• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Stabilitas Hasil Cabai Hibrida (Capsicum annuum L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Stabilitas Hasil Cabai Hibrida (Capsicum annuum L.)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

(

Capsicum annuum

L.)

DARMAWAN ASTA KUSUMAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Stabilitas Hasil Cabai Hibrida (Capsicum annuum L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di`bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2010

(3)

DARMAWAN ASTA KUSUMAH. The Yield Stability Analysis of Hybrid Pepper (Capsicum annuum L.). Supervised by SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR.

Multi location trials play important roles in plant breeding and agronomic research. Data from multi location trials will help farmers to estimate or predict yield potential of their varieties, provide reliable guidance for selecting the best genotypes and to determine yield stability. A number of statistical procedures have been developed over the years to analyze genotype x environment interaction and especially yield stability over environment. Joint regression analysis as the first statistical procedures to stability analysis was proposed by Yates and Cochran. The objective of this study is to identify the stability of seven hybrid peper genotypes as the breeding result of Genetic and Plant Breeding IPB, using yield stability analysis and Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI) method. The genotypes used were IPB CH1, IPB CH2, IPB CH3, IPB CH5, IPB CH25, IPB CH28, IPB CH50 and five commercial varieties i.e. Adipati, Biola, Gada, Hot Beauty and Imperial. The genotypes were planted in six different locations which included Ciherang, Leuwikopo, Tajur, Subang, Rembang and Boyolali. The design in each location was Randomized Complete Block Design (RCBD) with three replications as blocks. Based on yield stability analysis, IPB CH28 is the most stable genotypes and adaptive to the environment at 400 m above sea level. IPB CH3 has the highest fruit weight per plant (555.51 g); earlier days to flowering and days to harvesting; and bigger weight and diameter fruit compare to other genotypes. IPB CH3 also results in the highest yield and has a dynamic stability according to Eberhart and Russell’s analysis. IPB CH3 will give higher yield potential if planted in optimal environment. Based on AMMI bi-plot analysis, IPB CH3 is more suitable for Subang location. Perkins and Jinks’ stability analysis method is correlated to Finlay and Wilkinsons’ method, Francis

and Kannenberg’s method, and Tai’s alpha parameter (α). Shukla’s method is

correlated to Wricke’s method, while Eberhart and Russell’s parameter S2di is correlated to Tai’s lamdha parameter (λ), Skhula’s method and Wricke’s method. It is possible to choose one method among others, since the correlated methods measure the same aspects. The Eberhart and Russell’s method is the most suitable method to analyze the stability of hybrid pepper.

(4)

DARMAWAN ASTA KUSUMAH. Analisis Stabilitas Hasil Cabai Hibrida

(Capsicum annuum L.). Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI dan

MUHAMAD SYUKUR.

Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran buah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, rata-rata produktivitas cabai secara nasional pada tahun 2008 yaitu 6.37 ton per hektar. Produktivitas ini masih jauh dari potensi hasil cabai yang bisa mencapai 20 – 30 ton per hektar. Rendahnya produktivitas ini salah satunya disebabkan oleh penggunaan varietas yang tidak tepat dalam hal kesesuaian lahan. Analisis stabilitas dapat memberikan gambaran pola respon suatu genotipe terhadap perubahan lingkungan sehingga dapat digunakan petani dalam memilih varietas yang sesuai bagi lingkungan sehingga dapat memberikan produksi yang optimal.

Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki karakter tanaman sesuai dengan kebutuhan manusia dengan memanfaatkan potensi genetik dan interaksi genotipe dengan lingkungan. Pemulia dapat mengunakan interaksi genotipe dengan lingkungan untuk mengembangkan varietas unggul baru yang spesifik lingkungan atau varietas yang beradaptasi luas. Jika interaksi genotipe x lingkungan tinggi, maka diperlukan pengembangan suatu varietas yang spesifik lokasi, dan sebaliknya bila interaksi genotipe x lingkungannya kecil, maka dapat dikembangkan varietas beradaptasi luas. Interaksi genotipe x lingkungan adalah variasi yang disebabkan oleh pengaruh bersama dari genetik dan lingkungan. Interaksi genotipe x lingkungan merupakan hal yang menarik ketika pemulia tanaman mengevaluasi stabilitas hasil pada berbagai lingkungan. Kemampuan tanaman bertahan pada berbagai kondisi lingkungan merupakan pertimbangan penting dalam pemuliaan tanaman, dan perhatian utama dari seorang pemulian adalah menghasilkan varietas tanaman yang berdaya hasil tinggi dan stabil mengingat waktu dan biaya yang dikeluarkan.

Analisis stabilitas parametrik pertama kali diajukan oleh Yates dan Cochran, yang menyatakan bahwa derajat hubungan antara perbedaan varietas dan nilai tengah semua varietas dapat dijelaskan dengan menghitung regresi dari hasil satu varietas dengan nilai tengah hasil dari semua varietas. Yates dan Cochran menunjukkan regresi tersebut pada percobaan barley, tetapi ide mereka tidak teramati sampai Finlay dan Wilkinson menemukan ulang metode yang sama dan digunakan pada analisis adaptasi pada percobaan 277 varietas barley di tujuh lingkungan. Metode Finlay – Wilkinson mengukur stabilitas dan adaptasi tanaman berdasarkan regresi linear untuk setiap lokasi dan musim. Perhitungan regresi ini dijadikan sebagai dasar untuk menentukan tingkat derajat kelinearan yang timbul. Finlay dan Wilkinson menggunakan koefisien regresi sebagai ukuran stabilitas. Koefisien regresi (bi) = 1.0 menyatakan rata-rata stabilitas. Penambahan nilai

(5)

yang stabil, mempelajari korelasi antar metode stabilitas dan mempelajari metode analisis stabilitas yang efektif.

Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan tiga ulangan pada 6 unit lokasi percobaan yaitu: Ciherang, Leuwikopo, Tajur, Boyolali, Rembang dan Subang. Genotipe yang diujikan adalah 12 genotipe cabai hibrida yaitu 7 hibrida harapan cabai dan 5 varietas hibrida pembanding. Setiap satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman, dan sebelum melakukan uji gabungan dilakukan uji kehomogenan ragam untuk melakukan pendugaan komponen ragam. Untuk mengetahui pengaruh lokasi percobaan, maka dilakukan analisis. Analisis kehomogenan ragam dilakukan berdasarkan uji Barlett. Untuk mengetahui bahwa genotipe dan interaksi genotipe x lingkungan berbeda nyata, maka dilakukan uji F. Delapan metode stabilitas parametrik digunakan pada penelitian ini, yaitu metode Perkin-Jink, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russel, Shukla, Wricke, Francis-Kannenberg, Tai, dan Lin dan Binns serta stabilitas AMMI. Pengolahan data dan pengujian mengunakan program SAS 9.0.

Berdasarkan frekuensi kestabilan, cabai hibrida IPB CH28 memiliki frekuensi kestabilan sebanyak 10 kali sehingga dikategorikan sebagai hibrida yang paling stabil dan memiliki daya adaptasi yang lebih luas pada berbagai lingkungan di bawah 400 m di bawah permukaan laut. IPB CH28 mempunyai bobot per tanaman 418.07 g. IPB CH3 merupakan hibrida dengan produktivitas tertinggi yaitu 555.51 g/tan. IPB CH3 mempunyai umur panen dan umur berbunga lebih genjah daripada genotipe lainnya. IPB CH3 juga mempunyai bobot buah dan diameter buah yang lebih besar daripada genotipe lainnya.Berdasarkan analisis stabilitas Eberhart dan Russell, IPB CH3 merupakan hibrida yang memiliki kestabilitasan dinamis. IPB CH3 akan memberikan potensi produksi yang lebih tinggi apabila ditanam pada lingkungan yang optimal. Berdasarkan analisis biplot AMMI, IPB CH3 lebih sesuai untuk lingkungan Subang. Terdapat korelasi antara metode analisis stabilitas Perkins dan Jinks dengan stabilitas Finlay dan Wilkinsons, Francis dan Kannenberg serta parameter alpha (α) Tai. Metode Shukla berkorelasi dengan Wricke. Parameter S2di Eberhart dan Russell berkorelasi dengan parameter lamdha (λ) stabilitas Tai, Shukla dan Wricke. Metode-metode yang berkorelasi tersebut dapat dipilih salah satunya karena dalam menganalisis stabilitas mengukur aspek yang sama. Metode stabilitas Eberhart dan Russell’s merupakan metode stabilitas yang paling sesuai untuk menganalisis stabilitas cabai hibrida.

(6)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau peninjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

Nama : Darmawan Asta Kusumah

NIM : A151060021

Disetujui Komisi pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. Dr. Muhamad Syukur, SP. M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(8)
(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Stabilitas Hasil Cabai Hibrida (Capsicum annuum L.)”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan pendidikan S2 dan memperoleh gelas Magister Sains dari Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Muhamad Syukur, SP. M.Si. Selaku anggota komisi pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis selama melakukan kegiatan penelitian dan penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Yudiwanti W.E. Kusumo, M.S. dan Ibu Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Selaku dosen penguji luar komisi dan perwakilan program studi atas masukan, kritik dan saran untuk kesempurnaan penyusunan tesis ini.

Terima kasih yang setulus-tulusnya penulis haturkan kepada orang tua tercinta Bapak Iking Soekara dan Emih Ratna Laelani yang telah membesarkan penulis dengan cinta yang tulus. Penulis menyampaikan rasa sayang dan terima kasih kepada istri tercinta Ismantiri Heningtyas serta anak-anakku Padmarani Syandina dan Ramadhan Adiputra yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan penyusunan tesis. Kepada rekan-rekan mahasiswa satu proyek penelitian 2007-2008, Teddy, Madhumita, Habib, Shinta, Wahyu dan Dimas yang selalu memberikan dukungan selama melakukan penelitian.

Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini agar dapat bermanfaat bagi semua pihak.

(10)

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 7 Nopember 1974 sebagai anak ke enam dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Iking Soekara dan Ibu Ratna Laelani. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada Tahun 1998. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa pasca sarjana pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian IPB dengan pembiayaan sendiri.

Penulis berkarir dibidang perbenihan sejak tahun 1998, pada PT. Pioneer Hibrida Indonesia (Dupont) sebagai District Agronomist untuk wilayah Jawa Barat dengan kantor cabang di Bandung. Tahun 2000 penulis mendapatkan tawaran bekerja di PT. Monsanto Indonesia sebagai Seed Agronomist untuk wilayah regional Indonesia Timur dengan kantor cabang di Surabaya. Tahun 2002 penulis pindah ke wilayah regional Sumatera dengan kantor cabang di Padang. Pada tahun 2003, penulis berkarir di PT. Syngenta Seeds Indonesia sebagai Regional Sales Manager untuk wilayah Jawa Barat dengan tugas utama pengembangan benih hortikultura untuk wilayah Jawa Barat dan Lampung. Sejak Mei 2009 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai Product Development

Manager dengan tugas utama pengembangan produk benih pangan dan

(11)

(

Capsicum annuum

L.)

DARMAWAN ASTA KUSUMAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

Kerangka Pemikiran ... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 6

Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai ... 6

Interaksi Genotipe x Lingkungan dan Stabilitas ... 8

Analisis Stabilitas Parametrik ... 12

Analisis Peubah Ganda ... 17

BAHAN DAN METODE ... 19

Waktu dan Tempat ... 19

Bahan dan Alat ... 19

Metode Percobaan ... 19

Pelaksanaan... 20

Pengamatan ... 21

Analisis Stabilitas ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Kondisi Umum ... 24

Keragaan Cabai Hibrida ... 27

Analisis Stabilitas ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

Kesimpulan ... 51

Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(13)

Halaman

1 Pembagian grup stabilitas ... 12

2 Analisis ragam gabungan di beberapa lokasi pengujian menggunakan model tetap... 22

3 Formula statistik stabilitas ... 23

4 Rekapitulasi Fhitung, lokasi, genotipe, interaksi GXE dan koefisien keragaman ... 27

5 Umur berbunga 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 28

6 Umur panen 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 29

7 Bobot buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 30

8 Diameter buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan... 31

9 Tebal kulit buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 31

10 Panjang buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 32

11 Tinggi tanaman 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 33

12 Tinggi dikotomus 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 34

13 Lebar kanopi 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 35

14 Lebar daun 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 36

15 Bobot buah per tanaman 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan.. 37

16 Analisis ragam bobot per tanaman 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 39

17 Analisis stabilitas12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 41

18 Korelasi Spreaman antara 10 parameter stabilitas dan bobot per tanaman 12 genotipe cabai hibrida... 46

19 Ranking analisis stabilitas 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 47

(14)

Halaman

1 Diagram alur penelitian ... 5

2 Interpretasi umum dari pola populasi genotipe yang didapat ketika koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai tengah (hasil rata-rata) genotipe ... 13

3 Interpretasi parameter bi dan S2di dari pendekatan regresi ... 15

4 Gejala serangan hama tanaman ... 25

5 Gejala serangan penyakit tanaman ... 26

6 Gejala serangan hama dan penyakit sekunder ... 26

7 Bobot buah rata-rata per tanaman 12 genotipe cabai hibrida pada setiap Lingkungan ... 38

8 Pola rangking bobot buah per tanaman12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 40

9 Ilustrasi stabilitas Perkin dan Jinks ... 41

10 Ilustrasi stabilitas Finlay dan Wilkinsons ... 42

11 Ilustrasi stabilitas Eberhart dan Russell... 43

12 Ilustrasi stabilitas Francis dan Kannenberg ... 44

13 Ilustrasi stabilitas Tai ... 45

14 Ilustrasi stabilitas Shukla, Wricke, Lin dan Binns ... 46

(15)

Halaman

1 Listing SAS analisis stabilitas 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan ... 58 2 Rata-rata bobot per tanaman pada 12 genotipe cabai hibrida pada 6

lingkungan ... 74 3 Rekapitulasi data karakter kuantitatif 12 genotipe cabai hibrida pada

6 lingkungan ... 75 4 Analisis ragam gabungan karakter 12 genotipe cabai hibrida yang

(16)

Latar Belakang

Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran buah yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tanaman cabai banyak dibudidayakan oleh petani Indonesia karena dapat ditanam di dataran rendah maupun tinggi. Berdasarkan data luasan dari Dirjen Bina Produksi Hortikultura 2008, tanaman cabai memiliki luasan 19.12% dari luasan sayuran di Indonesia. Cabai banyak digunakan untuk bumbu masak sehari-hari, industri makanan dan bahan baku obat-obatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2009 rata-rata produktivitas cabai secara nasional pada tahun 2008 yaitu 6.37 ton per hektar, meningkat dari 6.22 ton per hektar (tahun 2007). Menurut Pitojo (2003) produktivitas rata-rata ini masih jauh dari potensi hasil cabai yang bisa mencapai 20 – 30 ton per hektar. Rendahnya produktivitas ini salah satunya disebabkan oleh penggunaan varietas yang tidak tepat dalam hal kesesuaian lahan.

(17)

secara luas pada berbagai lingkungan. Prosedur statistik analisis stabilitas telah banyak dikembangkan oleh para ahli untuk membantu pemulia menganalisis interaksi genotipe x lingkungan, stabilitas genotipe, dan keterkaitan antara stabilitas genotipe dengan interaksi genotipe. Analisis stabilitas pertama kali dibahas oleh Yates dan Cochran (1938) dengan menggunakan regresi untuk nilai fenotipe atau interaksi dengan lingkungan. Analisis ini dimodifikasi dan digunakan oleh Finlay dan Wilkinson (1963) serta Eberhart dan Russell (1966).

Crossa (1990) dan Flores et al. (1998) menyatakan bahwa kestabilan genotipe tergambar oleh tiga parameter, yaitu : nilai daya hasil rata-rata, derajat kemiringan garis regresi (bi) dan jumlah kuadrat (SS) dari regresi deviasi (S2di).

Lin et al. (1986) menyampaikan dua parameter stabilitas yang diajukan oleh Eberhart dan Russell (1966) hampir sama dengan yang diajukan oleh Tai (1971). Pada metode ini pengaruh lingkungan (i) dan perbedaan dari respon linear (i)

dapat dibuat menjadi bentuk spesial dari parameter regresi (bi) dan (S2di), dengan

indeks lingkungan diasumsikan acak. Perhitungan stabilitas dengan mengunakan interaksi genotipe x lingkungan untuk setiap genotipe disarankan oleh Wricke (1962) yang disebutnya sebagai ecovalance (W2i). Shukla (1972) mengembangkan

estimasi tidak bias dengan menggunakan ragam stabilitas (2

i) dari genotipe, dan

menguji nyata tidaknya dari ragam stabilitas, untuk menentukan stabilitas suatu genotipe. Francis dan Kannenberg (1978) menggunakan ragam lingkungan (S2i)

dan koefisien ragam (CVi), dan Pinthus (1973), menggunakan koefisien

determinasi (R2i) dari setiap genotipe sebagai parameter stabilitas.

(18)

genotipe terhadap perubahan lingkungan sehingga dapat digunakan petani dalam memilih varietas yang sesuai bagi lingkungan sehingga dapat memberikan produksi yang optimal.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasikan hibrida harapan cabai yang memiliki daya adaptasi yang baik dan potensi hasil yang stabil, (2) mempelajari korelasi antar metode stabilitas, (3) mempelajari metode analisis stabilitas yang efektif.

Hipotesis

(19)

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini merupakan rangkaian dari penelitian pengembangan cabai hibrida di Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman IPB yang dimulai pada tahun 2006. Penelitian dimulai dengan melakukan karakterisasi daya hasil, seleksi ketahanan terhadap penyakit antraknosa dan penyakit phytophthora. Pada tahun 2007 dilakukan persilangan, analisis silang dialel, evaluasi pendahuluan dan evaluasi lanjutan. Dalam analisis silang dialel diperoleh tetua yang mempunyai daya gabung umum terbaik yaitu IPB C2. Tetua ini digunakan untuk merakit hibrida harapan. Pada tahun 2007 dilakukan uji multilokasi pada tiga Kabupaten Bogor yang meliputi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur. Uji multilokasi ini merupakan awal dari rangkaian penelitian analisis stabilitas hasil cabai hibrida yang kemudian dilanjutkan pada tahun 2008 di tiga Kabupaten yang meliputi Kabupaten Subang (Jawa Barat), Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah) dan Kabupaten Rembang (Jawa Tengah).

Data yang diperoleh dari 6 lokasi percobaan diuji kehomogenan dengan uji Barlet’s, kemudian dilakukan pengujian interaksi genotipe x lingkungan. Analisis stabilitas hasil dilakukan apabila terjadi interaksi antara genotipe x lingkungan. Analisis stabilitas hasil yang digunakan adalah 10 parameter. Hasil analisis stabilitas ini digunakan untuk membandingkan antar parameter stabilitas dalam rangka memilih parameter yang lebih efektif. Genotipe yang memiliki kategori stabil lebih dari 50% maka dinyatakan terpilih sebagai hibrida yang paling stabil. Diagram alur penelitian analisis stabilitas hasil 12 genotipe cabai hibrida disajikan pada Gambar 1.

(20)

Gambar 1 Diagram alur penelitian. Seleksi dan karakteristik ketahanan

penyakit dan daya hasil

Hibridisasi pembentukan F1

Evaluasi Pendahuluan

Evaluasi Lanjutan

Analisis Stabilitas

Uji multilokasi di Rembang Uji multilokasi di

Subang Uji Multilokasi 3

Lokasi Kab. Bogor

Uji multilokasi di Boyolali

Pemilihan metode analisis stabilitas yang efektif

Pemilihan cabai hibrida stabil dan beradaptasi luas

2007/2008

Penelitian terdahulu

yang dilakukan

oleh team peneliti lain pada

(21)

Klasifikasi, Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

Tanaman cabai tergolong divisi Magnoliophyta, kelas Magnolipsida, ordo Solanales, famili Solanaceae, genus Capsicum dan spesies Capsicum annuum L. (Kusandriani 1996). Tanaman cabai merupakan tanaman tropika yang memiliki sifat menyerbuk sendiri dengan variasi penyerbukan silang yang tinggi tergantung genotipe dan lingkungan (Daskalov 1998). Persentase penyerbukan silang pada tanaman cabai sekitar 6 – 37 %, persentase penyerbukan silang dipengaruhi oleh posisi dan ukuran stigma. Stigma yang lebih tinggi dibandingkan dengan kotak sari akan menyebabkan penyerbukan silang dan sebaliknya, bunga tanaman cabai bersifat protogeny atau kepala putik telah siap diserbuki sebelum tepung sari masak (Permadi dan Kusandriani 1996). Tanaman cabai mempunyai jumlah kromosom somatik diploid dengan kromosom dasar x = 12. Jumlah kromosom normal cabai adalah 2n=2x=24 (Berke 2000). Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1997), tanaman cabai merupakan tanaman herba yang berkayu pada pangkal batangnya tetapi pada beberapa jenis menjadi semak. Batang utama tegak ber-kayu dan bercabang banyak dengan berkisar 0.5 – 1.5 m dan memiliki perakaran yang dangkal diawali dengan akar tunggang (akar primer) kemudian tumbuh akar rambut ke samping (akar lateral). Panjang akar primer berkisar 35 – 50 cm dan akar lateral berkisar 35 – 45 cm, perkembangan akar lateral yang cepat di dalam tanah dan menyebar pada kedalaman 10 – 15 cm.

(22)

terdapat 220 biji cabai. Rubatzky dan Yamaguchi (1996) menyatakan bahwa biji kultivar Capsicum annuum berbentuk pipih berwarna kuning pucat dan berbentuk bulat telur dengan panjang 3 – 5 mm.

Sumarni (1996) menyatakan bahwa tanaman cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah asalkan memiliki drainase dan aerasi yang baik. Tanaman cabai dapat dibudidayakan pada daerah dengan ketinggian tempat hingga 2000 m dpl. Keadaan pH tanah yang ideal untuk tanaman cabai adalah 6.0 – 6.5 dan mengandung bahan organik sekurang-kurangnya 1.5%. Keadaan pH tanah sangat penting karena erat kaitannya dengan ketersediaan unsur hara. Apabila ditanam pada tanah yang mempunyai pH lebih dari tujuh maka tanaman cabai akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan gejala klorosis atau daun menguning yang disebabkan kekurangan unsur hara besi (Fe). Pada tanah yang mempunyai pH kurang dari lima tanaman cabai juga akan menjadi kerdil karena kekurangan unsur hara kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) atau keracunan aluminium (Al) dan mangan (Mn).

(23)

Interaksi Genotipe x Lingkungan dan Stabilitas

Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki karakter tanaman sesuai dengan kebutuhan manusia. Perbaikan karakter dilakukan dengan pemanfaatan potensi genetik dan interaksi genotipe x lingkungan. Interaksi genotipe x ling-kungan dapat dipergunakan oleh pemulia tanaman untuk mengembangkan va-rietas unggul baru yang spesifik lingkungan atau vava-rietas yang beradaptasi secara luas. Pemulia tanaman memiliki tugas yang relatif mudah apabila semua ke-ragaman fenotipe hanya dihasilkan oleh genetik saja, proses pemulian tanaman hanya akan dibatasi pada mengidentifikasi nilai tambah genetik dari efek dominan serta akumulasi alel-alel yang menguntungkan ke dalam populasi tanaman. Alberts (2004) menyatakan bahwa karakter tanaman adalah hasil akhir dari genetik yang hampir semuanya bersifat kualitatif serta kebanyakan karakter agronomi yang penting seperti daya hasil bersifat kuantitatif dan dipengaruhi oleh lingkungan. Sangat tidak realistis apabila suatu genotipe unggul di satu lokasi satu musim akan menjadi unggul di semua lokasi yang lain serta unggul di semua musim.

(24)

dalam program pemuliaan tanaman karena mengurangi kemajuan dari seleksi pada satu lingkungan.

Lin dan Binns (1988a) menyatakan bahwa pengamatan penampilan geno-tipe dalam percobaan genogeno-tipe x lokasi x tahun seringkali bermasalah karena ke-hadiran interaksi lokasi x tahun atau yang disebut pengaruh lingkungan. Crossa (1990) menyatakan bahwa data yang dikoleksi dari percobaan multilokasi akan memiliki tiga aspek fundamental yaitu: (1) pola data yang terstruktur, dimana jumlah genotipe yang berespon terhadap lingkungan tertentu sudah tersistematik, signifikan dan bisa terukur; (2) data yang tidak terstruktur, dimana respon bisa tidak terprediksi dan terukur. Fungsi dari disain percobaan dan analisis statistik dari multilokasi adalah menghilangkan dan kemungkinan membuang data yang tidak bisa dijelaskan; (3) hubungan antar genotipe, antar lingkungan dan interaksi genotipe dan lingkungan.

Tanaman sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya baik se-cara fisik, kimia maupun biologis. Comstock dan Moll (1963) membagi ling-kungan menjadi dua kategori, yaitu: (1) Lingling-kungan mikro, suatu lingling-kungan di-mana satu tanaman bersaing dengan tanaman lain yang tumbuh bersamaan wak-tunya dan tempat. Hal ini termasuk sifat fisik dan kimia seperti jenis tanah, perbedaan cuaca, radiasi matahari, hama dan penyakit yang ada pada lingkungan tanaman tersebut tumbuh. Menurut Roy (2000), lingkungan mikro memberikan dampak variasi galat pada analisis statistik. Kategori (2) Lingkungan makro, lingkungan yang berhubungan skala lokasi atau area pada satuan periode. Lingkungan makro merupakan kumpulan dari lingkungan mikro, dimana setiap lingkungan mikro memberikan dampak yang berbeda pada lingkungan makronya. Dengan kata lain lingkungan makro merujuk pada kondisi iklim, tanah, serta manajemen penanamannya (pemupukan, pengairan, kerapatan tanaman, tanggal tanam, curah hujan dan lain-lain).

(25)

atau tidak ada perubahan dibandingkan dengan genotipe lain apabila lingkungan dibuat menjadi lebih jelek, seperti kekurangan nutrisi, air dan lain-lain; (3) Genotipe stabil, dimana menunjukkan sedikit atau tidak ada perubahan diban-dingkan dengan genotipe lain walaupun lingkungan berubah dratis dan tidak bisa dikontrol seperti perbedaan antar musim pada wilayah agroklimat yang sama. Secara singkat stabilitas dikategorikan sebagai mengurangi variasi antar musim; (4) Genotipe adaptasi luas atau fleksibel, genotipe yang tidak atau sedikit menun-jukkan perbedaan dibandingkan dengan genotipe lain ketika ditanam pada wilayah agroklimat yang berbeda. Kemampuan adaptasi dapat didefinisikan berkurangnya variasi dalam semua lingkungan.

Berdasarkan respon terhadap perubahan Roy (2000) juga membagi dua kategori genotipe, yaitu: (1) Homeostatis: kemampuan genotipe apabila ditanam pada lingkungan berbeda, tanaman secara menyeluruh (ukuran, bentuk waktu berbunga atau waktu panen) seragam dan stabil seperti yang dideskripsikan; (2) Stabilitas berkembang (developmental stability): kemampuan genotipe memper-cepat tahap pertumbuhan baik secara fisiologi maupun morfologi dalam meng-hadapi perubahan lingkungan dibandingkan dengan genotipe lain.

Menurut Alberts (2004), pemulia tanaman setuju akan pentingnya sta-bilitas hasil, tetapi sedikit sekali yang menjelaskan definisi stasta-bilitas serta sedikit metode untuk mengukur dan meningkatkan stabilitas hasil. Stabilitas suatu ge-notipe adalah kemampuan gege-notipe untuk hidup pada berbagai lingkungan yang beragam, sehingga fenotipenya tidak banyak mengalami perubahan pada ling-kungan lain. Penyebab stabilitas adalah adanya mekanisme penyangga individu dan penyangga populasi, genotipe dengan hasil tinggi dan stabil akan berpe-nampilan baik pada semua lingkungan. Stabilitas fenotipe disebabkan oleh ke-mampuan tanaman untuk dapat menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan yang beragam sehingga tanaman tidak banyak mengalami perubahan sifat fenotipenya.

(26)

dan penyakit atau stres lingkungan. Parameter stabilitas yang bisa mengambarkan ini adalah koefisien ragam (CVi) (Francis dan Kannenburg 1978) pada setiap

genotipe dan ragam genotipe pada seluruh lingkungan (S2i).

Konsep stabilitas Tipe 2, suatu genotipe cenderung stabil apabila respon terhadap lingkungannya adalah sejajar dengan respon daya hasil untuk semua genotipe. Becker dan Leon (1988) menyatakan sebagai stabilitas dinamis atau stabilitas agronomis. Suatu genotipe stabil apabila tidak memiliki perbedaan secara umum respon terhadap lingkungannya dan bisa diprediksikan responnya terhadap lingkungan yang lain. Koefisien regresi (bi) (Finlay dan Wilkinson

1963), komponen ragam nilai tengah terhadap interaksi genotipe x lingkungan (i) (Plasteid dan Peterson 1959), komponen ragam dari interaksi genotipe x lingkungan ( (i)) (Plaisteid (960), ecovalen (W

2

i) (Wricke 1962) dan ragam

stabilitas (2

i) (Shukla 1972) dapat digunakan untuk mengukur stabilitas tipe ini.

Konsep stabilitas Tipe 3, suatu genotipe cenderung stabil apabila residu kuadrat tengah (MS) dari model regresi terhadap indeks lingkungannya kecil. Indeks lingkungan digambarkan dari nilai tengah semua genotipe dari setiap lokasi dikurangi total nilai tengah semua genotipe pada semua lokasi. Tipe 3 ini juga bagian dari stabilitas dinamis atau agronomis menurut Becker dan Leon (1988). Metode yang menjelaskan stabilitas tipe 3 adalah metode Eberthart dan Russell (1966), Perkins dan Jinks (1968) dan Tai (1971). Becker dan Leon (1988) menyatakan bahwa semua prosedur stabilitas yang berdasarkan kuantitatif pengaruh interaksi genotipe x lingkungan termasuk kedalam konsep stabilitas dinamis. Lin et al. (1986) mendefinisikan empat grup stabilitas hasil yang didasarkan dari deviasi dari pengaruh rata-rata genotipe (DG) dan pola interaksi genotipe x lingkungan (GE).

(27)

(2002) konsep stabilitas tipe 4 memiliki pengertian yang sama dengan konsep stabilitas statis. Simmonds (1991) menyatakan bahwa stabilitas statis akan lebih banyak berguna dibandingkan dengan stabilitas dinamis pada semua kondisi, terutama untuk negara berkembang.

Tabel 1 Pembagian grup stabilitas (Lin et al. 1986)

Grup Dasar Perhitungan Sumber Ragam

Grup A DG (pengaruh rata-rata genotipe) jumlah kuadrat (SS) Grup B GE (pola interaksi Genetipe X Lingkungan) jumlah kuadrat (SS)

Grup C DG atau GE koefisien regresi

Grup D DG atau GE deviasi regresi

Analisis Stabilitas Parametrik

Beragam metode telah banyak diajukan untuk menganalisis interaksi genotipe x lingkungan dari pengujian multi lokasi. Apabila terdapat interaksi dan terbukti nyata maka dilanjutkan dengan menganalisis stabilitas dari genotipe untuk mendapatkan genotipe yang berdaya hasil tinggi dan stabil. Alberts (2004) menyatakan bahwa secara umum metode yang tersedia untuk menganalisis interaksi genotipe x lingkungan dapat dibagi menjadi empat grup, yaitu; (1) analisis komponen ragam atau anova; (2) analisis stabilitas parametrik; (3) metode peubah ganda (multivariate); (4) metode kualitatif atau stabilitas non parametrik.

(28)

rata-rata stabilitas. Penambahan nilai koefisien terhadap 1.0 berarti meningkatkan kepekaan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Penurunan koefisien berarti peningkatan adaptasi terhadap perubahan lingkungan (Gambar 2). Suatu genotipe dikatakan sangat stabil apabila nilai koefisien regresinya (bi) = 0.

Gambar 2 Interpretasi umum dari pola populasi genotipe yang didapat ketika koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai tengah (rata-rata hasil) genotipe (Finlay dan Wilkinson 1963).

Eberhart dan Russell (1966) mengajukan pengabungan jumlah kuadrat dari lingkungan (E) dan interaksi genotipe x lingkungan (GE) serta membaginya ke dalam pengaruh linear antar lingkungan (derajat bebas = 1) dan pengaruh linear dari genotipe x lingkungan (derajat bebas E = 2). Pengaruh dari residual kuadrat tengah dari model regresi antar lingkungan digunakan sebagai indeks stabilitas. Suatu genotipe dikatakan stabil apabila memiliki nilai deviasi regresi kuadrat tengah (S2di) = 0 dan memiliki nilai koefisien regresi (bi) = 1.

Perkins dan Jinks (1968) mengajukan model koefisien regresi yang mirip dengan Finlay dan Wilkinson (1963) tetapi data yang diamati disesuaikan terlebih dahulu dengan pengaruh lingkungan sebelum dibuat regresi. Menurut Roy (2000), model Perkins dan Jinks menjelaskan bahwa genotipe yang sangat stabil apabila memiliki nilai βi = 0 dan genotipe ini tidak memiliki interaksi genotipe x

lingkungan. Genotipe dengan nilai βi > 0.0 tidak terlalu sensitif dengan

lingkungan, tetapi genotipe ini direkomendasikan khusus untuk lingkungan yang

(29)

optimal. Genotipe dengan nilai βi < 0.0 atau negatif akan lebih sedikit

perbedaannya antar lingkungan dan sangat cocok untuk ditanam pada semua lingkungan.

Pendekatan regresi telah menjadi alat yang berguna untuk pemulia ta-naman, tetapi ada beberapa penulis yang menunjukkan keterbatasan regresi baik secara statistik maupun biologis. Keterbatasan pertama seperti dikemukakan oleh Freeman dan Perkins (1971) serta Freeman (1973) adalah secara statistik nilai tengah genotipe tidaklah bebas dari nilai marginal lingkungan. Membuat regresi satu set peubah terhadap peubah yang lain tidak akan bebas dari saling mem-pengaruhi satu dengan yang lain. Masalah ini akan menjadi lebih besar apabila menggunakan jumlah genotipe yang banyak. Keterbatasan secara statistik yang kedua seperti yang dikemukan oleh Crossa (1990) adalah galat berhubungan dengan slope dari genotipe dan tidak secara statistik bebas, karena deviasi jumlah kuadrat dengan derajat bebas (G-1)(E-2) dapat tidak terbagi secara orthogonal antara G genotipe. Permasalahan yang ketiga seperti yang dikemukakan oleh Mungomery et al. (1974) dan Wescott (1986) adalah hubungan linear antara in-teraksi dan nilai lingkungan. Ketika asumsi ini tidak dipenuhi maka keefektifan dari analisis akan berkurang dan menyebabkan salah pengertian dari hasil analisis. Permasalahan secara biologi seperti dikemukan oleh Westcott (1986) dan Crossa (1990) adalah jika lingkungan yang diikutkan hanya memiliki sedikit lokasi yang optimal atau marjinal. Genotipe terpilih akan dijelaskan secara umum hanya cocok pada lingkungan ekstrem. Hal ini dapat menyebabkan salah pe-ngertian oleh karena itu analisis regresi dipergunakan dengan hati-hati apabila set data mengikutsertakan hasil dari sedikit lokasi yang rendah atau tinggi. Becker dan Leon (1988) mencatat ketika mempelajari metode biometrical utama, bahwa pendekatan regresi jarang digunakan jika koefisien regresi (bi) dimasukkan ke

dalam definisi stabilitas. Dengan alasan ini, koefisien regresi (bi) oleh

(30)

Gambar 3 Interpretasi parameter bi dan S2di dari pendekatan regresi.

Wricke (1962) menggunakan interaksi genotipe x lingkungan pada setiap genotipe sebagai ukuran kestabilan. Ukuran kestabilan Wricke (1962) disebut ecovalance (W2i), yang merupakan jumlah kuadrat yang disumbangkan oleh satu

genotipe kepada interaksi genotipe x lingkungannya. Ukuran perbedaan kestabilan merupakan nilai konsistensi dari suatu genotipe pada semua lingkungan. Geno-tipe yang memiliki nilai ecovalance (W2i) terkecil merupakan genotipe yang

pa-ling stabil.

Tai mengajukan dua parameter stabilitas, yaitu alpha () dan lamdha (),

yang menyerupai koefisien regresi dan ragam regresi, tapi didapat dengan cara melanjutkan analisis ragam dan mengunakan prinsip hubungan struktural (principle of structural relationships) (Kendall dan Stuart 1979). Mempartisikan interaksi genotipe x lingkungan kedalam regresi jumlah kuadrat dan deviasi jumlah kuadrat dari regresi bisa dilakukan apabila pengaruh lingkungan dapat diukur tanpa melakukan kesalahan. Tai (1971) menggunakan metode alternatif ini dikarenakan pengaruh lingkungan tidak dapat diukur tanpa melakukan kesalahan. Berdasarkan asumsi bahwa pengaruh lingkungan dan pengaruh interaksi genotipe x lingkungan berdistribusi normal, Tai (1971) melakukan hubungan struktural menurut metode Kendall dan Stuart (1979) untuk menemukan estimasi mak-simum dari  dan  dari komponen yang didapat langsung dari anova. Genotipe

yang paling stabil akan tidak berubah penampilannya dari lingkungan satu ke

bi < 1 bi > 1

Stabilitas hasil tinggi

Stabilitas hasil rendah Dapat beradaptasi pada lingkungan

berdaya hasil rendah

Dapat beradaptasi pada lingkungan berdaya hasil tinggi

S2di=besar

(31)

lingkungan lainnya. Parameter  = -1 dan  = 1 merupakan parameter yang nunjukkan genotipe yang paling stabil sedangkan parameter  = 0 dan  = 1

me-nunjukkan genotipe yang memiliki stabilitas rata-rata.

Shukla (1972) mendefinisikan ragam stabilitas genotipe sebagai ragam seluruh lingkungan setelah pengaruh utama dari nilai lingkungan dihilangkan. Karena pengaruh utama genotipe telah stabil, ragam stabilitas didasarkan pada residual matrik interaksi genotipe x lingkungan dan galat sebagai klasifikasi dua arah. Stabilitas Shukla dinamakan sebagai ragam stabilitas (σ2i). Suatu genotipe

dikatakan stabil apabila ragam stabilitas (σ2i) adalah sama dengan ragam

ling-kungan (σ2e) dimana nilai (σ2i) = 0. Nilai (σ2i) relatif besar menunjukkan

keti-dakstabilan dari genotipe. Karena ragam stabilitas adalah perbedaan antara dua jumlah kuadrat, maka bisa bernilai negatif. Tetapi estimasi (σ2i) negatif tidak

akan menjadi masalah pada komponen ragam karena estimasi negatif dari ragam stabilitas (σ2i) dapat dianggap sebagai nol. Pinthus (1973) mengajukan pengunaan

koefisien determinasi (ri2) dari setiap genotipe sebagai parameter stabilitas. Suatu

genotipe dikatakan stabil apabila memiliki nilai koefisien determinasi (ri2) = 1.

Francis dan Kannenberg (1978) menggunakan ragam lingkungan (S2i) dan

koefisien ragam (CVi) untuk menentukan kestabilan suatu genotipe. Suatu

geno-tipe dikatakan stabil apabila memiliki nilai ragam lingkungan (S2i) dan koefisien

ragam (CV i) kecil serta memiliki hasil yang optimal.

Lin dan Binns (1988b) mengajukan stabilitas berdasarkan ukuran su-perioritas genotipe (Pi) atau yang disebut sebagai stabilitas tipe 4. Superioritas

genotipe (Pi), merupakan parameter stabilitas yang sangat spesifik. Suatu

geno-tipe dikatakan stabil apabila memiliki nilai (Pi) terkecil. Menurut Lin dan Binns

(1988), stabilitas tipe 4 lebih konsisten dibandingkan dengan stabilitas tipe 3 ka-rena mengunakan ekspresi nyata dari prilaku genetik suatu genotipe. Oleh kaka-rena itu suatu genotipe yang memiliki nilai (Pi) terkecil akan memiliki sedikit

(32)

Analisis Peubah Ganda

Menurut Crossa (1990), analisis peubah ganda memiliki tiga tujuan utama yaitu: (1) menghilangkan gangguan pola data, seperti membedakan ragam sis-tematik dengan non sissis-tematik; (2) menyimpulkan data; (3) mengungkap struktur data. Berbeda dengan metode statistik biasa, fungsi dari analisis peubah ganda adalah mengurai struktur internal data dari hipotesis yang dapat dijabarkan dan kemudian diujikan dengan metode statistik. Alberts (2004) menyimpulkan bahwa analisis peubah ganda mengutamakan analisis matrik dua arah dari genotipe dan lingkungan. Respon dari setiap genotipe pada lingkungan tertentu dapat dianggap sebagai pola ruang dimensi lingkungan, dengan koordinat masing-masing hasil dari genotipe dalam satu lingkungan. Menurut Gauch (1982) dan Crossa (1990), terdapat dua grup teknik peubah ganda yang bisa digunakan untuk mengurai struktur internal interaksi genotipe x lingkungan, yaitu :

1. Teknik ordinat, seperti principal component analysis (PCA), principal coordinate’s analysis dan analisis faktor. Asumsi yang diperlukan adalah data merupakan satu kesatuan. Tehnik ini menempatkan genotipe yang terpilih dan kaitannya dengan lingkungan adalah sangat mungkin berada pada ruang dimensi yang dekat.

2. Teknik klasifikasi, seperti analisis gerombol dan analisis diskriminasi. Metode ini melibatkan kelompok yang mirip pada satu gerombol dan efektif untuk menyimpulkan kelebihan pada data.

(33)

Menurut De Lacy et al. (1996), analisis gerombol adalah teknik klasifikasi numerik yang mendefinisikan grup dari gerombol individu-individu. Tujuan utama dari analisis gerombol adalah untuk mengklasifikasikan obyek baik geno-tipe maupun lingkungan ke dalam grup-grup dimana telah dibuat minimal kera-gaman dalam grup, sementara kerakera-gaman antar grup dimaksimalkan. Banyak cara untuk membuat skala dan standarisasi data melalui pemusatan pada lingkungan, standarisasi lingkungan, pembobotan heritabilitas lingkungan, atau membuat ranking pada lingkungan. Beragam metode gerombol kadang kala membuat per-bedaan hasil, walaupun data yang digunakan sama. Dasar dari semua metode ge-rombol adalah mengunakan ukuran kemiripan (proximity) atau ketidakmiripan (distance) untuk mengklasifikasikan obyek ke dalam grup.

Analisis biplot AMMI dapat menjelaskan interaksi genotipe x lingkungan, menampilkan pola sebaran posisi relatif genotipe pada lingkungan. Hasil pengu-raian nilai singular diplotkan antara satu komponen genotipe dengan komponen lingkungan secara simultan. Biplot AMMI dapat meringkas pola hubungan antar genotipe, antar lingkungan, dan interaksi genotipe x lingkungan. Biplot menam-pilkan nilai komponen utama pertama dan nilai tengah. Interpretasi biplot nilai komponen pertama dan nilai tengah respon, dibuat jarak titik amatan yang ber-dasarkan sumbu datar dimana titik amatan menunjukkan perbedaan pengaruh utama amatan-amatan tersebut (Mattjik 2005).

(34)

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada dua periode percobaan dengan pemilihan lokasi percobaan di bawah ketinggian 400 m di atas permukaan laut. Periode pertama percobaan dilakukan di tiga unit lokasi percobaan di Kabupaten Bogor (Jawa Barat), yaitu Ciherang, Leuwikopo dan Tajur yang dilaksanakan pada bulan September 2006 – Mei 2007. Periode kedua dilakukan pada tiga kabupaten yaitu Boyolali (Jawa Tengah), Rembang (Jawa Tengah) dan Subang (Jawa Barat) yang dilaksanakan pada bulan Desember 2007 – Agustus 2008. Bogor terletak pada ketinggian 190 m di atas permukaan laut (m dpl), suhu rata-rata 22.6-31.80C dan curah hujan 382 mm/bulan. Subang terletak pada ketinggian 47 m dpl, rata-rata curah hujan 104 mm/bulan. Temperatur minimum 22.60C dan maksimum 31.70C dengan suhu rata-rata 270C. Boyolali mempunyai ketinggian tempat 104 m dpl dengan suhu rata-rata 260C dan curah hujan 233.5 mm/bulan.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan adalah tujuh hibrida cabai harapan hasil perakitan Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman IPB, yaitu : IPB CH1, IPB CH2 IPB CH3, IPB CH5, IPB CH25, IPB CH28 dan IPB CH 50 dengan lima hibrida komersial cabai sebagai pembanding yaitu Adipati, Gada, Biola, Hot Beauty dan Imperial. Hibrida pembanding ini digunakan karena sudah menjadi hibrida rekomendasi dari PT Heinz ABC dalam kemitraan dengan petani. Bahan lain yang digunakan adalah media tanam, pupuk NPK, pupuk kandang, pupuk urea, KCl dan SP-36, pestisida sebagai bahan perawatan tanaman. Alat yang digunakan adalah tray, gembor, ajir, cangkul, kored, meteran, timbangan analitik, timbangan kasar, spayer, tali rafia, mulsa plastik, label dan jangka sorong.

Metode Percobaan

(35)

hibrida yaitu: 7 hibrida harapan cabai dan 5 varietas hibrida pembanding. Sebelum melakukan uji gabungan dilakukan uji kehomogenan ragam untuk melakukan pendugaan komponen ragam. Untuk mengetahui pengaruh lokasi percobaan, maka dilakukan analisis gabungan dari tiap lokasi percobaan. Model linear Rancangan Acak Kelompok dengan pola gabungan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1985):

Yijk= µ + Lk + βi/k + Gj + (LG)kj + εijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan dari ulangan ke-i, genotipe ke-j dan lokasi ke-k

µ = nilai rataan umum Lk = pengaruh lokasi ke-k

Βi/k = pengaruh ulangan ke-i dalam lokasi ke-k

Gj = pengaruh genotipe ke-j

(LG)kj = pengaruh interaksi lokasi ke-k dengan genotipe ke-j

εijk = pengaruh galat percobaan

i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3,.... 16 k = 1, 2, 3,...6

Pelaksanaan

Pelaksanaan percobaan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Persemaian. Persemaian dilakukan dengan mengunakan tray semai. Media yang digunakan yaitu tanah dan pupuk kandang yang telah diayak dengan perbandingan 1:1.

2. Pengolahan lahan. Pengolahan lahan dilakukan satu bulan sebelum penanaman. yaitu dengan membajak tanah dan mengaplikasikan pupuk kandang dengan dosis 20 ton/ha. Lahan dibuat bedengan-bedengan dengan ukuran bedengan 1 X 5 m. Jarak antar petak percobaan 0.5 m. Setelah itu diberi pupuk urea, SP-36, dan KCl, kemudian ditutup dengan mulsa plastik hitam perak.

(36)

tanaman. Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam pada bibit yang tidak sehat pertumbuhannya dengan bibit baru yang umurnya sama.

4. Pemeliharaan. Pemeliharaan meliputi pengajiran yang dilakukan pada 2 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan apabila terlihat adanya gejala serangan hama dan penyakit pada tanaman.

5. Panen. Panen dilakukan setelah populasi mencapai 75% buah matang. Pemanenan dilakukan bertahap sampai delapan minggu dan setiap minggu dilakukan satu kali panen.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh setiap satu satuan percobaan. Karakter kuantitatif yang diamati mengacu pada IPGRI Descriptor (1995), yaitu:

1. Umur berbunga (HST). Umur berbunga adalah jumlah hari setelah pindah tanam sampai 50% populasi tanaman dalam petakan telah mempunyai bunga mekar pada percabangan tanaman.

2. Umur panen (HST). Umur panen adalah jumlah hari setelah transplanting sampai 50% tanaman dalam petakan mempunyai buah masak pada percabangan pertama.

3. Tinggi tanaman (cm). Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai pucuk, pengukuran dilakukan setelah panen pertama.

4. Tinggi dikotomus (cm). Tinggi dikotomus diukur dari permukan tanah sampai percabangan utama, pengukuran dilakukan setelah panen pertama. 5. Lebar kanopi (cm). Lebar kanopi diukur pada kanopi tanaman terlebar

pada fase generatif (20 MST).

6. Lebar daun (cm). Lebar daun diukur dari 20 daun dewasa setelah 50% populasi tanaman berbuah masak.

7. Bobot per buah (g). Bobot per buah dihitung berdasarkan rata-rata bobot buah dari 10 buah segar dari panen kedua.

(37)

9. Diameter buah (cm). Diameter pangkal-tengah-ujung diukur dari 10 buah segar dari panen kedua.

10.Tebal kulit buah (cm). Tebal kulit buah dihitung berdasarkan rata-rata tebal kulit buah dari 10 buah segar dari panen kedua.

11.Bobot per tanaman (g/tan). Bobot per tanaman adalah jumlah keseluruhan bobot buah yang dipanen dari 10 tanaman contoh pada panen ke-1 sampai panen ke-8.

Analisis Stabilitas

Analisis ragam gabungan untuk beberapa lokasi menurut Annicchiarico (2002) disajikan pada Tabel 2. Untuk mengetahui bahwa genotipe dan interaksi genotipe x lingkungan berbeda nyata, maka dapat dilihat nilai F hitungnya. Jika nilai F hitung > nilai F tabel pada taraf α0.05 maka perlakuan tersebut dinyatakan

berbeda nyata. Untuk mengetahui stabilitas hasil pada populasi cabai hibrida dilakukan analisis stabilitas. Analisis stabilitas dilakukan dengan menggunakan delapan metode analisis yaitu 1) Perkins dan Jinks, 2) Finlay dan Wilkinsons, 3) Eberhart dan Russell, 4) Francis dan Kannenberg, 5) Tai, 6) Shukla, 7) Wricke dan 8) Lin dan Binns. Formula statistik stabilitas disajikan pada Tabel 3 dan listing SAS untuk menganalisis stabilitas hasil dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 2 Analisis ragam gabungan di beberapa lokasi pengujian menggunakan model tetap (Annicchiarico 2002)

Sumber Derajat Kuadrat Tengah Fhit

Keragaman Bebas (db) (KT)

Lokasi (l-1) M5 M5/M4

Ulangan(Lokasi) l(r-1) M4

Genotipe g-1 M3 M3/M1

G X L (g-1)(l-1) M2 M2/M1

Galat l(g-1)(r-1) M1

(38)

Tabel 3 Formula statistik stabilitas (Lin et al. 1986 dan Hussein et al. 2000)

Grup Tipe Parameter Formula Sumber

(39)

Kondisi Umum

Penelitian ini dilakukan pada enam lokasi dengan ketinggian di bawah 400 meter di atas permukaan laut. Dua lokasi dilakukan pada kebun percobaan IPB, yaitu kebun percobaan IPB Tajur II dan Leuwikopo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (± 190 m dpl). Empat lokasi percobaan lainnya dipilih lahan petani agar terjadi penyebaran lokasi dan mendekati kondisi lingkungan yang sebenarnya, yaitu satu lokasi di Ciherang Kabupaten Bogor, Jawa Barat (± 190 m dpl), Kabupaten Subang, Jawa Barat (± 47 m dpl), Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah (± 104 m dpl), dan Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (± 47 m dpl). Penelitian ini dilakukan dua periode, yaitu periode pertama dilakukan pada tiga lokasi percobaan di Kabupaten Bogor. Penanaman dimulai pada bulan September 2006 dan panen terakhir pada bulan Mei 2007, periode kedua dilakukan di dua Propinsi dengan periode tanam mulai Desember 2007 dan panen terakhir pada bulan Agustus 2008.

Selama masa pembibitan, penyakit layu bakteri dan etiolasi menghambat pertumbuhan bibit tanaman. Bibit tanaman yang normal dan sehat mulai dipindah ke lokasi percobaan setelah berumur 4 minggu atau bibit tanaman sudah memiliki 4-5 daun. Penanaman dilakukan pada sore hari untuk menghindari panas matahari dan menghindari stres yang berlebihan pada bibit tanaman. Setelah bibit tanaman dipindah ke lapangan kadangkala mengalami gangguan oleh hembusan angin yang kencang sehingga menyebabkan rebah. Penyulaman dilakukan pada bibit tanaman yang mati dan rusak agar jumlah tanaman tiap petak tetap.

(40)

sampai tanaman siap dipanen. Hama lalat buah menyerang pada fase generatif yang menyebabkan buah cabai menjadi busuk dan rontok (Gambar 4C) untuk mengendalikan lalat buah digunakan pestisida petrogenol sebagai perangkap hama lalat bibit. Hibrida yang lebih banyak terserang oleh lalat buah adalah IPB CH2 dan IPB CH3.

Gambar 4 Gejala serangan hama tanaman. Kutu (A), thrips (B) dan lalat buah (C).

Serangan penyakit rebah pangkal batang banyak terjadi pada percobaan ini (Gambar 5A). Penyakit yang banyak merusak tanaman percobaan dan sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan produksi adalah layu fusarium dan antraknosa. Layu fusarium dapat menyebabkan tanaman layu dan mengering (Gambar 5B), penyebaran penyakit layu fusarium sangat cepat dan dapat menghabiskan populasi tanaman. Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan segera mencabut tanaman yang terserang dan membuangnya agar tanaman lain tidak ikut terserang. Hibrida yang paling rentan terserang penyakit layu fusarium adalah Biola, Gada dan IPB CH5.

Penyakit antraknosa merupakan penyakit yang sangat sulit dikendalikan, apabila buah cabai sudah terkena penyakit ini dapat menyebabkan buah menjadi busuk dengan warna coklat kehitaman, pengendalian dilakukan dengan meng-gunakan pestisida antracol mulai berbunga sampai panen minggu kesepuluh. Hibrida yang lebih rentan terserang penyakit ini adalah IPB CH28. Penyakit antraknosa sangat mudah menular apabila satu hibrida sudah terkena maka lambat laun semua hibrida akan terkena pula (Gambar 5C).

A

(41)

Gambar 5 Gejala serangan penyakit tanaman. Rebah batang (A), layu bakteri (B) dan antraknosa (C).

Hama dan penyakit lain yang menyerang pada tanaman adalah ulat grayak yang memakan tanaman mulai daun sampai buah (Gambar 6A). Hama ini dapat menyebabkan produksi tanaman dan kualitas buah menjadi turun. Pengendalian hama ini dilakukan dengan membuang buah yang terlihat berlubang dan melakukan penyemprotan pestisida curacon. Penyakit embun jelaga (Gambar 6B) kadang terjadi pada lokasi percobaan. Penyakit embun jelaga dapat menurunkan produksi. Tanaman yang terkena penyakit embun jelaga akan terlihat gosong dan lambat laun tanaman mengering. Pengendalian penyakit embun jelaga dilakukan dengan penyemprotan pestisida antracol pada tanaman yang terserang.

Gambar 6 Gejala serangan hama dan penyakit sekunder. Ulat grayak (A) dan penyakit embun jelaga (B).

A

A

A

B

B

B

C

C

C

A

(42)

Keragaan Cabai Hibrida

Rekapitulasi uji F pada semua peubah yang diamati disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan uji Barlet, data mempunyai ragam homogen untuk semua lokasi uji (p = 0.41) oleh karena itu dapat dilanjutkan ke analisis ragam gabungan. Dari hasil analisis ragam gabungan terlihat bahwa genotipe, lokasi dan interaksi genotipe x lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap bobot per tanaman.

Tabel 4 Rekapitulasi F-hitung lokasi, genotipe, interaksi GXE dan koefisien keragaman

Peubah Fhitung Fhitung Fhitung Koefisien

Kuantitatif Lokasi Genotipe GXE Keragaman (%)

Umur Berbunga 65.12** 4.09** 1.68** 13.42

Umur Panen 88.34** 3.02** 1.71** 7.08

Diameter Buah 38.27** 17.21** 1.60** 10.01

Panjang Buah 108.53** 13.78** 1.11tn 9.48

Tebal Buah 80.66** 5.35** 0.89tn 19.72

Bobot Buah 80.90** 45.41** 2.56** 11.48

Tinggi Tanaman 88.25** 7.42** 0.99tn 11.21

Tinggi Dikotomus 42.44** 4.54** 1.42tn 12.66

Lebar Kanopi 102.26** 1.76* 1.21tn 10.20

Lebar Daun 214.18** 3.01** 1.32tn 10.27

Bobot per tanaman 200.16** 9.08** 1.78** 26.22

Keterangan : * : nyata; ** : sangat nyata; tn :tidak berbeda nyata

(43)

Umur Berbunga

Perhitungan waktu berbunga dilakukan setelah 50% tanaman berbunga mekar pada petak percobaan. Pada penelitian ini waktu berbunga tanaman berkisar 26 – 33 hari setelah pindah tanam. Umur berbunga IPB CH3 (28.50 HST) lebih genjah dibandingkan dengan Hot Beauty (33.33 HST), namun demikian tidak berbeda nyata dengan Biola, Gada dan Imperial. Umur berbunga hibrida IPB CH3, IPB CH1, IPB CH28, IPB CH2, IPB CH50, IPB CH5 dan IPB CH25 berturut-turut adalah 28.50, 29.89, 30.17, 30.28, 30.89, 31.89 dan 32.44 HST (Tabel 5). Menurut Bostland dan Votava (2000), terdapat perbedaan waktu berbunga antar hibrida pada setiap lokasi, hal ini diduga terjadi karena perbedaan suhu lingkungan terutama suhu malam hari yang dapat mempengaruhi perbedaan waktu berbunga. Semua hibrida yang ditanam di Boyolali berbunga lebih lambat dibandingkan jika ditanam di 5 lokasi lainnya (Tabel 5).

Tabel 5 Umur berbunga 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan

Genotipe Ciherang Tajur Leuwikopo Subang Rembang Boyolali Rata-Rata --- (HST) ---

IPB CH1 34.33abcd 32.00ab 25.33a 24.67def 26.33b 36.67ab 29.89bc IPB CH2 32.00abcd 34.67ab 24.33ab 25.00cdef 29.67ab 36.00ab 30.28abc IPB CH3 23.00d 38.67ab 24.33ab 22.33g 27.67ab 35.00b 28.50cd IPB CH5 32.00abcd 45.33a 25.67a 24.00efg 27.67ab 36.67ab 31.89ab IPB CH25 37.00a 37.00ab 24.33ab 30.67a 29.33ab 36.33ab 32.44ab IPB CH28 24.33bcd 42.00a 24.67a 27.00bc 27.67ab 35.33b 30.17bc IPB CH50 33.33abcd 34.67ab 25.00a 26.00bcde 29.00ab 37.33ab 30.89abc Adipati 36.33ab 43.67a 24.00ab 25.33cdef 29.00ab 37.33ab 32.61ab Biola 34.67abcd 33.67ab 26.00a 26.67bcd 30.67a 38.00a 31.61abc Gada 36.00ab 34.67ab 19.00c 24.67def 26.67b 36.33ab 29.56bc Hot Beauty 35.67abc 42.00a 25.33a 28.00b 30.67a 38.33a 33.33a Imperial 23.33cd 26.33b 20.67bc 23.33fg 27.00b 37.33ab 26.33d

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama artinya tidak berbeda nyata berda-

sarkan uji lanjut Duncan dengan taraf 5%

Umur Panen

(44)

IPB CH2, IPB CH28 dan IPB CH50, berturut-turut adalah 74.00, 74.27, 75.47, 77.47, 79.47, 79.47 dan 81.87 hari setelah pindah tanam. Menurut Hartuti dan Sinaga (2006) umur panen cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai dan lokasi penanaman. Tanaman cabai besar yang ditanam di dataran rendah sudah dapat dipanen pertama kali umur 70 – 75 HST. Berdasarkan data pada Tabel 6, tanaman IPB CH1 dan IPB CH5 sudah dapat dipanen berturut – turut pada umur 74.27 dan 74.00 HST berbeda nyata dengan Adipati, Biola, Gada dan Hot Beauty. Cabai yang dipanen lebih cepat akan menguntungkan petani. Oleh karena itu salah satu sasaran pemuliaan cabai adalah mendapatkan cabai yang berumur genjah. Kriteria genjah untuk cabai besar hibrida adalah lebih genjah daripada Hot Beauty (Permadi dan Kusandriani 2006). IPB CH3 berumur lebih genjah di-bandingkan Hot Beauty, baik umur berbunga maupun umur panen.

Tabel 6 Umur panen 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan

Genotipe Ciherang Tajur Leuwikopo Subang Rembang Boyolali Rata-Rata --- (HST) ---

IPB CH1 70.33b 86.33abc - 60.67e 69.00cd 85.00abc 74.27f IPB CH2 72.00b 98.00abc - 69.67cde 77.00ab 80.67d 79.47cde IPB CH3 70.33b 93.33abc - 64.00de 73.67bc 76.00e 75.47ef IPB CH5 70.33b 88.67abc - 61.33e 66.00d 83.67bcd 74.00f IPB CH25 72.67b 84.00bc - 73.67abcd 73.33bc 83.67bcd 77.47def IPB CH28 72.67b 91.00abc - 76.33abc 74.00bc 83.33cd 79.47cde IPB CH50 72.67b 93.33abc - 76.00abc 80.33a 87.00abc 81.87bcd Adipati 75.00ab 105.00a - 71.33bcde 77.67ab 87.33abc 83.27abc Biola 81.33a 102.67ab - 82.33ab 82.00a 87.67ab 87.20a Gada 74.00ab 93.33abc - 68.33cde 71.00cd 88.67a 79.07cde Hot Beauty 81.00a 91.00abc - 85.00a 78.00ab 88.00a 84.60ab Imperial 72.33b 81.67c - 70.67cde 77.00ab 87.33abc 77.80def

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama artinya tidak berbeda nyata berda- sarkan uji lanjut Duncan dengan taraf 5%

Bobot Buah

(45)

Tabel 7 Bobot buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan

Genotipe Ciherang Tajur Leuwikopo Subang Rembang Boyolali Rata-Rata --- (gram) ---

IPB CH1 6.88d 9.42bc 9.46cd 10.53cde 12.63bcd 9.05c 9.66e IPB CH2 7.51cd 6.83de 7.61de 10.63cde 14.47b 10.08àbc 9.52e IPB CH3 9.60ab 12.07a 11.87ab 14.30a 18.47a 11.96a 13.04a IPB CH5 7.22d 5.15e 5.69e 5.83f 8.17e 6.21d 6.38f IPB CH25 9.11abc 11.31ab 11.86ab 11.27cd 13.83bcd 11.55ab 11.49cd IPB CH28 8.05bcd 12.10a 12.20ab 13.37ab 14.47b 11.87ab 12.01bc IPB CH50 8.69abcd 12.29a 12.61a 12.03bc 17.00a 12.00a 12.47ab Adipati 10.33a 12.02a 11.79ab 13.33ab 13.43bcd 9.58bc 11.75bc Biola 7.21d 9.29bc 9.40cd 9.23de 11.47d 8.67c 9.21e Gada 8.06bcd 9.52bc 10.23bc 12.40abc 14.20bc 10.44abc 10.81d Hot Beauty 7.14d 8.56cd 8.13cd 8.77e 11.97cd 9.21c 8.96e Imperial 7.92bcd 6.94de 8.98cd 8.87e 12.20bcd 10.47abc 9.23e

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama artinya tidak berbeda nyata berda- sarkan uji lanjut Duncan dengan taraf 5%

Diameter Buah

Hibrida IPB CH3 memiliki diameter buah lebih besar dan berbeda nyata dengan semua hibrida pembanding. Hibrida IPB CH5 memiliki diameter buah yang lebih kecil dibandingkan dengan semua hibrida uji, kecuali dengan Biola. Diameter buah hibrida IPB CH3 tidak berbeda nyata dengan IPB CH25, IPB CH28 dan IPB CH50. Diameter terbesar IPB CH3 dicapai pada lingkungan Rembang (1.58 cm/buah) dan terkecil pada lingkungan Ciherang (1.03 cm/buah). Hibrida pembanding Adipati memiliki ukuran diameter buah yang lebih besar dibandingkan dengan hibrida pembanding yang lain kecuali dengan hibrida pembanding Gada (Tabel 8).

(46)

Tabel 8 Diameter buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan

Genotipe Ciherang Tajur Leuwikopo Subang Rembang Boyolali Rata-Rata --- (cm) ---

IPB CH1 1.09a 1.36ab 1.24ab 1.17b 1.30bcd 1.29cd 1.24bc IPB CH2 0.99a 1.05bc 1.18ab 1.19b 1.29bcd 1.35bc 1.18cde IPB CH3 1.03a 1.45a 1.45a 1.30a 1.51a 1.58a 1.39a IPB CH5 0.94a 0.90c 0.99bc 0.94e 1.08f 1.16d 1.00g IPB CH25 1.06a 1.40ab 1.38a 1.19b 1.37b 1.53a 1.32ab IPB CH28 0.99a 1.42a 1.38a 1.24ab 1.35b 1.52a 1.32ab IPB CH50 0.97a 1.35ab 1.46a 1.18b 1.40b 1.50ab 1.31ab Adipati 1.11a 1.30ab 1.40a 1.22b 1.22cde 1.30cd 1.26bc Biola 0.93a 1.18abc 0.74c 1.04cd 1.19de 1.28cd 1.06fg Gada 1.02a 1.24abc 1.19ab 1.09c 1.31bc 1.26cd 1.19cd Hot Beauty 0.95a 1.28ab 1.14ab 1.02cd 1.15ef 1.34bc 1.15de Imperial 0.95a 1.10abc 1.18ab 1.01d 1.12ef 1.22cd 1.10ef

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama artinya tidak berbeda nyata berda- sarkan uji lanjut Duncan dengan taraf 5%

Tebal Kulit Buah

Tebal kulit buah di Tajur (Tabel 9) menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata, IPB CH3 (2.37 mm) di Ciherang lebih tebal dibandingkan dengan IPB CH1 (1.22 mm) namun tidak berbeda nyata dengan hibrida lain. IPB CH25 di Leuwikopo (2.37 mm) lebih tebal dibandingkan dengan Hot Beauty (1.67 mm) dan IPB CH5 (1.43 mm) namun tidak berbeda nyata dengan hibrida lain. IPB CH3 di Subang memiliki tebal kulit lebih tebal yaitu 2.33 mm dibandingkan dengan hibrida lain namun tidak berbeda nyata dengan Adipati (2.10 mm). IPB CH3 (2.27 cm) di Rembang lebih tebal dibandingkan dengan semua hibrida yang diuji, hal yang sama di Boyolali IPB CH3 (3.94 mm) lebih tebal dengan hibrida lain namun tidak berbeda nyata dengan IPB CH50 (3.37 mm).

Tabel 9 Tebal kulit buah 12 genotipe cabai hibrida pada 6 lingkungan

Genotipe Ciherang Tajur Leuwikopo Subang Rembang Boyolali Rata-Rata --- (mm) ---

IPB CH1 1.22b 1.73a 2.03abc 1.83bcd 1.74bcde 2.78b 1.89bc IPB CH2 1.61ab 1.60a 2.03abc 1.83bcd 1.76bcd 2.94b 1.96bc IPB CH3 2.37a 1.53a 1.97abc 2.33a 2.27a 3.94a 2.40a IPB CH5 1.04b 1.43a 1.43d 1.43e 1.55cde 2.58b 1.58d IPB CH25 2.06ab 1.70a 2.37a 1.90bcd 1.80bc 3.08b 2.15ab IPB CH28 1.32ab 1.73a 1.97abc 1.87bcd 1.71bcde 3.01b 1.93bc IPB CH50 1.50ab 1.40a 2.13abc 1.97cd 1.83b 3.37ab 2.03bc Adipati 1.51ab 2.23a 2.07abc 2.10ab 1.70bcde 3.17b 2.13b Biola 1.71ab 1.60a 1.83bcd 1.67cde 1.66bcde 3.15b 1.94bc Gada 1.30ab 1.37a 2.03abc 1.77bcde 1.61bcde 2.78b 1.81cd Hot Beauty 1.41ab 1.27a 1.67cd 1.63cde 1.54de 3.24ab 1.79cd Imperial 1.32ab 1.40a 2.23ab 1.57de 1.49e 2.96b 1.83cd

Gambar

Gambar 1 Diagram alur penelitian.
Tabel 1  Pembagian grup stabilitas (Lin et al. 1986)
Gambar 2 Interpretasi umum dari pola populasi genotipe yang didapat ketika koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai tengah (rata-rata hasil) genotipe (Finlay dan Wilkinson 1963)
Gambar 3  Interpretasi parameter  bi dan S2di dari pendekatan regresi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Segala sesuatu yang dilakukan berulang-ulang menjadi kebiasaan.Jika self-talk yang dilakukan terus menerus adalah self-talk negatif , maka kebiasaan melakukan

PERTAMA : Status Program dan Satuan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Non Formal yang Terakreditasi di BAP PAUD dan PNF Provinsi Sulawesi Selatan Tahap 1 Tahun 2016

Anda diminta untuk merancang jaringan pada salah satu sekolah yang terdiri dari 2 lab masing-masing 5 PC dan satu ruang kantor.. Diinginkan jaringan terkoneksi internet

Hasil penelitian terkait berjudul Efektivitas Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Pada Pokok Bahasan Persamaan Kuadrat Ditinjau dari Minat Belajar Siswa

sehingga esensi pokok pembelajaran permainan dapat dicapai oleh siswa. Untuk itu para guru hendaknya memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan tentang strategi dan

Skripsi Perlindungan Hukum bagi Pramuniaga yang Bekerja Shift Malam pada Indomaret 24 Jam di Kota Semarang ini mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan Hukum

sebagai sebuah srategi oleh partai politik maupun ulama yang berpolitik dalam3. menjalankan proses