• Tidak ada hasil yang ditemukan

The utilization of sea snail gonggong (Strombus canarium) from Bintan Island of Riau-Archipelago as natural seasoning.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The utilization of sea snail gonggong (Strombus canarium) from Bintan Island of Riau-Archipelago as natural seasoning."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

SEASONING

ALAMI

LILY VIRULY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemanfaatan Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) Asal Pulau Bintan-Kepulauan Riau Menjadi Seasoning Alami” adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

(3)

LILY VIRULY. The utilization of sea snail gonggong (Strombus canarium) from Bintan Island of Riau-Archipelago as natural seasoning. Supervised by JOKO SANTOSO and WINARTI

Gonggong is one of the sea snails, endemic species living on coastal waters of Bintan Island and surrounding islands of the Province of Riau-Archipelago. Traditionally, it is used to boost the appetite and vitality. The aim of the study is to utilize gonggong as natural seasoning through fermentation process (biological/semi-biological) to hydrolyze protein from the snail. It was made by using gonggong and pineapple concentrate with the ratio 1:4 (w/v), 2% (w/v) of sugar and 15% (w/v) of salt. Then, the products were fermented in an airproofed container at 25 oC for 10 days. The fermentation proceses were stopped using sterilization (121 oC, 15 min) and pasteurization (70 oC, 30 min). The final product of seasoning was stored for 14 days. At each week, pH, total lactic acid, TPC and hedonic test of the products seasoning were analyzed. The best product of the seasoning was compared to commercial product of oyster sauce (“Saori”) using description, paired comparison and chemistry tests. Results of the research indicated that fresh gonggong contains 19,77% of protein and 4,1 mg/g of free amino acid glutamate. It is more preferred than “Saori” which had been sample pasteurized and stored for 7 days at 25 oC. Levels of pH, total lactic acid, TPC, and free amino acid content of this seasoning were 4,75, 0,53%, 1,48 x 103 cfu/g, and 8,0 mg/g, respectively. It had 7 value of based on hedonic test, furthermore description and paired comparison tests was better than commercial original seasoning (“Saori”). The results suggest that it can be used as an alternative seasoning to replace the synthetic seasoning (MSG).

(4)

LILY VIRULY. Pemanfaatan Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) Asal Pulau Bintan Kepulauan Riau Menjadi Seasoning Alami. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINARTI

Gonggong (Strombus canarium) termasuk sejenis siput laut, biota endemik yang banyak hidup di pantai Pulau Bintan dan sekitarnya, Provinsi Kepulauan Riau. Pengalaman empiris masyarakat Kepulauan Riau membuktikan bahwa gonggong mengandung zat-zat yang berkhasiat untuk penambah nafsu makan dan meningkatkan vitalitas, tetapi tidak semua orang dapat mengkonsumsi gonggong rebus dalam bentuk aslinya, sehingga perlu dicarikan alternatif pengolahan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan siput laut gonggong menjadi seasoning alami dari biota laut melalui proses fermentasi (biologis/semibiologis) untuk menghidrolisis protein gonggong, sehingga menghasilkan senyawa yang dapat membangkitkan cita rasa.

Penelitian pendahuluan meliputi karakterisasi bahan baku (uji proksimat, asam amino bebas), penentuan bahan penghidrolisis (air tajin, jus nenas dan sari nenas) dan lama hidrolisis (10, 20 dan 30 hari) menggunakan RAL faktorial. Tahap ini dilakukan penambahan garam 15% dan gula 2% seta komposisi antara gonggong dan bahan penghidrolisis adalah tetap yaitu 1:1. Kemudian penentuan komposisi menggunakan RAL 1 faktor yaitu komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis terdiri dari 5 perlakuan 1:1, 1:2, 1:3, 1:4 dan 1:5 (b/v). Tahap ini penambahan garam dan gula tetap sama seperti perlakuan sebelumnya. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan. Penelitian lanjutan merupakan pembuatan seasoning alami dari gonggong mencakup perlakuan pemutusan fermentasi yaitu pasteurisasi (70 oC, selama 30 menit) dan sterilisasi komersial (121 oC selama 15 menit) dan seasoning yang dihasilkan disimpan selama 14 hari pada suhu kamar, setiap 7 hari dilakukan pengamatan terhadap nilai pH, total asam, TPC, serta uji sensori (hedonik dan skoring). Seasoning terbaik dibandingkan dengan produk komersial di pasaran (saos tiram “Saori”) melalui uji sensori (uji deskripsi, perbandingan pasangan) dan uji kimiawi (asam amino bebas dan proksimat). Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan. Data non-parametrik (uji sensori) dianalisis dengan menggunakan SNI-01-2346-2006 dan Mann Whitney.

(5)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(6)

SEASONING

ALAMI

LILY VIRULY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

NIM : C351090021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Ir. Winarti, M.S

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Hasil Perairan

Dr.Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(9)

telah diberikan Allah kepadamu; dan syu

jika kamu hanya menyembah kepada

“ Semua yang ada di la

pencari ilmu, daun-daun

semuanya memintakan am

Kupersembahkan

kucintai dan mencintaiku :

Papaku

ketiga buah

Falah

telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah,

jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”

(QS. An

langit dan di bumi memohonkan ampun

aun di ranting hingga ikan-ikan yang a

ampun baginya

(HR.Ahmad)

Kupersembahkan tulisanku ini kepada

kucintai dan mencintaiku :

Papaku Munzier, Mamaku Maznah, Suamiku

ketiga buah hatiku (Faqih M.Arif, Fathimah

Falah M.Taqiyuddin)

kurilah nikmat Allah,

QS. An-Nahl : 114)

punan bagi para

g ada di lautan

kepada orang yang

(10)

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Penguasa alam semesta yang hanya dengan pertolongan dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini berjudul Pemanfaatan Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) Asal Pulau Bintan-Kepulauan Riau MenjadiSeasoning Alami. Penelitian ini merupakan tugas akhir akademik dalam pendidikan di program studi Teknologi Hasil Perairan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini.

1. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ibu Ir. Winarti, M.S sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.

3. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan beserta seluruh staf pengajar atas dorongan semangat dan kemudahan yang diberikan selama studi.

4. Bapak Ian Subastiar dan Bu Ani di Laboratorium Kimia Terpadu-IPB, Ibu Sri dan tim organoleptik Laboratorium Organoleptik PAU Pangan dan Gizi IPB, Ibu Ema Masruroh di Laboratorium Mikrobiologi, THP-FPIK-IPB, yang telah memberikan kemudahan dan semangat selama penelitian.

5. Ayahanda A.V. Munzier dan ibunda Hj. Maznah yang senantiasa memberikan doa dan semangat.

6. Suamiku tercinta Muzahar, S.Pi, M.Si yang senantiasa memberikan doa, semangat, dan bantuan penelitian baik tenaga maupun dana untuk kesuksesan penulis.

7. Rekan-rekanku di Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan 2009 : Untung, Vivin, Mutia, Deni dan Yoyo atas kebersamaannya selama belajar.

8. Teman-teman seperjuangan untuk menuju kehidupan mulia (Ir.Nurlisa A. Butet, M.Sc; Desniar, M.Si; Dr. Sri Nuryati, Ir. Hanum S, M.Si; Nindira, M.Si; Emilda, M.Si dan lain-lain) yang senatiasa mendoakan dan memberikan dorongan kepada penulis.

(11)

kritik demi penyempurnaan tulisan/tesis ini sangat diharapkan penulis. Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Bogor, April 2011

(12)

Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera Selatan pada tanggal 30 Juli 1972 dari ayah A.V. Munzier, B.Sc dan ibu Hj. Maznah. Penulis merupakan puteri kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 1997 penulis menikah dengan Muzahar, S.Pi, M.Si dan dikaruniai tiga orang anak (Faqih, Fathimah dan Falah)

Tahun 1991 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Baturaja dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian dan menamatkannya pada tahun 1995. Pada tahun 1995-1997 penulis menjadi tutor pada bimbingan belajar TEKNOS Bogor, pada tahun 1999-2006 penulis menjadi dosen tidak tetap pada Akademi Perikanan Wachyuni Mandira, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan yang kegiatan operasionalnya dibiayai oleh Gajah Tunggal Grup, pada tahun 2006-2007 penulis menjadi tutor pada bimbingan belajar PRIMAGAMA Tanjungpinang - KEPRI dan pada tahun 2007 - sekarang penulis menjadi Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan - Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

(13)

Halaman

2.1 Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) ………... 6

(14)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 40

4.1 Penelitian Pendahuluan ………... 40

4.1.1 Karakteristik bahan baku ……… 40

4.1.2 Hasil penentuan bahan penghidrolisis serta lama hidrolisis ... 43

4.1.3 Hasil penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis 47 4.2 Penelitian Lanjutan ……….. 48

4.2.1 Hasil uji sensori ……….. 49

(1) Hasil uji hedonik ………... 49

(2) Hasil uji skoring ……… 51

4.2.2 Karakteristik kimiawi ………. 52

(1) Nilai pH ………. 52

(2) Nilai total asam laktat tertitrasi ………. 54

4.2.3 Nilai total uji mikrobiologi (total plate count/TPC) …………... 55

4.2.4 Seasoningalami terbaik dari siput laut gonggong ……….. 57

(1) Karakteristik sensori ………. 58

(a) Hasil uji deskripsi ……… 58

(b) Hasil uji perbandingan pasangan ……… 61

(2) Karakteristik kimiawi ……… 62

(a) Komposisi asam amino bebas ………. 63

(b) Komposisi proksimat ……….. 65

5 SIMPULAN DAN SARAN ……….. 68

5.1 Simpulan ………. 68

5.2 Saran ……….... 68

DAFTAR PUSTAKA ……….. 69

(15)

Halaman

1 Perbandingan nilai gizi gonggong dengan kerang-kerangan ………….. 8

2 Komposisi kimia beras ………... 12

3 Komposisi zat gizi dalam 100 gram buah nenas masak ………. 13

4 Hubungan antara waktu elusi dengan gradien buffer B ……….. 35

5 Komposisi proksimat siput laut gonggong ………. 41

6 Komposisi asam amino bebas siput laut gonggong ……… 42

7 Komposisi asam amino bebas pada gonggong (segar,seasoningalami) dan seasoningkomersial (saus tiram “ Saori”, Protextrait-Lyraz)... 63

(16)

Halaman 1 Gonggong di Kepulauan Riau ……….. 7 2 Struktur molekul monosodium glutamat (MSG) ………. 17 3 Peta penyebaran gonggong di Kepulauan Riau ………... 23 4 Diagram alir penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis …….. 25 5 Diagram alir penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis 26 6 Diagram alir penelitian lanjutan pembuatan seasoning………... 28 7 Siput laut gonggong yang masih hidup sebelum dilepas dari

cangkangnya ... 40 8 Nilai hidrolisat protein pada penentuan bahan penghidrolisis dan lama

hidrolisis ………... 43

9 Nilai hidrolisat protein pada penentuan komposisi gonggong dan bahan

penghidrolisis ………..………. 47

10 Nilai hedonik terhadap rasa, aroma dan warna pada perlakuan

pembuatan seasoningalami dari gonggong………... 50 11 Skor hedonik terhadap rasa, aroma dan warna pada perlakuan

pembuatan seasoningalami dari gonggong…...……… 51 12 Nilai pH pada perlakuan pembuatan seasoningalami dari

gonggong………... 53 13 Nilai total asam laktat tertitrasi pada perlakuan pembuatan seasoning

alami dari gonggong………... 54 14 Nilai toal mikroba (TPC) pada perlakuan pembuatan seasoningalami

dari gonggong………... 56 15 Seasoningalami terbaik dari siput laut gonggong ………... 57 16 Spider web atribut mutu seasoningalami terbaik dari siput laut

(17)

Halaman

1 Proses pembuatan jus nenas dan sari nenas ………. 75

2 Metode seleksi panelis terlatih...………. 76

3 Lembar penilaian pada uji hedonik ……….. 77

4 Lembar penilaian pada uji skoring ………... 78

5 Lembar penilaian pada uji deskripsi ……….... 79

6 Lembar penilaian pada uji perbandingan pasangan……….. 80

7 Rekapitulasi hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis ………... 81

8 Rekapitulasi hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis ………... 83

9 Rekapitulasi hasil uji hedonik ………... 84

10 Rekapitulasi hasil uji skoring ………... 85

11 Rekapitulasi data dan hasil ANOVA dan uji Duncan pada nilai pH …. 86 12 Rekapitulasi data dan hasil ANOVA dan uji Duncan pada total asam laktat tertitrasi ……….. 87

13 Rekapitulasi data dan hasil ANOVA dan uji Duncan pada nilai TPC ... 88

14 Rekapitulasi data dan analisis non-parametrik uji perbandingan pasangan ………... 89

(18)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia yang dikenal sebagai negara mega-biodiversity memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia termasuk kawasan pesisir dan laut. Tingginya keanekaragaman jenis biota laut di Indonesia tersebut terdiri dari 833 jenis tumbuh-tumbuhan laut (alga, lamun, mangrove), 910 jenis karang (Coelenterata), 850 jenis sponge (Porifera), 2500 jenis kerang dan keong (Mollusca), 1502 jenis udang dan kepiting (Crustacea), 745 jenis hewan berkulit duri (Echinodermata), 2000 jenis ikan (Pisces), 148 jenis burung laut (Aves), dan 30 jenis hewan menyusui (Mamalia) (Romimohtarto dan Juwana 2009).

Salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi tetapi belum banyak dikenal adalah siput laut gonggong (Strombus canarium). Siput laut gonggong merupakan biota endemik yang banyak hidup di pantai Pulau Bintan dan sekitarnya, seperti Pulau Dompak, Pulau Lobam, Pulau Mantang, Senggarang, dan Tanjung Uban. Produksi gonggong di Kepulauan Riau tidak pernah tercatat secara resmi di Dinas Kelautan dan Perikanan, karena panen gonggong tidak dijual melalui pelabuhan penangkapan ikan. Menurut informasi

nelayan, produksi gonggong di Pulau Bintan cukup banyak, sekitar 500-600 ekor/nelayan/hari bahkan pada bulan Mei sampai Oktober diperkirakan

dapat mencapai 3000–4000 ekor/nelayan/hari1). Hal ini mengindikasikan bahwa gonggong tersedia sepanjang tahun di Kepulauan Riau, sehingga gonggong menjadi “Icon” Provinsi Kepulauan Riau. Kajian ilmiah mengenai gonggong masih sangat terbatas. Studi pendahuluan gonggong di perairan Pulau Bintan yang difokuskan pada komposisi proksimat pernah dilakukan Amini pada tahun 1984. Setelah itu belum ada lagi kajian ilmiah, oleh karena itu perlu adanya kajian lanjutan tentang gonggong dalam rangka memperkenalkan Kepulauan Riau sebagai pulau penghasil gonggong terbesar di Indonesia dan menjadikan gonggong sebagai hasil laut yang potensial untuk dimanfaatkan. Sampai saat ini gonggong belum banyak diketahui atau dikenal oleh masyarakat di luar Kepulauan Riau.

1)

(19)

Masyarakat Kepulauan Riau memanfaatkan gonggong sebagai makanan pembuka pada hidangan asal laut (sea food). Pengolahan yang dilakukan masih sangat sederhana berupa gonggong rebus dan dimakan bersama saus sambel atau saus kacang. Masyarakat Kepulauan Riau menawarkan gonggong rebus sebagai wisata kuliner kepada para turis domestik maupun mancanegara. Pengalaman empiris masyarakat Kepulauan Riau membuktikan bahwa gonggong mengandung zat-zat yang berkhasiat untuk penambah nafsu makan dan meningkatkan vitalitas. Masyarakat meyakini bahwa gonggong rebus mengandung protein tinggi, rendah lemak dengan rasa daging yang enak dan lezat. Daging gonggong memiliki cita rasa yang khas yaitu bagian ujung yang rasanya kenyal seperti daging cumi-cumi tetapi di bagian ujung lainnya berupa daging yang lembut dan gurih. Gonggong juga dimanfaatkan sebagai obat kuat (meningkatkan vitalitas) karena kandungan proteinnya tinggi. Sejak tahun 1970-an para ibu-ibu selalu mencari gonggong untuk direbus dan dimakan bersama-sama dengan nasi tatkala ada anggota keluarga yang kurang nafsu makan dan kekurangan gizi, tetapi tidak semua orang dapat mengkonsumsi gonggong rebus dalam bentuk aslinya, sehingga perlu dicarikan alternatif pengolahan. Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa persentase kandungan protein daging gonggong rebus lebih tinggi dari tiram. Penelitian yang dilakukan Amini (1984) menunjukkan bahwa kadar protein gonggong rebus sebesar 15,38%, sedangkan tiram hanya 9,47%.

(20)

Siput laut gonggong memiliki struktur daging yang kenyal dengan kandungan protein yang tinggi. Kandungan asam glutamat bebas pada makluk hidup banyak ditemukan di organ otot, otak, dan hati (Kondoh et al. 2009). Oleh karena itu gonggong dapat diolah menjadi pembangkit cita rasa (seasoning) alami melalui proses fermentasi (biologis/semibiologis). Dewasa ini banyak sekali berkembang pembangkit cita rasa (seasoning) atau dikenal dengan istilah flavor potentiatoryang berfungsi untuk meningkatkan rasa enak atau menekan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Produk ini menimbulkan aroma yang

bisa membangkitkan selera makan. Sebagai contoh, penambahan asam L-glutamat (monosodium glutamat) pada sop akan menimbulkan cita rasa enak.

Hanya saja di Indonesia belum ada seasoning alami yang berasal dari biota laut tanpa MSG. Asam glutamat pada MSG diperoleh secara sintetik dari hidrolisis asam menggunakan HCl terhadap bahan-bahan seperti gandum, jagung atau molase. Kemudian dilakukan netralisasi dengan NaOH dan dikristalkan. Hasil penelitian membuktikan bahwa bila MSG dikonsumsi dalam dosis tinggi (0,5 g/kg berat badan/hari) akan sangat berbahaya bagi manusia, karena dapat mengakibatkan kerusakan sel-sel syaraf otak khususnya di bagian hipotalamus, kelumpuhan, penurunan kecerdasan, kerusakan retina mata, pertumbuhan terganggu dan kegemukan (Olney 1969; Terranishi et al. 1998; Kondoh et al. 2009).

(21)

mampu memecah protein juga dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi ikan (Whitehurst dan Oort 2010).

Berpijak pada hal tersebut, seasoningalami dapat diekstrak dari biota laut sebagai pembangkit cita rasa alami. Secara umum hampir setiap makanan olahan di Indonesia menggunakan pembangkit cita rasa sintetik (utamanya MSG) sekalipun berefek buruk bagi kesehatan manusia. Untuk itu perlu dilakukan upaya mencari sumber pembangkit cita rasa alami yang aman bagi kesehatan manusia. Salah satunya adalah dengan pembuatan seasoningalami dari biota laut yang diekstrak dari daging siput laut gonggong (Strombus canarium).

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah pemanfaatan siput laut gonggong (Strombus canarium) menjadi seasoningalami melalui proses fermentasi (biologis/semibiologis) untuk menghidrolisis protein gonggong, sehingga dihasilkan senyawa yang dapat membangkitkan cita rasa, dan menjadi alternatif pengganti pembangkit cita rasa komersial yang ada di pasaran. Tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

(1) Menentukan bahan penghidrolisis, lama hidrolisis serta komposisi terbaik yang digunakan dalam pembuatan seasoningdari gonggong.

(2) Menghasilkan seasoning alami dari gonggong melalui dua teknik pemutusan proses fermentasi (pasteurisasi dan sterilisasi) dan mengetahui lama penyimpanannya pada suhu kamar.

(3) Mengevaluasi seasoning alami yang dihasilkan, untuk menentukan seasoningalami terbaik melalui evaluasi karakteristik sensori, kimiawi dan mikrobiologi.

(22)

1.3 Hipotesis

Hipotesis yang diuji melalui penelitian ini yaitu :

(1) Bahan penghidrolisis, lama hidrolisis, dan komposisi mempengaruhi hidrolisat protein daging gonggong selama fermentasi (biologis/semibiologis).

(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Siput Laut Gonggong (Strombus canarium)

Gonggong termasuk sejenis siput laut (Strombus canarium L.1758), merupakan salah satu hewan lunak (Mollusca), banyak hidup di pantai Pulau Bintan dan sekitarnya, seperti Pulau Dompak, Pulau Lobam, Pulau Mantang, Senggarang, dan Tanjung Uban (Amini 1984). Gonggong merupakan Mollusca yang termasuk kelas Gastropoda dengan spesies Strombus sp. Klasifikasi gonggong menurut Zaidi et al. (2009) adalah sebagai berikut :

Filum : Mollusca

Seperti halnya dengan kelas Gastropoda lainnya, ciri-ciri gonggong ialah memiliki cangkang berbentuk asimetri seperti kerucut, terdiri dari tiga lapisan periostraktum, lapisan prismatik yang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan lapisan nakre (lapisan mutiara). Gonggong berjalan dengan perut dan biasanya menggulung seperti ulir memutar ke kanan, menggendong cangkang yang berwarna coklat kekuningan, kakinya besar dan lebar untuk merayap dan mengeruk pasir atau lumpur. Sewaktu bergerak hewan ini menghasilkan lendir, sehingga pada tempat yang dilalui meninggalkan bekas lendir. Cangkang digunakan untuk melindungi diri dari serangan musuh atau kondisi lingkungan yang tidak baik (Zaidi et al. 2009).

(24)

dengan proses perkawinan semu antara dua gonggong. Tidak lama setelah melakukan perkawinan semu gonggong akan bertelur dan telur menetas bergantung pada kondisi lingkungannya (Zaidi et al. 2008). Pernapasan dilakukan dengan sebuah paru-paru di dalam rongga mantel. Sistem syaraf tipikal terdiri dari tiga pasang ganglia(serebraldi atas mulut, pedal di kaki, visceraldi tubuh), digabungkan oleh penghubung membujur dan melintang dari syaraf-syaraf, dengan alat inilah hewan tersebut menyentuh, membau dan merasa. Hewan ini memiliki bintik mata atau mata majemuk dan statosista untuk keseimbangan (Romimohtarto dan Juwana 2009).

Menurut Amini (1984) gonggong hidup tersebar di sepanjang pantai dengan dasar perairan pasir lumpur atau pasir campur lumpur yang banyak ditumbuhi tanaman laut seperti rumput setu, samo-samo (Enhalus accoroides), Thalassia spp. dan lain-lain. Kondisi perairan dimana banyak ditemukan gonggong, salinitasnya berkisar antara 26-32%, pH antara 7,1–8,0, oksigen terlarut 4,5–6,5 ppt, kecerahan air 0,5–3,0 m dan suhu antara 26-30 oC. Bentuk gonggong yang berasal dari Kepulauan Riau dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Gonggong (Strombus canarium) di Kepulauan Riau. A. Pergerakan Gonggong dari cangkangnya. B. Habitat gonggong bersama samo-samo (Enhalus sp).

(Amini 1984)

Hasil pengamatan dan penuturan para nelayan bahwa musim gonggong untuk perairan Bintan terjadi pada bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Musim gonggong dipengaruhi oleh lama tidaknya surut terendah pada bulan-bulan tertentu. Saat air laut surut banyak dilakukan penangkapan gonggong yang bermunculan di permukaan pasir ataupun lumpur. Gonggong ditangkap apabila

(25)

keadaan air laut surut/kering dan terjadi pada siang atau sore hari. Apabila surut terendah terjadi pada malam hari tidak dilakukan penangkapan. Penangkapan gonggong hanya diambil dengan tangan (Amini 1984). Tetapi dewasa ini penangkapan gonggong tidak perlu menunggu waktu air laut surut karena nelayan sudah membuat alat tangkap khusus gonggong berupa pukat/jaring yang diberi pemberat dari besi, sehingga panen gonggong menjadi lebih mudah dan memberikan hasil lebih banyak.

Gonggong mengandung kadar protein yang tinggi jika dibandingkan dengan kadar protein dari jenis kerang-kerangan lainnya. Adapun nilai gizi gonggong dan jenis kerang-kerangan lain dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan nilai gizi gonggong dengan kerang-kerangan (%)

Jenis Kadar air Protein Lemak Kadar abu

(26)

Fukami et al. (2000) menjelaskan bahwa pada prinsipnya fermentasi adalah proses perubahan substrat organik yang kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana dengan adanya aktivitas enzim atau mikroba dalam keadaan terkontrol, dan komponen yang dihasilkan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan serta perubahan yang terjadi dapat memperbaiki nilai gizi produk. Menurut Ichimura et al. (2003) fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Hasil fermentasi tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), jenis mikroba dan kondisi di sekeliling yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut.

Berdasarkan sumber mikroba yang berpengaruh dalam fermentasi, maka fermentasi makanan dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembangbiak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Fermentasi tidak spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya ditambahkan mikroba dalam bentuk kultur atau starter, mikroba inilah yang akan berkembangbiak dan aktif dalam mengubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan (Fardiaz 1993).

(27)

Apabila selama proses fermentasi ikan digunakan beras sebagai substrat maka akan terjadi perubahan pada pH, kadar air dan proteinnya. Semakin lama fermentasi maka nilai pH dari suatu produk akan semakin turun. Penurunan pH ini disebabkan terbentuknya asam laktat yang akan berpengaruh terhadap nilai pH dari produk, sedangkan untuk kandungan proteinnya tergantung dari jenis dan perbandingan bahan yang digunakan. Produk yang berkualitas baik dapat diperoleh jika keberadaan khamir dan kapang dapat dihindarkan, karena akan menyebabkan terbentuknya alkohol, sehingga dapat menurunkan mutu produk (Rahayu dan Suliantari 1990).

Fermentasi yang dilakukan pada wadah tertutup dapat menghasilkan produk solubilisasi berupa cairan atau semi cair yang mempunyai bau, rasa dan penampakan khas. Setelah itu, cairan dikeluarkan dari wadah dan diproses lebih lanjut dengan penyaringan sebelum dikemas. Proses yang lain menghasilkan produk yang masih menampakkan bentuk ikan sehingga jenis ikan yang digunakan masih dapat dikenali. Secara garis besar produk perikanan yang dihasilkan dari berbagai proses fermentasi dapat digolongkan ke dalam tiga tipe produk, yaitu : (1) produk yang sebagian besar bentuk asli ikan atau potongan ikan dipertahankan, (2) produk yang bentuk asli ikannya direduksi ke dalam bentuk pasta, (3) produk yang bentuk asli ikannya direduksi ke dalam bentuk cairan (Irianto dan Giyatmi 2009).

(28)

meningkatkan tekanan osmotik substrat, menyebabkan terjadinya penarikan air dalam bahan pangan, sehingga aw (water activity) bahan pangan akan menurun dan mikroorganisme tidak akan tumbuh. Selain itu, garam dapat menyebabkan terjadinya penarikan air dari sel mikroorganisme sehingga sel akan kehilangan air dan mengalami pengerutan, ionisasi garam akan menghasilkan ion klor yang beracun terhadap mikroorganisme dan dapat mengganggu kerja enzim proteolitik karena dapat menyebabkan denaturasi protein (Rahayu et al.1992).

Beberapa keuntungan lain produk fermentasi selain memiliki rasa dan aroma yang lebih diterima oleh konsumen adalah dapat meningkatkan kandungan vitaminnya sehingga lebih mudah dicerna dan dapat menghilangkan racun pada beberapa bahan makanan, misalnya peyem, dan tempe bongkrek (Jay et al. 2005).

1.2.1 Bahan penghidrolisis

Banyak produk makanan yang diproduksi melalui proses fermentasi seperti keju, sosis, asinan, anggur, dan kecap ikan. Semua produk fermentasi tersebut sangat dipengaruhi oleh bahan penghidrolisis yang dapat berfungsi sebagai substrat bagi mikroorganisme atau media yang dapat menghasilkan enzim selama proses fermentasi. Produk-produk fermentasi selalu memiliki karakteristik aroma dan rasa yang khas. Bahan penghidrolisis yang digunakan umumnya mengandung karbohidrat tinggi misalnya beras, kedelei, dan gandum atau bahan-bahan yang mengandung enzim yang dapat memecah protein (Jay et al.2005).

Bahan penghidrolisis yang dapat berfungsi sebagai substrat dalam proses fermentasi ikan berasal dari bahan baku yang banyak mengandung karbohidrat (Suliantari dan Rahayu 1990; Murtini et al.1997). Selain itu, enzim bromelin dari buah nenas juga mampu memecah protein, sehingga dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi ikan (Whitehurst dan Oort 2010).

(1) Air tajin (air didihan beras)

(29)

didalamnya terkandung berbagai vitamin B dan berbagai zat gizi dari beras. Beras adalah hasil pengupasan dari gabah yang merupakan biji padi. Padi (Oryza sativa) merupakan tanaman yang banyak dijumpai di daerah Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di Indonesia, sehingga konsumsi beras dalam bentuk olahan sangat sedikit dibandingkan dengan yang dikonsumsi secara langsung dengan ditanak (Suliantari dan Rahayu 1990). Sebagai sumber karbohidrat, beras mempunyai nilai gizi yang cukup baik jika dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya. Komposisi kimia beras dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia beras

Sumber : Suliantari dan Rahayu (1990)

Beras mengandung pati yang terdapat dalam bentuk granula-granula pati. Pati adalah polimer molekul-molekul glukosa dengan ikatan alfa 1-4 glukosida. Polimer yang lurus dikenal dengan nama amilosa sedangkan polimer yang bercabang adalah amilopektin. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin pada beras bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis berasnya. Beras dengan kandungan amilosa 17–22% akan terasa pulen, sedangkan yang kadar amilosanya 25% atau lebih akan terasa pera dan bila dimasak kemudian didinginkan akan terasa keras. Dengan demikian kandungan amilosa dan amilopektin pada air tajin juga ditentukan oleh jenis beras yang ditanak (Suliantari dan Rahayu 1990).

(30)

pembantu dalam proses fermentasi seperti pada pembuatan bekasam, tauco atau kecap (Suliantari dan Rahayu 1990; Murtini et al.1997).

(2) Nenas (Ananas comosus)

Tanaman nenas termasuk famili Bromeliceae dari kelas Monokotyledoneae. Nenas merupakan tanaman hortikultura yang mulai berproduksi pada umur 12 bulan. Nenas adalah salah satu buah tropis dengan daging buah berwarna kuning dan memiliki kandungan air 90%, kaya vitamin dan mineral. Buah nenas juga terdapat enzim yang dikenal dengan nama enzim bromelin. Enzim bromelin merupakan suatu enzim protease yang mampu memecah protein menjadi asam amino dan peptidanya. Enzim bromelin dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk membantu melunakkan daging yang akan diolah seperti halnya enzim papain yang dihasilkan dari tanaman papaya. Enzim bromelin tidak rusak karena pembekuan, akan tetapi akan inaktif bilamana buah nenas dipanaskan dengan cara pasteurisasi maupun sterilisasi (Muljohardjo 1990).

Daging buah nenas juga banyak mengandung karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (sukrosa, fruktosa dan glukosa). Buah nenas yang masak mengandung zat gizi yang cukup tinggi. Tabel 3 menunjukan kandungan zat gizi dalam 100 gram buah nenas.

Tabel 3 Komposisi zat gizi dalam 100 gram buah nenas masak

Komponen Jumlah

(31)

1.2.2 Teknik pemutusan proses fermentasi

Mikrooganisme banyak terdapat di udara, air dan tanah. Proses fermentasi merupakan salah satu cara pengolahan makanan secara tradisional yang melibatkan aktivitas mikroorganisme (bakteri, kapang dan khamir) pada suhu kamar. Proses pemutusan fermentasi diperlukan untuk mengeliminasi mikroba sehingga fermentasi tidak berlanjut. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kualitas produk yang diinginkan, membunuh mikroorganisme pembusuk dan patogen. Umumnya untuk membunuh jasad renik pada proses fermentasi dilakukan dengan dua cara yaitu pasteurisasi dan sterilisasi (Fardiaz 1989; Jay et al.2005; Irianto dan Giyatmi 2009; Whitehurst dan Oort 2010).

(1) Pasteurisasi

Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu dimana semua mikroba patogen yang berbahaya bagi manusia akan terbunuh, misalnya bakteri penyebab tuberculosis. Pasteurisasi biasanya dilakukan terhadap susu, karena proses ini dapat mencegah penyakit yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dalam waktu yang relatif lama, yaitu 65 oC selama 30 menit. Proses pasteurisasi dapat dilakukan dengan menggunakan waterbath atau alat pasteurisasi (continuous pasteurizer). Beberapa bakteri vegetatif yang tahan panas (termofil) dan berspora, masih tahan terhadap proses pasteurisasi. Produk yang dipasteurisasi harus segera didinginkan dengan cepat untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang masih hidup (Fardiaz 1993; Whitehurst dan Oort 2010).

(32)

dengan suhu lebih tinggi dalam waktu singkat high temperature-short time (HTST). Pasteurisasi dengan LTLT dilakukan pada suhu 63 oC selama 30 menit dan HTST pada suhu 72 oC selama 15 detik. Pasteurisasi dengan LTLT atau HTST hanya dapat membunuh Mycobacterium yang termasuk golongan psikotropik, misalnya Streptococcus, Enterococcus, Microbacterium, Lactobacillus, Mycobacterium dan Corynebacterium (Jay et al. 2005). Inaktifasi enzim protease dilakukan dengan pasteurisasi pada suhu 50-80 oCselama 30 menit untuk melindungi produk akhir dari terjadinya reaksi Maillard dan terbentuknya struktur asam amino lisin-alanin yang sangat berpengaruh pada cita rasa produk akhir dan menyebabkan kerusakan produk (Whitehurst dan Oort 2010).

(2) Sterilisasi

Sterilisasi adalah suatu proses untuk membunuh semua jasad renik yang ada, sehingga jika ditumbuhkan di dalam suatu medium tidak ada lagi jasad renik yang dapat berkembangbiak. Sterilisasi harus dapat membunuh jasad renik yang paling tahan terhadap panas yaitu spora bakteri. Sterilisasi yang digunakan dalam pengolahan pangan dikenal dengan nama sterilisasi komersial yaitu suatu proses untuk membunuh semua jasad renik yang dapat menyebabkan kebusukan makanan pada kondisi suhu penyimpanan yang ditetapkan. Proses sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan autoklaf untuk membunuh spora bakteri yang paling tahan panas yaitu pada suhu 121 oC selama 15 menit. Untuk sterilisasi bahan cair seperti susu juga dapat dilakukan pada suhu yang relatif tinggi dalam waktu yang sangat singkat, yaitu 135–150oC selama 2–6 detik, yang dikenal dengan proses Ultra High Temperature(UHT) (Fardiaz 1989).

(33)

2 yaitu continuous operation (sterilisasi pada suhu tinggi 150 oC dengan waktu kontak yang singkat 3–5 menit) dan batch operation(sterilisasi pada suhu rendah 121 oC dengan waktu kontak lebih lama 30–60 menit). Continuous operation umumnya digunakan untuk produk cair atau larutan sedangkan batch operation digunakan pada produk padat atau produk yang tidak dapat larut air (Whitehurst dan Oort 2010).

2.3 Pembangkit Cita Rasa (Seasoning)

Menurut Winarno (2008) seasoning atau dikenal dengan pembangkit cita rasa adalah suatu proses memberi flavor atau memperbaiki flavorpada makanan. Seasoning dikenal juga dengan istilah flavor potentiator yaitu suatu bahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan rasa enak (flavor enhancer) atau menekan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Bahan itu sendiri tidak atau sedikit mempunyai cita rasa. Flavor potentiator (seasoning) merupakan senyawa yang mampu meningkatkan rasa dan mengurangi rasa yang tidak diinginkan seperti rasa bawang yang tajam, rasa sayuran mentah yang tidak menyenangkan, ataupun rasa pahit pada sayuran yang dikalengkan. Seasoning juga mampu meningkatkan rasa asin, atau memperbaiki keseimbangan cita rasa makanan olahan. Seperti contohnya, penambahan asam L-glutamat pada daging atau sop akan menimbulkan cita rasa yang lain dari cita rasa asam amino tersebut (Farrel 1985; Reineccius 1994; Winarno 2008).

(34)

Gambar 2 Struktur molekul monosodium glutamat (MSG).

(Reineccius 1994)

Struktur MSG tersebut memiliki satu karbon asimetrik, yaitu karbon keempat dari kiri. Karbon tersebut terikat oleh empat gugus yang saling berbeda, sehingga asam glutamat maupun garamnya terdapat dalam tiga bentuk, yaitu isomer L dan D dan bentuk resemik DL. Bentuk L adalah bentuk yang terdapat di alam, dan juga merupakan bentuk isomer yang aktif. Bentuk L inilah yang memiliki kekuatan membangkitkan atau mempertegas cita rasa beberapa komoditi misalnya daging, ikan serta berbagai hidangan lain.

Asam glutamat diperoleh dari bahan yang mengandung protein dan dapat dibuat secara hidrolisis asam dari bahan-bahan seperti gandum, jagung atau molase. Asam glutamat terbentuk dengan cara melarutkan bahan-bahan tersebut ke dalam asam klorida (HCl) hingga pH 3,2 dan akan terbentuk kristal secara lambat. Kemudian dilakukan netralisasi dengan NaOH atau dekolorisasi dan dikristalkan. Zaman dahulu di negeri Cina, senyawa pembangkit cita rasa yang kini dikenal dengan nama MSG diproduksi dari rumput laut, tetapi sekarang MSG dibuat dan diproduksi secara besar-besaran dengan menggunakan bahan mentah gluten dari gandum, jagung, kedelei serta dari hasil samping pembuatan gula bit atau molase gula tebu. Selain itu, MSG juga dapat dibuat dari hasil fermentasi karbohidrat. Di Indonesia MSG lebih banyak diproduksi dari molase. Asam glutamat yang muncul dari proses pembuatan gula biasanya berbentuk glutamin. Glutamin diubah menjadi asam glutamat dalam bentuk L-glutamat dan pirolidin karboksilat (Bellanca dan Furia 2000; Winarno 2008).

(35)

sebagai penyedap rasa pada masakan sup, sayuran, dan pengolahan makanan berbahan dasar ikan atau daging (sosis, bakso, burger, steak, kornet, sarden, ikan asap dan lain-lain). Mekanisme kerja MSG sehingga dapat menambah cita rasa adalah disebabkan oleh hidrolisis protein dalam mulut (Pikielna dan Kostyra 2007; Winarno 2008).

Senyawa MSG dapat menyebabkan sel reseptor rasa lebih peka sehingga dapat menikmati rasa dengan lebih baik (Brand 2000). Jika MSG dikonsumsi sewaktu perut masih kosong atau lapar dalam hidangan sup dengan kadar MSG yang biasanya relatif sangat tinggi, maka MSG dapat dengan cepat terserap ke dalam darah yang kemudian menyebabkan manusia menderita penyakit CRS (Chinese Restaurant Syndrome). Konsumsi MSG dengan dosis 0,8% dalam 300-400 ml sup pada saat perut kosong dapat menyebabkan CRS (Zautcke et al. 1986). Ciri-ciri penyakit CRS diantaranya: orang tersebut merasa kesemutan pada punggung leher, rahang bawah, serta leher bagian bawah yang kemudian terasa panas, wajah berkeringat, sesak dada bagian bawah, dan pusing kepala. Hasil penelitian terhadap serum darah pasien, ternyata glutamat bukan senyawa penyebab langsung munculnya CRS tetapi disebabkan oleh senyawa hasil metabolisme glutamat seperti GABA (gamma amino butyric acid), serotinin dan histamin (Zautcke et al. 1986; Reineccius 1994; Winarno 2008).

(36)

Menurut Hayashi et al. (1981) asam amino bebas seperti asam glutamat, alanin, glisin dan arginin dapat memberikan rasa enak dan lezat yang dikenal dengan nama umami (sebutan rasa enak atau deliciousness yang dikenal di Jepang). Secara umum senyawa pembangkit cita rasa umami pada makanan berupa nukleotida seperti disodium 5’inosinnat (IMP) dan disodium 5’guanilat (GMP) dan monosodium L-glutamat (MSG). Nukleotida ini dapat dibuat secara sintetik maupun secara alami dan dapat ditemukan juga pada bahan baku ikan, daging, hewan krustasea dan hewan moluska (Lee 1994). Selain glutamat bebas, asam amino glisin bebas juga dapat berkontribusi sebagai senyawa pembangkit cita rasa. Asam amino bebas glisin merupakan asam amino nonpolar dan banyak terdapat secara bebas di dalam jaringan kolagen (2/3 protein kolagen adalah glisin) dan dapat memberikan rasa manis pada makanan (Rousseaux 2008).

(37)

makanan. (3) Aspek immunopatologis bahwa MSG mengandung residu yang dapat menurunkan tingkat kekebalan tubuh (WHO 1987).

(38)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Nopember 2009 sampai dengan Februari 2011. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium di lingkup Institut Pertanian Bogor, yaitu Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB; Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Organoleptik di Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Kimia Terpadu, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

(39)

NaCl, buffer pH 4 dan 7, K2CO3, garam fisiologis, plate count agar (PCA), ortoftalaldehida(OPA) dan sulfosalycylic acid(SSA).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian juga dapat dibagi menjadi peralatan yang digunakan untuk membuat seasoning dan peralatan untuk analisis. Peralatan yang digunakan untuk membuat seasoning antara lain : pisau, telenan, alat peniris, palu, pinset, baskom, thermometer, alumunium foil dan botol-botol gelas sebagai wadah penyimpanan. Peralatan yang digunakan untuk analisis antara lain : timbangan analitik, pH-meter digital, oven, tanur, cawan conway, desikator, Kjeltec system, Soxhlet system, stirrer, waterbath, autoklaf, kertas saring milipore, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), dan peralatan gelas lainnya.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi : (1) Karakterisasi kimia gonggong segar (uji proksimat dan asam amino bebas), (2) Penentuan bahan penghidrolisis, lama hidrolisis dan komposisi terbaik yang akan digunakan dalam pembuatan seasoning pada penelitian lanjutan. Penelitian lanjutan adalah pengolahan gonggong menjadi seasoning alami melalui dua teknik pemutusan proses fermentasi yaitu pasteurisasi dan sterilisasi serta menentukan karakteristik produk tersebut pada suhu kamar.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

(40)

Gambar 3 Peta penyebaran gonggong di Kepulauan Riau.

(41)

A. Bahan penghidrolisis A1. Air tajin

A2. Jus nenas A3. Sari nenas B. Lama hidrolisis

B1. 10 hari B2. 20 hari B3. 30 hari

(3) Penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis. Penentuan ini menggunakan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis terpilih dari perlakuan sebelumnya dan masing-masing dilakukan tiga kali ulangan. Perlakuan pada penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis adalah sebagai berikut :

a. 1 : 1 b. 1 : 2 c. 1 : 3 d. 1 : 4 e. 1 : 5

(42)

Gambar 4 Diagram alir penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis (Modifikasi Lyraz 1990).

Pelepasan gonggong dari cangkangnya

Perendaman gonggong (garam 4% dalam 1 liter air) selama 48 jam pada 4oC Karakterisasi kimia

(uji proksimat, uji asam amino bebas)

Komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis (air tajin, juice nenas ,sari nenas) = 1:1 b/v, penambahan garam 15% dan gula 2%

Pemeraman dalam wadah tertutup (fermentasi) pada suhu kamar, dengan lama hidrolisisis (10, 20 dan 30 hari)

Penyaringan dan filtrat dipasteurisasi pada suhu 70oC selama 30 menit Gonggong segar

Seasoningalami terpilih Pencucian dan penirisan

Perhitungan rendemen hasil hidrolisis

(43)

Gambar 5 Diagram alir penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis (Modifikasi Lyraz 1990).

Pelepasan gonggong dari cangkangnya

Pencucian dan penirisan

Komposisi gonggong : bahan penghidrolisis (terpilih) = 1:1, 1:2, 1: 3, 1:4 dan 1:5 (b/v), penambahan garam 15% dan gula 2%

Pemeraman dalam wadah tertutup (fermentasi) pada suhu kamar dengan lama hidrolisis terpilih

Penyaringan dan filtrat dipasteurisasi pada suhu 70oC selama 30 menit Gonggong segar

Seasoningalami terpilih

Perendaman gonggong (garam 4% dalam 1 liter air) selama 48 jam pada 4oC

Pencucian, penirisan dan pemotongan sampai halus

(44)

3.3.2 Penelitian lanjutan

Kegiatan penelitian lanjutan yaitu pembuatan seasoning alami dari gonggong (Strombus canarium) dengan menggunakan bahan penghidrolisis, lama hidrolisis dan komposisi terpilih dari penelitian pendahuluan. Perlakuan pada penelitian lanjutan adalah sebagai berikut :

A. Teknik pemutusan fermentasi A1. Pasteurisasi

A2. Sterilisasi B. Lama penyimpanan

B1.0 hari B2.7 hari B3.14 hari

Masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Pembuatan seasoning alami dari gonggong dilakukan dengan fermentasi (biologis/semibiologis) pada suhu kamar. Penambahan garam 15% dan gula 2% yang digunakan pada pembuatan seasoningalami dari gonggong didasarkan pada penelitian pembuatan bekasam (Murtini et al.1997). Setelah dihasilkan seasoning alami dengan perlakuan tersebut, selanjutnya dilakukan evaluasi karakteristik sensori (uji hedonik dan uji skoring), karakteristik kimiawi (pH, total asam laktat) dan uji mikrobiologis (uji TPC) untuk menentukan seasoning alami terbaik. Kemudian seasoning terbaik dilakukan evaluasi karakteristik sensori (uji perbandingan pasangan dan deskripsi) dan karakteristik kimiawi (uji proksimat dan asam amino bebas) terhadapseasoning yang sudah ada di pasaran yaitu saus tiram “Saori”. Secara ringkas diagram alir penelitian lanjutan disajikan pada Gambar 6.

3.4 Prosedur Analisis

(45)

Gambar 6 Diagram alir penelitian lanjutan pembuatan seasoning alami dari gonggong (Modifikasi Lyraz 1990).

Pelepasan gonggong dari cangkangnya

Pencucian dan penirisan

Pembuatan seasoning alami dengan bahan penghidrolisis dan komposisi optimum yang terpilih dari penelitian pendahuluan , penambahan garam 15% dan gula 2%

Pemeraman dalam wadah tertutup (fermentasi) pada suhu kamar, dengan lama hidrolisis terpilih dari penelitian pendahuluan

Pasteurisasi pada suhu 70oC selama 30 menit atau sterilisasi 121 oC selama 15 menit

Uji sensori (uji hedonik, skoring), uji kimiawi (pH, total asam laktat), uji mikrobiologi (TPC) untuk mendapatkan seasoningterbaik

Seasoning alami terbaik dari gonggong

Seasoningterbaik dikarakterisasi sensori (uji deskripsi, uji perbandingan pasangan) dan karakterisasi kimiawi dengan produkseasoningkomersial (saus tiram “saori”)

Penyimpanan seasoningalami pada suhu kamar selama 0 hari, 7 hari dan 14 hari Perendaman gonggong (garam 4% dalam 1 liter air) selama 48 jam pada suhu 4oC

(46)

Sebelum dilakukan pengujian terhadap sampel, dilakukan pelatihan terlebih dahulu terhadap 20 orang panelis. Secara umum syarat seorang panelis terlatih adalah sehat, percaya diri, rasa ingin tahu yang tinggi, memahami analisis sensori, dapat berkonsentrasi dan bersedia meluangkan waktu untuk melakukan tes. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan panelis yang menyukai produk yang akan diujikan yaitu seasoning alami dari siput laut gonggong, tidak alergi dan dapat mengambil keputusan yang tepat dalam penilaian sampel (Setyaningsih et al. 2010). Pelatihan terhadap panelis dilakukan selama satu minggu. Materi pelatihan meliputi pengenalan bahan baku (siput laut gonggong yang direbus), metode seleksi panelis terlatih (Lampiran 2) dan uji coba terhadap semua sampel yang akan diujikan sampai akhirnya terpilih 10 orang panelis terlatih.

(1) Uji hedonik (hedonic test) (SNI 01-2346-2006)

Uji hedonik berfungsi untuk mengukur tingkat kesukaan panelis terhadap sampel dengan menggunakan lembar penilaian. Pada uji hedonik, tingkat kesukaan panelis bervariasi tergantung rentangan mutu yang ditentukan. Penilaian uji hedonik pada penelitian ini meliputi rasa, aroma dan warna, dengan skala penilaian berkisar dari 1–9 yaitu: amat sangat suka (9), sangat suka (8), suka (7), agak suka (6), netral (5), agak tidak suka (4), tidak suka (3), sangat tidak suka (2), amat sangat tidak suka (1). Lembar penilaian (scoresheet) untuk uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 3. Penilaian hasil uji hedonik ini selanjutnya dapat dianalisis secara statistik untuk penarikan kesimpulan.

(2) Uji skoring (SNI 01-2346-2006)

(47)

kurang (5), sangat kurang (4) dan buruk (3). Lembar penilaian (scoresheet) untuk uji skoring dapat dilihat pada Lampiran 4. Penilaian hasil uji skoring ini selanjutnya dapat dianalisis secara statistik untuk penarikan kesimpulan.

(3) Uji deskripsi (Soekarto 1985)

(48)

dibagi 6, maka besar sudut antara dua garis atribut mutu sebesar 60o. Setelah hasil penilaian deskripsi ditransformasi ke dalam bentuk spider maps, dapat terlihat perbedaan mutu sensori dari produk yang diujikan dengan melihat jaring laba-laba (spider maps) yang terbentuk. Semakin besar jaring laba-laba yang terbentuk maka semakin tinggi nilai mutu sensori produk yang diujikan. Lembar penilaian (scoresheet) untuk uji deskripsi dapat dilihat pada Lampiran 5.

(4) Uji perbandingan pasangan (Soekarto 1984)

Seasoning dari gonggong yang terpilih (terbaik) yang mempunyai skor tertinggi berdasarkan uji hedonik, uji skoring dan uji deskripsi selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan untuk dibandingkan dengan produk sejenis yang sudah dikomersialkan (penyedap rasa saus tiram “Saori”). Panelis melakukan penilaian melalui formulir isian yang diberikan berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik/lebih buruk. Penilaian uji perbandingan pasangan ini berupa angka skala, yaitu -3 sampai +3, dimana -3 (sangat buruk), -2 ( lebih buruk),-1 (agak lebih buruk), 0 (tidak berbeda), 1 (agak lebih baik), 2 (lebih baik), 3 (sangat lebih baik). Lembar penilaian (scoresheet) untuk uji perbandingan pasangan dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil uji perbandingan pasangan ini selanjutnya dapat dianalisis secara statistik untuk penarikan kesimpulan.

3.4.2 Analisis kimiawi

Analisis kimiawi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak), pengukuran nilai pH, analisa total asam laktat tertitrasi dan analisis asam amino bebas.

(1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

(49)

didapatkan berat konstan, cawan porselin dipanaskan lagi ke dalam oven (105oC) selama 30 menit. Hal tersebut harus dilakukan berulang-ulang sampai didapatkan berat konstan. Penentuan kadar air menggunakan rumus :

Kadar air (%) = ሺ୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪ ୟ ୵ ୟ ୪ሻି(୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪ ୟ ୩ ୦ ୧ ୰)

୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪ ୟ ୵ ୟ ୪(୥) x 100%

(2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 105 oC, lalu didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang

hingga mendapatkan berat konstan. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram, dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dipijarkan diatas nyala api pembakar Bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur listrik (furnace) dengan suhu ≤ 550 oC selama 2 jam. Selanjutnya cawan didinginkan selama 30 menit pada desikator, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Penentuan kadar abu menggunakan rumus :

Kadar abu (%) = ୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୟ ୠ ୳(୥)

୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪(୥)x 100%

(3) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

(50)

(alkali). Kemudian hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer tersebut hingga volume destilat mencapai 150 ml (hasil destilat berwarna hijau).

Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N, dilakukan hingga warna berubah menjadi abu-abu natural. Blanko dilakukan seperti tahapan contoh tanpa menggunakan sampel. Pengujian contoh dilakukan duplo. Kadar protein dihitung dengan rumus:

Kadar protein (%) = ሺ୫ ୪ ୌ େ ୪ ି ୫ ୪ ୠ ୪ ୟ ୬ ୩ ୭ሻ୶ ୒ ୌ େ ୪ ୶ ଵ ସ,଴ ଴ ଻ ୶ ϐ ୩

ୠ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪(୫ ୥) x 100%

(4) Analisis kadar lemak ( AOAC 2005)

Labu lemak yang telah dikeringkan di dalam oven (105 oC) ditimbang hingga mendapatkan berat konstan. Sebanyak 2 gram sampel dibungkus dengan kertas saring bebas lemak kemudian dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong tersebut dimasukkan ke dalam tabung soxhlet. Sebanyak 150 ml kloroform dimasukkan ke dalam labu lemak. Sampel direfluks selama 8 jam, dimana pelarut sudah terlihat jernih yang menandakan lemak telah terekstrak semua. Selanjutnya pelarut yang ada pada labu lemak dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan lemak, kemudian labu lemak dikeringkan dengan oven 105 oC selama 30 menit. Setelah itu ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Penentuan kadar lemak menggunakan rumus :

Kadar lemak (%) = (୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୪ ୟ ୠ ୳ ୟ ୩ ୦ ୧ ୰ ି ୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୪ ୟ ୠ ୳ ୟ ୵ ୟ ୪)

୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪ x 100%

(5) Pengukuran nilai pH (Hanna 1995)

(51)

Elektroda dicelupkan ke dalam sampel selama beberapa menit, nilai pH dibaca setelah menunjukkan angka stabil.

(6) Total asam tertitrasi (Fardiaz 1989)

Sebanyak 10 ml sampel dipipet, kemudian dilarutkan dengan aquades dalam gelas piala sampai tanda tera 100 ml, lalu sampel didiamkan selama 30 menit dan diaduk. Larutan ini lalu disaring dan dipipet sebanyak 10 ml lalu ditambahkan 2–3 tetes indikator fenoftalein. Titrasi dengan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah muda. Persentase asam laktat yang dibentuk dihitung berdasarkan rumus :

Total asam laktat (TA) = ୟ ୶ ୠ ୶ ୡ ୶ ୢ ୣ ୶ ଵ ଴ ଴ ଴ x 100%

Keterangan :

a = jumlah NaOH yang terpakai (ml) b = normalitas NaOH (0,1 N)

c = berat molekul (BM) asam laktat (90) d = pengenceran (10)

e = berat sampel (gram)

(7) Analisis asam amino bebas (Ishida et al.1987)

Preparasi sampel untuk pengujian asam amino bebas dilakukan tanpa proses hidrolisis. Sampel digerus sampai halus kemudian ditimbang sebanyak 2,55 gram. Sampel kemudian direndam di dalam sulfosalycylic acid (SSA) 5% selama 1–2 jam untuk proses presipitasi sehingga protein terpisah dari zat-zat lainnya. Kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas saring whatman, disentrifuse (3000x g selama 30 menit), dan penyaringan lagi dengan menggunakan kertas milipore0,45µm.

(52)

diinjeksikan ke dalam kolom HPLC, kemudian ditunggu sampai pemisahan semua asam amino selesai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit. Kandungan asam amino bebas dalam sampel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Konsentrasi asam amino bebas (μmol) =୐ ୳ ୟ ୱ ୮ ୳ ୬ ୡ ୟ ୩ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪

୐ ୳ ୟ ୱ ୮ ୳ ୬ ୡ ୟ ୩ ୱ ୲ ୟ ୬ ୢ ୟ ୰ x konsentrasi standar

Asam amino bebas (mg/g) = ୅ ୱ ୟ ୫ ୟ ୫ ୧ ୬ ୭ ୠ ୣ ୠ ୟ ୱ(ஜ ୫ ୭ ୪)୶ ୠ ୣ ୰ ୟ ୲ ୫ ୭ ୪ ୣ ୩ ୳ ୪ ୅ ୅

୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪(ஜ ୥ ୰ ୟ ୫) x 1000

Kondisi operasi alat HPLC yang digunakan adalah sebagai berikut: Temperatur 27o C (suhu ruang), jenis kolom Ultra Techspere, kecepatan aliran eluen 1 ml/menit, tekanan sebesar 3000 psi, fase mobil (eluen) terdiri dari dua macam buffer yaitu buffer A (buffer asetat 0,025 M, pH 6,5) dan buffer B (larutan methanol 95%) dengan gradien seperti yang tercantum pada Tabel 4, detektor fluoresensi, panjang gelombang eksitasi 350 nm dan panjang gelombang emisi 450 nm serta kolom derivatisasiberupa pre-column derivatization.

Tabel 4 Hubungan antara waktu elusi dengan gradien buffer B Waktu (menit) Laju aliran eluen (ml/menit) Buffer B (%)

0 1 0

3.4.3 Uji total mikroba (TPC) (Fardiaz 1989)

(53)

larutan pengencer (garam fisiologis) sebanyak 10 ml larutan pengencer sampai homogen.

Pengenceran dilakukan dengan cara memipet 1 ml larutan contoh yang sudah homogen dengan pipet steril dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi larutan pengencer (garam fisiologis) sebanyak 9 ml sehingga terbentuk pengenceran hingga 10-1. Kemudian dengan cara yang sama dilakukan pengenceran hingga diperoleh larutan dengan pengenceran 10-5. Setiap pengenceran diambil sebanyak 1 ml untuk ditambahkan ke media (plate count agar/PCA), kemudian diratakan dan disterilkan dengan pembakaran. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi cawan terbalik. Suhu inkubator yang digunakan adalah 35 oC dan diinkubasi selama 48 jam, selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri.

Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni antara 30–300.

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaaan yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah ada dua rancangan yaitu sebagai berikut :

(a) Rancangan percobaan pada penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor bahan penghidrolisis terdiri dari 3 taraf (air tajin, jus nenas, sari nenas) dan lama hidrolisis terdiri dari 3 taraf (10 hari, 20 hari dan 30 hari), masing-masing dilakukan tiga kali pengulangan. Model matematika rancangan acak lengkap faktorial menurut Steel dan Torrie (1991) adalah sebagai berikut :

(54)

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan faktor bahan penghidrolisis (i), lama hidrolisis (j) pada ulangan ke -k

µ = nilai tengah populasi (nilai rata-rata sesungguhnya) Ai = pengaruh faktor bahan penghidrolisis pada taraf ke-i Bj = pengaruh faktor lama hidrolisis pada taraf ke-j

(AB)ij= pengaruh interaksi antara bahan penghidrolisis (i) dengan lama hidrolisis (j) pada ulangan ke-k

εijk = faktor galat

(b) Rancangan percobaan pada penentuan komposisi menggunakan rancangan acak lengkap dengan 1 faktor yaitu komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis yang terdiri dari 5 taraf (1:1, 1:2,1:3,1:4 dan 1:5), masing-masing dilakukan tiga kali pengulangan. Model matematika rancangan percobaannya menurut Steel dan Torrie (1991) adalah sebagai berikut :

Yij = µ + Ai + εij Keterangan :

Yij= nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j pada perlakuan faktor A taraf ke-i

µ = nilai tengah populasi (nilai rata-rata sesungguhnya)

Ai= pengaruh komposisi gonggong dan bahan penghidrolisa pada taraf ke-i (i = 1:1,1:2,1:3,1:4 dan 1:5)

εij= faktor galat

Rancangan percobaan pada penelitian lanjutan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor teknik pemutusan proses fermentasi yang terdiri dari 2 taraf (pasteurisasi, sterilisasi) dan faktor lama penyimpanan (0 hari, 7 hari dan 14 hari), masing-masing dilakukan tiga kali pengulangan. Model matematika rancangan acak lengkap faktorial menurut Steel dan Torrie (1991) adalah sebagai berikut :

(55)

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan faktor teknik pemutusan proses fermentasi (i), faktor lama penyimpanan (j) pada ulangan ke -k

µ = nilai tengah populasi (nilai rata-rata sesungguhnya)

Ai = pengaruh faktor teknik pemutusan fermentasi pada taraf ke-i Bj = pengaruh faktor lama penyimpanan pada taraf ke-j

(AB)ij= pengaruh interaksi antara teknik pemutusan proses fermentasi (i) dengan lama penyimpanan (j) pada ulangan ke-k

εijk = faktor galat

Data yang diperoleh dianalisis ragam (anova). Hasil analisis ragam yang menunjukkan perbedaan nyata akan diuji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Duncan.

Data organoleptik merupakan data non-parametrik sehingga dianalisis dengan menggunakan Uji Mann-Withney (pairwise comparison) dengan taraf nyata α = 0,05, untuk uji perbandingan pasangan dan berdasarkan pedoman SNI 01-2346-2006 untuk menentukan nilai sensori akhir pada uji hedonik dan skoring yaitu dengan menggunakan batas interval bawah dengan pembulatan ke bilangan bulat terdekat.

Uji Mann-Withney (pairwise comparison) merupakan metode untuk sampel yang memiliki nilai sama besar dari dua populasi yang independen. Ini adalah salah satu uji yang paling terkenal signifikansinya untuk data non-parametrik. Uji Mann Withney sering juga disebut uji Wilcoxon Rank sum test untuk dua populasi (Iriawan dan Septin 2006). Menurut Santoso (2005), dalam analisis Mann-Whitney digunakan hipotesis sebagai berikut :

H0: 1 2(kelompok 1 lebih baik daripada kelompok 2) H1 : 1 2(kelompok 1 lebih buruk daripada kelompok 2)

Dasar pengambilan keputusan uji Mann-Whitneyadalah : Jika probabilitas > 0,1 maka Hoditerima.

(56)

Langkah-langkah melakukan uji Mann-Whitney diantaranya sebagai berikut :

1. Membuat ranking untuk sampel pertama dan sampel kedua dari 1 sampai (n1 + n2). Dalam hal ini n1 adalah banyaknya data dalam sampel pertama (x1) dan n2adalah banyaknya data dalam sampel kedua (x2). Apabila ada ranking yang sama, maka ranking data adalah rata-rata ranking.

2. Menjumlahkan ranking untuk sampel pada sampel x1(W).

3. Menghitung nilai taksiran, yaitu median selisih antara sampel pertama (x1) dan sampel kedua (x2).

(57)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Hasil penelitian pendahuluan meliputi karakteristik bahan baku (siput laut gonggong segar), penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis serta penentuan komposisi antara gonggong dengan bahan penghidrolisis.

4.1.1 Karakteristik bahan baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah siput laut gonggong yang masih hidup berasal dari Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 7). Berat satu ekor siput laut gonggong beserta cangkangnya lebih kurang 50 gram, tetapi setelah dilepas dari cangkangnya beratnya sekitar 10 gram. Proses pembuatan seasoning alami untuk mendapatkan 75 ml seasoning alami dari gonggong maka digunakan 5 ekor gonggong hidup, dengan berat total setelah dilepas dari cangkangnya, dan setelah proses perendaman dalam larutan garam serta pencucian hanya sekitar 20 gram.

Gambar 7 Siput laut gonggong yang masih hidup sebelum dilepas dari cangkangnya.

(58)

dari cangkangnya, dan dilakukan karakterisasi mengenai kandungan asam amino bebas dan proksimat untuk mengetahui adanya senyawa yang dapat membangkitkan cita rasa (seasoning). Hasil analisis proksimat dari daging siput laut gonggong segar dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi proksimat siput laut gonggong segar (Strombus canarium)

Parameter (%) Gonggong Tiram*) sedangkan pada tiram hanya 9,47% (Tabel 5), padahal dewasa ini sebagian besar seasoning original menggunakan ekstrak dari tiram. Semakin tinggi kandungan protein maka semakin banyak asam amino bebas yang dapat dihasilkan (Lyraz 1990). Siput laut gonggong diduga dapat digunakan sebagai sumber pembangkit cita rasa alami dalam pembuatan seasoning original selain tiram.

Analisis asam amino bebas gonggong segar dilakukan dengan HPLC berdasarkan metode Ishida et al. (1987), dan diperoleh hasil bahwa kandungan asam amino bebas (asam glutamat bebas) cukup tinggi yaitu sekitar 4,1 mg/g lebih tinggi daripada kandungan asam glutamat bebas pada kerang-kerangan segar (Scallop) yang digunakan dalam pembuatan seasoningtradisional secara hidrolisis enzimatis di Jepang (“hotate-kai-bashira”) yaitu sekitar 1,4 mg/g (Tabel 6). Semakin tinggi kandungan asam glutamat bebas dari suatu bahan pangan maka semakin kuat rasa umami yang akan muncul. Asam amino glutamat memiliki sifat yang khas, yaitu sangat mudah menangkap elektron karena titik isoelektriknya rendah dan bermuatan polar sehingga asam glutamat bebas ini dapat berperan penting menjadi penyedap rasa (seasoning) (Yamaguchi dan Ninomiya 2000).

(59)

glutamat bebas yang cukup tinggi. Jika asam amino glutamat masih terikat dengan asam amino lain sebagai penyusun protein maka asam amino glutamat tidak memiliki cita rasa sama sekali (Populin et al. 2007; Pikielna dan Kostyra 2007).

Tabel 6 Hasil analisis asam amino bebas siput laut gonggong segar

* Konosu et al. (1987)

Asam glutamat bebas banyak ditemukan pada otot, otak, hati dan organ jaringan lainnya dari makhluk hidup (Kondoh et al. 2009). Rumput laut merupakan bahan pangan di alam yang paling banyak mengandung asam glutamat bebas (1608 mg/100 g). Kandungan asam glutamat bebas tertinggi pada hewan laut, yaitu jenis kerang-kerangan (Scallop) sekitar 140 mg/100 g (Yamaguchi dan Ninomiya 2000). Beberapa asam amino bebas yang umumnya juga berkontribusi terhadap cita rasa diantaranya: asam amino glisin, alanin dan arginin (Fuke dan Ueda 1996). Kandungan asam amino bebas glisin, alanin dan arginin pada siput laut gonggong juga cukup tinggi, yaitu berturut-turut 3,2 mg/g, 8,5 mg/g dan 2,3 mg/g (Tabel 6).

Hewan-hewan molluska pada umumnya kaya akan asam amino bebas seperti asam glutamat, glisin, alanin, arginin, prolin dan taurin. Kandungan asam amino bebas dari suatu spesies invertebrata sangat dipengaruhi oleh musim dan salinitas air laut. Salinitas air laut akan mempengaruhi osmoregulasi sehingga jumlah asam amino bebas akan mengalami fluktuasi, terutama asam amino bebas

Gambar

Tabel 3 Komposisi zat gizi dalam 100 gram buah nenas masak
Gambar 3  Peta penyebaran gonggong di Kepulauan Riau.
Gambar 4  Diagram alir penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis
Gambar 5  Diagram alir penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat Kota Tarutung merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana gempa, maka selain perlunya evaluasi terhadap bangunan yang telah ada,

- 2 orang bertugas membaca wirid sebelum iqamah salat Subuh (jadwal petugas dibuat oleh bagian Ibadah dari OPPM) dan santriwati yang lainnya wajib melaksanakan salat sunah

Maka apabila umat telah keluar dari keummiannya dan telah mampu menulis serta menghitung, artinya sudah ada sekumpulan orang dari umat Islam yang menguasai ilmu

Selain kesalahan-kesalahan di atas, kesalahan lain dalam bidang morfologi yang ditemukan pada dokumen dinas di Sekda Pemkot Mataram adalah penggunaan kata bentuk

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pendidikan Ibnu Khaldun dalam perspektif sosiologi memandang pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi akal-pikiran,

Penelitian Ian Azhar dan Arim 2016 dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh pembiayaan jual beli, pembiayaan bagi hasil, dan ratio non performing finance terhadap

Perbedaan dari dua jenis ini adalah SIR-10 menggunakan bahan baku yaitu 85% bokar (bongkahan karet) A dan 15% bokar B, sedangkan untuk jenis SIR-20 yang memiliki

Maka dari itu investor reksa dana perlu untuk menetapkan investasinya sesuai dengan kemampuan dan tujuan investasinya yang terdiri dari Growth Fund, Income Fund, dan Safety Fund