• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekonomi Tambak Silvofishery Sebagai Upaya Pemafaatan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan (Studi Kasus: Desa Canang Kering, Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Ekonomi Tambak Silvofishery Sebagai Upaya Pemafaatan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan (Studi Kasus: Desa Canang Kering, Medan)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKONOMI TAMBAK

SILVOFISHERY

SEBAGAI

UPAYA PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE

BERKELANJUTAN

(Studi Kasus: Desa Canang Kering, Medan)

MELLY SARI RAMADHANI NASUTION

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Ekonomi Tambak Silvofishery sebagai Upaya Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan (Studi Kasus: Desa Canang Kering, Medan)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Februari 2015

(4)
(5)

Silvofishery sebagai Upaya Pemafaatan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan (Studi Kasus: Desa Canang Kering, Medan). Dibimbing oleh METI EKAYANI dan ASTI ISTIQOMAH.

Desa Canang Kering merupakan salah satu desa yang terletak di kawasan pesisir Kota Medan yang kondisi mangrovenya mengalami kerusakan akibat adanya konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak. Kerusakan ekosistem mangrove berakibat pada terjadinya banjir pasang air laut dan akan mempegaruhi kesejahteraan masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kementerian Kehutanan memperkenalkan pola tambak silvofishery yang merupakan integrasi antara budidaya tambak dan tanaman mangrove. Hasil perbandingan analisis pendapatan sistem tambak menunjukkan nilai R/C rasio tambak silvofishery lebih tinggi dari R/C rasio tambak non-silvofishery, artinya tambak silvofishery lebih menguntungkan dibanding tambak non-silvofishery. Pengaruh keberadaan mangrove terhadap produktivitas tambak dilihat menggunakan analisis kelayakan tambak silvofishery. Hasil kriteria kelayakan menunjukkan bahwa usaha tambak silvofishery layak untuk diusahakan secara finansial dan ekonomi. Partisipasi masyarakat untuk menerapkan sistem tambak silvofishery dapat ditingkatkan dengan mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan petani dalam pemilihan jenis tambak melalui pendekatan analisis regresi logistik. Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap keputusan petani tambak untuk menerapkan sistem tambak silvofishery yaitu pendidikan formal, luas areal tambak, dan keikutsertaan dalam pelatihan.

Kata Kunci: analisis kelayakan, analisis pendapatan, analisis regresi logistik, mangrove, silvofishery

ABSTRACT

MELLY SARI RAMADHANI NASUTION. The Economic Analysis of Silvofishery Farming as Sustainable Utilization of Mangrove Ecosystem (Case Study: Canang Kering Village, Medan). Supervised by METI EKAYANI and ASTI ISTIQOMAH.

(6)
(7)

(Studi Kasus: Desa Canangkering, Medan)

MELLY SARI RAMADHANI NASUTION

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Ekonomi Tambak Silvofishery sebagai Upaya Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan (Studi Kasus: Desa Canang Kering, Medan)”.

Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Ayah (Ir. Syarifuddin Nasution), Mama (Almh. Yusleni Lubis), Bunda (Hadijah Nasution), Abang (Alvi Syahri Ramadhan Nasution), dan Adik (Annisa Rizky Nasution) atas segala doa, dukungan, serta semangat yang telah diberikan; Ibu Dr. Meti Ekayani, S.Hut M.Sc dan Ibu Asti Istiqomah, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mendidik dan mengarahkan penulis selama penyusunan skripsi; Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT dan Bapak Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyusunan skripsi; Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan, Dinas Kehutanan Kota Medan, Badan Lingkungan Hidup Kota Medan, Kelurahan Belawan Sicanang, dan para responden di Desa Canang Kering yang telah membantu dan memberikan informasi selama pengumpulan data; Seluruh dosen beserta staf Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan atas segala dukungan dan bantuan; Rekan-rekan sebimbingan skripsi; Dimas Jaya Satria, Melinda Widya Ghamelina, Mentari Nindya Pratiwi, Nurul Subkhania, Qonita Muhlisa, Rizky Amelia, dan Zumar Halim Rambe yang telah bekerjasama selama masa bimbingan skripsi; Seluruh kabinet BEM FEM Progresif periode 2011/2012 dan seluruh keluarga ESL 47atas kebersamaan serta motivasi yang diberikan kepada penulis; Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan dan Keluarga Cendana (Adilla Ahmad, Amalia Aldina Thoha, Daeng Tidar Dewan Maulani, Ega Aprindah Utami, Frisca Angelina Simamora, Kartika Jayamurti, Muhammad Dahri Zikri Purba, Muhammad Haris, Muhammad Iqbal Syahputra Siregar, Muhammad Irfan Miraza, Novade Nur Arif Siregar, Nurnidya Btari Khadijah, Rita Astuti, Siti Mayang Sari) atas segala motivasi dan kekeluargaan selama menjalani proses penyelesaian skripsi.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi berbagai pihak sebagai rujukan penelitian dalam pemanfaatan ekosistem mangrove berkelanjutan.

Bogor, Februari 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI...i

DAFTAR TABEL...iii

DAFTAR GAMBAR...iv

DAFTAR LAMPIRAN...iv

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 5

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Mangrove ... 7

2.1.2 Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove ... 8

2.1.3 Kondisi Fisik Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 9

2.2 Sistem Budidaya Tambak ... 10

2.3 Sistem Tambak Silvofishery ... 12

2.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 12

2.5 Analisis Pendapatan ... 14

2.6 Analisis Biaya Manfaat ... 14

2.6.1 Analisis Kelayakan Secara Finansial ... 15

2.6.2 Analisis Kelayakan Secara Ekonomi ... 15

2.7 Model Regresi Logistik... 16

2.8 Penelitian Terdahulu ... 19

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 22

IV METODE PENELITIAN ... 25

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 25

4.3 Metode Pengambilan Responden ... 25

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 26

4.4.1 Identifikasi Kondisi Perikanan Budidaya ... 26

(14)

4.4.5 Pengujian Parameter Regresi ... 36

V GAMBARAN UMUM ... 37

5.1 Gambaran Umum Kecamatan Medan Belawan ... 37

5.1.1 Kependudukan ... 38

5.1.2 Mata Pencaharian Penduduk ... 39

5.2 Karakteristik Responden ... 39

5.3 Potensi Mangrove ... 41

VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

6.1 Kondisi Perikanan Budidaya di Lokasi Penelitian ... 45

6.2 Analisis Perbandingan Pendapatan Tambak Silvofishery dan Tambak Non-silvofishery... 48

6.3 Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi Tambak Silvofishery ... 50

6.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Tambak untuk Menerapkan Sistem Tambak Silvofishery ... 64

6.5 Silvofishery sebagai Alternatif Bentuk Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan ... 69

VII SIMPULAN DAN SARAN ... 71

7.1 Simpulan ... 71

7.2 Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN ... 78

(15)

1 Produk dan jasa hutan mangrove ... 8

2 Kriteria ekosistem hutan mangrove ... 9

3 Kriteria perbandingan sistem budidaya tambak ... 10

4 Syarat-syarat faktor teknik lingkungan dalam budidaya tambak ... 11

5 Perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi ... 16

6 Penelitian mengenai ekosistem mangrove dan tambak silvofishery ... 20

7 Penelitian menggunakan analisis kelayakan finansial dan ekonomi... 20

8 Matriks metode analisis data ... 26

9 Perbedaan analisis kelayakan finansial dan ekonomi ... 32

10 Matriks metode estimasi nilai manfaat hutan mangrove... 34

11 Luas wilayah di Kecamatan Medan Belawan tahun 2013 ... 37

12 Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk berdasarkan kelurahan di Kecamatan Medan Belawan tahun 2012 ... 38

13 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Kelurahan Belawan Sicanang tahun 2014 ... 39

14 Karakteristik responden ... 40

15 Nilai indeks keanekaragaman Shannon Wienner untuk masing-masing fase perkembangan vegetasi mangrove ... 42

16 Nilai kerapatan pohon, pancang, dan semai ... 44

17 Perbedaan sistem tambak silvofishery dan tambak non-silvofishery per musim panen ... 47

18 Potensi lahan tambak Kota Medan ... 48

19 Perbandingan pendapatan rata-rata per tahun petani tambak silvofishery dan non-silvofishery ... 49

20 Perhitungan border price pakan ... 56

21 Perhitungan border price pupuk ... 56

22 Perhitungan total manfaat hasil perikanan tambak silvofishery dalam setahun ... 57

23 Nilai ekonomi bersih potensi kayu mangrove per hektar... 58

24 Nilai kerugian akibat abrasi ... 60

25 Nilai ekonomi hutan mangrove sebagai penahan abrasi ... 60

(16)

29 Analisis komponen manfaat dan biaya tambak silvofishery ... 62

30 Perbandingan hasil analisis kelayakan tambak silvofishery secara finansial dan ekonomi ... 63

31 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani tambak untuk menerapkan tambak sistem silvofishery ... 66

DAFTAR GAMBAR 1 Dimensi pembangunan berkelanjutan ... 13

2 Transformasi logit ... 18

3 Kerangka pemikiran penelitian ... 24

4 (a) Tambak silvofishery; (b) Tambak non-silvofishery ... 45

DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta lokasi penelitian ... 79

2 Analisis pendapatan ... 80

3 Analisis kelayakan tambak silvofishery secara finansial ... 81

4 Analisis kelayakan tambak silvofishery secara ekonomi ... 83

5 Regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem tambak silvofishery ... 85

(17)

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan mangrove mempunyai fungsi yang kompleks. Para ahli berpendapat bahwa hutan mangrove memiliki fungsi fisik, fungsi biologi, dan fungsi ekonomi yang potensial. Bann (1998) dan Kusmana et al. (2005) mengemukakan fungsi fisik hutan mangrove yaitu untuk pemecah gelombang, pelindung pantai dari abrasi, pencegah intrusi air laut ke daratan, pengolah limbah organik, penahan lumpur, dan polutan trap. Fungsi biologis sebagai tempat pemijahan (spawning ground) dan pertumbuhan pasca larva (nursery ground) komoditi perikanan, penyedia makanan bagi organisme yang tinggal di sekitar ekosistem mangrove, pelindung terhadap keanekaragaman hayati, serta sebagai penyerap karbon dan penghasil oksigen. Menurut Saenger et al. (1981) dan Arief (2003) sebagai fungsi ekonomis hutan mangrove merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat, industri, maupun bagi negara. Hutan mangrove dapat digunakan sebagai lahan untuk tambak, tempat pembuatan garam, tempat rekreasi, dan dapat menghasilkan kayu. Mengingat kompleksnya fungsi hutan mangrove maka keberadaan hutan mangrove harus dikelola secara optimal dan dilestarikan baik secara kuantitas maupun kualitas.

Potensi sumberdaya mangrove yang sangat besar membutuhkan konsep pemanfaatan yang berkelanjutan, namun kenyataannya dalam pelaksanaan pengelolaan tersebut faktor keberlanjutan sumberdaya alam (SDA) sering diabaikan. Hal ini terlihat dengan terjadinya degradasi SDA yang memprihatinkan di berbagai daerah dan kebijakan pengelolaan yang sering memperkuat kecenderungan untuk mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan.

(18)

dengan tidak mementingkan aspek keberlanjutan akan melampaui kapasitas produksi hutan mangrove sehingga ekosistem maupun habitat yang terkait dengan ekosistem tersebut rusak.

Luas mangrove Indonesia adalah yang terluas di Asia dengan proporsi 49% dari total keseluruhan luasan mangrove dan memiliki 43 jenis mangrove yang berbeda. Kondisi hutan mangrove mengalami penurunan terbesar pada tahun 1980-an (FAO 2007). Pada tahun 1980 hutan mangrove Indonesia memiliki luasan 4,2 juta hektar dan pada tahun 2009 luasan mangrove turun menjadi kurang dari 1,9 juta hektar. Alih fungsi hutan mangrove menjadi lahan tambak merupakan penyebab utama terjadinya penurunan luas mangrove (Balitbang Kehutanan 2013). Setelah terjadi penurunan luasan mangrove masyarakat mulai merasakan pentingnya keberadaan hutan mangrove dan mulai menyadari manfaat dari ekosistem mangrove tersebut. Kemenhut (2013) mencatat adanya upaya rehabilitasi pada tahun 2008 sampai tahun 2013 dengan total penambahan 79 ribu hektar hutan mangrove.

Belawan Sicanang adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Medan Belawan, Provinsi Sumatera Utara yang memiliki hutan mangrove seluas 125 Ha dan telah mengalami kerusakan seluas 94 Ha (75,20%). Kerusakan hutan mangrove tergolong kondisi berat 72 Ha (76,60%) dari luas kerusakan hutan mangrove 94 Ha (Fadhlan 2011). Selama empat tahun terakhir, Kelurahan Belawan Sicanang selalu terkena banjir rob atau pasang air laut. Salah satu faktor penyebab terjadinya banjir rob di Belawan adalah karena maraknya pembukaan tambak yang merambah kawasan hutan mangrove. Bencana banjir rob menghambat pertumbuhan ekonomi di Belawan dan membutuhkan dana penanggulangan yang sangat besar (Medan Bisnis 8 Juni 2013).

(19)

hutan mangrove, dan kesadaran dari berbagai pihak atas kedudukan hutan mangrove sebagai milik bersama.

Dalam mengatasi pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi tambak ikan, Kementerian Kehutanan memperkenalkan pemanfaatan mangrove yang disebut dengan pola “Silvofishery” dalam bentuk tumpangsari. Silvofishery adalah sebuah bentuk terintegrasi antara budidaya tanaman mangrove dengan tambak air payau (Balitbang Kehutanan 2013). Hubungan tersebut diharapkan mampu membentuk suatu keseimbangan sehingga tambak yang secara ekologis mempunyai kekurangan elemen produsen yang harus disuplai melalu pemberian pakan akan tersuplai oleh adanya subsidi produsen (biota laut) dari hutan mangrove (Fitzgerald dan Sutika 1997). Selain manfaat ekologis, masyarakat juga mendapat manfaat ekonomi tambahan dari kayu mangrove yang dihasilkan.

Dibawah pengawasan dan pembinaan Perhutani, masyarakat dihimbau agar melakukan penanaman mangrove kembali di sekitar tambaknya untuk mempertahankan ekosistem hutan mangrove. Upaya tersebut dilakukan untuk merehabilitasi hutan mangrove dan juga mendukung perekonomian masyarakat yang tinggal disekitarnya. Hal ini yang menjadikan penelitian ini penting untuk dilakukan, yaitu untuk menilai apakah pola pemanfaatan silvofishery lebih menguntungkan dibandingkan pola pemanfaatan non-silvofishery serta menjamin keberlangsungan pemanfaatan oleh masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup dari hutan mangrove.

1.2 Perumusan Masalah

Desa Canang Kering merupakan desa yang berlokasi di Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Desa Canang Kering merupakan daerah pesisir dimana mangrove yang ada telah mengalami kerusakan karena banyak dikonversi menjadi lahan tambak dan berakibat pada seringnya terjadi bencana banjir pasang air laut (banjir rob) yang menghambat aktivitas dan merugikan perekonomian masyarakat (Medan Bisnis 8 Juni 2013).

(20)

menyadari adanya penurunan kualitas lingkungan dan mengajukan permohonan pelatihan pembuatan sistem tambak silvofishery kepada Departemen Kehutanan. Petani tambak yang telah mengalihfungsikan ekosistem mangrove untuk pembukaan tambak dihimbau melakukan penanaman mangrove kembali dalam penerapan sistem tambak silvofishery. Tambak silvofishery merupakan bentuk pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan yang memanfaatkan hutan mangrove secara langsung (Balitbang Kehutanan 2013).

Pada kenyataannya saat ini belum semua petani tambak mau menerapkan sistem tambak silvofishery sehingga perlu diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi petani tambak dalam mengambil keputusan untuk melakukan pemilihan terhadap sistem tambak. Hasil perbandingan pendapatan petani tambak dan manfaat keberadaan mangrove terhadap produktivitas dan keberlanjutan tambak diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menerapkan sistem tambak silvofishery. Permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana kondisi perikanan budidaya dan potensi mangrove di Kelurahan

Belawan Sicanang?

2) Berapa pendapatan yang dihasilkan dari sistem tambak silvofishery dan non-silvofishery?

3) Berapa manfaat dan kerugian yang ditimbulkan sistem tambak silvofishery secara finansial dan ekonomi?

4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi petani tambak dalam pemilihan sistem tambak secara silvofishery?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah sistem tambak silvofishery lebih menguntungkan baik dari segi ekonomi maupun lingkungan sehingga masyarakat yang belum menerapkan mau menerapkan sistem tambak silvofishery. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(21)

2) Membandingkan pendapatan antara sistem tambak silvofishery dengan non-silvofishery.

3) Menganalisis kelayakan sistem tambak silvofishery secara finansial dan ekonomi.

4) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani tambak dalam pemilihan sistem tambak secara silvofishery dan non-silvofishery.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat untuk berbagai hal, antara lain:

1) Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan berguna dalam pengaplikasian ilmu pengetahuan yang telah didapatkan pada saat perkuliahan dan diterapkan untuk pemecahan masalah di daerah penelitian.

2) Bagi akademisi, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam penelitian sejenis atau penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan mangrove.

3) Bagi pembuat kebijakan, rekomendasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau pertimbangan dalam menentukan atau membuat kebijakan pengelolaan yang lebih baik. Dalam hal ini, penentuan kebijakan demi kesejahteraan masyarakat pesisir dan kelestarian ekosistem mangrove.

4) Bagi masyarakat, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan solusi yang lebih baik dalam pemanfaatan kawasan mangrove sebagai areal pertambakan yang ramah lingkungan dan peningkatan produksi tambak masyarakat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun batasan-batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(22)

2) Responden dalam penelitian ini merupakan masyarakat di sekitar kawasan mangrove yang bermatapencaharian sebagai petani tambak silvofishery dan petani tambak non-silvofishery.

3) Manfaat dari keberadaan mangrove yang dihitung adalah manfaat langsung hasil hutan dan perikanan, dan manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi, feeding ground, dan penyerapan tenaga kerja.

ian sebagai petani tambak silvofishery dan petani tambak non-silvofishery. 4) Analisis dilakukan dalam unit kelompok tani pada tahun ke-4 pelaksanaan

proyek. Periode analisis dilakukan selama 15 tahun yang diasumsikan dari waktu penebangan mangrove sebagai umur proyek.

(23)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove

2.1.1 Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove termasuk ekosistem pantai atau komunitas bahari dangkal yang menarik, mangrove hidup pada lingkungan yang ekstrim karena membutuhkan air asin (salinitas air), berlumpur, dan selalu tergenang (Irwan 1992). Vegetasi mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik pada pantai yang memiliki sungai besar dan terlindung seperti delta dan estuaria, dan dapat pula tumbuh di lingkungan daerah pesisir yang berlumpur (Noor et al. 1999).

Irwan (1992) menjelaskan bahwa sejumlah pohon mangrove mempunyai sistem perakaran yang istimewa. Jenis Rizophora mempunyai akar jangkar yang panjang untuk mencegah tumbuhnya semaian didekatnya. Adapula yang mempunyai akar yang muncul tegak di permukaan tanah yaitu dari jenis Sonneratia dan Avicennia, serta adanya akar napas berbentuk lutut dari jenis Bruquiera untuk memberikan kesempatan bagi oksigen untuk masuk ke dalam sistem perakaran. Fungsi utama akar pohon mangrove yang umumnya berbentuk cakram adalah untuk mengurangi arus pasang surut, mengendapkan lumpur, dan merupakan tempat anak-anak udang dan ikan mencari makan sambil berlindung dari kejaran predatornya.

(24)

2.1.2 Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Secara ekologis fungsi hutan mangrove menurut Kusmana et al. (2005), sebagai:

1) Fungsi biologis; yaitu sebagai penyedia makanan bagi organisme yang tinggal di sekitar mangrove, dan tempat pemijahan atau asuhan (nursery ground) bagi anak udang, ikan, dan biota laut lainnya.

2) Fungsi fisik; yaitu sebagai pemecah gelombang, melindungi pantai dari abrasi, mencegah intrusi air laut, menahan lumpur, dan mengolah limbah organik.

3) Fungsi ekonomis; yaitu sebagai lokasi pembuatan tambak, lahan pertanian, kolam garam, lokasi kegiatan ekoturisme, serta flora dan fauna mangrove yang dapat dimanfaatkan secara langsung.

Tabel 1 Produk dan jasa hutan mangrove

Produk dan Jasa Hutan Mangrove Jenis Produk

Bahan Bakar (Fuel) Kayu Bakar (Fuelwood) Arang (Charcoal)

Konstruksi (Construction) Kayu sebagai Bahan Bangunan (Timber, scaffolding) Konstruksi (Heavy construction)

Alat Pertambangan (Mining props) Pembuatan Kapal (Boat-building)

Perikanan (Fishing) Alat Pancing (Fishing pole)

Tempat Perlindungan Ikan (Fish-attracting shelters)

Tekstil (Textile, Leather) Benang Sintetis (Synthetic fibres (rayon))

Bahan Pewarna Kain (Dye for cloth)

Tennin

Produk Alami Lainnya (Other Natural Products)

Makanan dan Obat-obatan (Food, Drugs, and Beverages)

(25)

Produk dan Jasa Hutan Mangrove Jenis Produk

Barang Rumah Tangga (Household Items)

Lem (Glue)

Minyak Rambut (Hairdressing oil)

Alu (Rice mortar)

Mainan (Toys)

Korek Api (Match sticks)

Produk Hutan Lainnya (Other Forest Products)

Kotak Pengemasan (Packing boxes)

Obat-obatan (Medicines)

Bahan Kertas (Paper Products) Berbagai jenis kertas (Paper-various)

Sumber: FAO (2007)

Berkaitan dengan manfaat hutan mangrove secara ekonomi seringkali terjadi kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati yang tidak terkendali dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada ekosistem mangrove. Kerusakan hutan mangrove dapat menyebabkan hilangnya manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove tersebut.

2.1.3 Kondisi Fisik Kerusakan Ekosistem Mangrove

Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan kondisi fisik biotik maupun abiotik di dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi (rusak) yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia (Tirtakusumah 1994 dalam Rahmawaty 2006). Pada umumnya kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia dalam pendayagunaan sumberdaya alam wilayah pantai yang tidak memperhatikan kelestarian, seperti penebangan untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan, tambak, pemukiman, industri dan pertambangan.

Berdasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 21 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, maka kondisi ekosistem hutan mangrove dibagi menjadi tiga kriteria yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kriteria ekosistem hutan mangrove

No Kriteria Penutupan Kerapatan Pohon/Ha

1 Baik ≥ 75% ≥ 1500 Pohon/Ha

2 Sedang ≥ 50% - < 75% ≥ 1000 - < 1500 Pohon/Ha 3 Rusak < 50% < 1000 Pohon/Ha

(26)

2.2 Sistem Budidaya Tambak

Kawasan perikanan pesisir merupakan tempat dilakukannya berbagai aktivitas yang berorientasi pada usaha-usaha perikanan, baik usaha perikanan budidaya air payau/pertambakan (brakish water aquaculture), budidaya laut (mariculture), maupun usaha penangkapan ikan (capture fisheries) (Ditya 2007). Usaha tambak merupakan sistem usaha perikanan budidaya yang memanfaatkan lahan di pesisir pantai dengan kondisi air payau. Teknologi budidaya tambak dibedakan atas budidaya tradisional, semi-intensif dan intensif. Pembagian sistem budidaya tersebut didasarkan pada beberapa kriteria berikut, yaitu: pakan, pengelolaan air, padat penebaran, ukuran petak tambak, dan produksi seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria perbandingan sistem budidaya tambak

Kriteria Tingkat sistem budidaya

Tradisional Semi-Intensif Intensif

Pakan Alami Alami dan tambahan Pakan formula

lengkap

Pengelolaan air Pasang surut Pasang surut dan

pompa Pompa dan aerasi Padat penebaran

(ekor/ /ha/musim) 1.000 – 10.000 10.000-50.000 100.000-500.000 Ukuran petak tambak

(ha) 3-20 1-5 0,1-1,0

Produksi (kg/ ha/

tahun) 100-500 500-1.000 2.000-20.000

Sumber: Suyanto dan Mujiman (2000)

Budidaya tambak intensif dapat menghasilkan produksi yang maksimal namun rentang waktu operasinya pendek, sebaliknya budidaya tambak tradisional produksinya kecil namun rentang waktu operasinya panjang (Boer 2010). Pada umumnya, isu utama dalam perencanaan pembangunan budidaya tambak adalah teknologi yang tepat, minimumkan dampak lingkungan dari budidayatersebut, perhatikan daya dukung lingkungan, minimumkan penyakit, maksimumkan nilai produksi, dan mengurangi kemiskinan (Nautilus Consultants 2000).

(27)

Tabel 4 Syarat-syarat faktor teknik lingkungan dalam budidaya tambak No. Tolak Ukur/Daya

Dukung

Tinggi Sedang Rendah

1. Tipe dasar pantai Terjal, karang, berpasir, terbuka

Terjal, karang, berpasir atau sedikit lumpur, terbuka

Sangat landai, ber-lumpur tebal, berupa teluk atau laguna 2. Tipe garis pantai Konsistensi tanah stabil Konsistensi tanah stabil Konsistensi tanah

sangat stabil dikeringkan total pada saat surut

Dapat diari cukup pada saat pasang dan dapat dikeringkat total pada saat surut

Dibawah rataan surut terendah berpasir & bergambut. Kandungan pirit tinggi

7. Air tawar Dekat sungai dengan mutu dan jumlah air memadai

Sama dengan kategori tinggi

Dekat sungai dan bergambut

8. Jalur hijau Memadai Memadai Tipis/tanpa jalur hijau 9. Curah hujan < 2.000 mm 2.000 – 2.500 mm > 2.500 mm

Sumber: Poernomo (1992)

Menurut Dahuri et al. (1996) dalam hal budidaya perikanan (tambak) faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas, ketidakpastian hasil produksi (termasuk kegagalan panen) adalah sebagai berikut:

1) Kemampuan teknologi budidaya (mencakup pemilihan induk, pemijahan, penetasan pembuahan, pemeliharaan larva, pendederan, pembesaran, manajemen kualitas air, manajemen pemberian pakan, genetik (breeding), manajemen kesehatan ikan dan teknik perkolaman sebagian besar petani ikan masih rendah.

2) Kompetisi penggunaan ruang (lahan perairan) antara usaha budidaya perikanan dan kegiatan pembangunan lainnya (pemukiman, industri, pertambangan, dan lainnya) pada umumnya selalu mengalahkan usaha budidaya perikanan.

(28)

2.3 Sistem Tambak Silvofishery

Tambak silvofishery merupakan bentuk dari kebijakan pendekatan perhutanan sosial, yaitu suatu model pengembangan tambak ramah lingkungan yang memadukan antara hutan/pohon (sylvo) dengan budidaya perikanan (fishery). Menurut Balitbang Kehutanan (2013), sistem tambak silvofishery merupakan suatu teknik rehabilitasi hutan mangrove yang pada pelaksanaannya areal tersebut juga diusahakan untuk usaha perikanan.

Pola silvofishery merupakan sebuah konsep usaha terpadu antara hutan mangrove dan perikanan budidaya, yaitu budidaya di tambak menjadi alternatif usaha yang prospektif dan sejalan dengan prinsip blue economy. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik dan disamping itu budidaya perairan payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi. Konsep silvofishery ini menawarkan alternatif teknologi yang aplikatif berdasarkan prinsip keberlanjutan (KKP 2013).

Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan perhutanan sosial dengan sistem tambak silvofishery mempunyai beberapa manfaat yaitu meningkatkan persentase keberhasilan tanaman mangrove diatas 80% dengan jenis ikan yang diusahakan adalah bandeng, udang, dan kepiting; terbinanya petani penggarap empang dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang melibatkan Dinas Perikanan, Dinas Pertanian, Kantor Kecamatan setempat maupun pihak Perum Perhutani sendiri; meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya yang tergabung dalam wadah KTH; gangguan terhadap keamanan dan kelestarian mangrove menurun; serta adanya pengakuan dari dunia internasional terhadap keberhasilan program perhutanan sosial payau (Perhutani 1993).

2.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan

(29)

dapat dipertahankan (Suryono 2006). Menurut Palunsu dan Messmer (1997), pengertian pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan dan tidak melampaui daya dukung ekosistem (lingkungan).

Tujuan pembangunan berkelanjutan menurut Seragaldin (1996) adalah untuk selalu memperbaiki kualitas hidup manusia atas berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian maka konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk mengintegrasikan tiga aspek kehidupan (ekonomi, sosial, dan ekologi) dalam satu hubungan yang sinergis. Hubungan tersebut digambarkan sebagai “A Triangle Framework” dan didefinisikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dimensi pembangunan berkelanjutan menurut Seragaldin dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Dimensi pembangunan berkelanjutan (Seragaldin 1996)

Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan meliputi aspek ekonomi yang mencakup pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisiensi; aspek sosial mencakup keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; sedangkan aspek ekologi mencakup keutuhan ekosistem, sumberdaya alam, daya dukung lingkungan, dan keanekaragaman hayati. Pembangunan berkelanjutan akan tercapai apabila pembangunan sosial budaya dan pembangunan lingkungan hidup mempunyai bobot yang sama dengan pembangunan ekonomi.

Economics

(30)

2.5 Analisis Pendapatan

Menurut Nicholson (2002) usahatani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Petani akan selalu mencari cara mengalokasikan input seefisien mungkin untuk dapat memperoleh produksi yang maksimal karena petani berprinsip bagaimana mendapatkan keuntungan yang maksimum (profi maximization). Di lain pihak, ketika petani dihadapkan pada keterbatasan biaya dalam melaksanakan usaha taninya, upaya memaksimalkan keuntungan dapat juga dilakukan dengan menekan biaya produksi seminimal mungkin.

Penerimaan total usahatani merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut, sedangkan pengeluaran total usahatani merupakan semua nilai yang dikeluarkan dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut dengan pendapatan (Nicholson 2002).

2.6 Analisis Biaya Manfaat

(31)

menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman investasi tertentu dan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut (Gittinger 2008). 2.6.1 Analisis Kelayakan Secara Finansial

Analisis finansial adalah suatu analisis yang dilihat dari orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam manfaat dan biaya usaha tersebut, yaitu individu atau pengusaha (Gray et al. 2007). Dalam Gray et al. (2007) yang menjadi dasar perhitungan analisis finansial adalah harga menggunakan harga pasar baik untuk sumber-sumber yang dipergunakan untuk produksi maupun untuk hasil-hasil produksi dari usaha, pajak adalah bagian dari manfaat yang dibayar kepada instansi pemerintah, penerimaan subsidi berarti pengurangan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik usaha, biaya investasi dibiayai modal sendiri, serta bunga atas pinjaman dalam maupun luar negeri merupakan biaya proyek.

2.6.2 Analisis Kelayakan Secara Ekonomi

Analisis ekonomi adalah analisis yang dilakukan untuk mengidentidikasi keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau keseluruhan perekonomian tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa dalam masyarakat yang menerima hasil dari proyek tersebut (Kadariah 2001). Pada analisis ekonomi, harga menggunakan shadow price yaitu harga yang disesuaikan sedemikian rupa untuk menggambarkan niai sosial yang sebenarnya dari barang dan jasa tersebut. Penentuan shadow price menurut Gray et al. (2007) adalah dengan social opportunity cost tiap-tiap unit modal tersebut yang besarnya sama dengan tingkat bunga sosial. Social opportunity cost adalah manfaat yang diperoleh bila modal tersebut diinvestasikan dalam proyek.

(32)

pada saat dikeluarkan. Bunga atas pinjaman dalam negeri dianggap manfaat sosial karena tidak dimasukkan sebagai biaya, sedangkan bunga atas pinjaman luar negeri yang terikat dan tersedia hanya untuk satu proyek tertentu diperhitungkan sebagai biaya proyek pada saat tahun pembayaran (Gray et al. 2007). Perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi

Kriteria Analisis Finansial Analisis Ekonomi Sudut Pandang Analisis yang melihat manfaat

dan biaya tambak silvofishery dari sudut pandang petani tambak.

Analisis yang melihat manfaat dan biayatambak silvofishery dari sudut pandang pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Harga Harga yang berlaku di pasar dan

sudah memperhitungkan pajak dan subsidi.

Harga bayangan, yaitu harga yang disesuaikan untuk menggambarkan nilai sosial ekonomi yang sebenarnya.

Pajak Pajak adalah biaya yang dibayarkan petani tambak

silvofishery kepada instansi pemerintah.

Pajak adalah transfer manfaat proyek tambak silvofishery yang diserahkan kepada pemerintah.

Subsidi Penerimaan subsidi adalah pengurangan biaya yang diterima oleh petani tambak silvofishery.

Subsidi adalah sumber-sumber yang dialihkan dari masyarakat untuk digunakan dalam proyek tambak silvofishery.

Biaya Investasi Bagian investasi yang dibiayai dari dalam dan luar negeri tidak Pelunasan Pinjaman Arus pelunasan pinjaman

merupakan biaya.

Pelunasan pinjaman yang digunakan untuk membiayai sebagian investasi diabaikan dalam perhitungan biaya.

Bunga Bunga atas pinjaman merupakan biaya proyek.

Bunga atas pinjaman dalam negeri tidak dimasukkan biaya karena merupakan modal masyarakat. Sumber: Gittinger (2008)

2.7 Model Regresi Logistik

(33)

rumah tangga. Menurut Pattanayak et al. (2003) terdapat lima faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pertanian dan kehutanan, yaitu:

1) Preferensi petani, secara eksplisit efek dari preferensi petani sulit untuk diukur maka digunakan pendekatan berdasarkan faktor sosial demografi seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan status sosial.

2) Resources endowment, digunakan untuk mengukur ketersediaan sumberdaya pada adopsi teknologi untuk diimplementasikan. Umumnya resources endowment memiliki kolerasi positif dengan adopsi teknologi. 3) Insentif pasar, merupakan faktor yang berhubungan dengan rendahnya biaya

atau tingginya penerimaan dari adopsi teknologi. Faktor ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan sehingga akan memberikan pengaruh positif terhadap adopsi teknologi.

4) Faktor biofisik, faktor ini diharapkan dapat mempengaruhi proses produksi yang berhubungan dengan pertanian dan kehutanan. Umumnya jika kondisi biofisik rendah (seperti tingginya intensitas banjir rob) akan berkorelasi positif dengan kesediaan untuk menerima teknologi.

5) Resiko dan ketidakpastian, faktor ini memperlihatkan ketidaktahuan pasar dan pemerintah terhadap kebijakan yang dibuat.

Faktor-faktor ini kemudian diadaptasi dalam penelitian sebagai pertimbangan untuk menentukan variabel apa yang mempengaruhi keputusan petani tambak dalam menerapkan sistem tambak silvofishery. Faktor yang digunakan adalah preferensi petani, insentif pasar, dan faktor biofisik.

(34)

Formulasi transformasi logit tersebut adalah:

...(1) Persamaan (1) dapat ditunjukkan menjadi:

...(2) dimana:

Pi = peluang individu dalam mengambil keputusan Xi = variabel bebas

α = intersep

β = koefisien regresi

e = bilangan dasar logaritma natural (e = 2.718)

Zi =

Kedua sisi dari persamaan (2) dikalikan dengan 1+e-zi sehingga persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut:

...(3) Dibagi dengan Pi dimana 1 disubstitusi dengan

...(4) Persamaan (4) ditransformasikan ke dalam persamaan logaritma natural (ln) yaitu:

...(5) Atau dari persamaan (5) dapat dituliskan menjadi,

...(6) Persamaan (6) merupakan model persamaan logit atau model regresi logistik.

Pi Logit (Pi)

Transformasi Logit

Predictor Predictor

(35)

Dimana Pi merupakan peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon untuk orang ke-i dan log e adalah logaritma basis bilangan e. Kategori sukses secara umum merupakan kategori yang menjadi perhatian dalam penelitian. Gambar 2 mengilustrasikan proses transformasi logit tersebut (Firdaus dan Afendi 2008).

Interpretasi model logistik sama seperti model OLS yaitu dengan slope dari parameter. Slope diinterpretasikan sebagai perubahan logit (p) akibat perubahan satu unit peubah bebas. Keuntungan dalam penggunaan regresi logistik adalah terdapatnya odds ratio. Odd adalah peluang kejadian tidak sukses dari peubah respon. Ratio mengindikasikan seberapa mungkin dalam kaitannya dengan nilai odd munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok lain. Apabila pengamatan Y ke-i merupakan setuju/bersedia untuk membayar maka dilambangkan Yi=1, peluangnya adalah Pi, sedangkan peluang untuk Yi=0 (tidak setuju) adalah (1-Pi). Odds ratio dituliskan sebagai berikut:

...(7) Li dikenal dengan logit, yang merupakan logaritma dari rasio sebelumnya dan linier dalam variabel independen dan parameter. Estimasi parameter dari metode regresi logistik dapat dilakukan dengan metode maximum likelihood estimator (mle), dimana parameter optimal dapat diperoleh dengan metode numerik (Rosadi 2011).

2.8 Penelitian Terdahulu

(36)

Penelitian mengenai analisis kelayakan secara finansial dan ekonomi telah dilakukan oleh Margaretta (2013) mengenai analisis ekonomi usahatani jamur tiram putih dan oleh Renita (2013) menganalisis secara finansial dan ekonomi pengembangan taman wisata alam sesuai daya dukung kawasan. Mantau (2008) melakukan penelitian terhadap kelayakan investasi usaha budidaya ikan mas dan nila dalam keramba jaring apung ganda. Hasil dari penelitian terdahulu mengenai ekosistem mangrove dan tambak silvofishery dan analisis kelayakan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.

Tabel 6 Penelitian mengenai ekosistem mangrove dan tambak silvofishery

Penulis Judul Hasil Penelitian

Gunawan

Perubahan luas hutan mangrove sebesar 50% dapat mengakibatkan pengurangan nilai ekonomi ekosistem mangrove sebesar Rp 23.820.915.689,79 hingga Rp 39.701.526.149,65.

Kegiatan silvofishery empang parit mampu memberikan tambahan pendapatan bagi petani rata-rata 72,16% tetapi belum cukup tepat sasaran. Persepsi petambak terhadap fungsi mangrove umumnya masih kurang, hanya 15% responden yang menyatakan mangrove penting bagi produksi perikanan. Hasil Wawancara dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan komposisi yang disajikan dalam bentuk grafik.

Halidah et

Produktivitas tambak yang optimal pada plot dengan penutupan mangrove 60% dimana parameter yang dilihat adalah produksi serasah, pertumbuhan berat ikan, kesuburan fitoplankton, dan kesuburan zooplankton yang tinggi.

Wisyanda 2013

Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur)

Surplus produsen petani tambak dalam kawasan mangrove adalah sebesar Rp 7.351.792,00 per hektar per tahun, sedangkan surplus produsen petani tambak petani di luar kawasan mangrove adalah sebesar Rp 2.407.010,00 per hektar per tahun. Metode yang digunakan adalah analisis biaya dan manfaat dan Surplus Produsen.

Tabel 7 Penelitian menggunakan analisis kelayakan finansial dan ekonomi

Penulis Judul Hasil Penelitian

Margaretta 2013

Analisis Ekonomi Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung

Kabupaten Bogor

(37)

Penulis Judul Hasil Penelitian

Renita 2013

Analisis Finansial dan Ekonomi Pengembangan Taman Wisata Alam Telaga Warna Sesuai Daya Dukung Kawasan

Pengembangan kawasan TWA Telaga Warna secara finansial memberikan keuntungan bagi pihak ketiga, dan secara ekonomi TWA Telaga Warna tidak mengganggu kelestarian ekosistem sekitar kawasan. Pada analisis ekonomi upah tenaga kerja dianggap sebagai manfaat sosial sehingga lebih menguntungkan dibanding analisis finansial. Mantau

2008

Analisis Kelayakan Investasi Usaha Budidaya Ikan Mas dan Nila dalam Keramba Jaring Apung Ganda di Pesisir Danau Tondano Provinsi Sulawesi Utara

Analisis kelayakan usaha baik secara finansial maupun ekonomi dengan menggunakan kriteria NPV, Net B/C, IRR, dan PBP menunjukkan bahwa investasi usaha budidaya ikan dalam KJA Ganda layak untuk dilaksanakan dalam kurun waktu yang panjang.

(38)

III

KERANGKA PEMIKIRAN

Desa Canang Kering merupakan wilayah pesisir dimana mayoritas utama mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai petambak atau nelayan. Untuk meningkatkan produktivitas budidaya ikan secara intensif, petani tambak memilih untuk melakukan penebangan liar ekosistem mangrove yang kemudian dijadikan tambak. Alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak berdampak pada menurunnya kualitas ekosistem mangrove dan area mangrove yang semakin mengecil.

Ekosistem mangrove memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Salah satu fungsi ekologis hutan mangrove adalah sebagai pemecah gelombang dan penjaga garis pantai (Kusmana et al. 2005). Kerusakan hutan mangrove menyebabkan Desa Canang Kering menjadi rawan bencana banjir rob yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi setempat. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat, pemerintah, dan semua pihak untuk menjaga kelestarian mangrove di wilayah pesisir.

Tambak merupakan salah satu bentuk manfaat langsung dari ekosistem mangrove bagi kehidupan manusia yang memiliki nilai ekonomi. Terdapat dua model tambak yang diterapkan, yaitu pengelolaan tambak silvofishery dan pengelolaan tambak non-silvofishery. Pengelolaan tambak silvofishery diduga lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem tambak non-silvofishery. Hutan mangrove bernilai tinggi karena memiliki manfaat ekologis, contohnya dengan keberadaan mangrove biaya pemeliharaan tambak menjadi murah karena petani tambak tidak perlu memberikan pakan ikan setiap hari. Hal ini disebabkan karena produksi fitoplankton sebagai energi utama perairan telah mampu memenuhi kebutuhan untuk usaha budidaya tambak sehingga terwujud efesiensi.

(39)

terhadap produktivitas tambak, yakni dengan menganalisis kelayakan tambak silvofishery secara finansial dan ekonomi.

Partisipasi masyarakat untuk menerapkan sistem tambak silvofishery dapat ditingkatkan dengan mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilihan jenis tambak. Faktor-faktor ini akan diidentifikasi melalui pendekatan analisis regresi logistik.

(40)

Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian

Fungsi Ekologis Fungsi Ekonomi

Ekosistem Mangrove

Peningkatan Partisipasi Masyarakat untuk Menerapkan Sistem Tambak Silvofishery yang dapat Menjaga Kelestarian

(41)

IV

METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Canang Kering, Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Pengambilan data dilakukan selama satu bulan yaitu bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014. Pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut ekosistem mangrove mengalami kerusakan dan telah ada penerapan pola tambak silvofishery sebagai upaya rehabilitasi.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung menggunakan kuesioner responden yang menjadi objek penelitian dan para tokoh atau instansi terkait. Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh melalui studi literatur dari penelitian-penelitian dahulu yang terkait, jurnal nasional maupun internasional, data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, Dinas Perikanan dan Peternakan, Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, dan literatur lain yang dapat menunjang tujuan yang ingin dicapai.

4.3 Metode Pengambilan Responden

(42)

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode Analisis Pendapatan dan Analisis Biaya Manfaat. Data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Metode analisis data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk matriks pada Tabel 8.

Tabel 8 Matriks metode analisis data

No Tujuan penelitian Data yang dibutuhkan Sumber data Metode analisis data

1 Mengidentifikasi kondisi perikanan budidaya

Pola-pola sistem tambak yang digunakan oleh keputusan petani dalam pemilihan pola tambak: 1. Pendidikan formal 2. Luas areal tambak 3. Status kepemilikan 4. Lama bertambak 5. Keikutsertaan dalam

pelatihan

Wawancara dengan petani tambak mengenai pemilihan keputusan

4.4.1 Identifikasi Kondisi Perikanan Budidaya

(43)

memberikan gambaran atau deskripsi suatu populasi. Identifikasi kondisi perikanan budidaya dilakukan untuk menggambarkan sistem budidaya yang diterapkan di lokasi penelitian.

4.4.2 Analisis Pendapatan

Pendekatan yang digunakan untuk membandingkan pendapatan antara petani tambak silvofishery dengan non-silvofishery adalah melalui analisis pendapatan. Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan pengeluaran, formulasi pendapatan menurut Nicholson (2002) adalah sebagai berikut:

...(8) Keterangan:

π = Tingkat pendapatan tambak nonsilvofishery (Rp) TR = Total penerimaan tambak non-silvofishery (Rp) TC = Total pengeluaran tambak non-silvofishery (Rp) Py1 = Harga per satuan produksi udang (Rp)

Y1 = Jumlah produksi udang (kg)

Py2 = Harga per satuan produksi ikan (Rp) Y2 = Jumlah produksi ikan (kg)

Py3 = Harga per satuan produkisi kepiting (Rp) Y3 = Jumlah produksi kepiting

Pxi = Harga input (Rp) Xi = Jumlah input (kg) i = 1, 2, 3, ...., n

(44)

Secara matematika R/C Ratio dituliskan sebagai berikut:

... (9)

Keterangan:

r = Return cost ratio tambak non-silvofishery R = Penerimaan tambak non-silvofishery

C = BT + BNT

BT = Biaya tunai tambak non-silvofishery BNT = Biaya non tunai tambak non-silvofishery

Analisis R/C ratio selanjutnya juga dilakukan pada sistem tambak silvofishery dengan formula yang sama. Hasil R/C ratio dari sistem tambak silvofishery dengan nonsilvofishery kemudian akan dibandingkan. Analisis R/C ratio menunjukkan besarnya penerimaan untuk setiap satuan biaya yang dikeluarkan dalam usaha tambak. Secara teoritis, usaha tambak dikatakan menguntungkan jika R/C > 1, dan merugikan jika R/C < 1. Rasio R/C = 1 artinya usaha tambak mengalami Break Even Point (BEP) atau mencapai titik impas, dimana usaha tambak tersebut tidak untung ataupun rugi (Soekartawi 1995). 4.4.3 Analisis Kelayakan Sistem Tambak Sylvofishery

Identifikasi Manfaat dan Biaya

Analisis kelayakan secara finansial dan ekonomi dilakukan dengan cara penyusunan cash flow, yaitu mengelompokkan komponen yang termasuk ke dalam biaya dan manfaat baik privat maupun sosial pada sistem tambak silvofishery. Analisis kelayakan usaha tambak silvofishery ini menggunakan beberapa asumsi:

1. Umur ekonomis adalah 15 tahun dihitung berdasarkan umur tebang tanaman mangrove.

2. Tingkat suku bunga yang digunakan sebesar 7 persen berdasarkan nilai bunga deposito di Bank BRI pada bulan Agustus 2014.

(45)
(46)
(47)

NPV1 = NPV positif (Rp) NPV2 = NPV negatif (Rp)

Adapun kriteria yang digunakan selanjutnya adalah payback period (PP). Kriteria PP merupakan kriteria yang digunakan untuk menunjukkan jangka waktu yang diperlukan biaya investasi untuk kembali. Menurut Gittinger (2008), PP merupakan jangka waktu kembalinya keseluruhan jumlah investasi modal yang ditanamkan, dihitung mulai dari permulaan proyek sampai dengan arus nilai neto produksi tambahan sehingga mencapai jumlah keseluruhan investasi modal yang ditanamkan. Kriteria payback period berguna untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan cashflow. Semakin kecil angka yang dihasilkan mempunyai arti semakin cepat tingkat pengembalian investasinya, maka usaha tersebut semakin baik untuk diusahakan.

Analisis Kelayakan Secara Ekonomi

(48)

Tabel 9 Perbedaan analisis kelayakan finansial dan ekonomi

Kriteria Analisis Finansial Analisis Ekonomi Harga Harga pasar untuk seluruh

input dan output.

Harga bayangan menggunakan

border price pada input pakan dan pupuk karena merupakan barang

tradeable yang dapat diperdagangkan secara internasional. Harga yang digunakan adalah harga Cost Insurance and Freight (CIF). Harga bayangan menggunakan opportunity cost pada input tenaga kerja.

Pajak Pajak dihitung dalam analisis finansial.

Pajak tidak dihitung dalam analisis ekonomi.

Bunga Pinjaman Bunga atas pinjaman merupakan biaya.

Bunga atas pinjaman diabaikan dalam perhitungan biaya.

Manfaat Manfaat privat yang berupa hasil perikanan dan hasil kayu mangrove.

Manfaat privat dan manfaat sosial. Manfaat sosial yang dihitung adalah manfaat mangrove sebagai penahan abrasi dan feeding ground. Nilai manfaat penahan abrasi dihitung menggunakan metode economic loss

dan nilai manfaat feeding ground

dihitung menggunakan pendekatan biaya produksi.

Sumber: Gittinger (2008)

Estimasi Nilai Manfaat Mangrove

Nilai ekonomi mangrove dinilai melalui identifikasi manfaat dan pengkuantifikasian nilai manfaat yang terkait dengan hutan mangrove. Nilai ekonomi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu nilai guna dan nilai non-guna. Nilai guna meliputi nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai guna pilihan. Nilai non guna terdiri dari nilai warisan dan nilai keberadaan. Pada penelitian ini estimasi nilai manfaat mangrove dibatasi hanya pada nilai guna langsung yang berupa hasil perikanan dan hasil kayu, dan nilai guna tidak langsung sebagai penahan abrasi dan feeding ground.

1. Nilai Guna Langsung (Direct Use Value)

(49)

Nilai manfaat langsung dari hutan mangrove dari produktivitas ikan, udang, dan kepiting dapat diperoleh dengan menggunakan Productivity Method. Nilai tersebut diperoleh dengan mengalikan volume dan harga jual hasil perikanan. Nilai potensi kayu mangrove diperoleh dengan menggunakan Analysis of Standing Volume (Analisis Volume Tegakan) pada pohon mangrove. Menurut Nilwan et al. (2003) rumus umum yang digunakan untuk menganalisis volume tegakan adalah:

...(14) Keterangan:

V = Volume tegakan (m3) D = Diameter rata-rata (m) T = Tinggi rata-rata (m)

K = Kerapatan rata-rata (pohon per ha)

π = 3,14

Analisis volume tegakan dapat menggambarkan kondisi hutan mangrove pada tiap hektar dan juga dapat digunakan sebagai perhitungan awal dari nilai ekonomi potensi kayu mangrove.

2. Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value)

Nilai guna tidak langsung dapat diidentifikasi dari manfaat fisik dan biologis dari hutan magrove. Manfaat fisik dari hutan mangrove yaitu sebagai penahan abrasi air laut. Manfaat biologisnya yaitu daerah penyedia makanan bagi ikan. Penilaian hutan mangrove tambak silvofishery sebagai penahan abrasi diperoleh berdasarkan pendekatan kerugian ekonomi (Economic Loss). Identifikasi besaran biaya kerusakan pada penelitian ini difokuskan pada jenis direct-tangible loss, dimana nilai kerugian dihitung berdasarkan perubahan kerugian banjir akibat abrasi yang dirasakan masyarakat sebelum dan sesudah diterapkan tambak silvofishery yang kemudian dikurangkan dengan biaya penanaman dan pemeliharaan mangrove. Nilai ekonomi manfaat mangrove sebagai penahan abrasi dapat dihitung seperti pada persamaan berikut:

...(15) Keterangan:

(50)

Ka = Kerugian ekonomi akibat abrasi (Rp)

Bm = Biaya penanaman dan pemeliharaan mangrove (Rp)

Penilaian ekonomi sebagai penyedia pakan alami dilakukan secara tidak langsung melalui pendekatan biaya produksi. Nilai ini diestimasi dengan mencari selisih antara biaya pakan yang digunakan pada tambak silvofishery dan tambak non-silvofishery .

Tabel 10 Matriks metode estimasi nilai manfaat hutan mangrove

Manfaat Mangrove Metode Valuasi

Manfaat langsung dari hutan mangrove Hasil Hutan

Hasil perikanan Productivity Method

Manfaat tidak langsung dari hutan mangrove

Sebagai penahan abrasi Economic Loss

Sebagai feeding ground Pendekatan Biaya Produksi

Sumber: Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012

4.4.4 Mengidentifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani Tambak untuk Pemilihan Sistem Tambak

Alat analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan pemilihan jenis tambak yaitu dengan pendekatan model regresi logistik. Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan pemilihan jenis tambak adalah tingkat pendidikan formal, luas areal tambak, umur, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, dan lama usaha tambak.

Fungsi persamaannya dirumuskan sebagai berikut (Juanda 2007):

...(16) dimana:

Y = Peluang petani dalam mengambil keputusan (1 = menerapkan sistem tambak silvofishery, 0 = tidak menerapkan sistem tambak silvofishery)

β0 = Intersep

β1...β5 = Parameter peubah

(51)

SK = Status kepemilikan (milik/sewa) LMB = Lama bertambak (tahun)

PLTH = Keikutsertaan dalam pelatihan

Hipotesis dari faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan pemilihan terhadap jenis tambak adalah sebagai berikut:

1) Pendidikan Formal (PDDK)

Pendidikan formal petani diharapkan bernilai positif. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin mudah untuk memahami prospek pola jenis tambak dibandingkan dengan petani tambak berpendidikan rendah. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin mudah melakukan pemilihan terhadap tambak silvofishery.

2) Luas Areal Tambak (LAT)

Luas areal tambak yang dimiliki diharapkan bernilai negatif. Semakin besar areal tambak yang diusahakan maka semakin kecil kemungkinan adanya tutupan mangrove sehingga cenderung untuk lebih memilih tambak non-silvofishery.

3) Status Kepemilikan (SK)

Status kepemilikan diharapkan bernilai positif. Status lahan tambak milik pribadi akan lebih meningkatkan peluang untuk menerapkan sistem tambak silvofishery dibanding status lahan tambak sewa.

4) Lama Bertambak (LMB)

Lama usaha tambak diharapkan bernilai positif. Semakin lama pengalaman dalam usaha tambak, maka akan mendorong petani untuk menerapkan sistem tambak silvofishery.

5) Keikutsertaan dalam Pelatihan (PLTH)

(52)

4.4.5 Pengujian Parameter Regresi

1) Uji G

Hasil pengujian signifikansi regresi secara simultan didasarkan pada statistik uji G. Statistik uji G adalah uji rasio kemungkinan maksimum (likelihood ratio test) yang digunakan untuk menguji peranan variabel bebas secara bersamaan (Hosmer dan Lemeshow 1998).

Rumus umum untuk uji G adalah:

... (17) Dimana:

L0= Likelihood tanpa variabel bebas L1= Likelihood dengan variabel bebas

Statistik uji G mengikuti sebaran chi-square (x2) dengan derajat bebas p. Kaidah keputusan yang diambil yaitu menolak H0 jika G > X2p(α) (Hosmer dan Lomeshow 1989).

2) Uji Wald

Menurut Rosadi (2011), untuk menguji kecocokan koefisien, kita bisa menggunakan uji Wald. Uji Wald merupakan uji univariat terhadap masing-masing koefisien regresi logistik (sering disebut partially test).

1. H0: prediktor secara univariat tidak berpengaruh signifikan terhadap respons (β1 = 0; = 0,1,2,...,p).

H1: prediktor secara univariat berpengaruh signifikan terhadap respons (β1 ≠ 0; = 0,1,2,...,p).

2. Tingkat signifikansi α 3. Statistik uji:

... (18) Dimana:

bi = penduga bi

(53)

V

GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Kecamatan Medan Belawan

Secara astronomis Kecamatan Medan Belawan terletak pada posisi koordinat

03°.44’24”-03°.48’00” Lintang Utara dan 98°.37’48”-98°43’12” Bujur Timur dengan ketinggian 2,5-37,3 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan tanah berkisar antara 0-4 persen. Kecamatan Medan Belawan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum berkisar antara 30,6ºC-33,1°C dan suhu maksimum berkisar antara 30,6°C-33,1°C. Kelembapan udara di Kecamatan Medan Belawan rata-rata 78-82 persen. Kondisi topografi di wilayah Kecamatan Medan Belawan mempunyai kemiringan antara 2,5-5,0 persen (Monografi Kecamatan Medan Belawan 2013).

Wilayah Medan Belawan terbagi menjadi 6 kelurahan, 161 RW dan 432 RT dengan luas wilayah sebesar 21,82 km2 atau 4,99 persen dari total luas Kota Medan. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Belawan Sicanang. Wilayah pemerintahan Medan Belawan memiliki daerah yang cukup luas yang terdiri dari kelurahan Belawan I hingga Bagan Deli. Luas wilayah terbesar yaitu Kelurahan Belawan Sicanang dengan luas areal 15,10 km2. Tabel 11 menunjukkan perincian luas daerah masing-masing kelurahan di Kecamatan Medan Belawan (Monografi Kecamatan Medan Belawan 2013). Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 11 Luas wilayah di Kecamatan Medan Belawan tahun 2013

No Kelurahan Luas Wilayah (Km2) Persentase (%)

1 Belawan I 1,10 5,04

2 Belawan II 1,75 8,02

3 Belawan Bahari 1,03 4,72

4 Belawan Bahagia 0,54 2,47

5 Belawan Sicanang 15,10 69,20

6 Bagan Deli 2,30 10,54

Jumlah 21,82 100,00

(54)

Batas wilayah Medan Belawan adalah sebagai berikut: 1.Sebelah Utara : Selat Malaka

2.Sebelah Selatan : Kecamatan Medan Labuhan 3.Sebelah Barat : Kecamatan Hamparan Perak 4.Sebelah Timur : Kecamatan Percut Sei Tuan 5.1.1 Kependudukan

Berdasarkan data yang didapatkan dari Kecamatan Medan Belawan pada tahun 2012 jumlah penduduk Medan Belawan mencapai 94.196 jiwa, jumlah penduduk tersebut terbagi ke dalam 6 Kelurahan. Penelitian dilakukan pada Kelurahan Belawan Sicanang, berikut Tabel 12 menunjukkan jumlah penduduk berdasarkan kelurahan, wilayah dan kepadatan di Kecamatan Medan Belawan. Tabel 12 Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk berdasarkan

kelurahan di Kecamatan Medan Belawan tahun 2012

No Kelurahan Luas Wilayah (Km2)

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Kepadatan (Jiwa/Km2)

1 Belawan I 1,10 14.058 12.780

2 Belawan II 1,75 12.328 7.044

3 Belawan Bahari 1,03 10.893 10.575

4 Belawan Bahagia 0,54 20.728 38.385

5 Belawan Sicanang 15,10 15.876 1.051

6 Bagan Deli 2,30 20.314 8.832

Jumlah 21,82 94.196 4.316

Sumber: Monografi Kecamatan Medan Belawan (2013)

(55)

Jumlah penduduk Kelurahan Belawan Sicanang adalah 16.808 orang, dengan jumlah laki-laki sebanyak 8.599 orang dan perempuan sebanyak 8.209 orang. Jumlah rumah tangga sebanyak 3.951 kepala keluarga.

5.1.2 Mata Pencaharian Penduduk

Penduduk di Kelurahan Belawan Sicanang yang bekerja sebagai petani tambak sebanyak 70 jiwa termasuk dalam kategori pengusaha kecil, menengah, dan besar. Petani tambak memiliki proporsi sebesar 50% dari total pengusaha yang ada di Kelurahan Belawan Sicanang. Meskipun petani tambak bukan mayoritas mata pencaharian di Belawan Sicanang namun daya rusak terhadap ekosistem mangrove besar. Lokasi tempat penelitian dilakukan adalah Lingkungan 20 yang memiliki jumlah petani tambak sebanyak 40 jiwa, yaitu 57,14% dari jumlah total petani tambak di Kelurahan Belawan Sicanang.

Tabel 13 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Kelurahan Belawan Sicanang tahun 2014

No Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (Jiwa)

1 Pegawai Negeri Sipil 96

2 TNI/Polri 13

3 Pegawai Swasta 139

4 Karyawan Perusahaan Pemerintah 42

5 Karyawan Perusahaan Swasta 385

6 Buruh 2.179

7 Nelayan 638

8 Dokter/Bidan 12

9 Pengusaha Kecil, Menengah, Besar 140

10 Jasa/Lain-lain 443

Sumber: Monografi Kelurahan Belawan Sicanang (2013)

5.2 Karakteristik Responden

(56)

Tabel 14 Karakteristik responden

4. Status Kepemilikan Tambak

Berdasarkan tabel di atas, jumlah responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 39 responden (97,50%) dan perempuan 1 responden (2,50%). Perbedaan jumlah responden laki-laki dan perempuan yang cukup besar ini menunjukkan bahwa jumlah pekerjaan petani tambak lebih banyak dilakukan oleh laki-laki di Kelurahan Belawan Sicanang dan cukup berat untuk dijalankan oleh perempuan.

Responden memiliki tingkat usia yang bervariasi yaitu dari usia 20 hingga 60 tahun. Mayoritas responden yang paling banyak dengan kisaran usia 36-50 tahun sebanyak 20 responden (50,00%), sedangkan usia terendah kisaran 51-65 tahun sebanyak 9 responden (22,50%). Responen dengan kisaran usia 20-35 sebanyak 11 responden (27,50%). Data tersebut menjelaskan pada Kelurahan Belawan Sicanang usaha tambak dijalankan oleh usia produktif.

(57)

14 responden (35,00%) tingkat pendidikannya adalah lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Responden yang tidak sekolah sebanyak 3 responden (7,50%), responden dengan tingkat pendidikan lulusan Sekolah Dasar sebanyak 12 responden (30,00%), tingkat pendidikan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 10 responden (25,00%) dan yang lulus hingga perguruan tinggi sebanyak 1 responden (2,50%). Rendahnya tingkat pendidikan ini dipengaruhi oleh pola pikir responden yang masih beranggapan bahwa pendidikan bukan hal utama dan tidak terlalu berpengaruh terhadap pekerjaan yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Responden yang diwawancarai umumnya memiliki lahan dengan status kepemilikan sendiri sebanyak 30 orang (75,00%), dan sewa tambak sebanyak 10 responden (25,00%). Kepemilikan tambak di Kelurahan Sicanang paling banyak milik pribadi sehingga kolam tambak digarap sendiri oleh petani tambak tersebut. Pengalaman bertambak ditandai dengan lamanya waktu bertambak yang telah dijalankan oleh responden. Jumlah responden pada kisaran 5-15 tahun sebanyak 19 responden (47,50%), sedangkan pengalaman bertani pada kisaran 16-25 tahun sebanyak 15 responden (37,50%), dan pada kisaran 26-35 tahun sebanyak 6 responden (15,00%). Bertambak merupakan usaha budidaya yang telah dijalankan secara turun temurun sehingga pengalaman dalam budidaya diperoleh sejak membantu orang tua dan keluarga.

Mayoritas responden memiliki luas areal tambak dengan luas 1000-5000 m2 yaitu sebanyak 39 responden (97,50%). Berdasarkan data responden tentang luas tambak di Kelurahan Sicanang, luas tambak yang dimiliki oleh seluruh responden hampir sama karena kondisi perekonomian petani tambak di lokasi penelitian sama.

5.3 Potensi Mangrove

(58)

agalocha, Avicennia officinalis, Avicennia alba, Rizhophora stylosa, Rizhophora apiculata, Lumnitetzera littorea, Bruguiera gymnorhiza, dan Xylocarpus granatum. Hampir semua jenis mangrove sejati terdapat di lokasi ini, mulai dari jenis api-api (Avicennia spp.) yang umumnya merupakan jenis pada zonasi terdepan dalam hutan mangrove, bakau (Rhizophora spp.), dan teruntum (Lumnitzera sp.) yang sering ditemukan pada zonasi belakang.

Nilai keanekaragaman spesies diwujudkan melalui indeks keanekaragaman Shannon-Wienner yang merupakan suatu gambaran mengenai struktur vegetasi berupa persekutuan (assemblages) spesies dalam komunitas. Nilai keanekaragaman diperoleh berdasarkan data jumlah total individu seluruh spesies yang ada pada suatu lokasi. Menurut Barbour et al. (1987), nilai indeks keanekaragaman Shannon Wienner (H) berkisar antara 0-7 dengan kriteria (a) nilai 0-2 tergolong rendah (b) nilai 2-3 tergolong sedang dan (c) nilai 3 atau lebih tergolong tinggi. Data nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai indeks keanekaragaman Shannon Wienner untuk masing-masing

fase perkembangan vegetasi mangrove

No Fase Perkembangan Nilai Indeks Keanekaragaman

1 Semai 1,56

2 Pancang 1,73

3 Pohon 1,70

Sumber: Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan (2013)

Data indeks keanekaragaman yang diperoleh baik pada fase semai, pancang, dan pohon tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan atau variasinya kecil. Jika dikaitkan dengan kriteria yang disusun oleh Barbour et al. (1987) bahwa keanekaragaman vegetasi mangrove yang ada masuk kelompok rendah. Semakin kecil nilai indeks keanekaragaman maka semakin sedikit jumlah individu setiap jenis yang ditemukan.

Gambar

Tabel 1 Produk dan jasa hutan mangrove
Tabel 2 Kriteria ekosistem hutan mangrove
Tabel 3. Tabel 3 Kriteria perbandingan sistem budidaya tambak
Tabel 4 Syarat-syarat faktor teknik lingkungan dalam budidaya tambak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tambak silvofishery dengan kerapatan mangrove jarang memiliki kualitas air lebih baik jika ikan bandeng yang akan dibudidayakan, sebagian besar memenuhi kriteria untuk budidaya

Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam silvofishery oleh kelompok tani di Kabupaten Deli Serdang Kecamatan Hamparan Perak di Desa

Konsep silvofishery yang memadukan antara usaha tambak dengan penanaman mangrove diharapkan dapat menjembatani dua kepentingan tersebut, sehingga kegiatan budidaya

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan model dan pengelolaan terbaik lahan mangrove dengan tambak yang berbasis silvofishery di Desa Lama, Desa Paloh

Pengaruh Kerapatan Tegakkan Mangrove Terhadap Aspek Ekologis Tambak Tumpang sari (Silvofishery) (Studi Kasus di KPH Cibuaya, Besar Pengembangan Budidaya Air Payau)..

Kesesuaian Ekologis Hutan Mangrove Untuk Ekowisata Dan Silvofishery Di Pantai Utara, Rembang, Jawa Tengah.. Fakultas Kehutana

Konservasi hutan mangrove adalah upaya pelestarian mangrove melibatkan masyarakat sekitar, dengan cara menanam dan merawat pohon mangrove di sepanjang garis pantai

Judul Penelitian : Pengaruh Keberadaan Vegetasi Mangrove Berpengaruh Terhadap Produksi Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Tambak Silvofishery di Desa Tanjung Ibus Kecamatan