RESTO PERK Disus ORATIVE J KARA PIDA (Studi K
un dan Dia Syarat-S Pada F U JUSTICE S ANA PADA Kasus Putu ajukan untu Syarat untu Fakultas Hu UNIVERSI FA SEBAGAI A ANAK Y HUKU usan No. 22
SKRIP uk Memen uk Mencap ukum Univ Oleh HADE BR 0902003 Hukum P ITAS SUM AKULTAS MEDA 2013 ALTERNA YANG BER UM 209/Pid.B/2 PSI nuhi Tugas-pai Gelar Sa
RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN
HUKUM
(Studi Kasus Putusan No. 2209/Pid.B/2012/PN.Mdn)
SKRIPSI
Disusun Oleh : HADE BRATA
090200397
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Medan
Diketahui Oleh
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, SH, MH NIP. 195703261986011001
Edi Yunara, SH, M.Hum. Dr. M Eka Putra, SH, M.H NIP. 19601222198603100 NIP. 197110051998011001
FAKULTAS HUKUM
ABSTRAK * Hade Brata ** Edi Yunara *** M. Eka Putra
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child )yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.
Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana. Karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam Lembaga Pemasyarakatan rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dari hasil penelitian ini bahwa setiap anak adalah baik. Faktor yang membuat anak menjadi tidak baik yaitu dikarenakan kurangnya perhatian dan bimbingan yang diperoleh dari orang tua/wali. Faktor lingkungan juga berperan besar dalam pembentukan kepribadian seorang anak. Oleh sebab itu, pemberian perhatian yang lebih terhadap anak sangat penting karena anak masih dianggap rentan dan memerlukan bimbingan sampai anak dianggap dewasa dalam kehidupannya.
* Mahasiswa Fakultas Hukum Departmen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang
merupakan karya ilmiah dengan judul “Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaia Perkara Pidana Pada Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum, (Studi Kasus Putusan No. 2209/Pid.B/2012/PN.MDN)” yang disusun dan diajukan untuk memenuhi syrarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Penulisan judul ini didasari atas ketertarikan terhadap permasalahan yang
terjadi pada anak yang berkonflik dengan hukum yang sekarang semakin meluas
dan terjadi dikalangan remaja. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat
memberi manfaat bagi para pembaca, walaupun disadari bahwa penulisan skripsi
ini masih jauh dari kesempurnaan.
Dalam penulisan skipsi ini penulis penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, serta masukan dari berbagai pihak sehingga penulisan skripsi ini dapat
berjalan dengan lancar dan dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis
dengan ketulusan hati mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
orang tua yang sangat penulis sayangi, Ayah penulis Bpk. Aiptu Irawadi dan Ibu penulis Ibu Frida Dewi Sumbayak atas support moral, spiritual maupun materi, kesabaran, perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak penulis Yusy
Fatrisia atas doa, kasih sayang dan hiburan yang diberikan kepada penulis.
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Muhammad Husni, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, SH. M.Hum selaku Ketua Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Ibu Liza Erwina, SH. M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Bapak Edi Yunara, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing I penulis yang
dengan sabar membimbing, memberi masukan dan saran serta mendorong dan
mengingatkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini;
8. Bapak Dr. M. Eka Putra, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis atas
bimbingannya yang dengan sabar membimbing, waktu yang disediakan yang
banyak membantu, memberikan masukan, menambah ilmu kepada penulis;
9. Bapak Edi Ikhsan, SH. L.L.M. selaku Dosen Wali yang senantiasa pembimbing
penulis selama menjalankan studi di Almamater tercinta;
10. Bapak Muhammad Hayat, SH. Selaku Dosen penulis yang senantiasa
11. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, seluruh staf
Akademik, Sub Bagian Akademik, dan Sub Bagian Administrasi Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
12. Sahabat spesial penulis Diah Meisary Surahman, SH yang telah banyak
membantu penulis dan memberikan support dan doa dalam menyelesaikan skripsi
ini, semoga kita sukses dunia akhirat;
13. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yang sudah seperti keluarga sendiri wak
genk Ariansyah, Nancy, Alif Oemry, Raja yang telah banyak mengajarkan arti
mendiri dan berbagi, i hope we always be a family ever after;
14. Sahabat junior penulis adek Nnud, Cai, Ega, Melisa yang sudah seperti adek
sendiri terimakasi ya adek-adek abg uda banyak menghibur dan menyemangati
buat abg, semoga kalian segera menyusul SH yaaa;
15. Sahabat penulis kakak Putri Rahayu Surahman, SH. Yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
16. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk
2009 atas segala kenangan dan tertawa yang kita bagi.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan
dengan penuh keikhlasan. Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu. Akhir kata penulis menyadari segala keterbatasan penulis. Penulis
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran bagi perbaikan skripsi ini. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK...i
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI...vi
BAB I : PENDAHULUAN...1
A.Latar Belakang Masalah...1
B.Perumusan Masalah...6
C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian...7
D.Keaslian Penulisan...8
E. Tinjauan Kepustakaan...8
1. Pengertian Restorative Justice...8
2. Batasan Anak...12
3. Anak Yang Berkonflik dengan Hukum...14
F. Metode Penelitian...15
G.Sistematika Penulisan...17
BAB II : PENGATURAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PERLINDUNGAN ANAK...20
A.Pengertian Anak dan Pengertian Hukum Perlindungan Anak...20
B.Mekanisme Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Anak...36
A.Pengadilan Anak di Indonesia...40
B. Sistem Peradilan Pidana ( Criminal Justice System)...49
C.Praktik Restorative Justice Di Indonesia dan Negara Philipina...52
D. Institusi-Institusi yang dibutuhkan dalam Pelaksanaan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak...63
BAB IV: RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PADA ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM (STUDI HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI STABAT NO.2235/Pid.B/2012/PN.Stb.)...70
A. Kasus...70
B. Analisis Kasus...80
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN...100
A. Kesimpulan...100
B. Saran...101
ABSTRAK * Hade Brata ** Edi Yunara *** M. Eka Putra
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child )yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.
Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana. Karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam Lembaga Pemasyarakatan rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dari hasil penelitian ini bahwa setiap anak adalah baik. Faktor yang membuat anak menjadi tidak baik yaitu dikarenakan kurangnya perhatian dan bimbingan yang diperoleh dari orang tua/wali. Faktor lingkungan juga berperan besar dalam pembentukan kepribadian seorang anak. Oleh sebab itu, pemberian perhatian yang lebih terhadap anak sangat penting karena anak masih dianggap rentan dan memerlukan bimbingan sampai anak dianggap dewasa dalam kehidupannya.
* Mahasiswa Fakultas Hukum Departmen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Undang-Undang No. Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Pasal 5 ayat 3 menyebutkan bahwa, “ Setiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya”. Dalam penjelasannya, yang dimaksudkan
dengan kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita
hamil, dan penyandang cacat. Anak1 merupakan bukti atas kebesaran Tuhan Yang
Maha Esa sekaligus amanah yang senantiasa harus kita jaga dan kita bina karena
di dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak asasi sebagai manusia
yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara,,
membina dan melindungi anak adalah bagian dari upaya untuk membangun
peradaban suatu bangsa, sebab anak merupakan generasi penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan sumber daya manusia seutuhnya bagi pembangunan
nasional.
Anak dikelompokkan sebagai orang yang lemah dan rentan karena
sifatnya yang masih bergantung pada orang dewasa, karena tingkat usia,
perkembangan fisik, mental, moral, dan spiritual belum matang. Anak belum
dapat berfikir seperti orang dewasa, belum mampu membuat keputusan mana
1 Pengertian anak dalam Skripsi ini mengacu kepada Pasal 1 ayat (1) Undang‐Undang No.
yang baik dan kurang baik.2 Anak-anak di Indonesia saat ini sedang mengalami
situasi yang pelik. Hal ini dapat dilihat pada pemberitaan di berbagai media
massa, anak-anak yang menjadi korban bahkan pelaku tindak pidana itu sendiri.
Perilaku kenakalan anak juga disebabkan oleh berbagai faktor eksternal,
yang antara lain adanya dmpak negatif dari perkembangan pembangunan yang
cepat, arus gobalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang
tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan
masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kasus yang paling banyak dilakukan
adalah kasus pencurian sedangkan kasus yang paling banyak melibatkan anak
adalah tindakan melangar ketertiban umum (MKU). Kebanyakan dari pelanggaran
tersebut sifatnya ringan atau disebut juga petty crime. Tetapi hampir 90% kasus
ini berakhir dengan pemenjaraan apapun bentuknya apakah berupa penahanan,
pemberian putusan, pidana penjara, ataupun memutus anak menjadi anak negara
yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP).3 Padahal sesuai dengan
Pasal 37 (b) Konvensi Hak Anak, Pasal 16 (3) Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Butir 13 (1) The Beijing Rules, Pasal 17
Peraturan-peraturan PBB bagi Perlindungan Anak Yang Kehilangan
Kebebasannya, Pasal 66 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, meyatakan bahwa penangkapan dan penahanan terhadap anak harus
2 Sulaiman Z. Manik (ed), Kalingga:
Anak yang Berkonflik dengan Hukum Antara Hukuman dan Perlindungan, November‐Desember 2003, hlm. 1.
3
dilakukan sesuai hukum dan akan diterapkan sebagai upaya terakhir (The Last
Resort).4
Upaya satu-satunya dalam menangani anak yang berkonflik dengan
hukum melalui sistem peradilan pidana yaitu pemenjaraan dimana kenyataannya
hampir 100% keputusan tersebut berakhir dengan pemenjaraan padahal hal itu
bukan merupakan upaya terakhir (last resort). Pemenjaraan tidak hanya
menghilangkan kemerdekaan anak tetapi juga menghilangkan hak-hak yang
melekat pada anak tersebut. Penjara menempatkan anak pada dua keadaan yaitu
menjadi korban kekerasan dan lebih intens belajar kriminal.5 Anak-anak yang
ditahan sangat rentan dan menghadapi resiko mendapatkan pelecehan dan
kekerasan tidak hanya oleh para tahanan dewasa tetapi juga dari aparat penegak
hukum.
Kegagalan pencapaian tujuan dari sistem peradilan pidana, khususnya
dalam penanganan perkara anak konflik hukum, dapat dilihat dari bukti-bukti
yang menunjukkan tingginya angka kriminalitas yang dilakukan oleh anak.
Tingginya kasus anak yang harus berakhir di penjara, sepertinya tidak sebanding
4
Undang‐Undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 16 ayat (3), “Penangkapan, Penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Konvensi Hak Anak Pasal 37 (b), “Tidak seorang anakpun akan kehilangan kebebasannya secara tidak sah dan sewenang‐wenang. Penangkapan, penahanan atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan undang‐undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak”
Peraturan‐peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa‐Bangsa Mengenai Admnistrasi peradilan Bagi Anak (The Beijing Rules), Butir 13 ayat (1), “Penahanan Sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat mungkin” Peraturan‐peraturan PBB bagi Perlindungan Anak Yang Kehilangan Kebebasannya
Pasal 17,”...., Penahanan sebelum perdilan sedapat mungkin dihindari dan dibatasi pada keadaan‐keadaan yang luar biasa. Denan demikian....”
Undang‐Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 66, “.... penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir”.
dengan keberhasilan model pemenjaraan menekan juvenile delinquency. Tidak
aneh kalau kemudian bermunculan banyak kritik terhadap efektifitas pemenjaraan
sebagai bagian dari sistem peradilan pidana dalam menekan dan menangani
kriminalitas, terlebih yang dilakukan oleh anak-anak. Seperti pernah diungkapkan
oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat Bantuan Hukum PERADI Ahmad Fikri
Assegaf di jakarta pada hari senin tanggal 28 maret 2011 lalu yaitu “Pemenjaraan
terhadap anak karena berhadapan dengan hukum tanpa mempertimbangkan jenis
pemidanaan lainnya adalah bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan Standar
Internasional perlindungan hak asasi anak sehingga dalam mengadili anak-anak
yang berhadapan dengan hukum, pengadilan wajib memutus berdasarkan prinsip
kepentingan terbaik bagi anak”.6
Kondisi anak-anak yang berkonflik dengan hukum selama ini, maka
diperlukan pembenahan yang komperehensif dan berkelanjutan terhadap sistem
peradilan pidana anak yang mencakup lembaga beserta aparat penegak hukumnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dikarenakan
sampai saat ini sistem peradilan pidana di Indonesia hanya mengenal sistem
penghukuman yang bersifat menghukum atau pembalasan (retributif)7 dimana
penyelesaiannya akhir dilaksanakan melalui lembaga peradilan yang merupakan
upaya terakhir dalam menangani kenakalan atau kejahatan yang dilakukan oleh
anak. Padahal tidak semestinya semua penyelesaian perkara anak diselesaikan
melalui lembaga peradilan, perlu dilakukan pemilahan secara selektif terhadap
6 http://edukasi.kompas.com diakses pada tanggal 18 april 2013 pukul 08:16 wib 7
perilaku kenakalan anak. Hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan dalam
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak No. 23 tahun 2002 Pasal 16 ayat (3)
yang menyatakan bahwa: “Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara
anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kini sudah saatnya untuk mengubah model penanganan terhadap pelaku
kenakalan anak yang Retributif dengan model Restorative Justice (Keadilan
Pemulihan).
Sistem Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan
restoratif merupakan suatu model pendekatan dalam upaya penyelesaian perkara
pidana. Hal ini membuat semakin meningkatnya pengaruh pada dunia luas karena
dianggap dapat menjadi alternatif penyelesain konflik hukum. Tujuan utama dari
sistem peradilan adalah pemulihan, sedangkan pembalasan adalah tujuan kedua.
Berbeda dengan pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari
pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesain perkara pidana.8
Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis melakukan penulisan hukum
dengan judul “RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA ANAK YANG
BERKONFLIK DENGAN HUKUM (STUDI HUKUM PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.2209/Pid.B/2012/PN.Mdn) B. Perumusan Masalah
Permasalahan-permasalahan hukum yang akan dibahas dalam penulisan
skripsi ini antara lain:
1. Apakah Restorative Justice dapat dijadikan sebagai alternatif dalam
penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan dan mekanisme Restorative Justice dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian:
1. Untuk mengkaji dan memahami mengenai penerapan Restorative Justice
sebagai alternatif dalam perkara hukum di Indonesia
2. Untuk mengetahui kedudukan dan mekanisme Restorative Justice dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
3. Untuk mengetahui bagaimana analisis kasus yang berkaitan dengan Restorative Justice mengenai perkara Pidana
Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan
mengembangkan disiplin ilmu hukum khususnya mengenai penerapan Restorative
Justice dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia .
b. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan atau diterapkan dalam mengambil
kebijakan oleh aparat penegak hukum dengan menerapkan konsep-konsep
D. Keaslian Penulisan
Pembahasan skripsi ini berjudul “Restorative Justice Sebagai Alternatif
Penyelesaian Masalah Dalam Perkara Pidana”.
Penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan
hasilnya bahwa judul skripsi ini belum ada dan belum terdapat di perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam
skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis dalam rangka melengkapi
dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara dan apabila ternyata dikemuadian hari terdapat judul
dan permasalahan yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Restorative Justice
Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall di dalam Mrlina
dalam tulisannya mengemukakan bahwa Restorative Justice adalah:9
“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a
particular offence come together to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offence and its implications for the future” (Restorative Justice
adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam
pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari
pelanggaran tersebutb demi kepentingan masa depan).
9
Sedangkan Marian Liebmann secara sederhana mengartikan Restorative
Justice sebagai:10
“Suatu sistem huku yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban,
pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah
pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut”.
Menurut Agustinus Pohan, Restorative Justice adalah sebuah pendekatan
untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan.11
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan pengertian Restorative
Justice yaitu suatu proses dimana semua pihak yang berhungungan dengan tindak
pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan memikirkan bagaimana
akibatnya dimasa yang akan dating. 12
Pengertian keadilan restoratif diatur dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU
SPPA”) yang berbunyi sebagai berikut:13
“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”
Di dalam penjelasan umum UU SPPA juga dijelaskan bahwa:
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih
10
http://manshurzikri.wordpress.com/2011/06/01/restorative‐justice‐sebagai‐mekanisme‐ penyelesaian‐perkara‐yang‐mengedepankan‐kepentingan‐perempuan‐sebagai‐korban‐ kekerasan‐seksual/, diakses pada tanggal 18 april 2013 pukul 13:38 wib.
11 http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/restorative‐justice‐dalam‐sistem.html, diakses
pada tanggal 18 april 2013 pukul 13:40 wib.
12
Ibid
baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.”
Berbeda halnya dengan keadilan restoratif yang merupakan bentuk
penyelesaian di luar pengadilan untuk perkara pidana khususnya pidana anak,
APS merupakan bentuk penyelesaian di luar pengadilan untuk perkara perdata
Jadi, perbedaan antara keadilan restoratif dengan alternatif penyelesaian sengketa
adalah keadilan restoratif digunakan untuk menyelesaikan perkara pidana anak
sedangkan APS digunakan untuk menyelesaikan perkara perdata, Persamaan di
antara keduanya adalah merupakan bentuk penyelesaian di luar jalur pengadilan.14
2. Batasan Anak
Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut
hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum Islam.15 Secara nasional
definisi anak menurut perundang-undangan, di antaranya menjelaskan anak adalah
seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah.16
Undang-Undang No. 23 Tahun tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 tahun dan bahkan masi di dalam kandungan,17 sedangkan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang
yang dalam perkara anak nakal telah mencapi usia 8 tahun tetapi belum mencapai
14
Ibid
15 Marlina,
Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 33
16
Pasal 292, 294,295 dan pasal 297 KUHPidana.
usia 18 tahun dan belum pernah menikah.18 Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3 yaitu :19 “bahwa anak yang berkonflik dengaan
Hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana. Pembatasan anak dari segi umurnya tidaklah selamanya
tepat, karena kondisi umur seseorang dihubungkan dengan kedewasaan
merupakan sesuatu yang bersifat semu dan relatif.20 Definisi anak yang ditetapkan
perundang-undangan berbeda dengan definisi menurut hukum islam dan hukum
adat. Menurut hukum islam dan hukum adat sama-sama menentukan seseorang
masi anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia anak. Hal ini karena
masing-masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum islam
menentukan definisi anak dilihat dari tanda-tanda seseorang apakah seseorang itu
sudah dewasa atau belum. Artinya seseorang dinyatakan seabagi anak tersebut
belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki oleh orang dewasa sebagaimana
ditentukan dalah hukum islam. Menurut Ter Haar seorang tokoh adat mengatakan
bahwa hukum adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu
anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi seseorang yaitu
apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua atau rumah
mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri.21 Menurut Nicholas McBala
18
Pasal 1 Angka 1 Undang‐Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
19 Undang‐Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
20
Dr. Marlina SH., M.Hum, Op.Cit., hlm.36
21
dalam bukum Juvenile Justice System mengtakan anak adalah periode diantara
kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan
hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan untuk
membahayakan orang lain.22
3. Anak Yang Berkonflik dengan Hukum
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan
dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-Undang No.3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak.23 Setelah diundangkannya Undang-Undang
Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik
dengan hukum (ABH), dan saat ini Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak pun menggunakan istilah anak yang berkonflik
dengan hukum.24 Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus
berhadapan dengan hukum, yaitu:25
1) Status offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh
orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut,
membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2) Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Namun sebenarnya terllau ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh
anak-anak tersebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya ank-anak memiliki
22
Op.Cit., hlm. 36.
23
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 32.
24
Op.Cit., hlm. 33.
25
kondisi kejiwaan yang labil proses kemantapan psikis menghasilkan sikap
kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak
mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai
kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi
psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas
tindakan yang telah dilakukan anak. Sementara itu, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditegaskan bahwa seseorang dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang
bersangkutan dan juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang menurut
hukum yang berlaku.
4. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
(penelitian hukum droktiner).26 Penelitian normatif adalah penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder.
Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan adatu
studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum droktiner
karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut
sebagai penelitian kepustakaan atau pun studi dokumen disebabkan penelitian
ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada
diperpustakaan.
26
Soerjono Soekanto, Penghantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 42.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yang tujuannya untuk memberikan
gambara lengkap mengenai setting sosial atau hubungan mengenai hubungan
antara fenomena yang diuji.
3. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
studi dokumen atau bahan pustaka.27 Studi dokuen atau badan pustaka
dilakukan dibeberapa tempat antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran Bandung, maupun mengakses internet.
Jenis Data
Data sekunder yang terdiri atas :
1. Bahan buku primer yaitu bahan hukum yang mengikat yang berupa peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan Undang-Undang Sistem
Peradilan Anak.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang
bahan hukum primer antara lain :28
a. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai Restorative Justice
b. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai perlinungan anak dan
sistem peradilan pidana anak
c. Hasil-hasil penelitian, tulisan, majalah dan lain-lain.
4. Analisis Data
27
Op.Cit., hlm. 52.
28
Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan anak dianalisis dengan
menggunakan metode deduktif dan induktif yang berpedoman kepada
teori-teori hukum pidana khususnya tentang penerapan restorative justice di
Indonesia. Analisis secara deduktif artinya semaksimal mungkin penulis
berupaya memaparkan data-data sebenarnya. Metode deduktif artinya
berdasarkan yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berlaku di indonesia
tentang sistem peradilan pidana anak yang dijadikan pedoman untuk
mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh
dari penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan
kemudahan bagi pembacanya dalam memehami makna dan dapat pula
memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan
yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat
sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan
skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan
menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas
mengenai perngertian restorative justice, alternatif penyelesaian
sengketa, pengertian anak dan pengertian anak yang berkonflik
Bab II Tinjauan Umum mengenai Hukum Perlindungan Anak, Restorative Justice dan Sitem Peradilan Pidana
Bab ini memberikan pemaparan tentang pengertian restorative
justice, prinsip, manfaat dan karakteristik, perngertian anak, hukum
perlindungan anak dan pemaparan tentang mekanisme restorative
justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana anak.
Bab III Gambaran Umum Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Mekanisme Restorative Justice di Beberapa Negara dan Restorative Justice di Indonesia
Bab ini memberikan pemaparan tentang pengadilan anak di
Indonesia, tahap-tahap dalam pengadilan anak di Indonesia serta
konsep dan praktik restorative justice dibeberapa Negara dan di
Indonesia.
Bab IV Kasus Posisi dan Analisis Kasus
Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan kasus posisi
tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh anak bernama
Muhammad Ilham dan Budi Ardiansyah Als. Andre Saputra dan
Analisis Kasus restorative justice dapat dijadikan sebagai alternatif
dalam penyelesaian perkara pidana anak yang berkonflik dengan
hukum serta kedudukan restorative justice dalam sistem peradilan
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari
masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan
saran yang berguna bagi semua pihak agar dapat mengembangkan
teori dan praktik penerapan restorative justice dalam menangani
BAB II
PENGATURAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PERLINDUNGAN ANAK
A. Pengertian Anak Secara Umum
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah
keturunan kedua. Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri
dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan.29 Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung
jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan
berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya
serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.30
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa pembuat undang-undang
(DPR dan Pemerintah) memiliki politik hukum yang responsif terhadap
perlindungan anak. Anak ditempatkan pada posisi yang mulia sebagai amanah
Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki peran strategis dalam menjamin
kelangsungan eksistensi negara ini. Melalui UU No. 23 Tahun 2002 tersebut,
29
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk DiHukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 8
jaminan hak anak dilindungi, bahkan dibentuk Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) yang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas
perlindungan anak.31
Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus
bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Apabila kita melihat definisi anak sebagaimana diungkapkan di
atas, kita dapat bernafas lega karena dipahami secara komprehensif. Namun,
untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka kita akan
mendapatkan berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya definisi
batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya:32
1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16
tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
2. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefinisikan anak
berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.
3. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefiniskan anak adalah
orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi
belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.
4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.
5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja
15 tahun.
31
Ibid
6. 6. UU0 No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
member-lakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7
sampai 15 tahun.
Berbagai macam definisi tersebut, menunjukkan adanya disharrnonisasi
perundang-undangan yang ada. Sehingga, pada praktiknya di lapangan, akan
banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut.33
Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak
(Convention on the Right of the Child), maka definisi anak: "Anak berarti setiap
manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku
pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal". Untuk itu, UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak memberikan definisi anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan betas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.34
Hadi Supeno mengungkapkan bahwa semestinya setelah lahir UU
Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai lex specialist,
33 Pasal 330 KUH Perdata:
"Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dulu telah kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur di dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima, dan ke enam bab ini." Penentuan arti istilah "belum dewasa" yang dipakai dalam beberapa peraturan perundang‐ undangan terhadap bangsa Indonesia. Berdasarkan ordonatie 31 Januari 1931, L.N. 1931‐1954, untuk menghilangkan segala keragu‐raguan yang timbul karena ordonatie 21 September 1917, L.N. 1917‐1938, dengan mencabut ordonatie ini ditentukan sebagai berikut:
1. Apabila peraturan perundang‐undangan memakai istilah "belum dewasa" maka, sekadar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan: segata orang yang belum mencapai umur dua putuh tahun dan tidak lebih dulu telah kawin.
2. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebalum mulai dua puiuh satu tahun, maka tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah "belum dewasa". Dalam paham parka‐winan tidaklan terrnasuk perkawinan anak‐anak,"
semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus disesuaikan, termasuk
kebijakan yang dilahirkan serta berkaitan dengan pemenuhan hak anak.35
Terhadap hal tersebut, karena memang sudah seha-rusnya peraturan
perundang-undangan yang ada memiliki satu (mono) de-finisi sehingga tidak akan
menimbulkan tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang pada tataran
praktis akan membuat repot penyelenggaraan pemerintahan. Untuk itu, UU
Perlindungan Anak memang seyogianya menjadi rujukan dalam menentukan
kebijakan yang berhubungan dalam pemenuhan hak anak.36
1. Hak-Hak dan Kewajiban Anak
Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa
depan bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak saat ini. Berkaitan
dengan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah
kewajiban kita bersama, agar ia bisa tumbuh berkembang dengan baik dan dapat
menjadi pengemban risalah peradaban bangsa ini.
Berkaitan dengan perlakuan terhadap anak tersebut, maka penting bagi
kita mengetahui hak-hak anak dan kewajiban anak.
a. Hak-Hak Anak
Anak sebagai sebuah pribadi yang sangat unik dan memiliki ciri yang
khas. Walaupun dia dapat bertindak berdasarkan perasaan, pikiraan dan
kehendaknya sendiri, ternyata lingkungan sekitar mempunyai pengaruh yang
cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. Untuk itu bimbingan,
35 Ibid
pembinaan dan perlindungan dari orang tua, guru, serta orang dewasa lainnya
sangat dibutuhkan oleh anak di dalam perkembangannya.37
Pasal 16 ayat (3) Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM)
menentukan bahwa keluarga adalah kesatuan alamiah dan mendasar dari
masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara. DUHAM
adalah instrumen internasional HAM yang memiliki sifat universal, dalam arti
setiap hak-hak yang diatur di dalamnya berlaku untuk semua umat manusia di
dunia tanpa kecuali. Dengan demikian sudah pasti pemenuhannya tidak tentukan
oleh batas usia. Anak, sebagai bagian dari keluarga memerlukan pemeliharaan dan
perlindungan khusus dan tergantung pada bantuan dan pertolongan orang dewasa,
terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya.38
Terlebih dalam pemenuhan haknya, seorang anak tidak dapat
melakukannya sendiri disebabkan kemampuan dan pengalamannya yang masih
terbatas. Orang dewasa, khususnya orang tua memegang peranan penting dalam
memenuhi hak-hak anak.39
Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah
menggariskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.40
Dengan dicantumkannya hak anak tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka
bisa diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal
37
Di dalam Naskah Akademis RUU tentang Sistern Peradilan Pidana Anak
38
Op.Cit, hlm. 12.
39 Ibid 40
penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan
sehari-hari.41
Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dirumuskan
15 pasal42 yang khusus merumuskan hak-hak anak, karena pembentuk UU
menyadari bahwa anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran
HAM.43
Lebih lanjut pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, juga diatur
secara khusus dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak
Anak. Dalam Pasal 1 butir 12 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak,
disebutkan, bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara". UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sendiri merupakan bentuk konkretisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak
yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Dengan peratifikasian Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan keputusan
Pr44esiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights
of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak/KHA), maka sejak Tahun 1990
tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang
termaktub di dalam Konvensi Hak-Hak Anak.45
41 Op.Cit, hlm. 12 42
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, hak anak terdapat dalam Pasal 52-66. 43
Ibid
44
Ibid, hlm. 13 45
Menurut Ema Sofyan Syukrie, Negara-negara pihak (yang telah
meratifikasi KHA) wajib menerapkan dengan melakukan harmonisasi hukum:46
a) Memeriksa dan menganalisis perundang-undangan yang ada dan yang masih
dalam proses perencanaan/pembentukannya;
b) Meninjau ulang lembaga-lembaga yang ada hubungannya dengan pelaksanaan
Konvensi Hak Anak;
c) Mengusulkan langkah-langkah pintas penyelerasan ketentuan Konvensi Hak
Anak dengan perundang-undangan Indonesia;
d) Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku tetapi perlu
penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat; dan
e) Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk
mengefektifkan pelaksanaan Konvensi Hak Anak / penyelerasan Konvensi
Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia.
Maka sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di
Indonesia telah diakomodir dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) sebagaimana
telah disebutkan di atas, juga dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.47
Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, hak-hak anak secara umum dapat
dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain48:
a) Hak untuk kelangsungan hidup (The Right To Survival) yaitu hak-hak untuk
melestarikan dan mempertahankan hidup (The Right of Live) dan hak untuk
46 Ibid, hlm. 13 47
Ibid
48
memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.
Hak ini antara lain termuat dalam pasal-pasal berupa:
1) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak
dilahirkan;
2) Hak anak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau hal ini
dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya;
3) Kewajiban Negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk salah
perlakuan (abuse);
4) Hak anak-anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh
pengasuhan, pendidikan, dan latihan khusus;
5) Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang memadai, dan
tanggung jawab utama orang tua, kewajiban negara untuk memenuhinya;
6) Hak anak atas pendidikan dan kewajiban negara untuk menjamin agar
pendidikan dasar disediakan secara cuma-cuma dan berlaku wajib;
7) Hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkotika;
8) Hak anak atas perlindungan eksploitasi dan penganiayaan seksual,
termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi;
9) Kewajiban Negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah
penjualan, penyelundupan, dan penculikan anak.
b) Hak terhadap perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi
hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan
dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak
pengungsi. Hak ini terdiri atas 2 (dua) kategori, antara lain:
1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap
hak-hak anak, hak-hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, dan hak-hak anak
penyandang cacat;
2) Larangan eksploitasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya,
kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah
perlakuan oleh orang tua atau orang lain, perlindungan bagi anak yatim,
pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan atau perkembangan
anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana
mati, seumur hidup, dan penahanan semena-mena.
c) Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights) yaitu hak-hak anak dalam
Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan
nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (the rights of
standart of living). Beberapa hak-hak untuk tumbuh kembang ini, yaitu:
1) Hak untuk memperoleh infomiasi (the rights to information);
2) Hak memperoleh pendidikan (the rights to education);
3) Hak bermain dan rekreasi (the rights to play and recreation);
4) Hak berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to participation in
cultural activities);
5) Hak untuk kebebasan berpikir (conscience), dan beragama (the rights to
thought and religion);
6) Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights to personality
development);
7) Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);
8) Hak memperoleh kesehatan dan fisik (the rights to health and physical
development);
9) Hak untuk didengar pendapatnya (the rights to be heard);
10)Hak untuk/atas keluarga (the rights to family).
d) Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights), yaitu hak-hak anak yang
meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views freely in all
matters affecting the child). Hak untuk berpartisipasi juga merupakan hak
anak mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan
pengembangan keterlibatannya di dalam masyarakat luas. Hak ini memberi
makna bahwa anak-anak ikut memberikan sumbangan peran, antara lain:
1) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas
2) Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk
berekspresi;
3) Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung;
4) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung
dari informasi yang tidak sehat.
Sementara itu, hak-hak anak di Indonesia secara umum ditentukan dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, antara lain:49
1) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan;
3) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan
orang tua;
4) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri;
5) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial;
6) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya;
7) Bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar
biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak
mendapatkan pendidikan khusus;
8) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan;
9) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;
10)Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;
11)Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,
ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya;
12)Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
terakhir;
13)Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan
kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan;
14)Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
15)Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum;
16)Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir;
17)Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang
dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri serta
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum;
18)Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan; dan
19)Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
b. Kewajiban Anak
Selain berbicara mengenai hak-hak anak, maka tidak afdhal rasanya apabila tidak
berbicara mengenai kewajiban. Karena antara hak dan kewajiban adalah suatu hal
yang beriringan selalu.50
Kewajiban berarti sesuatu yang wajib diamalkan (dilakukan), keharusan,
tugas yang harus dilakukan.51 Menurut Setya Wahyudi, anak melakukan
kewajiban bukan semata-mata sebagai beban, tetapi justru dengan melakukan
kewajiban-kewajiban menjadikan anak tersebut berpredikat “anak yang baik”.52
Anak yang baik tidak hanya meminta hak-haknya saja, tetapi akan melakukan
kewajiban-kewajibannya.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada lima
hal kewajiban anak di Indonesia yang mestinya dilakukan, antara lain:53
a) Menghormati orang tua, wali dan guru;
b) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c) Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
d) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan melaksanakan etika
dan akhlak yang mulia
2. Hukum Perlindungan Anak
Menurut Arif Gosita, bahwa hukum perlindungan anak sebagai hukum
(tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak-anak benar-benar dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya. Kemudian Bisman Siregar menyebutkan
aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang
51
Kewajiban berasal dari kata “wajib” mendapat awalan “ke” dan akhiran “‐an”, yang artinya mesti diamalkan (dilakukan), perlu atau tidak boleh tidak, harus, ataupun sudah sepatutnya harus dilakukan. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 1359
52
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia,( Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 26.
diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak
belum dibebani kewajiban.54
Pengaturan mengenai perlindungan anak dalam instrument hukum
nasional dapat kita jumpai pada beberapa peraturan perundnag-undangan, bidang
hukum perdata, bidang hukum pidana dan bidang hukum
ketatanegaraan.Berkaitan dengan karya ilmiah ini, maka penulis mencoba meneliti
dari salah satu aturan yang berlaku yakni UU No.23 Tahun 2002.
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Latar belakang dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2002 karena Negara
Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk
perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia seperti yang
termuat dalam Undang-Udang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang hak anak.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak
dari janin dalam kandungan sampai anak berusia delapan belas tahun.55 Bertitik
tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif
maka undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada
anak berdaasrkan asas-asas:
1. Asas nondiskriminasi;
2. Asas kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. Asas hak untuk Hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
54
Irma Setyowati, Op.cit., hlm. 4‐8.
55 Rika Saraswati,
4. Asas penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak.
Perlindungan terhadap anak sangat diperlukan karena banyak faktor yang
menyebabkan anak beresiko mengalami kekerasan, pengabaian, eksploitasi, dan
perlakuan salah lainnya, seperti:56
1. Cara pengasuhan menggunakan kekerasan yang diterapkan lintas generasi;
2. Kemiskinan yang berdampak urbanisasi, perubahan gaya hidup, dan
perubahan harapan terhadap kualitas hidup;
3. Nilai-nilai di masyarakat yang eksploitatif (nilai anak sebagai komoditas)
dan diskriminatif;
4. Sistem hukum yang tidak mendukung perlindungan anak.
Menurut Pasal 3 UU No.23 tahun 2002 bahwa:
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera.”
Udang-Undang ini juga mewajibkan pemerintah dan Negara (Pasal 14-20),
masyarakat (Pasal 25), serta keluarga dan Orang Tua (Pasal 26) untuk
bertanggungjawab dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Selain itu
undang-Undang ini juga memuat sanksi bagi mereka yang melakukan kekerasan,
eksploitasi, dan melakukan penelantaran. Apabila melakukan diskriminasi dan
penelantaran anak sehingga mengakbatkan kerugian/penderitaan, akan dikenai
56
hukuman penjara lima tahun dan/atau denda 100 juta rupiah (Pasal 77). Kemudian
apabila memperdagangkan, menjual, atau menculik anak dapat dipidana 3-15
dan/atau denda 60-300 juta rupiah (Pasal 83).
Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan efektibilitas penyelenggaraan
perlindungan anak maka melalui undang-undang ini dibentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen (Pasal 74).Komisi ini
bertugas melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundnag-undangan
yang berkaitan dengan perlindungan anak; mengumpulkan data dan informasi;
menerima pengaduan masyarakat; serta melakukan penelaahan, pemantauan,
pengevaluasian, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak
(Pasal 76).
Pada tahun 1989 Konvensi Hak Anak atau KHA (Convention on the right
of the child) disetujui oleh Majelis Umum PBB.Konvensi ini mempertegas
hak-hak dan perlindungan terhadap anak karena mereka merupakan generasi penerus,
tetapi rentan terhadap berbagai ancaman, perlakuan salah, dan eksploitasi dalam
berbgai aspek kehidupan.Konvensi ini mengatur bahwa setiap anak berhak atas
perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual termasuk pelacuran dan
keterlibatan dalam pornografi.Selain itu, Negara wajib mencegah
penjualan/penyeludupan dan penculikan anak dan wajib menjamin agar anak yang
menjadi korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantara, perlakuan salah,
atau eksploitasi memperoleh perawatan yang layak.Kesemuaan hak ini diatur
dalam Pasal 34, 35, dan 36 Konvensi Hak Anak.
”Negara-negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk
eksploitasi seks dan penyalahgunaan seksual. Untuk maksud ini, Negara-negara
peserta khususnya akan mengambil semua langkah-langkah nasional, bilateral,
dan multilateral yang tepat untuk mencegah:
(a) Bujukan atau pemaksaan anak untuk melakukan semua bentuk kegiatan sekual
yang tidak sah;
(b) Penggunaan anak-anak secara ekspliotasi dalam pelacuran atau praktik-praktik
seksual lainnya yang tidak sah
(c) Penggunaan anak-anak secara ekploitasi dalam pertunjukan-pertunjukan dan
bahan-bahan pornografi.”
Pasal 35 Konvensi Hak Anak menyatakan:
“Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah nasional, bilateral, dan
multilateral; yang tepat untuk mencegah penculikan, penjualan, atau perdagangan
anak untuk tujuan apa pun atau dalam bentuk apa pun.”
Pasal 36 Konvensi Hak Anak menyatakan:
Negara-negara peserta akan melindungi anak terhadap semua bentuk eksploitasi
yang merugikan setiap aspek kesejahteraan anak.
B. Mekanisme Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Anak.
1. Prinsip Restorative Justice
Liebmann juga memberikan rumusan prinsip dasar restorative
justice sebagai berikut:
2. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan
3. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman
4. Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan
5. Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari
kejahatan di masa depan
6. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak,
baik korban maupun pelaku.
Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara
mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala
hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua
belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness
work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).
Kita masih ingat kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, contoh kasus yang
menimpa nenek Rasminah yang dihukum 130 hari penjara karena dituduh
mencuri 6 piring, kemudian kasus pengambilan 3 biji kakao senilai Rp 2.100 yang
dilakukan oleh nenek Minah yang harus dibawa ke pengadilan, saya tidak tahu
apakah Polisi dan Jaksa kita kekurangan pekerjaan. Begitu pula dengan kasus
pencurian satu buah semangka, di mana kedua tersangka disiksa dan ditahan
Polisi selama 2 bulan dan terancam hukuman 5 tahun penjara, belum lagi
baru-baru ini kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh seorang siswa di kota Palu
berinisial AAL harus berakhir di meja hijau. Sebaliknya, untuk kasus hilangnya
uang rakyat senilai Rp 6,7 trilyun di Bank Century, Polisi dan Jaksa nyaris tidak
juga menunjukkan kelemahan penyelesaian perkara dalam sistem peradilan
pidana.
Seharusnya contoh kasus diatas, seperti pencurian piring yang dilakukan
nenek Rasminah tidak perlu sampai pengadilan. Pertemuan antara pelaku dan
korban ataupun antara keluarga pelaku dan korban dapat dilakukan sepanjang hal
ini dapat di fasilitasi oleh mediator. Demikian juga pada kasus perkosaan yang
marak terjadi akhir-akhir ini, meskipun bukan gambaran utuh dari
penerapan restorative justice baik pelaku dan korban, tetapi keluarga pelaku dan
keluarga korban dapat bertemu muka untuk sama-sama mencapai suatu
kesepakatan, misalnya menikahkan putra putrinya.
Dibutuhkan suatu usaha sosialisasi dari pemerintah dan pejabat/pemangku
kepentingan tentang restorative justice kepada masyarakat luas, sebagai cara
alternatif (tetapi diutamakan) dalam penyelesaian masalah-masalah yang terkait
hal-hal domestik, karena mekanisme ini lebih nyata mengedepankan hak-hak
korbannya. Restorative justice merupakan suatu mekanisme yang mutlak
diperlukan, terlebih lagi, pada dasarnya mekanisme ini telah mengakar dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang kental dengan sistem norma dan nilai adat
dari nenek moyang.
2. Manfaat Restorative Justice:
1. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;
2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang
3. Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari pelaku
secara utuh;
4. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat
yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;
5. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat
mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.
Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses pradilan
konvensional. Peradilan konvensional merupakan pengadilan yang menentukan
kesalahan dan mengurus kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau
beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang
dilangsungkan oleh aturan yang sistemik.
Sedangkan restorative justice menurut Howard Zehr adalah melihat suatu
proses peradilan dengan pandangan yang berbeda, yakni kriminal adalah
BAB III
PERADILAN ANAK DI INDONESIA, MEKANISME RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN
A. Pengadilan Anak di Indonesia
Hukum acara pidana disebut juga sebagai hukum pidana formal. Menurut
Lamintang, hukum pidana formal memuat peraturan-peraturan yang mengatur
tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus
diberlakukan secara konkret. Sementara itu Sudarto mengatakan bahwa hukum
pidana fomal mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat-alat
perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.57
Dengan demikian, hukum acara peradilan pidana anak merupakan
peraturan-peraturan yang mengatur agar hukum pidana anak yang bersifat abstrak
diberiakukan secara konkret. Dalam UU No. ii Tahun 2012, acara peradilan
pidana anak diat