BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang akan
diaktualisasikan dan dimanifestasi. Bila dalam proses ini hilang dinamikanya disebabkan oleh rusaknya sifat bakat seseorang atau oleh kurangnya stimulasi lingkungan atau oleh hambatan
dalam interaksi bakat dan lingkungan, timbulah gangguan dalam perkembangan seseorang (Monks, 2006).
Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia
Taman Kanak-Kanak dimana anak-anak sudah mulai berinteraksi lebih luas dengan lingkungannya. Untuk berinteraksi dengan lingkungannya, anak membutuhkan kemampuan
dalam bersosialisasi sebagai suatu fondasi bagi perkembangan kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungannya (Erniwulan, 1998).
Pada dasarnya anak, khususnya anak usia sekolah memiliki keinginan yang kuat untuk dapat diterima oleh kelompoknya. Ia akan terus berusaha untuk dapat bergabung dan diakui oleh kelompok sebayanya. Bila anak itu tidak diakui oleh kelompoknya, maka ia akan
mencari cara lain untuk dapat diterima dalam kelompok sebaya tersebut (Erniwulan, 1998). Tidak semua anak mampu melakukan interaksi sosial seperti yang diharapkan, dan tidak
semua anak mampu berinteraksi dengan kelompoknya secara baik. Hal ini akan menjadi penentu kegagalan dan keberhasilan anak di kemudian hari.
Masa di sekolah merupakan masa-masa yang banyak dinanti, masa yang
mengesankan sekaligus menyenangkan, baik pada anak-anak, remaja, maupun dewasa, dan mungkin bisa dikatakan bahwa masa-masa paling indah adalah masa-masa di sekolah. Hal ini
sebagi individu maupun sebagai mahluk sosial, peraturan sekolah, otoritas guru, disiplin kerja, cara belajar, kebiasaan bergaul, dan macam-macam tuntutan sekolah yang cukup ketat
akan memberikan segi-segi keindahan dan kesenangan tersendiri pada anak (Purwanto: 2006) Setiap siswa, pada dasarnya menginginkan situasi yang bisa memotivasinya agar bisa selalu berprestasi dan berkarya di sekolahnya tanpa ada rasa malu dan takut untuk
mengaktualisasikan segala sesuatu yang ada pada dirinya. Namun tidak semua siswa bisa mengaktualisasikan potensi yang ada pada dirinya tersebut; teman-teman, guru dan bahkan
keluarganya justru menjadi salah satu faktor penyebab hilangnya keberanian mereka untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada pada dirinya.
Seperti halnya kasus yang telah peneliti temukan pada seorang anak perempuan
berusia tujuh tahun yang tidak mampu mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada pada dirinya. Anak tersebut tidak memiliki motivasi untuk selalu berprestasi seperti
teman-temannya, subjek merasa malu dan takut untuk mengaktualisasikan segala sesuatu yang ada pada dirinya. Hal ini terjadi setelah subjek di tertawakan oleh teman-teman subjek saat subjek
salah dalam mengerjakan tugas di depan kelas. Sejak saat itu subjek tidak mau lagi tampil di depan kelas hingga saat ini, alasan subjek adalah subjek takut akan ditertawakan oleh teman-temannya lagi. Subjek juga berpikir kalau teman-teman subjek tidak menyukai subjek karena
subjek tidak seperti teman-temannya yang pintar dan cantik. Dari hasil asesmen terhadap kasus yang dialami subjek, didapat beberapa ciri perilaku sebagai berikut, subjek menarik diri
dari lingkungan sosialnya, tidak percaya diri terhadap apa yang dikerjakan, tidak termotivasi untuk belajar dikelas, tidak percaya diri untuk tampil didepan kelas dan nilai-nilai pelajaran subjek disekolah berada di peringkat paling bawah dari teman-temannya. Akhir-akhir ini
seperti memiliki beban. Ciri-ciri perilaku ini biasanya terjadi pada anak yang mengalami permasalahan perkembangan yaitu rasa rendah diri atau inferioritas.
Perasaan inferioritas bukan suatu pertanda abnormalitas, melainkan justru penyebab segala bentuk penyempurnaan dalam kehidupan manusia. Dari sudut pandang kesehatan mental ada perasaan inferioritas normal seperti rasa tidak lengkap yang merupakan daya
pendorong kuat bagi perkembangan manusia. Manusia didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi rasa inferioritasnya dan ditarik oleh hasrat untuk menjadi rasa superior. Ada
inferioritas abnormal yaitu perasaan inferioritas yang dilebih-lebihkan oleh kondisi kondisi tertentu dalam keluarga dan masyarakat. Misalnya karena pemanjaan, penolakan anak, kritik berlebihan, yang akan menghasilkan manifestasi perilaku yang abnormal, misalnya
berkembang suatu inferiority complex (Hall dkk, 1993).
Inferiority complex menunjuk pada perasaan tidak berarti yang sangat kuat dan tidak disadari, merasa tidak aman atau merasa tidak mampu menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi (Chaplin, 2002). Ogden (2001) mengungkapkan bahwa beberapa orang yang
menderita inferiority complex secara keseluruhan memperlihatkan bahwa mereka menyandang keluhan-keluhan yang mereka rasakan. Mereka sering terlihat seolah-olah membawa beban yang tak terlihat. Gerakan mereka tampak lelah, bahu mereka yang
membungkuk dan mereka menyeret kaki mereka saat mereka berjalan. Beberapa ada yang menyambut dengan senyum tegang di bibir mereka, mereka mengulurkan tangan dengan
malu-malu seolah-olah mereka takut kita akan ditolak oleh orang lain.
Menurut Ellis, manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengkondisian awal. Manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya
dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Bagaimanapun, manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan,
mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain (Corey, 2007).
Ellis (1994) juga menuturkan bahwa perilaku seseorang khususnya konsekuensi emosi; senang, sedih frustasi bukan disebabkan secara langsung oleh peristiwa yang dialami individu. Perasaan-perasaan ini diakibatkan oleh cara berpikir atau sistem kepercayaan
seseorang. Peristiwa yang terjadi disekitar kita (seperti sikap orang lain) atau yang dialami individu (kegagalan melaksanakan tugas, misalnya) akan direaksi sesuai dengan sistem
keyakinannya (Latipun, 2008).
Sistem keyakinan individu berkisar pada dua kemungkinan, yaitu rasional atau tidak rasional. Jika mampu berpikir secara tidak rasional maka tidak akan mengalami hambatan
emosional. Menurut Ellis orang yang berkeyakinan rasional akan merekasi peristiwa-peristiwa yang dihadapi kemungkinan mampu melakukan sesuatu secara realistik (Latipun,
2008). Sebaliknya jika individu berkeyakinan irasional, dalam menghadapi berbagai peristiwa, akan mengalami hambatan emosional, seperti perasaan cemas manganggap ada
bahaya sedang mengancam dan pada akhirnyan akan melakukan atau merekasi peristiwa itu secara tidak realistis. Pada seseorang dapat terjadi di suatu saat dia memiliki pandangan yang rasional dan pada saat yang lain irrasional.
Merujuk dari teori yang dikembangkan oleh Albert Ellis mengenai munculnya gangguan pada seseorang yaitu dengan teori A-B-C. Teori A-B-C tentang kepribadian sesuai
dengan munculnya inferiority pada subjek sebagai berikut: A adalah keberadaan suatu fakta, dimana sujek ditertawakan oleh teman-temannya saat salah dalam mengerjakan tugas saat subjek tampil di depan kelas. C adalah konsekuensi atau reaksi subjek, subjek bereaksi
dengan tidak mau lagi tampil didepan kelas. A (peristiwa yang mengaktifkan) bukan penyebab timbulnya C (konsekuensi emosional). Alih alih, B yaitu keyakinan individu
Reaksi-reaksi emosional dipertahankan oleh putusan-putusan yang tidak logis yang terus menerus diulang oleh individu, seperti halnya yang terjadi pada kasus yang diangkat oleh peneliti adalah keyakinan bahwa “aku tidak mampu dalam mengerjakan tugas yang
diberikan” dan “teman-teman ku tidak menyukai aku”. Dari keyakinan-keyakinan tersebut
yang membuat subjek pada akhirnya muncul perilaku maladaptif.
Hall & Lindzey (1993) menyatakan inferioritas menjadikan manusia didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi kekurangan mereka dan ditarik oleh keinginan untuk
menonjolkan diri (inferiority to superiority). Inferioritas ini akan menjadi tidak wajar dan sangat merugikan ketika perasaan inferioritas yang ada dibiarkan begitu saja, karena membiarkan rasa inferioritas tersebut akan menenggelamkan individu pada situasi yang
semakin terpuruk dan membuat anak semakin merasa kurang, tidak mampu dan tidak berdaya.
Perasaan ini bisa menjadi persoalan kepribadian dalam kelas, hal itu dikarenakan adanya perilaku yang maladaptif akibat dari pemikiran yang irasional. Teori cognitive
behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus – kognisi – respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi proses
penentu bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak (Oemarjoedi, 2003).
Rasa tidak aman dapat dilukiskan sebagai suatu sikap atau keyakinan individu bahwa
dia tidak disukai oleh orang-orang, tidak mampu mengerjakan sesuatu dan perasaan tidak aman atau jiwanya terancam. Manifestasi perilaku dari inferioritas ini juga terlihat pada beberapa situasi meskipun seseorang cukup mempunyai kekuatan untuk menyesuaikan diri,
masih dapat juga timbul kurang percaya diri pada diri sendiri. Pada seseorang yang kurang dapat menyesuaikan dirinya (maladjustmen person) tampak rasa kurang harga diri pada
tampak, bahwa seolah-olah mereka ini selalu dikritik, tidak suka bertemu atau berkenalan dengan orang lain, memproyeksikan ketidakbecusan atau kesalahannya sendiri kepada orang
lain (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
Melihat besarnya resiko perilaku inferioritas untuk jangka panjnag maka perlu ada penanganan terhadap masalah inferioritas. Sebuah keyakinan bahwa manusia memiliki
potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, dimana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku seperti halnya yang dialami
oleh subjek, maka terapi cognitive behavior dipilih sebagai alternatif penangan terhadap masalah yang dialami subjek.
Terapi kognitif perilaku diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan
bertindak, dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan kembali. Dengan merubah status pikiran dan perasaannya, subjek
diharapkan dapat merubah perilakunya dari negatif menjadi positif (Oemarjoedi, 2003). Penanganan terhadap masalah yang dialami subjek disesuaikan dengan kriteria dan
masa perkembangan subjek. Pada kasus ini, subjek penelitian adalah seorang anak berusia tujuh tahun. Dalam psikologi perkembangan anak usia tujuh tahun memasuki akhir masa kanak-kanak dan masa ini seringkali disebut dengan usia bermain, hal ini dikarenakan
luasnya minat dan kegiatan bermain (Hurlock, 1980). Oleh karena itu, peneliti merasa bahwa cognitive behavior therapy yang akan di terapkan kepada subjek akan disesuaikan dengan masa perkembangan subjek. Penerapan cognitive behavior therapy akan diterapkan dengan paradigma terapi bermain.
Menurut Berlin (dalam Schafer & Reid, 1986: 197) terapi bermain merupakan
pengembangan terapi bagi anak-anak yang bermasalah melalui permainan yang digunakan sebagai sarana untuk memahami komunikasi non verbal bagi anak-anak tersebut (misalnya:
Disamping itu bermain bisa menimbulkan perasaan senang dan gembira bagi anak (Hughes, 1991). Subjek juga akan mengalami proses belajar yang nantinya akan sangat
bermanfaat bagi perkembangannya. Selain itu dengan terapi bermain dapat mempengaruhi perkembangan fisik, pengetahuan dan kreativitas serta nilai moral dan tingkah laku sosial yang lebih baik juga mereduksi gejala-gejala gangguan emosional.
Di dalam terapi bermain, pendekatan terapi yang akan diberikan kepada subjek dikenal dengan nama cognitive behavior play therapy (CBPT) untuk mengatasi masalah yang
dialami oleh klien. CBPT digunakan berdasarkan pada teori-teori perilaku dan kognitif perkembangan emosional dan psikopatologi. CBPT menggabungkan intervensi cognitif dan perilaku dalam paradigma terapi bermain. Konsep dasar CBPT didasarkan pada teori
psikopatologi yang luas dan rincian interaksi timbal balik yang rumit antara kognisi, emosi, perilaku dan lingkungan (O’connor & Liza, 1997 ).
CBPT adalah adaptasi perkembangan sensitif terapi kognitif dan perilaku. melalui penggunaan kegiatan bermain, terapi dapat dikomunikasikan kepada anak-anak secara tidak
langsung. Misalnya, boneka dan boneka hewan dapat digunakan untuk model strategi kognitif seperti melawan keyakinan menyesuaikan diri dan membuat pernyataan positif diri. CBPT telah digunakan untuk mengobati anak-anak menyajikan dengan diagnosa spesifik
seperti bisu selektif (Knell, 1993a, 1993b), encopresis (Knell & Moore, 1990; Knell, 1993a) dan fobia (Knell, 1993a), serta anak-anak yang mengalami secara langsung / trauma seperti
perceraian (Knell, 1993a) dan pelecehan seksual (Ruma, 1993; Knell & Ruma, 1996).
Penelitian ini akan difokuskan dalam hal mereduksi inferioritas subjek saat harus tampil didepan kelas, agar subjek nantinya lebih percaya diri. CBPT digunakan untuk
melawan keyakinan-keyakinan negatif yang ada pada subjek agar subjek mampu menyesuaikan diri secara baik dan mampu membuat pernyataan-pernyataan positif terhadap
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini diberi judul “Cognitive Behavior Play Therapy (CBPT) Dalam Mengatasi Inferioritas Pada Anak Saat Tampil Di Depan Kelas”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
suatu masalah Apakah Cognitive Behavior Play Therapy (CBPT) efektif dalam mengatasi inferioritas pada anak saat tampil di depan kelas.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas Cognitive Behavior Play Therapy (CBPT) dalam mengatasi inferioritas pada anak saat tampil di depan kelas. D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Memberikan informasi tambahan bagi wacana keilmuan bidang psikologi secara umum serta bidang psikologi klinis anak pada khususnya.
2. Secara Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perubahan perilaku pada subjek dan memberikan informasi kepada keluarga, guru dan juga lingkungan subyek
tentang pentingnya memberikan pola pengasuhan dan pendidikan terhadap subyek.
COGNITIVE BEHAVIOR PLAY THERAPY (CBPT) UNTUK MENGATASI INFERIORITAS PADA ANAK
T E S I S
Oleh: Henny Pujianti
08820012
MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
T E S I S
Dipersiapkan dan disusun oleh : Henny Pujianti
Nim : 08820012
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal,
18 Juli 2012
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
Ketua : Dr. Diah Karmiyati,Psi _______________________
Sekretaris : Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si,Psi _______________________
Penguji I : Drs. E.M. Agus Subekti, M.Kes, M.Psi, Psi _______________________
Cognitive Behavior Play Therapy
(CBPT)
Untuk Mengatasi Inferioritas Pada Anak
Saat Tampil Di Depan Kelas
Yang diajukan oleh : Henny Pujianti Nim : 08820012
Telah disetujui Tanggal,
18 Juli 2012
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Dr. Diah Karmiyati, Psi Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si,Psi
Direktur Ketua Program Studi
Program Pascasarjana Magister
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Henny Pujianti Nim : 08820012
Program : Magister Profesi Psikologi
Judul Tesis : Cognitive Behavior Play Therapy (CBPT) Untuk Mengatasi Inferioritas Pada Anak Saat Tampil Di Depan Kelas
Menyatakan bahwa tesis ini merupakan karya saya sendiri dan bukan karya orang lain, baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah disebutkan
sumbernya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila
pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi akademis.
Malang, 18 Juli 2012
Yang menyatakan,
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahiim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, kasih sayang dan ridhoNya yang tak terhingga kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “ Cognitif behavior play therapy (CBPT) dalam
mengatasi inferioritas pada anak saat tampil di depan kelas ”.
Tesis ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Latipun, M. Kes selaku ketua program Magister Pascasarjana Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
2. Dr. Diah Karmiyati, M. Si., Psi selaku pembimbing I, terimakasih atas waktu yang telah diluangkan serta arahan selama proses pembimbingan dalam penyelesaian tesis ini. 3. Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si., Psi selaku pembimbing II, terimakasih juga atas
waktu serta arahan selama proses pembimbingan dalam penyelesaian tesis ini.
4. Dewan Penguji, Drs. E. M. Agus Subekti, M. Kes, M. Psi, Psi dan M. Salis Yanuardi, M.
Psi, terimakasih atas masukan-masukan yang telah diberikan.
5. RPA yang bersedia untuk menjadi subjek penelitian, tanpa RPA tesis ini tidak mungkin dapat terselesaikan.
6. Ayahanda Bpk. H. Supriadinata, S.pd, M.Kes dan Ibunda Hj. Rusmariati, atas dukungan yang tak terhingga kepada peneliti. Segenap doa, kasih sayang dan pengertian yang
7. Untuk saudaraku Herry dan Hanifa, Mbak ika serta keponakanku tercinta Haykal, terimakasih atas segala perhatian dan semangat yang telah kalian berikan. Kalian begitu
berarti untuk peneliti.
8. Sayid Lutfiansyah, S.Kom, terimakasih atas support moril yang luar biasa, yang mampu membuat peneliti “berjalan” lagi. Begitu pula dengan dukungan doa, waktu dan tenaga
dalam penyelesaian tesis ini dan seluruh kesabaran, perhatian serta pengertian yang tak kan bisa tergantikan.
9. Teman-teman RSJD Sambang Lihum, Mbak rika, Icha, Pak Dian, Pak arin, Mbak Puspa, terimakasih telah memberikan peneliti kesempatan untuk tetap berkarya.
10.Teman-teman Mapro psikologi’08 atas motivasinya. D’sista Syalwa, Onie, mbak za dan nya’, atas persaudaraan yang indah ini. Sahabatku, indri, hesty dan ani atas dukungannya.
11.Rekan-rekan TU Pasca Sarjana Psikologi, khususnya Ratna, terimakasih untuk bantuan
dan kerjasamanya selama ini.
12.Untuk keluarga besarku, untuk cinta dan sayangnya terhadap penulis, semua doa dan
motivasi yang begitu hebat dalam penulisan tesis ini.
13.Serta seluruh pihak yang berperan dalam penulisan tesis ini, terimakasih untuk semuanya tanpa kalian tesis ini tidak mungkin akan terselesaikan.
Diakhir kata, hanya syukur penulis haturkan kepada sang khalik atas terselesaikannya penulisan tesis ini. Namun, dari keseluruhan penulisan tesis ini pastinya masih banyak
ketidak sempurnaan di dalamnya. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan hati, penulis menerima seluruh saran dan kritik agar tesis ini menjadi karya yang lebih baik lagi. Semoga karya ini bermanfaat dan mampu menambah wawasan keilmuan kita.
Aamiin.
Malang, 18 Juli 2012
DAFTAR ISI
1. Pengertian inferioritas ... 10
2. Indikator inferioritas ... 11
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi inferioritas ... 12
B. Cognitive Behavior Play Therapy (CBPT) ... 13
C. Kerangka Berpikir ... 17
D. Hipotesis ... 18
E. Hasil Penelitian Terdahulu ... 18
BAB III METODE PENELITIAN ... 19
A. Rancangan Penelitian ... 19
B. Subjek Penelitian ... 19
C. Metode Pengumpulan Data ... 20
1. Wawancara ... 20
4. Positive reinforcement ... 23
E. Prosedur Intervensi ... 24
1. Asesmen pra terapi ... 24
2. Proses terapi ... 24
3. Pasca terapi ... 25
4. Follow up ... 25
F. Rancangan Intervensi ... 25
G. Analisa Data ... 26
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 27
A. Identitas Subjek ... 27
B. Gambaran Kasus ... 27
C. Pelaksanaan Terapi ... 28
2. Proses terapi ... 30
3. Pasca terapi ... 39
4. Follow up ... 40
D. Hasil dan Analisa Data ... 40
E. Pembahasan ... 44
BAB V PENUTUP ... 51
A. Kesimpulan ... 51
B. Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 53
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Surat Permohonan Izin Pengambilan Data & Penelitian ... 57
Lampiran 2: Informed Concent ... 58
Lampiran 3: Asesmen Pra Terapi ... 59
Lampiran 4: Rancangan Intervensi ... 66
Lampiran 5: Modul Terapi ... 69
Lampiran 6: Hasil Terapi ... 76
Lampiran 7: Hasil Observasi ... 87
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2004). Psikologi kepribadian. Malang: UMM Press
Budimoeljono. (2011). Seri sikap hati: rasa rendah diri (inferiority). diakses 3 Desember 2011 dari http://www.oocities.com/gkiamb/minder.htm.
Bungin, M. B. (2010). Penelitian kualitatif: komunikasi, ekonomi, kebijakan publik dan ilmu sosial lainnya cetakan ke 4. Jakarta: Prenada Media Group
Chaplin, J. P. (2002). Kamus lengkap psikologi. Terjemahan Kartini Kartono. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Corey, G. (2009). Teori dan praktek konseling & psikoterapi. Dalam Rose Herlina (Edt). Terjemahan E. Koeswara. Bandung: Refika Aditama.
Emery, G., Bedrosian, R., & Garber, J. (1983). Cognitive therapy with depressed children and adolescents. In D.P. Cantwell & G. A. Carlson (Eds) Affective disorders in childhood and adolescence-An update (pp. 445-471). New York: Wiley
Erniwulan. (1998). Pengembangan perilaku sosial anak taman kanak-kanak melalui layanan bimbingan dan konseling perkembangan yang berorientasi interaksi teman sebaya. diakses 11 Juli 2011 dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PGTK
Feist, J & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian. Terjemahan Smita Prathita Sjahputri. Jakarta: Salemba Humanika.
Hall, C. S., Gardner, L. & John, B. Campbell. (1993). Theory of personality fourth edition. Newyork: Willey.
Hall, C. S & Gardner, L. (1993). Teori-teori psikodinamika (klinis). Dalam A. Supratiknya (Edt). Yogyakarta : Kanisius
Hughes, F. P. (1991). Children, play and development. America: Allyn and Bacon A Division of Simon & Schuster Inc; Massachussetts.
Hughes, F. P. (1995). Children, play and development. America: Allyn and Bacon A Division of Simon & Schuster Inc; Massachussetts.
Hurlock, E. B. (1998). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kaplan, H. I, Sadock, B. J & Grebb, J. A. (1997). Sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.
Knell, S. M. (1993a). Cognitive behavior play therapy. Northvale, NJ: Jason Aronson Inc. ___________ (1998). Cognitive behavioral play therapy. Ohio: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc.
___________ (1993b). To show and not tell: Cognitive behavioral play therapy in the treatment of Selective Mutism. In T. Kottman & C. E. Schaefer (Eds), Play therapy in action: A casebook for practitioners (pp. 169-208). Northvale, NJ: Jason Aronson Inc.
Knell, S. M. & Moore, D. J. (1990). Cognitive behavior play therapy in the treatment of encopresis. Journal of Child Clinical Psychology. 19, 55-60.
Knell, S. M & Ruma, C. D. (1996). Cognitive behavioral play therapy in the treatment of encopresis. Journal of Child Clinical Psychology, 19, 55-60.
Latipun. (2004). Psikologi eksperimen. Malang: UMM Press
_______ (2008). Psikologi konseling edisi ketiga. Malang: UMM Press
Monks, F.J, A. M. P, Knoers & Siti, R. H. (1998). Psikologi perkembangan pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah mada university press.
Mesh. (2010). Bibliotherapy. diakses 20 Januari 2012 dari http://en.m.wikipedia.org/wiki/bibliotherapy
Nelson-Jones, R. 1982. The theory and practice of counselling psychology. London: Holt, Rinehart and Winston.
Notosoedirdjo, M & Latipun. (2005). Kesehatan mental konsep dan penerapan. Malang: UMM Press
Oemarjoedi, A. K. (2003). Pendekatan cogniteve behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media Jakarta.
Ogden, C. K. (2001). Inferiority feelings. This edition published in the Taylor & Francis e-Library.
O’Connor, K. J & Liza, M. B. (1997). Play therapy theory and practice: a comparative presenting. New york: Jhon Wills & Sons
Purwanto, M. N. (2006). Psikologi pendidikan. Bandung: Remaja Karya.
Sundberg, N. D, Allen, A. W & Julian, R. T. (2007). Psikologi klinis perkembangan, teori, praktik dan penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Supratiknya, A. (1995). Mengenal perilaku abnormal. Yogyakarta: Kanisius.
Thomas, J. (2012). Exposure treatment. diakses 29 Januari 2012 dari http://Exposure-treatment.html.webarchivexml