• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian Mutu dalam Proses Pembuatan Makanan Enteral di Rumah Sakit Dustira, Kota Cimahi, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengendalian Mutu dalam Proses Pembuatan Makanan Enteral di Rumah Sakit Dustira, Kota Cimahi, Jawa Barat"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

iv

HANNA TRIANA PUSPA HAPSARI. Quality Control Process during Enteral Feeding Production in Dustira Hospital, Cimahi, West Java. Under direction of RIMBAWAN andCESILIA METI DWIRIANI.

The goal of this research is to analyze the quality control process for each enteral feeding production step in Dustira Hospital. The design used in this research was cross sectional. This research was taken place from October until November 2011 in Dustira Hospital. The observation method use refered to Permenkes No.1096/Menkes/PER/V1/2011. The results showed that 90% food handler have good hygienic sanitation knowledge, but generally lacking in proper behavior. The result also showed that based on physical and sanitation facilities, the hospital is categorized as group B (total score 83.6%). Hygienic sanitation in the enteral nutrition production process does not meet the requirement (88.5%). Critical Control Point (CCP) was found in the processing step along with the risk which have to be controlled, that are physical (hair), biological (Salmonella, Shigella and Echericia colii), and cross contamination (food handler and utensil).

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pelayanan gizi rumah sakit (PGRS) adalah salah satu komponen sistem pelayanan di rumah sakit dan merupakan kegiatan pelayanan gizi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan karyawan rumah sakit. Instalasi gizi sebagai unit PGRS melaksanakan empat kegiatan pokok terdiri dari asuhan gizi pasien rawat inap (pelayanan gizi di instalasi rawat inap), asuhan gizi pasien rawat jalan (konsultasi dan penyuluhan gizi), penyelenggaraan makanan, penelitian dan pengembangan gizi (Depkes 2003).

Penyelenggaraan makanan di rumah sakit bertujuan agar penderita yang dirawat memperoleh makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizinya serta mempercepat proses penyembuhan, sehingga dalam proses persiapan, pengolahan hingga distribusi makanan harus berada dalam kondisi aman untuk dikonsumsi (Anom 2001). Selain itu, pasien juga berhak untuk mendapatkan diet yang bermutu, yaitu sesuai dengan saran dari dokter/konsultan gizi dan aman, tidak terkontaminasi bahaya yang dapat menyebabkan status kesehatan pasien menjadi semakin buruk.

Salah satu kegiatan penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah memproduksi makanan enteral. Makanan enteral merupakan metode pemenuhan zat gizi menggunakan saluran pencernaan, baik secara alami melalui mulut ataupun dengan bantuan alat (tube). Makanan enteral diberikan pada pasien di rumah sakit terutama penderita sakit berat seperti pasien pasca bedah, penderita kanker, malnutrisi, anoreksia, depresi berat, dan luka bakar, karena umumnya penderita tidak dapat atau tidak mungkin makan secara oral akibat kondisi penyakitnya. Apabila saluran cerna masih berfungsi, dukungan makanan enteral diperlukan untuk meningkatkan sistem imun saluran cerna dan dapat mencegah komplikasi yang timbul (Silberman & Eisenberg 1982).

Klasifikasi makanan enteral salah satunya dibuat di rumah sakit (hospital made)(Tanra 1998). Makanan enteral yang dibuat di rumah sakit selain memiliki kelebihan seperti harga lebih ekonomis, juga memiliki kekurangan yaitu higienitas yang kurang terjamin, kurang praktis dan cara penyiapan serta cara penyajian harus menurut standar yang baku.

(3)

untuk dikonsumsi terutama jika terkontaminasi oleh mikroba patogen. Bahan pangan yang digunakan dalam proses pembuatan makanan enteral umumnya merupakan makanan yang mudah rusak dan mudah tercemar bakteri. Selain itu, tenaga pengolah makanan juga dapat menjadi sumber kontaminan bakteri terbesar penyebab keracunan pada makanan dan carrier dari beberapa penyakit (Jenie 2000). Pengetahuan tenaga pengolah mengenai higiene dan sanitasi dapat mempengaruhi penerapan higiene dan sanitasi dalam pengolahan makanan untuk terjaminnya keamanan pangan. Higiene dan sanitasi yang tidak memadai dalam tahapan produksi dapat menimbulkan tumbuh dan berkembangnya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan.

Menurut Afrienti (2002), pengawasan terhadap higiene dan sanitasi baru ditekankan pada industri makanan dan minuman serta industri jasa boga komersial, sedangkan pengawasan higiene dan sanitasi untuk penyelenggaraan makanan di rumah sakit belum dilakukan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pengawasan higiene dan sanitasi di rumah sakit harus lebih ditekankan karena konsumen yang dilayani adalah pasien yang relatif lebih rentan terhadap infeksi penyakit yang ditularkan melalui makanan. Selain itu, pasien tidak selalu dapat menentukan makanannya sendiri melainkan tergantung pada makanan yang diberikan di rumah sakit. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem pengendalian mutu yang dapat memberikan jaminan bahwa makanan yang dikonsumsi aman bagi pasien.

Instalasi Gizi rumah sakit yang bertugas membuat makanan enteral harus memiliki kepedulian dan tanggung jawab di sepanjang rantai pengolahan makanan hingga akhirnya makanan disajikan kepada pasien. Konsep HACCP dapat dijadikan acuan agar bisa mewujudkan hal itu. Berdasarkan uraian diatas, sangatlah penting untuk dilakukan penelitian tentang sejauh mana tindakan pengendalian mutu dan higiene sanitasi, tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah serta aplikasi Hazard Anaysis and Critical Control Point(HACCP) plan dalam penyelenggaraan makanan enteral di rumah sakit. Tindakan pengendalian mutu dan higiene sanitasi pada makanan enteral di Rumah Sakit Dustira belum pernah dikaji sebelumnya.

(4)

kesehatan pasien, agar mereka dapat melakukan aktifitas seperti semula sehingga diharapkan adanya peningkatan dan pencapaian status kesehatan pasien.

Tujuan Tujuan umum.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis tindakan pengendalian mutu pada setiap tahapan produksi makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira Cimahi.

Tujuan khusus.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui gambaran umum instalasi gizi dan Rumah Sakit Dustira. 2. Mengetahui karakteristik dan tingkat pengetahuan higiene sanitasi

penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. 3. Mengetahui perilaku higiene sanitasi penjamah makanan enteral.

4. Menganalisis kesesuaian fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira berdasarkan ketentuan Permenkes.

5. Menganalisis pelaksanaan higiene dan sanitasi makanan enteral pada setiap tahapan produksi makanan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. 6. Mempelajari aplikasi HACCP Plan dalam proses produksi makanan

enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.

Kegunaan

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Penyelenggaraan Makanan

Penyelenggaraan makanan merupakan salah satu kegiatan pokok yang ada di rumah sakit. Kegiatan ini meliputi kegiatan pengadaan makanan hingga penyalurannya kepada pasien dengan mutu, jenis, dan jumlah yang sesuai dengan rencana kebutuhan. Unit yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan tersebut adalah instalasi gizi (Depkes 2003).

Kegiatan pelayanan gizi memiliki tujuan yaitu untuk memberi terapi diet yang sesuai dengan perubahan sikap dan untuk mencegah kambuhnya penyakit pasien (Depkes 2003). Pengaturan makanan bagi orang sakit bukan merupakan tindakan yang berdiri sendiri dan terpisah dari perawatan dan pengobatan. Pengobatan, perawatan dan pengaturan makanan merupakan suatu kesatuan dalam penyembuhan penyakit seperti juga dengan obat harus sesuai dengan ketentuan yang diberikan (Moehyi 1999).

Makanan Enteral

Makanan enteral merupakan salah satu teknik pemberian makanan di rumah sakit untuk pasien dengan sakit berat seperti pasien pasca bedah, penderita kanker, malnutrisi, anoreksia, depresi berat, luka bakar, yang tidak dapat makan secara oral dengan keadaan saluran gastrointestinal yang berfungsi dengan baik. Pemberiannya dengan cara menggunakan sonde (Hill 2000).

Pemberian makanan enteral dini akan memberikan manfaat antara lain memperkecil respon katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki toleransi pasien, mempertahankan respon imunologik, lebih fisiologis dan memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu sakit (Hartono 2000). Menurut Tanra (1998), makanan enteral memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Memiliki kepadatan kalori tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1kkal/ml cairan.

(6)

3. Memiliki osmolalitas yang sama dengan osmolalitas cairan tubuh. Osmolalitas yang ideal untuk makanan enteral adalah 350-400 m Osmol sesuai dengan osmolalitas cairan tubuh ekstraseluler.

4. Mudah diresorbsi. Bahan baku pembuat makanan enteral sebaiknya terdiri dari komponen-komponen yang siap diabsorpsi atau paling tidak hanya sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorpsi.

5. Tanpa atau kurang mengandung laktosa. Untuk menghindari intoleransi laktosa sering terjadi pada penderita malnutrisi sebaiknya suatu makanan enteral kurang atau tanpa mengandung laktosa atau paling tinggi kandungan laktosanya hanya 0,5% dari total hidrat arangnya.

6. Bebas dari bahan-bahan yang dapat mengembang purin dan kolesterol. Makanan enteral diklasifikasikan menjadi dua, yaitu makanan enteral formula rumah sakit (hospital made) dan makanan enteral formula komersial (commercial made). Rumah sakit yang membuat sendiri makanan enteral harus memperhatikan faktor higiene dan cara penyiapan serta cara penyajian harus menurut standar yang baku (Tanra 1998). Makanan enteral yang dibuat sendiri oleh rumah sakit umumnya hanya bisa disimpan selama empat jam dalam lemari es sehingga makanan tersebut harus segera diberikan setelah dibuat (Hartono 2000).

Makanan enteral formula komersial terbuat dari bahan baku yang diformulasikan seimbang, telah distandarisasi dan dikontrol serta kandungan makanan yang seimbang antara protein, lemak, hidrat arang, vitamin dan mineral sesuai dengan standar tertentu. Makanan enteral formula komersial dapat disajikan setiap saat (Kurnia 2005).

Menurut Depkes (2002), ruangan tempat diproduksinya makanan enteral hendaknya dalam ruangan khusus (ruangan berdinding kaca) yang bebas dari mikroorganisme patogen, dan tidak dipakai untuk kegiatan lain. Semua peralatan dan perlengkapan harus steril, dan tenaga penjamah makanan harus mempunyai baju dan atribut khusus yang steril (tutup kepala, masker dan sarung tangan).

Keamanan Pangan

(7)

Mengingat definisi pangan menurut Undang-Undang No. 7 tahun 1996 yang mempunyai cakupan yang luas, maka upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan tercemar baik dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia merupakan suatu keharusan.

FAO (1997) menjelaskan pengertian keamanan pangan sebagai jaminan bahwa makanan tidak akan mengakibatkan bahaya bagi konsumen ketika itu dipersiapkan atau dimakan menurut pemakaian yang dimaksudkan atau dikehendaki. Menurut Hariyadi (2007), keamanan pangan merupakan prasyarat bagi pangan yang bermutu dan bergizi baik. Tidak ada artinya berbicara citarasa dan nilai gizi, atau pun mutu dan sifat fungsional yang bagus, tetapi produk tersebut tidak aman dikonsumsi.

Cemaran mikrobiologis sering terjadi pada makanan yang dibuat secara massal, dan setiap tahapan dalam proses tersebut memungkinkan mikroba berkembang biak dan memperbanyak diri. Cemaran mikrobiologis dapat terjadi akibat pemakaian alat untuk mengolah bahan pangan yang kurang bersih dan lingkungan yang kurang terjaga kebersihannya (Hartono & Palupi 2006).

Terdapat kelompok yang lebih berisiko untuk terjangkit infeksi dan intoksikasi bawaan makanan, yaitu orang yang rentan dengan alasan fisiologis atau alasan lainnya lebih mudah terkena infeksi bawaan makanan. Kelompok tersebut mencakup bayi dan anak-anak, lansia, ibu hamil, pasien malnutrisi, pasien dengan penyakit utama (misalnya penyakit hati dan diabetes), dan pasien gangguan kekebalan akibat mengalami infeksi atau pasien yang sedang menjalani pengobatan (kanker) (Hartono & Palupi 2006).

Beberapa ketentuan perlu diperhatikan untuk memenuhi syarat mutu keamanan pangan mulai dari penyiapan bahan baku, pengolahan, pengemasan, penyimpanan, pengangkutan/pendistribusian sampai makanan tersebut siap disajikan, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menekan atau menghilangkan setiap mikroba yang tidak diharapkan kehadirannya dalam bahan makanan (Supardi & Sukamto 1998).

Manajemen Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit

(8)

makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan laporan dan evaluasi yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok masyarakat di institusi (Depkes 2003).

Manajemen makanan institusi adalah penyediaan makanan bagi konsumen dalam jumlah banyak, yang berada dalam kelompok masyarakat yang terorganisir di institusi seperti perkantoran, perusahaan, pabrik industri, asrama, rumah sakit, panti sosial, lembaga permasyarakatan (Depkes 2003). Tujuan penyelenggaraan makanan institusi yaitu untuk : 1) Menghasilkan makanan yang berkualitas baik, dipersiapkan dan dimasak dengan layak, 2) Pelayanan yang cepat dan menyenangkan, 3) Menu seimbang dan bervariasi, 4) Harga layak, serasi dengan pelayanan yang diberikan, 5) Standar kebersihan dan sanitasi yang tinggi (Mukrieet al1990).

Pengadaan Bahan Makanan.

Pengadaan bahan makanan dapat dilakukan dengan cara membeli sendiri atau melalui pemasok bahan makanan. Pembelian bahan makanan adalah proses penyediaan bahan makanan melalui prosedur dan ketentuan yang berlaku, dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan makanan untuk penyelenggaraan makanan bagi banyak orang (Subandriyo 1993).

Produksi makanan yang berkualitas tergantung pada bahan baku yang digunakan. Penggunaan bahan baku yang berkualitas rendah akan menghasilkan produk makanan yang berkualitas rendah pula, sedangkan makanan yang berkualitas tinggi berasal dari bahan baku yang berkualitas tinggi (Wirakusumah 1999). Cara untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas tinggi perlu memperhatikan mengenai jenis, jumlah, dan spesifikasinya (kualitas) bahan baku yang dibeli. Selain itu, perlu diketahui pula mengenai karakteristik pemasok, tempat pembelian, dan fungsi atau kegunaan bahan baku tersebut dalam proses produksi (Keister 1990).

(9)

dapat mengontrol proses pembelian sehingga mendapatkan kualitas bahan seperti yang diharapkan.

Penerimaan.

Penerimaan bahan makanan adalah suatu proses kegiatan yang meliputi pemeriksaan, penelitian, pencatatan, pengambilan keputusan dan pelaporan spesifikasi bahan makanan menurut permintaan (Subandriyo 1993). Metode pembelanjaan yang efisien membutuhkan prosedur penerimaan yang baik. Penerimaan makanan pada penyelenggaraan makanan di institusi dipusatkan pada suatu ruangan yang cukup besar dengan peralatan seperti timbangan dan peti kemas (container untuk menampung bahan makanan). Bahan makanan yang diterima ada yang segera digunakan tetapi ada juga yang disimpan terlebih dahulu.

Penerimaan bahan makanan menurut Subandriyo (1993) harus memperhatikan beberapa prinsip, yaitu :

1. Jumlah bahan makanan yang diterima harus sama dengan jumlah bahan makanan yang tertulis dalam daftar permintaan dan fraktur pembelian.

2. Mutu bahan makanan harus sesuai dengan spesifikasi bahan makanan yang ada dalam pedoman standar pembelian.

3. Harga bahan makanan yang tercantum pada fraktur pembelian harus sama dengan harga yang tercantum pada saat penawaran.

Penanganan bahan makanan saat kegiatan penerimaan harus memperharikan tindakan sanitasi dengan baik sehingga terjadinya kontaminasi dapat dihindari. Petugas harus melakukan pemeriksaan dengan teliti terhadap spesifikasi mutu, deskripsi bahan makanan, penimbangan dan pengukuran bahan makanan (Sambas 1991).

Penyimpanan.

(10)

Tempat penyimpanan bahan makanan harus selalu terpelihara dan dalam keadaan bersih, terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan lain (Depkes 2002). Menurut Sambas (1991) prinsip pengaturan penyimpanan adalah setiap jenis makanan harus disimpan secara terpisah satu dengan yang lainnya. Moehyi (1992) menambahkan bahwa bahan makanan yang disimpan sebaiknya disusun dengan teratur, tidak bertumpuk-tumpuk agar suhu penyimpanan tersebar merata pada seluruh bagian makanan. Semakin luas permukaan bahan makanan, semakin merata temperature.

Suhu gudang penyimpanan harus dijaga tetap stabil untuk mempertahankan kualitas bahan makanan. Sistematika penyimpanan dan penyusunan bahan makanan menggunakan prinsip first in first out (FIFO), artinya bahan makanan yang terlebih dahulu masuk harus keluar lebih dulu dengan penyusunan menurut jenis dan frekuensi pemakaian (Fardiaz 1999).

Gudang penyimpanan harus memiliki konstruksi yang baik dan kokoh untuk mencegah masuknya hama perusak, kering, dan mempunyai ventilasi yang baik untuk menjaga sirkulasi udara. Sirkulasi udara yang cukup dapat mengurangi kelembaban, menurunkan temperatur, dan mengurangi bau yang tidak sedap. Penempatan wadah seperti kantong dan karton makanan dalam ruang penyimpanan disusun bertumpuk di rak. Tinggi rak sebaiknya minimal 15 cm dari atas lantai dan berjarak lebih dari 5 cm dari dinding sehingga sirkulasi udara dapat berjalan baik (Moehyi 1992).

Persiapan.

Persiapan merupakan kegiatan mempersiapkan bahan makanan dan bumbu-bumbu sebelum dilakukan kegiatan pemasakan (Sambas 1991). Menurut Subandriyo (1993), tujuan persiapan yaitu tersedianya bahan makanan serta bumbu-bumbu yang sesuai dengan teknik persiapan bahan makanan dan standar resep. Sebelum persiapan, bahan makanan dicuci bersih dengan air mengalir. Pencucian dapat melarutkan kotoran yang mungkin masih ada.

Pengolahan.

(11)

nilai cerna, meningkatkan dan mempertahankan warna, bau, rasa, keempukan, dan penampakan makanan, serta bebas dari organisme yang berbahaya bagi kesehatan.

Dalam pengolahan termasuk proses penyiapan bahan makanan dan alat yang akan digunakan. Penyiapan makanan merupakan prosedur yang melibatkan berbagai aktifitas dan diantaranya dipengaruhi oleh kebiasaan kultural. Bukan hanya aktifitas itu sendiri yang mungkin membahayakan, seperti memasak makanan setengah matang, memegang makanan pada suhu kamar dan memegang makanan dengan tangan yang terkontaminasi tetapi urutan penyiapan juga dapat menjadi faktor risiko yang dapat menyebabkan masuknya kembali patogen ke dalam makanan (Hartono & Palupi 2006).

Permenkes (2011) menetapkan bahwa semua peralatan yang digunakan untuk penanganan dan pengolahan produk pangan harus selalu diperhatikan kebersihannya. Selain itu harus selalu berada pada keadaan bersih, bebas dari karat, jamur, minyak/oli, cat yang terkelupas dan kotoran-kotoran yang lain (sisa-sisa pengolahan sebelumnya).

Penyajian dan Pengemasan.

Pengemasan bahan pangan memegang peranan penting dalam pengendalian dari kemungkinan kerusakan dan infeksi mikroorganisme terhadap produk pangan. Bahaya terbesar dalam makanan masak adalah adanya mikroorganisme patogen dalam makanan akibat terkontaminasi silang melalui wadah maupun penjamah makanan. Setiap makanan masak harus mempunyai wadah dan tempat yang terpisah untuk menekan kontaminasi silang. Pemisahan didasarkan pada saat makanan diolah dan sesuai jenis makanan, selain itu setiap wadah mempunyai tutup berventilasi yang dapat mengeluarkan uap (Depkes 1996).

Kondisi pengemasan harus sedemikian rupa sehingga dapat menekan kemungkinan kontaminasi bahaya mikroorganisme serendah mungkin. Pengemasan yang baik dapat mencegah penularan bahan pangan oleh mikroorganisme yang berbahaya bagi kesehatan konsumen (Supardi 1998). Distribusi atau Pengangkutan.

(12)

Menurut Anwar et al(1986), syarat-syarat pengangkutan makanan adalah yang memenuhi aturan sanitasi sebagai berikut : 1) alat atau tempat pengangkut harus bersih, 2) cara pengangkutan makanan harus benar dan tidak terjadi pengotoran saat di angkut, 3) pengangkutan makanan yang langsung dapat dimakan harus ditempatkan dalam suatu wadah yang tertutup, 4) pengangkutan makanan yang yang melewati daerah atau tempat yang mudah terkontaminasi harus dihindari, dan 5) cara pengangkutan makanan harus dilakukan dengan mengambil jalan paling singkat.

HACCP

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) menurut Food and Drug Administration (1997), merupakan sistem manajemen untuk mengurangi risiko bahaya pada makanan pada setiap prosesnya sejak tahap produksi, distribusi, pengolahan, penyajian, hingga konsumsi. Fardiaz (1994) mengemukakan bahwa HACCP adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap bahan, produk atau proses untuk menentukan komponen, kondisi atau tahap proses yang harus mendapatkan pengawasan yang ketat untuk menjamin bahwa produk pangan yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Menurut Thaheer (2008), HACCP dapat diterapkan pada rantai produksi makanan yang dapat dilakukan mulai dari pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan, pengolahan, sampai penyajian. Selain itu, HACCP dapat memberikan komponen penting dalam sistem manajemen keamanan pangan maupun Good Manufacturing Practices (GMP) dengan cara yang sistematis dan mudah diterapkan sehingga HACCP dapat diterapkan dalam berbagai industri pangan dan seluruh rantai produksi.

Terdapat tujuh prinsip dalam sistem HACCP yang diungkapkan oleh Winarno dan Surono (2002) yaitu :

Prinsip 1 :Analisis bahaya dan penetapan risiko yang berhubungan dengan produk bahan mentah, pengolahan, distribusi, penjualan, persiapan, dan konsumsi.

Prinsip 2 :Penetapan Critical Control Point(CCP) untuk mengendalikan bahaya yang mungkin terjadi.

Prinsip 3 :Penetapan batas kritis yang harus dipenuhi untuk menjamin bahwa setiap CCP terjamin.

(13)

Prinsip 5 :Penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan selama pemantauan.

Prinsip 6 :Penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah berhasil.

Prinsip 7 :Pengembangan dokumentasi mengenai semua prosedur dan pencatatan yang tepat untuk prinsip-prinsip ini dan penerapannya. Tahapan keenam dan ketujuh dalam prinsip sistem HACCP tidak perlu dilakukan bagi penyelenggaraan makanan berskala kecil atau menengah, sedangkan tahap pertama sampai tahap kelima dapat dilakukan dengan cara sederhana dan mudah dilakukan (Fardiaz 1994).

Higiene dan Sanitasi Penjamah

Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada. Sanitasi adalah pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang berpengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani, rohani, dan sosial termasuk pengawasan terhadap makanan (Purnawijayanti 2001).

Proses produksi makanan dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang meliputi persiapan, pengolahan dan penyajian makanan. Sanitasi meliputi pengawasan mutu bahan makanan mentah, penyimpanan bahan, suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan dari lingkungan, peralatan dan pekerja pada semua tahapan proses (Purnawijayanti 2001).

Pegawai yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan menjadi salah satu penyebab terjadinya kontaminasi silang pada makanan. Selain itu, pegawai dapat terjangkit penyakit melalui bagian tubuhnya, seperti kulit, mulut, rambut, kuku dan lainnya. Bagian-bagian tersebut jika tidak terawat dengan baik dapat menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba. Mikroba jika sudah berkembang biak di dalam tubuh akan mengancam kesehatan tubuh. Tubuh yang tidak kuat memerangi mikroba, akan menjadi lemah dan akhirnya menjadi sakit. Para pegawai yang terinfeksi mikroba dapat mengkontaminasi makanan. Kontaminasi ini dapat dihindari bila pegawai dilatih untuk menjaga higiene dan sanitasi personalia dengan baik (Jenie 2000).

Penggunaan Sarung Tangan.

(14)

serbet yang bersentuhan dengan makanan atau tangan tersebut (Jennie 2000). Sarung tangan dapat melindungi kontak makanan dengan bakteri pada tangan, tetapi bakteri akan terakumulasi ketika tangan berkeringat dan berkembang biak di tangan tertutup oleh sarung tangan untuk periode yang lama.

Penggunaan sarung tangan tidaklah penting dan tidak dianjurkan karena mudah robek, mahal, dan mudah kotor. Sarung tangan yang robek menyebabkan risiko kontaminasi yang lebih besar. Cara yang mudah untuk menghindari kontaminasi dari tangan pegawai adalah dengan tidak memegang makanan langsung dengan tangan, tetapi menggunakan sendok garpu atau alat pengambil makanan lainnya (Moehyi 1992).

Kebiasaan Mencuci Tangan.

Mencuci tangan adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari dengan menggunakan air ataupun cairan lainnya oleh penjamah dengan tujuan untuk menjadi bersih. Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum dan setelah bekerja, setelah melepas sarung tangan, sesudah menangani bahan makanan mentah/kotor atau terkontaminasi, setelah dari kamar kecil, setelah tangan digunakan untuk menggaruk, batuk atau bersin dan setelah makan atau merokok. Karyawan yang menangani bahan makanan harus mencuci tangan sebelum menangani makanan masak, sehingga tidak ada organisme patogen atau toksin yang dapat hidup didalamnya.

Menurut Jenie (2000), metode mencuci tangan yang baik adalah menggunakan air hangat yang mengalir, diberi sabun dan digosok selama 15 detik. Selanjutnya dibilas dan dikeringkan dengan handuk kertas. Efektivitas pencucian tangan dapat ditingkatkan dengan menggunakan antiseptik yang tepat setelah pencucian.

Penutup Kepala.

Pegawai yang terlibat dalam tahap pengolahan harus menggunakan penutup kepala. Rambut yang berasal dari kepala kadang-kadang terkontaminasi oleh bakteri, tetapi bukan merupakan sumber kontaminasi utama mikroba pada makanan. Kontaminasi dapat terjadi akibat kebiasaan pegawai yang menyisir dan memegang rambut saat bekerja, sehingga mikroba pada rambut berpindah ke tangan dan ke makanan yang sedang diolah (Jenie 2000).

Penutup Muka (Masker).

(15)

akan mengakumulasi mikroba pada keringat sekitar mulut dan hidung, sehingga risiko kontaminasi makanan lebih besar pada pemakaian masker (Jenie 2000). Aprondan Perhiasan.

Menurut Jenie (2000), pakaian khusus (apron) pegawai sebaiknya terbuat dari bahan yang bersifat tidak mudah menyerap keringat. Pakaian yang bersifat menyerap seperti kain wol dapat menimbun mikroorganisme dan bahan makanan. Penggantian dan pencucian pakaian secara periodik akan mengurangi risiko kontaminasi. Pakaian kerja yang bersih akan menjamin sanitasi dan higiene pengolahan makanan, karena tidak terdapat debu atau kotoran yang melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat mencemari makanan (Moehyi 1992).

Sebelum memasuki daerah pengolahan, pegawai harus melepaskan perhiasan, seperti cincin, kalung, jam tangan atau anting. Sisa-sisa makanan dapat menempel pada perhiasan sehingga mikroba dapat tumbuh dan berpindah ke makanan (Sambas 1991). Tangan yang dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci sampai bersih karena adanya lekukan perhiasan dan permukaan kulit disekitar perhiasan.

Kebiasaan Pegawai.

Kebiasaan pegawai seperti makan, merokok dan mengunyah selama penanganan makanan akan memberikan peluang perpindahan organisme dengan tangan dari bibir dan mulut pada makanan. Selain itu, mengunyah tembakau dan merokok akan mendorong keluarnya ludah yang dapat mengkontaminasi makanan (Jenie 2000).

Fasilitas Fisik dan Sanitasi

Fasilitas fisik merupakan sarana yang dapat membantu kelancaran proses produksi bahan makanan menjadi makanan yang siap disajikan, mencakup bangunan, ruangan, dan perabotan/peralatan yang ada dalam ruangan. Fardiaz (1999) mengungkapkan fasilitas fisik dalam penyelenggaraan makanan harus sesuai dengan fungsinya dan memerlukan desain khusus untuk mencegah kontaminasi makanan, memudahkan pemeliharaan, pembersihan, desinfektan, dan mencegah kontaminasi udara.

Konstruksi.

(16)

yang sama, sehingga dapat meminimalkan jarak antara tempat produksi hingga tempat penyajian makanan. Desain bangunan berorientasi pada sanitasi, keselamatan kerja, dan memperhatikan alur lalu lintas barang dan manusia, serta harus menyesuaikan dengan fungsi alat yang digunakan (Wirakusumah 1999). Lantai dan dinding.

Menurut Depkes (2002), lantai bangunan untuk penyelenggaraan makanan permukaannya harus rapat air, halus, kelandaian cukup, tidak licin, dan mudah dibersihkan. Bahan bangunan yang dianjurkan untuk lantai dapur antara lain bata keras, teraso ataupun tegel (Subandriyo 1993). Dinding dapur hendaknya halus, mudah dibersihkan, tahan terhadap cairan dan dapat memantulkan cahaya yang cukup bagi ruangan (Subandriyo 1993). Dinding sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, kering, tidak menyerap air, dipasang rata tanpa celah atau retak. Permukaan dinding yang sering terkena percikan air hendaknya diberi lapisan porselin agar tidak mudah ditumbuhi jamur atau kapang. Tinggi porselin menurut Depkes (2002) minimal 2 m dari lantai sebagai batas jangkauan tangan dalam posisi berdiri dan berwarna terang.

Langit-langit.

Langit-langit harus menutup seluruh atap bangunan dan dilengkapi dengan peredam suara untuk bagian-bagian tertentu. Langit-langit dibuat dari bahan asbes, triplek, ataupun bahan kayu lainnya. Warna langit-langit sebaiknya memberikan pantulan cahaya. Tinggi langit-langit sekurang-kurangnya 2,4 m diatas lantai. Kontruksi langit-langit harus dapat mencegah akumulasi debu dan kondensat, tidak mudah terkelupas yang dapat menimbulkan partikel halus (Depkes 2002).

Pencahayaan dan ventilasi.

Intensitas pencahayaan harus cukup untuk dapat melakukan pemeriksaan dan pembersihan serta melakukan pekerjaan-pekerjaan secara efektif. Intensitas pencahayaan sedikitnya 200 lux pada bidang kerja. Ventilasi bertujuan untuk menjaga kenyamanan suhu dan kelembaban dalam ruangan, mencegah udara dalam ruangan terlalu panas, mencegah kondensasi uap air atau lemak pada lantai, dinding atau langit-langit, membuang bau, asap dan pencemaran lainnya (Depkes 2002).

(17)

juga dapat dilakukan dengan menggunakan sistem aliran udara (exhauster fan). Mekanisme kerja exhauster fan harus diatur sehingga udara tidak mengalir dari tempat kotor ke tempat bersih (Fardiaz 1999).

Pintu dan Jendela.

Seluruh pintu dan jendela pada bangunan yang dipergunakan untuk pengolahan harus membuka ke arah luar. Pintu ruangan pengolahan harus dapat menutup sendiri. Hal ini untuk memudahkan penyelamatan diri pada waktu keadaan darurat (Depkes 2002).

Tempat Pencucian Peralatan dan cuci tangan.

Tempat pencucian terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat, dan mudah dibersihkan. Bak pencucian peralatan sedikitnya terdiri dari 3 bak pencuci yaitu bak untuk merendam, bak menyabuni, dan bak untuk membilas (Depkes 2002). Tempat cuci tangan terpisah dari tempat cuci peralatan maupun bahan makanan yang dilengkapi dengan kran, saluran pembuangan tertutup, bak penampungan, sabun dan pengering. Jumlah tempat cuci tangan disesuaikan dengan banyaknya karyawan. Sebuah tempat cuci tangan dipergunakan maksimal 10 orang, dan terletak sedekat mungkin dengan tempat kerja (Depkes 2002).

Tempat Sampah.

Tempat sampah dibbuat dari bahan yang kuat, kedap air, dan tidak mudah berkarat. Mempunyai tutup dan memakai kantong plastik khusus untuk sisa bahan makanan dan makanan jadi yang cepat membusuk. Sampah yang telah penuh segera dibuang dalam waktu 1x24 jam (Depkes 2002).

Pengetahuan Higiene Sanitasi

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga. Pengetahuan sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak disadari pengetahuan (Notoatmodjo 1993). Menurut Soekanto (1981), pengetahuan merupakan kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indera.

(18)

menimbulkan kecenderungan untuk menyetujui praktek-praktek yang menunjang keamanan pangan. Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal, informal dan non formal (Gaston 1999).

(19)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kegiatan PGRS dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat rumah sakit yaitu pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan karyawan rumah sakit. Peranan penyelenggaraan makanan di rumah sakit sangat penting.

Makanan enteral merupakan salah satu teknik pemberian makanan yang diselenggarakan instalasi gizi di rumah sakit untuk pasien yang tidak dapat makan secara oral dengan keadaan saluran gastrointestinal yang berfungsi dengan baik. Makanan enteral diklasifikasikan menjadi dua yaitu hospital made dan commercial made. Makanan enteral hospital made yang karakteristiknya dibuat sendiri umumnya merupakan makanan yang mudah rusak. Kerusakan oleh mikroorganisme menyebabkan makanan tersebut kurang aman untuk dikonsumsi terutama jika terkontaminasi oleh mikroba patogen. Oleh karena itu, pengendalian mutu makanan sangat penting dilakukan karena konsumen yang dilayani adalah pasien yang relative lebih rentan terhadap penyakit yang ditularkan melalui makanan.

(20)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Makanan Enteral

Hospital made

Pengendalian Mutu (HACCP)

Keamanan Pangan

Pengetahuan Sanitasi Higiene Penjamah Perilaku

Sanitasi Higiene Penjamah Penyelenggaraan Makanan

Pengadaan Bahan Makanan

Penerimaan Bahan Makanan

Penyimpanan Bahan Makanan

Persiapan dan Pengolahan

Pewadahan dan Distribusi

Fasilitas Fisik dan Sanitasi

(21)

METODE PENELITIAN

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross sectional study, yaitu data dikumpulkan pada satu waktu. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2011 yang berlokasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira Kota Cimahi. Rumah Sakit Dustira adalah salah satu rumah sakit yang menerapkan pembuatan makanan enteral secara hospital made dan merupakan rumah sakit rujukan bagi anggota TNI yang sakit.

Penarikan Sampel

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari tiga, yaitu penjamah makanan enteral, bahan pangan untuk membuat makanan enteral, dan jenis makanan enteral terpilih. Penarikan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria inklusi sebagai berikut : 1) Sampel penjamah makanan enteral yaitu penjamah makanan yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan enteral pada tahap pengadaan bahan makanan hingga pendistribusian di Instalasi Gizi, meliputi petugas di tahap pengadaan bahan makanan, petugas penerimaan bahan makanan, petugas penyimpanan bahan makanan (gudang), petugas persiapan, petugas pengolahan, petugas pewadahan dan petugas pendistribusian. 2) Sampel bahan pangan diambil dengan kriteria inklusi yaitu bahan pangan yang biasa digunakan untuk membuat makanan enteral meliputi tepung beras, tepung susu, wortel, labu siam, bayam, melon, pepaya, semangka, gula, telur, dan minyak atau margarin. 3) Sampel makanan enteral dipilih menggunakan kriteria makanan enteral yang paling sering dan paling banyak disajikan kepada pasien serta makanan enteral yang terbuat dari bahan yang berisiko tinggi terkontaminasi mikroba seperti makanan enteral yang mengandung bahan makanan telur dan susu.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(22)

makanan enteral, 5) data pelaksanaan higiene sanitasi yang meliputi data pelaksanaan higiene sanitasi pada tiap tahapan produksi, 6) hasil pemeriksaan angka kuman patogen pada sampel makanan enteral, dan 7) data penerapan HACCP pada tahapan produksi pembuatan makanan enteral.

Data karakteristik umum sampel penjamah makanan enteral meliputi nama, jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, lama bekerja, dan pengalaman mengikuti pelatihan sanitasi higiene diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner. Pengetahuan sampel penjamah, yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner, dengan pertanyaan mengenai bahan pencemar makanan, penyakit bawaan makanan, prinsip higiene sanitasi makanan, pencucian dan penyimpanan peralatan pengolahan makanan, pemeliharaan

kebersihan lingkungan, dan higiene perorangan

.

Perilaku sanitasi higiene penjamah yang diteliti meliputi penggunaan sarung tangan, kebiasaan mencuci tangan, penggunaan penutup kepala dan mulut, penggunaan apron, serta kebiasaan penjamah saat mengolah seperti mengobrol, menggunakan kosmetik dan menggunakan perhiasan diperoleh dengan metode observasi langsung. Data fasilitas fisik dan sanitasi ruangan penyelenggaraan makanan enteral diperoleh melalui metode observasi langsung yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/ PER/VI/2011. Fasilitas fisik dan sanitasi yang diamati adalah kondisi konstruksi bangunan, lantai, dinding, langit-langit, pencahayaan, ventilasi, pintu dan jendela, tempat pencucian peralatan, tempat cuci tangan, dan tempat sampah.

Data pelaksanaan higiene sanitasi makanan enteral pada tiap tahapan produksi, meliputi : 1) pengadaan bahan makanan, 2) penerimaan bahan makanan, 3) penyimpanan bahan makanan, 4) pengolahan yang terdiri dari persiapan dan pemasakan, dan 5) penyajian yang terdiri dari pewadahan dan pendistribusian. Data tersebut dikumpulkan melalui observasi menggunakan kuesioner yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/ PER/VI/2011.

(23)

dengan membuat HACCP plan yang meliputi CCP, risiko bahaya, cara pengendalian, target, batas kritis, tindakan pemantauan, dan tindakan koreksi.

Data sekunder meliputi data hasil pemeriksaan kualitas air dan profil umum Rumah Sakit Dustira yang diperoleh dari buku laporan tahunan Rumah Sakit tahun 2011. Variabel, data dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Variabel, data dan cara pengumpulan data

No. Variabel Data Cara Pengumpulan

1. Gambaran umum kepala dan mulut, penggunaan apron, dan kebiasaan penjamah saat pengolahan seperti mengobrol, menggunakan kosmetik dan penggunaan perhiasan.

Observasi langsung

4. Fasilitas fisik dan sanitasi

Keadaan konstruksi, lantai, dinding, langit-langit, pencahayaan, ventilasi, pintu dan jendela, tempat pencucian peralatan, tempat cuci tangan, dan tempat sampah.

Pelaksanaan higiene sanitasi pada tahap pengadaan bahan makanan, penerimaan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan yang terdiri dari persiapan dan pemasakan, serta penyajian yang terdiri dari pewadahan dan

Jumlah koloni mikroba pada cawan Standard plate count (SPC)

7. Penerapan HACCP CCP, risiko bahaya, cara pengendalian, target, batas kritis, tindakan

pemantauan, dan tindakan koreksi.

Observasi langsung

8. Pemeriksaan air Mikrobiologi (total coliform), fisik (bau, kekeruhan, warna, zat terlarut), kimiawi (Fe, F, CaCo3, Cl, Mn, Nitrat, nitrit, pH, S, Deterjen, KMnO4, sisa klor)

Data Sekunder

Pengolahan dan Analisis Data

(24)

Tabel 2 Variabel dan kategori pengukuran

Data Kategori Pengukuran

Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Pengalaman pelatihan sanitasi higiene 1. Belum pernah

2. Pernah Perilaku higiene sanitasi 1. Tidak melakukan

2. Melakukan Pelaksanaan higiene sanitasi pada tiap

tahapan produksi

(Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011)

1. Kurang memenuhi syarat (<90,2%) 2. Memenuhi syarat (≥ 90,2%)

Angka kuman patogen pada makanan entera

(Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011)

1. Tidak aman jika jumlah koloni positif (+)

2. Aman jika jumlah koloni negatif (-)

HACCP

(25)

Data perilaku sanitasi higiene penjamah yang meliputi penggunaan sarung tangan, kebiasaan mencuci tangan, penggunaan penutup kepala dan mulut, penggunaan sepatu khusus, penggunaan pakaian dan perhiasan, serta kebiasaan penjamah dianalisis secara deskriptif kualitatif dan dilihat distribusi frekuensinya. Data fasilitas fisik dan sanitasi ruangan penyelenggaraan makanan enteral diolah secara deskriptif kualitatif yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011. Penilaian dilakukan menggunakan variabel-variabel pengamatan yang diberi bobot. Tingkat mutu pelaksanaan higiene dan sanitasi dihitung berdasarkan presentase dengan menggunakan rumus:

Tingkat Mutu Pelaksanaan = Jumlah bobot nilai yang diperoleh X 100% Sanitasi dan Higiene Jumlah bobot nilai tertinggi

Presentase yang diperoleh akan dinilai berdasarkan kategori. Data yang telah dikategorikan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Klasifikasi golongan berdasarkan pemeriksaan fasilitas fisik dan sanitasi disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi golongan berdasarkan pemeriksaan fasilitas fisik dan sanitasi

Golongan Skor

A1 65% - 70%

A2 70% - 74%

A3 74% - 83%

B 83% - 92%

C 92% - 100%

Data higiene sanitasi makanan pada tiap tahapan produksi diolah berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga dengan memberikan skor penilaian. Penilaian dilakukan dengan menggunakan variabel-variabel pengamatan yang diberi bobot. Tingkat mutu pelaksanaan sanitasi dan higiene dihitung berdasarkan presentase dengan menggunakan rumus:

Tingkat Mutu Pelaksanaan = Jumlah bobot nilai yang diperoleh X 100% Sanitasi dan Higiene Jumlah bobot nilai tertinggi

(26)

Tabel 4 Tingkat mutu pelaksanaan higiene sanitasi makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

Persentase Tingkat Mutu

<90.2% Belum memenuhi syarat ≥90.2% Memenuhi syarat

Pemberian bobot didasarkan pada titik rawan (kritis) dalam menimbulkan kemungkinan kerusakan makanan yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, sebagai berikut :

1. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-1 diberikan jika terdapat <50% persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-1 jika terdapat ≥50% variabel memenuhi persyaratan.

2. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-2 diberikan jika tidak terdapat satu pun persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-2 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 50%, nilai 2 dari r kisaran nilai 0-2 diberikan jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.

3. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-3 diberikan jika tidak terdapat satu pun persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-3 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 33.3%, nilai 2 dari kisaran nilai 0-3 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 66.6%, nilai 3 dari kisaran nilai 0-3 diberikan jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.

4. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-4 diberikan jika tidak terdapat satu pun persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-4 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 25%, nilai 2 dari kisaran nilai 0-4 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 50%, nilai 3 dari kisaran nilai 0-4 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 75%, nilai 4 dari kisaran nilai 0-4 diberikan jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.

5. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-5 diberikan jika tidak terdapat satu pun persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-5 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 20%, nilai 2 dari kisaran nilai 0-5 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 40%, nilai 3 dari kisaran nilai 0-5 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 60%, nilai 4 dari kisaran nilai 0-5 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 80%, nilai 5 dari kisaran nilai 0-5 diberikan jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.

(27)

dikategorikan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/ PER/VI/2011 dan diolah secara deskriptif kualitatif. Kategori memenuhi syarat bila jumlah Salmonella, Shigella dan Escherichia coli negative (-) sedangkan kategori tidak memenuhi syarat bila Salmonella, Shigella dan Escherichia coli positif (+).

Hasil data diaplikasikan dalam konsep HACCP Plan. HACCP Plan yang disusun terdiri dari CCP, risiko bahaya, tindakan pencegahan, batas kritis, tindakan pemantauan, dan tindakan koreksi.

Batasan Istilah

Makanan enteral adalah makanan cair yang diberikan kepada pasien yang saluran pencernaannya masih berfungsi dengan baik melalui jalur hidung-lambung (nasogastric route) atau hidung-usus (nasoduodenal route). HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya

masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi.

Pengendalian mutuadalah upaya yang dilakukan untuk menjaga bahan pangan hingga menjadi makanan enteral tetap baik pada setiap tahapan produksi meliputi tahap pengadaan bahan pangan, penerimaan bahan pangan, penyimpanan bahan pangan, persiapan dan pengolahan bahan pangan, pewadahan serta pendistribusian.

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Rumah Sakit

Rumah Sakit Dustira merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di wilayah Kodam III Siliwangi. Rumah sakit menempati areal tanah seluas 14 Ha dengan luas bangunan 54.481 m2. Rumah Sakit Dustira termasuk ke dalam tipe pelayanan rumah sakit kelas B yang memiliki 17 ruang rawat inap dan 502 tempat tidur dengan kelas perawatan VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Selain itu, Rumah Sakit Dustira menyediakan pelayanan rawat jalan yang terdiri dari 17 poliklinik yang dibuka umum setiap hari. Pelayanan rawat inap ditujukan bagi pasien rujukan dari gawat darurat maupun unit rawat jalan. Rumah Sakit Dustira juga dilengkapi ruang UGD, ICU, kamar bedah, unit hemodialisa dan endoscopy. Pelayanan yang diberikan Rumah Sakit Dustira didukung oleh beberapa instalasi meliputi 1) Instalasi Rehab Medik, 2) Instalasi Radiologi, 3) Instalasi Farmasi/Apotek, 4) Instalasi Penunjang Perawatan (Gizi), 5) Instalasi Laboratorium Patologi Klinik, 6) Instalasi Pendidikan, dan 7) Instalasi Laboratorium Forensik dan Kedokteran Kehakiman

Gambaran Umum Pelayanan Gizi di Rumah Sakit

Pelayanan gizi rumah sakit (PGRS) adalah salah satu komponen sistem pelayanan di rumah sakit dan merupakan kegiatan pelayanan gizi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat rumah sakit yaitu pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan karyawan rumah sakit. Pelayanan gizi bagi pasien rawat inap merupakan terapi diit, sehingga makanan yang disajikan harus dapat memenuhi kebutuhan gizi dan membantu proses penyembuhan pasien. Sedangkan pelayanan gizi bagi pegawai berupa pemberian makanan yang dapat memberikan tambahan zat gizi untuk meningkatkan kesehatan pegawai sehingga pegawai dapat bekerja dengan baik. Instalasi Gizi di Rumah Sakit Dustira merupakan instalasi penunjang perawatan (Jangwat).

Struktur Organisasi

(29)

membawahi pegawai yang bertugas di sub unit gizi. Struktur organisai sub unit gizi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Ketenagakerjaan

Pola ketenagaan Instalasi Gizi dalam melaksanakan tugasnya dipimpin oleh seorang Kepala Instalasi Gizi. Tenaga kerja di Instalasi Gizi sebanyak 42 orang dengan perincian sebagai berikut : 3 orang petugas gudang, 2 orang petugas buah, 4 orang pemasak snack, 13 orang pemasak menu utama, 5 orang pemasak makanan diet dan makanan enteral, 5 orang pemasak makanan pegawai, 9 orang ahli gizi, dan 1 orang petugas administrasi.

Sarana dan Prasarana

Instalasi Gizi terletak di bagian belakang gedung Rumah Sakit Dustira. Pemilihan lokasi ini memudahkan proses produksi terutama saat penerimaan dan pendistribusian makanan ke pasien. Selain itu, tidak mengganggu pasien dan unit lainnya dengan suara-suara dan aroma makanan saat proses produksi (Keitser, 1990). Ruang Instalasi Gizi terbagi menjadi beberapa ruangan yaitu ruang penerimaan, gudang, ruang persiapan, ruang pengolahan, ruang penyajian, ruang administrasi, ruang karyawan, dan toilet. Denah Instalasi Gizi dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambaran Umum Jenis Makanan

Secara umum jenis makanan yang dilayani di Instalasi Gizi terdiri dari makanan pegawai dan makanan pasien yaitu makanan makanan biasa, makanan lunak, makanan saring, makanan cair, dan makanan diit. Menu diit yang diberikan berupa menu diit Rendah Garam (RG), Diabetes Mellitus (DM), Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP), Rendah Purin (RP) dan Rendah Protein.

Karakteristik Sampel Penjamah Makanan Enteral

Sampel penjamah dalam penelitian ini adalah penjamah yang menangani proses pembuatan makanan enteral mulai dari tahap pengadaan bahan makanan, penerimaan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, persiapan, pengolahan makanan enteral, pewadahan dan pengemasan serta distribusi. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira dapat dilihat pada Tabel 5.

(30)

Tabel 5 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteral di tertua yaitu 47 tahun dengan rata-rata umur sekitar 35 tahun.

Tingkat pendidikan sampel penjamah makanan enteral dibagi menjadi SD, SMP, SMA/SMK dan akademi/PT. Separuh sampel penjamah makanan enteral (50.0%) memiliki tingkat pendidikan SMA/SMK, dan sebagian lainnya adalah SD (10.0%) dan SMP (40.0%). Penjamah makanan seharusnya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar mampu menangani pangan secara higienis (Hartono 2006).

Lama bekerja dikategorikan menurut Sugiyono (2009) menjadi empat berdasarkan interval kelas, yaitu 2-6 tahun, 7-11 tahun, 12-16 tahun, dan 17-21 tahun. Berdasarkan Tabel 5, sebanyak 25% penjamah makanan enteral bekerja selama antara rentang 2-6 tahun dan 12-16 tahun. Sebanyak 37.0% bekerja selama 7-11 tahun dan sisanya (13.0%) bekerja selama 17-21 tahun. Lama bekerja tersingkat sampel penjamah adalah dua tahun dan terlama adalah 18 tahun.

(31)

pada ahli gizi saja. Namun, ahli gizi memberikan pengetahuan yang mereka dapat dari pelatihan kepada para penjamah makanan enteral sehingga secara tidak langsung hal tersebut dapat meningkatkan pengetahuan mengenai higiene sanitasi penjamah makanan enteral. Gunarsa S dan Gunarsa YS (2008) menyatakan bahwa keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, kerangka berpikir, persepsi dan pemahaman seseorang akan sesuatu. Selain itu, Hartono (2006) menambahkan pendidikan bagi penjamah makanan mengenai cara-cara penanganan makanan yang higienis merupakan unsur yang sangat menentukan di dalam mencegah penyakit bawaan makanan.

Pengetahuan penjamah

Menurut Soekanto (2002), pengetahuan merupakan kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indera. Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal dan informal. Pengetahuan higiene sanitasi penjamah berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan higiene sanitasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran sampel penjamah makanan enteral berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan higiene sanitasi

No. Materi Pengetahuan Persentase (%) Kategori 1. Bahan pencemar makanan 75.0 Sedang 2. Penyakit bawaan makanan 95.0 Tinggi 3. Prinsip higiene sanitasi makanan 77.5 Sedang 4. Pencucian dan penyimpanan peralatan

pengolahan makanan

90.0 Tinggi

5. Pemeliharaan kebersihan lingkungan 92.5 Tinggi 6. Higiene perorangan 90.0 Tinggi

Berdasarkan Tabel 6, sebanyak 75.0% penjamah makanan enteral mampu menjawab dengan benar pertanyaan mengenai bahan pencemar makanan. Makanan dapat menjadi tidak aman bila terdapat kontaminasi pada makanan tersebut. Menurut Gaman dan Sherrington (1993), terdapat tiga penyebab pangan menjadi tidak aman yaitu keracunan karena kimiawi (pestisida), fisik (rambut dan batu), dan biologi (bakteri, virus, jamur). Pentingnya penjamah mengetahui bahan pencemar makanan dengan tujuan untuk meminimalisasi kontaminasi makanan.

(32)

telah memahami tentang penyakit bawaan makanan. Bahan makanan yang telah terkontaminasi akan menyebabkan perubahan rasa, warna, aroma, dan tekstur. Penjamah makanan enteral harus mengetahui keadaan bahan makanan yang baik dan terkontaminasi untuk meningkatkan kualitas mutu makanan, karena konsumen yang dilayani adalah pasien yang tergolong dalam kelompok rentan dan lebih berisiko untuk terjangkit infeksi dan intoksikasi bawaan makanan.

Penjamah makanan enteral sebanyak 77.5% mampu menjawab dengan benar dan memahami pertanyaan mengenai prinsip higiene sanitasi makanan. Prinsip sanitasi dan higiene makanan sangat penting untuk diterapkan dengan tujuan untuk menghindari makanan menjadi tidak aman. Menurut Depkes (2004), prinsip higiene sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap empat factor yaitu, tempat, peralatan, orang dan bahan makanan. Selain itu terdapat empat prinsip sanitasi makanan yaitu : 1) pemilihan bahan makanan, 2) penyimpanan bahan makanan, 3) pengolahan makanan, dan 4) penyimpanan makanan masak. Berdasarkan Tabel 6, sebanyak 90.0% penjamah makanan enteral mampu menjawab dengan benar pertanyaan mengenai pencucian dan penyimpanan peralatan pengolahan makanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penjamah makanan enteral mampu memahami pencucian dan penyimpanan peralatan pengolahan makanan yang baik dan benar. Bila penjamah tidak melakukan pencucian dan penyimpanan peralatan dengan benar, peralatan tersebut dapat menjadi sumber pencemar makanan. Penyimpanan peralatan yang telah dibersihkan sebaiknya disimpan di tempat yang tepat untuk menghindari pencemaran, karena peralatan yang dipakai untuk mengolah makanan bila penanganannya tidak sesuai dapat menjadi sumber pencemaran makanan (Moehyi 1992).

(33)

Pada pertanyaan-pertanyaan mengenai higiene perorangan, sebanyak 90.0% penjamah makanan enteral mampu menjawab dengan benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa penjamah makanan enteral memahami pentingnya kebersihan diri, penggunaan baju khusus, penutup kepala dan tidak memakai perhiasan, serta kebiasaan yang tidak boleh dilakukan saat sedang mengolah makanan. Pentingnya personal higiene adalah untuk menghindari penularan penyakit yang berasal dari tubuh penjamah. Menurut Jennie (2000), penjamah yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan menjadi salah satu penyebab terjadinya kontaminasi silang pada makanan.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada penjamah makanan enteral kemudian diberi skor dan dikelompokkan menjadi ketegori rendah, sedang dan tinggi. Pengkategorian pengetahuan ini didasarkan pada Khomsan (2000), yakni baik atau tinggi dengan skor >80.0%, sedang dengan skor 60.0% hingga 80.0%, dan kurang dengan skor <60.0%. Tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira

Tingkat pengetahuan Jumlah

n %

Kurang (<60.0%) 0 0.0

Sedang (60.0%-80.0%) 1 10.0

Baik (>80.0%) 9 90.0

Total 10 100.0

Berdasarkan Tabel 7, sebagian besar (90.0%) sampel penjamah makanan enteral sudah memiliki pengetahuan yang baik dan hanya 10.0% yang memiliki tingkat pengetahuan sedang. Menurut Soekanto (2002) tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang kerana berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu.

Perilaku Higiene Sanitasi Penjamah

(34)

akan mengancam kesehatan tubuh. Tubuh yang tidak kuat memerangi mikroba, akan menjadi lemah dan akhirnya menjadi sakit. Penularan penyakit juga dapat terjadi melalui bagian-bagian tubuh tersebut. Para pegawai yang terinfeksi patogen dapat mengkontaminasi makanan. Kontaminasi ini dapat dihindari bila pegawai dilatih untuk menjaga higiene dan sanitasi personalia dengan baik (Jenie 2000).

Penggunaan apron.

Berdasarkan hasil pengamatan, seluruh penjamah menggunakan apron atau pakaian kerja khusus. Apronyang digunakan penjamah terbuat dari bahan katun dan berbentuk celemek. Apron hanya dipakai di Instalasi Gizi sehingga dapat mencegah kontaminasi debu dari luar Instalasi Gizi. Pencucian apron tidak dilakukan secara periodik. Aprontersebut dicuci bila sudah terlihat kotor. Menurut Moehyi (1992), penggantian dan pencucian apron secara periodik akan mengurangi risiko kontaminasi. Selain itu, apron yang bersih akan menjamin higiene dan sanitasi pengolahan makanan, karena tidak terdapat debu atau kotoran yang melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat mencemari makanan.

Penggunaan penutup rambut

Penjamah yang menggunakan penutup rambut sebanyak 70.0%. Penutup kepala yang digunakan adalah jilbab dan topi (hair net) yang tidak menutupi rambut secara keseluruhan, sehingga masih memungkinkan jatuhnya rambut ke makanan. Rambut yang berasal dari kepala terkadang terkontaminasi oleh bakteri seperti Staphylococcus aureus dan bakteri lainnya, tetapi bukan merupakan sumber kontaminasi utama mikroba pada makanan (Jennie 2000). Rambut yang jatuh dalam makanan enteral merupakan jenis kontaminan fisik yang akan menurunkan kualitas makanan dan citra Instalasi Gizi.

Penggunaan sepatu kedap air

(35)

dan sepatu karet. Atribut tersebut sebaiknya digunakan untuk melindungi pencemaran terhadap makanan.

Penggunaan sarung tangan

Sebanyak 80.0% penjamah makanan enteral tidak menggunakan sarung tangan saat bekerja. Penjamah yang menggunakan sarung tangan adalah penjamah di bagian persiapan terutama penjamah yang menangani persiapan buah. Hal ini menunjukkan masih kurangnya kesadaran penjamah akan pentingnya menghindari kontaminasi dari tangan ke makanan. Tangan pegawai yang telah tercemar mikroorganisme patogen akan memindahkan mikroba tersebut ke pakaian atau serbet yang bersentuhan dengan makanan atau tangan tersebut (Jennie 2000).

Kontaminasi dari tangan penjamah dapat dicegah dengan penggunaan sarung tangan. Instalasi Gizi menyediakan sarung tangan dispossable dalam jumlah yang cukup untuk seluruh pegawai, tetapi sarung tangan ini tidak digunakan dengan baik oleh penjamah. Menurut Moehyi (1992), cara lain untuk menghindari kontaminasi dari tangan pegawai adalah dengan tidak memegang makanan langsung dengan tangan, tetapi menggunakan sendok garpu atau alat pengambil makanan lainnya.

Kebiasaan mencuci tangan

Seluruh penjamah selalu mencuci tangan setiap akan melakukan pekerjaan, setelah keluar dari toilet, pada saat tangan kotor, dan setelah menangani bahan makanan. Namun, penjamah tidak mencuci tangan ketika beralih menangani bahan makanan lain seperti pada saat persiapan dan pengolahan. Keenganan untuk mencuci tangan karena dirasakan memakan waktu dan merasa bahwa tangan sudah besih. Pegawai yang menangani bahan makanan harus mencuci tangan sebelum menangani makanan masak, sehingga tidak ada organisme patogen yang dapat hidup didalamnya (Jennie 2000). Selain itu menurut Arisman (2009) tangan perlu dicuci karena ribuan jasad renik, baik flora normal maupun cemaran, menempel di tempat tersebut dan mudah sekali berpindah ke makanan yang tersentuh.

(36)

Pencucian yang baik menurut Fardiaz (1999) adalah dengan membasahi tangan di bawah air hangat yang mengalir, tangan diberi sabun dan digosok selama 15 detik, kemudian dibilas dan dikeringkan dengan handuk kertas.

Penggunaan penutup muka (masker)

Masker dapat menahan kontaminasi dari mulut dan hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, tidak ada pegawai yang menggunakan masker pada saat pengolahan makanan enteral. Hal tersebut dikarenakan pihak Instalasi Gizi tidak menyediakan masker untuk digunakan penjamah pada saat proses produksi.

Menurut Jennie (2000), mulut dan hidung merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba terutama pada saat berkeringat. Mikroba ini dapat mengkontaminasi makanan melalui udara. Penggunaan masker dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba. Udara akan menjadi lebih pengap atau panas saat penggunaan masker, sehingga terjadi pengeluaran keringat yang lebih banyak. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan mengurangi kebiasaan berbicara, tertawa dan memegang muka saat bekerja (Marriot 1997).

Perilaku saat bekerja

Perilaku saat bekerja yang sering dilakukan penjamah adalah berbicara saat bekerja. Berbicara saat bekerja memungkinkan jatuhnya air liur dan kotoran lain dari mulut ke bahan makanan yang dipersiapkan (Jennie 2000). Selain itu penggunaan perhiasan dan kosmetik pada pegawai wanita masih dilakukan. Sebanyak 40.0% penjamah makanan enteral terutama penjamah wanita masih menggunakan perhiasan pada saat mengolah makanan. Perhiasan yang sering dipergunakan adalah cincin. Tangan yang dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci sampai bersih karena adanya lekukan perhiasan dan permukaan kulit disekitar perhiasan. Sisa-sisa makanan dapat menempel pada perhiasan sehingga mikroba dapat tumbuh dan berpindah ke makanan (Sambas 1991). Perhiasan tidak boleh digunakan saat menangani makanan karena dikawatirkan masuk dan jatuh dalam makanan tanpa dapat dicegah dan disadari, hal tersebut dapat mencemari makanan (Depkes 2002).

Fasilitas Fisik dan Sanitasi

(37)

Tabel 8 Fasilitas Fisik dan Sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

No. Fasilitas Fisik dan Sanitasi Bobot Nilai Skor (%) 1 Halaman bersih, rapi, kering, dan berjarak sedikitnya 500

meter dari sarang lalat/tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran

1 1 100

2 Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau barang sisa

1 1 100

3 Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara, dan mudah dibersihkan

1 1 100

4 Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu

1 1 100

5 Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 meter dari lantai

1 1 100

6 Pintu dan jendela dibuat dengan baik dan kuat. Pintu dibuat menutup sendiri, membuka kedua arah, dan dipasang alat penahan lalat dan bau. Pintu dapur membuka kearah luar

1 1 100

7 Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja.

1 1 100

8 Ruang pengolahan maupun peralatan dilengkapi ventilasi yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak pengap

1 1 100

9 Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan 5 4 80 10 Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC

dan saluran air hujan lancer, baik dan tidak menggenang

1 1 100

11 Jumlah fasilitas cuci tangan dan toilet cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan

3 3 100

12 Tersedia tempat sampah yang cukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastic yang selalu diangka setiap kali penuh

2 1 50

13 Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada bangunan, dan terpisah dengan tempat tidur atau tempat mencuci pakaian

1 1 100

14 Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan peliharaan, dan hewan pengganggu lainnya

4 3 75

15 Ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. Barang tersebut disimpan rapi di gudang

1 0 0

16 Pertemuan sudut lantai dan dinding lengkung (konus) 1 0 0

17 Ruang pengolahan tidak dipakai sebagai ruang tidur 1 1 100

18 Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring) 1 1 100

Jumlah 23 17 83,6

(38)

Lokasi.

Bangunan Instalasi Gizi tidak berdekatan dengan sumber pencemaran seperti tempat sampah umum, WC umum, dan sumber pencemaran lainnya sehingga tidak tercium bau busuk. Selain itu, halaman Instalasi Gizi terlihat bersih, tidak bersemak, dan tidak banyak lalat. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (2011).

Keadaan konstruksi.

Bangunan Instalasi Gizi terletak di bagian belakang gedung Rumah Sakit Dustira. Pemilihan lokasi di belakang gedung Rumah Sakit akan memudahkan proses penerimaan bahan makanan maupun distribusi makanan ke pasien. Bangunan dibagi menjadi beberapa ruangan yang didesain sedemikian rupa sehingga arus kerja dan lalu lintas pegawai lancar dan teratur. Di beberapa ruangan terdapat barang-barang yang tidak berguna seperti tumpukan kardus dan plastik bekas. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (2011), ruangan harus bersih dari barang yang tidak berguna, karena dapat mengundang serangga atau hewan pengerat.

Lantai dan dinding

Lantai ruang instalasi gizi tidak licin dan mudah dibersihkan, namun ada beberapa lantai yang retak dan bolong sehingga memungkinkan adanya timbunan kotoran di sela-sela lantai yang retak tersebut. Seharusnya lantai dibuat kuat, tidak mudah rusak, permukaan lantai harus dibuat kedap air dan tidak ada retakan dan sambungan, tidak licin dan tahan terhadap pembersihan, jika terdapat retakan dan sambungan harus segera diperbaiki (Depkes 2002). Jadwal pembersihan lantai selalu dilakukan setiap hari dan setiap lantai kotor. Kegiatan pembersihan yang biasa dilakukan yaitu menyapu sampah-sampah yang berserakan dan mengepel genangan air atau kotoran yang menempel.

(39)

Langit-langit.

Bidang langit-langit di Instalasi Gizi menutupi seluruh atap bangunan dan terbuat dari bahan yang permukaannya rata serta mudah dibersihkan. Tinggi langit-langit >2,4m di atas lantai, kondisi langit-langit tidak mudah mengelupas namun agak sedikit kotor. Pembersihan langit-langit dilakukan setiap 1 bulan sekali. Menurut Permenkes (2011), langit-langit harus menutup seluruh atap bangunan, serta tinggi langit-langit minimal 2,4 meter di atas lantai.

Pintu dan jendela.

Pintu di Instalasi Gizi mengarah ke luar. Pada saat proses pengolahan berlangsung, pintu selalu terbuka lebar dan tidak pernah ditutup. Hal ini bertujuan agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan pengolahan. Namun, hal tersebut dapat meningkatkan risiko debu yang berada di luar ruangan dan serangga (lalat) atau hewan lain dapat masuk dengan bebas ke ruang pengolahan. Jendela di bangunan Instalasi Gizi tidak dilengkapi dengan kawat kasa (anti serangga). Jadwal pembersihan jendela dilakukan setiap hari pada saat pengolahan berlangsung.

Depkes (2002) menyatakan bahwa seluruh pintu dan jendela pada bangunan yang dipergunakan untuk pengolahan harus membuka ke arah luar. Pintu ruangan pengolahan harus dapat menutup sendiri. Hal ini untuk memudahkan penyelamatan diri pada waktu keadaan darurat.

Pencahayaan dan ventilasi.

(40)

Tempat pencucian.

Tempat pencucian alat kadang suka digabung dengan pencucian bahan makanan, begitu juga sebaliknya. Tempat pencucian alat berbentuk wastafel dan keadaannya agak berkarat. Tempat pencucian alat ada di ruang persiapan dan di ruang pengolahan. Menurut Jennie (2000) dalam pengolahan pangan, wadah dan alat pengolahan yang kotor serta mengandung mikroba merupakan salah satu sumber kontaminasi. Mencuci peralatan menjadi bersih dapat menghindari peluang terjadinya kontaminan.

Instalasi gizi memiliki tempat cuci tangan bagi pegawai, namun fasilitas cuci tangan tersebut rusak sehingga pegawai mencuci tangan dimana saja, terutama ditempat pencucian bahan makanan atau tempat pencucian alat. Di tempat pencucian alat atau bahan makanan tidak ditemukan fasilitas cuci tangan seperti lap kering untuk mengeringkan tangan. Tidak adanya lap pengering akan menghambat pegawai untuk mencuci tangan dengan baik, maka tangan yang digunakan untuk mengolah tidak terjamin bersih dan bebas dari mikroba dan kotoran yang menempel. Tempat pencucian di Instalasi Gizi tidak dilengkapi dengan saluran air panas. Idealnya tempat cuci tangan terpisah dari tempat cuci peralatan maupun bahan makanan dilengkapi dengan air mengalir dan sabun, saluran pembuangannya tertutup, bak penampung air dan alat pengering.

Sumber air bersih.

Sistem penyediaan air bersih di Instalasi Gizi berasal dari sumur, sehingga dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih setiap enam bulan sekali untuk mengetahui kualitas air yang digunakan dan kemungkinan terjadinya kontaminasi dari air. Air bersih di Instalasi Gizi cukup untuk seluruh kegiatan penyelenggaraan makanan. Kualitas air bersih berdasarkan kategori uji fisik dan kimia sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun belum memenuhi syarat untuk kategori mikrobiologi. Pemasakan atau perebusan air yang akan digunakan untuk pengolahan dapat meminimalisasi atau menghilangkan mikroba yang ada pada air tersebut.

Tempat sampah.

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1.Tabel 1 Variabel, data dan cara pengumpulan data
Tabel 2 Variabel dan kategori pengukuran
Tabel 5 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira
+7

Referensi

Dokumen terkait