• Tidak ada hasil yang ditemukan

The utilization of sea snail gonggong (Strombus canarium) from Bintan Island of Riau Archipelago as natural seasoning

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The utilization of sea snail gonggong (Strombus canarium) from Bintan Island of Riau Archipelago as natural seasoning"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

SEASONING

ALAMI

LILY VIRULY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemanfaatan Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) Asal Pulau Bintan-Kepulauan Riau Menjadi Seasoning Alami” adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

(3)

LILY VIRULY. The utilization of sea snail gonggong (Strombus canarium)

from Bintan Island of Riau-Archipelago as natural seasoning. Supervised by JOKO SANTOSO and WINARTI

Gonggong is one of the sea snails, endemic species living on coastal waters of Bintan Island and surrounding islands of the Province of Riau-Archipelago. Traditionally, it is used to boost the appetite and vitality. The aim of the study is to utilize gonggong as natural seasoning through fermentation process (biological/semi-biological) to hydrolyze protein from the snail. It was made by using gonggong and pineapple concentrate with the ratio 1:4 (w/v), 2% (w/v) of sugar and 15% (w/v) of salt. Then, the products were fermented in an airproofed container at 25 oC for 10 days. The fermentation proceses were stopped using sterilization (121 oC, 15 min) and pasteurization (70 oC, 30 min). The final product of seasoning was stored for 14 days. At each week, pH, total lactic acid, TPC and hedonic test of the products seasoning were analyzed. The best product of the seasoning was compared to commercial product of oyster sauce (“Saori”) using description, paired comparison and chemistry tests. Results of the research indicated that fresh gonggong contains 19,77% of protein and 4,1 mg/g of free amino acid glutamate. It is more preferred than “Saori” which had been sample pasteurized and stored for 7 days at 25 oC. Levels of pH, total lactic acid, TPC, and free amino acid content of this seasoning were 4,75, 0,53%, 1,48 x 103 cfu/g, and 8,0 mg/g, respectively. It had 7 value of based on hedonic test, furthermore description and paired comparison tests was better than commercial original seasoning (“Saori”). The results suggest that it can be used as an alternative seasoning to replace the synthetic seasoning (MSG).

(4)

LILY VIRULY. Pemanfaatan Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) Asal Pulau Bintan Kepulauan Riau Menjadi Seasoning Alami. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINARTI

Gonggong (Strombus canarium) termasuk sejenis siput laut, biota endemik yang banyak hidup di pantai Pulau Bintan dan sekitarnya, Provinsi Kepulauan Riau. Pengalaman empiris masyarakat Kepulauan Riau membuktikan bahwa gonggong mengandung zat-zat yang berkhasiat untuk penambah nafsu makan dan meningkatkan vitalitas, tetapi tidak semua orang dapat mengkonsumsi gonggong rebus dalam bentuk aslinya, sehingga perlu dicarikan alternatif pengolahan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan siput laut gonggong menjadi seasoning alami dari biota laut melalui proses fermentasi (biologis/semibiologis) untuk menghidrolisis protein gonggong, sehingga menghasilkan senyawa yang dapat membangkitkan cita rasa.

Penelitian pendahuluan meliputi karakterisasi bahan baku (uji proksimat, asam amino bebas), penentuan bahan penghidrolisis (air tajin, jus nenas dan sari nenas) dan lama hidrolisis (10, 20 dan 30 hari) menggunakan RAL faktorial. Tahap ini dilakukan penambahan garam 15% dan gula 2% seta komposisi antara gonggong dan bahan penghidrolisis adalah tetap yaitu 1:1. Kemudian penentuan komposisi menggunakan RAL 1 faktor yaitu komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis terdiri dari 5 perlakuan 1:1, 1:2, 1:3, 1:4 dan 1:5 (b/v). Tahap ini penambahan garam dan gula tetap sama seperti perlakuan sebelumnya. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan. Penelitian lanjutan merupakan pembuatan seasoning alami dari gonggong mencakup perlakuan pemutusan fermentasi yaitu pasteurisasi (70 oC, selama 30 menit) dan sterilisasi komersial (121 oC selama 15 menit) dan seasoning yang dihasilkan disimpan selama 14 hari pada suhu kamar, setiap 7 hari dilakukan pengamatan terhadap nilai pH, total asam, TPC, serta uji sensori (hedonik dan skoring). Seasoning terbaik dibandingkan dengan produk komersial di pasaran (saos tiram “Saori”) melalui uji sensori (uji deskripsi, perbandingan pasangan) dan uji kimiawi (asam amino bebas dan proksimat). Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan. Data non-parametrik (uji sensori) dianalisis dengan menggunakan SNI-01-2346-2006 dan Mann Whitney.

(5)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

(6)

SEASONING

ALAMI

LILY VIRULY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

NIM : C351090021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Ir. Winarti, M.S

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Hasil Perairan

Dr.Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(9)

telah diberikan Allah kepadamu; dan syu

jika kamu hanya menyembah kepada

“ Semua yang ada di langit dan di

pencari ilmu, daun-daun di

semuanya memintakan ampun b

Kupersembahkan

kucintai dan mencintaiku :

Papaku

ketiga buah

Falah

telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah,

jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”

(QS. An

langit dan di bumi memohonkan ampunan bagi para

daun di ranting hingga ikan-ikan yang a

semuanya memintakan ampun baginya

(HR.Ahmad)

Kupersembahkan tulisanku ini kepada

kucintai dan mencintaiku :

Papaku Munzier, Mamaku Maznah, Suamiku

ketiga buah hatiku (Faqih M.Arif, Fathimah

Falah M.Taqiyuddin)

kurilah nikmat Allah,

QS. An-Nahl : 114)

punan bagi para

ikan yang ada di lautan

kepada orang yang

(10)

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Penguasa alam semesta yang hanya

dengan pertolongan dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan

tesis ini berjudul Pemanfaatan Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) Asal Pulau Bintan-Kepulauan Riau MenjadiSeasoning Alami. Penelitian ini merupakan tugas akhir akademik dalam pendidikan di program studi Teknologi Hasil Perairan Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu penyelesaian tugas akhir ini.

1. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ibu Ir. Winarti, M.S sebagai ketua dan anggota

komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan motivasi sehingga penulis

dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak

memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.

3. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan

beserta seluruh staf pengajar atas dorongan semangat dan kemudahan yang diberikan

selama studi.

4. Bapak Ian Subastiar dan Bu Ani di Laboratorium Kimia Terpadu-IPB, Ibu Sri dan tim

organoleptik Laboratorium Organoleptik PAU Pangan dan Gizi IPB, Ibu Ema Masruroh di

Laboratorium Mikrobiologi, THP-FPIK-IPB, yang telah memberikan kemudahan dan

semangat selama penelitian.

5. Ayahanda A.V. Munzier dan ibunda Hj. Maznah yang senantiasa memberikan doa dan

semangat.

6. Suamiku tercinta Muzahar, S.Pi, M.Si yang senantiasa memberikan doa, semangat, dan

bantuan penelitian baik tenaga maupun dana untuk kesuksesan penulis.

7. Rekan-rekanku di Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan 2009 : Untung, Vivin, Mutia,

Deni dan Yoyo atas kebersamaannya selama belajar.

8. Teman-teman seperjuangan untuk menuju kehidupan mulia (Ir.Nurlisa A. Butet, M.Sc;

Desniar, M.Si; Dr. Sri Nuryati, Ir. Hanum S, M.Si; Nindira, M.Si; Emilda, M.Si dan

lain-lain) yang senatiasa mendoakan dan memberikan dorongan kepada penulis.

(11)

kritik demi penyempurnaan tulisan/tesis ini sangat diharapkan penulis. Akhirnya semoga

tulisan ini dapat bermanfaat.

Bogor, April 2011

(12)

Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera Selatan pada tanggal 30 Juli 1972 dari ayah

A.V. Munzier, B.Sc dan ibu Hj. Maznah. Penulis merupakan puteri kedua dari tiga

bersaudara. Pada tahun 1997 penulis menikah dengan Muzahar, S.Pi, M.Si dan dikaruniai

tiga orang anak (Faqih, Fathimah dan Falah)

Tahun 1991 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Baturaja dan pada tahun yang sama

lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima pada

Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian dan menamatkannya pada

tahun 1995. Pada tahun 1995-1997 penulis menjadi tutor pada bimbingan belajar TEKNOS

Bogor, pada tahun 1999-2006 penulis menjadi dosen tidak tetap pada Akademi Perikanan

Wachyuni Mandira, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan yang kegiatan operasionalnya

dibiayai oleh Gajah Tunggal Grup, pada tahun 2006-2007 penulis menjadi tutor pada

bimbingan belajar PRIMAGAMA Tanjungpinang - KEPRI dan pada tahun 2007 - sekarang

penulis menjadi Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan - Universitas

Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan

baik yang bersifat keislaman, ilmiah dan manajerial. Diantaranya pada tahun 1992 - 1994

penulis menjadi ketua Rohis TPG Angkatan-28 dan pengurus mushola al-Fath Fateta-IPB,

dan pada tahun 1993-1994 penulis menjadi Dewan Penasehat pada Senat Mahasiswa

Fateta-IPB, dan pada tahun 1992-1995 penulis juga aktif sebagai anggota PATPI dan

(13)

Halaman

2.1 Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) ………... 6

(14)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 40

4.1 Penelitian Pendahuluan ………... 40

4.1.1 Karakteristik bahan baku ……… 40

4.1.2 Hasil penentuan bahan penghidrolisis serta lama hidrolisis ... 43

4.1.3 Hasil penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis 47 4.2 Penelitian Lanjutan ……….. 48

4.2.1 Hasil uji sensori ……….. 49

(1) Hasil uji hedonik ………... 49

(2) Hasil uji skoring ……… 51

4.2.2 Karakteristik kimiawi ………. 52

(1) Nilai pH ………. 52

(2) Nilai total asam laktat tertitrasi ………. 54

4.2.3 Nilai total uji mikrobiologi (total plate count/TPC) …………... 55

4.2.4 Seasoningalami terbaik dari siput laut gonggong ……….. 57

(1) Karakteristik sensori ………. 58

(a) Hasil uji deskripsi ……… 58

(b) Hasil uji perbandingan pasangan ……… 61

(2) Karakteristik kimiawi ……… 62

(a) Komposisi asam amino bebas ………. 63

(b) Komposisi proksimat ……….. 65

5 SIMPULAN DAN SARAN ……….. 68

5.1 Simpulan ………. 68

5.2 Saran ……….... 68

DAFTAR PUSTAKA ……….. 69

(15)

Halaman

1 Perbandingan nilai gizi gonggong dengan kerang-kerangan ………….. 8

2 Komposisi kimia beras ………... 12

3 Komposisi zat gizi dalam 100 gram buah nenas masak ………. 13

4 Hubungan antara waktu elusi dengan gradien buffer B ……….. 35

5 Komposisi proksimat siput laut gonggong ………. 41

6 Komposisi asam amino bebas siput laut gonggong ……… 42

7 Komposisi asam amino bebas pada gonggong (segar,seasoningalami) dan seasoningkomersial (saus tiram “ Saori”, Protextrait-Lyraz)... 63

(16)

Halaman

1 Gonggong di Kepulauan Riau ……….. 7

2 Struktur molekul monosodium glutamat (MSG) ………. 17

3 Peta penyebaran gonggong di Kepulauan Riau ………... 23

4 Diagram alir penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis …….. 25

5 Diagram alir penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis 26

6 Diagram alir penelitian lanjutan pembuatan seasoning………... 28

7 Siput laut gonggong yang masih hidup sebelum dilepas dari

cangkangnya ... 40

8 Nilai hidrolisat protein pada penentuan bahan penghidrolisis dan lama

hidrolisis ………... 43

9 Nilai hidrolisat protein pada penentuan komposisi gonggong dan bahan

penghidrolisis ………..………. 47

10 Nilai hedonik terhadap rasa, aroma dan warna pada perlakuan

pembuatan seasoningalami dari gonggong………... 50

11 Skor hedonik terhadap rasa, aroma dan warna pada perlakuan

pembuatan seasoningalami dari gonggong…...……… 51

12 Nilai pH pada perlakuan pembuatan seasoningalami dari

gonggong………... 53

13 Nilai total asam laktat tertitrasi pada perlakuan pembuatan seasoning

alami dari gonggong………... 54

14 Nilai toal mikroba (TPC) pada perlakuan pembuatan seasoningalami

dari gonggong………... 56

15 Seasoningalami terbaik dari siput laut gonggong ………... 57

16 Spider web atribut mutu seasoningalami terbaik dari siput laut

gonggong ... 59

(17)

Halaman

1 Proses pembuatan jus nenas dan sari nenas ………. 75

2 Metode seleksi panelis terlatih...………. 76

3 Lembar penilaian pada uji hedonik ……….. 77

4 Lembar penilaian pada uji skoring ………... 78

5 Lembar penilaian pada uji deskripsi ……….... 79

6 Lembar penilaian pada uji perbandingan pasangan……….. 80

7 Rekapitulasi hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis ………... 81

8 Rekapitulasi hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis ………... 83

9 Rekapitulasi hasil uji hedonik ………... 84

10 Rekapitulasi hasil uji skoring ………... 85

11 Rekapitulasi data dan hasil ANOVA dan uji Duncan pada nilai pH …. 86 12 Rekapitulasi data dan hasil ANOVA dan uji Duncan pada total asam laktat tertitrasi ……….. 87

13 Rekapitulasi data dan hasil ANOVA dan uji Duncan pada nilai TPC ... 88

14 Rekapitulasi data dan analisis non-parametrik uji perbandingan pasangan ………... 89

(18)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia yang dikenal sebagai negara mega-biodiversity memiliki

keanekaragaman hayati tertinggi di dunia termasuk kawasan pesisir dan laut.

Tingginya keanekaragaman jenis biota laut di Indonesia tersebut terdiri dari

833 jenis tumbuh-tumbuhan laut (alga, lamun, mangrove), 910 jenis karang

(Coelenterata), 850 jenis sponge (Porifera), 2500 jenis kerang dan keong

(Mollusca), 1502 jenis udang dan kepiting (Crustacea), 745 jenis hewan berkulit

duri (Echinodermata), 2000 jenis ikan (Pisces), 148 jenis burung laut (Aves), dan

30 jenis hewan menyusui (Mamalia) (Romimohtarto dan Juwana 2009).

Salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi tetapi belum

banyak dikenal adalah siput laut gonggong (Strombus canarium). Siput laut

gonggong merupakan biota endemik yang banyak hidup di pantai Pulau Bintan

dan sekitarnya, seperti Pulau Dompak, Pulau Lobam, Pulau Mantang,

Senggarang, dan Tanjung Uban. Produksi gonggong di Kepulauan Riau tidak

pernah tercatat secara resmi di Dinas Kelautan dan Perikanan, karena panen

gonggong tidak dijual melalui pelabuhan penangkapan ikan. Menurut informasi

nelayan, produksi gonggong di Pulau Bintan cukup banyak, sekitar

500-600 ekor/nelayan/hari bahkan pada bulan Mei sampai Oktober diperkirakan

dapat mencapai 3000–4000 ekor/nelayan/hari1). Hal ini mengindikasikan bahwa

gonggong tersedia sepanjang tahun di Kepulauan Riau, sehingga gonggong

menjadi “Icon” Provinsi Kepulauan Riau. Kajian ilmiah mengenai gonggong

masih sangat terbatas. Studi pendahuluan gonggong di perairan Pulau Bintan

yang difokuskan pada komposisi proksimat pernah dilakukan Amini pada tahun

1984. Setelah itu belum ada lagi kajian ilmiah, oleh karena itu perlu adanya

kajian lanjutan tentang gonggong dalam rangka memperkenalkan Kepulauan Riau

sebagai pulau penghasil gonggong terbesar di Indonesia dan menjadikan

gonggong sebagai hasil laut yang potensial untuk dimanfaatkan. Sampai saat ini

gonggong belum banyak diketahui atau dikenal oleh masyarakat di luar

Kepulauan Riau.

1)

(19)

Masyarakat Kepulauan Riau memanfaatkan gonggong sebagai makanan

pembuka pada hidangan asal laut (sea food). Pengolahan yang dilakukan masih

sangat sederhana berupa gonggong rebus dan dimakan bersama saus sambel atau

saus kacang. Masyarakat Kepulauan Riau menawarkan gonggong rebus sebagai

wisata kuliner kepada para turis domestik maupun mancanegara. Pengalaman

empiris masyarakat Kepulauan Riau membuktikan bahwa gonggong mengandung

zat-zat yang berkhasiat untuk penambah nafsu makan dan meningkatkan vitalitas.

Masyarakat meyakini bahwa gonggong rebus mengandung protein tinggi, rendah

lemak dengan rasa daging yang enak dan lezat. Daging gonggong memiliki cita

rasa yang khas yaitu bagian ujung yang rasanya kenyal seperti daging cumi-cumi

tetapi di bagian ujung lainnya berupa daging yang lembut dan gurih. Gonggong

juga dimanfaatkan sebagai obat kuat (meningkatkan vitalitas) karena kandungan

proteinnya tinggi. Sejak tahun 1970-an para ibu-ibu selalu mencari gonggong

untuk direbus dan dimakan bersama-sama dengan nasi tatkala ada anggota

keluarga yang kurang nafsu makan dan kekurangan gizi, tetapi tidak semua orang

dapat mengkonsumsi gonggong rebus dalam bentuk aslinya, sehingga perlu

dicarikan alternatif pengolahan. Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan

bahwa persentase kandungan protein daging gonggong rebus lebih tinggi dari

tiram. Penelitian yang dilakukan Amini (1984) menunjukkan bahwa kadar

protein gonggong rebus sebesar 15,38%, sedangkan tiram hanya 9,47%.

Proses pengolahan dengan cara fermentasi (biologis/semibiologis) menjadi

salah satu alternatif pengolahan yang dapat dilakukan untuk mengawetkan

gonggong dan sebagai salah satu bentuk diversifikasi produk berbahan baku

gonggong berupa produk seasoning. Dalam beberapa hal, fermentasi dapat

memperbaiki nilai gizi atau tingkat kecernaan produk dan memberikan cita rasa

produk yang lebih disukai oleh konsumen (Irianto dan Giyatmi 2009). Proses

fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara biologis

atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein menjadi

senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama proses

fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida

yang sangat berperan dalam pembentukan cita rasa produk (Winarno et al. 1993;

(20)

Siput laut gonggong memiliki struktur daging yang kenyal dengan

kandungan protein yang tinggi. Kandungan asam glutamat bebas pada makluk

hidup banyak ditemukan di organ otot, otak, dan hati (Kondoh et al. 2009). Oleh

karena itu gonggong dapat diolah menjadi pembangkit cita rasa (seasoning) alami

melalui proses fermentasi (biologis/semibiologis). Dewasa ini banyak sekali

berkembang pembangkit cita rasa (seasoning) atau dikenal dengan istilah flavor

potentiatoryang berfungsi untuk meningkatkan rasa enak atau menekan rasa yang

tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Produk ini menimbulkan aroma yang

bisa membangkitkan selera makan. Sebagai contoh, penambahan asam

L-glutamat (monosodium glutamat) pada sop akan menimbulkan cita rasa enak.

Hanya saja di Indonesia belum ada seasoning alami yang berasal dari biota laut

tanpa MSG. Asam glutamat pada MSG diperoleh secara sintetik dari hidrolisis

asam menggunakan HCl terhadap bahan-bahan seperti gandum, jagung atau

molase. Kemudian dilakukan netralisasi dengan NaOH dan dikristalkan. Hasil

penelitian membuktikan bahwa bila MSG dikonsumsi dalam dosis tinggi

(0,5 g/kg berat badan/hari) akan sangat berbahaya bagi manusia, karena dapat

mengakibatkan kerusakan sel-sel syaraf otak khususnya di bagian hipotalamus,

kelumpuhan, penurunan kecerdasan, kerusakan retina mata, pertumbuhan

terganggu dan kegemukan (Olney 1969; Terranishi et al. 1998; Kondoh et al.

2009).

Molekul protein 5’nukleotida seperti inosin monopospat (IMP) dan

guaniosin 5’monopospat (GMP) jika berkombinasi dengan asam amino bebas

(asam glutamat) merupakan pembangkit cita rasa alami dari ikan dan

kerang-kerangan yang difermentasi (Ueda dan Fuke 1996; Yamaguchi dan Ninomiya

2000). Chen at al. (1983) menjelaskan bahwa fermentasi kepala udang

menggunakan Bacillus sp. selama 5 hari menghasilkan rendemen sebanyak 55%

dari hasil hidrolisis protein kepala udang yang dapat menimbulkan cita rasa alami

(seasoning) dari kepala udang. Fermentasi kepala udang untuk menjadi seasoning

juga dapat dilakukan dengan menambahkan enzim corolase N dan koji (Chang

dan Li 1984). Bahan penghidrolisis yang dapat berfungsi sebagai substrat dalam

proses fermentasi ikan berasal dari bahan baku yang banyak mengandung

(21)

mampu memecah protein juga dapat digunakan sebagai substrat dalam proses

fermentasi ikan (Whitehurst dan Oort 2010).

Berpijak pada hal tersebut, seasoningalami dapat diekstrak dari biota laut

sebagai pembangkit cita rasa alami. Secara umum hampir setiap makanan olahan

di Indonesia menggunakan pembangkit cita rasa sintetik (utamanya MSG)

sekalipun berefek buruk bagi kesehatan manusia. Untuk itu perlu dilakukan

upaya mencari sumber pembangkit cita rasa alami yang aman bagi kesehatan

manusia. Salah satunya adalah dengan pembuatan seasoningalami dari biota laut

yang diekstrak dari daging siput laut gonggong (Strombus canarium).

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah pemanfaatan

siput laut gonggong (Strombus canarium) menjadi seasoningalami melalui proses

fermentasi (biologis/semibiologis) untuk menghidrolisis protein gonggong,

sehingga dihasilkan senyawa yang dapat membangkitkan cita rasa, dan menjadi

alternatif pengganti pembangkit cita rasa komersial yang ada di pasaran. Tujuan

khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

(1) Menentukan bahan penghidrolisis, lama hidrolisis serta komposisi terbaik

yang digunakan dalam pembuatan seasoningdari gonggong.

(2) Menghasilkan seasoning alami dari gonggong melalui dua teknik

pemutusan proses fermentasi (pasteurisasi dan sterilisasi) dan mengetahui

lama penyimpanannya pada suhu kamar.

(3) Mengevaluasi seasoning alami yang dihasilkan, untuk menentukan

seasoningalami terbaik melalui evaluasi karakteristik sensori, kimiawi dan

mikrobiologi.

(4) Membandingkan karakteristik sensori dan kimiawi seasoningalami terbaik

dari gonggong dengan seasoning yang sudah dikomersialkan di pasaran

(22)

1.3 Hipotesis

Hipotesis yang diuji melalui penelitian ini yaitu :

(1) Bahan penghidrolisis, lama hidrolisis, dan komposisi mempengaruhi

hidrolisat protein daging gonggong selama fermentasi

(biologis/semibiologis).

(2) Teknik pemutusan proses fermentasi dalam pembuatan seasoning alami

dari gonggong dan lama penyimpanan pada suhu kamar mempengaruhi

(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Siput Laut Gonggong (Strombus canarium)

Gonggong termasuk sejenis siput laut (Strombus canarium L.1758),

merupakan salah satu hewan lunak (Mollusca), banyak hidup di pantai Pulau

Bintan dan sekitarnya, seperti Pulau Dompak, Pulau Lobam, Pulau Mantang,

Senggarang, dan Tanjung Uban (Amini 1984). Gonggong merupakan Mollusca

yang termasuk kelas Gastropoda dengan spesies Strombus sp. Klasifikasi

gonggong menurut Zaidi et al. (2009) adalah sebagai berikut :

Filum : Mollusca

Seperti halnya dengan kelas Gastropoda lainnya, ciri-ciri gonggong ialah

memiliki cangkang berbentuk asimetri seperti kerucut, terdiri dari tiga lapisan

periostraktum, lapisan prismatik yang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan

lapisan nakre (lapisan mutiara). Gonggong berjalan dengan perut dan biasanya

menggulung seperti ulir memutar ke kanan, menggendong cangkang yang

berwarna coklat kekuningan, kakinya besar dan lebar untuk merayap dan

mengeruk pasir atau lumpur. Sewaktu bergerak hewan ini menghasilkan lendir,

sehingga pada tempat yang dilalui meninggalkan bekas lendir. Cangkang

digunakan untuk melindungi diri dari serangan musuh atau kondisi lingkungan

yang tidak baik (Zaidi et al. 2009).

Saluran pencernaan lengkap, berbentuk U atau melingkar. Mulut dengan

radula yang mempunyai deretan-deretan gigi kitin kecil melintang untuk

menggerus makanannya. Anus membuka ke rongga mantel, kelenjar pencernaan

besar dengan kelenjar ludah. Gonggong termasuk hewan hermaprodit, artinya

gonggong memiliki sel kelamin jantan dan betina tetapi dalam proses

(24)

dengan proses perkawinan semu antara dua gonggong. Tidak lama setelah

melakukan perkawinan semu gonggong akan bertelur dan telur menetas

bergantung pada kondisi lingkungannya (Zaidi et al. 2008). Pernapasan dilakukan

dengan sebuah paru-paru di dalam rongga mantel. Sistem syaraf tipikal terdiri

dari tiga pasang ganglia(serebraldi atas mulut, pedal di kaki, visceraldi tubuh),

digabungkan oleh penghubung membujur dan melintang dari syaraf-syaraf,

dengan alat inilah hewan tersebut menyentuh, membau dan merasa. Hewan ini

memiliki bintik mata atau mata majemuk dan statosista untuk keseimbangan

(Romimohtarto dan Juwana 2009).

Menurut Amini (1984) gonggong hidup tersebar di sepanjang pantai

dengan dasar perairan pasir lumpur atau pasir campur lumpur yang banyak

ditumbuhi tanaman laut seperti rumput setu, samo-samo (Enhalus accoroides),

Thalassia spp. dan lain-lain. Kondisi perairan dimana banyak ditemukan

gonggong, salinitasnya berkisar antara 26-32%, pH antara 7,1–8,0, oksigen

terlarut 4,5–6,5 ppt, kecerahan air 0,5–3,0 m dan suhu antara 26-30 oC. Bentuk

gonggong yang berasal dari Kepulauan Riau dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Gonggong (Strombus canarium) di Kepulauan Riau. A. Pergerakan Gonggong dari cangkangnya. B. Habitat gonggong bersama samo-samo (Enhalus sp).

(Amini 1984)

Hasil pengamatan dan penuturan para nelayan bahwa musim gonggong

untuk perairan Bintan terjadi pada bulan Mei sampai dengan bulan Oktober.

Musim gonggong dipengaruhi oleh lama tidaknya surut terendah pada

bulan-bulan tertentu. Saat air laut surut banyak dilakukan penangkapan gonggong yang

bermunculan di permukaan pasir ataupun lumpur. Gonggong ditangkap apabila

(25)

keadaan air laut surut/kering dan terjadi pada siang atau sore hari. Apabila surut

terendah terjadi pada malam hari tidak dilakukan penangkapan. Penangkapan

gonggong hanya diambil dengan tangan (Amini 1984). Tetapi dewasa ini

penangkapan gonggong tidak perlu menunggu waktu air laut surut karena nelayan

sudah membuat alat tangkap khusus gonggong berupa pukat/jaring yang diberi

pemberat dari besi, sehingga panen gonggong menjadi lebih mudah dan

memberikan hasil lebih banyak.

Gonggong mengandung kadar protein yang tinggi jika dibandingkan

dengan kadar protein dari jenis kerang-kerangan lainnya. Adapun nilai gizi

gonggong dan jenis kerang-kerangan lain dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan nilai gizi gonggong dengan kerang-kerangan (%)

Jenis Kadar air Protein Lemak Kadar abu

Proses fermentasi sering didefinisikan sebagai proses pemecahan

karbohidrat dan protein secara anarobik, yaitu tanpa memerlukan oksigen (Fardiaz

1993). Umumnya proses fermentasi hanya terjadi pada kondisi anaerobik untuk

mendegradasi senyawa organik yang mengandung karbohidrat, asam amino,

purin, dan pirimidin (Munn 2004). Fermentasi adalah proses pemecahan

karbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida (CO2), tetapi banyak proses yang

disebut fermentasi tidak selalu menggunakan substrat karbohidrat sebagai media

fermentasi. Selain karbohidrat, media fermentasi dapat berasal dari protein dan

lemak yang dipecah oleh mikroba dan enzim tertentu untuk menghasilkan asam

amino, asam lemak dan zat-zat lainnya (Rahayu et al. 1992). Proses fermentasi

mikroba dalam bioreaktor merupakan unit untuk memproduksi enzim, dan dapat

bekerjasama dengan mikroba untuk mendegradasi substrat sehingga menghasilkan

produk akhir yang memiliki rasa dan aroma yang khas (Whitehurst dan Oort

(26)

Fukami et al. (2000) menjelaskan bahwa pada prinsipnya fermentasi

adalah proses perubahan substrat organik yang kompleks menjadi komponen yang

lebih sederhana dengan adanya aktivitas enzim atau mikroba dalam keadaan

terkontrol, dan komponen yang dihasilkan dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme yang tidak diinginkan serta perubahan yang terjadi dapat

memperbaiki nilai gizi produk. Menurut Ichimura et al. (2003) fermentasi dapat

terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat

organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan

sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan

pangan tersebut. Hasil fermentasi tergantung pada jenis bahan pangan (substrat),

jenis mikroba dan kondisi di sekeliling yang mempengaruhi pertumbuhan dan

metabolisme mikroba tersebut.

Berdasarkan sumber mikroba yang berpengaruh dalam fermentasi, maka

fermentasi makanan dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu fermentasi spontan

dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan terjadi pada makanan yang

dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi

mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembangbiak secara

spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya.

Fermentasi tidak spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya

ditambahkan mikroba dalam bentuk kultur atau starter, mikroba inilah yang akan

berkembangbiak dan aktif dalam mengubah bahan yang difermentasi menjadi

produk yang diinginkan (Fardiaz 1993).

Fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara

biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein

menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol.

Selama fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asan amino dan

peptida yang berperan dalam pembentukan cita-rasa produk. Jika dalam bahan

mentahnya ditambahkan sumber karbohidrat, misalnya pati atau nasi, maka

selama fermentasi akan terjadi pemecahan pati menjadi komponen-komponen

yang lebih sederhana yaitu asam laktat dan alkohol (Rahayu et al.1992; Jayet al.

(27)

Apabila selama proses fermentasi ikan digunakan beras sebagai substrat

maka akan terjadi perubahan pada pH, kadar air dan proteinnya. Semakin lama

fermentasi maka nilai pH dari suatu produk akan semakin turun. Penurunan pH

ini disebabkan terbentuknya asam laktat yang akan berpengaruh terhadap nilai pH

dari produk, sedangkan untuk kandungan proteinnya tergantung dari jenis dan

perbandingan bahan yang digunakan. Produk yang berkualitas baik dapat

diperoleh jika keberadaan khamir dan kapang dapat dihindarkan, karena akan

menyebabkan terbentuknya alkohol, sehingga dapat menurunkan mutu produk

(Rahayu dan Suliantari 1990).

Fermentasi yang dilakukan pada wadah tertutup dapat menghasilkan

produk solubilisasi berupa cairan atau semi cair yang mempunyai bau, rasa dan

penampakan khas. Setelah itu, cairan dikeluarkan dari wadah dan diproses lebih

lanjut dengan penyaringan sebelum dikemas. Proses yang lain menghasilkan

produk yang masih menampakkan bentuk ikan sehingga jenis ikan yang

digunakan masih dapat dikenali. Secara garis besar produk perikanan yang

dihasilkan dari berbagai proses fermentasi dapat digolongkan ke dalam tiga tipe

produk, yaitu : (1) produk yang sebagian besar bentuk asli ikan atau potongan

ikan dipertahankan, (2) produk yang bentuk asli ikannya direduksi ke dalam

bentuk pasta, (3) produk yang bentuk asli ikannya direduksi ke dalam bentuk

cairan (Irianto dan Giyatmi 2009).

Peranan garam dalam fermentasi adalah sebagai penyeleksi

mikroorganisme yang diperlukan. Banyaknya jumlah garam yang ditambahkan

berpengaruh pada populasi mikroorganisme dan jenis mikroorganisme yang

tumbuh. Oleh karena itu kadar garam dapat digunakan untuk mengendalikan

aktivitas fermentasi apabila faktor-faktor lainnya sama (Winarno et al. 1993).

Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi yaitu

meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan, mengontrol

pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan dalam fermentasi dan

menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen (Rahayu et al.

1992; Winarno et al. 1993; Ijong dan Ohta 1995; Jay et al. 2005). Garam dapat

berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan

(28)

meningkatkan tekanan osmotik substrat, menyebabkan terjadinya penarikan air

dalam bahan pangan, sehingga aw (water activity) bahan pangan akan menurun

dan mikroorganisme tidak akan tumbuh. Selain itu, garam dapat menyebabkan

terjadinya penarikan air dari sel mikroorganisme sehingga sel akan kehilangan air

dan mengalami pengerutan, ionisasi garam akan menghasilkan ion klor yang

beracun terhadap mikroorganisme dan dapat mengganggu kerja enzim proteolitik

karena dapat menyebabkan denaturasi protein (Rahayu et al.1992).

Beberapa keuntungan lain produk fermentasi selain memiliki rasa dan

aroma yang lebih diterima oleh konsumen adalah dapat meningkatkan kandungan

vitaminnya sehingga lebih mudah dicerna dan dapat menghilangkan racun pada

beberapa bahan makanan, misalnya peyem, dan tempe bongkrek (Jay et al. 2005).

1.2.1 Bahan penghidrolisis

Banyak produk makanan yang diproduksi melalui proses fermentasi seperti

keju, sosis, asinan, anggur, dan kecap ikan. Semua produk fermentasi tersebut

sangat dipengaruhi oleh bahan penghidrolisis yang dapat berfungsi sebagai

substrat bagi mikroorganisme atau media yang dapat menghasilkan enzim selama

proses fermentasi. Produk-produk fermentasi selalu memiliki karakteristik aroma

dan rasa yang khas. Bahan penghidrolisis yang digunakan umumnya

mengandung karbohidrat tinggi misalnya beras, kedelei, dan gandum atau

bahan-bahan yang mengandung enzim yang dapat memecah protein (Jay et al.2005).

Bahan penghidrolisis yang dapat berfungsi sebagai substrat dalam proses

fermentasi ikan berasal dari bahan baku yang banyak mengandung karbohidrat

(Suliantari dan Rahayu 1990; Murtini et al.1997). Selain itu, enzim bromelin dari

buah nenas juga mampu memecah protein, sehingga dapat digunakan sebagai

substrat dalam proses fermentasi ikan (Whitehurst dan Oort 2010).

(1) Air tajin (air didihan beras)

Air tajin adalah air didihan beras yang diambil pada saat menanak nasi.

Biasanya air tajin digunakan sebagai pengganti susu formula untuk bayi-bayi yang

tidak mampu mencerna susu sapi, susu bagi anak-anak autis dan umumnya di

Indonesia air tajin menjadi minuman favorit untuk bayi-bayi dari kalangan

(29)

didalamnya terkandung berbagai vitamin B dan berbagai zat gizi dari beras.

Beras adalah hasil pengupasan dari gabah yang merupakan biji padi. Padi

(Oryza sativa) merupakan tanaman yang banyak dijumpai di daerah Asia

Tenggara, khususnya di Indonesia. Beras merupakan bahan makanan pokok bagi

sebagian besar penduduk di Indonesia, sehingga konsumsi beras dalam bentuk

olahan sangat sedikit dibandingkan dengan yang dikonsumsi secara langsung

dengan ditanak (Suliantari dan Rahayu 1990). Sebagai sumber karbohidrat, beras

mempunyai nilai gizi yang cukup baik jika dibandingkan dengan sumber

karbohidrat lainnya. Komposisi kimia beras dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia beras

Sumber : Suliantari dan Rahayu (1990)

Beras mengandung pati yang terdapat dalam bentuk granula-granula pati.

Pati adalah polimer molekul-molekul glukosa dengan ikatan alfa 1-4 glukosida.

Polimer yang lurus dikenal dengan nama amilosa sedangkan polimer yang

bercabang adalah amilopektin. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin

pada beras bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis berasnya. Beras dengan

kandungan amilosa 17–22% akan terasa pulen, sedangkan yang kadar amilosanya

25% atau lebih akan terasa pera dan bila dimasak kemudian didinginkan akan

terasa keras. Dengan demikian kandungan amilosa dan amilopektin pada air tajin

juga ditentukan oleh jenis beras yang ditanak (Suliantari dan Rahayu 1990).

Beras sebagai bahan baku fermentasi digunakan sebagai substrat dalam

pembuatan minuman berakohol seperti sake, sonte, tape ketan dan berbagai

(30)

pembantu dalam proses fermentasi seperti pada pembuatan bekasam, tauco atau

kecap (Suliantari dan Rahayu 1990; Murtini et al.1997).

(2) Nenas (Ananas comosus)

Tanaman nenas termasuk famili Bromeliceae dari kelas

Monokotyledoneae. Nenas merupakan tanaman hortikultura yang mulai

berproduksi pada umur 12 bulan. Nenas adalah salah satu buah tropis dengan

daging buah berwarna kuning dan memiliki kandungan air 90%, kaya vitamin

dan mineral. Buah nenas juga terdapat enzim yang dikenal dengan nama enzim

bromelin. Enzim bromelin merupakan suatu enzim protease yang mampu

memecah protein menjadi asam amino dan peptidanya. Enzim bromelin dalam

kehidupan sehari-hari digunakan untuk membantu melunakkan daging yang akan

diolah seperti halnya enzim papain yang dihasilkan dari tanaman papaya. Enzim

bromelin tidak rusak karena pembekuan, akan tetapi akan inaktif bilamana buah

nenas dipanaskan dengan cara pasteurisasi maupun sterilisasi (Muljohardjo 1990).

Daging buah nenas juga banyak mengandung karbohidrat dalam bentuk

gula sederhana (sukrosa, fruktosa dan glukosa). Buah nenas yang masak

mengandung zat gizi yang cukup tinggi. Tabel 3 menunjukan kandungan zat gizi

dalam 100 gram buah nenas.

Tabel 3 Komposisi zat gizi dalam 100 gram buah nenas masak

Komponen Jumlah

(31)

1.2.2 Teknik pemutusan proses fermentasi

Mikrooganisme banyak terdapat di udara, air dan tanah. Proses fermentasi

merupakan salah satu cara pengolahan makanan secara tradisional yang

melibatkan aktivitas mikroorganisme (bakteri, kapang dan khamir) pada suhu

kamar. Proses pemutusan fermentasi diperlukan untuk mengeliminasi mikroba

sehingga fermentasi tidak berlanjut. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga

kualitas produk yang diinginkan, membunuh mikroorganisme pembusuk dan

patogen. Umumnya untuk membunuh jasad renik pada proses fermentasi

dilakukan dengan dua cara yaitu pasteurisasi dan sterilisasi (Fardiaz 1989;

Jay et al.2005; Irianto dan Giyatmi 2009; Whitehurst dan Oort 2010).

(1) Pasteurisasi

Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu

dimana semua mikroba patogen yang berbahaya bagi manusia akan terbunuh,

misalnya bakteri penyebab tuberculosis. Pasteurisasi biasanya dilakukan terhadap

susu, karena proses ini dapat mencegah penyakit yang disebabkan oleh

Streptococcus pyogenes. Pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif

rendah dalam waktu yang relatif lama, yaitu 65 oC selama 30 menit. Proses

pasteurisasi dapat dilakukan dengan menggunakan waterbath atau alat

pasteurisasi (continuous pasteurizer). Beberapa bakteri vegetatif yang tahan

panas (termofil) dan berspora, masih tahan terhadap proses pasteurisasi. Produk

yang dipasteurisasi harus segera didinginkan dengan cepat untuk mencegah

pertumbuhan bakteri yang masih hidup (Fardiaz 1993; Whitehurst dan Oort

2010).

Keuntungan teknik pemanasan dengan pasteurisasi yang sering digunakan

pada proses pengolahan makanan fermentasi tradisional adalah dapat memberikan

cita rasa produk yang lebih enak, tidak menimbulkan reaksi pencoklatan (reaksi

Maillard) dan aman untuk dikonsumsi. Beberapa mikroba patogen yang tidak

dapat dihilangkan selama proses pasteurisasi diantaranya Clostridium botulinum,

C. tyrobutyricum, Clostridium sporogenes dan Bacillus cereus (Jay et al. 2005).

Proses pasteurisasi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pasteurisasi dengan suhu

(32)

dengan suhu lebih tinggi dalam waktu singkat high temperature-short time

(HTST). Pasteurisasi dengan LTLT dilakukan pada suhu 63 oC selama 30 menit

dan HTST pada suhu 72 oC selama 15 detik. Pasteurisasi dengan LTLT atau

HTST hanya dapat membunuh Mycobacterium yang termasuk golongan

psikotropik, misalnya Streptococcus, Enterococcus, Microbacterium,

Lactobacillus, Mycobacterium dan Corynebacterium (Jay et al. 2005). Inaktifasi

enzim protease dilakukan dengan pasteurisasi pada suhu 50-80 oCselama 30 menit

untuk melindungi produk akhir dari terjadinya reaksi Maillard dan terbentuknya

struktur asam amino lisin-alanin yang sangat berpengaruh pada cita rasa produk

akhir dan menyebabkan kerusakan produk (Whitehurst dan Oort 2010).

(2) Sterilisasi

Sterilisasi adalah suatu proses untuk membunuh semua jasad renik yang

ada, sehingga jika ditumbuhkan di dalam suatu medium tidak ada lagi jasad renik

yang dapat berkembangbiak. Sterilisasi harus dapat membunuh jasad renik yang

paling tahan terhadap panas yaitu spora bakteri. Sterilisasi yang digunakan dalam

pengolahan pangan dikenal dengan nama sterilisasi komersial yaitu suatu proses

untuk membunuh semua jasad renik yang dapat menyebabkan kebusukan

makanan pada kondisi suhu penyimpanan yang ditetapkan. Proses sterilisasi

dapat dilakukan dengan menggunakan autoklaf untuk membunuh spora bakteri

yang paling tahan panas yaitu pada suhu 121 oC selama 15 menit. Untuk

sterilisasi bahan cair seperti susu juga dapat dilakukan pada suhu yang relatif

tinggi dalam waktu yang sangat singkat, yaitu 135–150oC selama 2–6 detik, yang

dikenal dengan proses Ultra High Temperature(UHT) (Fardiaz 1989).

Proses sterilisasi dengan UHT (sterilisasi komersial) pada suhu

135-140 oC selama 1 detik dapat juga dilakukan untuk membunuh tidak hanya

bakteri patogen yang tidak berspora, tetapi mampu membunuh semua

mikroorganisme berspora. Produk yang sudah disterilisasi dengan UHT dalam

kemasan steril dapat bertahan pada suhu kamar selama 40–45 hari. Proses

sterilisasi dapat menambah cita rasa baru karena terjadi reaksi pencoklatan (reaksi

Maillard) (Jay et al. 2005). Sterilisasi berdasarkan suhu pemanasan yang

(33)

2 yaitu continuous operation (sterilisasi pada suhu tinggi 150 oC dengan waktu

kontak yang singkat 3–5 menit) dan batch operation(sterilisasi pada suhu rendah

121 oC dengan waktu kontak lebih lama 30–60 menit). Continuous operation

umumnya digunakan untuk produk cair atau larutan sedangkan batch operation

digunakan pada produk padat atau produk yang tidak dapat larut air (Whitehurst

dan Oort 2010).

2.3 Pembangkit Cita Rasa (Seasoning)

Menurut Winarno (2008) seasoning atau dikenal dengan pembangkit cita

rasa adalah suatu proses memberi flavor atau memperbaiki flavorpada makanan.

Seasoning dikenal juga dengan istilah flavor potentiator yaitu suatu bahan yang

dapat digunakan untuk meningkatkan rasa enak (flavor enhancer) atau menekan

rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Bahan itu sendiri tidak atau

sedikit mempunyai cita rasa. Flavor potentiator (seasoning) merupakan senyawa

yang mampu meningkatkan rasa dan mengurangi rasa yang tidak diinginkan

seperti rasa bawang yang tajam, rasa sayuran mentah yang tidak menyenangkan,

ataupun rasa pahit pada sayuran yang dikalengkan. Seasoning juga mampu

meningkatkan rasa asin, atau memperbaiki keseimbangan cita rasa makanan

olahan. Seperti contohnya, penambahan asam L-glutamat pada daging atau sop

akan menimbulkan cita rasa yang lain dari cita rasa asam amino tersebut (Farrel

1985; Reineccius 1994; Winarno 2008).

Menurut Winarno (2008) dua jenis bahan pembangkit cita rasa yang

umum adalah asam amino L atau garamnya, misalnya monosodium glutamat

(MSG) dan jenis 5’-nukleotida seperti inosin 5’-monofosfat (5’-IMP), guanidin

5’monofosfat (5’-GMP). Flavor potentiator yang umum digunakan adalah

monosodium glutamat (MSG). Senyawa monosodium glutamat (MSG) dikenal

juga sebagai flavor enhancer karena mempunyai kemampuan meningkatkan cita

rasa, seperti rasa gurih (umami). Di pasaran senyawa tersebut terdapat dalam

bentuk kristal monohidrat dan dikenal sebagai Ajinomoto, Sasa, Miwon, Maggie

atau berupa campuran pembangkit cita rasa seperti Masako, Royco dan Saori.

Semua nama tersebut merupakan nama merk dagang untuk MSG, dengan struktur

(34)

Gambar 2 Struktur molekul monosodium glutamat (MSG).

(Reineccius 1994)

Struktur MSG tersebut memiliki satu karbon asimetrik, yaitu karbon

keempat dari kiri. Karbon tersebut terikat oleh empat gugus yang saling berbeda,

sehingga asam glutamat maupun garamnya terdapat dalam tiga bentuk, yaitu

isomer L dan D dan bentuk resemik DL. Bentuk L adalah bentuk yang terdapat di

alam, dan juga merupakan bentuk isomer yang aktif. Bentuk L inilah yang

memiliki kekuatan membangkitkan atau mempertegas cita rasa beberapa komoditi

misalnya daging, ikan serta berbagai hidangan lain.

Asam glutamat diperoleh dari bahan yang mengandung protein dan dapat

dibuat secara hidrolisis asam dari bahan-bahan seperti gandum, jagung atau

molase. Asam glutamat terbentuk dengan cara melarutkan bahan-bahan tersebut

ke dalam asam klorida (HCl) hingga pH 3,2 dan akan terbentuk kristal secara

lambat. Kemudian dilakukan netralisasi dengan NaOH atau dekolorisasi dan

dikristalkan. Zaman dahulu di negeri Cina, senyawa pembangkit cita rasa yang

kini dikenal dengan nama MSG diproduksi dari rumput laut, tetapi sekarang MSG

dibuat dan diproduksi secara besar-besaran dengan menggunakan bahan mentah

gluten dari gandum, jagung, kedelei serta dari hasil samping pembuatan gula bit

atau molase gula tebu. Selain itu, MSG juga dapat dibuat dari hasil fermentasi

karbohidrat. Di Indonesia MSG lebih banyak diproduksi dari molase. Asam

glutamat yang muncul dari proses pembuatan gula biasanya berbentuk glutamin.

Glutamin diubah menjadi asam glutamat dalam bentuk L-glutamat dan pirolidin

karboksilat (Bellanca dan Furia 2000; Winarno 2008).

Pembangkit cita rasa sintetik (MSG) murni memiliki ciri khas tidak

berbau, tetapi memiliki rasa yang nyata yaitu campuran rasa manis dan asin yang

(35)

sebagai penyedap rasa pada masakan sup, sayuran, dan pengolahan makanan

berbahan dasar ikan atau daging (sosis, bakso, burger, steak, kornet, sarden, ikan

asap dan lain-lain). Mekanisme kerja MSG sehingga dapat menambah cita rasa

adalah disebabkan oleh hidrolisis protein dalam mulut (Pikielna dan Kostyra

2007; Winarno 2008).

Senyawa MSG dapat menyebabkan sel reseptor rasa lebih peka sehingga

dapat menikmati rasa dengan lebih baik (Brand 2000). Jika MSG dikonsumsi

sewaktu perut masih kosong atau lapar dalam hidangan sup dengan kadar MSG

yang biasanya relatif sangat tinggi, maka MSG dapat dengan cepat terserap ke

dalam darah yang kemudian menyebabkan manusia menderita penyakit CRS

(Chinese Restaurant Syndrome). Konsumsi MSG dengan dosis 0,8% dalam

300-400 ml sup pada saat perut kosong dapat menyebabkan CRS (Zautcke et al.

1986). Ciri-ciri penyakit CRS diantaranya: orang tersebut merasa kesemutan pada

punggung leher, rahang bawah, serta leher bagian bawah yang kemudian terasa

panas, wajah berkeringat, sesak dada bagian bawah, dan pusing kepala. Hasil

penelitian terhadap serum darah pasien, ternyata glutamat bukan senyawa

penyebab langsung munculnya CRS tetapi disebabkan oleh senyawa hasil

metabolisme glutamat seperti GABA (gamma amino butyric acid), serotinin dan

histamin (Zautcke et al. 1986; Reineccius 1994; Winarno 2008).

Analisis kimiawi terhadap bahan-bahan pembangkit cita rasa (seasoning)

digunakan untuk menentukan struktur komponen kimia utama yang menyusun

bahan cita rasa tersebut. Analisis yang sering digunakan dalam pengujian mutu

suatu bahan pembangkit cita rasa seperti indeks refraksi, berat jenis, total asam

dan indera manusia melalui uji sensori (uji hedonik dan uji perbedaan pasangan)

(Winarno 2008). Evaluasi seasoning dengan menggunakan indera manusia dapat

juga dilakukan dengan cara mencampurkan seasoning ke dalam sup panas 60 oC,

lalu diaduk dan disajikan panas kepada para panelis (Mahony 1986; Lyraz 1990).

Selain itu, evaluasi seasoning dapat dilakukan dengan menentukan kandungan

asam amino bebasnya. Kandungan asam amino bebas dari suatu produk dapat

menentukan karakteristik pembangkit cita rasa yang akan muncul dari berbagai

(36)

Menurut Hayashi et al. (1981) asam amino bebas seperti asam glutamat,

alanin, glisin dan arginin dapat memberikan rasa enak dan lezat yang dikenal

dengan nama umami (sebutan rasa enak atau deliciousness yang dikenal di

Jepang). Secara umum senyawa pembangkit cita rasa umami pada makanan

berupa nukleotida seperti disodium 5’inosinnat (IMP) dan disodium 5’guanilat

(GMP) dan monosodium L-glutamat (MSG). Nukleotida ini dapat dibuat secara

sintetik maupun secara alami dan dapat ditemukan juga pada bahan baku ikan,

daging, hewan krustasea dan hewan moluska (Lee 1994). Selain glutamat bebas,

asam amino glisin bebas juga dapat berkontribusi sebagai senyawa pembangkit

cita rasa. Asam amino bebas glisin merupakan asam amino nonpolar dan banyak

terdapat secara bebas di dalam jaringan kolagen (2/3 protein kolagen adalah

glisin) dan dapat memberikan rasa manis pada makanan (Rousseaux 2008).

Berbagai penelitian tentang bahaya MSG bagi kesehatan manusia yang

dilakukan sampai sekarang masih menimbulkan banyak polemik dan kontraversi.

Beberapa penelitian ada yang bertentangan dengan penelitian John Olney (1969),

misalnya yang dilakukan oleh Toyama et al. (2008) bahwa fortifikasi MSG

dengan dosis 0,5% (w/w) yang diberikan pada makanan pokok pasien manula

(85 tahun ke atas) dapat berfungsi untuk menahan infeksi dan meningkatkan

imunitas manula. Penelitian lainnya telah melaporkan bahwa penggunaan MSG

dapat menghambat produksi asam lambung bagi penderita kelainan pencernaan

(dispepsia) (Kusano et al.2010) dan MSG aman dikonsumsi bagi penderita asma

(Yoneda et al. 2011). Akan tetapi lebih banyak penelitian yang mendukung hasil

penelitian Olney (1969), misalnya penelitian Terranishi et al.(1998), Nagata et al.

(2006), Rausseaux (2008) dan Kondoh et al. (2009). Hasil penelitian tersebut

kemudian direkomendasikan oleh organisasi international yaitu WHO/FAO

berupa rumusan tentang bahaya mengkonsumsi MSG dalam dosis yang tinggi

(120 mg/kg berat badan/hari) sebagai berikut: (1) Aspek toksikologi, bahwa MSG

mengandung residu yang beracun yang dapat merusak organ tubuh seperti sel-sel

syaraf otak di bagian hipotalamus, kerusakan hati, kematian sel dan mengganggu

hormon pertumbuhan. (2) Aspek mikrobiologis, bahwa MSG dapat menstimulasi

pertumbuhan mikroba yang mengganggu keseimbangan mikroba dalam saluran

(37)

makanan. (3) Aspek immunopatologis bahwa MSG mengandung residu yang

dapat menurunkan tingkat kekebalan tubuh (WHO 1987).

Hingga sekarang bahaya dan gejala-gejala yang ditimbulkan akibat

mengkonsumsi MSG belum cukup lengkap untuk dapat diungkap secara

gamblang dan memuaskan. Hal ini disebabkan karena pengembangan seasoning

(utamanya MSG) yang dilakukan di beberapa negara di dunia tidak murni berasal

dari hasil penelitian, tetapi lebih banyak untuk tujuan bisnis. Menurut

Jyotaki et al. (2009), setiap individu mempunyai respon yang berbeda-beda

terhadap pengaruh penambahan MSG pada makanannya, tergantung pada

kebiasaan pola makannya (dengan menggunakan MSG atau tanpa MSG) sejak

(38)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Nopember 2009 sampai dengan

Februari 2011. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium di lingkup Institut

Pertanian Bogor, yaitu Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan di

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan-IPB; Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Organoleptik di Pusat Antar

Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium

Kimia Terpadu, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi bahan

yang digunakan untuk pembuatan seasoning dan bahan untuk analisis. Bahan

yang digunakan untuk pembuatan seasoning adalah siput laut gonggong

(Strombus canarium) yang diperoleh dari Pulau Bintan (Pulau Dompak),

Kepulauan Riau dengan sebaran gonggong dapat dilihat pada Gambar 3.

Pengambilan gonggong dilakukan pada sore hari melalui penangkapan secara

langsung di laut menggunakan alat tangkap gonggong. Gonggong yang masih

hidup didiamkan semalaman di dalam laut sebelum dikemas dalam kardus, untuk

kemudian dibawa ke Bogor sekitar 4-5 jam. Gonggong yang digunakan dalam

pembuatan seasoning alami berukuran sebagai berikut : panjang 7,12±0,02 cm

dan lebar 3,56±0,05 cm dan berat gonggong dengan cangkang 50±0,01 g. Jumlah

gonggong yang digunakan dalam penelitian ini sekitar 300 ekor. Bahan lainnya

yang digunakan adalah beras, buah nenas, garam dan gula. Jus nenas dan sari

nenas yang digunakan sebagai bahan penghidrolisis dibuat berdasarkan modifikasi

Raghavan (2006) (Lampiran 1). Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis

adalah bahan kimia untuk analisisproksimat, total plate count (TPC), analisis pH,

analisis total asam laktat tertitrasi, dan analisis asam amino bebas, diantaranya:

K2SO4, CuSO4, H2SO4, H2O2, kloroform, methanol, etanol, H3BO3, indikator

(39)

NaCl, buffer pH 4 dan 7, K2CO3, garam fisiologis, plate count agar (PCA),

ortoftalaldehida(OPA) dan sulfosalycylic acid(SSA).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian juga dapat dibagi menjadi

peralatan yang digunakan untuk membuat seasoning dan peralatan untuk analisis.

Peralatan yang digunakan untuk membuat seasoning antara lain : pisau, telenan,

alat peniris, palu, pinset, baskom, thermometer, alumunium foil dan botol-botol

gelas sebagai wadah penyimpanan. Peralatan yang digunakan untuk analisis

antara lain : timbangan analitik, pH-meter digital, oven, tanur, cawan conway,

desikator, Kjeltec system, Soxhlet system, stirrer, waterbath, autoklaf, kertas

saring milipore, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), dan

peralatan gelas lainnya.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan

dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi : (1) Karakterisasi kimia

gonggong segar (uji proksimat dan asam amino bebas), (2) Penentuan bahan

penghidrolisis, lama hidrolisis dan komposisi terbaik yang akan digunakan dalam

pembuatan seasoning pada penelitian lanjutan. Penelitian lanjutan adalah

pengolahan gonggong menjadi seasoning alami melalui dua teknik pemutusan

proses fermentasi yaitu pasteurisasi dan sterilisasi serta menentukan karakteristik

produk tersebut pada suhu kamar.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Kegiatan penelitian pendahuluan meliputi: (1) Karakterisasi kimia

gonggong segar setelah dilepaskan dari cangkangnya (uji proksimat dan asam

amino bebas). (2) Penentuan bahan penghidrolisis terhadap gonggong (1:1 b/v)

dan lama hidrolisis dengan penambahan garam 15% dan gula 2%, masing-masing

dilakukan tiga kali ulangan. Perlakuan pada penentuan bahan penghidrolisis dan

(40)

Gambar 3 Peta penyebaran gonggong di Kepulauan Riau.

(41)

A. Bahan penghidrolisis

A1. Air tajin

A2. Jus nenas

A3. Sari nenas

B. Lama hidrolisis

B1. 10 hari

B2. 20 hari

B3. 30 hari

(3) Penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis. Penentuan ini

menggunakan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis terpilih dari perlakuan

sebelumnya dan masing-masing dilakukan tiga kali ulangan. Perlakuan pada

penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis adalah sebagai berikut :

a. 1 : 1

b. 1 : 2

c. 1 : 3

d. 1 : 4

e. 1 : 5

Diagram alir penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis (Gambar 4) dan

diagram alir penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis

(42)

Gambar 4 Diagram alir penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis (Modifikasi Lyraz 1990).

Pelepasan gonggong dari cangkangnya

Perendaman gonggong (garam 4% dalam 1 liter air) selama 48 jam pada 4oC Karakterisasi kimia

(uji proksimat, uji asam amino bebas)

Komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis (air tajin, juice nenas ,sari nenas) = 1:1 b/v, penambahan garam 15% dan gula 2%

Pemeraman dalam wadah tertutup (fermentasi) pada suhu kamar, dengan lama hidrolisisis (10, 20 dan 30 hari)

Penyaringan dan filtrat dipasteurisasi pada suhu 70oC selama 30 menit Gonggong segar

Seasoningalami terpilih Pencucian dan penirisan

Perhitungan rendemen hasil hidrolisis

(43)

Gambar 5 Diagram alir penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis (Modifikasi Lyraz 1990).

Pelepasan gonggong dari cangkangnya

Pencucian dan penirisan

Komposisi gonggong : bahan penghidrolisis (terpilih) = 1:1, 1:2, 1: 3, 1:4 dan 1:5 (b/v), penambahan garam 15% dan gula 2%

Pemeraman dalam wadah tertutup (fermentasi) pada suhu kamar dengan lama hidrolisis terpilih

Penyaringan dan filtrat dipasteurisasi pada suhu 70oC selama 30 menit Gonggong segar

Seasoningalami terpilih

Perendaman gonggong (garam 4% dalam 1 liter air) selama 48 jam pada 4oC

Pencucian, penirisan dan pemotongan sampai halus

(44)

3.3.2 Penelitian lanjutan

Kegiatan penelitian lanjutan yaitu pembuatan seasoning alami dari

gonggong (Strombus canarium) dengan menggunakan bahan penghidrolisis, lama

hidrolisis dan komposisi terpilih dari penelitian pendahuluan. Perlakuan pada

penelitian lanjutan adalah sebagai berikut :

A. Teknik pemutusan fermentasi

A1. Pasteurisasi

A2. Sterilisasi

B. Lama penyimpanan

B1.0 hari

B2.7 hari

B3.14 hari

Masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Pembuatan

seasoning alami dari gonggong dilakukan dengan fermentasi

(biologis/semibiologis) pada suhu kamar. Penambahan garam 15% dan gula 2%

yang digunakan pada pembuatan seasoningalami dari gonggong didasarkan pada

penelitian pembuatan bekasam (Murtini et al.1997). Setelah dihasilkan seasoning

alami dengan perlakuan tersebut, selanjutnya dilakukan evaluasi karakteristik

sensori (uji hedonik dan uji skoring), karakteristik kimiawi (pH, total asam laktat)

dan uji mikrobiologis (uji TPC) untuk menentukan seasoning alami terbaik.

Kemudian seasoning terbaik dilakukan evaluasi karakteristik sensori (uji

perbandingan pasangan dan deskripsi) dan karakteristik kimiawi (uji proksimat

dan asam amino bebas) terhadapseasoning yang sudah ada di pasaran yaitu saus

tiram “Saori”. Secara ringkas diagram alir penelitian lanjutan disajikan pada

Gambar 6.

3.4 Prosedur Analisis

Prosedur analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji sensori,

(45)

Gambar 6 Diagram alir penelitian lanjutan pembuatan seasoning alami dari gonggong (Modifikasi Lyraz 1990).

Pelepasan gonggong dari cangkangnya

Pencucian dan penirisan

Pembuatan seasoning alami dengan bahan penghidrolisis dan komposisi optimum yang terpilih dari penelitian pendahuluan , penambahan garam 15% dan gula 2%

Pemeraman dalam wadah tertutup (fermentasi) pada suhu kamar, dengan lama hidrolisis terpilih dari penelitian pendahuluan

Pasteurisasi pada suhu 70oC selama 30 menit atau sterilisasi 121 oC selama 15 menit

Uji sensori (uji hedonik, skoring), uji kimiawi (pH, total asam laktat), uji mikrobiologi (TPC) untuk mendapatkan seasoningterbaik

Seasoning alami terbaik dari gonggong

Seasoningterbaik dikarakterisasi sensori (uji deskripsi, uji perbandingan pasangan) dan karakterisasi kimiawi dengan produkseasoningkomersial (saus tiram “saori”)

Penyimpanan seasoningalami pada suhu kamar selama 0 hari, 7 hari dan 14 hari Perendaman gonggong (garam 4% dalam 1 liter air) selama 48 jam pada suhu 4oC

(46)

Sebelum dilakukan pengujian terhadap sampel, dilakukan pelatihan

terlebih dahulu terhadap 20 orang panelis. Secara umum syarat seorang panelis

terlatih adalah sehat, percaya diri, rasa ingin tahu yang tinggi, memahami analisis

sensori, dapat berkonsentrasi dan bersedia meluangkan waktu untuk melakukan

tes. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan panelis yang menyukai produk yang

akan diujikan yaitu seasoning alami dari siput laut gonggong, tidak alergi dan

dapat mengambil keputusan yang tepat dalam penilaian sampel (Setyaningsih

et al. 2010). Pelatihan terhadap panelis dilakukan selama satu minggu. Materi

pelatihan meliputi pengenalan bahan baku (siput laut gonggong yang direbus),

metode seleksi panelis terlatih (Lampiran 2) dan uji coba terhadap semua sampel

yang akan diujikan sampai akhirnya terpilih 10 orang panelis terlatih.

(1) Uji hedonik (hedonic test) (SNI 01-2346-2006)

Uji hedonik berfungsi untuk mengukur tingkat kesukaan panelis terhadap

sampel dengan menggunakan lembar penilaian. Pada uji hedonik, tingkat

kesukaan panelis bervariasi tergantung rentangan mutu yang ditentukan.

Penilaian uji hedonik pada penelitian ini meliputi rasa, aroma dan warna, dengan

skala penilaian berkisar dari 1–9 yaitu: amat sangat suka (9), sangat suka (8), suka

(7), agak suka (6), netral (5), agak tidak suka (4), tidak suka (3), sangat tidak suka

(2), amat sangat tidak suka (1). Lembar penilaian (scoresheet) untuk uji hedonik

dapat dilihat pada Lampiran 3. Penilaian hasil uji hedonik ini selanjutnya dapat

dianalisis secara statistik untuk penarikan kesimpulan.

(2) Uji skoring (SNI 01-2346-2006)

Uji skoring berfungsi untuk menentukan tingkat mutu suatu produk

dengan menggunakan lembar penilaian. Pada uji skoring panelis memberikan

skor dalam penilaian terhadap mutu produk. Pemberian skor adalah memberi

angka nilai atau menempatkan nilai mutu sensorik terhadap bahan yang diuji pada

jenjang mutu atau tingkat skala hedonik. Tingkat skala mutu ini dapat dinyatakan

dalam ungkapan skala mutu yang sudah menjadi baku. Penilaian uji skoring pada

penelitian ini meliputi rasa, aroma dan warna, dengan skala penilaian berkisar dari

Gambar

Tabel 3 Komposisi zat gizi dalam 100 gram buah nenas masak
Gambar 3  Peta penyebaran gonggong di Kepulauan Riau.
Gambar 4  Diagram alir penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis
Gambar 5  Diagram alir penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis
+7

Referensi

Dokumen terkait