• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Sistem Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi) Di Sistem Lingkungan Terkontrol Dan Semi Alami.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Sistem Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi) Di Sistem Lingkungan Terkontrol Dan Semi Alami."

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN SISTEM PENANGKARAN JALAK BALI

(

Leucopsar rothschildi

) DI SISTEM LINGKUNGAN

TERKONTROL DAN SEMI ALAMI

RAHMA WIDIYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perbandingan Sistem Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Sistem Lingkungan Terkontrol dan Semi Alami adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

RAHMA WIDIYANTI. Perbandingan Sistem Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Sistem Lingkungan Terkontrol dan Semi Alami. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan NOVIANTO BAMBANG W.

Burung jalak bali (Leucopsar rothschildi) merupakan salah satu dari beberapa jenis burung dilindungi yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Meningkatnya penggemar burung ini dan status kelangkaan berakibat pada penyediaan bibit yang menyandarkan penangkapan dari alam, sehingga akan mengancam populasinya. Jumlah yang sangat sedikit tersebut menjadi alasan pentingnya upaya konservasi, salah satunya adalah penangkaran. Keberhasilan suatu usaha penangkaran yang dimanfaatkan untuk kegiatan konservasi dan pemanfaatan adalah menghasilkan keturunan yang produktif sebagai satwa rileas dan komoditas ekonomi. Keberhasilan penangkaran sering dilihat dari aspek ekologi maupun teknis penangkaran, tanpa melibatkan aspek finansial. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek teknis, reproduksi dan finansial penangkaran jalak bali di sistem lingkungan terkontrol dan semi alami serta menentukan tipologi keberhasilan penangkar jalak bali berdasarkan ketiga aspek tersebut.

Penelitian dilakukan di penangkaran jalak bali sistem lingkungan terkontrol UD Anugerah Kediri Jawa Timur dan penangkaran semi alami Tegal Bunder Taman Nasional Bali Barat pada Januari sampai Februari 2015, dengan menggunakan metode studi pendahuluan observasi langsung, wawancara dan studi pustaka. Peubah yang diamati yaitu peubah teknis penangkaran, reproduksi dan finansial. Teknis penangkaran dan reproduksi menggunakan analisis deskriptif. Data finansial pada suku bunga bank sebesar 17% dilakuan dengan analisis NPV, BCR, dan analisis sensitivitas. Tipologi keberhasilan penangkar jalak bali pada penelitian ini dilihat dari peubah teknis penangkaran yang berpengaruh, jumlah reproduksi lebih tinggi, dan nilai finansial yang lebih menguntungkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peubah teknis di kedua sistem penangkaran yang dikembangkan. Sedangkan jumlah reproduksi jalak bali yang lebih tinggi adalah di sistem lingkungan terkontrol sebesar 18 ekor per pasang per tahun. Sedangkan, di sistem penangkaran semi alami hanya 3 ekor per pasang per tahun. Berdasarkan peubah finansial pada suku bunga investasi sebesar 17%, penangkaran jalak bali di sistem lingkungan terkontrol lebih menguntungkan dibanding sistem semi alami dengan nilai NPV adalah 605.199.589 dan BCR 1,815, sedangkan nilai NPV di sistem semi alami yaitu (278.038.732) dan BCR 0,669. Tipologi keberhasilan penangkar jalak bali di sistem penangkaran yang dikembangkan berkaitan dengan aspek: (1) ketersediaan lahan; (2) kandang, (3) pakan, (4) perawatan kesehatan, (5) reproduksi yang dihasilkan dan keberhasilan perkembangbiakan, (6) finansial yang lebih menguntungkan.

(5)

SUMMARY

RAHMA WIDIYANTI. Bali Starling comparison breeding system in a controlled environment and semi-natural. Supervised by YANTO SANTOSA and NOVIANTO BAMBANG W.

Bali starling (Leucopsar rothschildi) is one of several protected bird species that have high economic value. This bird enthusiasts and increasing scarcity status resulted in the provision of seeds that rely arrest of nature, so that it will threaten the population. Very little amount is to be the reason the importance of conservation efforts, one of which is captivity. The success of a business breeding utilized for the conservation and utilization activities is to produce offspring of animals rileas and productive as an economic commodity. Breeding success is often seen from ecological and technical aspects of breeding, without involving the financial aspects. Therefore, this study aims to determine the technical aspects, reproduction and breeding financially Bali starling in the system is controlled and semi-natural environment and determine the typology breeder Bali starling success is based on three aspects.

The study was conducted in captivity Bali starling controlled environment systems UD Anugerah Kediri in East Java and semi-natural breeding Tegal Bunder West Bali National Park in January to February 2015, using the method of direct observation, interview and literature study. Variables observed that technical variables breeding, reproduction and financially. Data were analyzed using descriptive analysis, calculation of costs and revenues at the bank rate by 17%, and sensitivity analysis. Typology breeder Bali starling success in this study visits of influential technical variables, higher reproduction number, and a more favorable financial value.

The results showed that there are differences in technical variables in both breeding systems developed. While the number of reproductions higher Bali starling is in a system controlled environment of 18 heads per pair per year and in a semi-natural breeding system only three cows per pair per year. Based on the financial variables on the rate of investment of 17%, breeding bali starling in a controlled environment system is more profitable than semi-natural systems with a value of 605 199 589 NPV and BCR is 1,815, while the NPV value in semi-natural system that is (278 038 732) and BCR 0.669. Typology breeder Bali starling success in breeding system developed with regard to aspects: (1) the availability of land; (2) cage, (3) feed, (4) health care includes treatment and bird cages, (5) reproduction relating to the number of birds produced and breeding success, (6) which includes the financial costs and revenues to support profits.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)
(8)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

PERBANDINGAN SISTEM PENANGKARAN JALAK BALI

(

Leucopsar rothschildi

) DI SISTEM LINGKUNGAN

TERKONTROL DAN SEMI ALAMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah penangkaran jalak bali, dengan judul Perbandingan Sistem Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Sistem Lingkungan Terkontrol dan Semi Alami.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA dan Bapak Dr Ir Novianto Bambang W, MSi selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur, Balai Taman Nasional Bali Barat, PEH Balai Taman Nasional Bali Barat, keluarga ibu Yuli dan keluarga bapak Sugiarto yang telah membantu selama pengumpulan data, bapak Sofwan yang telah membantu penulis selama kuliah di program studi KVT. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ayah, ibu, putri, kedua adik, serta seluruh keluarga, teman-teman KVT 2013 atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 METODE 3

Lokasi dan Waktu 3

Alat 3

Jenis Data 3

Teknik Pengumpulan Data 3

Analisis Data 5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Penangkaran Jalak Bali 7 Teknis Penangkaran 7

Reproduksi 14

Finansial 16

Tipologi Keberhasilan Penangkaran Jalak Bali 22

4 SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 28

(13)

DAFTAR TABEL

1. Jenis data 4

2. Ketersediaan lahan 8

3. Jenis dan ukuran kandang 9

4. Jenis pakan jalak bali 12

5. Perkembangbiakan per pasang jalak bali 15

6. Penerimaan usaha penangkaran jalak bali 19

7. Nilai NPV dan BCR 21

8. Analisis sensitivitas 22

DAFTAR GAMBAR

1. Jenis kandang jalak bali 11

2. Jenis pakan jalak bali 12

3. Perbandingan biaya sistem lingkungan terkontrol dan semi alami 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Biaya penangkaran jalak bali di sistem lingkungan terkontrol 28 2 Biaya penangkaran jalak bali di sistem semi alami 29 3 Penerimaan pada kedua sistem penangkaran jalak bali 31 4 Nilai finansial penangkaran jalak bali pada tingkat suku

bunga 17% 32

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Burung jalak bali (Leucopsar rothschildi) merupakan salah satu dari beberapa jenis burung dilindungi yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Setio dan Takandjandji 2006). Keindahan morfologis dan tingkah laku satwa ini menjadi daya tarik, baik untuk kesenangan atau hobi. Jalak bali termasuk jenis burung yang banyak digemari oleh masyarakat (Setio dan Takandjandji 2006; Mas’ud 2010; Prakoso dan Kurniawati 2014). Kondisi ini menyebabkan jalak bali sebagai jenis langka, dilindungi dan endemik bisa terjual dengan harga per ekornya mencapai belasan juta rupiah (Kurniasih 1997; Mas’ud 2010).

Meningkatnya penggemar burung ini dan status kelangkaan berakibat pada penyediaan bibit yang menyandarkan penangkapan dari alam, sehingga akan mengancam populasinya (Mas’ud 2010; Putra et al. 2014). Bahkan Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menggolongkan jalak bali sebagai satwa dilindungi. Sampai dengan tahun 2013 jumlah populasi jalak bali di alam sebanyak 32 ekor. Jumlah burung jalak bali di alam sangatlah rendah dan termasuk ke dalam daftar nama hewan yang terancam punah (Gondo dan Sugiarto 2009).

Jumlah yang sangat sedikit tersebut menjadi alasan pentingnya upaya konservasi, salah satunya adalah penangkaran. Keberhasilan suatu penangkaran dapat diukur dari keberhasilannya meningkatkan populasi dan juga mempertahankan genetik. Upaya pelestarian jalak bali melalui penangkaran di Nusa Penida (Yusuf et al. 2009) menunjukan keberhasilan burung tersebut dalam bereproduksi. Penangkaran adalah salah satu teknik konservasi ek-situ yang paling banyak mendapatkan perhatian. Pentingnya penangkaran ditegaskan oleh Farnkham et al (2001) dalam Hakansson (2004) dan Leus (2011) yang menyatakan bahwa populasi yang ditangkarkan merupakan strategi asuransi terhadap kepunahan.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.69/Menhut-II/2013 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan, pengembangan penangkaran dibagi menjadi dua, yaitu sistem lingkungan terkontrol (captive breeding) dan pengembangbiakan berbasis semi alami. Penangkaran dengan sistem lingkungan terkontrol adalah lingkungan buatan di luar habitat alaminya yang dikelola untuk tujuan memproduksi jenis-jenis satwa tertentu, membuat batas yang jelas berupa kandang atau sangkar. Sedangkan pengembangbiakan semi alami yaitu adanya habitat semi alami yang lokasinya berada di sekitar habitat satwa yang akan dikembangbiakan dengan luasan memadai sesuai jenis dan perilaku satwa, dilengkapi pagar buatan maupun alam yang tidak memungkinkan keluarnya satwa.

(15)

2

sistem lingkungan terkontrol lebih banyak dikembangkan dibanding semi alami. Alasannya dapat dilakukan dalam skala usaha dan modal yang kecil sampai besar sesuai kemampuan pemilik (Mas’ud 2010). Hasil penelitian Purnamasari (2014) menunjukkan bahwa keberhasilan penangkaran jalak bali berkorelasi positif dengan teknis penangkaran dan modal serta biaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu, penelitian ini melakukan kajian tentang perbedaan sistem penangkaran jalak bali berdasarkan peubah teknis, reproduksi dan finansial.

Perumusan Masalah

Keberhasilan suatu usaha penangkaran yang dimanfaatkan untuk kegiatan konservasi dan pemanfaatan adalah menghasilkan keturunan yang produktif sebagai satwa releas dan komoditas ekonomi (Alikodra 1987; Teddy 1998). Keberhasilan ini berkorelasi dengan sistem penangkaran yang dikembangkan. Hasil penelitian Paryadi (2006) menunjukan perbedaan sistem yang diterapkan pada penangkaran monyet ekor panjang menyebabkan perbedaan biaya investasi dan biaya operasional yang dikeluarkan, sedangkan sistem yang berbeda berpengaruh terhadap aspek teknis dan produktivitas penangkaran rusa (Teddy 1998). Hal ini didukung hasil penelitian Santosa et al (2012) bahwa sistem pengelolaan penangkaran semi alami di Pusat Penelitian Penangkaran Rusa IPB Dramaga berpengaruh pada jumlah, mutu, dan panenan.

Kedua sistem penangkaran tersebut berbeda pada penangkaran jalak bali. Ada beberapa faktor teknis yang dipersyaratkan dalam pemeliharaan jalak bali. Berdasarkan Mas’ud (2010) dan Masy’ud (2013) mengatakan faktor teknis berperan penting dalam keberhasilan usaha penangkaran. Manipulasi lingkungan atau habitat di penangkaran yang dibuat harus disesuaikan dengan bioekologis satwa yang kita pelihara (Alikodra 2010). Pada akhirnya pilihan sistem penangkaran yang diterapkan dapat menjadi faktor pembatas keberhasilan dan keuntungan investasi usaha penangkaran.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana peubah teknis penangkaran, reproduksi dan finansial penangkaran jalak bali di sistem lingkungan terkontrol dan semi alami ?

2. Bagaimana tipologi keberhasilan penangkaran jalak bali ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Mengetahui dan membandingkan peubah teknis, reproduksi dan finansial penangkaran jalak bali di sistem lingkungan terkontrol dan semi alami.

2. Menentukan tipologi keberhasilan penangkaran jalak bali.

Manfaat Penelitian

(16)

3 sistem lingkungan terkontrol maupun semi alami serta memberikan masukan bagi pengelola khususnya Kementerian Kehutanan sebagai Autority Management dapat mendukung kebijakan pelestarian dan perijinan penangkaran jalak bali ke depan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada kajian tentang peubah teknis, reproduksi, dan finansial penangkaran jalak bali di sistem lingkungan terkontrol dan semi alami.

2

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di penangkaran sistem lingkungan terkontrol UD Anugerah Kediri Jawa Timur dan penangkaran semi alami Tegal Bunder Taman Nasional Bali Barat. Penelitian berlangsung selama 2 bulan mulai bulan Januari sampai bulan Februari 2015.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, perekam suara, software exel windows 2007 dan kamera.

Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer mencakup data teknis, reproduksi dan finansial penangkaran jalak bali di kedua sistem penangkaran yang dikembangkan. Data sekunder yang dikumpulkan yaitu data bioekologi jalak bali, peraturan penangkaran dan suku bunga bank (Tabel 1).

Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data diawali survey pendahuluan, dilanjutkan pengumpulan data primer dengan wawancara dan observasi lapang. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data sekunder melalui studi pustaka.

a. Survey pendahuluan

(17)

4

b. Wawancara

Terdapat 15 penangkar di sistem lingkungan terkontrol yang terdiri atas 5 penangkar di Jawa Tengah, 5 penangkar di Jawa Timur, dan 5 penangkar di Desa Sumberklampok Bali. Pemilihan satu sebagai obyek penelitian di kedua sistem penangkaran jalak bali berdasarkan pada kelengkapan data perkembangbiakan, lokasi, biaya, dan sistem yang digunakan. Selanjutnya dilakukan wawancara untuk mendapatkan data primer berupa peubah teknis, reproduksi dan finansial kepada kedua penangkar jalak bali yang terpilih. Penangkar jalak bali yang terpilih, yaitu sistem penangkaran lingkungan terkontrol di UD Anugerah dan sistem semi alami di penangkaran Tegal Bunder Taman Nasional Bali Barat. c. Observasi lapang

Kegiatan observasi lapang dilakukan terhadap aktivitas penangkaran jalak bali oleh kedua sistem penangkaran yang dikembangkan.

Tabel 1 Jenis Data

Jalak bali Jalak bali Bioekologi jalak bali Studi pustaka Suku bunga Suku bunga Besarnya suku bunga bank

(18)

5 d. Studi pustaka

Pustaka dikumpulkan melalui laporan penangkar Balai Besar KSDA Jawa Timur, rencana pengelolaan penangkaran jalak bali milik UD Anugerah, laporan penangkaran Balai Taman Nasional Bali Barat, statistik Balai Taman Nasional Bali Barat, master plan pengembangan jalak bali di Taman Nasional Bali Barat selama kurun waktu lima tahun, serta karya ilmiah yang mendukung penelitian ini.

Analisis data

Teknis Penangkaran

Teknis penangkaran yaitu semua persyaratan mengenai teknik penangkaran berupa metode dan proses yang harus dilakukan agar menghasilkan output sesuai tujuan. Aspek ini dianalisis secara deskriptif dengan memaparkan dan membandingkan penangkaran jalak bali di sistem lingkungan terkontrol dan semi alami.

Reproduksi

Data reproduksi dianalisis secara deskriptif, dengan membandingkan faktor sistem perkawinan, pengadaan bibit, perkembangbiakan baik kelahiran dan kematian pada kedua sistem penangkaran jalak bali yang dikembangkan.

Finansial

Perhitungan finansial dilakukan dengan mengukur kelayakan finansial usaha penangkaran jalak bali di setiap sistem yang dikembangkan baik biaya maupun penerimaan, kemudian diperbandingkan nilainya. Kriteria untuk menentukan nilai-nilai tersebut digunakan persamaan menurut Djasmin (1984) adalah sebagai berikut:

a. Net Present Value (NPV)

Keterangan :

Bt : Pendapatan Kotor Tahunan

Ct : Biaya tahunan

n : Umur Ekonomis Proyek t : Tahun Proyek

(19)

6

Penarikan kesimpulan :

- NPV < 0; artinya usaha penangkaran tersebut tidak layak untuk dikembangkan

- NPV= 0 ;artinya usaha penangkaran tersebut berada pada titik yang stagnan (tidak rugi dan tidak untung)

- NPV > 0 ; artinya usaha penangkaran tersebut layak untuk dikembangkan

b. Benefit Cost Ratio (BCR)

Keterangan :

Bt : Pendapatan Kotor Tahunan

Ct : Biaya tahunan

n : Umur Ekonomis Proyek t : Tahun Proyek

(1+i)t : Discounted factor (Df) Penarikan kesimpulan :

- BCR < 1; artinya usaha penangkaran tersebut tidak layak untuk dikembangkan

- BCR > 1 ; artinya usaha penangkaran tersebut layak untuk dikembangkan

Analisis Sensitivitas

Analisis ini digunakan untuk melihat apakah kedua sistem penangkaran yang dikembangkan, mampu bertahan pada kemungkinan paling optimis sampai kemungkinan paling pesimis. Dalam penghitungan digunakan empat skenario, yaitu :

1. Penurunan produksi sebesar 50% 2. Kenaikan biaya 5%

3. Suku bunga investasi tertinggi bank saat penelitian 4. Suku bunga investasi terendah bank saat penelitian

Tipologi Keberhasilan Penangkaran Jalak Bali

(20)

7

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penangkaran Jalak Bali

Penangkaran merupakan kegiatan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan alam yang bertujuan untuk memperbanyak populasi

dengan mempertahankan kemurnian jenis sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam atau di habitat aslinya tetap terjaga yang meliputi kegiatan pengumpulan

bibit, pengembangbiakan, memelihara, membesarkan, dan restocking yang bertujuan untuk melestarikan satwaliar dan tumbuhan alam maupun memperbanyak populasinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Thohari 1987). Hal ini didukung pula oleh Alikodra (2010) bahwa prinsip penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakan sejumlah satwaliar yang sampai pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi untuk selanjutnya, pengembangannya hanya diperkenankan diambil dari keturunan- keturunan yang berhasil dari penangkaran.

Bentuk penangkaran jalak bali di kedua penangkaran, baik UD Anugerah maupun penangkaran Tegal Bunder merupakan penangkaran exsitu, yaitu penangkaran yang dikembangkan di luar habitat alaminya. Penangkaran UD Anugerah merupakan salah satu dari penangkaran yang bergerak dibidang penangkaran burung berkicau terutama burung dilindungi. Penangkaran ini didirikan pada tahun 2008 oleh Suhono Nyoto Sardjono. Perusahaan ini menangkarkan berbagai jenis burung baik burung yang dilindungi adalah jalak bali (Leucopsar rothschildi). Perusahaan ini berdiri berdasarkan hobi pengelola dalam memelihara burung, khususnya burung-burung berkicau dan burung jalak bali. Pada tanggal 27 Juni 2008, penangkaran UD Anugerah mendapatkan izin penangkaran berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal PHKA No. 75/IV/Set-3/2008 dan pada tanggal 20 Agustus 2009 mendapatkan Surat Keputusan Perlindungan dan Pengawetan Alam dengan surat izin SK 99/IV-8/PPA.0.0/09 sebagai pengedar. Tujuan didirikannya penangkaran UD Anugerah adalah menghasilkan keturunan yang produktif untuk dimanfaatkan sebagai usaha ekonomi.

Penangkaran jalak bali semi alami Tegal Bunder dimulai sejak bulan April tahun 1995, yaitu setelah berakhirnya Proyek Penyelamatan Jalak Bali oleh ICBP yang bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan atau Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan atau PHKA saat ini. Tujuan kegiatan penangkaran ini adalah menghasilkan keturunan yang produktif untuk memenuhi kebutuhan cikal bakal peliaran dalam rangka pemulihan populasi liar Jalak Bali, mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat peminat penangkar, dan peneliti jalak bali.

Teknis Penangkaran

(21)

8

lahan, kandang, pakan, penandaan dan perawatan kesehatan berpengaruh terhadap keberhasilan usaha penangkaran.

Perijinan

Sebagaimana layaknya usaha di bidang lain, maka usaha penangkaran jalak bali perlu dilengkapi dengan perijinan. Bentuk perijinan tidak berbeda untuk kedua sistem penangkaran yang dikembangkan, karena sampai saat ini belum ada perijinan khusus untuk masing-masing sistem penangkaran.

Syarat permohonan ijin bagi semua penangkar harus dilengkapi dengan (1) proposal penangkaran dengan mencantumkan rencana kerja selama lima tahun, (2) fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) bagi perorangan, (3) akte notaris perusahaan bagi badan hukum/lembaga konservasi, (4) surat keterangan lokasi penangkaran bagi perorangan atau fotocopy Surat Ijin Tempat Usaha (SITU) bagi badan hukum yang menyatakan usaha tersebut tidak menimbulkan gangguan pada manusia dan lingkungan di sekitarnya, (5) dokumen legalitas yang menerangkan asal induk berasal dari usaha penangkaran, dan (6) berita acara persiapan teknis dan rekomendasi dari kepala Balai KSDA setempat yang selanjutnya diteruskan ke Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati untuk diterbitkan surat ijin penangkaran oleh Direktur Jenderal PHKA.

Ketersediaan Lahan

Setio dan Takandjandji (2006) menyatakan bahwa dalam melakukan usaha penangkaran terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan diantaranya adalah ketersediaan lahan penangkaran yang cocok. Ketersediaan lahan ditinjau dari lokasi untuk pelepasan kembali ke alam maupun pemanfaatan untuk kepentingan usaha. Lebih lanjut, Mas’ud (2010) menyatakan untuk menangkarkan jalak bali diperlukan tempat yang harus cocok secara teknis biologis, nyaman dan aman dari berbagai faktor pengganggu termasuk dari gangguan aktivitas manusia dan terhindar dari kemungkinan banjir atau tergenangnya air pada waktu musim hujan. Oleh karena itu ketersediaan lahan menjadi faktor penting dalam memulai usaha penangkaran.

Faktor utama ketersediaan lahan yang berbeda pada kedua sistem penangkaran jalak bali adalah luas dan lokasi penangkaran.

Tabel 2 Ketersediaan lahan

(22)

9 Sistem lingkungan terkontrol memerlukan luas lahan lebih kecil dibanding sistem semi alami. Semakin besar ukuran populasi awal yang diinginkan, dan modal yang cukup maka luas areal yang dibutuhkan akan semakin luas (Paryadi 2006; Mas’ud 2010; Masy’ud 2013). Penangkar jalak bali bebas menempatkan lokasi penangkaran milik mereka, ada yang di samping, ada pula dibelakang rumah. Pilihan ini berhubungan dengan kelancaran pekerjaan penangkaran yaitu bertujuan mempermudah proses pemeliharaan dan pengamanan satwa.

Berbeda dengan penangkaran semi alami, luas lahan yang besar diduga menjadi faktor penting untuk penyediaan habitat semi alami dalam mengekspresikan perilaku biologis jalak bali. Pilihan ini mempermudah dalam proses habituasi dan pelepasliaran jalak bali. Lokasi penangkaran sedapat mungkin mendekati kondisi alaminya, agar jalak bali tidak mudah stress (Mas’ud 2010). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Teddy (1998) dan Kwatrina (2009) di penangkaran rusa timor (Cervus timorensis).

Lokasi penangkaran jalak bali di sistem semi alami Tegal Bunder sudah mencerminkan habitat alami jalak bali. Kandang berada pada tempat yang bebas banjir pada musim penghujan, jauh dari keramaian dan kebisingan, tidak terganggu berbagai polusi, di dalam kandang ditanami pakan alami jalak bali selain berfungsi juga untuk pelindung, serta tersedia air yang cukup untuk minum dan mandi burung.

Kandang

Jenis dan ukuran kandang yang digunakan di UD Anugerah dan penangkaran Tegal Bunder berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan tujuan dari kedua penangkaran tersebut. UD Anugerah bertujuan untuk perkembangbiakan dalam rangka usaha pemanfaatan, sedangkan penangkaran Tegal Bunder bertujuan perkembangbiakan untuk cikal bakal pelepasliaran. Jenis dan ukuran kandang jalak bali adalah sebagai berikut :

Tabel 3 Jenis dan ukuran kandang Sistem

penangkaran Jenis kandang Ukuran kandang

Lingkungan Terkontrol

1.Kandang pembesaran 1,5 m x 2,5 m x 3 m 2.Kandang perjodohan 1,5 m x 2 m x 3 m 3.Kandang soliter 0,5 m x 0,4 m x 0,35 m

4.Inkubator 1 m x 0,5 m x 0, 45 m

Semi alami 1.Kandang pembiakan 4 m x 3 m x 2,5 m 2.Kandang sapihan 4 m x 4 m x 2,5 m 3.Kandang perjodohan 6 m x 3 m x 2 m 4.Kandang karantina 2,5 m x 1 m x 4 m

(23)

10

Jenis kandang di sistem lingkungan terkontrol UD Anugerah dibedakan menurut umur jalak bali dan fungsi kandang. Berdasarkan umur jalak bali dibedakan menjadi kandang anakan dan kandang remaja/dewasa. Sedangkan berdasarkan fungsi kandang dibedakan menjadi kandang pembesaran, perjodohan, soliter, dan inkubator (Azis 2013). Berdasarkan hasil penelitian, kandang pembesaran berfungsi untuk membesarkan jalak bali yang berumur 3 bulan hingga menjadi jalak bali dewasa yang siap untuk dijual. Kandang perjodohan digunakan untuk menjodohkan indukan yang siap bereproduksi. Kandang soliter berfungsi untuk proses adaptasi jalak bali yang baru didatangkan dari luar sehingga terhindar dari stres dan penyakit. Terakhir adalah inkubator, digunakan untuk membesarkan anakan jalak bali yang berumur 3-7 hari sampai berumur 1 bulan.

Dinding kandang sebaiknya dibuat terbuka dan dibatasi dengan kawat ram dan atap menggunakan genteng atau asbes. Bahan konstruksi sederhana sampai dengan mewah dapat digunakan, terbuat dari bahan bata, rangka besi, dan kawat, berdiameter lebih dari 2 mm. Sebaiknya kandang dibuat lebih terlindung, dengan cara melapisi setiap sisi kandang dengan shading net guna melindungi dari pengaruh lingkungan luar (Setio dan Takandjandji 2006). Setiap kandang memiliki sarana seperti kayu untuk tempat bertengger, sarang gowok, tempat mandi, dan tempat makan (Masy’ud 1992; Azis 2013).

Tidak semua kandang yang terdapat di penangkaran UD Anugerah mempunyai kontruksi yang permanen, diantaranya adalah kandang soliter dan inkubator. Kandang soliter terbuat dari kayu dan besi hanya sebagai gantungan, sedangkan kandang inkubator terbuat dari kontruksi seng dan papan. Kandang dengan sistem permanen terdapat kelemahan yaitu kandang tersebut tidak bisa dipindah-pindahkan sehingga terkadang sedikit merugikan. Apabila musim penghujan burung di dalamnya tidak bisa dipindahkan yang mengakibatkan burung akan kedinginan.

Penangkaran UD Anugerah menyediakan sarana pendukung kandang berupa tempat makan, minum, tempat mandi, sarang dan kamera CCTV. Pada kandang pembesaran dan kandang perjodohan, tempat pakan dan tempat minum terbuat dari plastik dan diletakkan menempel di dinding Penggunaan plastik untuk tempat makan dan tempat minum dikarenakan apabila tempat pakan dan tempat minum tersebut jatuh, maka kemungkinan kecil akan pecah. Untuk meletakkan pakan buah seperti pisang dan pepaya, pengelola Penangkaran UD Anugrah memasang paku untuk menempelkan buah-buah tersebut. Selain itu, untuk tempat mandi terbuat dari semen dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 40 cm dan tinggi 5 cm.

(24)

11

Pada kandang soliter, tempat pakan dan minum digantung di dinding kandang. Kandang soliter menyediakan lampu penerangan yang berfungsi untuk menghangatkan burung serta untuk meminimalisir kehadiran hewan pemangsa seperti tikus yang biasanya sering menyerang pada malam hari pada ruangan yang gelap.

Inkubator yang terdapat di Penangkaran UD Anugrah menggunakan inkubator yang otomatis dalam mengatur suhu yang terdapat di dalam inkubator tersebut, sehingga tidak perlu menggunakan lampu penerangan yang digunakan untuk menghangatkan anakan jalak bali yang baru dipindahkan dari induknya. Sarang yang terbuat dari tumpukan daun pinus digunakan untuk menaruh piyik jalak bali agar piyik tersebut menjadi nyaman (Azis 2013).

Kondisi ini berbeda dengan penangkaran sistem semi alami Tegal Bunder, semua kandang mempunyai kontrukusi yang permanen. Guna mendapatkan kandang seperti habitat alaminya, maka minimum digunakan lima jenis kandang yaitu kandang pembiakan, kandang perjodohan, kandang sapihan, kandang karantina dan kandang kubah (TNBB 2010; Mas’ud 2010).

Kandang pembiakan berfungsi untuk mengembangbiakan burung dan memelihara pasangan induk yang akan berkembang biak. Kandang sapihan disiapkan untuk menyapih dan membesarkan anak yang sudah berumur satu bulan. Kandang perjodohan bertujuan untuk menjodohkan jalak bali atau mencari pasangan sebelum dilepaskan di dalam kandang perkembangbiakan. Kandang karantina untuk keperluan mengkarantina burung-burung yang baru datang dari luar penangkaran, agar mudah beradaptasi, mencegah kemungkinan adanya penyakit yang menular. Terakhir adalah kandang kubah, disiapkan untuk melatih jalak bali sebelum di lepas ke habitat aslinya atau berfungsi sebagai kandang praliar.

Kandang pembiakan dibuat dengan model semi tertutup. Sebagian atap terbuka, cukup diberikan kawat ram dan sebagian lainnya tertutup genteng untuk melindungi sarang, tempat pakan, maupun tempat berlindung. Kandang sapihan semua dinding dibuat terbuka dan di dalam kandang ditanami tanaman-tanaman. Semua kandang di penangkaran Tegal Bunder dilengkapi sarana pendukung seperti tempat makan dan minum, tempat berteduh/bertengger, sarang, dan tempat mandi.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 1 Jenis kandang jalak bali

(25)

12 Pakan

Pada penangkaran satwa, pakan menjadi unsur penting yang menentukan keberhasilan penangkaran, karena selain sebagai sumber energi juga menempati biaya terbesar. Biaya pakan mencapai 60% bahkan lebih dari seluruh komponen biaya operasional (Mas’ud 2010). Begitu pula pada penangkaran jalak bali, pakan merupakan unsur penting. Makanan bahkan sebagai faktor pembatas bagi usaha penangkaran. Selain itu, dalam penyediaan pakan harus cukup untuk memenuhi kebutuhan sehingga makanan yang diberikan berfungsi secara efektif dan efisien. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah kecocokan antara pakan dan jalak bali yang ditangkarkan.

Pemilihan pakan berbeda untuk kedua sistem penangkaran jalak bali. Faktor utama dalam pemilihan pakan yaitu ukuran pakan yang diberikan. Pada sistem lingkungan terkontrol, pemilihan dan penyediaan pakan menjadi unsur utama bagi keberhasilan penangkaran, selain itu pakan merupakan hal penting untuk perkembangbiakan jalak bali (Azis 2013; Purnamasari 2014). Pemilihan pakan untuk jalak bali yang dipelihara harus diperhatikan kebiasaan makan/food habit (Mas’ud 2010; Lariman 2011).

Tabel 4 Jenis pakan jalak bali Faktor

pemilihan pakan

Sistem penangkaran

Lingkungan terkontrol Semi alami Jenis dan ukuran

pakan

1. Pisang 100 gr 1. Pisang 90 gr 2. Pepaya 90 gr 2. Pepaya 90 gr

3. Ulat Hongkong, kroto, 3. Ulat Hongkong 8 gr cacing 20 gr 4. Telur semut 8 gr 4. Jangkrik 2 ekor 5. Jangkrik 2 ekor 5. Voer 100 gr 6. Pakan buatan 15 gr Pemberian pakan utama di UD Anugerah dilakukan secara intensif sehari satu kali pada pukul 06.00 – 7.30 dengan kriteria yang berkualitas diantaranya adalah mempunyai kandungan gizi yang dibutuhkan oleh burung, makanan harus

(a)(b)

(26)

13 segar, tidak berjamur, dan mudah dicerna oleh burung (Forum 2012). Pakan utama berupa voer dan jangkrik, sedangkan pakan tambahan diantaranya kroto, ulat hongkong dan buah. Pakan yang diberikan di penangkaran UD Anugerah dinilai cukup bervariasi sehingga membuat jalak bali tidak bosan memakan pakan yang diberikan (Azis 2013).

Pada penangkaran semi alami Tegal Bunder, pakan utama jalak bali berupa serangga, cacing, pisang, pepaya, ulat hongkong dan jangkrik. Frekuensi pemberian pakan tidak berbeda dengan UD Anugerah yaitu dilakukan sebanyak satu kali setiap hari. Sedangkan pakan alami jalak bali di alam adalah juwet, kemloko, dadap, talok, ciplukan dan kelayu (Kurniasih 1997; Ginantra et al. 2009; Riany dan Aunorohim 2013). Kondisi ini sesuai dengan vegetasi yang menyusun habitat jalak bali di Taman Nasional Bali Barat adalah lebih banyak tanaman yang memproduksi buah dan biji.

Penandaan

Pelaksana penangkaran wajib melakukan penandaan atau sertifikasi terhadap indukan maupun hasil penangkarannya. Untuk memudahkan asal usul penangkaran penandaan dilengkapi dengan sertifikat. Penandaan dilakukan sama untuk semua jalak bali yang berada di penangkaran baik sistem lingkungan terkontrol maupun semi alami. Pemberian tanda (tagging) diperlukan untuk mengetahui silsilah, umur, nama pemilik penangkaran, dan pengontrolan. Penandaan diberikan pada usia 1 sampai dengan 14 hari untuk mempermudah pemasangan dan tidak melukai kaki jalak bali dengan menggunakan bahan seperti cincin yang terbuat dari platina.

Perawatan Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu aspek penting yang menentukan keberhasilan penangkaran jalak bali (Yunanti 2012). Salah satu kendala terbesar dalam penangkaran jalak bali adalah munculnya serangan penyakit yang bisa datang kapan saja, dan apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian.

Kebersihan dalam kandang dan sekitarnya sangat membantu dalam produktivitas jalak bali yang ditangkarkan oleh Penangkaran UD Anugrah. Kandang yang tidak bersih akan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Kegiatan perawatan pada kandang dilakukan pada pagi hari dengan cara:

1. Mengganti air yang digunakan untuk mandi dan untuk minum. 2. Mengganti pakan yang tersisa dengan pakan yang baru.

3. Menyapu, menyikat dan menyemprot pada bagian kandang yang terdapat kotoran yang melekat.

(27)

14

menjaga daya tahan tubuh jalak bali serta menggunakan jasa dokter hewan. Berdasarkan laporan tentang perawatan kesehatan di UD Anugerah telah dilakukan secara baik.

Frekuensi perawatan burung yang tinggi mempengaruhi keberhasilan penangkaran jalak bali yang dilakukan, karena akan mengurangi tingkat kematian. (Purnamasari 2014). Namun pada kondisi tertentu, khususnya pada masa reproduksi perawatan harus dikurangi untuk menghindari stres. Hal ini sejalan dengan Mas’ud (2010) menyatakan kegiatan pembersihan kandang harus dikurangi saat musim kawin dan pengeraman telur, kegiatan pembersihan kandang sebaiknya dilakukan 2-3 hari sekali. Selain itu dalam perawatan jalak bali perlu dilakukan pemisahan anak lebih awal untuk mencegah kematian akibat dipatuk induknya.

Pada penangkaran Tegal Bunder perawatan kesehatan jalak bali dilakukan dengan memberikan vitamin tambahan yang dimasukan dalam pakan dan pembersihan kandang yang dilakukan setiap hari. Namun pemeriksaan kesehatan oleh dokter hewan dengan test medis melalui contoh spesimen tinja atau bulu dilakukan setiap satu tahun satu kali. Dari pengamatan managemen perawatan kesehatan di penangkaran Tegal Bunder telah dilakukan dengan baik namun masih perlu ditingkatkan terutama perhatian menyangkut kebersihan kandang.

Reproduksi

Reproduksi jenis-jenis satwa liar yang dilakukan secara intensif dalam penangkaran, memiliki proses pemeliharaan yang pada dasarnya sama dengan pengembangbiakan pada hewan ternak (Thohari 1987). Pengetahuan tentang biologi dan perilaku reproduksi jenis satwa yang ditangkarkan sangat penting karena dapat memberikan arah pada tindakan manajemen yang diperlukan guna menghasilkan produksi satwa yang ditangkarkan sesuai harapan.

Sistem Perkawinan

Penggunaan sistem yang berbeda menyebabkan proses reproduksi juga berbeda. Sistem perkawinan jalak bali yang dikembangkan di penangkaran UD Anugerah dan Tegal Bunder adalah sistem monogami, yakni sistem perkawinan di mana setiap induk betina hanya dipasangkan dengan seekor jantan dalam satu kandang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Masy’ud (1992) di penangkaran Kebun Binatang Surabaya dan Putra et al (2014) di Bali Bird Park. Campur tangan manusia dilakukan dalam mengatur pemilihan pasangan. Sistem monogami yang dikembangkan tidak bersifat tetap, artinya pasangan yang dibentuk bisa diganti atau dipasangkan lagi dengan yang lain.

(28)

15 Pengetahuan mengenai bioekologi jalak bali, lamanya menangkar berhubungan dengan tingkat keberhasilan perkawinan dan kelahiran burung. Waktu menangkarkan yang semakin lama dan meningkat akan memberikan pengalaman kepada penangkar dalam pengelolaan penangkaran sehingga dapat menunjang keberhasilan penangkaran. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya nilai kelahiran pada tahun pertama dan mulai meningkat pada tahun selanjutnya (Purnamasari 2014).

Pengadaan Bibit

Menurut Mas’ud (2010), pemilihan bibit jalak bali yang dijadikan sebagai indukan harus sehat, energik (aktif), nafsu makannya baik, kotorannya tidak keras atau tidak encer, mata jernih, bulu halus, bulu bersih putih mengkilat, dan gerakannya lincah. Di Penangkaran UD Anugrah, pemilihan bibit jalak bali untuk dijadikan indukan telah memenuhi syarat sehat dan tidak cacat. Selain itu, jantan usia minimal berumur satu tahun dan untuk betina usia minimal delapan bulan. Pengadaan bibit berasal dari sesama penangkar jalak bali (Azis 2013). Induk berasal dari pembelian yang diperoleh dari para penangkar jalak bali yang lain.

Pada penangkaran Tegal Bunder, asal-usul induk yang diberdayakan dalam kegiatan penangkaran ini, antara lain individu yang berasal dari peninggalan ICBP dan selanjutnya diperoleh secara kerjasama pelestarian dengan Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Taman Safari Indonesia (TSI), Kebun Binatang Surabaya (KBS), BKSDA DKI, hasil pertukaran individu dengan individu dengan penangkar di Bandung, Madiun, dan Denpasar, serta berasal dari hasil sitaan (TNBB 2010).

Perkembangbiakan Anakan Jalak Bali

Menurut Setio dan Takandjandji (2006), reproduksi merupakan kunci keberhasilan dalam penangkaran untuk meningkatkan populasi dan produktivitas, faktor utama yang mempengaruhi hal ini salah satunya adalah kelahiran dan kematian.

Tabel 5 Perkembangbiakan per pasang jalak bali Sistem penangkaran Lingkungan terkontrol Semi alami Jumlah telur/pasang

/bertelur

4 butir 3 butir

Jumlah reproduksi/tahun 12 kali 4 kali

Daya tetas telur 49,60% 31,18%

Kelahiran piyik 23 ekor 4 ekor

Angka kematian piyik 24% 12,85%

(29)

16

Reproduksi jalak bali di penangkaran UD Anugerah berlangsung sepanjang tahun, sehingga jumlah telur yang berhasil menetas untuk sepasang indukan sebanyak 48 butir per tahun serta produktivitas anak yang mampu dihasilkan hanya sejumlah 18 ekor per tahun. Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan hasil analisis daya tetas telur dan tingkat mortalitas piyik di penangkaran jalak bali Kebun Binatang Surabaya, yaitu sebesar 51,97% dan 27,07% (Masy’ud 1992).

Berbeda di sistem penangkaran semi alami Tegal Bunder jalak bali hanya mampu bertelur sebanyak empat kali setahun. Reproduksi jalak bali diperkirakan berlangsung pada bulan September sampai Desember (Alikodra 1987). Oleh karena itu telur yang dihasilkan sebanyak 12 butir per tahun dan produktivitas anak yang dapat bertahan hidup adalah 3 ekor per tahun. Menurut Gepak (1986), Alikodra (1987), Thompson dan Brown (2001) masa reproduksi jalak bali di habitat alami diduga berhubungan dengan perbedaan musim dan tersedianya makanan dalam jumlah yang cukup sehingga cuaca dan musim sangat berpengaruh pada proses reproduksi.

Jumlah telur, kelahiran dan kematian anak yang dihasilkan ternyata menunjukan angka yang lebih tinggi di UD Anugerah dibandingkan penangkaran Tegal Bunder, hal ini diduga dipengaruhi oleh pengaturan perkembangbiakan, perawatan, pembesaran anak dan frekuensi perawatan burung berhubungan nyata dengan kematian burung (Purnamasari 2014). Menurut Masy’ud (2010) perkembangbiakan jalak bali di penangkaran pada dasarnya dapat diatur, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih maksimal. Di penangkaran UD Anugerah, pengaturan ini dilakukan melalui pengaturan masa penyapihan anak. Jalak bali yang telah bertelur dan menetaskan anaknya dilakukan penyapihan pada umur 14 hari, sehingga induk dapat bertelur kembali. Bersamaan dengan proses percepatan penyapihan induk diberikan makanan yang berkualitas baik dan ditambahkan dengan vitamin. Proses pembesaran piyik di Penangkaran UD Anugrah dilakukan dengan cara pengelola mengambil piyik yang telah berumur 3 – 7 hari kemudian dipindahkan ke inkubator. Suhu di dalamnya disesuaikan dengan suhu nyaman jalak bali yaitu sekitar 29°C supaya piyik tersebut tetap hangat dan nyaman.

Menurut Setio dan Takandjandji (2006), pembesaran piyik yang dilakukan di Penangkaran UD Anugrah dilakukan dengan cara hand rearing. Hand rearing adalah proses penanganan piyik dengan cara memisahkan atau mengambil burung dari induknya untuk kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh penangkar secara lebih intensif sampai burung bisa dianggap mandiri. Namun kadang teknik ini akan menyebabkan kematian piyik lebih tinggi apabila tidak dilakukan dengan telaten dan pengetahuan yang memadai. Akan tetapi, pada penangkaran Tegal Bunder piyik dibiarkan dipelihara oleh induknya secara alami, sehingga mengurangi kematian. Hal terbukti bahwa angka kematian piyik di penangkaran Tegal Bunder lebih kecil dibanding di UD Anugerah.

Finansial

Biaya

(30)

17 juga dianggap sebagai pengorbanan dalam upaya penyediaan pelayanan atau kegiatan program guna mencapai tujuan yang diinginkan (Gittinger 1986).

Tidak ada perbedaan jenis biaya di kedua sistem penangkaran jalak bali, namun yang berbeda adalah besaran dan komponen pendukung dari biaya tersebut. Penangkaran jalak bali menggunakan jenis biaya investasi, biaya tetap, dan biaya variabel. Biaya investasi umumnya digunakan dalam waktu yang relative lama, biaya ini berhubungan dengan pembangunan atau pengembangan infrastruktur. Berdasarkan hasil wawancara biaya investasi pada penangkaran jalak bali terdiri dari biaya pengadaan lahan, perijinan, pembuatan kandang, pembangunan pagar, penyediaan sarana dan prasarana kandang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kwatrina (2009) pada penangkaran rusa. Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisaran perubahan volume kegiatan tertentu, besar kecilnya biaya ini dipengaruhi oleh strategi manajemen, sedangkan yang termasuk dalam biaya tetap adalah gaji pegawai, operasional perkantoran, dan pemeliharaan sapras. Terakhir adalah biaya variabel yaitu biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan per unit konstan, antara lain biaya pakan dan perawatan satwa (Santosa et.al 2012).

Hasil penelitian Purnamasari (2014) menyatakan bahwa modal dan biaya berkorelasi positif terhadap keberhasilan penangkaran jalak bali. Modal khususnya berhubungan dalam keberhasilan kelahiran burung. Penangkar jalak bali yang memiliki tingkat kelahiran burung tinggi yaitu penangkar yang memulai kegiatan usahanya dengan modal usaha yang cukup. Jumlah modal yang dikeluarkan utamanya akan mempengaruhi kesesuaian kandang yang akan dibuat baik dari segi ukuran, bahan penyusun, letak dan sarana yang ada di dalamnya (Setio dan Takandjandji 2006). Faktor kandang inilah yang akan berpengaruh terhadap angka kelahiran burung. Tingkat kesesuaian kandang diduga mampu meningkatkan angka kelahiran. Faktor biaya berhubungan dengan kematian burung, biaya kegiatan penangkaran yang dikeluarkan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pakan dan vitamin untuk burung, perawatan kesehatan serta pemeliharaan kandang (Mas’ud 2010). Kebutuhan kegiatan penangkaran yang menunjang keberhasilan penangkaran membutuhkan biaya yang tinggi.

(31)

18

Penangkaran sistem lingkungan terkontrol UD Anugerah menggunakan modal yang bersumber dari modal sendiri sedangkan penangkaran sistem semi alami Tegal Bunder menggunakan dana dari pemerintah. Oleh karena itu agar penangkaran yang didirikan berjalan dengan baik maka analisis pembiayaan diperlukan (Djasmin 1984). Dengan analisis biaya dapat diketahui besarnya modal uang yang dibutuhkan dalam setiap periode usaha (Aprilia 2005).

Total biaya investasi yang dikeluarkan pada sistem lingkungan terkontrol sebesar Rp97.750.000, biaya tetap selama 5 tahun masa perijinan sebesar Rp61.400.000 dan biaya variabel Rp110.808.000. Sedangkan di sistem penangkaran semi alami biaya investasi sebesar Rp291.994.850, biaya tetap adalah Rp98.585.000 dan biaya variabel bernilai Rp47.700.000.

Pada sistem penangkaran semi alami Tegal Bunder biaya investasi dan biaya tetap lebih tinggi nilainya dibanding lingkungan terkontrol karena biaya ini dialokasikan untuk pembangunan kandang, dan operasional keamanan. Jalak bali di penangkaran semi alami sangat rawan terhadap pencurian, sehingga peningkatan fasilitas keamanan harus disediakan. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Paryadi (2006) dan Kwatrina (2009) di sistem penangkaran rusa timor serta monyet ekor panjang dengan sistem semi alami bahwa biaya investasi dan biaya tetap lebih rendah dibanding sistem penangkaran intensif karena habitat penangkaran semi alami memanfaatkan habitat alami satwa yang ditangkarkan.

Total biaya variabel pada sistem penangkaran Tegal Bunder yang menggunakan sistem semi alami, lebih rendah dibanding sistem penangkaran lingkungan terkontrol. Kondisi ini disebabkan karena pengalokasian dana untuk pemenuhan pakan, vitamin dan perawatan kesehatan masih lebih rendah dibanding biaya investasi. Pada sistem semi alami, sumber pakan utama jalak bali diberikan dalam porsi ukuran pakan yang masih lebih kecil dibanding jumlah pakan di penangkaran lingkungan terkontrol sehingga mampu mengurangi biaya pembelian pakan (Paryadi 2006), sedangkan pada sistem lingkungan terkontrol pakan merupakan faktor utama penunjang produktivitas dan keberlangsungan hidup jalak bali, sehingga mengambil porsi tertinggi dalam pengalokasian biaya dalam satu tahun (Masy’ud 1992; Iswantoro 2008; Azis 2013; Purnamasari 2014). Sejalan dengan penelitian Purnamasari (2014) biaya pemenuhan pakan satwa dapat mencapai 60% bahkan lebih dari seluruh komponen biaya variabel yang dikeluarkan setiap tahun.

Penerimaan

(32)

19 Tabel 6 Penerimaan usaha penangkaran jalak bali

Komponen analisis Sistem penangkaran

Lingkungan terkontrol Semi alami

Perkembangbiakan dihitung untuk 5 pasang jalak bali; 2 Nilai jalak bali per ekor

Pertambahan populasi anakan jalak bali dihitung dengan asumsi: (1) individu mempunyai laju reproduksi tetap sepanjang waktu, (2) tidak ada persaingan diantara individu di dalam populasi yang sama, (3) selalu ada ruang dan pakan yang cukup untuk mendukung populasi, (4) semua burung di UD Anugerah diperuntukan untuk dijual dan di penangkaran Tegal Bunder digunakan untuk pelepasliaran, (5) induk yang digunakan sebanyak 5 pasang. Produktivitas jalak bali pada sistem lingkungan terkontrol diduga sebesar 90 ekor per tahun dan di penangkaran semi alami sebesar 15 ekor per tahun.

Produktivitas jalak bali di sistem lingkungan terkontrol lebih besar dibandingkan sistem semi alami, karena diakibatkan perbedaan pola reproduksi diantara kedua sistem penangkaran yang dikembangkan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa perbandingan jalak bali yang dihasilkan antara sistem penangkaran lingkungan terkontrol dan semi alami adalah 6:1, artinya setiap enam ekor jalak bali yang dihasilkan di sistem lingkungan terkontrol maka di sistem semi alami hanya menghasilkan satu ekor.

Perbandingan jalak bali pada sistem lingkungan terkontrol menunjukan nilai burung lebih rendah dibandingkan sistem semi alami. Jalak bali pada lingkungan terkontrol mempunyai nilai berkisar empat juta rupiah per ekor, tetapi pada lingkungan semi alami nilai jalak bali sebesar sepuluh juta rupiah per ekor. Perbedaan nilai ini diduga, disebabkan oleh kualitas jalak bali yang dihasilkan. Jalak bali pada sistem lingkungan terkontrol berdasarkan penampakan fisik lebih besar, kemampuan reproduksi lebih tinggi, tetapi daya tahan hidup dan tingkat stres juga lebih besar, serta penampakan fisik terutama bulu tidak begitu mengkilap. Sebaliknya jalak bali hasil penangkaran sistem semi alami, bulu lebih mengkilap, gerakan lebih agresif, daya adaptasi tinggi namun tidak didukung dengan kemampuan reproduksi yang tinggi. Akan tetapi, para penggemar jalak bali lebih menyukai jalak bali hasil penangkaran sistem lingkungan terkontrol, karena memiliki beberapa peluang hidup lebih besar, nilai pengadaan induk lebih murah, pengurusan perijinan lebih mudah dan kemampuan reproduksi lebih tinggi sehingga peluang keberhasilan bila ingin ditangkarkan kembali lebih besar.

Dasar penetapan nilai burung dalam perhitungan penerimaan penangkaran jalak bali adalah dengan merata-ratakan nilai survey yang diperoleh dari beberapa penangkaran di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Pada usaha penangkaran jalak bali penerimaan berhubungan positif dengan nilai burung dan produktivitas.

(33)

20

dan penawaran pasar (Djasmin 1984). Harga keseimbangan terbentuk apabila jumlah barang yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Pada dasarnya proses terbentuknya harga terjadi ketika tercapainya tingkat keseimbangan antara permintaan dan penawaran (Djasmin 1984). Namun untuk jalak bali nilai ini tidak bisa didekati dengan harga pasar karena Jalak bali termasuk satwa langka atau barang mewah, dimana permintaan dan penawaran sangat befluktuatif kadang bisa mencapai titik tertinggi, akan tetapi di waktu yang berbeda juga mencapai titik terendah. Kondisi ini mengakibatkan nilai yang dihasilkan tidak stabil.

Berdasarkan hasil penelitian, permintaan jalak bali di duga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, meskipun secara matematis jumlah permintaan pasar domestik belum diketahui secara pasti sehingga hal ini akan mendorong peningkatan penerimaan (Prakoso dan Kurniawati 2014). Penerimaan per tahun pada penangkaran jalak bali dengan sistem lingkungan terkontrol lebih besar dibandingkan pada sistem semi alami meskipun nilai jalak bali di sistem lingkungan terkontrol lebih rendah namun faktor kelahiran atau pertambahan jumlah anakan memberikan pengaruh yang dominan terhadap besarnya penerimaan. Pada sistem lingkungan terkontrol pertambahan jumlah populasi keturunan lebih produktif dibanding sistem semi alami.

Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR)

Untuk menghitung aspek finansial penangkaran jalak bali diperlukan asumsi sebagai berikut :

1. Suku bunga bank yang berlaku berdasarkan suku bunga kredit investasi tahun 2015 sebesar 17%

2. Usia ekonomis usaha penangkaran sesuai masa perijinan pengusahaan penangkaran selama 5 tahun berdasarkan Permenhut No.P69/Menhut-II/2013 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar dimulai tahun 2009 sampai 2013

3. Periode bertelur dan banyaknya telur yang dihasilkan oleh setiap individu dianggap konstan setiap tahun.

4. Besarnya output dan input pada perhitungan biaya dianggap tetap setiap tahun

Perhitungan pada aspek finansial dilakukan dengan menggunakan kriteria yang sama yaitu discounted kriteria. Kriteria analisis discounted adalah untuk mengetahui berapakah manfaat serta biaya-biaya selama umur ekonomis proyek. Nilai proyek saat ini diukur dengan nilai uang sekarang (Gittinger 1986).

(34)

21 keuntungan pada tingkat suku bunga tertentu.. Sebaliknya jika nilai penerimaan kas sekarang lebih kecil dari nilai penerimaan sekarang investasi atau NPV negatif maka investasi dianggap tidak menguntungkan.

Nilai Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan ukuran kelayakan program antara cost dan benefit pada tingkat suku bunga tertentu. Investasi dianggap menguntungkan apabila BCR lebih besar dari satu dan dianggap tidak menguntungkan apabila nilai BCR kurang dari satu.

Tabel 7 Nilai NPV dan BCR kedua sistem penangkaran jalak bali. Di sistem lingkungan terkontrol lebih menguntungkan secara finansial untuk dikembangkan dengan nilai NPV total > 0 dan nilai BCR>1. Artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memberikan keuntungan sebesar Rp1,815 dan manfaat yang diterima lebih tinggi dibanding dengan biaya yang dikeluarkan. Hal ini diperkuat dengan hasil penulisan Mas’ud (2010) bahwa pengembangan penangkaran jalak bali sebagai suatu unit usaha ekonomi baik berskala kecil maupun menengah memiliki peluang dan prospek yang menjanjikan dan keadaan ini sejalan dengan tujuan penangkaran adalah usaha pemanfaatan. Sedangkan pengusahaan penangkaran jalak bali dengan sistem semi alami nilai NPV<0 dan BCR<1, artinya usaha penangkaran ini tidak menguntungkan secara finansial.

Meskipun nilai NPV dan BCR pada sistem semi alami tidak mengalami keuntungan secara finansial, namun untuk upaya konservasi dalam pelestarian jalak bali, penangkaran semi alami masih dibutuhkan. Hasil ini tidak bertentangan dengan tujuan penangkaran yaitu untuk memenuhi cikal bakal peliaran dalam rangka pemulihan populasi jalak bali di habitat alaminya. Berdasarkan hasil penelitian Jong dan Utama (1998), dikatakan bahwa prinsip kelestarian menghendaki agar kondisi populasi tidak berubah setelah dilakukan pemanenan, artinya satwa masih tetap mempertahankan perilaku biologis alaminya. Kondisi inilah yang menjadi faktor utama yang terus dipertahankan di penangkaran semi alami Tegal Bunder.

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas juga diperlukan selain perhitungan finansial. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui pada skala mana kedua sistem penangkaran ini mampu bertahan terhadap perubahan yang tidak menguntungkan seperti perubahan produktivitas, penurunan harga atau peningkatan biaya.

(35)

22

indukan sudah berumur tua. Sedangkan nilai burung akan menurun, akibat trend pasar yang berfluktuatif, dan kualitas jalak bali yang jelek. Perubahan biaya sangat mungkin terjadi selama umur kegiatan (Djasmin 1984). Perubahan tersebut bisa terjadi pada salah satu unsur, beberapa, atau bahkan keseluruhan biaya. Perubahan biaya yang sering terjadi adalah perubahan pada harga pakan,harga vitamin dan perubahan anggaran yang didistribusikan. Perubahan ini dapat terjadi sewaktu waktu dan sulit diprediksi.

Tabel 8 Analisis sensitivitas

(68.582.713) 0,908 (558.781.358) 0,334

Biaya naik 5% 568.081.338 1,729 (973.569.523) 0,366

Suku bunga 12% 660.431.909 1,833 (276.946.097) 0,686

Suku bunga 18% 595.214.086 1,812 (396.111.315) 0,524

Hasil analisis sensitivitas penangkaran jalak bali menunjukan sistem lingkungan terkontrol lebih baik secara finansial. Apabila penerimaan tetap dan biaya naik 5% pada tingkat suku bunga terendah sampai tertinggi akan mengakibatkan perubahan nilai NPV dan BCR, namun NPV dan BCR masih bernilai positif, sehingga usaha penangkaran masih bertahan dan dapat dikembangkan, akan tetapi salah satu penyebab penangkaran di sistem ini tidak menguntungkan hanya pada faktor penerimaan turun sebesar 50%.

Sebaliknya untuk sistem penangkaran semi alami penerimaan turun 50% dan biaya naik 5% pada tingkat suku bunga terendah sampai tertinggi akan mengakibatkan nilai NPV di bawah 0 dan nilai BCR < 1, sehingga penangkaran ini tidak menguntungkan secara finansial.

Tipologi Keberhasilan Penangkaran Jalak Bali

Keberhasilan suatu penangkaran akan berhubungan dengan sistem yang dikembangkan (Paryadi 2006). Pada penelitian ini faktor penentu keberhasilan di kedua sistem penangkaran jalak bali yaitu penggunaan teknis penangkaran yang berkaitan dengan kelahiran dan kematian burung, keberhasilan reproduksi dicerminkan dengan jumlah perkembangbiakan yang tinggi, serta nilai finansial yang lebih menguntungkan.

(36)

23 Rumusan tipologi keberhasilan penangkaran jalak bali ditinjau dari peubah teknis penangkaran, reproduksi dan nilai finansial adalah sebagai berikut :

Ketersediaan Lahan

Keberhasilan penangkaran jalak bali ditentukan oleh luas lahan dan lokasi yang cocok. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa luas lahan minimal sebesar 65 m2, lokasi yang cocok, bebas banjir dan jauh dari keramaian dapat mempengaruhi perilaku biologis jalak bali untuk mendekati kondisi alaminya. Keadaan ini menyebabkan jalak bali tidak mudah stres, dapat hidup dan berkembang biak dengan baik sehingga mendukung kelahiran dan mengurangi kematian (Setio dan Takandjandji 2006; Mas’ud 2010). Alternatif penggunaan luas lahan yang digunakan dapat disesuaikan dengan ukuran populasi awal jalak bali yang ditangkarkan.

Kandang

Kesesuaian jenis kandang, ukuran, jumlah, bahan, fungsi, sarana dan prasarana yang dipilih oleh penangkar berperan dalam menentukan keberhasilan penangkaran jalak bali (Mas’ud 2010). Kandang dapat menjamin keamanan, mempengaruhi ruang gerak, mendukung adaptasi dan mempermudah proses pemeliharaan (Yunanti 2012). Pemilihan kandang harus disesuaikan dengan jumlah jalak bali yang dipelihara, sehingga mampu mendukung keberhasilan proses perkembangbiakan. Selain itu, kesesuaian kandang yang dibuat juga mendukung adaptasi jalak bali untuk hidup dan berkembangbiak di luar habitatnya. Penangkaran jalak bali sebagai upaya pengembangbiakan jenis di luar habitat aslinya memerlukan suasana habitat buatan yang mirip dengan habitat alaminya. Sedangkan, jenis kandang yang dipakai minimal menggunakan 4 jenis yaitu kandang perjodohan, kandang pembesaran, kandang soliter dan inkubator.

Pakan

(37)

24

Perawatan Kesehatan

Keberhasilan penangkaran jalak bali juga dipengaruhi oleh frekuensi perawatan kesehatan baik kandang maupun burung (Purnamasari 2014). Frekuensi perawatan kesehatan burung maupun kandang yang tinggi dan intensif berpengaruh terhadap keberhasilan kelahiran jalak bali. Frekuensi perawatan burung yang dilakukan sebanyak 1 kali per hari memiliki tingkat kematian yang rendah (Purnamasari 2014). Frekuensi perawatan burung berkaitan dengan daya adaptasi burung terhadap perawat, jika perawat burung sering berganti-ganti maka akan memicu timbulnya stres karena daya adaptasi yang masih rendah.

Perioditas perawatan anak juga berpengaruh terhadap angka kelahiran dan kematian. Proses penanganan piyik dengan cara memisahkan atau mengambil burung dari induknya untuk kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh penangkar secara lebih intensif sampai burung bisa dianggap mandiri memiliki peluang hidup lebih tinggi. Namun harus dilakukan dengan hati-hati karena kadang teknik ini tidak menyebabkan kelahiran yang tinggi akan tetapi bahkan dapat menimbulkan kematian piyik.

Kekerapan pembersihan kandang sebaiknya dilakukan 2 kali sehari untuk menghindari penyakit akibat sisa-sisa makanan yang berjatuhan. Namun, pada masa kawin dan pengeraman telur kegiatan pembersihan kandang sebaiknya dikurangi yaitu dilakukan sekitar 2-3 hari sekali. Pada masa reproduksi frekuensi perawatan kandang yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan gagal bertelur, karena burung jalak bali memiliki sensitivitas sangat tinggi pada kondisi ini (Mas’ud 2010).

Reproduksi

Keberhasilan reproduksi jalak bali menentukan keberhasilan usaha penangkaran pada kedua sistem yang dikembangkan. Penangkaran sistem lingkungan terkontrol mampu memberikan angka kelahiran yang lebih tinggi dibanding sistem semi alami, dengan reproduksi berlangsung sebanyak 12 kali per pasang per tahun, daya tetas telur sebesar ± 50 % dan angka kematian piyik antara 24-27 %. Kondisi ini dikarenakan adanya pengaturan pada sistem perkawinan jalak bali, pemilihan bibit yang baik dan pemantauan proses perkembangbiakan.

Finansial

Nilai finansial akan berpengaruh terhadap biaya, penerimaan, dan keuntungan yang dihasilkan oleh penangkar. Penggunaan biaya operasional berupa biaya variabel dan biaya tetap yang tinggi mampu memenuhi kebutuhan akan pakan, vitamin, dan pemeliharaan. Modal yang digunakan sebesar ± 60 % dari seluruh komponen biaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan pakan (Purnamasari 2014).

(38)

25

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Perbedaan antara sistem penangkaran lingkungan terkontrol dan semi alami terletak pada : (a) luas lahan yang digunakan, (b) jenis dan ukuran kandang, (c) jumlah pakan, (d) intensitas perawatan kesehatan, (e) jumlah produktivitas anakan yang dihasilkan, dan (f) nilai finansial NPV dan BCR. Adapun

kesamaan antara kedua sistem tersebut adalah (a) syarat perijinan, (b) penandaan/tagging, dan (c) sistem perkawinan.

2. Tipologi penangkar jalak bali yang berhasil dicirikan oleh penangkar yang : (a) mempunyai luas lahan sebesar ± 65 m2, bebas banjir, dan jauh dari keramaian, (b) menggunakan 4 jenis kandang yaitu kandang pembesaran, perjodohan, soliter, dan inkubator, (c) mengkombinasikan jenis pakan pisang, pepaya, ulat hongkong dan telur semut, serta pakan buatan dengan perbandingan 5:4:1:1:5, (d) melakukan frekuensi perawatan kandang dan burung sebanyak 1 sampai dengan 2 kali sehari, (e) memiliki jumlah reproduksi 12 kali setahun dengan daya tetas telur ± 50% dan angka kematian piyik sebesar 24-27%, (f) memiliki modal untuk pemenuhan pakan sebesar 60% dari seluruh komponen biaya yang digunakan.

Saran

1. Sistem penangkaran yang digunakan berpengaruh terhadap aspek teknis, reproduksi dan finansial. Oleh karena itu, strategi dan managemen pengelolaan dalam pemilihan sistem penangkaran diperlukan untuk mendapatkan jumlah, kualitas individu dan keuntungan yang maksimal.

2. Sehubungan dengan perkembangbiakan dan nilai finansial yang lebih rendah, maka perlu adanya penelitian lanjutan tentang kelayakan investasi penangkaran semi alami Tegal Bunder yang meliputi aspek secara keseluruhan guna mendukung kebijakan dan upaya konservasi jalak bali di Taman Nasional Bali Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1987. Masalah pelestarian jalak bali. Media Konservasi. 3(4): 21-28. Aprilia F. 2005. Perbandingan analisis ekonomi untuk sewa kandang dan investasi kandang pada usaha peternakan ayam ras pedaging [Tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana IPB. Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar. Bogor (ID): IPB Pr.

Azis AS. 2013. Teknik penangkaran dan aktivitas jalak bali (Leucopsar rothschildi) di Penangkaran UD Anugerah Kediri Jawa Timur [Skripsi]. Bogor (ID) : Fakultas Kehutanan IPB.

(39)

26

Forum Agri. 2012. Kenari Juara Lomba Harga Jutaan. Yogyakarta. Cahaya Atma Pustaka.

Gepak HV. 1986. Penangkaran burung jalak bali di Kebun Binatang Surabaya. [makalah ilmiah]. Surabaya: Kebun Binatang Surabaya.

Gittinger J P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Volume ke-1. Sutomo S dan K Mangiri, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr 579 hal. Terjemahan dari: Economic Analysis of Agriculture Project.

Garsetiasih R, Takandjandji M. 2006. Model Penangkaran Rusa. Makalah Utama Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Konservasi dan Sumber Daya Hutan. Padang 20 September 2006. hlm 35-46.

Ginantra KI, Dalem R, Sudirga SK, Wirayudha G. 2009. Jenis-jenis tumbuhan sebagai sumber pakan jalak bali di Desa Ped, Nusa Penida, Klungkung, Bali. J Bumi Lestari 9(1): 97-102.

Gondo dan Sugiarto. 2009. Dinamika populasi jalak bali (Leucopsar rothschildi). Availableat://http:www.tnbalibarat/?cat=1. Opened : 29.04.2015.

Hakansson J. 2004. Genetic Aspects of Ex Situ Conservation. Department of Biology, IFM. Linkoping University.

Iswantoro. 2008. Konservasi dan peluang bisnis dalam penangkaran burung cucak rawa. Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama. 9(1): 57-70.

Jong W de, Utama R.1998. Turning Into Action: Planningfor Non-Timber Forest Product Development and Conservation. Incomes from the Forest. Bogor: Cifor-IUCN.

Kurniasih L. 1997. Jalak bali (Leucopsar rotschildi stresmann 1912) spesies yang makin langka di habitat aslinya. Makalah Ilmiah Biosfer. 9: 3-7.

Kwatrina RT. 2009. Penentuan kuota panenan dan ukuran populasi awal rusa timor di Penangkaran Hutan Penelitian Darmaga. [Tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana IPB.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 69/Menhut-II/2013 tahun 2013 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta (ID): Kemenhut.

Lariman. 2011. Konservasi eksitu burung langka melalui penangkaran di Kampus FMIPA UNMUL. J Bioprospe. 8(2): 1829-7226.

Leus K. 2011. Captive breeding and conservation. Zoology in the Middle East,supplementum. 3: 151-158.

Masy’ud B.1992. Penampilan reproduksi dan karateristik genetik jalak bali. [Tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana IPB.

Mas’ud B. 2010. Teknik Menangkarkan Burung Jalak di Rumah. Bogor (ID): IPB Pr.

Masy’ud B. 2013. Kiat Sukses Menangkarkan Burung Kenari. Bogor (ID): IPB Pr. Prana Made S. 2005. Penangkaran Burung Ocehan Menuju Pemanfaatan Sumber

Daya Burung Secara Lestari. Prosiding Seminar Ornithologi Indonesia. Bogor 19-20 Maret 2005. hlm 107-112.

Paryadi S. 2006. Studi biaya dan pendapatan penangkaran monyet ekor panjang (Macaca fascikularis raffles) dengan sistem terbuka, semi terbuka dan tertutup. [Tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana IPB.

Gambar

Tabel 1  Jenis Data
Tabel 3  Jenis dan ukuran kandang
Gambar 1 Jenis kandang jalak bali
Gambar 2  Jenis pakan jalak bali
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tindak pidana narkotika yang dalam hal ini perantara, pengedar, dan produsen merupakan jarimah ta’zir , sehingga remisi dapat diberikan oleh penguasa negara dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, tingkat kesiapsiagaan siswa kelas XI dalam menghadapi bencana gempa bumi di SMA Muhammadiyah 1 Klaten dan berdasarkan

 Detective controls are designed to detect theft or misuse of cash and are also preventive in nature.... Retailers’ Sources

Pengaruh Latihan Push-Up Terhadap Kecepatan Renang Gaya Dada Pada Club IRC Padangsidimpuan Tahun 2013.. (Pembimbing :

[r]

[r]

[r]

Sebagai suatu strategi pembelajaran, menurut Sanjaya (2010), strategi pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa kelebihan, antara lain: (1) strategi berbasis