• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Studied Of Food Habit And Growth Of Barb (Barbonymus Balleroides Val. 1842) In Serayu River, Banjarnegara, Central Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Studied Of Food Habit And Growth Of Barb (Barbonymus Balleroides Val. 1842) In Serayu River, Banjarnegara, Central Java"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN MAKANAN DAN PERTUMBUHAN IKAN BREK

(Barbonymus balleroides Val. 1842) DI SUNGAI SERAYU

KABUPATEN BANJARNEGARA PROVINSI JAWA TENGAH

RUMONDANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Makanan dan Pertumbuhan Ikan Brek (Barbonymus balleroides Val. 1842) di Sungai Serayu Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

(3)

RINGKASAN

RUMONDANG. Kajian Makanan dan Pertumbuhan Ikan Brek

(Barbonymus balleroides Val. 1842) di Sungai Serayu Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh RIDWAN AFFANDI dan M. MUKHLIS KAMAL.

Kajian makanan dan pertumbuhan dilakukan di Sungai Serayu. Pada kawasan Sungai Serayu terdapat bendungan Waduk Mrica. Kegiatan pembendungan ini meyebabkan terjadinya fragmentasi habitat. Hal ini berpengaruh terhadap pola kebiasaaan makanan dan pertumbuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji komposisi makanan ikan keterkatikan antara komposisi kimiawi dan kandungan energi makanan dengan tingkat kematangan gonad, mengkaji pengaruh fragmentasi habitat terhadap komposisi makanan dan pertumbuhan ikan.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2012 sampai Januari 2013. Pengambilan sampel ikan dilakukan pada tiga zona (hilir, tengah, dan hulu) yang terdiri atas 6 stasiun, penentuan lokasi sampling ditetapkan berdasarkan keberadaaan waduk, karakteristik sungai dan habitat ikan. Pengambilan contoh ikan menggunakan alat tangkap berupa jala berukuran panjang tiga meter, jaring insang dengan tiga mata jaring ( ¾ , 1 ½ dan 2 inchi) berukuran panjang 20 m dan lebar 2 meter, dan electrofishing.

Hasil tangkapan ikan brek selama penelitian berjumlah 1 602 ekor. Jumlah tangkapan tertinggi berada di zona hulu dengan rata-rata ukuran panjang ikan disemua zona 64-238 mm. Ikan brek termasuk ikan omnivore cenderung herbivore dengan jenis makanannya berupa fitoplankton, tumbuhan air, detritus, insekta, ikan, gastropoda dan krustase. Ikan pada ukuran kecil (64-114 mm) memakan fitoplankton dan insekta, sedangkan ikan berukuran besar (115-250 mm) mengkonsumsi makanan berupa fitoplanton, insekta, gastropoda, ikan, krustase. Komposisi makanan berbeda pada setiap zona. Ikan brek cenderung untuk meningkatkan jenis makanan hewani untuk menyokong proses reproduksinya. Komposisi kimia makanan pada TKG III pada zona tengah memiliki jumlah kalori makanan tertinggi (4.83 kkal/g). Jumlah kalori makanan berdasarkan TKG berkisar antara 3.90 sampai 5.16 kkal/g. Makanan ikan Brek yang ber TKG I dan II mengandung energi yang lebih tinggi (5.13 dan 5.16) dibandingkan dengan TKG III dan IV (3.90 dan 4.55).

Pola pertumbuhan ikan brek bersifat alometrik positif (p <0.05). Faktor kondisi rata-rata ikan brek betina lebih besar dibandingkan ikan brek jantan. Zona tengah memiliki faktor kondisi lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya.

Panjang asimtotik ikan brek (L∞) 253 mm, koofesien pertumbuhan (k) 1 pertahun,

dan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) adalah -0,087 tahun

sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan brek Lt=253(1-e -1(t+0.087)). Laju mortalitas alami ikan brek tertinggi terdapat pada zona hilir (0.73) diikuti zona tengah (0.58) dan zona hulu (0.57). Laju eksploitasi tertinggi terdapat pada zona hilir (0.93) diikuti dengan zona hulu (0.70) dan zona tengah (0.57). Nilai laju eksploitasi ikan brek di kawasan hulu Sungai Serayu telah melebihi nilai laju ekploitasi optimum 0.5.

(4)

SUMMARY

RUMONDANG. The Studied of Food Habit and Growth of Barb

(Barbonymus balleroides Val. 1842) in Serayu River, Banjarnegara, Central Java. Supervised by RIDWAN AFFANDI and M. MUKHLIS KAMAL.

A study of food habit and growth was conducted in the Serayu River, where there is Mrica Reservoir. The damming activity has led to habitat fragmentation which affects the pattern of food habits and growth. The aims of this study were, to examine the composition of fish food, to learn about relationship between chemical composition and energy content of the food related to gonad maturity level, and to find out the effects of habitat fragmentation on the composition of food and the growth of fish.

The research was conducted from October 2012 to January 2013. Fish sampling was carried out in three zones (downstream, middlestream, and upstream), which consisted of 6 stations. The sampling locations were determined based on the existence of the reservoir, river characteristics and fish habitat. Fish samplings were done using a 3-meter long nets and gill nets with 3 mesh size (¾, 1 ½ and 2 inches) measuring 20 meters in length and 2 meters in width, and electrofishing.

There were 1 602 fishes captured and total length are ranged from 64 to 250 mm. Barb was categorized as omnivore fish (with a tendency of being herbivore) with a diet composition of phytoplankton, aquatic plants, detritus, insects, pieces of fish, gastropods and crustaceans. Small-sized fish (64-114 mm) ate phytoplankton and insects, while large fish (115-250 mm) had such food composition as fitoplanton, insects, gastropods, fish, and crustaceans. The food composition was different in each zone. To support the reproduction, the fish consumpt gastropod. The stomach contents of the male and the female are similar. To support their reproduction barb was usually increase the kind of their food from aquatic animal. The chemical composition of 3rd gonad maturity in the middle zone had the highest number of food calories (4.83 kcal /g). The number of calories based on gonad maturity ranged from 3.90 to 5.16 kcal/g. The food of Barb in 1st and 2nd gonad maturity (5.13 and 5.16) have higher energy than 3rd and 4th gonad maturity (3.90 and 4.55).

The growth pattern of Barb was positive allometric (p <0.05). The average condition factor of female fish was larger than male. The middle zone had a

higher condition factor than the other zones. The asymptotic length of fish (L∞)

was 253 mm, the coefficient growth (k) was 1 per year, and the theoretical age when the fish length was equal to zero (t0) -0,087 so that the growth equation

of von Bertalanffy of Barb was Lt=253(1-e -1(t+0.087)). The highest natural mortality rate of Barb was found in the downstream zone (0.73), and then by the middle zone (0.58) and the upstream zone (0.57). The highest exploitation rate of Barb was found in the downstream zone (0.93), and then the upper zone (0.70), and middle zone (0.57). The exploitation rate Val.ue of Barb in upstream area of Serayu river was exceeded the optimum exploitation rate value of 0.5.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

KAJIAN MAKANAN DAN PERTUMBUHAN IKAN BREK

(Barbonymus balleroides Val. 1842) DI SUNGAI SERAYU

KABUPATEN BANJARNEGARA

RUMONDANG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah Kajian Makanan dan Pertumbuhan Ikan Brek (Barbonymus balleroides Val. 1842) di Sungai Serayu Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ridwan Affandi, DEA dan Bapak Dr Ir M. Mukhlis Kamal. MSc selaku pembimbing, yang telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan, arahan dan masukkan sejak awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini. serta kepada bapak Haryono MSi yang telah melibatkan saya kedalam penelitiannya (bagian dari disertasi). Ungkapan terima kasih juga kepada kakak Norce mote SSi, bapak rudi (teknisi LIPI), Bapak Gudir (Nelayan), Keluarga besar bapak Haryono MSi yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data dan terima kasih kepada teman-teman SDP 2011 khususnya kepada Riri Enggraini MSi, Tri Apriadi SPi, Ilham Zulfahmi SPi, Muhamad Nizar SPi, Twotik Handayani MSi, Neri Kautsari MSi, Wahyuni Safitri SPi, Flandrianto Sih SSi, Tezza Fauzan SPi, Gabriel Tirtawijaya MSi, Arthrur SKom, dan kepada sahabat saya Erni Dian Fisesa SPi yang banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (H. Tampubolon), ibu (L. Sipahutar), kepada adik-adik tercintaku, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Deskripsi Sungai Serayu 4

Klasifikasi dan Struktur Morfologis Ikan Brek 4

Distribusi Ikan 6

Kebiasaan Makanan 6

Kebutuhan Nutrisi Ikan 7

Pertumbuhan 8

Hubungan Panjang Berat 9

Faktor Kondisi 10

Mortalitas dan Laju Eksploitasi 10

3 METODE PENELITIAN 11 Waktu dan Tempat Penelitian 11 Penentuan Stasiun Pengambilan Ikan Contoh 12 Pengumpulan Data di Lapangan 12 Pengukuran Parameter Fisika, Kimia dan Biologi 13

Analisis Data 14

Kebiasaan Makanan 14

Analisis Kimia Makanan Ikan Brek 15

Pertumbuhan 17

Kelimpahan Plankton 20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21 Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Sungai Serayu 21 Distribusi Hasil Tangkapan 23 Sebaran Ukuran Panjang 23 Makanan Ikan Brek 26

Indek Kepenuhan Isi Lambung (ISC) 26 Kebisaan Makanan Berdasarkan Jenis Kelamin 27

Kebiasaan Makanan Berdasarkan Ukuran 29

Kebiasaan Makanan Berdasarkan TKG 31

Kebiasaan Makanan Berdasarkan Waktu Pengamatan 32

Analisa Kimia Makanan Ikan Brek 34

Komposisi Kimia Makanan Ikan Brek TKG III pada

masing-masing Zona Pengamatan 34

Komposisi Kimia Makanan Ikan Brek Berdasarkan

TKG di Zona Hulu 35

(11)

Pertumbuhan 37

Hubungan Panjang dan Bobot Ikan 37

Koefisien Petumbuhan 38

Faktor Kondisi 40

Mortalitas dan Laju Eksploitasi 41

Rekomendasi Pengelolaan 42

5 SIMPULAN DAN SARAN 44

Simpulan 44

Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 44

LAMPIRAN 54

(12)

DAFTAR TABEL

1 Alat dan Metode Pengukuran Kualitas Air 13

2 Kisaran Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan 21 3 Komposisi Kimia dan Kandungan Energi Makanan Ikan Brek

Berdasarkan Zona Pengamatan 34

4 Komposisi Kimia dan Kandungan Energi Makanan Ikan brek

berdasarkan TKG 35

5 Hubungan Panjang dan Bobot Ikan Brek di tiap Zona Pengamatan 38 6 Parameter Pertumbuhan Ikan Brek Jantan, Betina dan Gabungan 39 7 Faktor Kondisi Ikan Brek berdasarkan Zona Pengamatan 40 8 Faktor Kondisi ikan brek jantan dan betina berdasarkan TKG 41 9 Mortalitas dan Laju Eksploitasi Ikan Brek pada setiap zona 42

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 3

2 Ikan Brek (Barbonymus balleroides Val. 1842) 5

3 Lokasi Pengamatan dan Pengambilan Ikan 11

4 Jumlah Ikan Brek yang Tertangkap berdasarkan Zona Pengamatan 23 5 Sebaran Ukuran Panjang Ikan Brek berdasarkan Zona Pengamatan 24 6 Sebaran Ukuran Panjang Ikan Brek di Sungai Serayu 25

7 Indek Isi Lambung Ikan Brek per-TKG 26

8 Indek Isi Lambung Ikan Jantan dan Betina 27

9 Komposisi Makanan Ikan Brek Berdasarkan Jenis Kelamin 28 10 Komposisi Makanan Ikan Brek Berdasarkan Zona Pengamatan 28 11 Komposisi (Nabati dan Hewani) Makanan Ikan Brek Berdasarkan Jenis

Kelamin 29

12 Komposisi Makanan Ikan Brek Berdasarkan Ukuran 30 13 Komposisi Makanan Ikan Brek Berdasarkan TKG pada setiap Zona 32 14 Komposisi (Nabati dan Hewani) TKG Berdasarkan Waktu Pengamatan 33 15 Komposisi Makanan (Nabati dan Hewani) Ikan Brek Berdasarkan

Waktu Pengamatan 33

16 Kurva Pertumbuhan Ikan Brek 39

DAFTAR LAMPIRAN

1 Zona Pengamatan 54

2 Jenis-Jenis Plankton pada masing-masing zona pengamatan 55

3 Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Brek 58

4 Kandungan Energi (Kkal/g) Makanan pada Ikan ber-TKG III pada

setiap Zona 58

5 Kandungan Kalori (Kkal/g) Makanan pada Ikan berTKG pada Zona

Hulu 58

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sungai Serayu merupakan salah satu sungai besar di Pulau Jawa dengan panjang mencapai 180 km. Hulu Sungai Serayu terletak pada kawasan Pegunungan Dieng di Wonosobo yang mengalir melewati Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, dan Banyumas, serta bermuara di Teluk Penyu Cilacap (Munir 2009). Di kawasan hulu Serayu terdapat bendungan (waduk), yaitu Bendungan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang lebih dikenal dengan nama Waduk Mrica. Soewarno (1990) menyatakan bahwa waduk Mrica mulai beroperasi pada tahun 1988 dengan luas genangan dalam kondisi normal adalah 8,85 km2 dan kapasitasnya 140 juta m3. Waduk ini menampung aliran air dari Sungai Serayu, Merawu, dan Lumajang.

Waduk Mrica terletak di Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah. Serayu merupakan sungai terbesar yang masuk ke dalam Waduk Mrica. Saat ini telah terjadi sedimentasi yang cukup tinggi, pada tahun 2007 sebesar 49,91 % dari volume waduk Mrica sudah terisi sedimen. Tingginya tingkat sedimentasi mengakibatkan umur waduk diperkirakan hanya 30 tahun dari umur yang direncanakan semula yakni 60 tahun (Wulandari 2007).

Dampak waduk terhadap komunitas ikan sebelumnya telah diteliti oleh Chookajorn et al. (1999). Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa terjadi penurunan jumlah jenis ikan di Waduk Rajjaprabha Thailand yang mulai beroperasi tahun 1986, yaitu sebelum dibangun waduk tercatat 108 jenis dan setelahnya menjadi 96 jenis. Pholprasith dan Srimongkonthaworn (1999) juga melaporkan terjadi penurunan jumah jenis ikan di Waduk Ubolratana Thailand yang beroperasi sejak tahun 1965; yaitu sebelumnya tercatat 76 jenis menjadi 50 jenis pada tahun 1984-1993. Kartamihardja (2008) melaporkan bahwa dalam jangka waktu 40 tahun (1968-2007) setelah Waduk Djuanda digenangi terjadi penurunan jumlah jenis ikan dari 31 jenis menjadi 18 jenis.

Potensi sumber daya ikan di Sungai Serayu belum banyak diketahui, informasinya baru dilaporkan oleh Hadisusanto et al. (2000) dengan cakupan terbatas pada bagian hulu yang jumlahnya 15 spesies. Adanya pembangunan waduk di sungai ini telah menyebabkan fragmentasi habitat. Hal ini pada akhirnya berdampak negatif terhadap penurunan komunitas ikan (Chookajorn et al. 1999; Pholprasith dan Srimongkonthaworn 1999; Yap 1999; Helfman 2007; Widiyati dan Prihadi 2007; Brenkaman et al. 2008; Kartamihardja 2008). Selain itu, keberadaan waduk diduga dapat menyebabkan pemisahan populasi ikan dan jika berlangsung dalam jangka waktu lama akan membentuk karakteristik reproduksi, morfologi dan genetik yang berbeda.

(14)

Secara taksonomi, brek merupakan anggota suku Cyprinidae dari kelompok ikan tawes dengan sebaran yang luas terutama di Jawa dan Kalimantan (Weber & de Beaufort, 1916; Roberts, 1989; Kottelat et al.1993)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan, bahwa ada indikasi penurunan populasi ikan brek. Hal ini ditunjukkan dengan hasil tangkapan yang mulai menurun. Sementara itu, informasi mengenai aspek biologi dan ekologi ikan brek masih terbatas terlebih lagi untuk populasi yang terdapat pada kawasan hulu Sungai Serayu. Penelitian tentang ikan brek pernah dilakukan di Waduk Lahor (Lumbanbatu 1979; Ridwan 1979), Waduk Jatiluhur (Sutardja 1980); Sungai Cimanuk (Rahardjo dan Sjafei 2004; Surawijaya 2004; Defira 2004; Yulfiperius 2006; Fajarwati 2006); sedangkan untuk Serayu baru dilakukan di kawasan tengah (hilir) oleh Halamsyah (2000), Harsini (2005); dan Susatyo et al. (2011). Dalam rangka merumuskan strategi pengelolaan sumber daya ikan brek yang tepat agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan diperlukan ketersediaan data dasar yang cukup diantaranya aspek biologi dan ekologi di habitat alaminya. Salah satu aspek kajian bioekologi ikan yang penting diketahui untuk pengelolaan adalah makanan dan pertumbuhan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai aspek makanan dan pertumbuhan ikan brek di Sungai Serayu .

Perumusan Masalah

Ikan brek merupakan sumber daya perikanan air tawar yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber protein hewani. Populasi ikan brek di alam cenderung mengalami penurunan yang disebabkan oleh banyak faktor; salah satunya adalah faktor penangkapan, jika tidak dikendalikan akan membahayakan kelestarian jenis ikan tersebut, akan tetapi belum ada usaha masyarakat dan pemerintah setempat untuk membudidayakannya. Oleh karena itu dibutuhkan data makanan alami dan pola pertumbuhan ikan brek untuk pengelolaan dan budidaya ikan brek terutama yang berada di Sungai Serayu.

Pembangunan Waduk Soedirman menyebabkan fragmentasi Sungai Serayu menjadi bagian hulu, bagian tengah (waduk), dan bagian hilir, sehingga menyebabkan terputusnya migrasi ikan brek dari bagian hilir ke hulu atau sebaliknya. Pembangunan waduk juga menyebabkan perubahan kemiringan dan topografi sungai dari hulu ke hilir sehingga kecepatan arus, kedalaman, dan kandungan oksigen terlarut, serta kelimpahan plankton sebagai makanan alami ikan brek juga berubah. Hal ini akan berpengaruh terhadap pola kebiasaan makan dan pertumbuhannya. Keterkaitan antara aspek ekologi ikan dengan lingkungannya sangat diperlukan dalam merumuskan kebijakan pengelolaannya. Melalui strategi pengelolaan yang tepat maka sumber daya ikan brek dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kerangka pendekatan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk:

(15)

2) Mengkaji keterkaitan antara komposisi kimiawi dan kandungan energi makanan dengan tingkat kematangan gonad ikan brek

3) Mengkaji pengaruh fragmentasi terhadap komposisi makanan ikan brek 4) Mengkaji pertumbuhan ikan brek

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi makanan dan pertumbuhan ikan brek yang nantinya dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan ikan tersebut, agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pembangunan

waduk PB. Soedirman

Fragmentasi habitat Sungai bagian hulu, tengah (waduk) dan hilir

Modifikasi habitat

Pengamatan makanan dan pertumbuhan ikan brek

Pengamatan kondisi perairan

Analisis fisika, kimia, dan biologi perairan a. Analisis makanan alami

b. Analisis kandungan kimiawi dan energi makanan keterkaitan dengan tingkat kematangan Gonad

c. Analisis pola pertumbuhan ikan brek

Pengelolaan ikan brek Sungai Serayu

(16)

1

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Sungai Serayu

Sungai Serayu merupakan salah satu sungai besar di Pulau Jawa terletak di bagian tengah pulau Jawa. Sungai Serayu melintasi beberapa kabupaten di provinsi Jawa Tengah yang melalui Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap. Sungai Serayu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada wilayah tersebut. Daerah aliran Sungai Serayu pada saat ini sudah mengalami kerusakan dan pencemaran lingkungan yang mengakibatkan menurunnya kualitas perairan Sungai Serayu .

Sungai merupakan perairan terbuka dengan empat dimensi, yaitu longitudinal, lateral, vertikal, dan temporal (Huer dan Lamberti 2007). Vannote et al. (1980), menyatakan bahwa sungai besar merupakan unit kesatuan habitat baik secara longitudinal (hulu-hilir) maupun lateral (sungai utama dan anak sungai). Hal ini menyangkut faktor fisik, kimia, dan biologi termasuk komunitas ikan yang ada di dalamnya.

Habitat yang dulunya bersifat lotik (mengalir) menjadi lentik (tergenang) secara tidak langsung telah merubah stuktur Sungai Serayu. Ikan yang terperangkap di waduk harus dapat beradaptasi dengan situasi perairan seperti itu, ikan-ikan yang mempunyai daya adaptasi tinggi yang dapat bertahan hidup dan mempunyai keturunan. Sebaliknya ikan-ikan yang tidak mampu beradaptasi dengan baik akan tersingkirkan oleh karena adanya tekanan dari lingkungan itu sendiri. Pembendungan sungai mengakibatkan tiga perubahan keseimbangan ekologi seperti (1) perubahan ekosistem perairan mengalir (lotik) menjadi ekositem perairan tergenang (lentik), (2) jejaring makanan bentik menjadi jejaring makanan pelagis dan (3) pengkayaan nutrient di perairan (Miranda 2001).

Klasifikasi dan Struktur Morfologis Ikan Brek

Ikan brek sebelumnya termasuk ke dalam genus Puntius yang sangat kompleks dengan perbedaan karakter yang tinggi pada bentuk tubuh, pola warna, dan ukuran. Kelompok ikan ini mendiami habitat danau, sungai, dan rawa. Genus

Puntius termasuk ke dalam suku Cyprinidae yang merupakan ikan air tawar dengan anggota yang besar di kawasan tropis Asia (Shantakumar dan Vishvanath 2006). Di perairan Indonesia, jumlah anggota Puntius mencapai 33 jenis (Haryono 2001). Kelompok ikan ini mempunyai peranan yang penting sebagai sumber protein hewani bagi manusia (Smith 1945; Champasri et al. 2007).

Ikan brek berkerabat dekat dengan ikan tawes yang sudah umum dibudidayakan oleh masyarakat. Kottelat et al. (1993) mengelompokkan Puntius

menjadi empat genera yang berbeda berdasarkan struktur sisik pada gurat sisi, yaitu Puntius, Poropuntius, Puntioplites, dan Barbodes. Genera Barbodes

(17)

Masyarakat Kecamatan Buah Dua di Kabupaten Sumedang mengenal tiga jenis ikan brek, yaitu lalawak sungai, lalawak jengkol dan lalawak kolam. Menurut Defira (2004), berdasarkan nisbah 25 karakter morfometrik bahwa ikan lalawak sungai, lalawak kolam, dan lalawak jengkol menunjukkan persamaan. Begitu pula dari hasil analisis PCA ketiganya tidak terjadi pengelompokkan yang nyata. Klasifikasi ikan brek menurut Kottelat et al. (1993); Berra (2001), dan Nelson (2006) adalah sebagai berikut:

Kingdom Phylum Kelas Sub Kelas Ordo Famili Genus Spesies Sinonim

Nama daerah : Animalia : Chordata : Actinopterygii : Neopterygii : Cypriniformes : Cyprinidae

: Barbonymus

: Barbonymus balleroides (Cuvier dan Valenciennes 1842) : Barbus bramoides, Puntius bramoides, Barbodes balleroides : Brek (Jawa Tengah), Lalawak (Jawa Barat), Salap merah

(Kalimantan)

Ikan brek memiliki bentuk tubuh pipih memanjang, gurat sisi sempurna; jari-jari terakhir sirip punggung yang tidak bercabang mengeras dan bergerigi sekitar 20 rigi; linea lateralis 28-31 sisik; 6 ½ sisik antara awal sirip punggung dan gurat sisi; 16 sisik yang melingkari batang ekor; 3 ½ sisik antara awal sirip perut dan gurat sisi; lebar batang ekor 1,3-1,5 kali lebih kecil dari panjang kepala; memiliki empat sungut yang lebih panjang atau sama panjang dengan diamater mata (Weber dan de Beaufort 1916; Roberts 1989; dan Kottelat et al. 1993). Sirip perut dan sirip anal berwarna oranye (Gambar 2). Untuk mengetahui kepastian suatu spesies ikan selain berdasarkan morfologi dan karakter meristik juga digunakan karakter morfometrik melalui analisis diskriminan (Haryono 2006a; Pollar et al. 2007). Selanjutnya untuk membedakan antara ikan jantan dan betina dapat pula melalui ciri kelamin sekunder sehingga tidak perlu melakukan pembedahan terhadap organ reproduksinya (Haryono 2006b).

(18)

Distribusi Ikan

Distribusi ekologis ikan adalah penyebaran suatu jenis ikan yang erat kaitannya dengan faktor lingkungan. Secara ekologis ikan dapat dikelompokkan dalam beberapa cara: 1) berdasarkan toleransi terhadap lingkungan; toleransi yang sempit (steno) atau luas (eury), seperti stenotermal dan eurytermal (suhu) dan 2) berdasarkan lokasi di ekosistem perairan, misalnya; ikan bentik (ikan penghuni dasar perairan), ikan pelagis (ikan yang hidup di permukaan dan kolom air). Selanjutnya penyebaran juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti suhu, kedalaman air, cahaya, pH, oksigen terlarut dan makanan. Faktor lingkungan juga merangsang terjadinya proses-proses di dalam tubuh ikan diantaranya seperti sekresi hormon (Effendie 1997).

Cyprinidae merupakan salah satu suku ikan air tawar yang termasuk ke dalam divisi primer karena tidak toleran terhadap air laut sehingga dapat dijadikan sebagai petunjuk mengenai perkembangan zoogeografi (Berra 2001). Salah satu anggota suku Cyprinidae adalah ikan brek dengan distribusi geografis yang luas meliputi Jawa, Kalimantan, Malaya, Kamboja, Thailand, dan Vietnam (Kottelat et al. 1993). Distribusi ikan brek di pulau Jawa antara lain Jakarta, Cibitung, Bogor, Ciampea, Kuningan, Banyumas, Ngawi, Surabaya, dan Kediri (Weber dan de Beaufort 1916). Ikan ini terdapat pula di sungai sekitar Waduk Gajah Mungkur Wonogiri (Utomo et al. 2008). Penyebaran ikan brek di Sumatera sampai saat ini belum diketahui (Roberts 1989).

Ikan brek ditemukan di berbagai ketinggian tempat yang berkaitan dengan perbedaan suhu (Fajarwati 2006). Keberadaan ikan brek di kawasan hulu Sungai Serayu dengan segmentasi yang dipisahkan oleh Waduk belum diketahui pola sebaran dan pertumbuhannya. Menurut Little dan Poff (2004) bahwa banjir dan kekeringan merupakan karakter alami dari ekosistem perairan mengalir; jika di suatu sungai dibangun bendungan maka akan memengaruhi pola arus yang berdampak pada organisme melalui adaptasi dalam bentuk morfologi, siklus hidup, dan perilaku.

Kebiasaan Makanan

Kebiasaan makanan sangat tergantung pada lingkungan. Lagler (1992) menyatakan bahwa selain daur hidup dan iklim, kondisi lingkungan juga akan berpengaruh terhadap perubahan komposisi makanan ikan yang ada di perairan. Ikan akan cenderung mencari makanan pada daerah yang kaya akan sumberdaya makanan yang disukai. Banyaknya spesies ikan yang dapat menyesuaikan diri dengan persediaan makanan di perairan akan mengakibatkan keragaman ikan di perairan tinggi. Dalam suatu daerah geografis luas untuk satu spesies ikan yang hidup terpisah dapat terjadi perbedaan kebiasaan makanannya.

(19)

Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Myxophyceae, bagian tumbuhan, Protozoa, Insekta, Krustase, dan detritus (Sutardja 1980). Makanan ikan brek di Bendung Curug Karawang terdiri atas tujuh kelompok, yaitu detritus 46,75%, periphyton 46,92%, tumbuhan 3,16%, serangga 2,43%, makrozoobenthos 0,02%, zooplankton 0,01%, pasir 0,01%. Perifiton yang terdapat di dalam makannya termaksud pada kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae, Rhodophyceae dan Cryptophyceae (Sriati 1987). Selanjutnya Rahardjo dan Sjafei (2004) menyebutkan bahwa kebiasaan makanan ikan brek di Sungai Cimanuk Sumedang bersifat omnivora yang terdiri atas Bacillariophyceae, Cyanophyceae, Rotifera, Protozoa, Krustase, detritus, dan jenis makanan yang tidak teridentifikasi. Di kawasan Danau Sentarum ikan ini memakan tumbuhan dan insekta (Kottelat dan Widjanarti 2005). Menurut Haryono dan Tjakrawidjaja (2009), berkaitan dengan penyediaan pakan pada umumnya ikan omnivora cenderung mudah beradaptasi dengan pakan yang diberikan.

Kebutuhan Nutrisi Ikan

Kebutuhan nutrisi ikan berbeda dan sering berubah-ubah, hal ini akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, jenis ikan, ukuran, lingkungan dan musim (Afrianto dan Liviawaty 2005). Nutrien utama yang dibutuhkan yaitu protein, lemak dan karbohidrat sebagai bahan penting penyusun tubuh dan sumber energi, sedangkan vitamin dan mineral memiliki fungsi antara lain sebagai koenzim pada proses-proses metabolisme (Goddard 1996).

Protein penting untuk fungsi jaringan yang normal, untuk pertahanan, perbaikan protein tubuh ikan dan untuk pertumbuhan (Watanabe dan Cho 1988). Protein tidak hanya sebagai penyusun utama dalam tubuh ikan, tetapi juga berperan penting sebagai enzim dan hormon-hormon yang menunjang metabolismenya. Pemanfaatan protein sangat beragam di antara spesies ikan, bergantung pada sumber energi non-protein makanan karena kemampuan ikan dalam memanfaatkan lemak atau karbohidrat makanan juga berbeda untuk tiap spesies (Lee dan Lee 2004). Tacon dan Cowey (2001) menyatakan bahwa, kandungan protein pakan yang optimum dibutuhkan akan menghasilkan pertumbuhan yang optimum pula. Beberapa penelitian telah mencoba menentukan kebutuhan protein ikan komersil, dan memperkirakan bahwa kebutuhan protein pakan sekitar 30% hingga 55%. Dan diduga bahwa penurunan berat tubuh saat kadar protein di atas optimum adalah karena penurunan dalam ketersediaan energi pakan untuk pertumbuhan ikan yang disebabkan energi non-protein yang tidak mencukupi yang penting untuk proses deaminasi kelebihan asam amino yang telah terserap (Lee et al. 2002).

(20)

binder dan meningkatkan konversi pakan (Afrianto dan Liviawaty 2005). Ikan umumnya lebih efisien dalam mencerna dan memanfaatkan protein dan lemak, tetapi dalam memanfaatkan karbohidrat sangat bervariasi bergantung pada kompleksitas karbohidratnya (Yamamoto et al. 2001). Menurut Mokoginta et al.

(1999), bahwa hal tersebut disebabkan karena aktivitas enzim amilase yang berbeda untuk tiap spesies ikan, dan biasanya ikan karnivora lebih terbatas dalam memanfaatkan karbohidrat daripada ikan omnivor dan herbivor.

Lemak adalah salah satu makronutrien dengan kandungan energi yang tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai protein sparing effect dalam makanan ikan (Craig dan Helfrich 2002), selain itu Furuichi (1988) menyatakan bahwa lemak juga dapat dimanfaatkan untuk membangun struktur sel dan mempertahankan integritas membran melalui penggunaan fosfolipid. Lemak dapat menghasilkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan protein dan karbohidrat (Subamia et al. 2003). Namun, kadar lemak yang tinggi akan menyebabkan penyimpanan lemak pada tubuh, penurunan konsumsi pakan dan pertumbuhan serta degenerasi hati sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dagingnya (Suhenda et al. 2003). Beberapa penelitian menduga bahwa deposisi lemak tubuh (>15%) disebabkan oleh proses hyperplastic dan hypertrophic pada jaringan adipose ikan (Robinson et al. 2001). Sebaliknya, jika energi dari lemak mencukupi, maka energi dari protein dapat digunakan untuk pertumbuhannya (Subamia et al. 2003). Pernyataan ini didukung penelitian Erfanullah dan Jafri (1998) bahwa terhadap walking catfish yang diberi pakan rasio karbohidrat/lemak pakan 27/8 yaitu 27% karbohidrat dan 8% lemak, memberikan pertambahan berat, konversi pakan, retensi nutrisi dan komposisi tubuh yang optimal, dibandingkan dengan pemberian rasio 0,02 (KH 0,44% dan lemak 19,95%) yang memberikan pertumbuhan terendah.

Pertumbuhan

Pertumbuhan didefenisikan sebagai perubahan ukuran atau jumlah material tubuh baik perubahan positif maupun negatif temporal maupun dalam jangka waktu tertentu (Busacker et al. 1990); pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu (Effendie 1997). Sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya digunakan untuk pemeliharaan tubuh, aktivitas, dan reproduksi. Hanya sebagian kecil yang tersedia untuk pertumbuhan (King 1995).

Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar baik yang terkontrol maupun tidak terkontrol. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie 1997), ketersediaan makanan, laju memakan makanan, nilai gizi makanan, dan faktor abiotik seperti ammonia dan pH (Woothon 1990 dalam

Welcomme 2001).

(21)

individu ikan pada umur tertentu dapat diduga (Gulland 1969). Beberapa model telah digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan dengan menggunakan persamaan matematika yang sederhana (Allen 1971 dalam King 1995). Menurut King (1995) salah satu diantaranya adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy memberikan representasi pertumbuhan ikan yang memuaskan. Hal ini karena persamaan pertumbuhan von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan (Beverton dan Holt 1957). Dalam analisis populasi, pertumbuhan tidak hanya dilihat dari ukuran ikan pada umur yang berbeda namun juga perlu melihat laju pertumbuhan ikan tersebut. Laju pertumbuhan adalah peningkatan berat atau panjang per unit waktu. Laju pertumbuhan penting untuk diketahui dalam pendugaan perikanan untuk melihat berat yang diperoleh melalui pertumbuhan dibandingkan dengan kehilangan berat akibat mortalitas alami (Gulland 1969).

Hubungan Panjang Berat

Panjang dan bobot ikan seringkali diukur secara bersamaan. Salah satu variabel dapat diukur dari variabel lainnya jika hubungan panjang berat suatu populasi diketahui. Dengan jumlah ikan yang sedikit, akan lebih baik mengukur bobot sebagaimana pengukuran panjang untuk menduga laju pertumbuhan. Dengan jumlah ikan yang banyak akan lebih akurat untuk mengukur panjang saja dan mengkonversinya ke bobot.

Panjang ikan sering lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan umur atau bobotnya. Hubungan antara panjang dan bobot ikan yaitu W=a Ln, W=bobot, L= panjang, a adalah suatu konstanta dan n suatu eksponen. Nilai n berfluktuasi antara 2,5 sampai 4; kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b=3 menggambarkan pertumbuhan isometrik yang akan mencirikan ikan mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah (Ricker 1975) atau pertambahan panjang ikan

seimbang dengan pertambahan beratnya. Nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan

allometrik. Nilai b<3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya dan nilai b>3 menunjukkan pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya (Effendie 1997). Nilai b yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan spesies, lingkungan, stok dalam spesies yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, musim, bahkan perbedaan waktu dalam hari yang sama (Bagenal 1978).

(22)

Faktor Kondisi

Faktor kondisi menunjukan keadaan ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Peningkatan faktor kondisi dapat terjadi waktu ikan sedang mengisi gonad dengan sel kelamin dan akan mencapai puncaknya sebelum tingkat pemijahan (Effendie 1997). Pada hubungan antara tingkat kematangan gonad dengan faktor kondisi ikan beunteur di Situ Cigudeg memperlihatkan peningkatan tingat kematangan gonad diikuti faktor kondisi ikan yang semangkin besar (Saepudin 1999). Pada penelitian Sriati (1987) di Bendung Curug didapatkan faktor kondisi ikan Brek jantan sebesar 0,4778-2,8368 lebih kecil dari pada ikan brek betina sebesar 1,4707-2,7858. Faktor kondisi ikan brek cenderung menurun TKG I ke TKG II meningkat dari TKG III ke TKG IV dan menurun pada TKG V.

Perbedaan berat gonad menyebabkan perbedaan faktor kondisi terutama pada ikan betina. Penelitian Sunusi (1977) di Danau Sindereng menunjukkan pada semua TKG, faktor kondisi ikan brek betina lebih besar dari pada ikan jantan. Penelitian Sutardja (1980) di Waduk Jatiluhur menunjukkan faktor kondisi ikan brek jantan lebih kecil dari pada ikan brek betina. Meningkatkan faktor kondisi disebabkan bertambahnya berat Gonad.

Mortalitas dan Laju Eksploitasi (E)

Banyak faktor yang berperan di suatu lingkungan perairan sehingga menyebabkan berkurangnya kesempatan hidup individu ikan dalam suatu populasi. Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stress pemijahan, kelaparan, dan usia tua (Sparre dan Venema 1999). Beverton dan Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Hal yang sama juga disampaikan Welcomme (2001) bahwa mortalitas alami ikan terutama disebabkan oleh predasi baik oleh ikan, burung, dan mamalia walaupun penyakit juga berperan terutama pada populasi yang padat dan popolusi yang terisolasi. Mortalitas alami juga disebabkan oleh suhu yang tinggi, kandungan oksigen yang rendah, dan kematian ikan secara tiba-tiba seringkali berhubungan dengan perubahan yang cepat pada faktor abiotik terutama oksigen terlarut (Das dan Pande 1980; Welcomme 1985 dalam

Welcomme 2001). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K, dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly berdasarkan penelitiannya terhadap 175 stok ikan dari 84 spesies, faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor non lingkungan yaitu panjang maksimum ikan dan laju pertumbuhan.

(23)

dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok perikanan (King 1995).

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan secara periodik (bulanan) selama 4 bulan mulai Oktober 2012 hingga Januari 2013 di Sungai Serayu yang masih termasuk kawasan hulu; secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 3). Penelitian mencakup kegiatan di lapangan (pengambilan sampel ikan) yang dilanjutkan dengan pengamatan kebiasaan makanan ikan brek. Analisanya makanan dilakukan di Laboratorium Biologi Makro Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan analisis kimia makanan dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Analisis kualitas air dilakukan secara in-situ di Sungai Serayu dan ex-situ di Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Cibinong serta di Laboratorium Fisika-Kimia Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan.

(24)

Pada penelitian ini ditetapkan enam stasiun secara purposive sampling, yaitu pembagian lokasi berdasarkan keberadaan waduk, karakteristik sungai, dan informasi tentang habitat ikan. Gambaran lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Hal ini dimaksudkan agar dapat diperoleh sampel ikan brek yang representatif dari populasi yang terdapat di perairan sungai tersebut. Secara garis besar stasiun penelitian terbagi menjadi tiga zona, yaitu:

1) Zona di bawah waduk (Hilir) mencakup dua stasiun (St.1 dan St.2) 2) Zona di kawasan waduk terdiri (Tengah) dari dua stasiun (St.3 dan St.4) 3) Zona di atas waduk (Hulu) mencakup dua stasiun (St.5 dan St.6)

Penentuan Stasiun Pengambilan Ikan Contoh

Stasiun paling hilir yang terletak antara wilayah Kecamatan Mandiraja dan Purwonegoro (koordinat 07o 26’34,9” LS dan 109o

31’91,1” BT), di sekitar perairan terdapat penggalian batu, perkebunan, dan perairan berarus, air keruh ketika hujan datang dan subtranya berpasir dan berbatu.

Merupakan stasiun yang terletak tepat di bawah Waduk Mrica, yaitu antara Desa Lengkong dan Tapen, Kecamatan Wanadadi (koordinat 07o24’03,1” LS dan 109o35’85,0” BT), di sekitar perairan terdapat permukiman, penggalian batu pada lokasi ini terdapat lubuk dengan kedalaman ± 15 meter, substrat berbatu, air jernih berarus kencang. Kawasan Waduk Mrica yang terletak di wilayah Kecamatan Bawang (koordinat 07o 23’52,2” LS dan 109o 36’96,3” BT), merupakan kawasan PLTA dan perkebunan.

Kawasan Waduk Mrica yang terletak di wilayah Kecamatan Wanadadi (koordinat 07o 23’21,6” LS dan 109o 44’68,5” BT). Terdapat aktivitas penambangan pasir, pengalian batu dan pertanian. Stasiun ini terletak di atas Waduk Mrica (koordinat 07o23’24,2” LS dan 109o41’61,8” BT), merupakan daerah pertanian, penambangan pasir, bersubstrat pasir dan kerikil dan airnya keruh.

Stasiun paling hulu yang terletak di wilayah Kecamatan Sigaluh (koordinat 07o 23’84,5” LS dan 109o 44’68,0” BT), di sekitar perairan terdapat pertanian, perkebunan dan penggalian batu.

Pengumpulan Data di Lapangan

Pengambilan Ikan Contoh

(25)

(¾, 1 ½ dan 2 inci) masing-masing berukuran panjang 20 m dan lebar 2 m, selain itu digunakan pula electrofishing dengan sumber daya accu 12 Volt 10 Amper. Penggunaan alat tangkap disesuaikan dengan kondisi perairan yang menjadi lokasi sampling. Pelaksanaan sampling dilakukan secara bergantian dimulai dari stasiun paling hilir ke arah hulu (St.1 dan berakhir di St.6). Sampel ikan yang tertangkap di setiap stasiun dikelompokkan berdasarkan ukuran untuk memudahkan proses pengawetan dan analisis di laboratorium. Spesimen ikan tersebut segera disuntik perutnya dengan larutan formalin 40%, selanjutnya dimasukkan ke dalam kantung plastik yang berisi larutan formalin dengan konsentrasi 10%. Setiap kantung plastik diberi label berisi keterangan mengenai nomor stasiun dan tanggal koleksi.

Pengukuran Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan

Pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi dilakukan pada setiap sampling selama penelitian. Alat dan metode pengukuran masing-masing parameter tersebut disajikan pada Tabel1.

Tabel 1 Alat dan metode pengukuran kualitas perairan

Parameter Unit Alat/Metode Keterangan

Fisika

Suhu 0C Termometer Insitu

Kedalaman M Tongkat berskala Insitu

Kecepatan arus Cm/det Lagrangian Insitu

Kekeruhan NTU SCT meter Laboratorium

Kimia

pH - pH meter Insitu

DO Mg/L DO meter Insitu

Nitrat Mg/L Spektrofotometer, Phenate Laboratorium Orthoposphat Mg/L Spektrofotometer, amonium

molybdate

Laboratorium

Biologi

Fitoplankton Sel/L Plankton net Insitu

Zooplankton Ind/L Plankton net Insitu

Pengumpulan Data di Laboratorium

Pengukuran Panjang dan Berat

Sebelum diukur panjang total, ikan terlebih dahulu diletakkan di atas tisu agar menghasilkan berat yang tidak berbeda jauh dengan berat aslinya. Panjang total diukur mulai dari ujung mulut hingga ujung ekor menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm. Berat ikan ditimbang dengan timbangan sartorius dengan ketelitian 0.0001 gram..

Pembedahan Ikan

(26)

menganalisis kebiasaan makanan sedangkan organ reproduksi diambil untuk keperluan menentukan tingkat kematangan gonad (TKG) ikan brek tersebut.

Pengamatan dan Pengukuran Organ Ikan

Organ ikan yang diambil ada dua organ yaitu alat pencernaan (lambung dan usus) dan organ reproduksi (gonad). Hal-hal yang dilakukan untuk pengamatan dan pengukuran organ tersebut sebagai berikut.

Alat Pencernaan

Pengukuran panjang usus

Pengukuran panjang usus dimulai dari ujung lambung hingga anus menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm.

Pengukuran Berat Isi Lambung

Alat pencernaan yang masih berisi ditimbang menggunakan sartorius

dengan ketelitian 0.0001 gram. Kemudian isinya dikeluarkan, dipisahkan ke

cawan petri untuk selanjutnya alat pencernaan yang kosong ditimbang kembali. Kemudian dilakukan pengurangan antara lambung berisi dengan lambung kosong untuk mendapatkan berat isi lambung. Pengukuran isi alat labung dilakukan untuk mengetahui nilai ISC (Index of Somatic Content).

Analisis Isi lambung

Isi lambung yang sudah didapatkan kemudian di diencerkan dengan air supaya mudah mengidentifikasi jenis makanannya, sampel yang sudah diencerkan diambil dengan pipet tetes, tiap tetes sampel diamati 5 kali lapang pandang di bawah mikroskop dan dianalisa menggunakan mikroskop okuler pembesaran 4x10. Untuk pertama kalinya jenis makanan dikenali terlebih dahulu, dipisahkan kemudian dicatat apa aja jenisnya selanjutnya ditentukan skor sesuai dengan besar kecilnya jenis makanan tersebut. Untuk analisa isi lambung ini diambil 3 tetes untuk satu sampel ikan. Analisa isi lambung dilakukan untuk mengetahui komposisi makanan ikan brek. Identifikasi organisme makanan dengan menggunakan buku identifikasi (Needham dan Needham 1962).

Organ Reproduksi

Organ reproduksi diamati secara seksama secara makroskopis, kemudian ditentukan jenis kelaminnya baik itu jantan maupun betina. Penenentuan jenis kelamin untuk menentukan makanan berdasarkan jenis kelamin ikan tersebut.

Analisis Data

Kebiasaan Makanan

Panjang Usus Relatif

(27)

PU = panjang total ikan (mm) PT = panjang usus ikan (mm)

Lebar Bukaan Mulut

LBMr = x 100 Keterangan:

LBMr = Lebar bukaan mulut

LM = Lebar mulut

TK = Tinggi kepala

Indeks Kepenuhan Isi Lambung

Indeks kepenuhan isi lambung atau Index of Stomach Content (ISC) ditentukan untuk mengetahui tingkat konsumsi pakan relatif sampel ikan. ISC ditentukan dengan menggunakan perhitungan menurut Sphatura dan Gophen (1982) dalam Sulistiono (1998) yaitu:

ISC = Keterangan:

ISC = Index of Stomach Content (%) SCW = Berat isi lambung (gram) BW = Berat total ikan (gram)

Komposisi Makanan

Analisis komposisi makanan dilakukan dengan menggunakan indeks bagian terbesar (Index of propenderence) oleh (Natarajan dan Jhingran 1961)

dalam (Effendie 1979) dengan rurmus sebagai berikut :

Keterangan:

Vi = persentasi volume satu macam makanan (%)

Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan (%)

Σ = frekuensi kejadian seluruh macam makanan (%) IPi = Index of Preponderence (%)

Analisisis Kimia Makanan Ikan Brek

Analisis kimia makanan ikan brek dilakukan berdasarkan tingkat kematangan gonad (TKG) I hingga IV, untuk masing-masing tingkat kematangan gonad diambil sampel 10 makanan ikan brek sebanyak 10 gram.

Kadar Protein Kasar (Association of Official Analytical Chemist 1984)

(28)

keadaan mendidih) selama 1 jam, sampai larutan jernih. Setelah dingin tambahkan 50 ml aquades dan 20 ml NAOH 40% lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Elenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% kemudian tambahkan 2

tetes indicator Brom Cresol Green-Methyl Red hingga berwarna merah muda. Setelah volume tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilasi dititrasi dengan HCL 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung dengan rumus:

% N = - X 100 Keterangan:

S = Volume titran sampel(ml) B = Volume titran blanko (ml) W = bobot sampel kering (mg)

Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan faktor pengkali untuk berbagai bahan pangan berkisar antara 5.18 – 6.38 pada penelitian digunakan nilai pengkali 5.68

Kadar Lemak

Sampel disebarkan di atas kapas yang beralas kertas saring kemudian ekstraksi 2 jam, dengan pelarut lemak berupa N- heksan sebanyak 150 ml. lemak yang terekstrak, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 1 jam.

Kadar Lemak

=

x 100

Kadar Abu ( AOAC 2005)

Sebanyak 1 gram sampel ditempatkan dalam cawan porselin lalu dibakar sampai tidak berasap pada hotplate suhu 90 0C selama 20 menit, kemudian diabukan dalam tanur suhu 600 0C selama 2 jam. Lalu ditimbang.

Kadar Abu = x 100

Kadar Air ( AOAC 2005)

Sebanyak 1 gram sampel ditimbang dalam cawan, kemudian masukkan ke dalam oven dengan suhu 150 0C selama 8 jam. Setelah itu ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus:

Kadar Air

=

- x 100

Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohidrat by difference yaitu: 100% - (Kadar air + abu + protein + lemak). Kadar protein N free

(29)

Pertumbuhan

Sebaran Frekuensi Panjang

Kelompok ukuran ikan brek diidentifikasi atau dipisahkan menggunakan metode Battacharya (Sparre dan Venema 1999). Sebaran frekuensi panjang total dihitung dengan menggunakan rumus Sturges (Walpole 1992), yaitu sebagai berikut :

Menentukan nilai maksimum dan minimum dari keseluruhan data Menghitung jumlah kelas ukuran dengan rumus :

K = 1 + (3.32 log n); K = Jumlah kelas ukuran; n = jumlah data pengamatan.

Menghitung rentang data/wilayah ;

Wilayah = Data terbesar – data terkecil Menghitung lebar kelas :

Lebar kelas =

Menentukan limit bawah kelas yang pertama dan limit atas kelasnya. Limit atas kelas diperoleh dengan menambahkan lebar kelas pada limit bawah kelas. Mendaftarkan semua limit kelas untuk setiap selang kelas

Menentuakan nilai tengah bagi masing-masing selang dengan merata-ratakan limit kelas

Menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas

Menjumlahkan frekuensi dan memeriksa apakah hasilnya sama dengan banyaknya total pengamatan.

Hubungan Panjang Total dan Berat Ikan

Hubungan antara panjang (L) dan berat (W) ikan brek jantan dan betina secara umum adalah (Pauly 1984):

W = aLb

Nilai a dan b diduga dari bentuk linear persamaan di atas yaitu: log W = log a + b log L

1. Jika nilai b= 3 maka pertumbuhan berat adalah isometrik 2. Jika nilai b ≠ 3 maka pertumbuhan berat adalah allometrik.

a. jika b > 3 maka pertumbuhan berat adalah allometrik positif b. jika b < 3 maka pertumbuhan berat adalah allometrik negatif.

Untuk menguji hipotesis nol bahwa β=β0 dapat dihitung t. Jika nilai t > tα/2, n-2 maka hipotesis nol ditolak dan jika t < tα/2, n-2) hipotesis nol gagal ditolak (Steel

dan Torrie 1989).

Keeratan hubungan panjang berat ikan ditunjukkan oleh koefesien korelasi (r) yang diperoleh dari rumus : dimana R2 adalah koefesien determinasi. Nilai yang mendekati 1 (r > 0.7) menggambarkan hubungan yang erat antara keduanya, dan nilai yang menjauhi 1 (r > 0.7) menggambarkan hubungan yang tidak erat antara keduanya (Walpole 1992).

Faktor Kondisi

Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan persamaan Panderal Index

(30)

Kn =

Keterangan:

K = Faktor kondisi W = Berat tubuh (gram) L = Panjang total (mm) a dan b = konstanta regresi

Pendugaan Parameter Pertumbuhan

Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam

menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan von Bertalanffy

dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1995). Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy.

Lt = L

(1-e

[-K(t-to)]

)

Keterangan :

Lt = Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu)

L = Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik) K = Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu)

t0 = Umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol

Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dengan t0sama dengan nol, maka persamaannya menjadi sebagai

berikut :

L t = L∞(1-e[-K(t-to)]) (1)

Lt = L∞ - L∞ e [-Kt]

L - Lt = L∞ e [-Kt] (2)

Setelah Lt+1c disubtitusikan ke dalam persamaan (1) maka diperoleh

perbedaan persamaan baru tersebut dengan persamaan (1) seperti berikut : Lt t+1 – Lt = L∞ (1-e[-K(t+1)]) - L∞ e [-Kt] )

= -L∞ e[-K(t+1)]+ L∞ e [-Kt]

= L∞ e [-Kt]

(1-e[-K]) (3)

Persamaan (2) disubtitusikan ke dalam persamaan (3) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :

Lt+1 – Lt = L∞ e [-Kt] (1-e[-K] )

= L (1-e[-K])– L1 + Lt e[-K]

= L (1-e[-K]) + Lt e[-K] (4)

Persamaan (4) berbentuk persamaan linier dan jika Lt (sumbu x) diplotkan

terhadap Lt+1 (sumbu y) maka garis lurus yang terbentuk akan memiliki

kemiringan (slope) (b) = e[-K]. Lt dan Lt+1 merupakan panjang pada saat t, dan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (Pauly 1984). Nilai L∞ dan K didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Analisis) yang terdapat dalam program FISAT II.

Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1983 diacu dalam Amir 2006) berikut.

(31)

Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Penentuan mortalitas total dengan menggunakan teknik Kuosien Z/K dan modisikasinya dikembangkan oleh Beverton dan Holt (1957). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa sampel ikan diperoleh dari populasi yang stabil dengan penambahan baru dan laju mortalitas yang konstan serta mengikuti model pertumbuhan von Bertalanffy. Nilai Z/K dapat diduga jika nilai-nilai L∞, Lc dan L diketahui dengan persamaan :

=

atau jika L’ diketahui dapat digunakan rumus :

=

Keterangan:

Z = mortalitas total

K = koefesien pertumbuhan von Bertalanffy

L∞ = panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy L = rata-rata panjang ikan dalam kelompok umur tertentu

Lc = panjang ikan pertama tertangkap alat

L’ =panjang ikan terkecil dalam sampel dengan jumlah sudah dapat diperhitungkan

Laju mortalitas alami (M) diduga menggunakan rumus empiris Pauly (1980) diacu

dalam Sparre dan Venema (1999) :

Ln M = -0.0152-0.279 ln L∞ + 0.6543 ln K + 0.463 ln T M = e(lnM)

Keterangan :

M = mortalitas alami

L∞ = panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhhan von Bertalanffy

T = rata-rata suhu permukaan air (oC) bulanan Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :

F = Z – M

Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) (Pauly 1984) :

E =

=

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) dalam Pauly (1984) adalah :

(32)

Kelimpahan Plankton

Pengamatan fitoplankton dimulai dari botol sampel dihomogenkan secara merata, diambil dan diletakkan di Sedwick Rafter Cellkemudian ditutup dengan

cover glass Kelimpahan plankton per liter yang ditemukan ditentukan dengan metode sensus (penyapuan) di atas Sedwick Rafter Cell dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (APHA 2005).

Kelimpahan = n x

d cg

t

V X V

V 1

Keterangan:

n : jumlah sel yang teramati

Vt : volume air yang diamati

Vcg :volume Sedwick Rafter Cell (ml)

(33)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Fisika Kimia dan Biologi Sungai Serayu

Hasil pengukuran dan pengamatan kondisi lingkungan perairan Sungai Serayu selama penelitian di sajikan pada Tabel 2. Selama penelitian terjadi peningkatan muka air dan kekeruhan karena pengaruh musim hujan.

Tabel 2 Kisaran parameter fisika, kimia dan biologi perairan pada masing-masing zona pengambilan contoh selama penelitian

Parameter Satuan Zona Hilir Zona Tengah Zona Hulu

St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6

Fisika

Suhu 0C 28-30 25-30 25-30 25-29 26-28 26-29

Kedalaman m 5-10 5-8 10-15 5-15 5 - 10 6-8

Kekeruhan NTU 5-82 38-39 12-30 12-34 12-56 15 - 26 Kecepatan

Arus m/dtk 0.04-0.08 0.04-0.16 0.02-0.03 0.02-0.04 0.08-0.16 0.13-0.20

Kimia

pH - 6-7 6-7 6-7 6-7 6-7 6-7

Oksigen

terlarut mg/L 5-7 5-6 4-6 4-6 6-7 6-7

Alkalinitas mg/L 143-184 148-156 143-186 174-194 149-190 143-149 Nitrat mg/L 0.1-0.2 0.05-0.9 1.3-1.4 0.1-0.3 1.5-2.0 1.3-1.6 Orthophosphat mg/L 0.1-0.2 0.04-0.05 0.1-0.2 0.1-0.2 1.2-1.3 1.1-1.4

Biologi

Fitoplankton Sel/L 430 738 303 309 772 640 369 237 401 397 172 257 Zooplankton Ind/L 20 703 29 748 168 840 135 876 28 944 57 486

Selama penelitian suhu berkisar antara 25-300C. Menurut Boyd dan Kopler (1979), suhu perairan yang diperoleh masih mendekati suhu yang optimum untuk pertumbuhan ikan pada umumnya yaitu 25-300C. Pengukuran suhu dilakukan pada pagi dan siang hari untuk mendapatkan nilai kisaran yang representatif. Hal ini dilakukan karena ikan brek juga banyak tertangkap pada siang hari. Kisaran suhu tersebut juga mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton yang merupakan makanan ikan brek. Kisaran suhu untuk mendukung pertumbuhan fitoplankton di perairan antara 20-300C (Effendi 2003).

(34)

Davis dan Cornwell 1991 dalam Effendi 2003). Nilai kekeruhan memiliki rentang yang cukup lebar yaitu 5-82 NTU, berada zona hilir. Nilai kekeruhan yang tinggi terjadi pada saat pengambilan adalah bulan Januari, hal ini dikarenakan turun hujan lebat selama tiga hari berturut-turut.

Penangkapan ikan dilakukan di tepi dan tengah sungai dengan kedalaman berkisar antara 5-10 m. Ikan brekcenderung berenang di tengah dan dasar serta ke permukaan sungai. Pada penelitian ini diperoleh bahwa arus mempengaruhi keberadaan ikan brek, hal ini dapat dilihat bahwa pada zona hulu dengan rata-rata kecepatan arus yang paling cepat diperoleh hasil tangkapan yang paling tinggi (Gambar 4 ).

Nilai pH yang terukur selama penelitian berkisar antara 6-7. Kisaran oksigen berbeda pada setiap zona penelitian, hal ini dikarenakan perbedaan kondisi fisik perairan. Oksigen terlarut yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 4-7 mg/L. Swingle (1969) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa semua organisme akuatik termasuk ikan brek menyukai kondisi oksigen terlarut > 4.0 mg/L. Ikan membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah cukup untuk melakukan aktifitas fisiologi. Kisaran oksigen terlarut yang ditemukan selama penelitian dipandang mampu mendukung kehidupan ikan brek. Salmin (2005) menyatakan bahwa oksigen terlarut merupakan salah satu parameter perairan menentukan kualitas suatu perairan. Effendi (2003) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu dan aktivitas organisme.

Kisaran nilai alkalinitas pada semua zona adalah 143-194 mg/L. Menurut Boyd (1988) dalam Effendi (2003) nilai alkalinitas perairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/L CaCO3. Berdasarkan pernyataan tersebut, nilai dari hasil pengamatan berada diantara kisaran yang disarankan. Alkalinitas dapat dijadikan petunjuk adanya kapasitas penyangga perairan tersebut serta dapat digunakan untuk menduga kesuburan air. Secara umum nilai alkalinitas Sungai Serayu yaitu lebih besar dari 143 mg/l akhirnya Sungai Serayu tergolong produktif.

Plankton yang ditemukan di lokasi penelitian tercatat ada 101 jenis disajikan pada Lampiran 2. Jenis yang ditemukan merupakan fitoplankton yang termasuk dalam klas Bacillariophyceae, Clorophyceae, Cyanophyceae. Jenis zooplankton yang ditemukan terdiri atas klas Branchlonidae, Protozoa, Krustase, serta beberapa serangga air dari ordo Trichoptera, Hexapoda, Hemiptera, Diptera,Coleoptera dan Plecoptera. Kelimpahan plankton pada setiap zona masih mendukung kelimpahan makanan bagi ikan di Sungai Serayu. Kelimpahan ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh kelimpahan makanannya (Hinz et al. 2005), sumber makanan utama ikan di perairan adalah plankton (Wiharyanto 2011).

(35)

Distribusi Hasil Tangkapan Ikan Brek

Ikan brek merupakan ikan hasil tangkapan utama di perairan Sungai Serayu. Alat tangkap yang umumnya digunakan oleh nelayan adalah jaring insang dan electrofishing. Selama pengambilan contoh ikan, penulis melibatkan nelayan yang biasanya menggunakan electrofishing di Sungai Serayu. Adanya pelarangan penggunaan electrofishing pada zona hulu Sungai Serayu, menyebabkan adanya perbedaan jumlah hasil tangkapan pada masing-masing zona. Hasil tangkapan ikan brek disajikan pada Gambar 4. Jumlah ikan brek yang tertangkap selama empat bulan penelitian adalah 1 602 ekor. Jumlah ikan paling banyak tertangkap selama penelitian terdapat pada zona hulu (831 ekor), selanjutnya zona hilir (391 ekor) dan zona tengah (380 ekor). Penggunaan alat

electrofishing menyebabkan semua ukuran ikan tertangkap, mulai dari ikan berukuran kecil hingga ikan berukuran besar. Hal ini menyebabkan bahwa alat tangkap menggunakan electrofishing bersifat tidak selektif sehingga merugikan secara biologi.

Gambar 4 Jumlah ikan brek yang tertangkap berdasarkan zona pengamatan

Sebaran Ukuran Panjang

Sebaran ukuran panjang ikan brek selama pengamatan pada ke-tiga zona penelitian disajikan pada Gambar 5, dan sebaran ukuran panjang ikan brek secara keseluruhan disajikan pada Gambar 6. Jumlah ikan contoh yang digunakan dalam analisis sebaran panjang sebanyak 1 602 ekor, terdiri dari 568 ekor (35% ) jantan dan ikan betina 1 034 ekor (65% ). Perbandingan ikan jantan dan betina pada zona hilir, tengah dan hulu adalah berturut-turut 0.26:0.74; 0.30:0.70 dan 0.43:0.57. Frekuensi tertinggi pada zona hilir untuk ikan jantan terletak pada selang kelas 81-97 mm, sedangkan betina 149-165 mm. Frekuensi tertinggi pada zona tengah untuk ikan jantan terletak pada selang kelas 98-114 mm, sedangkan betina pada selang 217-233 mm. Frekuensi tertinggi pada zona hulu untuk ikan

zona hilir (bawah waduk) zona tengah (waduk) zona hulu (atas waduk)

(36)

jantan terletak pada selag kelas 149-165 mm, sedangkan betina terletak pada selang kelas 200-216 mm.

Gambar 5 Sebaran ukuran panjang ikan brek berdasarkan zona pengamatan

(37)

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa pada semua zona pengamatan dengan alat tangkap yang sama digunakan untuk menangkap ikan, ikan brek jantan terletak pada selang kelas yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan brek betina. Berkaitan dengan alat tangkap yang digunakan yaitu jaring insang yang selektif terhadap ukuran dan electrofishing yang tidak selektif, sehingga dapat tertangkap ukuran yang sangat kecil, maka baik secara langsung maupun tidak langsung alat tangkap ini juga akan berpengaruh terhadap karakteristik ikan lainnya misalnya tingkat kematangan gonad. Ikan aktif akan lebih berpeluang tertangkap dengan jarring insang sehingga kemungkinan berhubungan dengan tingkat kematangan gonad dan ragam jenis makananya (Gulland 1980). Berdasarkan asumsi ini maka diketahui bahwa ikan brek jantan matang gonad pada ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan ikan betina sehingga ikan brek jantan banyak tertangkap pada jaring insang dengan ukuran mata jaring lebih kecil.

Secara keseluruhan diketahui bahwa frekuensi tertinggi ikan brek jantan terdapat pada selang kelas 81-97 mm hingga 149-165 mm, sedangkan ikan betina berada pada selang kelas 149-165 mm hingga 217-233 mm seperti disajikan pada Gambar 6. Hasil ini menunjukkan bahwa ukuran ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nikolsky (1963) yang menyatakan bahwa biasanya ukuran ikan betina lebih besar beberapa satuan dibandingkan ikan jantan untuk menjamin fekunditas yang besar dalam stok. Lagler (1977) menyatakan bahwa perbedaan ukuran antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik. Sebagai contoh minnows (karper-karperan, famili Cyprinidae) di Amerika Utara. Mayoritas ukuran ikan betina spesies ini lebih besar dibandingkan jantan, sebaliknya beberapa spesies seperti

Nocomis biguttatus dan Pimephalinae, ikan jantan berukuran lebih besar.

Gambar 6 Sebaran ukuran panjang ikan brek di Sungai Serayu

(38)

Secara keseluruhan distribusi ukuran panjang frekuensi relatif ikan jantan dan betina tidak seimbang. Berdasarkan Gambar 6 dan Lampiran 3, ikan jantan lebih dominan pada selang ukuran 59-70 mm hingga 95-106 mm, sedangkan ikan betina ditemukan lebih dominan pada selang kelas 119-130 mm hingga 167-178 mm. Panjang total maksimum ikan brek yang tertangkap selama penelitian yaitu 238 mm. Luvi (2000) menyatakan bahwa panjang total maksimum brek di Sungai Ciamuk, Jawa Barat mencapai 226 mm. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu perbedaan lokasi pengambilan ikan contoh, keterwakilan contoh yang diambil, dan kemungkinan terjadinya tekanan penangkapan yang tinggi. Spesies yang sama pada lokasi yang berbeda akan memiliki pertumbuhan yang berbeda pula karena perbedaan faktor luar maupun faktor dalam yang mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut. Effendi (1997) menyatakan bahwa faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie 1997), dengan asumsi bahwa ikan contoh sudah mewakili populasi yang ada maka ukuran panjang total maksimum yang lebih kecil dapat mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang tinggi. Namun untuk menyimpulkan hal ini diperlukan pembandingan dengan spesies dan lokasi yang sama serta kajiannya lebih seksama.

Makanan Ikan Brek

Hasil analisis isi lambung seluruh ikan contoh ikan yang diperoleh pada tiga zona penelitian (n= 1 602 ekor) menunjukkan bahwa sebagian besar dalam kondisi berisi makanan, kecuali 6 lambung yang ditemukan dalam kondisi kosong. Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh bahwa isi lambung terdiri dari fitoplankton,tumbuhan air, insekta, gastropoda, krustase, ikan dan detritus.

Index Kepenuhan Isi Lambung (ISC)

Hasil perhitungan indek kepenuhan isi lambung (ISC) per-TKG dapat dilihat pada Gambar 7. Nilai ISC yang didapat menunjukkan adanya peningkatan konsumsi makanan dengan tingkat kematangan gonad.

0 2 4 6 8 10 12 14

I II III IV VI

(%

) ISC

Gambar

Gambar  1 Kerangka Pemikiran
Gambar 2   Ikan Brek (Barbonymus balleroides Val. 1842)
Gambar 3  Lokasi pengamatan dan pengambilan ikan (Haryono 2012)
Tabel 1 Alat dan metode pengukuran kualitas perairan
+7

Referensi

Dokumen terkait