PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEGIATAN
RESTORASI EKOSISTEM DI AREAL HARAPAN
RAINFOREST PT REKI, PROVINSI JAMBI DAN
PROVINSI SUMATERA SELATAN
AJENG KARTINI RAHMANIA
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEGIATAN
RESTORASI EKOSISTEM DI AREAL HARAPAN
RAINFOREST PT REKI, PROVINSI JAMBI DAN
PROVINSI SUMATERA SELATAN
AJENG KARTINI RAHMANIA
Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
AJENG KARTINI RAHMANIA. E.34052677. Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest PT REKI, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO
dan DIDIK SUHARJITO.
Harapan Rainforest merupakan areal hutan produksi seluas ± 101.355 ha yang ditunjuk sebagai areal restorasi ekosistem melalui Kepmenhut SK. No. 83/Menhut-II/2005. Areal restorasi ini dikelola oleh PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia). Di dalam dan sekitar areal Harapan Rainforest terdapat beberapa desa yang keberadaannya sudah sejak lama sebelum kawasan hutan ditetapkan sebagai areal restorasi ekosistem. Dalam rangka menerapkan pola pengelolaan yang dapat mendukung keberlangsungan hidup masyarakat setempat, maka diperlukan persepsi dari masyarakat tersebut terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang merupakan kegiatan utama dari pihak PT REKI. Penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi di areal Harapan Rainforest dan rekomendasi bagi pengelola terkait dengan pengelolaan Harapan Rainforest.
Penelitian dilakukan terhadap masyarakat Batin Sembilan, Sako Suban dan Tanjung Sari. Jumlah responden yang mewakili masyarakat Batin Sembilan yaitu 30 orang, masyarakat Sako Suban 45 orang dan masyarakat Tanjung Sari 14 orang. Data yang dikumpulkan berupa data pokok dan data penunjang. Data pokok meliputi data karakteristik masyarakat (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan) dan data persepsi. Data penunjang meliputi kondisi umum areal Harapan Rainforest dan desa di dalam dan sekitar areal Harapan Rainforest.
Masyarakat memberikan persepsi positif terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh pihak PT REKI. Masyarakat setuju dengan adanya kegiatan restorasi ekosistem dan bersedia apabila dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengetahuan masyarakat dan pengalaman masyarakat. Persepsi masyarakat Batin Sembilan tidak dipengaruhi oleh pendidikan dan pendapatan, tetapi persepsi dipengaruhi oleh pekerjaan, pengetahuan lokal, pengalaman berinteraksi dengan pihak PT REKI dan tingkat ketergantungan terhadap SDH. Persepsi masyarakat Sako Suban dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman berinteraksi dengan pihak PT REKI. Persepsi masyarakat Tanjung Sari dipengaruhi oleh tingkat pendapatan responden dan pengalaman berinteraksi dengan pihak PT REKI.
SUMMARY
AJENG KARTINI RAHMANIA. E.34052677. The Perception of Local
Communities on Restoration Ecosystem Projects (PT. REKI) at Harapan Rainforest Area, Province of Jambi and South Sumatera. Supervised by
HARYANTO R. PUTRO and DIDIK SUHARJITO.
Harapan Rainforest is a production forest with an area 101.355 ha which has been established by the Minister of Forestry decree No. 83/Menhut-II/2005. This area is managed by PT. REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia). There are several villages inside and surround this area that has been settled long time ago, before forest area set as restoration ecosystem area. In order to implement the management model that can support the sustainable of local community, the perception of local communities on ecosystem restoration projects which done by PT. REKI is needed. The aim of this study was to know the perception of local communities on ecosystem restoration projects in Harapan Rainforest area and the factors that influence it. The result of this study hopefully can provide information and recommendations regarding the restoration projects for Harapan Rainforest management.
The study was carried out to local community of Batin Sembilan, Sako Suban, and Tanjung Sari which totaled 30 respondents, 45 respondents, and 14 respondents, respectively. Data collected from primary data and secondary data. Primary data consist of characteristics of local community (sex, age, education, occupation, and income) and perceptions. Secondary data is general condition of Harapan Rainforest area and total villages inside and surround Harapan Rainforest region.
Local communities gave a positive response on ecosystem restoration projects and agreed with those projects. They also ready to be involved on those projects. Local community perceptions were affected by some factors such as knowledge and experience of the communities. Batin Sembilan perceptions were affected by education and income level, but it was affected by occupation, local knowledge, interaction experienced with PT. REKI and dependable value to the forest resources. Sako Suban perceptions were affected by education and interaction experienced with PT. REKI. Perceptions of Tanjung Sari were affected by income level respondents and interaction experienced with PT. REKI.
PERNYATAAN
Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest PT REKI, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan” adalah benar-benar hasil karya Saya sendiri dengan bimbingan dosen Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. Skripsi ini belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
LEMBAR PENGESAHAN
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Ir. Haryanto R. Putro, MS Dr.Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19600928 198503 1 004 NIP. 19630401 199403 1 001
Mengetahui :
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP : 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus :
Judul Skripsi : Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest PT REKI, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan.
Nama : Ajeng Kartini Rahmania NIM : E.34052677
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Februari 2010 berjudul Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest PT REKI, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan.
Skripsi ini ditulis berdasarkan data pokok, data penunjang dan survey lapangan yang menggambarkan kondisi desa dan masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini. Restorasi ekosistem ini merupakan sistem pengelolaan yang baru dalam pengelolaan hutan alam, sehingga persepsi masyarakat dipandang penting untuk diketahui, khususnya dalam rangka menerapkan pengelolaan yang dapat mendukung keberlangsungan hidup masyarakat setempat. Dalam skripsi ini diuraikan persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang dikelompokkan berdasarkan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan responden.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, namun penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat untuk berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Ajeng Kartini Rahmania dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 21 April 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan R. Abu Zamroh dan Siti Rahmah Iriani.
Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sukabumi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan menjadi mahasiswa Mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dengan Minor Arsitektur Lanskap.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam kegiatan Himpunan Profesi Mahasiswa Konservasi (HIMAKOVA) sebagai anggota Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH). Selain itu, penulis juga pernah menjabat sebagai sekretaris umum dalam Himpunan Mahasiswa Kehutanan Seluruh Indonesia (Sylva Indonesia) cabang IPB. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Uni Konservasi Fauna (UKF) sebagai anggota Divisi Karnivora.
Selama menjadi mahasiswa, penulis melakukan berbagai kegiatan lapang dan praktikum lapang yang meliputi puncak rangkaian kegiatan Metamorfosa UKF di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), Ekspedisi Global UKF di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), observasi lapang UKF di Leuweung Sancang, Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) dengan jalur Indramayu-Linggarjati (2007), Praktek Umum Konservasi Eksitu (PUKES) di PUSPIPTEK dan penangkaran reptil MEGACITRINDO (2008) dan Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Merapi (2009). Kegiatan lain yang diikuti penulis, yaitu rapat kerja nasional (RAKERNAS) Sylva Indonesia di Universitas Negeri Lampung (UNILA) dan Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional (PIKNAS IV) PCSI IPB sebagai koordinator acara.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibuku tersayang (Siti Rahmah Iriani), adikku (Fajar Ginanjar), Mamih Dewi, Wa Agus serta seluruh keluarga besar O.Z. Abidin atas doa, kasih sayang, dukungan dan kesabarannya selama ini.
2. Dosen pembimbing Ir. Haryanto R. Putro, MS. dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS yang telah memberikan bimbingan, masukan, motivasi dan ilmu sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Dr. Ir. Bahruni, MS, Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Dr. Ir. Cahyo Wibowo, M.Sc.F.Trop sebagai dosen penguji.
4. Direktur Unit Manajemen Harapan Rainforest Pak Yusup Cahyadin yang telah memberikan izin penelitian dan bimbingan, Kepala divisi Community Development tahun 2009 Pak Umar atas bimbingan dan arahannya, Kepala divisi Community Development tahun 2010 sampai sekarangPak Yulius dan Direktur Perencanaan Kawasan Pak Urip Wiharjo.
5. Tim community development Pak Sonhaji dan Pak Firdaus atas informasi dan bantuannya selama proses penggalian data ke masyarakat, Kepala lapangan tim riset Pak Jeri Imansyah, bagian manajemen Pak Paul Hultera dan Pak Yafid Gunawan, serta seluruh staf Harapan Rainforest Pak Abdul Kholik, Pak Sadat (tim riset) dan tim patroli Pak Rusman, Mas Onoy, Pak Doni, Pak Reka, Pak Thamrin, Pak Sugito beserta keluarga, Pak Muhammad dan staf lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. 6. Seluruh keluarga besar Fakultas Kehutanan dan Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, seluruh dosen pengajar, Staf KPAP, rekan-rekan mahasiswa KSHE, serta mamang dan bibi yang selalu membantu selama ini.
7. Baso Arsadi yang selalu ada dengan kasih sayang, semangat dan doanya. 8. Seluruh teman TARSIUS 42 yang sudah menjadi keluarga yang sangat
9. Seluruh rekan Sylva Indonesia PC IPB atas dukungan dan doanya.
10. Wisma Maharlika (belakang bawah): Zhe, Wulan, Difa, Icha, Ine, Titi, Reni, Uphie, Sina, Nonetz, Lia, Mba Wilis, Mba Iyus, Mba Uci, Mba Poe, Mba Imas, Roma, Cikal, Deasy, Dara atas kebersamaan serta motivasinya selama penulis menjalani masa perkuliahan hingga penelitian dan lulus.
11. Pihak lain yang telah membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga semua bantuan, doa, semangat, motivasi dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih dari Allah SWT. Amin.
4.9.2 Satwa Liar ... 20
4.10 Aksesbilitas ... 21
4.11 Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat ... 22
4.11.1 Desa Bungku ... 22
4.11.2 Desa Sako Suban ... 24
4.11.3 Desa Tanjung Sari ... 27
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Restorasi ekosistem di Areal Harapan Rainforest ... 30
5.2 Persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem ... 32
5.2.1 Persepsi masyarakat berdasarkan pendidikan ... 32
5.2.2 Persepsi masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan ... 41
5.2.3 Persepsi masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan... 55
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 61
6.2 Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Data yang Dikumpulkan ... 9
2. Tingkat Persepsi menurut Skala Likert ... 10
3. Penyebaran Kelas Lereng di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi ... 14
4. Luas Jenis Tanah di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi ... 14
5. Penyebaran Formasi Geologi di Areal Restorasi Ekosistem di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi. ... 16
6. Sistem Lahan dan Kesesuaian Lahan untuk Beberapa Tipe Penggunaan Lahan di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan di Areal Lokasi Restorasi Ekosistem, Provinsi Jambi ... 17
7. Luas Pembagian Sub-DAS Areal Kerja PT REKI ... 19
8. Jumlah Penduduk Desa Tanjung Sari Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 29
9. Tingkat Persepsi Masyarakat Berdasarkan Pendidikan ... 32
10. Tingkat Persepsi Masyarakat Berdasarkan Jenis Pekerjaan... 47
11. Tingkat Persepsi Masyarakat Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 56
12. Data Pengetahuan Masyarakat ... 69
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Kerangka Pemikian Penelitian ... 7
2. a) Peta Lokasi Harapan Rainforest dan b) Peta Kerja Harapan Rainforest . 13 3. Masyarakat Batin Sembilan yang berada di dalam hutan ... 24
4. Keterikatan masyarakata Sako Suban dengan sungai: (a) Letak Desa Sako Suban di sepanjang Sungai Kapas, (b) Sungai sebagai media transportasi, dan (c) Sungai untuk aktivitas rutin sehari-hari (seperti mandi, mencuci, dll) ... 25
5. Desa Tanjung Sari (a) Mesjid dan (b) Pasar ... 29
6. Rangkaian Kegiatan Penanaman Bersama Anak-Anak Sekolah ... 31
7. Sekolah keliling bagi anak-anak Batin Sembilan ... 33
8. Bangunan Sekolah Dasar di Desa Sako Suban ... 36
9. (a) Jelutung (Dyera sp.) dan (b) Karet (Hevea braciliensis) ... 42
10. Beberapa contoh jenis burung yang biasa diburu oleh responden Batin Sembilan ... 43
11. (a) Jalan tanah sebagai batas antara kawasan Harapan Rainforest dengan PT Asiatic Persada dan (b) seorang buruh tandan sawit ... 44
12. Kayu hasil tebangan secara liar ... 45
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Harapan Rainforest merupakan areal hutan produksi seluas ± 101.355 ha yang ditunjuk sebagai areal restorasi ekosistem melalui Kepmenhut SK. No. 83/Menhut-II/2005. Areal restorasi ini dikelola oleh PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia). Areal ini memiliki luas wilayah yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Provinsi Jambi dengan luas ± 49.185 ha dan bagian Provinsi Sumatera Selatan dengan luas ± 52.170 ha (REKI, 2009). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.61/Menhut-II/2008 Bab I Ketentuan Umum pada pasal 1 bahwa restorasi ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah dan air) pada suatu kawasan dengan jenis asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Hutan dataran rendah Sumatera ini dipilih untuk di restorasi dengan dasar pertimbangan bahwa selama ini areal inilah yang paling mudah dimanfaatkan untuk pemukiman, industri, perkebunan, hutan tanaman dan pertanian masyarakat yang sangat merusak hutan.
Penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat yang berada di dalam maupun di sekitar areal Harapan Rainforest, yaitu masyarakat Batin Sembilan, Sako Suban dan Tanjung Sari. Masyarakat tersebut terpilih sebagai objek penelitian karena desa yang merupakan tempat tinggal masyarakat tersebut direncanakan sebagai pusat pembibitan oleh pihak PT REKI.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan :
1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang merupakan sistem baru dalam pengelolaan hutan produksi?
2. Apakah dengan adanya perbedaan pengetahuan dan pengalaman maka terdapat pula perbedaan persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem?
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persepsi
Persepsi adalah pandangan seseorang atau banyak orang terhadap hal atau peristiwa yang didapatkan atau diterima. Persepsi juga diartikan sebagai proses diletakkannya suatu hal oleh seseorang melalui panca indera yang dimilikinya (Salim dan Salim 1991, diacu dalam Gunawan 1999), sedangkan Kartini (1984) dalam Mauludin (1994) mengatakan bahwa persepsi merupakan pandangan, pengamatan, pengertian, dan interpretasi seseorang terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan kepadanya sehingga dapat menentukan tindakannya.
Mar’at (1981) dalam Zulfarina (2003) mendefinisikan persepsi sebagai proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuannya. Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (1999) adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut, yaitu penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Adapun alat untuk memahaminya yaitu kesadaran kognisi.
Informasi yang sampai kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau penyaringannya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi ini. Asngari (1984) dalam Zulfarina (2003) menyatakan bahwa pada fase interpretasi, pengalaman masa silam memegang peranan penting. Pengalaman diasumsikan dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa. Gandadiputera (1983) dalam Illahi (2000) mengatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap lingkungan dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, budaya, dan pendidikan. Pengetahuan hasil proses belajar sebelumnya, aktivitas dan pendalaman individu mempengaruhi persepsinya terhadap sesuatu atau stimulus yang diharapkan.
diinformasikan, sehingga seseorang dapat memandang, mengartikan dan menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya sesuai dengan keadaan dan lingkungannya. Hal ini yang membuat seseorang dapat menentukan tindakannya.
Surata (1993) dalam Widawari (1994) mengatakan bahwa persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar terhadap lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut akan berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan. Karakteristik penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang dapat mempengaruhi persepsi menurut Osley (1972) dalam Sadli (1976) dalam Junianto (2007) adalah :
1. Faktor ciri khas dari objek stimulus yang terdiri dari nilai, arti, familiaritas, dan intensitas.
2. Faktor pribadi, termasuk didalamnya ciri khas individu seperti tingkat kecerdasan, minat, dan emosinya.
3. Faktor pengaruh kelompok, artinya respon orang lain dapat memberi arahan sesuatu tingkah laku yang sesuai.
4. Faktor perbedaan latar belakang kultural.
Menurut Muhadjir (1992), ekspresi mengenal orang lain merupakan studi awal tentang persepsi. Bender dan Hastorf dalam Muhadjir (1992), menemukan bahwa mempersepsi orang pada segi yang mirip dengan dirinya memiliki derajat ketepatan yang lebih tinggi. Berbagai hasil studi tentang ketepatan mempersepsi dapat dikemukakan, antara lain :
1. Persepsi menjadi lebih tepat bila tingkah laku yang relevan tampil dan fokus pemersepsi memang memfokus ke ciri yang relevan tersebut;
2. Tidak ada bukti tentang adanya kemampuan dasar untuk menjadi pemersepsi yang baik;
3. Sementara orang lebih mudah memberi persepsi, sedangkan orang lain lebih sulit; dan
4. Mengenal lebih singkat mereduksi ketepatan mempersepsi.
oleh usia, rentang perhatian orang, kebutuhan dan pandangan hidup. Pada tahun 1986, skala jenjang persepsi dimodifikasi dari dimensi senang-tak senang dan dimensi menerima-menolak disederhanakan menjadi setuju-tak setuju (Muhadjir, 1992).
2.2 Restorasi
Restorasi menurut kamus bahasa indonesia (1983) adalah pengembalian atau pemulihan pada keadaan semula. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.61/Menhut-II/2008 Bab I Ketentuan Umum pada pasal 1 bahwa restorasi ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah dan air) pada suatu kawasan dengan jenis asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2008).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Harapan Rainforest merupakan kawasan hutan produksi dengan sistem pengelolaan secara restorasi ekosistem. Sistem pengelolaan yang dimiliki oleh pihak PT REKI merupakan sistem pengelolaan yang berbeda dengan sistem pengelolaan yang dimiliki pengelola hutan produksi sebelumnya. Adanya interaksi masyarakat baik di dalam maupun di sekitar kawasan hutan produksi dengan pengelola hutan produksi sebelumnya menimbulkan persepsi terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh pihak PT REKI. Timbulnya suatu persepsi dari masyarakat dikarenakan adanya perubahan sistem pengelolaan serta peraturan yang berlaku terutama yang berhubungan dengan masyarakat.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian.
3.2 Definisi Operasional
Dalam penelitian ini persepsi yang digali dari masyarakat, yaitu : a. Persepsi terhadap manfaat ekologi dari restorasi
Pengukuran dilakukan terhadap fungsi hutan, kegiatan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest oleh PT REKI dan peran masyarakat dalam upaya pelestarian hutan.
b. Persepsi terhadap manfaat ekonomi dari restorasi
Pengukuran dilakukan terhadap dampak kerusakan hutan pada kehidupan ekonomi masyarakat dan kegiatan restorasi ekosistem oleh PT REKI yang melibatkan masyarakat.
c. Persepsi terhadap manfaat sosial dari restorasi
Pengukuran dilakukan terhadap pertanyaan positif dan negatif mengenai kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh PT REKI.
3.4 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
a. Kuesioner : untuk mengetahui persepsi masyarakat sehingga dapat diukur dan dihitung menggunakan skala likert.
b. Panduan wawancara : untuk mengetahui pengelolaan kawasan serta program kerja yang dilakukan unit pengelola yang berkaitan dengan masyarakat.
c. Kamera digital : untuk mendokumentasikan hasil penelitian. d. Recorder : untuk merekam hasil wawancara.
e. Alat tulis : untuk mencatat hasil penggalian data di lapangan.
3.5 Metode Penelitian 3.5.1 Responden
Pada penelitian ini jumlah responden yang mewakili masyarakat Batin Sembilan, Sako Suban dan Tanjung Sari berbeda-beda. Masyarakat Batin Sembilan diwakili oleh 30 orang responden, masyarakat Sako Suban diwakili oleh 45 orang responden dan masyarakat Tanjung Sari diwakili oleh 14 orang responden. Perbedaan jumlah responden tersebut dikarenakan beberapa alasan yang terkait dengan karakteristik masyarakat, kondisi alam yang kurang mendukung, serta peristiwa yang tidak terduga seperti konflik.
3.5.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode :
1. Studi literatur : pengumpulan data melalui buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Wawancara terstruktur : berupa penyebaran kuesioner dimaksudkan untuk membantu dalam menggali informasi mengenai persepsi dan kondisi sosial ekonomi responden.
Masyarakat dan Hubungan Masyarakat, serta Direktur Perencanaan Kawasan.
4. Observasi : pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan. Data yang dikumpulkan melalui observasi lapangan meliputi karakteristik masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar areal Harapan Rainforest serta kondisi lokasi.
3.5.3 Jenis Data
Jenis data yang diambil dan dikumpulkan terdiri dari data pokok dan data penunjang. Data pokok merupakan data yang diperoleh melalui wawancara terstruktur (penyebaran kuesioner) dan pengamatan langsung di lapangan (observasi). Data penunjang merupakan data yang diperoleh melalui studi literatur dan wawancara tidak terstruktur. Tabel 1 menjelaskan tentang data-data yang dikumpulkan selama penelitian.
Tabel 1 Data yang dikumpulkan
Jenis Data Sumber Data Metode
Pengumpulan Data Desa di dalam dan sekitar areal Haarapan Rainforest
Tabel 2 Tingkat Persepsi Menurut Skala Likert
No. Nilai Skor Tingkat Persepsi
1. 5 Sangat setuju
2. 4 Setuju
3. 3 Cukup setuju
4. 2 Tidak setuju
5. 1 Sangat tidak setuju
BAB IV
KONDISI UMUM LAPANGAN
4.1 Sejarah dan Dasar Hukum
Kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan ditunjuk untuk dijadikan sebagai lokasi kegiatan restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi seluas ±101.355 ha melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 83/Menhut-II/2005. PT REKI diberikan hak untuk mengelola areal IUPHHK kegiatan restorasi ekosistem pada kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas seluas ± 52.170 ha di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan dan sisa dari luasan total yaitu ± 49.185 ha pada kelompok hutan Sungai Meranti-Hulu Sungai Lalan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 293/Menhut-II/2007 (REKI 2009).
Kawasan hutan PT REKI merupakan eks. areal HPH PT Asialog seluas ± 40.705 ha dan eks. areal HPH PT INHUTANI V seluas ± 8.480 ha, keseluruhannya berada di dalam administrasi pemerintahan Provinsi Jambi. Model pengelolaan dengan restorasi ekosistem dan pemberian izin terhadap PT REKI merupakan yang pertama di Indonesia (REKI 2008; REKI 2009).
Model pengelolaan hutan dengan restorasi ekosistem ini merupakan paradigma baru dalam pengelolaan hutan alam. Model pengelolaan hutan sebelumnya hanya berorientasi pada pengambilan kayu (HPH) dan penanaman hutan monokultur (HTI). Kegiatan restorasi ekosistem PT REKI mengikuti paradigma pengelolaan hutan berbasis ekosistem untuk perbaikan lingkungan dan pelestarian tumbuhan dan satwaliar (REKI, 2009).
Kelompok hutan di areal Harapan Rainforest dibagi menjadi tiga kelompok (tipologi) yaitu tipologi 1 sebagai hutan tidak produktif dengan luas 16.260 ha (33,08%), tipologi 2 sebagai hutan kurang produktif dengan luas 10.250 ha (20,84%) dan tipologi 3 sebagai hutan produktif dengan luas 22.666 ha (46,08%) (REKI 2008; REKI 2009).
conservation value (HCV), lokasi yang mengalami degradasi, serta lokasi yang berpotensi mendukung perbaikan kesejahteraan masyarakat yaitu masih mengandung nilai sosial dan peluang ekonomi tinggi (REKI 2008; REKI 2009).
Pembagian areal lahan restorasi ekosistem di Harapan Rainforest yaitu kawasan bernilai konservasi tinggi atau disebut kawasan habitat inti (KHI), kawasan perlindungan ekosistem seperti sempadan sungai dan areal curam, kawasan koridor satwa di Sub-DAS Meranti dan Sub-DAS Lalan, petak ukur permanen (PUP), kawasan penyangga (buffer zone) dan kawasan pertanian lahan kering curam (PLKC) (REKI 2008; REKI 2009).
4.2 Letak dan Luas Kawasan
Kawasan restorasi ekosistem Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak di antara 103º27’00”-103º7’54” BT dan 02º23’51”-02º07’00” LS dengan luas areal restorasi ±52.170 ha. Batas areal kerja dari kawasan ini, yaitu sebelah Utara, Timur, dan Barat berbatasan dengan eks. HPH PT Asialog sedangkan pada sebelah Selatan berbatasan dengan eks. HPH PT INHUTANI V. Kawasan hutan ini termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan dan termasuk dalam wilayah administrasi kehutanan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan restorasi ini termasuk dalam kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas dengan ketinggian tempat 30-70 mdpl (REKI, 2009).
Kawasan IUPHHK restorasi ekosistem di Provinsi Jambi secara geografis terletak di antara 103º7’48”-103º27’36” BT dan 2º2’24”-2º20’24” LS dengan luas areal restorasi ±49.185 ha. Batas areal kerja dari kawasan hutan ini, yaitu :
Sebelah Utara : Kawasan hutan produksi dan perkebunan kelapa sawit PT Asiatic Persada
Sebelah Timur : Perkebunan PT Bangun Desa Utama, PIR Sungai Bahar dan HPHTI PT Bumi Persada Permai
Sebelah Selatan : IUPHHK Restorasi Ekosistem PT REKI
Kawasan ini termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi dan termasuk dalam wilayah administrasi kehutanan Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Sarolangun. Kawasan ini merupakan kelompok hutan Hulu Sungai Meranti-Hulu Sungai Lalan dengan ketinggian tempat 30-120 mdpl. Daerah Aliran Sungai (DAS)/Sub- DAS yang terdapat di kawasan ini, yaitu Sub-DAS Meranti, Sub-DAS Kapas, Sub-DAS Kandang, dan Sub-DAS Lalan (REKI, 2009). Peta lokasi Harapan Rainforest dan peta kerja Harapan Rainforest ditampilkan pada Gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2 Harapan Rainforest a) Peta Lokasi dan b) Peta Kerja.
Sumber: Harapan Rainforest
4.3 Topografi
ketinggian tempat antara 30-120 mdpl (REKI, 2008). Tabel 3 menjelaskan tentang penyebaran kelas lereng di areal restorasi.
Tabel 3 Penyebaran Kelas Lereng di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi
Proses pembentukan tanah sangat dipengaruhi oleh faktor topografi, organisme bahan induk dan iklim. Areal restorasi ekosistem memiliki iklim tropika basah dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun. Adanya berbagai faktor pembentukan tanah, maka proses pembentukan jenis tanah menjadi cukup kompleks dan bervariasi. Jenis tanah yang terdapat di dua areal ini sama, yaitu Aluvial, Latosol, Planosol dan Podsolik merah kuning, namun setiap jenis tanah di setiap areal memiliki persentase luas yang berbeda. Tabel 4 menggambarkan luas jenis tanah di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi (REKI, 2008; 2009).
Tabel 4 Luas Jenis Tanah di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi
Jenis Tanah Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Jambi
Luas Luas
Sumber : Peta Satuan Lahan dan Tanah Skala 1:250.000 (REKI, 2008; 2009).
kesuburannya ditentukan oleh sifat bahan asalnya. Kebanyakan tanah Aluvial mengandung cukup banyak hara, sehingga dianggap tanah yang subur tetapi mempunyai faktor pembatas kondisi drainase. Tanah Latosol merupakan tanah dengan ciri morfologi yang umum, yaitu tekstur liat sampai lempung, struktur remah sampai gumpal lemah dan konsistensi gembur. Tanah Planosol merupakan endapan lempung dari laut dengan solum dangkal, berwarna kelabu sampai kuning, tekstur horizon A liat, horizon C lempung, struktur pejal dan pH berkisar dari 6,5 sampai 8. Tanah Podsolik merah kuning mempunyai lapisan tanah permukaan yang sudah sangat tercuci, berwarna kelabu cerah sampai kekuningan di atas horizon akumulasi yang bertekstur relatif berat berwarna merah atau kuning dengan struktur gumpal, agregat kurang stabil dan permeabilitas rendah. Kandungan bahan organik, kejenuhan basa, dan pH rendah (pH 4,2-4,8). Oleh karena itu, kesuburan tanah Podsolik merah kuning termasuk rendah dan jenis tanah ini juga mudah tererosi (REKI, 2009).
4.5 Geologi
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bangko skala 1:250.000 tahun 1984 di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan maupun di Provinsi Jambi terdapat tiga formasi geologi, sebagai berikut:
Air Benakat (Tma) : mengandung perselingan batu lempung dan batu pasir dengan sisipan konglomerat gampingan, batu lanau, napal dan batu bara. Di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan formasi ini letaknya memanjang di bagian Tengah dan bagian Utara, sedangkan di areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi terletak di sebagian wilayah bagian Barat Laut dan Timur Laut.
Kasai (QTk) : terbentuk dari tufa, tufa berbatu apung dengan sisipan batu pasir, tufaan dan batu lempung tufaan. Di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan formasi ini terletak di wilayah bagian Barat dan sedikit di Utara, sedangkan di areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi terletak di bagian Barat dan Timur dengan lereng datar.
Di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan, formasi ini menempati wilayah paling luas terutama di sebelah selatan, sedangkan di areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi formasi ini terhampar merata dan dominan hampir di sebagian besar areal restorasi.
Secara rinci, penyebaran formasi geologi di kedua areal tersebut disajikan pada tabel. Tabel 5 menggambarkan penyebaran formasi geologi di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi.
Tabel 5 Penyebaran Formasi Geologi di Areal Restorasi Ekosistem di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi
Formasi Geologi Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Jambi
Luas (Ha) Luas (Ha)
Formasi Air Bekanat (Tma) 8.853 10.791
Formasi Kasai (Qtk) 4.926 12.301
Formasi Muaraenim (Tmpm) 38.391 26.093
Total 52.170 49.185
4.6 Lahan
Berdasarkan Peta Land System and Land Suitability (Bakosurtanal, 1989 diacu dalam REKI, 2009) terdapat dua sistem lahan, yaitu Sistem Lahan Muara Beliti (MBI) dan Sistem Lahan Sungai Aur (SAR). Sistem lahan SAR mendominasi areal restorasi di Provinsi Sumatera Selatan 69% dari total luas areal yang letaknya memanjang dari Utara ke Selatan di bagian Timur, Tengah dan Barat areal, sedangkan untuk areal restorasi di Provinsi Jambi 58% dari total luas areal yang letaknya di bagian Barat Laut dan Timur.
Tabel 6 Sistem Lahan dan Kesesuaian Lahan untuk Beberapa Tipe Penggunaan agroforestri, perkebunan karet, kelapa sawit, kelapa, peternakan, HTI, Hutan
Sumber: RKUPHHK PT REKI Tahun 2008 – 2017 (REKI 2009).
4.7 Iklim
Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan mempunyai tipe iklim A (sangat basah) dengan pola distribusi hujan basah sepanjang tahun dengan nilai Q = 0 (tanpa bulan kering). Nilai Q merupakan perbandingan antara jumlah rata-rata bulan kering (< 60 mm) dan jumlah rata-rata bulan basah (> 100 mm). Curah hujan tahunan sebesar 2.461 mm/tahun dengan rata-rata bulanan 205,1 mm/bulan. Rata-rata curah hujan bulanan berkisar 101-320 mm. Curah hujan tertinggi pada bulan Maret dan terendah pada bulan Agustus, jumlah hari hujan bulanan berkisar 7-8 hari (Juni dan September) sampai 16 hari (Desember) dengan rata-rata 11,5 hari/bulan. Dengan kondisi seperti ini diperlukan adanya antisipasi pengelolaan sungai-sungai dengan baik, sehingga air dapat mengalir dengan baik dan tidak menimbulkan banjir yang berlebihan (REKI, 2009).
Berdasarkan suhu udara yang diamati di Stasiun Meteorologi Musi Banyuasin yang meliputi data suhu rata-rata, kelembaban, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari, menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata di areal restorasi berkisar antara 27,9º C pada bulan Mei dan 26,7º C pada bulan Desember dan Januari. Suhu udara rata-rata sebesar 27,2º C (REKI, 2009).
terjadi sepanjang tahun dengan nilai Q = 0 (tanpa bulan kering). Nilai Q merupakan perbandingan antara jumlah rata-rata bulan kering (< 60 mm) dan jumlah rata-rata bulan basah (> 100 mm). Curah hujan bulanan per tahun 2.305,5 mm dan hari hujan per tahunn 189,9 hari hujan, dengan demikian intensitas hujan di areal ini yaitu sebesar 12,37 mm, curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan April sebesar 274 mm dan bulan November sebesar 255,7 mm, sedangkan curah hujan bulanan rata-rata terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 80,5 mm (REKI, 2009).
Berdasarkan suhu udara yang diamati di Stasiun Meteorologi Sultan Thaha yang meliputi data suhu rata-rata, kelembaban, dan kecepatan angin, berkisar antara 28,95º C pada bulan Mei dan 24,50º C pada bulan Januari. Suhu udara rata-rata yaitu sebesar 26,23º C (REKI, 2009).
4.8 Hidrologi
Areal hutan restorasi yang terletak di kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas terdapat dua Sub-DAS, yaitu Sub-DAS Meranti dan Sub-DAS Kapas yang mempunyai bentuk aliran sungai seperti bulu burung dengan debit banjir yang kecil serta mempunyai topografi yang relatif landai, maka dengan demikian apabila terjadi banjir biasanya berlangsung agak lama (REKI, 2009).
Areal restorasi ekosistem pada kelompok hutan Hulu Sungai Meranti-Hulu Sungai Lalan dilalui oleh beberapa sungai, yaitu Sungai Meranti, Sungai Kapas, Sungai Kandang dan Sungai Lalan. Sungai-sungai ini mengalir ke beberapa arah dan tidak terkonsentrasi dalam satu DAS. Arah dari masing-masing sungai yang ada di wilayah ini antara lain Sungai Meranti dan Sungai Kapas yang mengalir ke arah Selatan, Sungai Kandang dan Sungai Lalan mengalir ke arah Timur Laut. Kecepatan aliran sungai umumnya rendah, sehingga daya gerus air terhadap dinding dasar sungai tidak begitu besar. Pada umumnya sungai-sungai yang ada tidak berbatu, warna airnya kekuningan dan sepanjang tepi sungai ditumbuhi semak-semak. Dasar sungai berlumpur dan sedikit berpasir (REKI, 2009).
adalah untuk Sungai Kandang sebesar 4,25 m3/detik, Sungai Lalan sebesar 5,45 m3/detik, Sungai Meranti 2,33 m3/detik dan Sungai Kapas 3,84 m3/detik (REKI, 2009).
Keadaan aliran-aliran sungai di areal ini tergolong masih baik dan berair secara kontinyu, sehingga pada musim kering air masih tersedia. Sungai-sungai di sekitar kawasan permukiman biasanya digunakan untuk keperluan mandi, cuci, kakus dan air minum. Oleh karena itu, manfaat air sangat besar bagi penduduk di daerah ini, maka keberadaan air permukaan terutama yang berasal dari aliran sungai sangat penting dalam menopang keseimbangan ekologis di daerah ini (REKI, 2009). Luas pembagian Sub-DAS tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Luas Pembagian Sub-DAS Areal Kerja PT REKI
No. Sub-DAS
Sumber: RKUPHHK PT REKI Tahun 2008 – 2017 (REKI 2009).
4.9 Potensi Tumbuhan dan Satwaliar
4.9.1 Tumbuhan
Areal yang terletak di kelompok Sungai Meranti-Sungai Kapas dan kelompok hutan Hulu Sungai Meranti-Hulu Sungai Lalan pada umumnya merupakan areal hutan sekunder (bekas tebangan). Berdasarkan interpretasi citra landsat TM 2002/2003 (areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan) dan TM 234 jenis tutupan hutan (areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi) dikelompokkan dalam tiga stratifikasi :
(21%), sedangkan pada areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi mencakup luas 22.666 ha (46,08%). Hutan sekunder tinggi berdasarkan massa tegakannya disebut juga hutan produktif.
Hutan Sekunder Sedang, yaitu hutan peralihan antara hutan sekunder rendah dan tinggi dengan penutupan tajuk berkisar 40-71% dan didominasi oleh struktur vegetasi pada tingkat tiang. Areal ini mencakup luas 16,191 ha (31%) untuk areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan untuk areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi mencakup 10.250 ha (20,84%). Berdasarkan massa tegakannya disebut juga hutan kurang produktif.
Hutan Sekunder Rendah, hutan sekunder dengan penutupan tajuk < 40%. Pada areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan mencakup luas 24.984 ha (48%), sedangkan pada areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi mencakup luas 16.269 ha (33,08%). Hutan ini dapat dikategorikan sebagai hutan yang sangat terdegradasi. Areal ini didominasi semak terutama pada areal bekas terbakar atau hutan dengan struktur vegetasi yang didominasi oleh tingkat pancang (REKI, 2009).
Jenis pohon pada hutan sekunder tinggi didominasi oleh meranti (Shorea spp.), medang (Litsea spp.) dan balam (Palaquium spp.). Jenis pohon pada hutan sekunder sedang didominasi oleh meranti (Shorea spp.), medang (Litsea spp.) dan kempas (Koompassia excelsa). Beberapa jenis pohon yang termasuk jenis dilindungi, diantaranya jelutung (Dyera sp.), Surian (Toona sp.), Meranti damar (Shorea spp.), bulian (Eusideroxylon zwageri) dan tembesu (Fagraea fragrans) (REKI, 2009).
4.9.2 Satwaliar
Berdasarkan hasil pengumpulan data dapat dikemukakan bahwa pada kawasan ini terdapat 380 spesies yang terdiri atas 61 spesies kelas mamalia, 269 spesies kelas aves, 31 spesies kelas reptilia dan 19 spesies kelas amfibia. Jumlah spesies yang tergolong dalam spesies endemik atau dilindungi oleh undang-undang terdapat 44 spesies atau 29,33% dari total spesies yang telah berhasil dikumpulkan datanya. Spesies endemik tersebut terdiri atas 20 spesies kelas mamalia, 22 spesies kelas aves dan 2 spesies kelas reptilian (REKI, 2009).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penyebaran spesies endemik atau dilindungi undang-undang, sebagai berikut :
a. Di areal hutan sekunder tinggi terdapat sebanyak 37 spesies yang terdiri atas 18 spesies kelas mamalia, 17 spesies kelas aves dan 2 spesies kelas reptilia;
b. Di areal hutan sekunder sedang sebanyak 29 spesies yang terdiri atas 15 spesies kelas mamalia dan 14 spesies kelas aves; dan
c. Di areal hutan sekunder rendah sebanyak 20 spesies yang terdiri atas 8 spesies kelas mamalia, 11 spesies kelas aves dan 1 spesies kelas reptilian (REKI, 2009).
4.10 Aksesibilitas
Kawasan hutan restorasi di kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas berada di perbatasan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan sehingga arealnya terdapat pada kedua provinsi tersebut, yaitu kira-kira 19% masuk Provinsi Jambi dan 81% masuk Provinsi Sumatera Selatan. Areal kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas ini bisa dicapai dari arah Jambi atau dari arah Palembang, yaitu ±80 km arah Barat Daya dari Kota Jambi atau ±165 km arah Barat Laut dari Kota Palembang (REKI, 2009).
Areal kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas juga dapat dicapai melalui jalan eks logging PT Asialog berupa jalan yang tidak diperkeras sejauh kurang dari 10 km. Namun karena sudah lama tidak digunakan, saat ini kondisi jalan sulit untuk bisa dilalui terutama setelah turun hujan (REKI, 2009).
Desa terdekat dari lokasi restorasi berada di bagian selatan, yaitu Desa Sako Suban, Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin. Untuk mencapai Desa Sako Suban, dari arah Palembang dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu :
1. Palembang-Sekayu-Mangun Jaya-Lubuk Bintialo-Sako Suban. Dari Palembang ke Sekayu dan Mangun Jaya melalui jalan aspal dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum (bis, travel) dengan waktu tempuh 5-6 jam. Dari Mangun Jaya ke Lubuk Bintialo melalui jalan aspal dan tanah (kondisi rusak) menggunakan angkutan umum pedesaan atau ojeg motor dengan waktu tempuh 1-2 jam. Selanjutnya dari Lubuk Bintialo ke Sako Suban melalui Sungai Batanghari Leko-Sungai Kapas menggunakan perahu/ketek dengan ongkos carter Rp 200.000-Rp 250.000 dengan waktu tempuh 3-4 jam.
2. Palembang-Simpang Gas (arah ke Bayung Lencir dan Jambi)-Lubuk Bintialo-Sako Suban. Dari Palembang ke Simpang Gas melalui jalan aspal trans Sumatera dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum (bis, travel) dengan waktu tempuh 5-6 jam. Dari Simpang Gas ke Lubuk Bintialo melalui jalan berbatu dan tanah sepanjang 63 km milik perusahaan minyak PT Conoco Philip menggunakan angkutan umum pedesaan atau ojeg motor dengan waktu tempuh 3 jam. Sementara itu, dari Lubuk Bintialo ke Sako Suban melalui Sungai Batanghari Leko-Sungai Kapas menggunakan perahu/ketek dengan ongkos carter Rp 200.000-Rp 250.000 dengan waktu tempuh 3-4 jam (REKI, 2009).
4.11 Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat 4.11.1 Desa Bungku
Desa Bungku merupakan desa asli yang terbentuk sejak lama. Desa Bungku
Desa Bungku memiliki 2 (dua) dusun, yaitu Dusun Bungku Indah (dusun lama) dan
Dusun Johor Baru (pengembangan pemukiman dusun baru karena adanya
transmigrasi) yang terdiri atas 13 Rukun Tetangga (RT) (Dephut, 2007).
Pola pemukiman penduduk termasuk pola pemukiman menyebar dalam
bentuk kumpulan-kumpulan kecil yang kemudian dikelola dalam sebuah bentuk
Rukun Tetangga (RT). Tipe perumahan masyarakat saat ini telah bercampur antara
tipe rumah asli (rumah panggung papan) dan rumah permanen dengan letak rumah
yang tidak terlalu jauh. Pekerjaan utama masyarakat desa umumnya adalah petani,
khususnya petani perkebunan karet (Dephut, 2007).
Desa ini termasuk ke dalam Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari.
Secara goegrafis pusat desa terletak pada posisi 01 54' 32", 5 dan 103 15' 37", 6
dengan topografi relatif datar sedikit bergelombang. Perjalanan menuju Desa Bungku
dapat ditempuh melalui jalan darat yang berjarak 30 Km dari pusat kecamatan, 30
Km dari pusat Kabupaten (Muara Bulian) dan sejauh 100 Km dari ibukota Propinsi
Jambi. Akses transportasi untuk menuju dan keluar desa ini tidak terlalu sulit, apalagi
kondisi jalan telah beraspal sejak dari pusat ibukota kabupaten sampai ke desa. Jalur
transportasi dilayani oleh angkutan desa yang beroperasi sejak pagi hingga sore hari.
Desa Bungku memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara dengan Desa Pompa Air
Sebelah Selatan dengan PTP Durian Luncuk
Sebelah Timur dengan Desa Markanding
Sebelah Barat dengan Desa Singkawang/Jebak (Dephut, 2007).
4.11.2 Sako Suban
Masyarakat Desa Sako Suban adalah masyarakat yang memiliki ikatan dan keterkaitan yang sangat erat dengan sungai dan hutan. Keterkaitan masyarakat dengan sungai ini tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan akan air dan sumber makanan seperti beberapa jenis ikan untuk memenuhi gizi keluarga. Sungai sudah sejak dahulu digunakan oleh masyarakat sebagai alat transportasi dan media untuk mengangkut hasil – hasil perekonomian mereka baik secara subsistem maupun komersil mulai dari hasil pertanian hingga hasil hutan berupa kayu (REKI, 2009). Gambar 4 merupakan gambaran keterikatan masyarakat Sako Suban dengan sungai.
(a)
Sumber : Profil Desa Sako Suban (REKI, 2009)
(b) (c)
Gambar 4 Keterikatan masyarakat Sako Suban dengan sungai: (a) Letak Desa Sako Suban di sepanjang Sungai Kapas, (b) Sungai sebagai media transportasi dan (c) Sungai untuk aktivitas rutin sehari-hari (seperti mandi, mencuci, dll).
Selain sungai, hutan merupakan salah satu sumber penghidupan bagi masyarakat Desa Sako Suban. Hutan dianggap bukan hanya sebagai sumber untuk mendapatkan hewan – hewan buruan, namun hutan juga menyediakan beberapa jenis tumbuh – tumbuhan sebagai bahan ramuan obat-obatan (hasil hutan bukan kayu) dan lahan yang memadai bagi masyarakat untuk bercocok tanam. Hingga saat ini, hanya sebagian kecil saja masyarakat yang memanfaatkan HHBK dan hewan buruan, untuk pola hidup subsistemnya. Masyarakat lebih banyak memanfaatkan kayu (bebalok) dan menyadap karet untuk menunjang perekonomian (REKI, 2009).
Sebagian masyarakat masih ada yang melakukan perburuan liar, namun frekuensinya tidak terlalu tinggi. Alat yang umum digunakan adalah jerat dan senapan. Hasil buruan biasanya dikonsumsi sendiri atau dijual ke tetangga. Satwa yang biasanya diburu antara lain rusa, kijang, trenggiling, labi-labi dan burung (REKI, 2009).
warga Sako Suban adalah petani karet. Semua rumah tangga di desa Sako Suban mempunyai kebun karet, baik yang telah disadap maupun yang belum. Rata-rata setiap rumah tangga memiliki kebun karet antara 2-10 hektar (REKI, 2009).
Sejarah perkembangan masyarakat Desa Sako Suban mencatat bahwa masyarakat memiliki interaksi yang cukup tinggi dengan sumber daya hutan. Interaksi ini telah menciptakan sebuah pola budaya tersendiri dalam bentuk adaptasi dengan alam yang harmonis serta kearifan lokal mereka dalam mengelola hutan untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya. Hasil adaptasi dengan hutan itu juga telah merasuk ke dalam struktur sosio-kultural masyarakat desa (REKI, 2009).
Seperti umumnya masyarakat adat yang ada di pulau Sumatera, masyarakat Desa Sako Suban memiliki latar belakang sejarah sebagai petani peladang berpindah. Hal ini merupakan hasil adaptasi paling baik dan paling rasional masyarakat dapat dipahami dalam konteks keseimbangan yang mereka bangun dari keterbatasan tenaga kerja dan sumberdaya alam yang tersedia. Pilihan sebagai peladang adalah tindakan yang paling rasional dalam arti perilaku ekonomi mereka efisien dan efektif dalam konteks sosial-ekonomi masyarakat. Hal ini terbukti bahwa mereka dapat menciptakan kelestarian sistem sosial-ekonominya untuk kurun waktu yang cukup panjang (REKI, 2009).
Beberapa areal perladangan masyarakat Desa Sako Suban umumnya berada di sekitar bantaran Sungai Kapas yang membentang dari hulu ke hiir sungai. Biasanya pola perladangan dimulai dengan persiapan lahan yaitu dengan menebang dan menebas (slash). Kemudian beberapa ranting dan semak belukar tersebut dibiarkan kering terlebih dahulu. Biasanya proses ini dilakukan pada musim panas (sekitar bulan Maret-Juli). Semua biomassa tersebut kering, masyarakat menyiapkan sekat bakar untuk mencegah api merambat dan menjalar ke lahan sekitar, baru setelah itu dilakukan proses pembakaran (burn) (REKI, 2009).
tanah. Ketika lahan dinilai sudah siap, baru dilakukan proses penanaman. Dari zaman dahulu, masyarakat biasa menanam padi darat untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok mereka. Namun sejak 5 dasawarsa terakhir, masyarakat mulai menanam karet di lahan mereka. Karet yang mereka tanam adalah jenis karet alam (bibit lokal) (REKI, 2009).
Dalam interval masa menunggu panen, biasanya masyarakat mencari lahan baru untuk membuka areal perladangan kembali. Siklus areal perladangan berpindah ini antara 20-30 tahun. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk dan keterbatasan lahan, pola pertanian ladang berpindah ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Desa Sako Suban, terlebih lagi sejak masuknya konsesi perusahaan besar dibidang kehutanan (industrial logging) (REKI, 2009).
Walaupun hampir sebagian besar masyarakat telah meninggalkan pola pertanian ladang berpindah, namun mereka belum meninggalkan pola pertanian tradisional slash and burn cultivation. Masyarakat hanya mengandalkan kesuburan alami tanah tanpa adanya introduksi dari pola-pola pertanian modern (intensifikasi dan mekanisasi pertanian) dan penggunaan pupuk dan pestisida. Hingga saat ini hampir sebagian besar masyarakat Desa Sako Suban merupakan petani karet dan sudah sedikit sekali menanam padi darat di rompok mereka. Kebutuhan akan beras biasanya diperoleh dari warung-warung yang ada di desa dari hasil penjualan karet (REKI, 2009).
Sejak tahun 1968 kawasan ini sudah disentuh oleh perusahaan besar kehutanan (industrial logging) berupa HPH. Secara lengkap beberapa HPH yang mengeksploitasi kawasan hutan di sekitar Sungai Kapas dan Sungai Meranti ini yang berdekatan dengan wilayah Desa Sako Suban sebagai berikut : HPH PT Padeco (1968 s/d 1986), HPH PT Niti Remaja (1970 s/d 1989), HPH Inhutani V, juga terdapat banyak HPH skala kecil (IPKTM) yang juga beroperasi di kawasan sekitar hutan desa, seperti PT Sengentar Alam dari Palembang dan PT Akiang dari Jambi yang merupakan bagian dari subkontrak PT Inhutani V (REKI, 2009).
4.11.3 Tanjung Sari
Desa Tanjung Sari adalah salah satu desa yang paling berdekatan dengan
dari lokasi restorasi ekosistem. Desa ini berada di Kecamatan Sungai Bahar,
Kabupaten Muaro Jambi. Untuk mencapai Desa Tanjung Sari dapat ditempuh melalui
jalan darat yang berjarak 24 Km dari pusat kecamatan, 140 Km dari pusat Kabupaten
dan sejauh 110 Km dari ibukota Propinsi Jambi. Akses transportasi untuk menuju dan
keluar desa masih jalan tanah, apabila hujan akan sulit untuk dilalui oleh kendaraan
bermotor. Jalur transportasi dilayani angkutan umum yang hanya beroperasi satu kali
untuk setiap harinya, keluar dari desa menuju kecamatan atau Kota Jambi pada pagi
hari dan kembali menuju desa pada sore hari. Desa Tanjung Sari memiliki batas-batas
wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara dengan Desa Tri Jaya (Trans Unit 8) Sebelah Selatan dengan Desa Tanjung Lebar
Sebelah Timur dengan Desa Adipura Kencana (Trans Unit 20)
Sebelah Barat dengan PT Asiatic Persada (Kab. Batang Hari) (Dephut, 2007). Desa Tanjung Sari juga merupakan salah satu desa transmigrasi yang di buka
pada tahun 1996, dimana awalnya penduduknya merupakan pindahan dari Pulau
Jawa. Desa ini juga dikenal dengan Trans Unit 22 dengan pola perkebunan kelapa
sawit. Pada perkembangannya masyarakat Desa Tanjung Sari bertambah dengan
banyaknya pendatang yang berasal dari Provinsi Jambi maupun dari luar provinsi.
Para pendatang pada umunya beraktifitas di bidang pertanian dan perkebunan, ada
yang memulai dengan membeli lahan pertanian dan ada juga yang memulai aktifitas
pertaniannya dengan membuka hutan (Dephut, 2007).
Desa Tanjung Sari sebagai desa transmigrasi pola perkebunan, awalnya
semua mata pencaharian masyarakatnya adalah pertanian. Pada perkembangannya
mata pencaharian masyarakat mulai beragam, mulai dari bidang jasa perdagangan dan
juga sektor jasa seperti berdagang, sopir, tukang bangunan, buruh perkebunan, sektor
industri kecil maupun sektor kehutanan (Dephut, 2007).
Sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama di Desa Tanjung Sari
terlihat sangat menjanjikan dimana tipe atau bentuk-bentuk rumah sebagai tanda desa
transmigrasi sudah mulai jarang terlihat, masyarakat sudah mulai membuat bangunan
yang lebih bagus dan hampir semua keluarga di Desa Tanjung Sari memiliki
kendaraan bermotor baik itu sepeda motor ataupun mobil. Peningkatan taraf
kehidupan masyarakat menjadi maju seiring dengan sudah berproduksinya lahan
perkebunan kelapa sawit dan pengembangan perkebunan oleh masyarakat juga sudah
Pola pemukiman pada awalnya tertata dan tersusun rapi sebagai program transmigrasi, namun pada perkembangannya mulai menyebar dan ada juga yang membuat kumpulan-kumpulan pemukiman. Pengelompokan pemukiman di desa terbagi menjadi 4 dusun, yang dikenal dengan nama dusun I sampai dusun IV (Dephut, 2007). Bahasa dan adat istiadat yang digunakan masyarakat desa adalah adat istiadat Melayu Jambi. Agama yang dianut sebagian besar adalah agama islam (REKI, 2008).
Tingkat pendidikan masyarakat desa sudah cukup baik dan sangat bervariasi. Tabel 8 menjelaskan hasil wawancara mengenai jumlah penduduk pada tahun 2010 berdasarkan tingkat pendidikannya.
Tabel 8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa)
1. SD 1027
2. SMP 553
3. SMA 571
4. D3 15
5. S1 25
Total 2191
Tingkat perekonomian masyarakat Desa Tanjung Sari (unit 22) yang sudah maju terlihat dari pembangunan-pembangunan fisik desa dengan biaya dari masyarakat, yaitu hasil dari berkebun sawit. Desa Tanjung Sari juga sudah memiliki puskesmas pembantu (pustu) untuk mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat. Gambar 5 merupakan salah satu pembangunan fisik dari hasil biaya masyarakat dan pasar yang terdapat di Desa Tanjung Sari.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest
Restorasi ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan kondisi hutan yang saat ini sudah rusak ke kondisi ekosistem awalnya dengan tujuan memperoleh kembali keanekaragaman hayati (PT REKI, 2007). Tujuan dari restorasi ekosistem tersebut dapat dicapai dengan melakukan beberapa tahapan dari kegiatan restorasi ekosistem. Berikut tahapan-tahapan kegiatan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest :
1. Penataan areal kerja yang dilakukan tiga tahun sebelum penanaman. 2. Inventarisasi tumbuhan yang dilakukan dua tahun sebelum penanaman. 3. Pembukaan wilayah hutan yang dilakukan satu tahun sebelum penanaman. 4. Pengadaan bibit yang dilakukan satu tahun sebelum penanaman.
5. Penanaman
6. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan satu tahun, dua tahun dan tiga tahun setelah penanaman.
7. Restorasi habitat tumbuhan dan satwa liar dilakukan lima tahun, tujuh tahun dan sembilan tahun setelah penanaman.
8. Pengamanan hutan dilakukan sepanjang tahun. 9. Penelitian dilakukan sepanjang tahun.
Keberhasilan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest dapat dicapai dengan adanya dukungan dan kerja sama. Salah satunya yaitu melibatkan masyarakat dalam kegiatan restorasi ekosistem. Pada dasarnya tahapan-tahapan dari kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh pihak PT REKI dapat dilakukan bersama masyarakat khususnya dalam hal sebagai tenaga kerja. Secara spesifik beberapa kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat sebagai berikut: 1. Penyediaan bibit tanaman hutan dalam program community nursery;
2. Penanaman dan pemeliharaan tanaman hutan dalam program community nursery; dan
Selain bekerja sama dengan masyarakat setempat dalam pelaksanaan kegiatan restorasi ekosistem, pihak PT REKI juga melakukan kerja sama dengan sekolah-sekolah. Bentuk kerja sama yang biasa dilakukan dengan sekolah-sekolah, yaitu melakukan penanaman bersama di lokasi yang telah disiapkan untuk direstorasi (Gambar 6a). Dalam pelaksanaannya, kegiatan penanaman bersama anak-anak sekolah dipadukan dengan kegiatan lainnya, seperti cara pembibitan (Gambar 6b), pengenalan ekosistem (Gambar 6c), pengenalan jenis pohon, pengenalan satwa dan habitatnya (Gambar 6d), serta kegiatan lainnya dalam bentuk permainan (Gambar 6e).
(a) (b)
(c) (d)
(e)
5.2 Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan Restorasi Ekosistem 5.2.1 Persepsi Masyarakat Berdasarkan Pendidikan
Tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang cukup erat dengan persepsi masyarakat dan menurut Mauludin (1994) pendidikan merupakan faktor yang paling baik dijadikan sebagai pendugaan persepsi. Tabel 9 menjelaskan persepsi berdasarkan tingkat pendidikan.
Tabel 9 Tingkat Persepsi Masyarakat Berdasarkan Pendidikan.
Masyarakat Pendidikan DKH= Dampak kerusakan hutan; PNRE= Pertanyaan negatif tentang restorasi ekosistem; dan PPRE= Pertanyaan positif tentang restorasi ekosistem.
development yang ditunjuk sebagai tenaga pengajar. Sasaran dari sekolah keliling ini yaitu anak-anak dari masyarakat Batin Sembilan dan proses mengajar juga dilakukan secara tidak rutin. Staf yang bertugas sebagai tenaga pengajar harus berkeliling mengajar dari satu tempat ke tempat lain, walaupun terkadang anak-anak tersebut tidak ada di tempat tetapi berada di dalam hutan karena harus membantu orang tua menyadap getah. Proses pendekatan oleh pihak PT REKI terhadap masyarakat Batin Sembilan difasilitasi oleh salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dikenal dengan WARSI. Lembaga Swadaya Masyarakat ini sudah cukup lama menggali tentang keberadaan masyarakat Batin Sembilan dan berusaha untuk membantu mempertahankan hak-hak masyarakat yang umumnya sudah lama berada di dalam areal Harapan Rainforest (PT REKI).
Gambar 7 Sekolah keliling bagi anak-anak Batin Sembilan.
Sumber : Harapan Rainforest
panas dan udara tidak segar lagi, serta bencana banjir dan longsor juga dapat terjadi. Oleh karena itu, responden berharap dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem maka permasalahan yang disebabkan karena kerusakan hutan dapat teratasi. Responden cenderung setuju dengan nilai rata-rata 3,85 bahwa kegiatan restorasi ekosistem diharapkan dapat memperbaiki kondisi fisik hutan (tanah, air dan udara) menjadi lebih baik dan meningkatkan jumlah satwa liar dan tumbuhan, serta dapat mencegah terjadinya bencana banjir dan longsor. Persepsi yang positif tersebut juga diberikan karena masyarakat Batin Sembilan menganggap hutan sebagai tempat tinggal. Oleh karena adanya dorongan dari tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, maka responden setuju bahwa peran masyarakat juga penting dalam menjaga kelestarian hutan karena kelestarian hutan merupakan salah satu tanggung jawab masyarakat, terutama masyarakat dalam hutan seperti masyarakat Batin Sembilan. Kelestarian hutan dan sumberdayanya dapat terjaga dengan diberlakukannya suatu peraturan yang mengatur pemanfaatan hasil hutan.
REKI maka diharapkan masyarakat diikutsertakan dalam pelaksanaannya yaitu sebagai tenaga kerja.
Responden Batin Sembilan dapat dikatakan memiliki konsistensi dalam memberikan persepsi terhadap kegiatan restorasi ekosistem, terutama pada manfaat sosial yang dapat diperoleh masyarakat dari kegiatan restorasi ekosistem ini. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 9, nilai rata-rata yang diperoleh responden tergolong tinggi yaitu 3,86 yang menunjukkan responden cenderung tidak setuju terhadap pertanyaan negatif (Lampiran 1 bagian C). Responden tidak setuju apabila kegiatan restorasi ekosistem tidak diterima oleh masyarakat Batin Sembilan dan tidak bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, melainkan responden cenderung setuju bahwa kegiatan restorasi ekosistem diterima oleh masyarakat Batin Sembilan dan akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Batin Sembilan. Persepsi positif tersebut ditunjukkan dengan nilai rata-rata yang tergolong tinggi untuk pertanyaan positif dari manfaat sosial yang dapat diperoleh masyarakat dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem (Lampiran 1 bagian C) yaitu 3,70. Persepsi tersebut berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki responden. Responden berpikir bahwa dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem yang menjadi salah satu upaya dalam memperbaiki dan memulihkan kondisi hutan yang rusak maka dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat, terutama masyarakat hutan yang sangat tergantung pada hutan dan sumberdayanya.
Oleh karena itu, umumnya masyarakat baik remaja ataupun orang tua di Desa Sako Suban lebih sering terlihat di kebun karet dan di warung-warung untuk bermain gap.
Gambar 8 Bangunan Sekolah Dasar di Desa Sako Suban.
Pendidikan yang dimiliki masyarakat Sako Suban secara umum tidak mempengaruhi persepsi yang diberikan terhadap kegiatan restorasi ekosistem, kecuali persepsi terhadap manfaat ekonomi dari restorasi ekosistem. Nilai rata-rata yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi nilai rata-rata yang diperoleh dan semakin positif persepsi yang diberikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Surata (1993) dalam Widawari (1994) yang menyatakan bahwa umumnya persepsi seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Nilai rata-rata yang diperoleh responden untuk manfaat ekonomi dari restorasi ekosistem, menunjukkan bahwa responden cenderung setuju dilakukannya kegiatan tersebut karena dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan dapat dijadikan salah satu solusi untuk memecahkan masalah terkait perekonomian masyarakat.
diperoleh responden Sako Suban baik yang tidak sekolah maupun yang memiliki pendidikan SD hingga perguruan tinggi umumnya tergolong tinggi. Nilai rata-rata yang diperoleh menunjukkan bahwa responden cenderung setuju bahkan sangat setuju dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem karena dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Responden yang tidak sekolah, responden yang memiliki pendidikan SMP dan perguruan tinggi memperoleh nilai rata-rata yang menunjukkan responden cenderung setuju bahwa kerusakan hutan dapat mengakibatkan terganggunya fungsi hutan. Namun, sebagian besar responden yaitu responden dengan pendidikan SD dan SMA cenderung menyatakan cukup setuju bahwa terganggunya fungsi hutan karena terjadinya kerusakan hutan, tetapi di sisi lain responden juga memberikan pernyataan bahwa kondisi lingkungan sekitar memang dari dulu sudah seperti sekarang ini, tidak terjadi perubahan atau penurunan fungsi hutan. Responden menyatakan bahwa pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumberdaya hutan baik satwa liar dan tumbuhan, serta kayu dari pohon-pohon yang ditebang tidak menimbulkan kerusakan hutan yang dapat berdampak buruk bagi masyarakat.
Sebagian besar responden cenderung setuju bahkan responden yang memiliki pendidikan perguruan tinggi menyatakan sangat setuju dengan nilai rata-rata 5,00 bahwa restorasi ekosistem merupakan salah satu upaya dalam memulihkan atau mengembalikan kondisi hutan yang rusak pada keadaan semula dan berfungsi sesuai peruntukkannya. Selain itu, kegiatan restorasi diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang sekiranya dapat ditimbulkan apabila terjadinya kerusakan hutan. Dalam proses pemulihan kondisi hutan tersebut, peran masyarakat sangat dibutuhkan dan responden Sako Suban menyatakan bersedia apabila dilibatkan dalam kegiatan restorasi.