• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Physical Quality of Meat and Muscle Microstructure of Javan Porcupine (Hystrix javanica) are Given on Addition of Concentrate into Feed

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Physical Quality of Meat and Muscle Microstructure of Javan Porcupine (Hystrix javanica) are Given on Addition of Concentrate into Feed"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS FISIK DAGING DAN MIKROSTRUKTUR OTOT

LANDAK JAWA (Hystrix javanica) YANG DIBERI

PENAMBAHAN KONSENTRAT PADA PAKAN

SKRIPSI

ISMI WILDA KARIMA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

Ismi Wilda Karima. D14080321. Kualitas Fisik Daging dan Mikrostruktur Otot Landak Jawa (Hystrix javanica) yang Diberi Penambahan Konsentrat pada Pakan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Wartika Rosa Farida

Landak Jawa (Hystrix javanica) merupakan salah satu satwa endemik di Pulau Jawa dan termasuk satwa yang terancam punah karena sering diburu oleh masyarakat lokal untuk tujuan komersil. Di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, landak banyak diburu untuk dikonsumsi daging, hati, dan empedunya untuk mencegah osteoporosis, mengobati penyakit asma dan dapat meningkatkan vitalitas tubuh, duri landak juga dapat digunakan untuk cinderamata atau obat sakit gigi. Tingginya nilai dan manfaat bagi masyarakat inilah yang menyebabkan populasi landak Jawa semakin menurun.

Status landak di Indonesia adalah dilindungi sebagaimana yang tercantum pada undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Salah satu upaya penyelamatan untuk mendukung konservasi dan menjadikan landak jawa sebagai hewan budidaya yaitu melalui usaha penangkaran (konservasi ek-situ). Lingkungan yang kondusif dan pemberian pakan yang cukup merupakan faktor terpenting dalam budidaya landak jawa sebagai satwa harapan penghasil daging. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisik daging dan mikrostruktur otot landak jawa yang diberi penambahan konsentrat pada pakan.

Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksploratif. Materi penelitian yang digunakan adalah delapan ekor landak jawa yang dikelompokkan secara acak dengan diberi perlakuan pakan yang berbeda yaitu pakan kontrol (P0) dan pakan kontrol yang ditambahkan konsentrat (P1). Masing-masing perlakuan pakan terdiri atas 1 ekor jantan dan 3 betina. Landak jawa yang telah dipelihara selama 90 hari, lalu dipotong untuk diamati sifat fisik dagingnya. Sampel daging yang diambil untuk pengamatan sifat fisik daging adalah daging di bagian paha belakang (leg), sedangkan sampel yang diambil untuk pengamatan mikrostruktur otot adalah daging di bagian loin (Longissimus dorsi). Peubah yang diamati antara lain warna daging, warna lemak, nilai pH, susut masak, keempukan, daya mengikat air, diameter serabut otot, diameter fasikulus, dan ketebalan jaringan ikat.

Hasil penelitian menunjukkan daging landak jawa memiliki warna daging yang agak merah muda dengan warna lemak berwarna putih. Nilai pH daging adalah 5,6 dan berada di kisaran normal daging segar yaitu 5,4-5,8. Susut masak daging tergolong tinggi persentasenya dibandingkan ternak dan satwa liar lainnya yaitu berada di kisaran 53-54%. Tingkat keempukan daging termasuk ke dalam kategori sangat empuk karena berada pada kisaran 1-2 kg/cm2. Daya mengikat air tergolong rendah yaitu dengan kisaran rataan sekitar 30,22-34,18 % mgH2O. Hasil pengamatan

(3)

ii kisaran 22,7-24,45 µm, diameter fasikulus sebesar 0,67-1,07 µm, dan ketebalan jaringan ikat berkisar antara 0,13-0,17 µm.

(4)

ABSTRACT

The Physical Quality of Meat and Muscle Microstructure of Javan Porcupine

(Hystrix javanica) are Given on Addition of Concentrate into Feed

Karima, I. W., H. Nuraini and W. R. Farida

Javan porcupine (Hystrix javanica) is an endemic animal in Java Island and endangered species due to hunting by local communities for commercial purpose. To support conservation of the species is domestication through ex-situ breeding. The objective of this study was to examine the influences of pelleted concentrate (koi fish feed) to the animal rations on the physical quality of meat and muscle microstructure of javan porcupine. To observe physical meat quality, the meat sample was taken from leg and to measure muscle microstructure the meat sample was taken from loin. Physical quality of meat includes meat color, fat color, pH value, tenderness, cooking loss, and water holding capacity. Muscle microstructure includes muscle fibre diameter, fasciculi diameter, and thickness of connective tissue. Data of treatment effect was analyzed descriptively. The results showed that meat colour of Javan porcupine was pinkish color, fat colour was white, pH values were in the normal range (5.6), range of cooking loss were relatively high (53-54%), level of tenderness were very soft (1-2 kg/cm2), and water holding capacity were relatively low (30.22-34.18 % mgH2O). The results of muscle miscrostructure suggest that muscle fiber

diameter was in the range 22.7-24.45 µm, fasciculi diameter was in the range 0.67-1.07 µm and thickness of connective tissue ranged from 0.13-0.17 µm.

(5)

KUALITAS FISIK DAGING DAN MIKROSTRUKTUR OTOT

LANDAK JAWA (Hystrix javanica) YANG DIBERI

PENAMBAHAN KONSENTRAT PADA PAKAN

ISMI WILDA KARIMA

D14080321

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

Judul : Kualitas Fisik Daging dan Mikrostruktur Otot Landak Jawa (Hystrix javanica) yang Diberi Penambahan Konsentrat pada Pakan

Nama : Ismi Wilda Karima NIM : D14080321

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si) NIP. 19640202 198903 2 001

(Dr. Ir. Wartika Rosa Farida) NIP. 19590131 198403 2 001

Mengetahui : Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004

(7)
(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1990 di Bogor, Jawa Barat.

Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Husni Thamrin

dan Ibu Nani Rohati, S.Pd.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1996 di Sekolah Dasar

Negeri Bubulak I Kota Bogor dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan dilanjutkan pada tahun 2002 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 14 Kota Bogor

dan diselesaikan pada tahun 2005. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di

Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Kota Bogor pada tahun 2005 dan diselesaikan

pada tahun 2008.

Penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor pada

tahun 2008 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

(SNMPTN) dan diterima di jurusan Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu

Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Penulis aktif dalam

organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(HIMAPROTER) pada periode 2009-2010 sebagai anggota Klub Unggas Divisi

Keprofesian, dan menjadi ketua Klub Unggas Divisi Keprofesian pada periode

2010-2011. Pada tahun 2012, penulis juga pernah menjadi asisten Mata Kuliah

Pengelolaan Kesehataan Ternak Tropis (PKTT), Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.

Selain itu, penulis juga aktif di luar kampus sebagai pengajar Matematika dan Bahasa

Inggris di tempat bimbingan belajar Diaz Kid’s Math and English Centre. Penulis

juga pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Embrio Ternak, Cipelang, Bogor

pada tahun 2011. Penulis juga berkesempatan menjadi penerima beasiswa Bantuan

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan

kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kualitas Fisik Daging dan Mikrostruktur Otot

Landak Jawa (Hystrix javanica) yang Diberi Penambahan Konsentrat pada Pakan”.

Daging landak jawa sudah lama dipercaya oleh masyarakat di Jawa Tengah

dan Jawa Timur dapat mengobati berbagai penyakit. Tingginya nilai dan manfaat

landak Jawa bagi masyarakat inilah yang menyebabkan populasinya menurun akibat

perburuan manusia. Upaya penangkaran dengan pemberian pakan yang berkualitas

diharapkan mampu menjadikan landak jawa sebagai salah satu satwa harapan

penghasil daging. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas

fisik daging dan mikrostruktur otot landak jawa yang dihasilkan setelah diberi penambahan konsentrat pada pakan selama di penangkaran.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi

ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang

telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat

dan dapat memberikan informasi kepada para pembaca.

Bogor, September 2012

(10)

DAFTAR ISI

Penyembelihan dan Penyimpanan Daging Landak... 19

Pengamatan Kualitas Fisik Daging Landak... 20

(11)

ix

HASIL DAN PEMBAHASAN... 26

Kondisi Umum Penangkaran... 26

Karakteristik Fisik Daging Landak Jawa ...... 26

Mikrostruktur Otot Landak Jawa... 35

Hubungan Mikrostruktur Otot dengan Keempukan Daging... 40

KESIMPULAN DAN SARAN... 42

Kesimpulan... 42

Saran... 42

UCAPAN TERIMA KASIH... 43

DAFTAR PUSTAKA... 44

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jumlah Pemberian Pakan pada Landak Jawa Selama

Penelitian... 19

2. Kandungan Nutrien Pakan Penelitian (% BK)... 19

3. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Penelitian... 26

4. Sifat Fisik Daging Landak Jawa... 27

5. Sifat Fisik Daging Ternak dan Satwa Liar Lainnya... 27

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Landak Jawa (Hystrix javanica)... 3

2. Struktur Anatomi Otot... 13

3. Kandang Individu... 17

4. Pakan Landak Jawa Selama Penelitian... 18

5. Sampel Daging Landak Jawa yang Digunakan untuk Pengamatan Sifat Fisik Daging... 20

6. Tahapan Proses Pewarnaan Masson Trichrome... 24

7. Foto Mikroskopis Serabut Otot Perbesaran 200x... 36

8. Foto Mikroskopis Diameter Fasikulus Perbesaran 40x ... 38

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Pengukuran Nilai pH Daging Landak Jawa Betina P0... 51

2. Data Pengukuran Susut Masak Daging Landak Jawa P0... 51

3. Data Pengukuran Keempukan Daging Landak Jawa Betina P0... 51

4. Data Pengukuran Daya Mengikat Air Landak Jawa Betina P0... 51

5. Data Pengukuran Nilai pH Daging Landak Jawa Betina P1... 51

6. Data Pengukuran Susut Masak Daging Landak Jawa Betina P1... 51

7. Data Pengukuran Keempukan Daging Landak Jawa Betina P1... 52

8. Data Pengukuran Daya Mengikat Air Daging Landak Jawa P1... 52

9. Data Pengukuran Diameter Serabut Otot Landak Jawa Betina P0.... 52

10. Data Pengukuran Diameter Serabut Otot Landak Jawa Betina P1.... 52

11. Data Pengukuran Diameter Serabut Otot Landak Jawa Jantan P1.... 52

12. Data Pengukuran Diameter Fasikulus Landak Jawa Betina P0... 52

13. Data Pengukuran Diameter Fasikulus Landak Jawa Betina P1... 53

14. Data Pengukuran Diameter Fasikulus Landak Jawa Jantan P1... 53

15. Data Pengukuran Ketebalan Jaringan Ikat Landak Jawa Betina P0... 53

16. Data Pengukuran Ketebalan Jaringan Ikat Landak Jawa Betina P1... 53 17. Data Pengukuran Ketebalan Jaringan Ikat Landak Jawa Jantan P1... 53 18. Proses Pemotongan Landak Jawa... 54

19. Pengamatan Sifat Fisik Daging... 55

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Permintaan daging nasional meningkat seiring dengan peningkatan jumlah

penduduk dan pemenuhan gizi pada masyarakat. Berdasarkan data statistik tahun

2011, rata-rata konsumsi daging penduduk Indonesia sebanyak 2,75 kg/kapita/tahun,

dan diperkirakan akan terus meningkat (Badan Pusat Statistik, 2012). Selain daging

sapi ternak, muncul trend di masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi pangan asal

hewan selain ternak seperti reptil dan satwa liar yang dipercaya mengandung khasiat

obat. Salah satu satwa liar yang umum dikonsumsi adalah landak.

Daging landak sudah terkenal dan telah lama dikonsumsi oleh masyarakat di

daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai sumber protein hewani. Selain itu,

masyarakat mempercayai bahwa dengan mengkonsumsi daging landak dapat

mencegah osteoporosis dan meningkatkan vitalitas tubuh, hati dan empedunya dapat

menyembuhkan penyakit asma, serta gerusan duri dapat digunakan sebagai obat sakit

gigi dan bisul (Farida, 2007; Wardi et al., 2011).

Landak merupakan mamalia yang sebagian tubuhnya berduri dan termasuk

ke dalam ordo Rodentia. Di alam liar, landak beraktivitas di malam hari (nocturnal)

dan hidup berkelompok. Umumnya seekor landak dapat melahirkan satu hingga tiga

ekor anak, tergantung pada spesiesnya. Landak hampir tersebar di seluruh belahan

dunia seperti di Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Latin, Eropa Selatan,

Afrika, dan Asia Selatan hingga Asia Tenggara (Musser, 2012). Di Indonesia,

penyebaran landak meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Umumnya,

landak raya (H.brachyura) tersebar di pulau Sumatera dan Kalimantan sedangkan

landak jawa (H. javanica) tersebar di pulau Jawa. Di Kalimantan pun terdapat landak

butun (H. crassispinis) dan angkis ekor panjang (Trichys fasciculata) yang

merupakan satwa asli Kalimantan (Payne et al., 2000).

Landak jawa memiliki panjang tubuh yang besar sekitar 37-47 cm dan bobot

badan 10-15 kg. Sebagian besar tubuh bagian atas ditutupi bulu panjang yang keras

berwarna hitam keputihan dan tajam, rambut pendek berwarna coklat kehitaman di

bagian leher serta tubuh bagian bawah. Matanya kecil berwarna kehitaman dan

(16)

2 Status landak adalah dilindungi sebagaimana yang tercantum pada

undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis

Tumbuhan dan Satwa, akan tetapi perburuan ilegal terus meningkat seiring

melonjaknya permintaan konsumen terhadap daging landak dan cinderamata yang

berasal dari duri landak. Tingginya nilai dan manfaat landak bagi masyarakat serta

meningkatnya pembukaan hutan menjadi lahan pemukiman menyebabkan semakin

menyusutnya habitat landak sehingga populasi menurun dan lambat laun satwa ini

akan punah.

Upaya penangkaran diperlukan untuk melestarikan landak dari kepunahan

dan pengembangan satwa endemik landak sebagai ternak budidaya. Lingkungan

yang kondusif dan pemberian pakan yang cukup merupakan faktor utama dalam

budidaya untuk menjadikan landak sebagai satwa harapan penghasil daging yang

dapat memenuhi kebutuhan protein hewani di masyarakat. Oleh karena itu, penelitian

ini diperlukan untuk mengamati produktivitas landak jawa yang hidup di dalam

penangkaran dengan pemberian pakan yang berbeda.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisik daging dan

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Landak Jawa (Hystrix javanica)

Klasifikasi Ilmiah

Menurut International Union for The Conservation of Nature tahun 2009

(Lunde dan Aplin, 2008), klasifikasi ilmiah dari landak jawa adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Famili : Hystricidae

Genus : Hystrix

Spesies : Hystrix javanica F. Cuvier, 1823

Gambar 1. Landak Jawa (Hystrix javanica)

(Sumber : Karima, 2012)

Habitat

Landak merupakan hewan mamalia yang aktif di malam hari (nocturnal).

Landak memiliki pendengaran yang baik, namun penglihatan yang buruk. Sebagian

besar spesies landak adalah herbivora yang memakan biji-bijian, buah, kacang, daun,

dan tanaman seperti tebu, nanas, melon, kakao, jagung, kacang tanah, kentang,

(18)

4 Landak umumnya dapat ditemukan di semua tipe hutan, perkebunan, area

berbatuan, semak-semak, padang rumput, padang pasir, bahkan sampai di ketinggian

3500 m dpl. Landak aktif mencari makan setelah matahari terbenam dan tidur di

dalam gua-gua, celah batu, atau di vegetasi yang padat. Terkadang landak dapat

ditemukan di luar sarang ketika sedang berjemur di bawah sinar matahari (Nowak,

1999).

Landak merupakan satwa terestrial (hidup di atas tanah) dengan membuat

lubang sarang hingga kedalaman sekitar 5 meter. Lubang tersebut bercabang-cabang

di dalam tanah dengan beberapa lubang kecil untuk pintu keluar. Habitatnya yang

berdekatan dengan pemukiman dan ladang, landak seringkali dianggap sebagai hama

perusak tanaman (Olson dan Lewis, 1999).

Penyebaran

Penyebaran landak meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Landak

raya tersebar di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan landak jawa tersebar hanya di

pulau Jawa. Landak jawa merupakan hewan endemik di pulau Jawa yang berukuran

besar (Farida dan Ridwan, 2011). Penyebaran landak jawa yaitu dari Jawa bagian

barat hingga timur, Madura, dan Bali (Lunde dan Aplin, 2008). Populasi landak

cenderung stabil meskipun permintaan akan duri landak menjadi dekorasi interior

dan souvenir semakin meningkat seperti yang dinyatakan oleh IUCN (2009).

Morfologi

Landak merupakan mamalia yang tubuh bagian atasnya ditutupi oleh duri

kecuali moncong dan telinga. Bagian atas tubuhnya berduri panjang, keras, tajam dan

berbentuk silinder dengan motif garis hitam dan putih kekuningan. Duri-duri tersebut

berfungsi untuk melindungi dirinya dari predator. Duri tersebut akan berdiri dan

dilepaskan apabila landak merasa terancam. Duri landak yang telah hilang, akan

ditumbuhi dengan duri yang baru (Clarkson, 2009). Panjang durinya sekitar 20-25

cm. Landak memiliki panjang tubuh sekitar 60-90 cm dan berat 5-15 kg. Kakinya

pendek dan memiliki cakar yang melengkung panjang. Jumlah jari pada kaki depan

adalah empat sedangkan pada kaki belakang adalah lima buah (Olson dan Lewis,

(19)

5 Reproduksi

Menurut Van Aarde (1985), panjang siklus estrus pada landak sekitar 30

hingga 37 hari. Landak yang hidup di dalam penangkaran akan berkembang biak

sepanjang tahun. Selama satu tahun, landak mengalami dua kali musim kawin. Estrus

pertama pada landak betina terjadi pada umur delapan bulan dengan kisaran bobot

badan 11-12,3 kg. Periode kebuntingan pada landak sekitar 93-94 hari dengan jumlah

anak per kelahiran sekitar satu hingga tiga ekor. Bobot lahir anak landak bervariasi

yaitu antara 300-440 g.

Bentuk kelenjar susu pada landak adalah segitiga dan terletak di posisi dada

posterior lateralis di belakang kaki depan. Kelenjar susu mulai berkembang pada

hari ke-30 hingga hari ke-60 setelah pembuahan. Posisi induk ketika menyusui

anaknya adalah dengan cara berjongkok. Lamanya periode menyusui pada landak

adalah sekitar 37-163 hari. Setelah 20 minggu umur landak muda akan disapih oleh

induknya (Van Aarde, 1985).

Tingkah Laku

Landak memiliki bulu yang keras yang disebut dengan duri. Duri landak ini

memiliki fungsi sebagai alat pertahanan dari pemangsa. Duri landak akan berdiri

apabila landak diserang atau merasa terancam. Landak akan berjalan mundur dan

melepaskan durinya sehingga duri-duri tersebut menikam tubuh predator (Yong,

2008). Saat landak merasa terancam, landak akan menyentakkan ekornya sehingga

timbul bunyi gemerincing yang berasal dari durinya yang bergetar, kemudian landak

membalikkan badannya dan bergerak mundur, dan menaikkan duri-duri di seluruh

tubuhnya sebagai senjata (Sastrapradja et al., 1982).

Kualitas Fisik Daging

Kualitas daging ditentukan oleh penerimaan konsumen terhadap sifat-sifat

daging yang meliputi ciri-ciri visual dan sensorik, termasuk daging yang diperoleh

harus aman untuk dikonsumsi dan berasal dari ternak yang sehat, serta status

kesejahteraan ternak selama sistem produksi yang baik (Becker, 2000). Kualitas

fisik daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang

dapat mempengaruhi kualitas daging sebelum pemotongan antara lain genetik,

(20)

6 (hormon, antibiotik, dan mineral), dan stres. Faktor setelah pemotongan yang

mempengaruhi kualitas daging antara lain metode pelayuan, stimulasi listrik, metode

pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk

daging, hormon, antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode

penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging

(Soeparno, 2005).

Sifat-sifat fisik daging merupakan salah satu sifat yang dapat menentukan

kualitas daging. Sifat-sifat fisik daging yang umum diamati untuk mengetahui

kualitas daging antara lain nilai pH daging, keempukan, susut masak (cooking loss),

daya mengikat air, warna dan tekstur daging. Selain itu, penilaian konsumen

terhadap kualitas daging juga ditentukan dari flavor, aroma yang termasuk bau dan

citarasa serta juiciness yang berasal dari lemak intramuskuler (marbling) (Glitsch,

2000; Soeparno, 2005).

Warna Daging

Warna merupakan salah satu parameter yang digunakan konsumen dalam

memilih suatu produk makanan. Warna berperan penting dalam penerimaan

konsumen terhadap makanan, selain itu warna juga dapat memberikan petunjuk

mengenai perubahan kimia dalam makanan (Deman, 1997).

Warna merah pada daging mentah dipengaruhi oleh kandungan protein

mioglobin. Protein mioglobin dalam darah berfungsi untuk mengangkut oksigen ke

dalam sel otot untuk proses metabolisme. Warna daging ditentukan oleh konsentrasi

pigmen mioglobin dalam serabut otot. Pigmen yang mengandung globulin

merupakan protein gugus heme yang terdiri atas cincin porfirin dan atom besi. Panas

yang ditimbulkan dari pengaruh pemasakan akan menyebabkan terkoagulasinya

protein (globulin) sehingga heme yang terdapat pada molekul terbuka sehingga

terjadi oksidasi antara zat besi dengan cincin heme (Gomez dan Gomez, 1995).

Menurut Keeton (2003), proses perubahan warna daging saat pemasakan

disebabkan oleh proses oksidasi atom besi yang terkandung dalam mioglobin.

Sebelum proses pemasakan daging, mioglobin terkena oksigen, tingkat oksidasi atom

besi menjadi 2+ (Fe 2+) danterikat oleh oksigen (O2) sehingga daging akan berwarna

(21)

7 kehilangan elektron dan tingkat oksidasi atom besi menjadi +3 (Fe3+). Hal ini akan

membuat daging tampak berwarna cokelat (metmyoglobin).

Menurut Soeparno (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi warna daging

antara lain pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan

tipe otot), pH, dan oksigen. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi konsentrasi

dan status kimia mioglobin, kondisi kimia serta fisik dari komponen lain dalam

daging yang berperan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie, 2003).

Menurut Soeparno (2005), perbedaan warna daging antar spesies disebabkan

oleh adanya perbedaan konsentrasi mioglobin. Secara umum, seiring bertambahnya

umur suatu ternak maka konsentrasi mioglobin pun akan meningkat tetapi

peningkatan ini tidak konstan. Hal ini disebabkan oleh perubahan deposisi mioglobin

dari serabut otot merah selama pertambahan umur ternak. Warris (2000) menyatakan

bahwa konsentrasi mioglobin yang tinggi dapat ditemukan pada otot-otot yang

digunakan secara aktif, lalu pada ternak yang dipelihara secara bebas, dan pada

ternak yang sudah tua.

Warna daging juga dapat dipengaruhi oleh daya mengikat air, seperti yang

dinyatakan Prasetyo et al. (2009) dalam penelitiannya bahwa daya mengikat air yang

tinggi dapat menyebabkan keadaan serabut otot menjadi lebih besar dan cahaya yang

diserap lebih banyak daripada dipantulkan oleh permukaan daging sehingga warna

daging menjadi lebih gelap.

Nilai pH Daging

Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan dalam kualitas daging, karena

berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan masa simpan

daging (Lukman et al., 2007). Menurut Soeparno (2005), perubahan nilai pH sangat

penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Faktor yang

mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi

dua kelompok yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah

spesies, tipe otot, dan glikogen otot. Winarso (2003) menyatakan dalam

penelitiannya, umur dan tipe otot yang berbeda pada ayam kampung mempengaruhi

nilai pH. Nilai pH daging ayam kampung berumur 6 bulan lebih tinggi daripada

ayam kampung yang berumur 3 bulan sedangkan nilai pH otot dada (Pectoralis

(22)

8 Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi nilai pH daging antara lain temperatur

lingkungan, perlakuan aditif sebelum pemotongan dan stres setelah pemotongan

(Soeparno, 2005). Menurut Rianto et al. (2010) dalam penelitiannya menyatakan

bahwa aktivitas yang sama ketika pemeliharaan dan sebelum pemotongan

menyebabkan nilai pH yang tidak berbeda diantara otot Longissimus dorsi dan

Biceps femoris karena aktivitas yang sama sebelum dipotong akan membentuk asam

laktat yang relatif sama pula sehingga pH yang terbentuk berada di kisaran yang

sama yaitu 5,57-5,59.

Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak.

Perubahan pH tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan.

Glikogen adalah substrat metabolik dalam proses glikolisis postmortem yang

menghasilkan asam laktat sehingga dapat menurunkan nilai pH daging. Saat ternak

dipotong terjadi perubahan proses glikolisis aerob menjadi anaerob. Glikolisis

anaerob sangat tergantung pada ketersediaan glikogen dalam otot. Proses yang terjadi

adalah perombakan glikogen menjadi asam laktat secara terus menerus hingga

cadangan glikogen habis dan pH daging menjadi rendah sehingga dapat

menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik. Nilai pH yang tercapai setelah

glikogen otot menjadi habis dan enzim glikolitik tidak aktif pada pH rendah disebut

pH ultimat daging. Nilai pH ultimat daging postmortem yaitu antara 5,4-5,5 karena

umumnya glikogen tidak dapat ditemukan pada pH tersebut (Soeparno, 2005).

Susut Masak Daging

Susut masak merupakan persentase dari selisih antara bobot daging sebelum

dan sesudah dimasak. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama

pemasakan. Nilai susut masak daging sapi menurut Soeparno (2005) yaitu 15%-40%.

Daging yang memiliki kualitas yang relatif baik adalah daging yang susut masaknya

rendah karena resiko hilangnya nutrisi selama pemasakan lebih sedikit. Susut masak

berkaitan dengan nilai nutrisi pada daging dengan banyaknya air yang terdapat di

dalam dan di antara serabut otot atau daya mengikat air. Daya mengikat air yang

rendah akan menyebabkan nilai susut masak yang tinggi. Hal yang mempengaruhi

daya mengikat air adalah nilai pH. Nilai pH yang tinggi atau lebih rendah dari titik

(23)

9 Perbedaan umur, bangsa ternak, konsumsi pakan, dan bobot potong terutama

bila terdapat perbedaan disposisi lemak intramuskuler dapat menyebabkan perbedaan

susut masak (Soeparno, 2005). Menurut Winarso (2003), ternak dewasa memiliki

susut masak yang lebih kecil dibandingkan ternak muda. Hal ini disebabkan

kandungan lemak pada ternak dewasa yang lebih banyak daripada ternak muda

sehingga dapat menahan keluarnya cairan daging selama perebusan. Selain itu,

Rianto et al. (2010) menyatakan bahwa bobot potong yang tinggi menunjukkan

peningkatan deposisi lemak intramuskuler (marbling) pada otot terutama pada otot L.

dorsi.

Kenaikan temperatur dan lama perebusan dapat mempengaruhi susut masak

pada daging. Peningkatan susut masak selama perebusan dapat disebabkan oleh

perubahan struktur jaringan dan protein daging terutama protein miofibril dan

sarkoplasma sedangkan lama perebusan akan memendekkan panjang serabut otot dan

pengerutan protein miofibril sehingga banyak cairan daging yang keluar (Winarso,

2003). Umumnya, makin tinggi temperatur pemasakan dan makin lama waktu

pemasakan maka makin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai

tingkat yang konstan. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai

kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar

karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Soeparno, 2005).

Keempukan Daging

Keempukan daging merupakan penentu terpenting pada kualitas daging

terutama pada penerimaan konsumen untuk membeli dan mengonsumsi daging.

Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga

aspek. Aspek pertama, awal kemudahan gigi dalam menetrasi ke dalam daging.

Kedua, kemudahan daging dipecah menjadi beberapa bagian kecil. Ketiga, jumlah

residu yang tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).

Keempukan daging banyak ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu

struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan

silangnya, daya ikat air oleh protein serta juiciness daging. Faktor yang

mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti

genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis

(24)

10 diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan, faktor

lama dan waktu penyimpanan, metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan

penambahan bahan pengempuk (Soeparno, 2005). Winarso (2003) menyatakan

bahwa umur, tipe otot, dan kombinasi waktu serta temperatur pemasakan yang

berbeda dapat menurunkan keempukan daging ayam kampung.

Jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih

banyak bergerak aktif selama ternak hidup misalnya otot paha, teksturnya akan

terlihat lebih kasar sedangkan otot yang pasif memiliki tekstur yang lebih halus

(Natasasmita, 1994). Rianto et al. (2010) menyatakan bahwa L. dorsi merupakan otot

pasif sedangkan otot B. femoris merupakan otot aktif. Otot B. femoris yang sering

digunakan untuk beraktivitas berpengaruh terhadap keempukan daging karena otot

yang sering digunakan untuk bergerak akan memiliki diameter jaringan ikat yang

jauh lebih besar daripada otot pasif sehingga keempukan yang dihasilkan rendah.

Jaringan ikat berpengaruh terhadap keempukan daging. Hal ini berhubungan

dengan berkembangnya ikatan silang yang tahan dengan panas dan kandungan

kolagen, serta pengaruh pemanjangan sarkomer saat penggantungan setelah

pemotongan (Harper, 1999; Lepetit et al., 2000). Keempukan daging ditentukan oleh

jumlah dan jaringan ikat yang terlarut selama proses pemasakan, pemanjangan

sarkomer selama proses rigormotis, proses terjadinya proteolisis pada miofibrilar

setelah pemotongan, dan hubungan antara miofibrilar dengan protein. Proses

proteolisis yang terjadi karena kandungan protease yang terus meningkat setelah

pemotongan dan aktivitas protease selama proses pelayuan (Koohmaraie dan

Geesink, 2006).

Tingkat kekasaran tekstur juga meningkat seiring pertambahan umur. Otot

dengan serabut otot-otot yang kecil tidak menunjukkan peningkatan kekasaran

tekstur secara nyata dengan meningkatnya umur. Selain itu, jenis kelamin dan

bangasa ternak dapat mempengaruhi tekstur otot. Umumnya, otot ternak jantan

mempunyai tekstur yang lebih kasar daripada otot ternak betina (Soeparno, 2005).

Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pengaturan pakan sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah

pemotongan, dan ternak-ternak yang digemukkan dalam kandang akan menghasilkan

(25)

11 menyatakan bahwa perbedaan keempukan daging yang dihasilkan dari konsumsi

konsentrat dengan energi rendah dan konsumsi konsentrat dengan energi tinggi juga

berhubungan dengan jumlah glikogen dan kadar asam laktat, tergantung pada cepat

atau lambatnya proses glikolisis postmortem. Menurut Warner et al. (2010),

keempukan daging beragam tergantung laju glikolisis dan rigormotis yang terjadi

setelah pemotongan, serta pH akhir daging. Jika pH akhir daging lebih dari 6,1 maka

daging menjadi alot karena protein banyak mengikat air, dan juga dipengaruhi oleh

pemendekkan sarkomer.

Daya Mengikat Air

Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity

adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama

ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan,

penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Tingkat daya mengikat air ini

ditentukan oleh spesies, genetik, laju glikolisis, pH akhir, proses pemotongan, dan

waktu (Honikel, 1998). Penurunan pH postmortem dapat mempengaruhi nilai daya

mengikat air, semakin tinggi pH akhir maka semakin sedikit penurunan daya

mengikat air. Daya mengikat air yang menurun berasal dari pH tinggi yaitu 7-10

hingga pH titik isoelektrik protein daging antara 5,0-5,1 (Lawrie, 2003).

Kualitas daging berhubungan dengan umur dan lemak intermuskular yang

juga berpengaruh terhadap daya mengikat air daging. Otot dengan kandungan lemak

intramuskuler tinggi cenderung memiliki daya mengikat air yang tinggi. Hubungan

antara lemak intramuskuler dengan daya mengikat air adalah kompleks. Lemak

intramuskuler akan melonggarkan mikrostruktur daging sehingga protein daging

dapat lebih kuat mengikat air (Soeparno, 2005). Selain itu, semakin tua umur ternak

yang dipotong, maka persentase lemak intramuskuler akan semakin tinggi. Daging

dengan lemak intramuskuler tinggi akan mempunyai daya mengikat air yang tinggi

(Zein, 1991).

Tipe otot yang berbeda dapat mempengaruhi daya mengikat air. Perbedaan

tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan aktivitas dan kandungan protein pada

otot. Daya mengikat air pada otot dada lebih rendah dibandingkan pada otot paha (B.

femoris). Otot yang sering digunakan untuk aktivitas seperti otot B. femoris

(26)

12 ini akan menyebabkan daya mengikat air turun sehingga nilai pH menjadi rendah

(Winarso, 2003).

Histologi Daging

Histologi merupakan metode yang banyak digunakan untuk mengamati

jaringan biologi secara mikroskopis, terutama digunakan untuk mengetahui tekstur

daging pada produk pangan. Teknik ini umumnya melalui tahapan pemotongan

jaringan yang sangat tipis dan pewarnaan dengan pewarna tertentu untuk melihat

kekontrasan warna dan mempermudah pengamatan jaringan pada mikroskop (Damez

dan Clerjon, 2008). Teknik ini telah digunakan untuk mengetahui pengaruh proses

setelah pemotongan terhadap serabut otot dalam daging. Salah satunya penelitian

Ichinoseki et al. (2006) mengenai pengaruh tekanan tinggi terhadap fibril kolagen

dalam jaringan ikat intermuskuler pada sapi, dan penelitian Rusman et al. (2007),

mengenai pengaruh tekanan tinggi dan panas terhadap otot sapi sedangkan Laville et

al. (2005) menganalisis karakteristik daging PSE dengan melihat jarak serabut otot

melalui pewarnaan hematoxylin-eosin-safran.

Daging dalam arti luas adalah komponen beberapa organ termasuk hati,

ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dikonsumsi di samping urat daging. Daging

juga merupakan komponen utama karkas. Komponen utama daging terdiri atas otot,

lemak, dan sejumlah jaringan ikat (kolagen, retikulin, dan elastin), pembuluh darah,

serta saraf (Lawrie, 2003).

Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Otot adalah jaringan

yang mempunyai struktur dan mempunyai fungsi utama sebagai penggerak. Ciri

suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya sehingga jumlah

jaringan ikat berbeda diantara otot. Jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan

daging (Soeparno, 2005). Menurut Warris (2000) semua otot memiliki struktur dasar

yang sama dan terdiri atas sel otot (serat) yang diikat bersama oleh jaringan ikat

menjadi beberapa kelompok.

Struktur Fibrus Otot

Otot tersusun dari banyak ikatan serabut otot yang lazim disebut fasikuli.

Fasikuli terdiri atas serabut-serabut otot, sedangkan serabut otot tersusun dari banyak

(27)

13 miofilamen. Berdasarkan ukuran otot dari yang terbesar hingga yang terkecil, otot

tersusun dari fasikuli, serabut otot, miofibril dan miofilamen. Komponen utama

jaringan ikat terdiri atas endomisium, perimisium, dan epimisium (Harper, 1999).

Ukuran suatu ikatan serabut otot (fasikuli) ditentukan oleh jumlah serabut dan jumlah

perimisium yang mengelilingi dan menyelimuti setiap ikatan serabut otot (Soeparno,

2005). Warris (2000) menyatakan jaringan ikat tersusun dari epimisium yang

terdapat di sekeliling otot dan terletak diantara fasikuli dan endomisium terdapat

diantara serabut otot. Umumnya, diameter serabut otot yaitu berkisar antara

60-100µm. Namun, untuk ternak yang lebih muda ukuran diameternya dapat lebih kecil

dari diameter serabut otot pada umumnya.

Serabut otot tersusun sebagai berkas yang dibungkus oleh jaringan ikat

fibrosa. Jaringan pengikat di antara masing-masing serabut otot disebut endomisium.

Bungkus berkas serabut otot disebut perimisium dan jaringan pengikat yang

membungkus otot itu secara keseluruhan disebut epimisium. Perbandingan antara

jaringan pengikat terhadap jaringan otot dan jumlah lemak atau marbling

menentukan kekenyalan dan kekerasan relatif sepotong daging (Frandson, 1992).

Gambar 2. Struktur Anatomi Otot Sumber : people.eku.edu

Secara histologi, serabut-serabut otot terdiri atas nukleus, mitokondria,

(28)

14 bervariasi di bawah sarkolema. Mitokondria mengandung enzim untuk metabolisme

aerobik. Retikulum sarkoplasma berfungsi sebagai ruang penyimpanan ion kalsium.

Sarkoplasma mengandung lysosom yang berfungsi untuk menyimpan berbagai

enzim proteolitik, dan butiran-butiran glikogen (Warris, 2000).

Komponen utama dari jaringan ikat adalah kolagen dan protein elastin. Serat

kolagen tidak bercabang, kuat, dan tidak elastis sedangkan elastin memiliki bentuk

yang bercabang dan elastis. Kolagen dapat membentuk struktur otot yang kuat yang

merupakan komponen utama dalam pembentukan kulit (Warris, 2000). Kolagen

merupakan protein yang paling luas terdapat di dalam tubuh hewan meliputi

20%-25% dari total tubuh protein tubuh mamalia. Kolagen merupakan protein struktural

pokok pada jaringan ikat dan memiliki pengaruh yang besar terhadap kealotan

daging. Kadar kolagen daging dapat berbeda diantara jenis kelamin, umur dan

diantara daging pada karkas yang sama. Perbedaan kandungan kolagen ini sangat

menentukan nilai ekonomis bagian-bagian karkas dan daging. Ikatan silang kovalen

meningkat selama pertumbuhan dan perkembangan ternak. Ternak yang lebih tua

akan menghasilkan daging yang cenderung lebih alot daripada daging yang ternak

muda pada bagian karkas yang sama (Soeparno, 2005).

Tingkat keempukan daging dapat dihubungkan dengan kategori protein otot

yaitu protein jaringan ikat (kolagen, elastin, retikulin, dan mukopolisakarida

matriks), miofibril (terutama miosin, aktin, dan tropomiosin), dan sarkoplasma.

Kontribusi masing-masing kategori protein tergantung pada tingkat kontraksi

miofibril, tipe otot, serta lama dan temperatur pemasakan. Kealotan atau keempukan

serabut otot pada kisaran pH 5,4-6,0 lebih banyak ditentukan oleh status kontraksi

serabut otot dibandingkan oleh status fisik serabut otot (Soeparno, 2005).

Konsentrat

Konsentrat merupakan suatu bahan pakan yang digunakan secara

bersama-sama dengan bahan pakan lain untuk meningkatkan nilai gizi agar menjadi pakan

yang bernutrisi lengkap (Tillman et al., 1998). Konsentrat merupakan pakan yang

mengandung protein kasar yang tinggi dengan serat kasar yang rendah yaitu di

bawah 18% dan mudah untuk dicerna oleh ternak. Fungsi penambahan konsentrat

(29)

15 nilai gizinya rendah sehingga dapat mencukupi kebutuhan gizi ternak yang sedang

tumbuh (Church, 1991).

Menurut Prihatman (2000), kelebihan konsentrat adalah sifatnya yang mudah

dicerna oleh ternak karena terbuat dari campuran beberapa bahan pakan sumber

energi seperti biji-bijian, pakan sumber protein seperti bungkil dan kacang-kacangan

serta adanya penambahan vitamin dan mineral. Namun ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam pembuatan konsentrat adalah ketersediaan harga satuan bahan

pakan, standar kualitas konsentrat, metode dan teknik pembuatan. Selain mudah

dicerna, konsentrat juga dapat meningkatkan bobot karkas pada ternak. Hal sesuai

dengan pernyataan Sunarlim dan Setiyanto (2005) dalam penelitiannya bahwa

pemberian konsentrat sebanyak 80% mampu meningkatkan bobot hidup, bobot

(30)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilakukan di tiga lokasi yaitu lokasi pemeliharaan dan

pemotongan di Penangkaran Mamalia Bidang Zoologi, Pusat Penelitian

Biologi-LIPI, Cibinong, dan pemotretan otot dengan mikroskop bertempat di Laboratorium Biosistimatika, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi- LIPI, Cibinong, Kabupaten

Bogor. Pengamatan sifat fisik daging landak dilakukan di Laboratorium Ilmu

Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

dan pengamatan mikrostruktur otot dilakukan di Laboratorium Anatomi dan

Histologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini telah

dilaksanakan pada bulan Juli 2011 hingga Februari 2012.

Materi

Landak

Penelitian ini menggunakan delapan ekor landak jawa (Hystrix javanica)

yang terdiri atas dua ekor landak jantan dan enam ekor landak betina. Kisaran bobot

awal landak jantan adalah 6,20-6,60 kg sedangkan betina 5,90-6,88 kg. Umur landak

yang dipelihara ± 1 tahun. Pada minggu ke-5 terdapat satu ekor betina landak jawa

(P1) yang sakit sehingga dagingnya tidak digunakan untuk pengujian sifat fisik

daging dan mikrostruktur otot.

Kandang

Kandang yang digunakan adalah delapan kandang individu berukuran 2,2 m x

1,9 m x 2,5 m, berdinding kawat loket dan berlantai beton. Setiap kandang diisi

masing-masing satu ekor landak.

Peralatan dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk pemeliharaan antara lain alat kebersihan,

tempat pakan, timbangan gantung, timbangan digital, termohygrometer digital,

kandang untuk penimbangan, pinset, nampan, pisau, selang air, kalkulator, dan alat

tulis. Peralatan yang digunakan dalam pengamatan kualitas fisik daging antara lain

(31)

17 bimetal, panci, kompor, kertas saring Whatman no. 41, kamera dan alat tulis serta

bahan yang digunakan dalam nilai pH adalah pH buffer 4 dan 7.

Peralatan yang digunakan dalam pengamatan mikrostruktur otot meliputi

scalpel, pinset, botol kaca, satu set alat bedah, gelas piala, gelas ukur, gelas obyek,

gelas penutup, kotak lembab, mikrotom, mikropipet, inkubator, blok kayu, tissue

holder, pembakar bunsen, tutup pagoda, lemari es, kertas label, kuas, pisau, dan

mikroskop compound yang dilengkapi dengan kamera. Bahan yang digunakan antara

lain larutan paraformaldehid 4% untuk pengawetan, parafin, alkohol (70%, 80%,

90%, 95%), larutan xylol, larutan pewarna hematoksilin, akuades, perekat entellan,

dan parafin.

Prosedur

Persiapan Kandang

Persiapan kandang dimulai dari pembersihan kandang dan desinfeksi

seminggu sebelum pemeliharaan. Setiap kandang diberi satu tempat pakan untuk

pakan perlakuan dan lampu untuk penerangan. Di bagian sisi kedua dinding kandang

ditutup dengan kerai bambu sebagai pelindung dan pengaruh cekaman sinar

matahari. Suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan termohygrometer

digital yang diletakkan di areal penangkaran (Gambar 3).

(32)

18 Pemeliharaan

Landak dipelihara selama 90 hari dan dihitung konsumsi pakannya setiap

hari, sedangkan penimbangan bobot badannya setiap 2 minggu sekali. Sebelum

penyembelihan, landak telah dipuasakan selama 24 jam dan ditimbang bobot

badannya. Setelah penyembelihan dan pengulitan, ditimbang bobot karkasnya. Pada

masing-masing kandang diberi identitas nama landak, keterangan jenis kelamin serta

jenis pakan yang diberikan. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi

dan sore. Jumlah pemberian pakan ditimbang dengan menggunakan timbangan

digital sesuai jenis perlakuan.

Pakan

Pakan yang diberikan adalah pakan kontrol (P0) dan pakan kontrol +

konsentrat (P1). Pakan P0 terdiri atas daun jaat hutan (Phaseolus sp.), bengkuang

(Pachyrhizus erosus), talas belitung (Xanthosoma sagittifolium), pisang siam (Musa

sp.), tomat (Solanum lycopersicum), dan jagung manis (Zea mays), sedangkan pakan

P1 yaitu berupa pelet untuk ikan koi (warna merah) (Gambar 4).

(a) (b)

Gambar 4. Pakan Landak Jawa Selama Penelitian. (a). Pakan Kontrol (P0); (b) Konsentrat Berupa Pelet Ikan Koi

(Sumber: Karima, 2011)

Setiap minggunya, landak diberikan tulang sapi rebus untuk asupan kalsium

dan juga berfungsi untuk mengasah gigi. Jumlah masing-masing pakan yang

(33)

19 Tabel 1. Jumlah Pemberian Pakan pada Landak Jawa Selama Penelitian

Jenis Pakan Perlakuan Pakan

P0 P1

Keterangan : P0= Pakan Kontrol; P1= Pakan Kontrol + Konsentrat

Tabel 2. Kandungan Nutrien Pakan Penelitian (% BK) Bahan Pakan Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Pengujian Nutrisi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi,

LIPI-Cibinong

Penyembelihan dan Penyimpanan Daging Landak

Setelah landak dipuasakan selama 24 jam, lalu dilakukan proses

penyembelihan dengan cara landak dimasukkan ke dalam karung, kemudian lehernya

disembelih menggunakan pisau yang yang tajam sesuai dengan syariat islam. Setelah

itu, tubuh landak digantung dan dikuliti untuk memisahkan antara kulit duri dengan

(34)

20 yang digunakan dalam pengamatan sifat fisik adalah karkas bagian kiri dan

selanjutnya karkas disimpan di dalam ruang pelayuan.

Pengamatan Kualitas Fisik Daging Landak

Sampel daging yang digunakan untuk mengetahui sifat fisik daging adalah dari

bagian paha belakang (leg) dengan jenis otot yang diuji adalah otot Biceps femoris

(BF). Sampel daging yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 5. Sifat fisik daging

landak yang diamati antara lain warna daging, warna lemak, nilai pH, susut masak,

tingkat keempukan, dan daya mengikat air.

A B

Gambar 5. Sampel Daging Landak Jawa yang Digunakan untuk Pengamatan Sifat Fisik Daging. A= Sampel Daging P0 (K1=♀, K2=♀, K3=♀, K4=♂); B= Sampel Daging P1 (KP1=♀, KP3=♂, KP4=♀)

(Sumber: Karima, 2011)

Warna Daging. Warna daging dilihat dari bagian paha belakang (leg) yang dibandingkan dengan Meat Colour Card Score dari AUS-MEAT dengan skala 1-7.

Semakin besar angka skala maka warna daging semakin merah kegelapan. Skala 1 =

merah muda pucat, skala 2 = agak merah muda, skala 3 = merah muda, skala 4=

merah cerah, skala 5= merah, skala 6=merah tua, skala 7=merah tua agak gelap.

Warna Lemak. Warna lemak pada bagian daging paha belakang (leg) dibandingkan dengan Fat Colour Card Score dari AUS-MEAT yang berskala 1-7, dimulai dengan

K3 K4

K1 K2

KP4

(35)

21 skala 1 yang menandakan warna putih hingga skala 7 yang berwarna kuning. Skala 1

= putih pucat, skala 2=putih, skala 3= putih agak kekuningan, skala 4=putih krem,

skala 5=kuning muda, skala 6=kuning, skala 7=kuning agak kecoklatan.

Nilai pH. Pengukuran nilai pH dilakukan dengan pH meter berdasarkan metode AOAC (1995). pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dalam larutan buffer pH 4 dan 7.

Ujung elektroda pH meter dicelupkan dalam larutan buffer pH 7, kemudian ditunggu

hingga terdengar bunyi yang menunjukkan bahwa kalibrasi pada larutan buffer pH 7

konstan. Setelah itu, ujung elektroda pH meter dicelupkan ke dalam larutan buffer

pH 4 hingga terdengar bunyi dan pHnya 4. Selanjutnya, pH meter ditusukkan pada

sampel daging dengan syarat searah dengan serat-serat otot lalu dilihat hingga pH

tersebut konstan di dalam layar pH meter.

Susut Masak. Sampel daging ditusuk dengan termometer bimetal dan direbus dalam 1 liter air sampai termometer menunjukkan suhu internal daging 80 oC.

Setelah itu, daging ditiriskan hingga beratnya konstan. Perhitungan susut masak yaitu

sebagai berikut :

% Susut Masak = Berat sebelum dimasak- Berat konstan setelah dimasak x 100% Berat sebelum dimasak

Tingkat Keempukan. Sampel daging ditusuk dengan termometer bimetal dan direbus dengan 1 liter air sampai suhu internal daging mencapai 80 oC lalu diangkat

dan ditiriskan. Setelah itu daging dicetak seperti selongsong dengan menggunakan

correr yang searah serabut daging dan berdiameter 1,27 cm, kemudian dipotong

melintang dengan menggunakan alat pemutus Warner-Blatzer untuk mengetahui

tingkat keempukan daging (kg/cm2). Warner Blatzer Force Shear merupakan alat

untuk mengukur tingkat keempukan dengan melihat gaya geser maksimum yang

terjadi ketika pemotongan sampel daging.

Daya Mengikat Air. Daya mengikat air (Water Holding Capacity) diukur dengan menggunakan Filter Paper Press Method. Sampel daging bagian paha belakang

seberat 0,3 gram diletakan pada kertas saring Whatman no. 41 dan ditekan diantara

dua plat besi dan dibebani dengan pemberat 35 kg selama 5 menit. Setelah 5 menit

(36)

22 pengepresan digambar pada plastik transparan. Luas area basah diperoleh dari hasil

pengurangan luas total area basah dengan luas area tertutup daging dengan

menggunakan alat planimeter. Pengukuran air bebas diukur dengan satuan % mgH2O

yaitu banyaknya persentase air bebas yang keluar dari dalam daging. Makin tinggi

nilai persentase mgH2O maka nilai daya mengikat air semakin rendah. Kandungan

air bebas dihitung menggunakan rumus :

Luas Area Basah (cm2) = (selisih lingkar luar – selisih lingkar dalam) 100

Pembuatan dan Pengamatan Preparat Mikrostruktur Otot

Histologi merupakan teknik untuk mempelajari jaringan normal dan diawali

dengan preparasi jaringan yang meliputi fiksasi jaringan, dehidrasi, clearing,

embedding sampel, sectioning, pewarnaan, dan mounting jaringan (OIE, 2003).

Sampel daging yang digunakan dalam pembuatan preparat otot berbeda dengan

sampel pada pengujian sifat fisik daging. Hal ini disebabkan oleh sampel daging

yang terbatas. Oleh karena itu sampel yang digunakan dalam pembuatan preparat

mikrostruktur otot adalah bagian loin atau otot Longissimus dorsi sebesar 1x1x1 cm3.

Proses pembuatan preparat histologi yaitu sebagai berikut :

Fiksasi Jaringan. Sampel daging kemudian difiksasi dengan paraformaldehid 4% selama 24 jam sampai proses berikutnya dilakukan. Tujuan fiksasi adalah untuk

menghentikan proses metabolisme jaringan dengan cepat (pengawetan jaringan).

Dehidrasi. Dehidrasi adalah pengambilan air dalam jaringan secara perlahan-lahan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat 70%, 80%, 90%, 95%,

masing-masing dilakukan selama 24 jam. Sampel dengan tissue holder dimasukkan ke dalam

(37)

23 Penjernihan (Clearing). Sampel dijernihkan dalam xylol I, II, dan III. Perendaman sampel di larutan xylol I dan II yaitu selama 1 jam sedangkan sampel yang direndam

pada xylol III selama 30 menit di suhu ruang. Tujuan penjernihan adalah untuk

menggantikan tempat alkohol dalam jaringan yang telah mengalami proses dehidrasi

sehingga jaringan akan menjadi jernih dan transparan.

Embedding. Embedding adalah proses pembuatan blok jaringan dengan

menggunakan paraffin. Penanaman jaringan ke dalam paraffin cair bertingkat A, B,

C, dan D masing-masing selama 30 menit di suhu inkubator (±62o C). Semua

peralatan yang digunakan untuk proses embedding harus selalu dalam keadaan

hangat untuk menghindari paraffin cair mengeras sebelum proses selesai. Sebanyak 4

jaringan dapat dimasukkan ke dalam 1 cetakan. Cetakan terlebih dahulu didinginkan

di atas mangkuk berisi air untuk mencegah terjadinya pembekuan paraffin bagian

atas. Blok jaringan kemudian dipotong dan dilekatkan pada blok kayu serta diberi

tanda agar tidak tertukar, lalu disimpan di dalam lemari es sebelum pemotongan

menggunakan mikrotom. Proses penanaman jaringan dalam blok paraffin bertujuan

untuk mempermudah proses penyayatan dengan bantuan mikrotom.

Sectioning (Pemotongan). Blok paraffin dipotong melintang dan memanjang pada ketebalan 4-5 µm menggunakan rotary mikrotom. Setelah mendapat potongan yang

paling baik, sayatan jaringan diapungkan dalam air dingin kemudian diapungkan

pada air di dalam water bath dengan suhu 40oC agar jaringan yang berkerut menjadi

meregang sehingga mempermudah dalam pengamatan jaringan otot di preparat

menggunakan mikroskop. Sayatan lalu dilekatkan di atas gelas objek dan dipanaskan

pada inkubator (±62 oC) selama 24 jam.

Pewarnaan Masson Trichrome. Pewarnaan Masson Trichrome bertujuan untuk memberikan kekontrasan warna antara jaringan ikat dan serabut otot sehingga

pengenalan bagian tertentu dapat lebih cepat dibedakan dan terlihat lebih jelas.

Serabut otot berwarna merah, kolagen berwarna biru, nukleus memiliki warna coklat

tetapi terkadang berwarna biru, dan keratin serta eritrosit berwarna oranye.

(38)

24 Gambar 6. Tahapan Proses Pewarnaan Masson Trichrome

Pengamatan Mikroskopik

Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop cahaya yang dilengkapi eye

peace berskala mikrometer. Parameter yang diukur antara lain diameter fasikulus,

diameter serabut otot, dan jarak antar fasikulus (pengukuran jaringan ikat).

Pengamatan dilakukan dengan mengevaluasi tiga lapang pandang yang berbeda dari

setiap preparat dan kemudian dirata-ratakan hasilnya. Sediaan yang telah diamati

secara mikroskopik kemudian difoto menggunakan kamera.

Diameter Serabut Otot. Pengukuran diameter serabut otot dilakukan dengan cara mengukur masing-masing lima serabut otot secara tegak lurus dalam fasikulus yang

terdapat pada setiap sampel preparat. Hasil pengukuran kemudian dirata-ratakan. Deparafinisasi

(39)

25 Diameter Fasikulus. Diameter fasikulus diukur pada tiga lapang pandang yang berbeda secara tegak lurus pada setiap sampel preparat dan hasilnya dirata-ratakan.

Ketebalan Jaringan Ikat. Ketebalan jaringan ikat diukur secara melintang pada jaringan ikat yang tidak terurai di tiap bidang pandang yang berbeda kemudian

hasilnya dirata-ratakan.

Rancangan Percobaan

Landak Jawa sebanyak delapan ekor dibagi menjadi dua kelompok secara

acak dan masing-masing kelompok diberi perlakuan pakan yang berbeda yaitu pakan

kontrol (P0) dan pakan kontrol dengan penambahan konsentrat (P1). Landak jantan

yang digunakan pada masing-masing perlakuan hanya satu ekor karena landak

tergolong satwa liar yang langka dan dilindungi, sehingga tidak mudah mendapatkan

satwa tersebut. Pengumpulan data dengan menggunakan satwa liar dalam jumlah yang terbatas dalam penelitian, maka pengambilan data diperbanyak dengan waktu

penelitian yang lebih panjang. Peubah yang diamati antara lain warna daging, warna

lemak, nilai pH, susut masak, keempukan, daya mengikat air, diameter serabut otot,

diameter fasikulus, dan ketebalan jaringan ikat.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan cara data dideskripsikan

dengan menginterpretasikan tabel hasil penelitian dalam kalimat pernyataan sehingga

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Penangkaran

Lokasi pemeliharaan landak Jawa dilakukan di Penangkaran Mamalia Kecil,

Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong, Kabupaten Bogor.

Menurut Bartos (2004), temperatur yang ideal untuk landak tropis adalah 21-29,4 oC. Kisaran suhu selama pemeliharaan adalah 21,5 oC-32,4 oC dengan rataan suhu dan

kelembaban sebagai berikut (Tabel 3).

Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Penelitian

Pengamatan Pagi Siang Sore

Suhu (oC) 23,7 ± 0,59 32,4 ± 0,90 29,5 ± 2,09

Kelembaban (%) 78,1 ± 8,40 45,6±4,83 55,8 ± 12,85

Keterangan : Pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan di dalam kandang penangkaran

Landak merupakan hewan nokturnal yaitu aktif di malam hari. Aktivitas

yang paling dominan pada landak jawa selama penelitian adalah istirahat diikuti

lokomosi, grooming, dan makan. Aktivitas makan pada landak jawa yaitu dengan

cara memegang pakan menggunakan kedua kaki depannya, kemudian pakan

dikunyah menggunakan giginya dan terdengar suara seperti orang mengecap.

Total konsumsi pakan landak jawa pada perlakuan pakan P0 dan P1 adalah

masing-masing sebesar 225,79±2,87 g/ekor/hari dan 247,74±9,23 g/ekor/hari.

Pertambahan bobot badan harian landak jawa jantan dan betina P0 ,masing-masing

sebesar 37,14 g/ekor/hari dan 14,76±7,33 g/ekor/hari, sedangkan pada landak jawa

jantan dan betina P1 masing-masing sebesar 11,43 g/ekor/hari dan 16,43±7,07

g/ekor/hari. Pada minggu ke-5 penelitian terdapat satu ekor landak jawa betina pada

perlakuan pakan P1 yang sakit akibat stres. Oleh karena itu, sampel daging landak

betina yang sakit pada perlakuan pakan P1 tidak digunakan untuk pengujian sifat

fisik daging dan mikrostruktur otot karena dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Karakteristik Fisik Daging Landak Jawa

Daging adalah semua jaringan hewan yang dapat dikonsumsi dan tidak

menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Daging dari suatu

spesies memiliki nilai penerimaan yang berbeda bagi konsumen. Hasil pengamatan

(41)

27 Tabel 4. Sifat Fisik Daging Landak Jawa

Sifat Fisik yang Diamati

Keterangan : P0: Pakan kontrol; P1: Pakan kontrol+konsentrat

Sifat fisik daging landak jawa dibandingkan dengan sifat fisik daging pada

ternak dan satwa liar lainnya, pada Tabel 5 berikut ini:

Tabel 5. Sifat Fisik Daging Ternak dan Satwa Liar Lainnya

Jenis Ternak Jenis Betina 5,67±0,06 53,60±3,65 1,36±0,27 35,78±9,75 Bandikut 1) Jantan 5,78±0,31 33,62±3,57 1,03±0,33 37,14±3,23 Betina 5,66±0,33 34,47±2,21 1,07±0,44 35,98±4,12

Kancil2) Jantan 6,81 41,29 1,61 32,90

Betina 6,83 49,04 2,00 32,75

KelinciLokal3) Jantan 5,67±0,07 40,77±3,28 4,12±0,30 108,57±12,87 Betina 6,13±0,19 40,48±3,50 1,98±1,46 133,29±18,52 Kelinci Rex3) Jantan 5,86±0,16 36,01±4,19 4,54±0,13 104,71±13,02 Betina 5,92±0,24 35,63±3,84 4,44±0,42 122,18±9,06 Sapi BX4) Jantana 5,56±0,06 37,53±1,85 2,79±1,14 -

Betinab 5,68±0,11 40,5±3,00 7,79±0,76 29,24±2,91 Kerbau5) Jantan 5,63±0,30 47,84±5,04 8,11±2,24 0,32±0,17

Betina 6,06±0,64 37,89±15,3 5,89±3,54 0,30±0,24 Rusa Sambar6) - 6,46±0,25 53,31±6,04 4,92±0,50 33,52±1,74

Tikus Putih7) - 6,22±0,05 - - 31,61±2,36

Trenggiling8) - 6,17 35,12 - -

Keterangan : DMA = Daya Mengikat Air , BX = Brahman Cross, *) Hasil penelitian; 1) Warsono dan Priyanto (2011); 2) Rosyidi et al. (2010); 3) Setiawan (2009); 4a) Brahmantiyo (2000), 4b)Ridwan (2011),

5)

(42)

28 Warna Daging

Warna merupakan komponen terpenting dalam penampakan daging segar dan

sangat berpengaruh terhadap ketertarikan konsumen terhadap daging dibanding

karakteristik daging lainnya. Umumnya, konsumen cenderung menilai daging yang

segar adalah daging yang berwarna merah cerah. Adapun warna daging dipengaruhi

oleh pemberian pakan yang diberikan pada ternak (O’Sullivan et al., 2004). Berdasarkan hasil yang diperoleh perbedaan pemberian pakan P0 dan P1 pada landak

jawa adalah sama yaitu berwarna agak merah muda dengan skala 2 pada Meat Colour Card Score AUS-MEAT.

Warna daging menurut Soeparno (2005) lebih dipengaruhi oleh umur, stres ,

tingkat aktivitas, tipe otot, dan pH. Faktor-faktor tersebut menurut Lawrie (2003),

dapat mempengaruhi konsentrasi dan status kimia mioglobin, kondisi kimia serta

fisik dari komponen lain dalam daging berperan besar dalam menentukan warna

daging. Umur dan aktivitas yang sama pada landak jawa jantan dan betina selama

penangkaran menyebabkan warna daging berwarna agak merah muda.

Warna daging juga dapat dipengaruhi oleh tingkat stres. Tingkat stres pada

landak pun dikurangi ketika pemotongan antara lain dengan cara pemuasaan sehari

sebelumnya. Soeparno (2005) menyatakan bahwa pemuasaan pada ternak bertujuan

untuk mempermudah proses penyembelihan terutama pada ternak yang agresif atau

liar karena dengan dipuasakan ternak menjadi lebih tenang.

Warris (2000) menyatakan bahwa konsentrasi mioglobin yang tinggi dapat

ditemukan pada otot-otot yang digunakan secara aktif, lalu pada ternak yang

dipelihara secara bebas, dan pada ternak yang sudah tua. Sampel daging yang

digunakan pada pengamatan sifat fisik daging adalah pada otot Biceps femoris. Otot

B. femoris merupakan salah satu tipe otot yang aktif karena sering digunakan untuk

bergerak, namun berdasarkan pengamatan tingkah laku selama penangkaran yang

paling dominan adalah istirahat sehingga berpengaruh terhadap warna daging yang

berwarna agak merah muda pada landak jawa. Menurut African Wildlife

Conservation (2012), landak merupakan hewan nocturnal yaitu hewan yang

beraktivitas di malam hari. Oleh karena itu, selama di penangkaran landak jawa lebih

banyak menghabiskan waktu istirahatnya di siang hari.

Selain itu, kandungan kolesterol yang rendah pada daging landak jawa

(43)

29 menyerupai daging kelinci yang tergolong ke dalam daging putih (white meat)

(Sulistya, 2007). Menurut Forrest et al. (1975), daging putih memiliki kandungan

lemak yang rendah dan kandungan glikogen yang tinggi. Daging putih memiliki serat

yang lebih besar, mengandung lebih sedikit mioglobin, mitokondria, dan enzim

respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot singkat dan cepat dengan frekuensi

istirahat dan kandungan glikogen yang banyak sedangkan pada daging merah

sebaliknya (Lawrie, 2003). Daging putih memiliki kandungan kolesterol dibawah 5

%, sehingga dari segi kesehatan mampu menurunkan resiko kolesterol dan penyakit

jantung (Suradi, 1994).

Warna Lemak

Whytes dan Ramsay (1994) menyatakan bahwa warna lemak cenderung

dipengaruhi oleh umur dan pakan. Umur landak jawa (P0 dan P1) dalam penelitian

ini berumur kurang lebih 1 tahun menyebabkan lemak pada daging adalah sama yaitu

berwarna putih atau berada di skala 2 pada Fat Colour Card Score AUS-MEAT.

Warna lemak daging landak jawa apabila dibandingkan dengan warna lemak kerbau

pada umur yang sama (±1 tahun) menunjukkan warna lemak yang berbeda pada

kedua jenis ternak tersebut yaitu berwarna putih pada landak jawa sedangkan pada

warna lemak kerbau berwarna putih kekuningan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan

bahwa selain umur, jenis ternak yang berbeda juga mempengaruhi warna lemak.

Warna lemak pada landak jawa dengan perlakuan pakan yang berbeda (P0

dan P1) menghasilkan warna lemak yang sama yaitu berwarna putih. Hal ini

disebabkan oleh total konsumsi hijauan yang tidak jauh berbeda pada kedua

perlakuan pakan tersebut. Rataan total konsumsi pakan oleh landak jawa selama

penelitian menunjukkan pakan P0 lebih banyak dikonsumsi dibandingkan pakan P1

(225,79±2,87 g/ekor/hari dan 202,57±3,40 g/ekor/hari) dengan total pakan konsentrat

(pelet koi) yang dikonsumsi landak jawa sebanyak 45,18±5,83 g/ekor/hari. Hal ini

karena landak merupakan satwa liar yang termasuk ke dalam hewan pemakan

tumbuhan (herbivora). Di habitat aslinya, landak umumnya mengonsumsi

buah-buahan hutan, hijauan, sedangkan ketika berada di penangkaran landak

membutuhkan adaptasi yang lama untuk dapat mengonsumsi pakan yang baru seperti

(44)

30 untuk memakan pelet karena landak umumnya akan memegang pakan dan

mengunyahnya di dalam mulut.

Ternak yang mengonsumsi hijauan lebih banyak dengan kandungan

karotenoid yang tinggi akan menyebabkan warna lemak menjadi berwarna putih

kekuningan, namun sebagian besar kandungan karoten pada pakan kontrol sangat

rendah, kecuali pada jagung dan tomat. Suarni dan Widowati (2009), kandungan

karotenoid pada jagung biji kuning berkisar antara 6,4-11,3 μg/g, 22% di antaranya

adalah betakaroten dan 51% kriptosantin. Menurut Nurhidayat (2011), kandungan

karoten pada tomat yaitu sekitar 85%. Winarno (2002) menyatakan bahwa

karotenoid merupakan zat alami yang termasuk ke dalam suatu kelompok pigmen

berwarna oranye, merah atau kuning. Karotenoid umumnya terdapat pada tomat,

kulit pisang, pepaya, wortel, ubi jalar, dan mangga. Kandungan karoten yang

terdapat tomat adalah likopen yang merupakan senyawa yang memberi warna merah

pada tomat sedangkan pada jagung adalah lutein dan zeaxantin yang memberikan

pigmentasi warna kuning pada jagung.

Nilai pH

Nilai pH daging menunjukkan kualitas dan ketahanan daging sebagai bahan

pangan yang bergizi tinggi. Selain itu, nilai pH juga berpengaruh pada sifat-sifat

fisik daging yang lain seperti warna daging, susut masak, keempukan, daya mengikat

air. Berdasarkan hasil pengukuran nilai pH daging landak jawa baik jantan maupun

betina yang diberi pakan P0 dan P1 berada di kisaran nilai pH daging segar yaitu 5,6

(Tabel 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Lawrie (2003) bahwa pH normal daging

segar yaitu berkisar antara 5,4-5,8.

Nilai pH daging di antara ternak atau hewan setelah dipotong dapat

dipengaruhi oleh perbedaan spesies, tipe otot, dan variabiitas antar hewan serta

perlakuan sebelum pemotongan (Lawrie, 2003). Jenis ternak yang berbeda akan

menghasilkan nilai pH yang berbeda pula, namun pada penelitian ini nilai pH daging

landak jawa baik jantan dan betina menunjukkan nilai pH yang relatif sama dengan

nilai pH pada bandikut, kelinci lokal jantan, kerbau jantan, dan sapi BX yaitu berada

di kisaran 5,63-5,92(Tabel 5). Menurut Rao et al. (2009) nilai pH lebih dipengaruhi

oleh perbedaan jenis kelamin dibandingkan umur. Variasi nilai pH pada jenis

(45)

31 jantan umumnya memiliki perangai yang lebih agresif dibandingkan betina sehingga

otot jantan lebih aktif. Otot yang sering digunakan secara aktif berpengaruh terhadap

kandungan asam laktat yang dihasilkan sehingga nilai pH jantan akan lebih rendah

dibanding betina. Sunarlim dan Setiyanto (2005) menyatakan perbedaan tipe otot

antara domba dan kambing kacang jantan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH

Longissimus dorsi dan Biceps femoris karena produksi asam laktat postmortem yang

relatif sama. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi asam laktat yang dihasilkan dari

glikogen otot yang sama sangat berpengaruh terhadap nilai pH.

Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak. pH otot

setelah pemotongan ditentukan oleh laju glikolisis dan cadangan glikogen dalam

otot. Saat ternak dipotong terjadi perubahan proses glikolisis aerob menjadi anaerob.

Glikolisis anaerob sangat tergantung pada ketersediaan glikogen dalam otot.

Glikogen adalah substrat metabolik dalam proses glikolisis postmortem yang

menghasilkan asam laktat sehingga dapat menurunkan nilai pH daging. Proses yang

terjadi adalah perombakan glikogen menjadi asam laktat secara terus menerus hingga

cadangan glikogen habis dan pH daging menjadi rendah sehingga dapat

menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik. Nilai pH yang tercapai setelah

glikogen otot menjadi habis dan enzim glikolitik tidak aktif pada pH rendah disebut

pH ultimat daging. Nilai pH ultimat daging postmortem yaitu antara 5,4-5,5 karena

umumnya glikogen tidak dapat ditemukan pada pH tersebut (Soeparno, 2005).

Susut Masak

Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan

dengan kadar juiciness pada daging. Persentase susut masak pada daging landak jawa

jantan dan betina yang diberikan pakan P0 yaitu 54,38 % dan 53,63±5,01 %, namun

susut masak daging landak jawa jantan dan betina yang diberi pakan P1 yaitu 54,55

% dan 53,55±1,72 % (Tabel 4). Jika dibandingkan dengan susut masak daging sapi

BX, kisaran susut masak pada landak jawa (53-54%) lebih tinggi daripada susut

masak pada daging sapi BX (37-40%). Menurut Soeparno (2005) bahwa kisaran

susut masak pada daging sapi sangat beragam yaitu 15-40% (Tabel 5). Selain sapi,

susut masak pada daging landak Jawa memiliki persentase susut masak yang lebih

Gambar

Gambar 3.  Kandang Individu
Gambar 4.  Pakan Landak Jawa Selama Penelitian. (a). Pakan Kontrol (P0); (b)
Gambar 5.  Sampel Daging Landak Jawa yang Digunakan untuk Pengamatan Sifat
Gambar 6.  Tahapan Proses Pewarnaan Masson Trichrome
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan sifat fisik daging ayam broiler selama penyimpanan temperatur ruang yang meliputi pH, daya ikat air dan susut

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan sifat fisik daging ayam broiler selama penyimpanan temperatur ruang yang meliputi pH, daya ikat air dan susut

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi VFA pada perlakuan penambahan ubi kayu pada jam ke 6 pada pakan basal jerami padi fermentasi lebih tinggi

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat di- simpulkan bahwa konsumsi BK, BO, PK, TDN per individu pada induk sapi SIMPO dengan pakan hijauan dan konsentrat lebih tinggi dari pada PO

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jumlah penambahan tepung tulang bandeng terhadap sifat fisik (kemekaran linier, tekstur dan warna), sifat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung limbah penetasan pada pakan terhadap persentase karkas dan persentase giblet (jantung, hati, gizzard

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penambahan minyak kedelai dengan kadar berbeda dalam pakan komersial pada ikan patin perkasa Pangasianodon hypophthalmus