Kondisi Umum Penangkaran
Lokasi pemeliharaan landak Jawa dilakukan di Penangkaran Mamalia Kecil, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong, Kabupaten Bogor. Menurut Bartos (2004), temperatur yang ideal untuk landak tropis adalah 21-29,4 oC. Kisaran suhu selama pemeliharaan adalah 21,5 oC-32,4 oC dengan rataan suhu dan kelembaban sebagai berikut (Tabel 3).
Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Penelitian
Pengamatan Pagi Siang Sore
Suhu (oC) 23,7 ± 0,59 32,4 ± 0,90 29,5 ± 2,09
Kelembaban (%) 78,1 ± 8,40 45,6±4,83 55,8 ± 12,85
Keterangan : Pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan di dalam kandang penangkaran
Landak merupakan hewan nokturnal yaitu aktif di malam hari. Aktivitas yang paling dominan pada landak jawa selama penelitian adalah istirahat diikuti lokomosi, grooming, dan makan. Aktivitas makan pada landak jawa yaitu dengan cara memegang pakan menggunakan kedua kaki depannya, kemudian pakan dikunyah menggunakan giginya dan terdengar suara seperti orang mengecap.
Total konsumsi pakan landak jawa pada perlakuan pakan P0 dan P1 adalah masing-masing sebesar 225,79±2,87 g/ekor/hari dan 247,74±9,23 g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan harian landak jawa jantan dan betina P0 ,masing-masing sebesar 37,14 g/ekor/hari dan 14,76±7,33 g/ekor/hari, sedangkan pada landak jawa jantan dan betina P1 masing-masing sebesar 11,43 g/ekor/hari dan 16,43±7,07 g/ekor/hari. Pada minggu ke-5 penelitian terdapat satu ekor landak jawa betina pada perlakuan pakan P1 yang sakit akibat stres. Oleh karena itu, sampel daging landak betina yang sakit pada perlakuan pakan P1 tidak digunakan untuk pengujian sifat fisik daging dan mikrostruktur otot karena dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Karakteristik Fisik Daging Landak Jawa
Daging adalah semua jaringan hewan yang dapat dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Daging dari suatu spesies memiliki nilai penerimaan yang berbeda bagi konsumen. Hasil pengamatan sifat fisik daging landak jawa dapat dilihat pada Tabel 4.
27 Tabel 4. Sifat Fisik Daging Landak Jawa
Sifat Fisik yang Diamati
Perlakuan Pakan P0 P1 ♂ ♀ ♂ ♀ Warna Daging 2,00 2,00 2,00 2,00 Warna Lemak 2,00 2,00 2,00 2,00 Nilai pH 5,66 5,65 ± 0,08 5,61 5,69±0,06 Susut Masak (%) 54,38 53,63±5,01 54,55 53,55±1,72 Keempukan (kg/cm2) 2,35 1,33±0,32 1,30 1,40±0,28 Daya Mengikat Air (%mgH2O) 33,62 37,48±12,71 34,75 33,23±5,98 Keterangan : P0: Pakan kontrol; P1: Pakan kontrol+konsentrat
Sifat fisik daging landak jawa dibandingkan dengan sifat fisik daging pada ternak dan satwa liar lainnya, pada Tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Sifat Fisik Daging Ternak dan Satwa Liar Lainnya
Jenis Ternak Jenis Kelamin
Sifat Fisik Daging Nilai pH Susut Masak (%) Keempukan (kg/cm2) DMA (%mgH2O) Landak Jawa *) Jantan 5,63±0,03 54,46±0,12 1,83±0,74 34,18±0,79 Betina 5,67±0,06 53,60±3,65 1,36±0,27 35,78±9,75 Bandikut 1) Jantan 5,78±0,31 33,62±3,57 1,03±0,33 37,14±3,23 Betina 5,66±0,33 34,47±2,21 1,07±0,44 35,98±4,12
Kancil2) Jantan 6,81 41,29 1,61 32,90
Betina 6,83 49,04 2,00 32,75
KelinciLokal3) Jantan 5,67±0,07 40,77±3,28 4,12±0,30 108,57±12,87 Betina 6,13±0,19 40,48±3,50 1,98±1,46 133,29±18,52 Kelinci Rex3) Jantan 5,86±0,16 36,01±4,19 4,54±0,13 104,71±13,02 Betina 5,92±0,24 35,63±3,84 4,44±0,42 122,18±9,06 Sapi BX4) Jantana 5,56±0,06 37,53±1,85 2,79±1,14 - Betinab 5,68±0,11 40,5±3,00 7,79±0,76 29,24±2,91 Kerbau5) Jantan 5,63±0,30 47,84±5,04 8,11±2,24 0,32±0,17 Betina 6,06±0,64 37,89±15,3 5,89±3,54 0,30±0,24 Rusa Sambar6) - 6,46±0,25 53,31±6,04 4,92±0,50 33,52±1,74 Tikus Putih7) - 6,22±0,05 - - 31,61±2,36 Trenggiling8) - 6,17 35,12 - -
Keterangan : DMA = Daya Mengikat Air , BX = Brahman Cross, *) Hasil penelitian; 1) Warsono dan Priyanto (2011); 2) Rosyidi et al. (2010); 3) Setiawan (2009); 4a) Brahmantiyo (2000), 4b)Ridwan (2011),
5)
28 Warna Daging
Warna merupakan komponen terpenting dalam penampakan daging segar dan sangat berpengaruh terhadap ketertarikan konsumen terhadap daging dibanding karakteristik daging lainnya. Umumnya, konsumen cenderung menilai daging yang segar adalah daging yang berwarna merah cerah. Adapun warna daging dipengaruhi oleh pemberian pakan yang diberikan pada ternak (O’Sullivan et al., 2004). Berdasarkan hasil yang diperoleh perbedaan pemberian pakan P0 dan P1 pada landak jawa adalah sama yaitu berwarna agak merah muda dengan skala 2 pada Meat Colour Card Score AUS-MEAT.
Warna daging menurut Soeparno (2005) lebih dipengaruhi oleh umur, stres , tingkat aktivitas, tipe otot, dan pH. Faktor-faktor tersebut menurut Lawrie (2003), dapat mempengaruhi konsentrasi dan status kimia mioglobin, kondisi kimia serta fisik dari komponen lain dalam daging berperan besar dalam menentukan warna daging. Umur dan aktivitas yang sama pada landak jawa jantan dan betina selama penangkaran menyebabkan warna daging berwarna agak merah muda.
Warna daging juga dapat dipengaruhi oleh tingkat stres. Tingkat stres pada landak pun dikurangi ketika pemotongan antara lain dengan cara pemuasaan sehari sebelumnya. Soeparno (2005) menyatakan bahwa pemuasaan pada ternak bertujuan untuk mempermudah proses penyembelihan terutama pada ternak yang agresif atau liar karena dengan dipuasakan ternak menjadi lebih tenang.
Warris (2000) menyatakan bahwa konsentrasi mioglobin yang tinggi dapat ditemukan pada otot-otot yang digunakan secara aktif, lalu pada ternak yang dipelihara secara bebas, dan pada ternak yang sudah tua. Sampel daging yang digunakan pada pengamatan sifat fisik daging adalah pada otot Biceps femoris. Otot
B. femoris merupakan salah satu tipe otot yang aktif karena sering digunakan untuk bergerak, namun berdasarkan pengamatan tingkah laku selama penangkaran yang paling dominan adalah istirahat sehingga berpengaruh terhadap warna daging yang berwarna agak merah muda pada landak jawa. Menurut African Wildlife Conservation (2012), landak merupakan hewan nocturnal yaitu hewan yang beraktivitas di malam hari. Oleh karena itu, selama di penangkaran landak jawa lebih banyak menghabiskan waktu istirahatnya di siang hari.
Selain itu, kandungan kolesterol yang rendah pada daging landak jawa menyebabkan warna daging landak jawa berwarna agak merah muda dan
29 menyerupai daging kelinci yang tergolong ke dalam daging putih (white meat) (Sulistya, 2007). Menurut Forrest et al. (1975), daging putih memiliki kandungan lemak yang rendah dan kandungan glikogen yang tinggi. Daging putih memiliki serat yang lebih besar, mengandung lebih sedikit mioglobin, mitokondria, dan enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot singkat dan cepat dengan frekuensi istirahat dan kandungan glikogen yang banyak sedangkan pada daging merah sebaliknya (Lawrie, 2003). Daging putih memiliki kandungan kolesterol dibawah 5 %, sehingga dari segi kesehatan mampu menurunkan resiko kolesterol dan penyakit jantung (Suradi, 1994).
Warna Lemak
Whytes dan Ramsay (1994) menyatakan bahwa warna lemak cenderung dipengaruhi oleh umur dan pakan. Umur landak jawa (P0 dan P1) dalam penelitian ini berumur kurang lebih 1 tahun menyebabkan lemak pada daging adalah sama yaitu berwarna putih atau berada di skala 2 pada Fat Colour Card Score AUS-MEAT. Warna lemak daging landak jawa apabila dibandingkan dengan warna lemak kerbau pada umur yang sama (±1 tahun) menunjukkan warna lemak yang berbeda pada kedua jenis ternak tersebut yaitu berwarna putih pada landak jawa sedangkan pada warna lemak kerbau berwarna putih kekuningan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa selain umur, jenis ternak yang berbeda juga mempengaruhi warna lemak.
Warna lemak pada landak jawa dengan perlakuan pakan yang berbeda (P0 dan P1) menghasilkan warna lemak yang sama yaitu berwarna putih. Hal ini disebabkan oleh total konsumsi hijauan yang tidak jauh berbeda pada kedua perlakuan pakan tersebut. Rataan total konsumsi pakan oleh landak jawa selama penelitian menunjukkan pakan P0 lebih banyak dikonsumsi dibandingkan pakan P1 (225,79±2,87 g/ekor/hari dan 202,57±3,40 g/ekor/hari) dengan total pakan konsentrat (pelet koi) yang dikonsumsi landak jawa sebanyak 45,18±5,83 g/ekor/hari. Hal ini karena landak merupakan satwa liar yang termasuk ke dalam hewan pemakan tumbuhan (herbivora). Di habitat aslinya, landak umumnya mengonsumsi buah-buahan hutan, hijauan, sedangkan ketika berada di penangkaran landak membutuhkan adaptasi yang lama untuk dapat mengonsumsi pakan yang baru seperti pelet. Selain itu, ukuran pelet yang berukuran kecil menyebabkan landak kesulitan
30 untuk memakan pelet karena landak umumnya akan memegang pakan dan mengunyahnya di dalam mulut.
Ternak yang mengonsumsi hijauan lebih banyak dengan kandungan karotenoid yang tinggi akan menyebabkan warna lemak menjadi berwarna putih kekuningan, namun sebagian besar kandungan karoten pada pakan kontrol sangat rendah, kecuali pada jagung dan tomat. Suarni dan Widowati (2009), kandungan karotenoid pada jagung biji kuning berkisar antara 6,4-11,3 μg/g, 22% di antaranya
adalah betakaroten dan 51% kriptosantin. Menurut Nurhidayat (2011), kandungan karoten pada tomat yaitu sekitar 85%. Winarno (2002) menyatakan bahwa karotenoid merupakan zat alami yang termasuk ke dalam suatu kelompok pigmen berwarna oranye, merah atau kuning. Karotenoid umumnya terdapat pada tomat, kulit pisang, pepaya, wortel, ubi jalar, dan mangga. Kandungan karoten yang terdapat tomat adalah likopen yang merupakan senyawa yang memberi warna merah pada tomat sedangkan pada jagung adalah lutein dan zeaxantin yang memberikan pigmentasi warna kuning pada jagung.
Nilai pH
Nilai pH daging menunjukkan kualitas dan ketahanan daging sebagai bahan pangan yang bergizi tinggi. Selain itu, nilai pH juga berpengaruh pada sifat-sifat fisik daging yang lain seperti warna daging, susut masak, keempukan, daya mengikat air. Berdasarkan hasil pengukuran nilai pH daging landak jawa baik jantan maupun betina yang diberi pakan P0 dan P1 berada di kisaran nilai pH daging segar yaitu 5,6 (Tabel 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Lawrie (2003) bahwa pH normal daging segar yaitu berkisar antara 5,4-5,8.
Nilai pH daging di antara ternak atau hewan setelah dipotong dapat dipengaruhi oleh perbedaan spesies, tipe otot, dan variabiitas antar hewan serta perlakuan sebelum pemotongan (Lawrie, 2003). Jenis ternak yang berbeda akan menghasilkan nilai pH yang berbeda pula, namun pada penelitian ini nilai pH daging landak jawa baik jantan dan betina menunjukkan nilai pH yang relatif sama dengan nilai pH pada bandikut, kelinci lokal jantan, kerbau jantan, dan sapi BX yaitu berada di kisaran 5,63-5,92(Tabel 5). Menurut Rao et al. (2009) nilai pH lebih dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin dibandingkan umur. Variasi nilai pH pada jenis kelamin yang berbeda disebabkan oleh tingkah laku pada hewan tersebut. Hewan
31 jantan umumnya memiliki perangai yang lebih agresif dibandingkan betina sehingga otot jantan lebih aktif. Otot yang sering digunakan secara aktif berpengaruh terhadap kandungan asam laktat yang dihasilkan sehingga nilai pH jantan akan lebih rendah dibanding betina. Sunarlim dan Setiyanto (2005) menyatakan perbedaan tipe otot antara domba dan kambing kacang jantan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH
Longissimus dorsi dan Biceps femoris karena produksi asam laktat postmortem yang relatif sama. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi asam laktat yang dihasilkan dari glikogen otot yang sama sangat berpengaruh terhadap nilai pH.
Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak. pH otot setelah pemotongan ditentukan oleh laju glikolisis dan cadangan glikogen dalam otot. Saat ternak dipotong terjadi perubahan proses glikolisis aerob menjadi anaerob. Glikolisis anaerob sangat tergantung pada ketersediaan glikogen dalam otot. Glikogen adalah substrat metabolik dalam proses glikolisis postmortem yang menghasilkan asam laktat sehingga dapat menurunkan nilai pH daging. Proses yang terjadi adalah perombakan glikogen menjadi asam laktat secara terus menerus hingga cadangan glikogen habis dan pH daging menjadi rendah sehingga dapat menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik. Nilai pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis dan enzim glikolitik tidak aktif pada pH rendah disebut pH ultimat daging. Nilai pH ultimat daging postmortem yaitu antara 5,4-5,5 karena umumnya glikogen tidak dapat ditemukan pada pH tersebut (Soeparno, 2005).
Susut Masak
Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar juiciness pada daging. Persentase susut masak pada daging landak jawa jantan dan betina yang diberikan pakan P0 yaitu 54,38 % dan 53,63±5,01 %, namun susut masak daging landak jawa jantan dan betina yang diberi pakan P1 yaitu 54,55 % dan 53,55±1,72 % (Tabel 4). Jika dibandingkan dengan susut masak daging sapi BX, kisaran susut masak pada landak jawa (53-54%) lebih tinggi daripada susut masak pada daging sapi BX (37-40%). Menurut Soeparno (2005) bahwa kisaran susut masak pada daging sapi sangat beragam yaitu 15-40% (Tabel 5). Selain sapi, susut masak pada daging landak Jawa memiliki persentase susut masak yang lebih tinggi daripada bandikut, kancil, kelinci lokal, kelinci rex, kerbau, dan trenggiling
32 (Tabel 5). Susut masak yang tinggi pada daging landak jawa menunjukkan banyaknya nutrisi yang hilang selama pemasakan.
Susut masak dipengaruhi oleh temperatur pemasakan. makin tinggi temperatur pemasakan dan makin lama waktu pemasakan maka makin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Selain itu, susut masak juga dipengaruhi oleh daya mengikat air. Semakin tinggi daya mengikat air maka susut masaknya semakin rendah. Daya mengikat air dipengaruhi oleh penanganan ternak sebelum dan setelah dipotong karena berkaitan dengan nilai pH daging. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Aulia et al. (2005) bahwa penanganan
antemortem dan postmortem yang efektif pada sapi lokal dengan impor mampu mempertahankan nilai daya mengikat air yang tinggi.
Keempukan
Keempukan daging merupakan penentu terpenting pada kualitas daging terutama pada penerimaan konsumen untuk membeli dan mengonsumsi daging. Soeparno (2005) menyatakan faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin, stres, sedangkan faktor postmortem
yang mempengaruhi keempukan diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan, faktor lama dan waktu penyimpanan, metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk.
Keempukan daging pada landak Jawa baik jantan maupun betina pada perlakuan pakan P0 dan P1 tergolong ke dalam kategori daging yang sangat empuk yaitu berada di kisaran 1,30-2,35 kg/cm2 (Tabel 4), sebagaimana yang dinyatakan Belew et al. (2002) bahwa nilai daya iris Warner Blatzer Shear (WBS) dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu sangat empuk (WBS<3,2), empuk (3,2<WBS<3,9), sedang (3,9<WBS<4,6), dan keras (WBS>4,6). Selain itu, keempukan daging pada landak jawa relatif sama dengan bandikut, kancil, dan kelinci lokal betina yaitu berada di kategori sangat empuk (Tabel 5). Ketiga hewan tersebut (landak jawa, bandikut, dan kancil) merupakan hewan liar, sebagaimana pernyataan Williamson dan Payne (1993) bahwa keempukan daging hewan liar tergolong sangat empuk karena serat-serat ototnya relatif kecil atau tekstur ototnya lebih halus.
33 Menurut Lawrie (2003) keempukan daging dipengaruhi oleh kandungan jaringan ikat yang terdapat pada daging. Daging yang lebih banyak mengandung jaringan ikat cenderung memiliki tingkat keempukan yang rendah. Selain itu, daging yang memiliki tekstur atau serat otot yang lebih halus dan kandungan lemak terutama lemak intramuskuler yang tinggi akan menghasilkan daging yang lebih empuk karena lemak ini akan larut diantara ikatan serabut otot daging (Soeparno, 2005).
Faktor postmortem yang mempengaruhi keempukan daging salah satunya adalah temperatur pemasakan. Pemasakan daging pada temperatur 80 oC adalah temperatur yang ideal untuk pemasakan karena sampel daging menjadi cukup tepat kekerasannya dalam Warner Blatzer Force Shear dan hasil panelis ahli dalam penelitian Combes et al. (2000) menyatakan temperatur pemasakan di bawah 80 oC menunjukkan daging belum cukup matang. Selain itu, faktor pelayuan dipengaruhi oleh umur dan lama penyimpan setelah pemotongan di dalam refrigerator, seperti yang dinyatakan Xiong et al. (2007) bahwa nilai daya iris pada daging kerbau semakin meningkat seiring pertambahan umur dan semakin meningkat keempukannya seiring bertambahnya waktu penyimpanan postmortem. Hal ini disebabkan terjadinya proses psikokimia pada daging selama penyimpanan
postmortem. Soeparno (2005) menyatakan peningkatan keempukan selama proses pelayuan disebabkan oleh teraktivasinya enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot. Proteolisis otot postmortem terjadi karena sistem proteinase yang diaktifkan oleh ion Ca yang disebut Calcium Activated Neutral Proteinase (CNAP).
Selain itu, Aberle et al. (2001)menyatakan bahwa pengaturan pakan sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan, dan ternak-ternak yang digemukkan dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan ternak yang digembalakan. Hal ini didukung dengan pernyataan Lawrie (2003), bahwa ternak yang digembalakan cenderung memilki tekstur otot yang lebih kasar sehingga tingkat keempukannya menjadi rendah.
Daya Mengikat Air
Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity
adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan,
34 penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Daya mengikat air daging landak jawa jantan dan betina yang diberikan pakan P0 yaitu 33,62 %mgH2O dan 37,48±12,71 %mgH2O, sedangkan daya mengikat air daging landak jawa jantan dan betina yang diberikan pakan P1 yaitu 34,75 %mgH2O dan 33,23 ± 5,98 %mgH2O. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin dan pemberian pakan yang berbeda dapat menghasilkan daging dengan daya mengikat air yang relatif sama. Menurut Soeparno (2005), daya mengikat air dipengaruhi oleh spesies, jenis kelamin, umur, fungsi otot, pakan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler.
Rao et al. (2009) dalam penelitiannya bahwa faktor umur tidak berpengaruh terhadap DMA, akan tetapi jenis kelamin berpengaruh sangat nyata terhadap DMA. Ternak jantan memiliki DMA yang lebih rendah dibanding betina. Hal ini disebabkan ternak jantan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan betina. Hasil ini serupa dengan penelitian Setiawan (2009) yang menyatakan bahwa kelinci lokal betina memiliki DMA yang lebih tinggi dibanding jantan. Aktivitas kelinci jantan yang lebih aktif dibanding betina menyebabkan pH daging lebih rendah. pH daging yang rendah menyebabkan protein terdenaturasi sehingga air yang berasosiasi dengan protein otot menjadi lemah dan keluar dari daging. Akan tetapi, kisaran DMA landak jawa tidak jauh berbeda dengan penelitian Warsono dan Priyanto (2011) mengenai bandikut jantan dengan DMA yang cukup tinggi dan pH yang tinggi. Lawrie (2003) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara pH daging dengan DMA. Daging yang memiliki pH tinggi akan menghasilkan DMA daging yang relatif tinggi pula.
Soeparno (2005) menyatakan bahwa pelayuan pada daging juga dapat mempengaruhi DMA pada berbagai macam pH karena perubahan antara air dengan protein, yaitu terjadinya peningkatan muatan melalui absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca2+ serta melemahnya miofibril akibat perubahan Z dan ban I namun penyimpanan yang terlalu lama akan menurunkan daya mengikat air. Natasasmita (1994) menyatakan daging yang memiliki DMA yang rendah dapat menurunkan kualitas daging karena banyaknya kandungan nutrisi seperti protein, vitamin larut air, dan mioglobin yang ikut keluar dan terlarut dalam air.
35 Mikrostruktur Otot Landak Jawa
Menurut Prasetyo et al. (2009) pengamatan secara mikrostruktur dapat memberikan informasi mengenai sifat-sifat karakteristik pada produk pangan yaitu salah satunya mikrostruktur otot daging. Hasil pengamatan mikrostruktur otot landak Jawa dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Mikrostruktur Otot Landak Jawa Jantan dan Betina
Peubah yang Diamati
Perlakuan Pakan
P0 P1
♂*) ♀ ♂ ♀
---µm--- Diameter Serabut Otot - 22,74±7,29 23,05±9,16 24,46±8,59
Diameter Fasikulus - 0,92±0,21 0,67±0,17 1,07±0,32
Ketebalan Jaringan Ikat - 0,13±0,04 0,17±0,05 0,14±0,04
Keterangan : *)Pengukuran mikrostruktur otot pada landak Jawa jantan (P0) tidak dilakukan karena sampel daging
telah rusak
Diameter Serabut Otot
Serabut otot tersusun sebagai berkas yang dibungkus oleh jaringan ikat fibrosa. Hasil pengamatan diameter serabut otot dapat dilihat pada Gambar 7. Ukuran dari serabut otot menentukan tekstur urat daging. Lawrie (2003) menyatakan bahwa tekstur urat daging akan halus bila pergerakannya halus seperti pada mata, akan tetapi tekstur serabut kasar hanya terdapat pada bagian-bagian tubuh yang sering digunakan untuk bergerak seperti kaki (Forrest et al., 1975).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pemberian pakan P1 pada landak jawa jantan dan betina pada umur yang sama dapat memperbesar diameter serabut otot yaitu sebesar 23,05±9,16 µm dan 24,46±8,59 µm, namun pada diameter serabut otot landak jawa betina yang diberi pakan P0 yaitu sebesar 22,74±7,29 µm (Tabel 6). Menurut Soeparno (2005), ternak yang diberi pakan dengan kandungan protein yang lebih tinggi akan meningkatkan kandungan protein otot sehingga terjadi hipertrofi otot akibat proses sintesis protein. Selain itu, kandungan lemak pada jantan lebih sedikit dibandingkan betina adalah adanya kandungan hormon androgen dan
36 sintesis protein pada otot sehingga terjadi penurunan kandungan lemak. Peningkatan sintesis protein dapat mengakibatkan hipertrofi serabut otot.
Rao et al. (2009) menyatakan bahwa diameter serabut otot tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, tetapi dipengaruhi oleh perbedaan umur pada ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lawrie (2003) bahwa diameter serabut otot meningkat seiring dengan pertambahan umur, tingkat pemberian nutrisi, dan tingkat perkembangan bobot badan pascalahir serta pemberian estradiol.
A B
C
Gambar 7. Foto Mikroskopis Serabut Otot Perbesaran 200x. A=Diameter Serabut Otot Landak Jawa Betina P0; B=Diameter Serabut Otot Landak Jawa Betina P1; C=Diameter Serabut Otot Landak Jawa Jantan P1
Ukuran diameter serabut otot pada otot landak jawa tergolong kecil dibandingkan ternak lain, seperti pada penelitian Wachowicz et al. (2010) pada babi bahwa diameter serabut otot pada babi berkisar antara 33,46-73,16 µm sedangkan pada penelitian Mahmudah (2010) diameter serabut otot kerbau jantan 35,09±9,01
Serabut Otot Endomysium
37 µm dan betina 39,65±8,00 µm. Menurut Warris (2000), umumnya ukuran diameter serabut otot sebesar 60-100 µm. Ukuran diameter serabut otot yang berbeda antar spesies salah satunya disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan oleh ternak tersebut. Ternak yang memiliki aktivitas tinggi akan menyebabkan ukuran diameter serabut otot yang lebih besar dan menghasilkan tingkat keempukan yang lebih rendah.
Diameter Fasikulus
Fasikulus merupakan gabungan serabut otot yang disatukan oleh jaringan ikat (perimisium). Ukuran suatu fasikulus terkait dengan ukuran diameter serabut otot, jumlah otot per fasikulus, ketebalan jaringan ikat,dan jarak antar serabut otot. Menurut Soeparno (2005), ukuran suatu fasikulus ditentukan oleh jumlah dan ukuran serabut otot serta jumlah perymisium dan endomysium.
Hasil pengukuran (Gambar 8) yaitu diameter fasikulus landak jawa betina yang diberi pakan P0 yaitu 0,92±0,21 µm , sedangkan pada pada landak jawa betina dan jantan yang diberi pakan P1 yaitu masing-masing sebesar 1,07±0,32 µm dan 0,67±0,17 µm. Menurut Lawrie (2003), perkembangan ukuran diameter fasikulus tidak disebabkan oleh besarnya ukuran (hipertrofi) serabut otot akan tetapi karena lebih dipengaruhi oleh peningkatan jumlah miofibril dalam serabut otot.
Diameter fasikulus pada landak jawa tergolong kecil dibandingkan kerbau, seperti penelitian Mahmudah (2010), bahwa diameter fasikulus kerbau adalah 562,20±120,1 µm. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh ukuran pada ternak atau hewan. Landak yang tergolong ke dalam hewan berukuran kecil memiliki otot yang