

DPD RI merekomendasikan koordinasi dan upaya bersama antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten /Kota serta Operator Kereta api dalam percepatan pelaksanaan program revitalisasi/reaktivasi jalur kereta api termasuk untuk menangani perlintasan sebidang dan/atau meningkatkan perlintasan sebidang menjadi tidak sebidang sehingga kecelakaan dan kemacetan di perlintasan sebidang dapat dikurangi.

4. Ketersediaan dana dalam pengembangan sarana dan prasarana perkeretaapian.

Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan prasarana perkeretaapian, DPD RI merekomendasikan kepada Pemerintah untuk melaksanakan amanat UU pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Selain itu ganti rugi lahan masyarakat harus disesuaikan dengan nilai jual objek pajak.

Terkait dengan minimnya alokasi anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana perkeretaapian di sejumlah daerah, DPD RI merekomendasikan kepada Pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran baik anggaran pembangunan maupun anggaran yang terkait dengan kewajiban pelayanan publik Public Service Obligation (PSO). PSO diperlukan untuk tetap memberikan subsidi kepada penumpang kelas ekonomi.

Selain itu, dalam hal pemeliharaan prasaranan kereta api, DPD RI mendesak Pemerintah untuk segera merealisasikan anggaran infrastructure maintenance and operation (IMO) yang merupakan kewajiban regulator yang diatur dalam UU Perkeretaapian ini.

DPD RI mendesak Pemerintah untuk mengalokasikan pendanaan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Perhubungan RI dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk mengurangi beban PT.KAI dan Pemerintah Daerah.

(11)

505

5. Konsistensi pelaksanaan RTRW.

Pemerintah daerah perlu konsisten dalam menyusun dan menegakkan RTRW. Konsistensi diperlukan baik kepada Pemerintah Daerah untuk tidak memberikan izin kepada masyarakat untuk tinggal di sekitar perlintasan dan jalur kereta apai, maupun izin mendirikan bangunan.

DPD RI merekomendasikan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk konsisten dalam melaksanakan rencana tata ruang dan wilayah dan tidak dengan mudah melakukan perubahan fungsi lahan. Inkonsistensi pelaksanaan serta penyusunan yang tidak komprehensif sangat mempengaruhi proses pelaksanaan pembangunan terkait penambahan jalur dan perlintasan kereta api dan dapat menimbulkan konflik lahan di kemudian hari.

(12)

BAB V PENUTUP

Demikian Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.

Hasil pengawasan ini disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ke-15 dan selanjutnya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan ketentuan perundang-undangan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 8 Juli 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA. Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uji t yang telah dilakukan, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Nilai Ekspor Intra-ASEAN (X 1 ) terhadap

Interaksi an- tara konsentrasi asap cair batang tembakau de- ngan lama perendaman tidak berpengaruh pada kekerasan, warna, aroma, dan total bakteri daging ikan gurami

Pada hasil uji perbandingan dengan uji Mann Whitney U didapat nilai sebesar 0,000 dengan nilai signifikan sebesar 0,000 dan nilai Z adalah -6,655 yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil masyarakat commuter, hubungan sosial, dan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat commuter di Dusun Sungai

Format Berita acara penetapan Calon Dukuh, Formulir pendaftaran pemilih, Bentuk surat pemberitahuan/panggilan untuk memberikan suara, Bentuk dan ukuran stempel

Bahwa berdasarkan isi Perjanjian Konsesi disebutkan tujuan Perjanjian Konsesi dibuat adalah memasok air bersih untuk memenuhi kebutuhan saat Perjanjian Konsesi

Tidak boleh melakukan tindakan yang menyangkut risiko pribadi atau tanpa pelatihan yang sesuai.. Evakuasi

kesempatan untuk menjawab pertanyaan secara bergiliran sehingga dapat melatih kesiapan siswa dan saling memberikan pengetahuan. Cara ini upaya yang sangat baik melatih