• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnobotani Pangan Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten Raja Ampat Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etnobotani Pangan Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten Raja Ampat Papua Barat"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

HABIBA MACAP

ETNOBOTANI PANGAN SUKU MATBAT DI PULAU MISOOL

KABUPATEN RAJA AMPAT PAPUA BARAT

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Etnobotani Pangan Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten Raja Ampat Papua Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Habiba Macap

(3)

ABSTRAK

HABIBA MACAP. Etnobotani Pangan Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten Raja Ampat Papua Barat. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan ERVIZAL A.M. ZUHUD.

Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki pengetahuan tentang tumbuhan pangan yang berbeda-beda. Namun dokumentasi mengenai pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan pangan belum banyak dilakukan. Pendokumentasian tersebut dapat dilakukan melalui kajian etnobotani. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi keanekaragaman spesies tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh Suku Matbat. Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Tomolol, pulau Misool Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, pada bulan Agustus-September 2012. Pengumpulan data penelitian yaitu observasi lapang dan wawancara dengan metode purposive sampling. Berdasarkan hasil penelitian, tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh suku ini sebanyak 63 spesies dari 33 famili dengan dominasi dari famili Arecaeae. Tumbuhan tersebut banyak ditemui di pekarangan kemudian kebun serta 11 jenis yang ditemukan liar di hutan dataran rendah. Pada suku ini masih ditemui sistim pertanian nomaden dengan model kebun agroforestri tradisonal. Kearifan tradisional yang teridentikasi yaitu semacam larangan atau moratorium dalam pemanfaatan tumbuhan yang disebut

sasi.

Kata Kunci: etnobotani, suku Matbat, tumbuhan pangan

ABSTRACT

HABIBA MACAP. Food Ethnobotany of Matbat Ethnic in Misool Island of Raja Ampat West Papua. Supervised by AGUS HIKMAT and ERVIZAL A.M. ZUHUD.

Indonesia community consists of various ethnic groups who have different knowledge of food plants. However, there is documentation about knowledge and utilization of food plants. The documentation can be done through ethnobotanical study. Purpose of the research was to identify the diversity of the used of food plants by the matbat ethnic. The research was conducted in Tomolol village, Misool islands of Raja Ampat, West Papua, on August-September 2012. The data was collected through observation and interview using purposive sampling method. Based on this research, the ethnic used 63 species of 33 families was the food plants with a predominance of family Arecaceae. The plants were mostly found in the yard and garden, and there were 11 species found wild in lowland forests. People In this ethnic still found nomadic farming system model with traditional agroforestry gardens. Traditional knowledge identified the forbiddean or moratorium the used of plants called “sasi”.

(4)

HABIBA MACAP

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

(5)

Judul Skripsi : Etnobotani Pangan Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten Raja Ampat Papua Barat

Nama : Habiba Macap NIM : E34090129

Disetujui oleh

Dr. Ir. Agus Hikmat, MScF Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Etnobotani Pangan Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten Raja Ampat Papua Barat”. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus-September 2012.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, MScF dan Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS selaku pembimbing. Terimakasih kepada Bapak Toyib Macap, A.md dan Bapak Kepala Desa Kampung Tomolol yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Terimakasih juga kepada Bapak dan Mama beserta keluarga atas doa, motivasi dan kasih sayangnya.

Bogor, Juli 2013

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

METODE 2

Lokasi dan Waktu 2

Alat dan Bahan 2

Objek Penelitian 3

Jenis Data yang Dikumpulkan 3

Metode Pengumpulan Data 4

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 5

Karakteristik Responden 10

Tumbuhan Pangan 12

Cara Pengolahan 20

Pola Konsumsi Masyarakat 22

Kedaulatan Pangan Masyarakat Suku Matbat 22

Kearifan Tradisional Sasi Suku Matbat 23

SIMPULAN DAN SARAN 24

Simpulan 24

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 27

(8)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan metode pengumpulan data 2 2 Keanekaragaman famili 13 3 Persentase tumbuhan berdasarkan tipe habitat 14 4 Daftar spesies tumbuhan pangan yang ditemukan liar dan semi budidaya 16 5 Jumlah spesies dan persentase bagian tumbuhan pangan yang digunakan 17 6 Persentase tumbuhan pangan berdasarkan habitusnya 17 7 Tumbuhan sumber karbohidrat selain sagu 18 8 Bahan pelengkap/rempah yang dimanfaatkan oleh warga Suku Matbat 19

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian 3

2 Tombak berburu yang terbuat dari kayu, parang dan kapak 8 3 Alat angkut/noken dan peralatan membuat api 8

4 Peralatan rumah tangga 8

5 Sketsa Kampung Tomolol/tata guna lahan Kampung Tomolol 9

6 Kelompok umur responden 10

7 Anak-anak yang ikut membantu memanen hasil kebun 11

8 Persentase jenis kelamin 11

9 Perempuan yang ikut serta mengerjakan pekerjaan laki-laki 11

10 Komposisi tingkat pendidikan 12

11 Tumbuhan pangan karbohidrat yang masih dijumpai liar 13 12 Komposisi tumbuhan pangan berdasarkan tipe habitat 13

13 Jerat/trap babi hutan 14

14 Komposisi tumbuhan berdasarakan status budidaya 15

15 Hasil akhir dari pemanenan sagu 15

16 Daun gedi (Abelmoschus manihot) dan Rabong (Gigantochloa apus) 18 17 Langsat (Lansium domestica) dan Cempedak (Artocarpus integer) 19

18 Kacang panjang (Vigna sinensis) 19

19 Lemong (Citrus aurantifolia), Kumangi (Occimum basilicum) dan

Sarei (Cymbopogon nardus) 20

20 Olahan pangan sayur tumis bunga dan daun papaya (Carica papaya) 21 21 Pisang rebus, Patatas rebus, kaladi kukus dan Papeda 21 22 Tungku tempat memasak dan Persediaan bahan bakar kayu 21 23 Larangan mengambil buah pinang (sasi) 24

DAFTAR LAMPIRAN

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Papua merupakan salah satu provinsi yang berada di bagian timur Indonesia. Dengan formasi hutan yang masih alami, Papua memiliki keanekaragaman hayati yang tergolong tinggi. Selain kaya akan flora dan fauna, Papua juga memiliki keberagaman etnik dan budaya yang berkaitan dengan alam dan lingkungannya yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat dilihat dari pengetahuan dan cara setiap etnik yang berinteraksi dengan alam secara turun-temurun dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Purwanto dan Walujo (1995), masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, masing-masing memiliki tingkat pengetahuan dan hubungan dengan lingkungannya berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh lingkungan alam dan kondisi sosial budayanya. Salah satunya yaitu Suku Matbat yang berada di Kabupaten Raja Ampat. Suku Matbat merupakan salah satu suku pedalaman Pulau Misool yang berada di Kampung Tomolol Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Suku Matbat yang berada di Kampung Tomolol mengadaptasikan hidupnya dengan lingkungan. Berbagai kebutuhan sehari-harinya diperoleh dengan mengambil hasil hutan dan memanfaatkan hutan, antara lain berburu binatang seperti babi hutan, walabi dan berbagai spesies burung, memanfaatkan hutan dataran rendah sebagai lahan kebun dan menanam berbagai tumbuhan pangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sumberdaya keanekaragaman hayati hutan (kayu dan bukan kayu) serta budaya masyarakat di setiap lokasi hutan tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya (Zuhud 2008). Pengetahuan dan pemanfaatan berbagai macam spesies tumbuhan sebagai sumber pangan secara tradisional pada suku ini, diperoleh dari pengalaman secara turun-temurun dari para leluhur. Meskipun telah banyak tumbuhan berguna yang dimanfaatkan oleh suku ini, data dan dokumentasi etnobotani pangan yang menunjang pelestarian keanekaragaman hayati pada Suku Matbat belum tersedia. Etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari hubungan langsung manusia dengan tumbuhan dalam hal kegiatan pemanfaatannya secara tradisional (Soekarman dan Riswan 1992). Sehubungan dengan hal tersebut, maka kajian etnobotani pangan pada suku ini perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman spesies tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh Suku Matbat.

Manfaat Penelitian

(10)

pengetahuan tradisional Suku Matbat, sehingga kelestarian keanekaragaman dilaksanakan selama 1 bulan, yaitu dari bulan Juli-Agustus 2012.

Alat dan Bahan

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Perlengkapan wawancara: Panduan wawancara (kuisioner), alat tulis menulis, kamera.

2. Perlengkapan eksplorasi tumbuhan: Parang, kamera, karung goni, label, pemandu lapang, alat tulis menulis, tally sheet.

3. Perlengkapan pembuatan herbarium: Alkohol 70%, kertas koran, kantong plastik, selotif, kater, spesimen tumbuhan, kamera.

Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah spesies tumbuhan pangan yang digunakan oleh Suku Matbat di Kampung Tomolol, Kecamatan Misool, Kabupaten Raja Ampat dan bentuk-bentuk kearifan tradisional Suku Matbat dalam pemanfaatan tumbuhan pangan.

Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi lapang, dan kajian pustaka (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data

No Jenis Data Metode Pengumpulan Data

1 Nama lokal/ilmiah spesies tumbuhan yang digunakan

Wawancara, observasi lapang /pembuatan spesimen herbarium

2 Kegunaan tumbuhan Wawancara

3 Bagian yang digunakan Wawancara

4 Cara pengolahan tumbuhan pangan Wawancara dan observasi lapang

5 Cara penggunaan tumbuhan Wawancara dan observasi lapang

6 Cara pembudidayaan Wawancara dan observasi lapang

7 Kondisi habitat dan habitus tumbuhan Observasi lapang 8 Kondisi Suku Matbat (Sejarah, ekonomi, adat

istiadat, sosial, kepercayaan, pendidikan)

Wawancara dan observasi lapang

(11)

Sumber: BKSDA PAPUA BARAT (2012)

Keterangan: Lokasi penelitian

Gambar 1 Lokasi penelitian

(12)

Metode Pengumpulan Data

Kajian Pustaka

Data demografi Suku Matbat atau informasi mengenai kondisi umum lokasi penelitian (letak, luas, kondisi topografi, geologi, klimatik, hidrologis, potensi flora dan fauna, dan kondisi sosial budaya) didapatkan dengan cara kajian pustaka setelah berada di lokasi penelitian dengan cara observasi lapang di lokasi tersebut, dan mengambil data di pemerintah daerah setempat. Hal ini disebabkan kondisi lokasi penelitian yang berada di daerah terpencil sehingga pustaka mengenai kondisi umum lokasi tersebut relatif sulit diperoleh.

Wawancara

Penelitian ini dilakukan wawancara semi terstruktur dengan mengisi pertanyaan yang telah disiapkan pada kuisioner dan mengumpulkan beberapa data penting sebagai penunjang informasi. Wawancara dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu penentuan sampel atau jumlah responden sebanyak 30 orang dengan kriteria responden antara lain: masyarakat yang membudidayakan dan memanfaatkan tumbuhan pangan serta mengetahui cara pengolahannya.

Observasi Lapang

Observasi lapang dilakukan untuk verifikasi spesies tumbuhan dan mengambil sampel tumbuhan pangan yang dimanfaatkan berdasarkan hasil wawancara sebelumnya, dan diidentifikasi melalui pembuatan herbarium agar dapat diketahui nama ilmiah atau nama perdagangan dari spesies tersebut. Selain itu observasi lapang juga dilakukan agar dapat diketahui tata guna lahan pada Suku Matbat di Kampung Tomolol.

Dokumentasi dan Pembuatan Herbarium

Dokumentasi spesies tumbuhan pangan yang digunakan oleh masyarakat dengan cara pengambilan gambar atau foto. Spesies-spesies yang tidak dapat diidentifikasi di lokasi penelitian atau yang termasuk spesies langka, maka dibuat koleksi herbarium. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2006), koleksi herbarium merupakan kumpulan contoh tumbuhan yang diawetkan, diklasifikasi dan disimpan dalam bentuk material herbarium, koleksi basah/karpologi sebagai bahan penelitian. Informasi yang harus dipenuhi dalam pembuatan herbarium yaitu; keterangan mengenai nama ilmiah, nama daerah tumbuhan, pengumpul, nomor koleksi, tanggal koleksi, lokasi, elevasi, habitat dan keterangan lainnya. Adapun material herbarium umumnya bunga, buah, daun beserta ranting yang diawetkan dengan alkohol.

Analisis Data

Karakteristik Responden

(13)

kelompok antara lain yaitu, kelas umur 20-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun dan >50 tahun.

Persentase Tipe Habitat

Persentase tipe habitat tumbuhan dihitung berdasarkan jumlah spesies yang dimanfaatkan dari berbagai tipe habitat berupa hutan, kebun, ladang, pekarangan dan lain-lain. Persentase tipe habitat dapat digunakan persamaan sebagai berikut (Fakhrozi 2009):

Persentase tipe habitat tertentu =∑

∑ x 100 %

Persentase Bagian Tumbuhan yang Digunakan

Perhitungan persentase bagian tumbuhan yang dimanfaatkan meliputi batang, daun, akar, buah, biji, kulit, kayu, bunga, dan umbi pada tumbuhan pangan ditentukan dengan persamaan sebagai berikut (Fakhrozi 2009):

Persentase bagian tertentu yang digunakan = ∑

x 100 %

Persentase Habitus Tumbuhan yang Digunakan

Habitus merupakan perawakan atau tampilan dari suatu tumbuhan. Berikut definisi mengenai berbagai habitus tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (1988) diacu dalam Metananda (2012).

1. Pohon merupakan tumbuhan berkayu yang tinggi besar, memiliki satu batang yang jelas dan bercabang jauh dari permukaan tanah.

2. Herba merupakan tumbuhan tidak berkayu dengan batang lunak dan berair. 3. Perdu merupakan tumbuhan berkayu yang tidak terlalu besar dan bercabang

dekat dengan permukaan tanah atau di dalam tanah.

4. Semak merupakan tumbuhan berkayu yang mengelompok dengan anggota yang sangat banyak membentuk rumpun, tumbuh pada permukaan tanah dapat mencapai 1m.

5. Liana merupakan tumbuhan berkayu yang batangnya menjalar/memanjat pada tumbuhan lain.

Perhitungan persentase tingkat habitus tumbuhan ditentukan dengan persamaan sebagai berikut (Fakhrozi 2009):

(14)

129o44’-130o25’BT dan 1o30’-2o04’LS. Secara administratif kampung ini berbatasan dengan:

Sebelah utara : Kampung Volley Sebelah Selatan : Kampung Usaha Jaya Sebelah Barat : Kampung Fafanlap

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan ini memiliki tipe iklim A dengan curah hujan rata-rata pertahun 3.660 mm dan rata-rata jumlah hari hujan 192,9 hari. Hutan yang terdapat pada Kampung Tomolol termasuk tipe hutan hujan tropis dataran rendah. Hutan hujan tropis dataran rendah merupakan hutan yang terdapat pada ketinggian 0-1000 mdpl, mempunyai tingkat keaneragaman hayati yang tinggi dengan iklim basah (tipe A atau B) terutama pada tanah podsolik, latosol, dan aluvial (Zuhud dan Haryanto 1994).

Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat Kampung Tomolol cukup lengkap. Hal ini terlihat dengan tersedianya fasilitas Rumah Sakit (RS) yang cukup memadai. Secara umum, anak-anak pada suku ini banyak terserang penyakit kulit dan kudis akibat dari kurangnya sanitasi.

Mata pencaharian sehari-hari pada masyarakat Tomolol sangatlah beragam. Meskipun letak kampung berdekatan dengan salah satu perusahan swasta yang bergerak di bidang budidaya mutiara, tidak semua masyarakat bekerja pada perusahan tersebut. Adapun sebagian warga yang bekerja pada perusahan ini hanya menjadi buru diatas rakit dan satpam dengan penghasilan 58.000,-00/hari. Secara umum masyarakat Kampung Tomolol berprofesi sebagai petani. Jika kondisi laut lagi tidak bergelombang, masyarakat juga memanfaatkan laut untuk mencari hasil laut berupa ikan, udang¸ penyu, telur penyu, kerang mangrove dan hasil laut lainnya untuk dijual dan dikonsumsi sebagai sumber protein hewani.

Warga banyak menghabiskan waktu di hutan untuk membersihkan kebun yang berada di dalam hutan, mencari berbagai tumbuhan berguna dan menokok sagu. Kebiasaan berburu sangat tinggi pada masyarakat Tomolol. Masyarakat yang mendiami Kampung Tomolol merupakan masyarakat asli Suku Matbat. Terdapat beberapa pendatang yang berjualan di kampung ini, tetapi tingkat interaksinya dengan masyarakat sangat rendah, hal ini karena para pendatang tidak tinggal berdampingan dengan masyarakat di dalam kampung, melainkan memanfaatkan pantai yang tidak adanya pemukiman warga sebagai tempat berjualan.

Asal Mula Sejarah Suku Matbat

(15)

yang pertama yaitu Moom hellofanpo, kasta kedua yaitu dari marga Fadimpo manlangpo, untuk kasta ketiga mempunyai marga Mjam, kasta keempat Mlui, kasta kelima Faloon dan kasta yang terakhir yaitu yang bermarga Faam.

Sebelum masuknya pemerintahan seperti saat ini, marga Moom yang merupakan kasta pertama, memimpin sebanyak 14 kali pergantian kepala suku adat dengan periode memimpin selama seumur hidup untuk setiap oranganya. Marga Moom sampai saat ini telah menghasilkan 6 generasi dengan generasi yang pertama yaitu Moom hellofanpo (Moom yang lahir digunung Hellofanpo), Moom manlangpo (Moom yang lahir digunung Manlangpo), Moom angakni (Moom yang lahir di dalam sarang ayam hutan), Moom abiwa, Moom heljosu (Moom yang lahir di gunung Hutan Allah) Moom kapatpojei (Moom yang lahir di Kampung Tomolol). Marga Moom yang sekarang terbagi menjadi 2 yaitu Macap (Moom

yang beragama islam) dan Moom (Moom yang beragama kristen). Sistem Kepercayaan

Suku Matbat yang tinggal di Kampung Tomolol 100% beragama kristen. Masuknya ajaran agama kristen diperkirakan terjadi pada pergantian kepala suku adat yang ke 7 dari 14 kepala suku adat. Saat ini, meskipun secara keseluruhan masyarakat menganut agama kristen, namun beberapa kepercayaan zaman dahulu masih dianut sampai sekarang, salah satunya yaitu masyarakat percaya batu asa (batu gosok) dan kulit kerang triton mempunyai nilai sakral yang tinggi, karena pada zaman dahulu sebelum adanya agama, para tetua Suku Matbat jika dalam membuat perjanjian/sumpah tidak menyebut nama Tuhan melainkan kedua benda tersebut, sehingga jika dilanggar dapat menyebabkan kematian. Kebiasaan ini masih ada sampai dengan generasi sekarang dan berdampingan dengan ajaran agama kristen di Kampung Tomolol.

Bahasa

Klasifikasi bahasa pada Suku Matbat terbagi kedalam tiga bahasa, yaitu bahasa primitif atau bahasa Matbat, bahasa Raja Ampat atau bahasa Misool, dan bahasa Indonesia. Sebelum keluar dari hutan dan belum mengenal daerah pantai, masyarakat menggunakan bahasa primitif (bahasa matbat). Bahasa Raja Ampat (bahasa Misool) digunakan ketika masyarakat mengenal daerah pantai, kemudian disusul dengan bahasa Indonesia yang diperkirakan masuk bersamaan dengan ajaran agama kristen. Saat ini ketiga bahasa tersebut digunakan secara bersamaan, namun bahasa primitif (bahasa matbat) dan bahasa Raja Ampat (bahasa misool) digunakan oleh orang dewasa, sedangkan bahasa Indonesia digunakan oleh anak-anak.

Sistem Teknologi

(16)

(a) (b)

Gambar 1 (a) Tombak berburu yang terbuat dari kayu; (b) parang dan kapak Peralatan rumah tangga seperti alat pembuat api terdiri dari batu wajah, kapas enau dan besi yang disimpan dalam potongan bambu. Alat angkut yang disebut noken terbuat dari anyaman bambu dan pelepah pohon sagu, alat ini digunakan sebagai pengganti karung.

(a) (b)

Gambar 3 (a) Alat angkut/noken; (b) Peralatan membuat api

Pembuatan rumah adat, atap terbuat dari daun nipa (Nypa fruticans) dan daun sagu (Metroxylon sagu), dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalam rumah adat ini tidak adanya kamar dan segala perabotan diletakan dengan cara digantung. Selain atap rumah adat, terdapat juga payung tradisional yang terbuat dari anyaman daun nipa (Gambar 4c). Alat transportasi antara pulau untuk menjual hasil panen kebun ke kampung sekitarnya, suku ini menggunakan perahu semang. Perahu ini terbuat dari log kayu dan daun nipa sebagai atap serta di sisi kiri kanan diberi kayu sebagai penyeimbang (Gambar 4b).

(a) (b) (c)

(17)

Tata Guna Lahan

Penggunaan lahan pada perkampungan Tomolol sangatlah sederhana. Dengan kondisi perkampungan yang berada di atas bukit, pembagian lahan pada Kampung Tomolol terdiri dari formasi yang paling depan yaitu hutan mangrove, hutan pantai kemudian pemukiman yang terdiri dari rumah warga, pekarangan, dan beberapa fasilitas umum seperti sekolah SD, RS, gereja, dan lapangan volley ball. Formasi bagian samping terdiri dari Tempat Pemakaman Umum (TPU), bagian belakang perkampungan merupakan hutan primer dataran rendah, dan kebun-kebun warga yang menyebar di dalam hutan tersebut sehingga dapat disebut agroforestri tradisional. Hutan mangrove yang berada dibagian depan perkampungan, dimanfaatkan masyarakat untuk menyimpan perahu semang agar terhindar dari gelombang laut, selain itu masyarakat juga mencari hasil laut berupa kepiting dan kerang mangrove dihutan tersebut.

Kondisi perkampungan yang berada diatas bukit, formasi hutan pantai yang bersebelahan langsung dengan pemukiman berfungsi untuk menopang perumahan warga agar tidak terjadi longsor. Hutan pantai ditumbuhi beberapa tumbuhan pangan semi budidaya seperti kelapa (Cocos nucifera), dan tumbuhan pangan liar seperti kaladi (Colocasia esculenta) dan katapang (Terminalia catappa) dan berbagi jenis tumbuhan lainnya. Jarak rumah warga satu dengan yang lainnya tergolong renggang, hal ini menyebabkan pekarangan yang dimiliki setiap warga sangatlah luas sehingga ditanami berbagai macam tumbuhan pangan dan tumbuhan hias seperti pacar air (Impatiens balsamina) dari famili Balsaminceae dan bougenvile. Fasilitas umum berupa gereja, sekolah SD, RS, dan lapangan

volly ball terletak menyebar dan tidak terpusat pada satu tempat. Berikut sketsa dari perkampungan Tomolol.

(18)

Karakteristik Responden

Struktur Umur

Berdasarkan data yang diperoleh, responden yang diwawancarai cukup beragam, dimulai dari yang berumur 20 tahun sampai dengan 50 tahun keatas (Gambar 6). Hal ini menandakan adanya keberlangsungan pengetahuan maupun pengalaman tentang pemanfaatan tumbuhan pangan pada Suku Matbat dari leluhur terdahulu hingga saat ini.

Gambar 6 Kelompok umur responden

Kelompok umur yang paling banyak diwawancarai adalah 41-51 tahun sebanyak 14 orang, diikuti dengan kelompok umur 50 tahun keatas sebanyak 7 orang dan yang paling sedikit yaitu kelompok umur 20-30 tahun sebanyak 4 orang. Jumlah yang relatif banyak di kelompok tua menunjukan bahwa semakin tua usia, pengetahuan tentang tumbuhan dan cara pemanfaatannya semakin banyak.

Masyarakat Matbat walaupun tergolong kedalam umur tua, tetapi tingkat mobilisasinya sangat tinggi dan tetap produktif. Hal ini didukung dengan kondisi kesehatan yang sehat karena tidak pernah menggunakan pestisida, tidak adanya polusi udara dan banyak mengkonsumsi makanan-makanan herbal salah satunya buah pinang (Areca catechu) dan sirih (Piper betle), serta banyak melakukan perjalanan ke kebun yang letaknya berada di dalam hutan primer dataran rendah sehingga kondisi tubuh selalu bugar. Hal ini didukung dengan penelitian Barlina (2007) yang mengungkapkan beberapa manfaat dari mengkonsumsi pinang antara lain; biji pinang mengandung tanin, alkoloid, lemak, minyak atsiri, gula, dan air sangat baik bagi pencernaan dan memiliki fungsi yang vital dalam mengatur organ-organ metabolisme, serta dapat membangkitkan libido. Biji pinang segar mengandung 50% alkoloid, senyawa ini memiliki kadar tertinggi pada buah pinang dan berfungsi sebagai antihelmintik atau anti cacing. Selain itu dapat juga mengobati beberapa penyakit antara lain bengkak karena retensi cairan (edema), rasa penuh di dada, batuk berdahak, diare, terlambat haid, keputihan, beri-beri, malaria, dan memperkecil pupil mata (miosis pada glaucoma).

(19)

Gambar 7 Anak-anak (usia non produktif) yang ikut membantu memanen hasil kebun

Jenis Kelamin

Responden yang diwawancarai terdiri dari laki-laki dan perempuan, namun yang paling banyak diwawancarai adalah laki-laki sebanyak 28 orang (90,7%) dari total responden yang berjumlah 30 orang, sisanya 2 orang (6,3%) dengan jenis kelamin perempuan (Gambar 8). Jumlah responden laki-laki yang paling banyak diwawancarai, hal ini dikarenakan tingkat mobilisasi kaum laki-laki pada Suku Matbat dalam hal berkebun dan berburu sangat tinggi, selain itu kaum laki-laki pada suku ini lebih komunikatif dari pada perempuan.

Gambar 8 Persentase jenis kelamin

Berdasarkan observasi lapang, masyarakat dalam melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidaklah berbeda antara kaum laki-laki dan perempuan. Perempuan pada suku ini juga melakukan pekerjaan laki-laki diantaranya berkebun, ke hutan mencari kayu bakar dan hasil hutan lainnya, bekerja pada perusahan swasta yang beroperasi disekitar kampung, ke laut mencari hasil laut untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, kecuali berburu yang hanya dilakukan oleh kaum laki-laki.

(a) (b)

Gambar 9 Perempuan yang ikut serta mengerjakan pekerjaan laki-laki (a) memikul hasil panen kebun; (b) mencari kayu bakar di hutan

Faktor pemicu adanya pemerataan pekerjaan diantara perempuan dan laki-laki, didasari oleh kondisi perkampungan yang berada di pedalam dan pinggiran hutan, dengan akses keluar yang begitu sulit, sehingga para perempuan di kampung ini telah terbiasa dan beradaptasi sejak zaman dahulu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Selain itu masyarakat pada suku ini beranggapan,

90% 10%

(20)

tanah yang luas dan hutan yang masih alami, jika di dalam satu anggota keluarga saling bahu-membahu dalam megoptimalkan pekerjaan, maka hasil yang diperolehpun semakin maksimal sehingga dapat memunuhi kehidupan sehari-hari. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan pada Suku Matbat sangat rendah, hal ini terlihat dari responden yang diwawancarai hanya 6 orang yang pernah bersekolah sampai tingkat SD, 4 orang tamatan SD, 2 orang hanya mengenyam pendidikan SD namun tidak tamat, dan sisanya 24 orang tidak bersekolah.

Gambar 10 Komposisi tingkat pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan pada Suku Matbat dapat dilihat dari sarana pendidikan yang tersedia, hanya sebatas tingkat SD dengan kondisi serba kekurangan dari tenaga pengajar sampai dengan fasilitas belajar. Minimnya sarana dan tenaga pengajar disebabkan oleh kondisi perkampungan yang berada di daerah pedalam dengan aksesibilitas yang sulit dijangkau.

Mata Pencaharian

Mata pencaharian Suku Matbat terdiri dari berburu, bertani, nelayan, karyawan perusahan swasta dan menokok sagu di hutan maupun dikebun. Selain itu masyarakat juga beternak dan memelihara anjing, babi dan ayam yang digunakan atau dijual pada acara dan keperluan adat. Dalam memenuhi kebutuhan makanan pokok yakni sagu, masyarakat memanen dan mengolahnya sendiri. Tumbuhan sagu yang berlimpah dan tumbuh liar di hutan merupakan salah satu komoditi yang bernilai ekonomi tinggi untuk dijual di kampung sekitarnya.

Mata pencaharian pada Suku Matbat relatif sama satu dengan yang lainnya, tidak menetap dan dapat berubah-ubah sesuai keperluan dan kondisi alam. Kegiatan berburu pada suku ini sangat tinggi, hal ini dikarenakan Suku Matbat banyak menghabiskan waktu di dalam hutan untuk berkebun. Hasil buruan berupa babi hutan dan walabi dijadikan sebagai makanan pendamping sagu. Setiap hari minggu segala aktivitas pekerjaan dihentikan, hal ini karena masyarakat menganggap hari minggu merupakan hari yang penting untuk beribadah dan jika ditinggalkan maka akan memperoleh bencana.

Tumbuhan Pangan

Keanekaragaman Famili

(21)

sebanyak 5 spesies, Myrtaceae, dan Cucurbitaceae 4 spsies dari setiap famili (Tabel 2). Sedangkan famili lainnya bervariasi antara 1-3 spesies.

Tabel 2 Keanekaragaman famili

No Nama Famili Jumlah Spesies

1 Arecaceae 5

2 Myrtaceae 4

3 Cucurbitaceae 4

4 Famili lain-lain 50

Total 63

Arecacea merupakan famili yang mempunyai jumlah spesies paling tinggi diantara spesies yang lainnya. Hal ini karena sebagian besar spesies dari famili Arecacea merupakan makanan sumber karbohidrat atau makanan utama seperti sagu (M. sagu), kaladi (C. esculenta) dan tumbuhan buah berupa kelapa (C. nucifera), dan pinang (A. catechu) yang dikonsumsi setiap hari.

Keanekaragaman Spesies

Keanekaragaman tumbuhan pangan Suku Matbat teridentifikasi sebanyak 63 spesies. Spesies tumbuhan pangan yang didominasi oleh famili Arecaceae yaitu sagu (M. sagu), kelapa (C. nucifera), pinang (A. catechu), salak (Salacca zalacca), kaladi (C. esculenta). Famili Myrtaceae terdiri dari jambu air (Syzygium aqueum), gayawas (Psidium guajava), jambu hutan (Syzygium sp.), dan daun salam (Syzygium polyantum). Famili Cucurbitaceae terdiri dari labu (Cucurbita

sp.), sayur patola (Luffa acutangula), papari (Momordica charantia), dan semangka (Citrullus lanatus).

Dominasi spesies dari ketiga famili tersebut sebagian besar merupakan tumbuhan domestikasi yang berfungsi sebagai sayur, buah, dan rempah-rempah yang dibudidayakan masyarakat di pekarangan maupun kebun. Tumbuhan domestikasi adalah tumbuhan yang dahulunya liar kemudian dengan upaya penjinakan, tumbuhan tersebut menjadi terkendali dalam hal perkembangan pertumbuhannya. Tumbuhan-tumbuhan yang disebutkan diatas merupakan tumbuhan yang dikonsumsi hampir setiap hari. Terdapat tiga tumbuhan liar yaitu sagu (M. sagu), dan jambu hutan (Syzygium sp.) yang dapat dijumpai di hutan dataran rendah dan kaladi (C. esculenta) yang dapat dijumpai di hutan pantai.

(a) (b)

(22)

Keanekaragaman Tipe Habitat

Tumbuhan pangan yang digunakan oleh Suku Matbat dapat dijumpai di berbagai tipe habitat seperti pekarangan, kebun, hutan dataran rendah, hutan pantai, dan tepi jalan (Lampiran 2). Tipe habitat yang paling banyak ditemui tumbuhan pangan adalah pekarangan kemudian kebun. Hal ini dapat dikatakan bahwa tumbuhan pangan yang dimanfaatkan Suku Matbat sebagian besar merupakan spesies yang telah dibudidayakan. Berdasarkan gambar 13, menunjukan adanya spesies tumbuhan pangan yang ditemui di lebih satu tipe habitat.

Gambar 13 Komposisi tumbuhan pangan berdasarkan tipe habitat

Tumbuhan yang dibudidayakan di kebun hampir sama dengan yang ditanam di pekarangan. Hal ini karena letak kebun masyarakat rata-rata berada di dalam hutan (agroforestri tradisional) dengan akses yang lebih sulit ketika musim hujan, sehingga spesies yang ada di kebun sengaja dibudidayakan juga di pekarangan agar memudahkan masyarakat untuk memperoleh tumbuhan tersebut jika dibutuhkan.

Tabel 3 Persentase tumbuhan berdasarkan tipe habitat

No Habitat ditemukan Jumlah (Spesies) Persentase (%)

1 Tepi jalan 7 7,21

Berdasarkan observasi lapang, kebun masyarakat terletak dan tersebar di dalam hutan primer dataran rendah. Hal ini dapat dikatakan bentuk kebun tersebut termasuk agroforestri tradisional/klasik. Thamam (1998) diacu dalam Sardjono et al. (2013), mendefinisikan agroforestri tradisional/klasik adalah setiap sistem pertanian dimana pohon-pohon baik yang berasal dari penanaman atau pemeliharaan tumbuhan/tegakan yang telah ada menjadi bagian terpadu, sosial ekonomi dan ekologis dari keseluruhan sistem (agroecosystem).

Contoh-contoh agroforestri tradisonal/klasik di Indonesia menurut Thamam (1998) diacu dalam Sardjono et al. (2013).

(23)

2. Hutan-hutan sekunder yang bersatu dengan usaha-usaha pertanian. Sebagai contoh, sistem perladangan berpindah atau pertanian gilir-balik tradisional (traditional shifting cultivation)

3. Tegakan permanen (umumnya dikeramatkan) pohon yang memiliki manfaat pada kebun-kebun di sekitar desa

4. Penanaman pepohonan pada kebun pekarangan di pusat-pusat pemukiman/ sekitar rumah tinggal.

Teknik budidaya tumbuhan pada Suku Matbat tergolong sederhana yaitu hanya dengan peralatan seperti parang, api untuk membuka lahan dan weng (kayu yang ditajamkan bagian ujungnya) untuk membuat lubang tanam. Pada Suku Matbat masih dijumpai sistem pertanian nomaden. Hal ini dilakukan jika lahan yang ditanami tidak lagi produktif, maka masyarakat membuka atau merambah hutan dengan cara membakar dan dijadikan kebun baru.

Masyarakat tidak menggunakan pestisida dan pupuk. Permasalahan yang terjadi pada kebun adalah serangan/perusakan oleh babi hutan yang banyak merusak tumbuhan umbi-umbian seperti kasbi (Manihot utilisima) serta beberapa burung paruh bengkok yang biasa memakan buah pisang (Musa spp.). Untuk mengawasi serangan babi hutan di kebun, masyarakat biasanya memasang jerat/trap yang sangat sederhana dengan kayu/bambu yang diruncingkan bagian ujungnya, beberapa bambu dan liana sebagai pengganti tali yang dirakit untuk menjerat babi. Jerat tersebut dibuat mirip dengan tumbuhan di sekitar agar dapat terkamuflase (Gambar 14). Babi yang masuk perangkap dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani.

Gambar 14 Jerat/trap babi hutan

Berdasarkan status budidaya, tumbuhan pangan yang paling banyak adalah spesies yang telah dibudidayakan sebanyak 83% (Gambar 15). Terdapat beberapa tumbuhan yang tumbuh liar di hutan dan beberapa tergolong semi budidaya (Tabel 4). Tumbuhan semi budidaya adalah tumbuhan yang telah dibudidaya namun masih ditemukan liar.

Gambar 15 Komposisi tumbuhan berdasarakan status budidaya

Semi budidaya 10%

Budidaya 83%

(24)

Tabel 4 Daftar spesies tumbuhan pangan yang ditemukan liar dan semi budidaya di Kampung Tomolol

No Nama Tumbuhan Bagian yang digunakan Status budidaya

1 Durian (Durio zibethinus) Buah Semi budidaya makanan membutuhkan waktu maksimal satu minggu, karena itu masyarakat memilih membudidayakannya juga di pekarangan dan kebun sehingga jika dipanen tidak perlu bermalam di hutan.

Pohon sagu yang siap dipanen adalah sagu yang telah berumur 10-15 tahun dan telah menunjukkan gejala alam seperti terdapat semacam tunas yang keluar di bagian ujung pohon sagu. Tanda tersebut dalam bahasa Misool di sebut fa kayuuo.

Tanda tersebut memberi isyarat bahwa batang pohon sagu telah berisi. Dalam memanen sagu menggunakan beberapa peralatan tradisional seperti nani (kayu yang bagian ujungnya diberi gelang besi), goti (pelepah sagu yang dibuat berbentuk perahu), tumang (anyaman daun sagu yang membentuk tabung) parang dan karung. Pohon sagu kemudian ditebang, belah menjadi dua bagian dengan bentuk memanjang, hancurkan isi sagu yang ada di dalam batang sagu menggunakan nani, masukan isi dari batang sagu yang telah dihancurkan ke dalam karung lalu pindahkan kedalam goti, campurkan isi batang sagu dengan air dan aduk di dalam goti sampai sari pati sagu keluar, buang bagian yang kasar/serbuk. Sari pati sagu diendapkan dengan air di dalam goti selama 2 hari 2 malam, setelah sagu mengendap, pisahkan dengan air tersebut. Sagu yang telah berbentuk tepung padatan kemudian dimasukkan ke dalam tumang.

Gambar 16 Hasil akhir dari pemanenan sagu Bagian yang Digunakan

(25)

(3), umbi (3), bunga (1). Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah buah (62,31%).

Tabel 5 Jumlah spesies dan persentase bagian tumbuhan pangan yang digunakan

No Bagian Tumbuhan Pangan yang Digunakan Jumlah (spesies) Persentase (%)

1 Batang 3 4,34

Spesies yang paling banyak digunakan bagian buahnya sebagian besar merupakan tumbuhan buah-buahan yang berasal dari pekarangan dan beberapa buah yang berfungsi sebagai pangan sayur yakni kacang panjang (Vigna sinensis), kacipir (Psophocarpus tetragonolobus), labu (Cucurbita sp), sayur patola (Luffa acutangula) yang berasal dari kebun. Terdapat beberapa spesies tumbuhan pangan buah yang dapat dimakan langsung yakni jambu hutan (Syzigyum sp.), durian (D. zibethinus), langsat (Lansium domestica), matoa (P. pinnata), cempedak (A. integer) yang berasal dari hutan dataran rendah dan katapang yang berasal dari hutan pantai.

Keanekaragaman Habitus

Berdasarkan keanekaragaman habitus, tumbuhan pangan yang dimanfaatkan terdiri dari 5 habitus yakni pohon, herba, semak, perdu dan liana.

Tabel 6 Persentase tumbuhan pangan berdasarkan habitusnya

No Habitus Tumbuhan Jumlah (spesies) Persentase (%)

1 Pohon 29 46,03 manfaatkan yakni sebanyak 29 spesies (46,03%). Spesies tumbuhan yang berhabitus pohon sebagian besar berupa tumbuhan buah-buahan yang berada di pekarangan rumah.

Sumber Karbohidrat

(26)

Tabel 7 Tumbuhan sumber karbohidrat selain sagu

No Spesies Tipe habitat

1 Kasbi (Manihot esculenta) Pekarangan /kebun

2 Petatas (Ipomea batatas) Pekarangan, kebun

3 Kaladi (C esculenta) Pekarangan, hutan pantai

4 Pisang (Musa spp,.) Pekarangan, kebun

Tumbuhan sagu yang tumbuh liar di hutan telah menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat disamping berkebun. Masyarakat menokok sagu untuk dijual dan dikonsumsi sendiri sebagai sumber karbohidrat sehari-hari. Selain memanfaatkan yang tumbuh liar di hutan, saat ini kebanyakan masyarakat telah membudidayakan tumbuhan sagu di kebun dan di pekarangan. Selain tumbuhan sagu yang masih dijumpai liar, kaladi (C. esculenta) merupakan salah satu tumbuhan sumber karbohidrat yang sering digunakan dan masih dijumpai liar di hutan pantai.

Sumber Vitamin dan Mineral

Pekarangan setiap rumah warga tergolong luas sehingga dimanfaatkan untuk menanam berbagai tumbuhan buah untuk dikonsumsi dan sebagai tumbuhan peneduh. Sayuran dan buah merupakan tumbuhan pangan pengahasil vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Masyarakat Tomolol pada umumnya mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan yang di budidayakan di pekarangan dan di kebun, namun ada beberapa yang dihasilkan dari hutan. Sayuran dan buah-buahan yang telah dibudidayakan di kebun dan dapat dijumpai di pekarangan yaitu daun kasbi (M. utilisima), jantung pisang (Musa spp.), buah, bunga dan pucuk daun papaya (Carica papaya), sangkari (C. maxima), merupakan sayuran dan buah-buahan yang dikonsumsi hampir setiap hari.

Selain yang telah dibudidayakan, terdapat beberapa sayuran dan buah yang berasal dari hutan dataran rendah dan masih banyak dijumpai liar seperti kanari (C. commune) yang dapat dimakan bagian biji yang terdapat di dalam buah, daun ganemo (G. gnemo) yang banyak dimanfaatkan pucuk daun mudanya sebagai sayur dan buahnya yang dapat dimakan setelah direbus, rabong (Gigantochloa apus) dan gedi (A. manihot) yang digunakan sebagai sayur serta beberapa buah-buahan musiman diantaranya cempedak (A. integer), durian (D. zibethinus), langsat (L. domesticum), matoa (P. pinnata). Buah-buahan musiman tersebut merupakan tumbuhan yang bernilai ekonomi tinggi dan masih banyak dijumpai liar di hutan dataran rendah yang terdapat pada perkampungan Tomolol.

(a) (b)

Gambar 17 (a) Daun gedi (A. manihot); (b) Rabong (G. apus)

(27)

karena pada zaman dahulu buah-buahan tersebut merupakan buah seserahan yang diberikan kepada kepala suku adat/raja. Konon pada zaman dahulu, jika tiba musim panen, warga dilarang memakan buah tersebut sebelum sang raja. Seserahan yang diberikan ke sang raja dalam jumlah yang sangat banyak diiringi dengan tarian yang disebut wala. Tarian tersebut merupakan laporan atau penggambarkan proses pemanenan, perjalanan mengangkut hasil panen buah dari hutan sampai di pesisir pantai. Setelah itu diserahkan kepada raja dan dinikmati oleh seluruh warga. Namun saat ini sistem seserahan tersebut telah terhapus termakan zaman, sehingga jika musim panen tiba masyarakat secara bebas dapat memanen dan menjualnya kapan saja.

(a) (b)

Gambar 18 Buah-buahan musiman (a) Langsat (L. domestica); (b) Cempedak (A. integer)

Sumber Protein

Selain sumberdaya buah-buahan dan sayuran penghasil vitamin dan mineral, terdapat tumbuhan pangan sayuran sumber protein. Sumber protein pada tumbuhan dihasilkan dari tumbuhan kacang-kacangan. Terdapat dua spesies sayuran sumber protein yaitu kacipir (P. tetragonolobus) dan kacang panjang (V. sinensis) yang dapat dijumpai di pekarangan dan kebun.

Gambar 19 Kacang panjang (V. sinensis) Bahan Pelengkap/Rempah

Tumbuhan pangan berupa rempah-rempah merupakan tumbuhan yang tergolong penting karena sangat berpengaruh pada cita rasa dari bahan utama yang diolah. Sebagian besar masyarakat menanam rempah-rempah tersebut di pekarangan rumah, hal ini karena penggunaannya yang tergolong sering sehingga jika ditanam di pekarangan maka memudahkan jika akan digunakan (Gambar 20). Terdapat 11 spesies tumbuhan penghasil rempah yang digunakan oleh masyarakat Suku Matbat.

Tabel 8 Bahan pelengkap/rempah yang dimanfaatkan oleh warga Suku Matbat

No Nama Spesies Bagian yang digunakan

1 Langkuas (Alpinia galangal) Rimpang

2 Kuning (Curcuma domestica) Rimpang

(28)

Tabel 8 Bahan pelengkap/rempah yang dimanfaatkan oleh warga Suku Matbat (Lanjutan)

No Nama Spesies Bagian yang digunakan

4 Tomat (Lycopersicon lycopersicon ) Buah

5 Jeruk lemon (Citrus limon) Buah

6 Rica (Capsicum frutescens) Buah

7 Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) Buah

8 Daun pandan (Pandanus amaryllifolius) Daun

9 Sarei (Cymbopogon nardus) Daun

10 Balimbing asam (Averrhoa bilimbi) Buah

11 Kumangi (Occimum basilicum) Daun

Secara keseluruhan tingkat kegunaan rempah-rempah tersebut tergolong sering sehingga banyak dijumpai disetiap pekarangan warga. Bumbu masak yang menjadi dasar atau pokok adalah jeruk nipis (C. aurantifolia), rica (C. frutescens), kumangi (O. basilicum), dan sarei (C. nardus). Jeruk nipis selain digunakan untuk menambah cita rasa asam, biasanya dipakai juga untuk mengolah hasil tangkapan laut agar tidak barbau amis dan sarei dipakai untuk merebus hasil tangkapan laut. Kumangi digunakan untuk mengolah salah satu makanan sumber karbohidrat. Selain bahan-bahan rempah yang telah disebutkan diatas, masyarakat juga dalam setiap mengolah makanan menggunakan bawang putih untuk merebus ikan dan bawang merah untuk menumis. Bawang merah dan bawang putih yang digunakan diperoleh dengan cara membeli. Bumbu masak yang akan digunakan langsung dipanen seperlunya untuk setiap kali masak. Masyarakat tidak menyimpan bahan rempah didalam dapur melainkan membiarkan tumbuhan rempah-rempah tersebut tumbuh di pekarangan.

(29)

merah, rica (C. frutescens) terasi dan garam (Gambar 21), yang membedakannya hanyalah bahan utama dari masakan itu sendiri.

Gambar 21 Olahan pangan sayur tumis bunga dan daun papaya (C. papaya) Pengolahan pangan sumber karbohidrat antara lain kasbi (M. utilisima), pisang (Musa spp.) dan lain-lain kebanyakan diolah dengan cara direbus dan dikukus untuk memenuhi kebutuhan makan sehari 3 kali (Gambar 22), namun ada beberapa yang mengolahnya dengan cara digoreng untuk dijadikan cemilan disaat santai.

(a) (b) (c)

Gambar 22 (a) Pisang rebus; (b) Patatas dan kaladi kukus; (c) Papeda Asal mula pemanfaatan tumbuhan diawali dari adanya suatu rangsangan untuk mencoba dan mencicipinya, daya tarik dari tumbuhan itu biasanya ditimbulkan oleh warna, rasa, dan bentuk perawakan atau bagian-bagian tumbuhan seperti buah dan bunga, sehingga apabila jenis-jenis tersebut ternyata memenuhi selera dan kebutuhannya maka mereka kemudian berusaha untuk mencari, mengumpulkan dan akhirnya menanam dan membudidayakannya (Purwanto dan Walujo 1995). Dalam proses pemasakan tumbuhan pangan masih sangat sederhana, yakni masyarakat masih menggunakan tungku yang menggunakan bahan bakar kayu mangrove (Gambar 23).

(a) (b)

(30)

Pola Konsumsi Masyarakat

Suku Matbat di Kampung Tomolol, dalam sehari makan sebanyak tiga kali, yakni pagi, siang dan malam. Menu makanan yang biasanya dimakan secara umum sama antara pagi, siang dan malam yaitu dengan makanan utama sumber karbohidrat pisang (Musa spp.), sagu (M. sagu), patatas (I. batatas), kaladi (C. esculenta) serta hasil tangkapan laut berupa kerang, ikan, sotong, udang serta hasil buruan berupa babi dan walabi. Masyarakat biasanya mengkonsumsi sayur ganemo (G. gnemo), gedi (A. manihot), kangkung (Ipomea aquatica), daun dan bunga pepaya (C. papaya), daun kasbi (M. utilisima), jantung pisang (Musa spp.) dan sayuran lainnya. Berdasarkan observasi lapang, makanan sehari-hari suku ini tidak terlalu beragam artinya hanya hewan laut dan komoditi bahan makanan dari kebun yang dimakan setiap harinya sehingga setiap kepala rumah tangga pada suku ini mempunyai kebun sendiri yang dianggap sebagai stok makanan bagi anggota keluarganya sehari-hari.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, menyebutkan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Pola konsumsi pada Suku Matbat relatif sama antara orang dewasa dan anak-anak. Artinya menu makanan yang dikonsumsi oleh orang dewasa, itu juga yang dikonsumsi oleh anak-anak. Namun untuk anak-anak pola makan masih dipengaruhi oleh beberapa makanan ringan yang dijual di warung.

Sumber karbohidrat berupa sagu, pisang, petatas, kasbi, dan kaladi tidak dimakan secara bersamaan, melainkan jika tidak ada sagu masyarakat menggantikannya dengan pisang dan jika tidak ada pisang maka diganti dengan kasbi. Menu makanan untuk setiap kepala keluarga relatif sama, hal ini terlihat dari komiditi atau tumbuhan yang ditanam dikebun dan pekarangan relatif sama satu dengan yang lainnya. Secara umum, masyarakat hanya mengandalkan pangan yang berada pada kebun dan pekarangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain menu masakan yang disebutkan diatas, sirih dan pinang merupakan tumbuhan yang paling disukai dari kalangan anak-anak sampai dengan orang dewasa secara umum pada suku ini. Menurut masyarakat, buah pinang dan sirih merupakan cemilan yang enak dimakan, dalam sehari buah pinang dan sirih dikonsumsi hampir setiap saat. Kebiasaan makan buah pinang dan sirih dimulai dari bangun tidur di pagi hari sampai dengan malam hari.

Buah pinang merupakan buah yang digunakan pada perjamuan acara-acara adat/tradisi Suku Matbat dari zaman awal munculnya peradaban suku ini hingga sekarang, dan buah pinang juga dijadikan sebagai bentuk komunikasi suku ini ketika berinteraksi dengan orang lain. Maka dari itu, kebiasaan memakan pinang sirih sudah menyatu pada keseharian Suku Matbat dalam kehidupan sehari-hari.

Kedaulatan Pangan Masyarakat Suku Matbat

(31)

Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, mendefinisikan kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat, dan kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Tumbuhan pangan yang teridentifikasi pada Suku Matbat terdiri dari 33 famili dengan total spesies sebanyak 63. Meski hanya mengandalkan spesies-spesies pangan tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga yang terlihat hanya spesies-spesies itu saja yang dimakan, dari zaman dahulu hingga saat ini, Suku Matbat tidak pernah tertimpa musibah kelaparan. Hal ini dapat dikatakan karena suku ini memiliki tumbuhan pangan yang cukup lengkap dari sumber karbohidrat, vitamin dan mineral serta sumber protein nabati yang sebagian besar berasal dari pekarang dan kebun, maupun protein hewani yang berasal dari hasil laut dan hewan buruan di hutan. Selain kelebihan-kelebihan tersebut, suku ini tidak bergantung pada pangan beras serta dikaruniai tipe hutan hujan tropis dataran rendah yang sangat luas. Kebijakan yang hanya terfokus pada peningkatan satu sumber pangan secara nasional yaitu beras dengan mengabaikan sumber pangan lokal lainnya telah membunuh karakter dan mental sebagian masyarakat pengguna pangan lokal non beras (Zuhud 2011).

Jarang sekali terlihat warga yang membeli bahan makanan untuk dijadikan makanan pokok sehari-hari, hal ini tentunya harus dipertahankan dari arus modernisasi yang masuk dan menggeser tumbuhan pangan yang telah ada namun justru dengan adanya hutan hujan tropis dataran rendah, masyarakat dapat menggali potensi tumbuhan yang dapat dijadikan pangan sehingga menambah keberagaman jenis pangan yang telah telah ada.

Kearifan Tradisional Sasi Masyarakat Suku Matbat

Suku Matbat masih menerapkan larangan (moratorium) terkait pemanfaatan tumbuhan yang dikenal sehari-hari oleh masyarakat dengan sebutan sasi.

Kearifan lokal atau yang biasa disebut kearifan tradisional, merupakan pengetahuan secara turun-temurun yang dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat untuk mengelola lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi terhadap lingkungannya yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungan (Winoto et al. 1993).

(32)

dengan bantuan pendeta agar kebun atau tumbuhan pekarangan tersebut selalu dalam lindungan sang pencipta. Setelah didoakan, pemilik memasang larangan berupa tulisan “sasi” agar masyarakat mengetahui kebun atau tumbuhan tersebut sedang disasi (Gambar 24).

Selama masa sasi, pemilik tumbuhan atau kebun tidak dapat mengambilnya bahkan yang telah jatuh ke permukaan tanah. Jika telah tiba waktu panen, pemilik kebun kembali ke gereja berdoa dengan bantuan pendeta memohon ijin memanen kebun/tumbuhannya tersebut. Dalam aturan sasi, panen hasil pertama diangkut ke gereja lalu didoakan dalam arti memohon izin untuk melakukan panen. Hasil panen pertama yang telah didoakan dijual kemudian hasil penjualan masuk ke kas gereja, selanjutnya dilakukan panen besar-besaran oleh pemilik.

Gambar 24 Larangan mengambil buah pinang (sasi)

Sanksi bagi orang yang sengaja mengambil sesuatu yang telah disasi, menurut kepercayaan Suku Matbat orang tersebut perlahan-lahan akan sakit karena terserang berbagai penyakit dan akhirnya meninggal dunia. Menurut Suku Matbat hal ini dikarenakan mengambil barang orang lain tanpa seizin yang punya atau mencuri sesuatu yang telah dijaga oleh Tuhan dosanya sangatlah besar, namun jika orang tersebut segera meminta maaf, mengakui kesalahan dan mendapat maaf dari pemilik kebun, maka sanksi tersebut tidak berlaku.

Suku Matbat sangat mempercayai kekuatan sasi sehingga tidak melakukan perbuatan yang melanggar aturan sasi. Menurut Stanis et al. (2007) semakin tinggi suatu masyarakat menjunjung nilai-nilai kearifan lokal, tradisi aturan adat maka kepatuhan dan ketaatan semakin tinggi. Kerifan lokal yang dimiliki oleh suatu masyarakat dapat menciptakan suasana kekerabatan dan gotong royong. Kearifan lokal dapat juga diartikan sebagai suatu pranata norma yang dapat mengatur eksistensi kehidupan manusia dan eksistensi kehidupan lainnya (Stanis

et al. 2007).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(33)

batang, buah, daun, rimpang, umbi, bunga. Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah buah (62,31%). Tumbuhan tersebut terbagi kedalam 5 habitus yaitu perdu, liana, semak, herba, dan yang paling banyak yaitu habitus pohon (46,03%).

Saran

Peningkatan kesadaran terhadap manfaat pangan lokal perlu dilakukan salah satunya yaitu dengan cara rediversifikasi pangan atau penganekaragaman kembali pangan lokal. Spesies-spesies yang menjadi ciri khas Suku Matbat seperti sagu (M. sagu), kasbi (M. utilisima), petatas (I. batatas), pinang (A. catechu), sirih (P. betle) yang telah dikonsumsi sehari-hari perlu dipertahankan dan dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Barlina R. 2007. Peluang pemanfaatan buah pinang untuk pangan. BULETIN PLASMA 33: 96-105.

[BBKSDA Papua Barat] Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Papua Barat. 2011. Buku Informasi Kawasan Konservasi Balai Besar KSDA Papua Barat. Sorong (ID): BKSDA Papua Barat.

Fakhrozi I. 2009. Etnobotani masyarakat Suku Melayu Tradisional di sekitar Taman Nasional Bukit Tiga Puluh: Studi kasus di Desa Rantau Langsat Kec. Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu, provinsi Riau [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006. Index Herbariorum Indonesianum. Bogor (ID): Puslit Biologi-LIPI.

Metananda AA. 2012. Etnobotani pangan dan obat masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani (Studi kasus pada Suku Sasak di Desa Jeruk Manis, Kecamatan Sikur Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat). [skripsi] Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB.

Purwanto Y, Walujo EB. 1995. Keanekaragaman sumberdaya tumbuhan pangan masyarakat Dani, Irian jaya dan perspektif pelestarianya. Di dalam: Etnobotani II. Prosiding Seminar Dan Lokakarya Nasional Etnobotani; Yogyakarta 24-25 Januari 1995. Jakarta (ID): Puslitbang Biologi LIPI, fakultas Biologi UGM, Ikatan Pustakawan Indonesia. Hlm 500-510.

Rahmah N, Rahman AKN. 2010. Uji fungistatik ekstrak daun sirih (Piper betle L) terhadap Candida albicans. BIOSCIENTIAE 7 (2): 17-24.

Sardjono MA, Djogo T, Arifin HS. Wijayanto N. 2003. Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri. Bogor (ID): World Agroforestri Centre (ICRAF).

(34)

Stanis S, Supriharyono, Bambang AN. 2007. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui pemberdayaan kearifan lokal di kabupaten Lembata provinsi Nusa Tenggara Timur. JURNAL PASIR LAUT 2 (2): 67-82.

Suismono. 2008. Teknologi pengolahan dan pemanfaatan pangan lokal berbasis umbi-umbian. Di dalam: Majalah Pangan Media Komunikasi & Informasi. 52 (17): Halaman 38-50.

Suryani E, Rachman HPS. 2008. Perubahan pola konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan. Di dalam: Majalah Pangan Media Komunikasi & Informasi. 52 (17): Halaman 13-25.

Syahrir H, Syarifuddin R, Kasuma A.1996. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan Dalam Memelihara Lingkungan Hidup Daerah Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan (ID): Proyek pengkajian dan pembinaan Nilai-Nilai Budaya daerah Kalimantan Selatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Winoto G, Zulfriyeni, SmHk MN, Subandiah S, Rianto S. 1993. Kearifan

Tardisional Masyarakat Pedesaan dalam Upaya Pemeliharaan Lingkungan Hidup Di Daerah Riau. Riau (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Zuhud EAM. 2008. Potensi hutan tropika Indonesia sebagai penyangga bahan

obat alam untuk kesehatan bangsa. Bogor (ID): Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Zuhud EAM. 2011. Pengembangan Desa Konservasi Hutan Keanekaragaman Hayati Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Obat Keluarga (POGA) Indonesia Dalam Menghadapi Ancaman Krisis Baru Ekonomi DuniadiEra Globalisasi. Bogor (ID): IPB press.

(35)

Lampiran 1 Spesies tumbuhan pangan yang digunakan Suku Matbat di Kampung Tomolol

Famili No Nama Lokal Nama Ilmiah Habitus Status

Budidaya Kegunaan Tipe Habitat

Bagian yang

Digunakan

Arecaceae 1 Sagu Metroxylon sagu Rottb. Pohon Semi Karbohidrat Hutan, kebun,

pekarangan Batang

2 Kelapa Cocos nucifera L. Pohon Semi Buah Hutan pantai,

Pekarangan, kebun Buah

3 Pinang Areca catechu L. Pohon Budidaya Buah Pekarangan, kebun, tepi

jalan Buah

4 Salak Salacca zalacca (Gaertener.)

Voss. Pohon Budidaya Buah Kebun Buah

5 Kaladi Colocasia esculenta Schott Herba Semi Karbohidrat Pekarangan, kebun,

hutan pantai Umbi

Apiaceae 6 Seledri Apium graveolens L Herba Budidaya Rempah Pekarangan Daun

Anacardiaceae 7 Kedondong Spondias dulcis Soland. Pohon Budidaya Buah Pekarangan Buah

8 Mangga Mangifera indica L. Pohon Budidaya Buah Kebun, pekarangan Buah

9 Mangga kuini Mangifera foetide Pohon Budidaya Buah Kebun, pekarangan Buah

Amaranthaceae 10 Bayam Amaranthus caudatus Rumph. Herba Budidaya Sayur Pekarangan Daun

Annonaceae 11 Sirsak Annona muricata L. Pohon Budidya Buah Pekarangan, tepi jalan Buah

12 Buah nona Annona squamosa L. Perdu Budidaya Buah Pekarangan, tepi jalan Buah

Burseraceae 13 Kenari Canarium commune L. Pohon Liar Buah Hutan Buah

Bromeliaceae 14 Nenas Ananas comosus (L.) Merr. Herba Budidaya Buah Pekarangan, kebun Buah

Bombacaceae 15 Durian Durio zibethinus Murr. Pohon Budidaya Semi Kebun, hutan Buah

Brassicaceae 16 Sawi Brassica rapa Herba Budidaya Sayur Pekarangan Daun

Convolvulaceae 17 Petatas Ipomea batatas Poir. Herba Budidaya Sayur,

(36)

Lampiran 1 Spesies tumbuhan pangan yang digunakan Suku Matbat di Kampung Tomolol (Lanjutan)

Famili No Nama Lokal Nama Ilmiah Habitus Status

Budidaya Kegunaan Tipe Habitat

Bagian yang Digunakan

Convolvulaceae 18 Kangkung Ipomea aquatica Forsk. Herba Budidaya Sayur Kebun Daun

Combretaceae 19 Katapang Terminalia catappa Pohon Liar Buah Hutan pantai Buah

Caricaceae 24 Papaya Carica papaya L. Pohon Budidaya Buah, sayur Kebun, Pekarangan Buah, Bunga,

Daun

Euphorbiaceae 25 Kasbi Manihot utilisima Pohl Perdu Budidaya Karbohidrat,

sayur Pekarangan, Kebun umbi, Daun

26 Katok Sauropus androgynus (L.)

Merr. Perdu Budidaya Sayur

Pekarangan, Tepi

jalan Daun

Fabaceae 27 Kacang panjang Vigna cylindrica Liana Budidaya Sayur Pekarangan, Kebun Buah

28 Kacipir Psophocarpus tetragonolobus Liana Budidaya Sayur Pekarangan, Kebun Buah

(37)

Lampiran 1 Spesies tumbuhan pangan yang digunakan Suku Matbat di Kampung Tomolol (Lanjutan)

Famili No Nama Lokal Nama Ilmiah Habitus Status

Budidaya Kegunaan Tipe habitat

Bagian yang

Digunakan

Moraceae 39 Nangka Artocarpus heterophyllus

Lamk. Pohon Budidaya Buah, Sayur

Kebun,

pekarangan Buah

40 Sukun Artocarpus altilis (Parkinson) Pohon Budidaya Buah Pekarangan Buah

41 Cempedak Artocarpus integer (Thunb.)

Merr. Pohon Semi Buah Kebun, hutan Buah

Moringaceae 42 Daun kelor Moringa pterygosperma,

Gaertn Pohon Budidaya Sayur Pekarangan Daun

Muntingiaceae 43 Gersen Muntingia calabura L. Pohon Budidaya Buah Pekarangan Buah

Meliaceae 44 Langsat Lansium domesticum Correa. Pohon Semi Buah Kebun, hutan Buah

Oxalidaceae 45 Balimbing asam Averrhoa bilimbi L. Pohon Budidaya Rempah Pekarangan Buah

46 Balimbing

manis Averrhoa carambola L. Pohon Budidaya Buah Pekarangan Buah

Poaceae 47 Rabong Gigantochloa apus Perdu Liar Sayur Hutan Batang

48 Sarei Cymbopogon nardus (L.)

Rendle Herba Budidaya Rempah Pekarangan Daun

49 Tebu Sacharum officinarum L. Herba Budidaya Minuman Pekarangan,

kebun Batang

Piperaceae 50 Sirih Piper betle L. Liana Budidaya Buah Kebun,

pekarangan Buah, Daun

Pandanaceae 51 Daun pandan Pandanus amaryllifolius

Roxb. Herba Budidaya Rempah Pekarangan Daun

Rutaceae 52 Sangkari Citrus maxima (Burm.) Merr. Pohon Budidaya Buah Pekarangan, tepi

jalan Buah

53 Jeruk nipis Citrus aurantifolia (Chritm)

Swingle. Perdu Budidaya Rempah

Pekarangan

Buah

(38)

Lampiran 1 Spesies tumbuhan pangan yang digunakan Suku Matbat di Kampung Tomolol (Lanjutan)

Famili No Nama Lokal Nama Ilmiah Habitus Status

Budidaya Kegunaan Tipe Habitat

Bagian yang Digunakan

Solanaceae 55 Rica Capsicum frutescens L. Perdu Budidaya Rempah Pekarangan, kebun Buah

56 Tomat Lycopersicon lycopersicon L. Perdu Budidaya Rempah Pekarangan, kebun Buah

57 Terong Solanum melongena L. Perdu Budidaya Sayur Pekarangan,kebun Buah

Sapindaceae 58 Matoa Pometia pinnata J.R.& G.Forst Pohon Liar Buah Hutan Buah

Zingiberaceae 59 Halia Zingiber officinale Rosc. Herba Budidaya Rempah Pekarangan, kebun Rimpang

60 Kuning Curcuma domestica Val. Herba Budidaya Rempah Pekarangan, kebun Rimpang

Tidak

teridentifikasi 61 Langkuas Alpinia galangal L..willd. Herba Budidaya Rempah Pekarangan, kebun Rimpang

62 Manil tanton Tidak teridentifikasi Pohon Liar Buah Hutan Buah

Tidak

(39)

Lampiran 2 Daftar spesies berdasarkan tipe habitat

No Tipe Habitat

Tepi Jalan Pekarangan Kebun Hutan dataran rendah Hutan pantai

1 Pinang (Areca catechu) Sagu (Metroxylon sago) Sagu (Metroxylon sago) Sagu (Metroxylon sagu) Kelapa (Cocos nucifera )

2 Sirsak (Annona muricata) Kelapa (Cocos nucifera) Pinang (Areca catechu) Kenari (Canarium commune) Kaladi (Colocasia esculenta)

3 Buah nona (Annona

squamosa) Pinang (Areca catechu) Kaladi (Colocasia esculenta) Durian (Durio zibethinus)

Katapang (Terminalia) catappa

4 Katok (Sauropus

androgynus) Salak (Salacca zalacca ) Mangga (Mangifera indica) Ganemo (Gnetum gnemon)

5 Jambu air (Syzygium

aqueum) Kaladi (Colocasia esculenta)

Mangga kuini (Mangifera

feotida) Jambu hutan (Syzygium sp.)

6 Gayawas (Psidium

guajava) Seledri (Apium graveolens) Durian (Durio zibethinus) Langsat (Lansium domestica) 7 Sangkari (Citrus maxima) Kadondong (Lannea grandis ) Kangkung (Ipomea aquatica) Rabong (Gigantochloa apus)

8 Jambu lan Mangga (Mangifera indica) Petatas (Ipomea batatas) Matoa (Pometia pinnata)

9 Mangga kuini (Mangifera

foetide) Labu (Cucurbita sp,.) Gedi (Abelmoschus manihot)

10 Bayam (Amaranthus caudatus) Sayur patola (Luffa acutangula) Cempedak (Artocarpus

integer)

11 Sirsak (Annona muricata) Papari (Momordica charantia) Maniltanton

12 Buah nona (Annona squamosa) Pateka (Citrullus lanatus)

13 Nenas (Ananas comosus) Daun salam (Syzygium

polyantum)

14 Sawi (Brassica rapa) Sukun (Artocarpus altilis)

15 Petatas (Ipomea batatas ) Cempedak (Artocarpus integer)

16 Labu (Cucurbita sp.) Papaya (Carica papaya)

(40)

Lampiran 2 Daftar spesies berdasarkan tipe habitat (Lanjutan)

No Tipe Habitat

Tepi Jalan Pekarangan Kebun Hutan dataran rendah Hutan pantai

Papaya (Carica papaya) Pisang (Musa sp)

19 Kasbi (Manihot utilisima) Coklat (Teobroma cacao )

20 Katok (Sauropus androgynus) Nangka (Artocarpus heterphyllus)

21 Kacang panjang (Vigna sylindrica) Rica (Capsicum frutescens)

22 Kacipir (Vigna sinensis) Kelapa (Cocos nucifera)

23 Alpukat (Persea gratissima) Nenas (Ananas comosus)

24 Kumangi (Ocimum basilicum) Kasbi (Manihot utilisima)

25 Pisang (Musa sp) Kacang panjang (Vigna sylindrica)

26 Jambu air (Syzygium aqueum) Kumangi (Occimum basilicum)

27 Gayawas (Psidium guajava) Tebu (Sacharum officinarum)

28 Nangka (Artocarpus heterphyllus) Halia (Zingiber officinale)

29 Daun kelor (Moringa pterygosperma) Kuning (Curcuma domestica)

30 Gersen (Muntingia calabura) Langkuas (Alpinia galangal)

31 Balimbing asam (Averrhoa bilimbi) Kelapa (Cocos nucifera)

32 Balimbing manis (Averhoa carambola)

33 Sarei (Cymbopogon nardus)

34 Tebu (Sacharum officinarum)

35 Sirih (Piper betle)

36 Daun pandan (Pandanus amaryllifolius)

37 Sangkari (Citrus maxima)

38 Jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

39 Jeruk lemon (Citrus limon)

40 Rica (Capsicum frutescens)

41 Tomat (Lycopersicon lycopersicon)

42 Terong (Solanum melongena)

43 Halia (Zingiber officinale)

44 Kuning (Curcuma domestica)

Gambar

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data
Gambar 1 Lokasi penelitian
Gambar 1  (a) Tombak berburu yang terbuat dari kayu; (b) parang dan  kapak
Gambar 5 Sketsa Kampung Tomolol/tata guna lahan Kampung Tomolol
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tana’ Ulen merupakan hutan yang dilindungi secara adat. c) Tidak boleh menebang pohon yang menghasilkan buah yang dapat dimakan di dalam hutan, jika ingin menanam bibitnya di

Di lokasi penelitian, jenis Tacca ini pada umumnya masih banyak tumbuh liar, namun di desa Langsar, Saronggi tumbuhan ini sudah dibudidayakan.. kata kunci:

Jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera sexangula merupakan jenis tumbuhan mangrove di Kalitoko yang dapat ditemukan di semua tingkatan baik sebagai semai, belta dan pohon

Jenis karang lunak Suberites diversicolor yang hadir di danau terisolasi di Raja Ampat dan Kalimantan juga hadir di danau yang memiliki salinitas rendah dan suhu

Dalam proses lateritisasi dari batuan asal tersebut (dalam hal ini batuan ultramafik), nikel bersatu dengan air tanah dan secara kimiawi diendapkan kembali ke dalam zona

Tingkat heterogenitas jenis pohon tercatat cukup tinggi, yang tercermin dari banyaknya (83 %) jenis dengan frekuensi rendah (< 20 %) (Gambar 3), yang menunjukkan bahwa

Hasil penilaian kondisi kesehatan terumbu karang ditiga Stasiun di Pulau Salawati, tutupan terumbu karang di setiap Stasiun adalah sebagai berikut, Stasiun 1 55,13%

terisolasi di Raja Ampat dan Kalimantan juga hadir di danau yang memiliki salinitas rendah dan suhu yang tinggi di. Ha Long