• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh cendawan entomopatogen Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana terhadap Kemampuan Nephotettix virescens Distant dalam Menularkan Virus Tungro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh cendawan entomopatogen Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana terhadap Kemampuan Nephotettix virescens Distant dalam Menularkan Virus Tungro"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH CENDAWAN ENTOMOPATOGEN

Verticillium lecanii DAN Beauveria bassiana

TERHADAP KEMAMPUAN Nephotettix virescens Distant

(HEMIPTERA: CICADELLIDAE)

DALAM MENULARKAN VIRUS TUNGRO

FAUSIAH T. LADJA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

“Pengaruh Cendawan Entomopatogen Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana terhadap Kemampuan Nephotetix virescens Distant

(Hemiptera: Cicadellidae) dalam Menularkan Virus Tungro”

Adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di dagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

(3)

ABSTRACT

FAUSIAH T. LADJA. The Effect of Entomopathogenic Fungi Verticillium lecanii and Beauveria bassiana to the Ability of Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadellidae) in Transmitting Rice Tungro Virus. Directed TEGUH SANTOSO and ENDANG NURHAYATI.

The main problem in stabilizing and further increasing rice production in Indonesia is the continuous threat of pests dan diseases. One of the most important diseases is the rice tungro virus (RTV) transmitted by the green leafhopper (GLH) Nephotettix virescens (Distant), that causes yield losses until 90%.

The objectives of the research were to investigate the effectiveness of entomopathogenic fungi Verticillium lecanii and Beauveria bassiana to control N. virescens as RTV vector. The trial was set according to randomized complete design with two factors. The first factor is the conidial density and the second is the acquisition feeding period. Variables observed were mortality and ability of the adult N. virescens to fly at 3, 7, 10, and 14 days after aplication (DAA), symptoms of RTV, incubation period, disease incidence, plant height, and a number of the tillers.

The results of the research showed that the fungi V. lecanii and B. bassiana significantly caused mortality at 3-14 DAA. Dispersal of N. virescens adult was not observed at 10 DAA after treatment of B. bassiana at 107 conidia/ml and V. lecanii at 108 conidia/ml. LT90 was calculated at 9.7 days (B. bassiana) and 10.8 days (V. lecanii) during which the transmission of viral disease still occured. Using PCR technique, the presence of virus pathogen was noted and confirmed the visual observation of disease incidence.

(4)

RINGKASAN

FAUSIAH T. LADJA. Pengaruh Cendawan Entomopatogen Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana terhadap Kemampuan Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadellidae) dalam Menularkan Virus Tungro. Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO dan ENDANG NURHAYATI.

Upaya peningkatan produksi padi masih menghadapi kendala biotik dan abiotik. Salah satunya adalah masalah penyakit tungro yang disebabkan oleh infeksi ganda dua jenis virus yaitu rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro spherical waikavirus (RTSV). Virus ini ditularkan oleh beberapa jenis wereng daun dengan efisiensi penularan yang bervariasi. Wereng hijau N. virescens merupakan vektor yang paling efisien menularkan virus tungro dibanding vektor yang lainnya. Soetarto et al. (2001) melaporkan pada tahun 1991-2000, luas serangan virus tungro mencapai 17.054 ha/tahun, dengan estimasi nilai kehilangan hasil mencapai 14,1 milyar rupiah/tahun.

Salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan, yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan yaitu cendawan entomopatogen. Beberapa genus cendawan entomopatogen telah diuji efektivitasnya untuk mengendalikan wereng hijau. Widiarta & Kusdiaman (2007) melaporkan bahwa B. bassiana dan Metharizium anisopliae yang diisolasi dari wereng hijau efektif mematikan wereng hijau dengan kerapatan konidia masing-masing 1,4 x 107 dan 2,0 x 107. Sementara itu, cendawan entomopatogen Verticillium lecanii yang diisolasi dari Leptocoriza acuta telah diketahui potensinya untuk mengendalikan hama tanaman pangan Riptortus linearis dengan tingkat mortalitas sekitar 80%. Di Indonesia, pemanfaatan cendawan entomopatogen V. lecanii untuk mengendalikan hama pada tanaman pangan, khususnya wereng hijau N. virescens sebagai vektor virus tungro belum pernah dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keefektifan cendawan entomopatogen Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana untuk mengendalikan N. virescens sebagai vektor penyakit tungro. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, Laboratorium Virologi Tumbuhan, dan Rumah Kaca Cikabayan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, Bogor, dimulai Februari sampai Desember 2008. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAK faktorial 2 faktor yaitu kerapatan konidia dan periode makan akuisisi. Setiap perlakuan diulang 10 kali. Variabel yang diamati adalah mortalitas N. virescens, kemampuan terbang imago N. virescens pada 3, 7, 10, dan 14 HSA, tipe gejala penyakit tungro, masa inkubasi, kejadian penyakit, tinggi tanaman, dan jumlah anakan.

(5)

Kematian N. virescens akibat aplikasi cendawan entomopatogen membutuhkan waktu 10 hari sehingga selama periode waktu tersebut N. virescens masih berpotensi sebagai vektor penyakit tungro.

Imago N. virescens yang mati akibat infeksi B. bassiana ditandai dengan adanya miselia atau konidia yang berwarna putih pada permukaan tubuh serangga, miselia yang berwarna putih mulai menembus kutikula keluar tubuh serangga, kemudian berkembang terus dan akhirnya menutupi seluruh tubuh serangga. Sedangkan imago yang diinfeksikan dengan V. lecanii tidak menunjukkan adanya tanda pertumbuhan cendawan di permukaan tubuhnya (kolonisasi cendawan).

Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan V. lecanii tidak mempengaruhi kemampuan N. virescens dalam menularkan virus tungro. Hal ini dapat dilihat dari parameter pengamatan berupa gejala yang ditimbulkan, masa inkubasi, kejadian penyakit, tinggi tanaman maupun jumlah anakan pada tiga varietas uji (TN1, Tukad Petanu, dan Ciliwung). Gejala tersebut berupa perubahan warna daun menjadi kuning-orange, daun muda tampak belang (gejala stripe interveinal oranye), sedangkan daun tua mempunyai bercak-bercak coklat, daun muda melintir, tanaman kerdil, penurunan tinggi tanaman, dan jumlah anakan berkurang. Pengamatan terhadap masa inkubasi menunjukkan bahwa aplikasi B. bassiana dan V. lecanii tidak berpengaruh terhadap masa inkubasi pada ke tiga varietas yang diuji, baik pada serangga yang melakukan acquisition feeding pada 1, 3, 5, maupun 7 Hari Setelah Aplikasi (HSA). Hasil pengujian menunjukkan adanya perbedaan respon masing-masing varietas. Pada varietas TN1 dan Ciliwung munculnya gejala dimulai pada 7 hari setelah inokulasi (HSI). Sedangkan varietas Tukad Petanu tidak memperlihatkan adanya gejala sampai akhir pengamatan. Selain perubahan warna daun, respon tanaman terhadap infeksi virus tungro juga ditunjukkan oleh penurunan tinggi tanaman dan jumlah anakan. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa varietas yang terserang virus tungro mengakibatkan tinggi tanaman berkurang. Selain itu, jumlah anakan yang dihasilkan cenderung berkurang. Tingkat kerentanan varietas juga berpengaruh terhadap tingkat kekerdilan dan pengurangan jumlah anakan.

Uji PCR ini membuktikan bahwa apabila hasil pengamatan gejala secara visual di rumah kaca menunjukkan tanaman kerdil dan daun kuning-orange, maka hasil PCR juga positif terserang virus tungro dengan adanya pita DNA dengan ukuran ± 1500 bp. Demikian sebaliknya, seperti pada Tukad Petanu yang merupakan varietas tahan virus, berdasarkan pengamatan gejala di rumah kaca dimana tidak tampak ada serangan tungro sehingga hasil PCR juga negatif.

Aplikasi cendawan entomopatogen pada N. virescens sebagai vektor virus tungro tidak mempengaruhi kemampuan N. virescens dalam menularkan virus tungro. Namun, dalam jangka panjang dapat menurunkan populasi N. virescens dengan cara mempengaruhi aspek fisiologis serangga vektor yaitu dengan mengurangi keperidiannya. Dengan demikian, secara tidak langsung mengurangi penularan/transmisi virus tungro. Cendawan entomopatogen membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mematikan serangga targetnya. Efek penggunaan cendawan entomopatogen dalam menekan populasi N. virescens baru dapat terlihat pada generasi berikutnya.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PENGARUH CENDAWAN ENTOMOPATOGEN

Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana

TERHADAP KEMAMPUAN Nephotettix virescens Distant

(HEMIPTERA: CICADELLIDAE)

DALAM MENULARKAN VIRUS TUNGRO

FAUSIAH T. LADJA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi-Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Pengaruh Cendawan Entomopatogen Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana terhadap Kemampuan Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadellidae) dalam Menularkan Virus Tungro

Judul Tesis :

Nama Mahasiswa : FAUSIAH T. LADJA

Nomor Pokok : A451060181

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA. Dr. Ir. Endang Nurhayati, MS.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi – Fitopatologi

(9)

Tanggal Ujian : 29 Januari 2009 Tanggal Lulus :

PRAKATA

Bismillahirahmaniirahiim. Alhamdulillaahirabbil’alamin. Puji syukur kepada Allah Subhaanahuwataala atas segala rahmat dan nikmatNya yang dicurahkan kepada penulis sehingga Tesis dengan judul” Pengaruh Cendawan Entomopatogen Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana terhadap Kemampuan Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadellidae) dalam Menularkan Virus Tungro” ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan mulai Februari sampai Desember 2008.

Terima kasih banyak diucapkan kepada Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA dan Dr. Ir. Endang Nurhayati, MS selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, kritik dan saran sejak penyusunan proposal hingga selesainya penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada pimpinan Laboratorium Patologi Serangga dan Virologi Tumbuhan, serta Rumah Kaca Departemen Proteksi Tanaman, IPB atas bantuan fasilitas sarana maupun prasarana selama pelaksanaan. Semoga Bapak dan Ibu senantiasa dilimpahkan rahmat dan karunia Allah Subhaanahuwataala.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kapada Kepala Loka Penelitian Penyakit Tungro atas izin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih juga disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah memberi sponsor dana sehingga penulis dapat melanjutkan studi hingga selesai. Tak lupa pula, terima kasih kepada bapak Dr. Ir. I Nyoman Widiarta atas bimbingan dan sarannya dalam penyusunan proposal penelitian.

Terima kasih yang tak terhingga diucapkan kepada Bapak, Mama, Mami selaku orangtuaku atas doa, nasehat, pengorbanan dan kasih sayang yang amat tulus. Terima kasih juga disampaikan kepada kakak, adik, ipar dan keponakan atas kasih sayang, dukungan dan doa yang tiada hentinya. Kepada suami tersayang Andi Faisal, putra putriku tercinta A. Muh. Fauzan Faiz (1,8 tahun) dan A. Insyirah Meutia Faiz (5 bulan) diucapkan terima kasih atas kesetiaan, kesabaran, doa dan pengorbanan selama penulis melaksanakan studi di IPB. Kepada teman-temanku angkatan 2006 di program studi Entomologi, teman-teman di Laboratorium Patologi Serangga pak Yusmani, pak Rosfiansyah, Yunimar dan Sempurna, serta teman-teman di Lab. Virologi Tumbuhan, terima kasih diucapkan atas bantuan dan kebersamaannya selama penulis mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penyusunan dan penulisan tesis ini. Oleh karena itu, kritik dan sarannya sangat penulis harapkan. Semoga penelitian ini bermanfaat.

(10)

Fausiah T. Ladja

RIWAYAT HIDUP

Fausiah T. Ladja dilahirkan di Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Juni 1979 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Ir. H. Thamrin Ladja dan Hj. I. Tuing, menikah 17 November 2005 dengan Andi Faisal, SP.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 21 Barandasi Maros, Sulawesi Selatan tahun 1991, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Maros tahun 1994, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Maros tahun 1997. Pendidikan sarjana penulis ditempuh di Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin (1997-2002). Pada September 2006 penulis diterima pada program magister di Program Studi Entomologi-Fitopatologi pada Program Pascasarjana IPB (2006-2008) dengan bantuan beasiswa dari Badan Litbang Pertanian.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ………

DAFTAR GAMBAR ………..

PENDAHULUAN

Latar Belakang ………... Tujuan Penelitian ……….... Manfaat Penelitian ………...

TINJAUAN PUSTAKA Rice Tungro Virus (RTV)

Partikel Rice Tungro Virus (RTV) ……..………... Gejala Penyakit Tungro ………... Daerah Sebaran Geografi ………... Tanaman Inang Alternatif ………. Nephotettix virescens (Hemiptera: Cicadellidae)

N. virescens Sebagai Vektor RTV ………... Interaksi Virus Tungro dan Vektor N. virescens

Biologi N. virescens

Cendawan Entomopatogen ………... Verticillium lecanii ………. Beauveria bassiana ... Polymerase Chain Reaction (PCR) ………...

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu ……….. Persiapan Penelitian

Perbanyakan Isolat Cendawan V. lecanii dan B. bassiana ……. Persiapan Media Tanam ... Pembiakan Massal (rearing) N. virescens ………... Perbanyakan Inokulum Virus Tungro ………. Pembibitan Varietas Uji ……….. Penyiapan Suspensi Cendawan Untuk Aplikasi ………...…….. Metode Penelitian

Uji Mortalitas N. virescens ………. Uji Waktu Kematian N. virescens.………... Uji Kemampuan Terbang N. virescens ... Efikasi Kemampuan N. virescens dalam

Menularkan Virus Tungro ... Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) ……….. Ekstraksi DNA Total ………... Amplifikasi Gen Protein Selubung RTBV ………..

(12)

Elektroforesis ………..

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Uji Mortalitas N. virescens ……… Uji Waktu Kematian N. virescens ……….

Uji Kemampuan Terbang Imago N. virescens ...……. Efikasi Kemampuan N. virescens dalam Menularkan

Virus Tungro... Gejala Penyakit Tungro ……….………... Masa Inkubasi Virus Tungro ………... Kejadian Penyakit Tungro……… Tinggi Tanaman ……….. Jumlah Anakan ……… Deteksi Keberadaan Virus Tungro pada Tanaman Uji

dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) ... Pembahasan ...

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ……….

LAMPIRAN ...

25

27 29 30

30 31 32 33 34 35

36 37

46 46

47

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Waktu kematian (LT50 dan LT90) imago N. virescens

pada perlakuan cendawan B. bassiana dan V. lecanii ... 29

2. Uji Kemampuan Terbang Imago N. virescens ... 30

3. Masa inkubasi virus tungro yang ditularkan oleh N. virescens

yang telah diaplikasikan B. bassiana dan V. lecanii ... 32

4. Kejadian penyakit tungro akibat penularan oleh N. virescens

yang telah diaplikasikan B. bassiana dan V. lecanii pada 4 MST ... 33

5. Pengaruh virus tungro terhadap tinggi tanaman varietas uji yang ditularkan oleh N. virescens setelah aplikasi B. bassiana

dan V. lecanii pada 4 MST ... 34

6. Pengaruh virus tungro terhadap jumlah anakan varietas uji yang ditularkan oleh N. virescens setelah aplikasi B. bassiana

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Partikel RTBV dan RTSV (100 nm) dengan mikrograf elektron

... 4

2 Dua partikel penyebab penyakit tungro. ... 5

3 Gejala penyakit tungro di lapangan (A); rumpun tanaman padi yang terinfeksi virus tungro (B); daun padi yang terinfeksi tungro (C) ... 8

4 Siklus hidup N. virescens ...……….……….. 13

5 Cendawan Verticillium lecanii (Zimmermann) Viegas ... 16

6 Cendawan Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin ... 16

7 Pengaruh B. Bassiana dan V. Lecanii terhadap mortalitas N. virescens ... 27

8 Imago N. virescens sehat (A) dan terkolonisasi B. Bassiana (B) ... 28

9 Mortalitas imago N. virescens pada perlakuan V. lecanii dan B. bassiana ... 29

10 Daun varietas TN1 yang terserang virus tungro berwarna orange disertai bercak-bercak coklat (a), gejala stripe interveinal orange pada daun padi varietas TN1 (b) ... 31

11 Pertumbuhan tanaman padi varietas Tukad Petanu (a), daun varietas Tukad Petanu yang tidak terserang virus tungro (b) ... 31

12 Pertumbuhan tanaman padi varietas Ciliwung (a), daun varietas Ciliwung yang terserang virus tungro berwarna kuning, nampak belang (mottle) dan bercak-bercak coklat karat (b) ... 31

13 Hasil amplifikasi gen selubung protein RTBV dengan PCR menggunakan primer RTBV-2R dan RTBV-2L pada varietas TN1 ... 36

(15)

15 Hasil amplifikasi gen selubung protein RTBV dengan PCR menggunakan primer RTBV-2R dan RTBV-2L

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi merupakan sumber makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk

Indonesia. Upaya peningkatan produksi padi masih menghadapi kendala biotik

dan abiotik. Salah satunya adalah penyakit tungro yang disebabkan oleh infeksi

ganda dua jenis virus yaitu rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice

tungro spherical waikavirus (RTSV) (Hibino 1987; van Regenmortel et al. 2000).

Kehilangan hasil akibat gangguan penyakit tungro bervariasi tergantung pada fase

pertumbuhan tanaman, lokasi dan titik infeksi, musim tanam, dan jenis varietas

(Ditlintan 1992), serta kuantitas dan kualitas sumber inokulum (Raga et al. 2004).

Kisaran kehilangan hasil pada stadia infeksi dari 2-12 minggu setelah tanam

(MST) antara 90-20% (Ditlintan 1992). Soetarto et al. (2001) melaporkan pada

tahun 1991-2000, luas serangan virus tungro mencapai 17.054 ha/tahun, terluas

dibandingkan dengan luas serangan penyebab penyakit lain dengan estimasi nilai

kehilangan hasil mencapai 14,1 milyar rupiah/tahun.

Penyakit tungro yang berat disebabkan oleh infeksi dua jenis virus tungro,

sedangkan infeksi salah satu jenis virus menyebabkan gejala ringan atau tidak

jelas, tergantung partikel yang menginfeksi (Hibino 1987). Secara umum,

tanaman padi yang hanya terinfeksi RTSV tidak menampakkan gejala khas tungro

melainkan kerdil ringan, sementara infeksi oleh RTBV saja menampakkan gejala

tungro ringan. Apabila tanaman padi terinfeksi RTBV dan RTSV bersama-sama,

gejala berupa kekerdilan, perubahan warna daun menjadi kuning atau

kuning-orange, daun khususnya daun yang muda dapat menunjukkan belang (mottle) dan

klorosis antar tulang daun, penurunan jumlah anakan dan tinggi tanaman

berkurang karena jarak antar ruas (internode) memendek (Hibino 1987). Selain

itu, pengisian gabah tidak sempurna sehingga berdampak pada penurunan hasil

(Ling 1979).

Virus ini ditularkan oleh beberapa jenis wereng daun dengan efisiensi

penularan yang berbeda. Rentang efisiensi penularan virus oleh wereng daun

Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadellidae) berkisar antara 35-83%

(18)

et Kawase dan N. parvus Ishihara et Kawase memiliki kemampuan menularkan

virus berturut-turut 40% dan 7%, sedangkan wereng loreng Recilia dorsalis

(Motschulsky) 4-8% (Ling 1979).

Penggunaan agens hayati cendawan entomopatogen untuk mengendalikan

hama yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan merupakan suatu upaya untuk

mengurangi penggunaan pestisida yang selama ini banyak menimbulkan masalah

lingkungan. Peran musuh alami untuk mengendalikan hama sebagai salah satu

agens hayati semakin penting sejalan dengan penerapan konsep pengendalian

hama terpadu (Rauf 1996).

Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk

mengendalikan hama tanaman perkebunan dan sayuran adalah Metarhizium

anisopliae, Beauveria bassiana, Paecilomyces sp., Verticillium sp., dan Spicaria

sp. (Widayat & Rayati 1993; Boucias & Pendland 1998).

B. bassiana banyak digunakan untuk mengendalikan hama seperti kepik

pengisap polong kedelai (Riptortus linearis), walang sangit (Leptocoriza acuta)

(Prayogo 2006), hama bubuk buah kopi Hyphotenemus hampei (Sembel et al.

1993). Sementara itu, cendawan entomopatogen Verticillium lecanii yang diisolasi

dari L. acuta telah diketahui potensinya untuk mengendalikan hama tanaman

pangan R. linearis dengan tingkat mortalitas sekitar 80% (Prayogo & Tengkano

2002).

Di Indonesia, pemanfaatan cendawan entomopatogen V. lecanii untuk

mengendalikan hama pada tanaman pangan, khususnya wereng hijau N. virescens

sebagai vektor virus tungro belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian

ini bertujuan untuk mempelajari potensi cendawan entomopatogen B. bassiana

dan V. lecanii dalam mengendalikan hama wereng hijau N. virescens sebagai

vektor virus tungro. Dengan demikian, diharapkan dapat menjadi dasar

(19)

3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aplikasi cendawan B.

bassiana dan V. lecanii terhadap kemampuan N. virescens dalam menularkan

virus tungro.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keefektifan

cendawan B. bassiana dan V. lecanii dalam menekan kemampuan N. virescens

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Rice Tungro Virus (RTV) Partikel Rice Tungro Virus (RTV)

Penyakit tungro disebabkan oleh infeksi komplek dua jenis virus yaitu rice

tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro spherical waikavirus

(RTSV). Masing-masing virus dapat menginfeksi dengan gejala ringan atau tidak

jelas, tergantung partikel yang menginfeksi (Hibino 1987).

Gambar 1 Mikrograf elektron Partikel RTBV dan RTSV (bar = 100 nm) dengan (A); partikel RTBV (bar = 400 nm) (B); partikel RTSV (bar = 400 nm) (C) (Hull 2004)

RTSV termasuk famili Sequiviridae, genus Waikavirus (van Regenmortel

et al. 2000). RTSV mempunyai genom poliadenil ssRNA dengan panjang 12 kb

menyandikan poliprotein yang besar yaitu 390 kDa, unipartit, terbungkus dalam

partikel isometrik dengan diameter 30 nm. Bagian genom RTSV terbesar

berukuran 10,422 kb. Genom RTSV juga mengandung 2 open reading frames

(ORFs) yang pendek pada ujung 3’ end dan mempunyai lebih kurang 600-700

asam amino (aa) dari protein struktural dalam poliprotein besar (van Regenmortel

et al. 2000; Hull 2004). Cabautan et al. (1995) melaporkan bahwa di

Mindanao, Filipina ditemukan dua strain RTSV yaitu strain Vt6 dan strain A

yang diisolasi dari tanaman yang terinfeksi virus tungro. Padi Kultivar TKM6

yang terinfeksi RTBV dan strain Vt6 menyebabkan gejala agak kerdil dan

perubahan warna daun.

C

B

(21)

5

(22)

RTBV termasuk famili Caulimoviridae dan genus Badnavirus (van

Regenmortel et al. 2000). Partikel RTBV berbentuk seperti basil dan tidak

beramplop. Partikel ini berukuran lebar 30 nm dan panjang kira-kira 130 nm.

Partikel berisi suatu genom DNA utas ganda (double stranded) sirkular, panjang 8

kb (kilo base) dengan dua bagian yang terputus (site-specific discontinuitis) hasil

dari proses replikasi oleh reverse transcription. Protein P1, P2, P3, dan P4

disintesis oleh mekanisme translasi khusus dari suatu pregenomic RNA yang

digunakan sebagai template untk replikasi virus dan juga disajikan sebagai suatu

polycistronic mRNA. Peranan P1 dan P4 belum diketahui. P3 adalah suatu

poliprotein besar (Gambar 2). Perbandingan urutan P3 tersebut dengan protein

retroviral dan pararetroviral lain menunjukkan bahwa P3 berisi domain yang

berhubungan dengan movement protein (MP), coat protein (CP), aspartic

protease (PR), reverse transcriptase (RT), RNase H (RH), urutan dari N terminus

sampai C terminus. Protease virus sebagian bertanggungjawab untuk prosesing

P3. RTBV mengandung satu spesies coat protein 37 kDa. ORF 2 menyandi suatu

protein 12-kDa (P2) dengan fungsi yang belum diketahui pasti (Herzog et al.

2000).

Cabautan et al. (1995) melaporkan bahwa RTBV terdiri atas empat strain

yaitu strain L, G1, G2, dan Ic yang diisolasi berdasarkan karakteristik gejalanya

pada kultivar FK135 dan Taichung Native 1 (TN1). Pada kultivar FK135, strain Ic

menyebabkan gejala kerdil yang parah, anakan berkurang, daun menyempit, dan

klorosis interveinal yang jelas pada helaian daun (striping dan/atau mottling),

sementara strain G1 dan G2 menyebabkan gejala agak kerdil dan warna daun

tidak tetap hijau normal. Pada varietas TN1, G1 dan Ic menyebabkan tanaman

agak kerdil tanpa adanya perubahan warna daun; strain G2 dan L menyebabkan

tanaman kerdil parah dan perubahan warna daun menjadi kuning-oranye, mirip

yang disebabkan oleh strain L. Hasil penelitian Suprianto (2005) menemukan

bahwa 8 isolat virus tungro dari daerah endemik tungro di Indonesia berbeda

dengan semua strain yang ditemukan di Filipina tersebut. Perbedaan ini terlihat

pada hasil restriksi dengan EcoRV, isolat virus tungro Jabar-1 tidak terpotong,

sedangkan isolat yang lainnya terpotong menjadi 1270 bp dan 230 bp. Isolat virus

(23)

7

dengan strain G2 dan Phil-1 pada pemotongan dengan Pst1. Selain itu, isolat Jabar

ini tergolong sangat virulen dibandingkan isolat lain.

Menurut Mokhopodhyay (1995), kedua jenis partikel virus tersebut tidak

memiliki kekerabatan serologi. Kedua partikel virus tersebut dapat berada dalam

suatu sel secara bersama-sama tanpa mengakibatkan terjadinya proteksi silang

antara satu dengan yang lain.

RTBV terdapat pada jaringan pembuluh (floem dan silem) dan RTSV hanya

terdapat dalam jaringan floem. Dalam sel-sel terinfeksi, kedua partikel RTBV dan

RTSV tersebar atau terkumpul dalam sitoplasma. Partikel RTSV juga terdapat

dalam vakuola (Dahal et al. 1997).

Gejala Penyakit Tungro

Gejala khas yang ditimbulkan oleh penyakit tungro yaitu daun tanaman padi

berwarna kuning oranye yang dimulai dari ujung daun dan selanjutnya

berkembang ke bagian lamina daun bawah. Akibat serangan virus tungro jumlah

anakan tanaman padi berkurang, tanaman padi kerdil serta malai yang terbentuk

lebih pendek dan banyak yang hampa. Gejala mulai tampak 10-15 hari setelah

inokulasi. Secara umum, tanaman padi yang terinfeksi RTSV secara sendiri tidak

menampakkan gejala khas tungro melainkan kerdil ringan, sementara infeksi oleh

RTBV saja menampakkan gejala tungro ringan. Apabila tanaman padi terinfeksi

RTBV dan RTSV bersama-sama, gejala tungro menjadi parah, termasuk kerdil,

perubahan warna daun menjadi kuning atau kuning-oranye, dan penurunan jumlah

(24)

B

A C

Gambar 3 Gejala penyakit tungro di lapangan (A); rumpun tanaman padi yang terinfeksi virus tungro (B); daun padi yang terinfeksi virus tungro (C)

Daerah Sebar Penyakit Tungro

Penyakit tungro mula-mula hanya terbatas penyebarannya pada daerah

tertentu seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat

(NTB), dan Sulawesi Utara. Penyakit ini kemudian menyebar ke Jawa Timur,

Jawa Tengah, dan Jogjakarta. Selanjutnya pada awal tahun 1970-an ledakan

penyakit tungro dilaporkan terjadi di beberapa daerah sentra produksi padi di

Indonesia (Ou 1985). Sampai dengan tahun 1976 penyakit ini dilaporkan hanya

terjadi di 7 propinsi, namun dewasa ini telah tersebar di 26 propinsi yang meliputi

142 kabupaten di Indonesia. Pada tahun 1985, penyakit ini mulai menyebar di

Irian Jaya (BPIP 1986). Secara nasional virus tungro rata-rata setiap tahun

menginfeksi 16.477 ha sawah dan menyebabkan tanaman puso 1.027 ha pada

periode 1996-2002. Pada musim tanam 1998/1999 terjadi ledakan tungro yang

terkonsentrasi di Lombok Timur dan Lombok Tengah dengan luas serangan

sekitar 10.000-15.000 ha, tingkat serangan berat sampai puso (Hasanuddin 1999).

Di Subang Jawa Barat, terutama di jalur Pantura Kabupaten Subang penyakit

tungro semakin meluas (Balitpa 2002). Pada awal 2008, penyakit tungro

dilaporkan telah menyebar ke daerah Sumatera Barat, khususnya di Kabupaten

(25)

9

Tanaman Inang Alternatif Virus Tungro

Virus tungro RTBV dan RTSV telah dilaporkan mampu bertahan pada

turiang, gulma dan beberapa jenis padi liar. Tumbuhan inang tersebut dapat

berperan menjadi sumber infeksi penyakit tungro dan vektornya untuk petanaman

padi sekitarnya, terutama di daerah yang waktu tanamnya tidak serempak.

Yulianto et al. (1999) melaporkan bahwa Jussiaea repens, Trianthema

portulacastrum, Phylanthus niruri, Cyperus rotundus, Monochoria vaginalis, dan

Leersia hexandra mampu menjadi inang alternatif, baik untuk RTBV maupun

RTSV.

Anjaneyulu et al. (1988) menyatakan gulma-gulma yang telah diuji

kemampuannya menjadi inang virus tungro umumnya terinfeksi RTBV dan hanya

Brachiaria mutica dan Axonopus compressus yang terinfeksi RTSV. Dari

penelitian Yulianto et al. (1999) diketahui bahwa di antara gulma-gulma yang

dapat menjadi inang alternatif virus tungro, hanya C. rotundus dan M. vaginalis

yang mampu menjadi sumber inokulum virus tungro bagi padi yang ditanam

berikutnya.

Nephotettix virescens (Hemiptera: Cicadellidae) N. virescens sebagai vektor RTV

Wereng hijau ini merupakan vektor utama virus penyebab penyakit tungro

yang ditularkan secara semipersisten. Vektor N. virescens memperoleh virus

tungro dari tanaman padi sakit dan selanjutnya bila N. virescens yang telah

mengandung virus tungro mengisap tanaman padi sehat maka akan terjadi

penularan virus tungro.

Beberapa spesies wereng hijau yang dapat menjadi vektor virus tungro

antara lain : N. virescens, N. nigropictus, N. malayanus dan wereng loreng, R.

dorsalis. Di antara spesies wereng hijau dan wereng loreng terdapat perbedaan

efisiensi dalam menularkan virus. Rentang efisiensi penularan virus oleh wereng

daun adalah N. virescens berkisar antara 35-83% (Rivera & Ou 1965), N.

nigropictus berkisar 0-27%, N. malayanus dan N. parvus memiliki kemampuan

menularkan virus berturut-turut 40% dan 7%, sedangkan wereng loreng Recilia

(26)

Interaksi Virus Tungro dan N. virescens sebagai Vektor

Interaksi antara N. virescens dengan virus tungro relatif spesifik dalam hal

periode makan akuisisi, periode makan inokulasi, periode retensi (Gray &

Banerjee 1999). Hal tersebut yang melatarbelakangi penempatan virus tungro

masuk dalam kelompok yang berbeda-beda, misalnya persisten, non-persisten,

atau semipersisten (Hibino 1987). Dalam tubuh serangga, virus tungro berada di

bagian luar lapisan kutikula alat mulut (stylet) dan atau di dalam saluran makanan

depan (foregut), sehingga termasuk dalam golongan virus stylet borne atau

foregut borne. Masa retensi virus tungro dalam tubuh serangga vektor yang relatif

panjang dari virus stylet borne lainnya, memunculkan istilah semipersisten

(Pirone & Blanc 1996; Gray & Banerjee 1999).

Beberapa karakter khusus menyangkut interaksi antara N. virescens dengan

virus tungro adalah : (1) virus tidak memerlukan periode inkubasi dalam tubuh

vektor. Periode inkubasi adalah waktu antara saat akuisisi virus sampai vektor

menjadi infektif; (2) infektifitas vektor akan menurun secara bertahap; (3) periode

retensi maksimum kurang dari satu minggu. Periode retensi adalah lama waktu

vektor mampu mempertahankan keberadaan virus dalam tubuh untuk ditularkan;

(4) vektor akan kehilangan infektifitasnya sesaat setelah ganti kulit (moulting)

antar stadium pertumbuhannya; (5) vektor akan infektif kembali apabila makan

reakuisisi (reaquisition feeding); (6) infektivitas vektor akan meningkat dengan

makan akuisisi yang lebih panjang, dan (7) pola penularan virus harian terjadi

secara berturutan (Ling 1979).

Azzam & Chancellor (2002) melaporkan bahwa wereng hijau dapat

menularkan RTSV dari tanaman padi yang hanya terinfeksi RTSV, tetapi tidak

mampu menularkan RTBV dari tanaman yang hanya terinfeksi RTBV. RTBV

dapat ditularkan oleh wereng hijau yang sebelumnya telah memperoleh RTSV.

Dengan demikian RTBV merupakan virus dependent sedangkan RTSV berfungsi

sebagai pembantu (helper). Kedua partikel virus tersebut tidak bersirkulasi dalam

tubuh vektor. Virus ini juga tidak dapat ditularkan dari imago ke telur maupun

(27)

11

Virus tungro tidak dapat berkembang pada tubuh vektor N. virescens. Vektor

N. virescens efektif menularkan virus paling lama 7 hari, setelah itu bila tidak lagi

menghisap pada tanaman sakit vektor N. virescens menjadi serangga bebas virus

tungro. Bila N. virescens dapat menghisap pada tanaman terinfeksi akan menjadi

vektor aktif lagi. Keefektifan penularan virus akan hilang setelah ganti kulit.

Periode makan akuisisi wereng hijau untuk mendapatkan virus dari tanaman sakit

antara 5-30 menit (Rivera & Ou 1965), sedangkan periode makan inokulasi untuk

menularkan virus yang didapat antara 7-30 menit (Ling 1968). Rentang waktu saat

tanaman tertular dan munculnya gejala antara 6-15 hari (Rivera & Ou 1965).

Vektor yang makan akuisisi pada tanaman terinfeksi RTBV dan RTSV

sekaligus, memiliki peluang menularkan RTBV dan RTSV antara 90-99%,

menularkan RTBV 1-5%, dan peluang menularkan RTSV 1-10%. Apabila vektor

makan akuisisi pada tanaman terinfeksi RTSV, peluang menulakan RTSV sebesar

90-99%. Namun, apabila vektor hanya makan akuisisi pada tanaman terinfeksi

RTBV, peluang menularkan RTBV ke tanaman sehat 0% (Azzam & Chancellor

2002).

Biologi N. virescens

Perkembangan wereng hijau dari telur sampai dewasa melalui tiga tingkatan

yaitu :

Telur. Telur berbentuk silinder dan meruncing pada kedua ujungnya. Telur

yang baru diletakkan berwarna bening, kemudian berubah menjadi putih

kekuning-kuningan. Pada umur dua atau tiga hari, mulai tampak dua buah bintik

merah pada salah satu ujungnya dan ini merupakan mata faset embrio (Fachrudin

1980).

Telur diletakkan berkelompok dan tersusun berjajar pada sisi dalam jaringan

pelepah daun. Serangga betina dengan alat peletak telurnya meletakkan telur-telur

itu ke dalam jaringan parenkim, sedang operkulum telur menonjol pada

permukaan pelepah daun. Telur terdapat paling banyak pada pelepah bagian

bawah pelepah daun terluar. Peletakan telur terjadi sepanjang hari tetapi lebih

banyak selama pagi hari. Serangga betina sangat menyukai tanaman berumur 30 –

(28)

Masa inkubasi telur wereng hijau ini tergantung pada keadaan fisik

lingkungan terutama suhu. Di Indonesia masa inkubasi telur sekitar 6 – 7 hari.

Suhu optimum untuk perkembangan telur antara 29 - 35 oC. Pada suhu yang lebih

rendah masa inkubasi telur bertambah lama.

Nimfa. Nimfa instar pertama N. virescens yang baru keluar dari telur

berwarna putih kemudian berubah menjadi putih kekuningan. Beberapa saat

setelah pergantian kulit warnanya menjadi kuning atau hijau kekuningan. Dalam

perkembangannya ninfa berganti kulit sebanyak lima kali. Stadia nimfa 16 - 17

hari. Pada suhu lingkungan 29 - 35 oC, rata-rata stadia nimfa 16 hari (Fachrudin

1980).

Imago. Pada awalnya sayap imago wereng hijau berwarna

kekuning-kuningan. Warna tersebut secara bertahap menjadi hijau kekuning-kuningan dan

akhirnya menjadi hijau. Sepertiga bagian ujung sayap tersebut berwarna hitam. N.

virescens betina berwarna sama dengan N. virescens jantan tetapi tanpa bercak

hitam pada sayapnya (Fachrudin 1980). Lama hidup imago N. virescens

dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Pada suhu 20 oC, lama hidup imago N.

virescens berkisar 20 – 25 hari, dan pada suhu 35 oC lama hidup imago N.

virescens berkisar 12 - 13 hari. Masa prapeneluran rata-rata 4,5 hari pada suhu 29

– 35 oC. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi tergantung pada kondisi

lingkungan. Imago N. virescens dilaporkan dapat hidup sampai 4 minggu dan

seekor betina meletakkan telur rata-rata 100 – 200 butir dalam satu minggu

(Kalshoven 1981).

(29)

13

Imago

Kelompok telur

Instar 1

Instar 2

Instar 3 Instar 4

Instar 5

6 - 9 hari

16 - 18 hari

Gambar 4 Siklus Hidup Wereng Hijau Nephotettix virescens (Catindig & Heong 2003).

Cendawan Entomopatogen

Cendawan entomopatogen merupakan salah satu jenis agens hayati yang

dapat digunakan untuk mengendalikan hama tanaman. Beberapa kelebihan

pemanfaatan cendawan entomopatogen dalam mengendalikan hama antara lain

mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat

membentuk spora tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak

menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan

kemungkinan sangat kecil menyebabkan resistensi pada serangga target (Hall

1973).

Pada umumnya cendawan entomopatogen termasuk dalam kelas

(30)

banyak digunakan untuk pengendalian hama adalah Beauveria bassiana,

Metharizium anisopliae, Verticillium lecanii.

Boucias & Pendland (1998) mengemukakan cendawan entomopatogen

dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang,

dan dapat tumbuh ke bagian internal inang (haemocoel) dan mengkonsumsinya

sehingga nutrisi dalam haemolimfa habis oleh pertumbuhan cendawan yang

begitu cepat. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya

atau dengan melepaskan toksin yang mengganggu perkembangan inang secara

normal.

Menurut Inglis et al. (2001), mekanisme cendawan entomopatogen dalam

menyebabkan kematian inang diawali dengan penempelan dan perkecambahan.

penempelan konidia biasanya terjadi secara pasif dengan bantuan angin atau air,

sehingga terjadi kontak antara konidia dengan permukaan integumen serangga

dalam waktu yang cukup lama untuk bisa berkecambah dan menginfeksi.

Perkecambahan konidia tergantung kelembaban, suhu, cahaya dan nutrisi. Konidia

yang telah berkecambah membentuk tabung kecambah selanjutnya menembus

integumen serangga untuk terus masuk ke dalam haemosel. Proses penetrasi

integumen oleh hifa merupakan proses mekanis dan kimiawi dengan

mengeluarkan enzim seperti protease, lipase, kitinase, esterase, yang membantu

menghancurkan kutikula serangga. Setelah masuk ke dalam haemosel, cendawan

membentuk tubuh hifa yang kemudian ikut beredar dalam haemolimfa dan

membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lain seperti jaringan lemak,

trakea, dan saluran pencernaan. Namun sebelum cendawan membentuk hifa

(proliferasi) dalam haemosel, serangga sendiri mengembangkan sistem

pertahanan diri, misalnya dengan mekanisme fagositosis (biasanya dilakukan oleh

plasmatosit) atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma. Adanya perubahan

biokimia dalam haemolimfa terutama kandungan protein, defisiensi nutrisi,

adanya toksin yang dikeluarkan oleh cendawan, dan terjadinya kerusakan jaringan

dalam tubuh serangga akan menyebabkan paralisis dan kematian pada serangga.

Pada kondisi yang sesuai cendawan tumbuh terus dan akhirnya miselia cendawan

kembali menembus kutikula ke arah luar tubuh serangga untuk kemudian

(31)

15

mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung dalam jasad serangga

tanpa keluar menyeberangi integumen.

Cendawan entomopatogen B. bassiana dan Metharizium anispliae menekan

penyakit tungro melalui penekanan kemampuan pemencaran wereng, secara

langsung dapat mematikan dan secara tidak langsung dengan mengurangi

keperidian betina (Widiarta & Kusdiaman 2007).

Verticillium lecanii (Zimmermann) Viegas

Verticillium lecanii (Zimm.) Viegas yang dikenal dengan sebutan

“white-halo” termasuk dalam divisi Ascomycota, kelas Sordariomycetes, dan ordo

Hypocreales, famili Clavicipitaceae. Koloni yang berumur 10 hari pada media

beras, media oatmeal atau PDA berwarna putih atau krem, menyerupai kapas tipis

seperti tak berwarna, pucat atau kuning tua (deep yellow). V. lecanii mempunyai

konidiofor yang berbentuk fialid (whorls) seperti huruf V, yang merupakan ciri

khasnya. fialid lembut, ukuran bervariasi tergantung pada strain dan umur biakan,

dari 8.5-16 x 0.8-1.2 μm sampai 30-40 x 2-2.2 μm. Setiap konidiofor mendukung

5 – 10 konidia yang terbungkus dalam kantung lendir. Konidia tunggal ,

berkembang pada ujung fialid, berbentuk silinder hingga elips dengan ukuran

2.3-3.4 x 1-1.3 μm to 7.2-10 x 2.1-2.6 μm, tidak berwarna (hyalin). Suhu optimum

berkisar 15 – 30 oC, dengan kelembaban lebih dari 90% (Alexopoulus & Mims

1979). Beberapa toxin yang diproduksi oleh V. lecanii yaitu Cyclosporin A,

Dipcolonic acid, dan Hydroxycarboxylic acid (Vey et al. 2001).

Cendawan V. lecanii banyak digunakan untuk mengendalikan hama rumah

kaca dinegeri beriklim sedang. Di Indonesia, penelitian tentang cendawan ini

(32)
[image:32.595.139.512.84.203.2]

Gambar 5 Cendawan Verticillium lecanii. Koloni Verticillium lecanii pada media PDA (A), tanda panah menunjukkan konidiofor yang berbentuk fialid (whorls), (B), bentuk konidia V. lecanii (C)

Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin

B. bassiana termasuk dalam divisi Ascomycota, kelas Sordariomycetes, dan

ordo Hypocreales, famili Clavicipitaceae mempunyai hifa yang bersekat-sekat,

tetapi ada juga yang berbentuk sel tunggal dan sering membentuk pseudomiselium

jika lingkungan menguntungkan. Cendawan ini berkembang secara aseksual dan

seksual yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu,

cahaya serta nutrisi (Alexopoulus & Mims 1979).

A

B

C

A B

C

Gambar 6 Cendawan Beauveria bassiana. Cendawan Beauveria bassiana pada media PDA (A), tanda panah menunjukan konidifor B. bassiana bercabang-cabang dan berbentuk zig-zag (B), bentuk konidia B. bassiana (C)

Secara morfologis cendawan B. bassiana berwarna putih sehingga dikenal

dengan sebutan White Muscardine (Steinhaus 1963). Cendawan ini mempunyai

konidia yang bersel satu dan bentuknya oval agak bulat, tidak berwarna (hyaline).

[image:32.595.119.511.456.582.2]
(33)

17

tabung kecambah, kemudian tabung kecambah ini membentuk hifa berupa

filamen yang panjang dan bercabang. Selanjutnya akan membentuk suatu massa

hifa yang disebut miselium. Konidifornya fertil, bercabang-cabang dan berbentuk

zig-zag sebagai ciri khas B. bassiana, sedang miselium di bawahnya

menggelembung. Konidia akan tumbuh dan berkembang setelah 3 – 7 hari dalam

media. Cendawan ini dapat tumbuh pada pH 3,3 – 8,5 sedangkan pH optimumnya

adalah 6,7 (Steinhaus 1963; Alexopaulus & Mims 1979). Beberapa toxin yang

diproduksi oleh B. bassiana yaitu Beauvericin, Bassianolidae, Cyclosporin A, dan

Oosporein (Vey et al. 2001).

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu

metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen

nukleotida DNA dengan cara in vitro. Metode ini sekarang telah banyak

digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal

perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul

DNA, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula

untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitasi molekul mRNA (Yuwono

2006).

Konsep asli teknologi PCR mensyaratkan bahwa bagian tertentu sekuen

DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum proses

pelipatgandaan tersebut dilakukan. Sekuen yang diketahui tersebut penting untuk

menyediakan primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi

untuk mengawali sintesis rantai DNA dalam reaksi berantai polimerase (Yuwono

2006).

Metode PCR tersebut sangat sensitif, sehingga dapat digunakan untuk

melipatgandakan satu molekul DNA dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu,

reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah yang

sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 µg,

oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM dan reaksi ini biasa

(34)

Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA template

(cetakan), yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida

primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang

mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri

atas dATP, dTCP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim

yang melakukan katalisis reaksi sintetis rantai DNA. Komponen lain yang juga

penting adalah senyawa bufer (Yuwono 2006).

Secara umum proses PCR dibagi menjadi tiga tahap. Pertama yaitu proses

denaturasi yang bertujuan untuk membuka ikatan rangkap DNA. DNA

mempunyai struktur double helix sehingga untuk memungkinkan terjadinya

penempelan primer, ikatan rangkap (ikatan hidrogen) yang membangun struktur

tersebut harus diputuskan. Pemutusan ikatan dapat dilakukan pada suhu tinggi

(biasanya di atas 90 oC). Kedua, annealing yaitu penempelan primer kepada untai

DNA yang telah terdenaturasi. Proses ini dilakukan pada kisaran suhu 36 – 56 oC.

Ketiga, extension yaitu proses perpanjangan primer yang menempel pada DNA

template dengan melibatkan DNA polimerase sebagai katalis. Ketiga tahapan

tersebut dapat diulangi terus sesuai dengan jumlah siklus yang kita inginkan.

Penentuan jumlah siklus PCR bergantung kepada target jumlah copy molekul

DNA yang ingin dihasilkan. Sebagai gambaran, jika merancang 20-30 siklus, dan

dengan menggunakan enzim Taq polymerase sebagai katalis, lebih dari satu juta

copy molekul DNA dapat diperoleh dalam waktu 1,5-2,5 jam (Gumilar 2006).

Primer yang digunakan dalam PCR ada dua, yaitu oligonukleotida yang

mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada

ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada

ujung 3’-OH rantai DNA cetakan lain. Proses annealing biasanya dilakukan

selama 1 – 2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan

DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 oC selama 1,5 menit. Pada

suhu ini DNA polimerasi akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang

baru beredasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi

polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan

DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen

(35)

19

akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95 oC. Rantai

DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi

polimerasi berikutnya (Yuwono 2006).

Reaksi-reaksi seperti yang sudah dijelaskan tersebut diulangi lagi sampai 25

– 30 kali (siklus) sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul

DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih

banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya

siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam campuran

reaksi. Paling tidak, diperlukan 25 siklus untuk melipatgandakan satu kopi sekuen

DNA target di dalam DNA genom mamalia agar hasilnya dapt dilihat secara

langsung, misalnya dengan elektroforesis gel agarose. Akan tetapi, pada

umumnya konsentrasi DNA polimerase Taq menjadi terbatas setelah 25 - 30

(36)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, Laboratorium

Virologi Tumbuhan, dan Rumah Kaca Departemen Proteksi Tanaman Fakultas

Pertanian IPB, Bogor, dimulai Februari sampai Desember 2008.

Persiapan Penelitian

Perbanyakan Isolat Cendawan Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana Isolat cendawan entomopatogen V. lecanii diperoleh dari isolasi bangkai

serangga (cadaver) Riptortus linearis dan B. Bassiana dari cadaver Leptocoriza

acuta. Kedua isolat cendawan entomopatogen tersebut merupakan koleksi

Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Proses

pemurnian dan perbanyakannya dilakukan pada media Potato Dextrose Agar

(PDA). Biakan diinkubasikan selama 3 minggu dalam inkubator dengan suhu 24

o

C dan kelembaban relatif 95%.

Persiapan Media Tanam

Media tanam yang digunakan merupakan campuran tanah dan pupuk

kandang (2 : 1). Tanah tersebut dimasukkan ke dalam ember plastik diameter 20

cm, kemudian diberi air sampai kondisi macak-macak, menyerupai kondisi sawah.

Media ini akan dipakai pada perbanyakan bibit padi sebagai pakan N. virescens,

perbanyakan isolat virus tungro, penyemaian dan penanaman varietas uji.

Pembiakan Massal N. virescens

Pengumpulan serangga vektor N. virescens dilakukan di daerah Bogor,

dengan menggunakan jaring serangga. N. virescens dipelihara pada varietas padi

rentan Taichung Native One (TN1) dengan mengikuti prosedur Heinrichs et al.

(1985). Wereng dewasa ini dipelihara dalam kurungan berukuran 53 cm x 53 cm

x 90 cm dengan tanaman padi TN1 berumur 45 hari untuk peneluran. Kemudian

tanaman padi yang digunakan untuk bertelur dipindahkan pada kurungan yang

(37)

21

untuk oviposisi tersebut dibersihkan, daun dan pelepah yang sudah tua dibuang,

dan tanaman dicuci bersih untuk menghilangkan semut dan predator sebelum

dimasukkan dalam kurungan. Tanaman padi yang telah diteluri dirawat sampai

muncul nimfa. Selanjutnya tanaman padi TN1 umur 45 hari diletakkan lagi dalam

kurungan tersebut sebagai bahan makanan yang diperlukan nimfa untuk

berkembang menjadi dewasa. N. virescens dewasa yang baru muncul dipindahkan

dalam kurungan peneluran. Proses tersebut dilakukan terus menerus untuk

memelihara ketersediaan N. virescens.

Perbanyakan Inokulum Virus Tungro

Inokulum virus tungro pada tanaman padi sakit dikoleksi dari daerah

Darmaga Bogor. Inokulum virus tungro dari sampel tanaman sakit dipelihara pada

tanaman padi TN1 dengan cara ditularkan menggunakan N. virescens mengikuti

prosedur Azzam et al. (2000). Semua proses penularan menggunakan test tube.

Penularan dilakukan dengan memberi kesempatan imago N. virescens

mendapatkan virus (acquisition feeding) pada inokulum penyakit tungro selama 1

x 24 jam, pada hari berikutnya N. virescens tersebut diberi kesempatan

menularkan virus (inoculation feeding) pada varietas uji selama 1 x 24 jam. Setiap

2 ekor N. virescens siap dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi 1 batang

bibit padi varietas tanaman uji, setelah itu bibit tersebut ditanam dalam ember

yang berisi tanah yang telah disiapkan.

Pembibitan Varietas Uji

Varietas padi yang akan diuji sebanyak 3 varietas yaitu varietas rentn (TN1),

varietas tahan N. virescens (Ciliwung) dan varietas tahan virus (Tukad Petanu).

Masing-masing varietas uji disemai pada baki plastik yang berisi tanah. Setelah

berumur 10 hari setelah semai bibit padi akan digunakan untuk pengujian efikasi .

Penyiapan Suspensi Cendawan Untuk Aplikasi

Suspensi konidia disiapkan dengan menambahkan akuades steril dan Tween

80% ke dalam cawan petri berisi biakan cendawan yang telah berumur 3 minggu.

Cawan digoyang-goyang, kemudian dengan bantuan kuas kecil steril konidia

(38)

kerapatan konidia yaitu 106, 107,108, dan 109 konidia/ml untuk B. bassiana dan V.

lecanii. Konidia dihitung dengan menggunakan haemocytometer. Aplikasi

suspensi cendawan dilakukan dengan metode penyemprotan langsung pada tubuh

serangga.

Metode Penelitian Uji Mortalitas N. Virescens

Empat tingkat kerapatan konidia 106, 107,108, dan 109 konidia/ml untuk B.

bassiana dan V. lecanii diaplikasikan pada masing-masing 20 ekor imago N.

virescens yang diletakkan dalam gelas plastik. Selanjutnya N. virescens

dipindahkan ke tempat pemeliharaan yang dibuat dari gelas platik bekas wadah air

mineral dan diberi makan bibit tanaman padi TN1. Masing-masing kerapatan

konidia diulang sebanyak tiga kali. Pengamatan serangga yang mati dilakukan

pada 3, 7, dan 10 hari setelah aplikasi (HSA). Perbedaan mortalitas antar tingkat

kerapatan konidia dan kontrol diuji dengan uji DMRT (α = 0,05).

Uji Waktu Kematian N. Virescens

Kerapatan konidia B. bassiana dan V. lecanii yang digunakan untuk

pengujian ini didasarkan hasil uji mortalitas. B. bassiana 107 konidia/ml dan V.

lecanii 108 konidia/ml. Suspensi cendawan ini diaplikasikan pada 20 ekor imago

N. virescens yang diletakkan dalam gelas plastik. Selanjutnya N. virescens

dipindahkan ke tempat pemeliharaan yang dibuat dari gelas platik bekas wadah air

mineral dan diberi makan bibit tanaman padi TN1. Masing-masing kerapatan

konidia diulang sebanyak tiga kali. Pengamatan serangga yang mati dilakukan

pada 3, 7, 10 dan 14 HSA. Waktu kematian diestimasi dengan analisis probit

(Finney 1971) menggunakan program SAS for windows v6.12.

Uji Kemampuan Terbang Imago N. virescens

Prosedur yang dilakukan sama dengan percobaan 7, tetapi pengamatan

dilakukan terhadap kemampuan terbang, dilihat dari respon kepakan sayap

terhadap hembusan angin (ditiup), atau pengamatan langsung apakah masih bisa

(39)

23

Efikasi Kemampuan N. virescens dalam Menularkan Virus Tungro

Kemampuan N. virescens menularkan virus tungro setelah aplikasi

cendawan entomopatogen dilakukan dengan penularan penyakit tungro secara

buatan pada stadia bibit menggunakan metode test tube sesuai dengan prosedur

Azzam et al. (2000). Imago N. virescens diperlakukan dengan cendawan

entomopatogen B. bassiana dan V. lecanii. Cendawan tersebut dibuat dalam

bentuk suspensi dengan kerapatan konidia 107 konidia/ml untuk B. bassiana dan

108 konidia/ml untuk V. lecanii (pilihan kerapatan konidia didasarkan pada uji

mortalitas N. virescens). Aplikasi cendawan dilakukan sebelum proses akuisisi.

Akuisisi dilakukan pada 1, 3, 5, 7 hari setelah aplikasi (HSA) dan kontrol (tanpa

aplikasi cendawan). Infeksi buatan dilakukan dengan memberi kesempatan imago

N. virescens mendapatkan virus (Acquisition feeding) pada inokulum penyakit

tungro selama 1 x 24 jam. Pada hari berikutnya N. virescens yang telah mendapat

virus diberi kesempatan menularkan virus (Inoculation feeding) pada varietas uji

selama 1 x 24 jam. Setiap 2 ekor N. virescens yang telah memperoleh virus

dimasukkan dalam tabung reaksi (diameter 1,5 cm) yang berisi 1 batang bibit

varietas uji, setelah itu bibit tersebut di tanam dalam ember yang berisi tanah.

Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali (10 bibit). Tanaman padi

diberi pupuk dengan dosis 250 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP-36, dan 100 kg/ha KCl.

Urea dan SP-36 diberikan 3 kali pada saat tanaman berumur 7, 14, dan 21 hari

setelah tanam (HST), sedangkan KCl diberikan pada saat tanaman berumur 21

HST.

Pengamatan dilakukan terhadap tipe gejala, masa inkubasi dan kejadian

penyakit, serta tinggi tanaman dan jumlah anakan. Pengamatan dimulai pada 1

hari setelah inokulasi (HSI) – 28 HSI.

Deteksi Keberadaan Virus Tungro pada Tanaman Uji dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

Uji PCR ini bertujuan untuk membuktikan bahwa varietas yang tidak

bergejala secara visual juga tidak terinfeksi virus tungro.

Daun tanaman padi yang dijadikan sampel pengujian adalah daun yang telah

(40)

Sedang tanaman yang tidak menunjukkan gejala, diambil pada umur 4 minggu

setelah tanam (pada akhir pengamatan). Daun padi diambil dan ditimbang

sebanyak 0,3 g, diberi nitrogen cair untuk mengawetkan daun tersebut, kemudian

disimpan pada -80 oC sampai daun tersebut diekstraksi.

a. Ekstraksi DNA Total

Ekstrak DNA RTBV disiapkan dari daun masing-masing varietas uji yang

berdasarkan pengamatan secara visual tidak bergejala, selain itu daun yang

bergejala juga diambil sebagai pembanding. Ekstraksi DNA RTBV ini

menggunakan metode yang dimodifikasi dari Smith et al. (1992). Sebanyak 0,3 g

daun padi varietas uji yang ditambahkan nitrogen cair digerus dengan mortar dan

pistil sampai terbentuk bubuk. Bubuk daun tersebut kemudian dimasukkan ke

dalam tabung mikro 2 ml dan ditambah 1 ml bufer ekstrak yang mengandung 50

mg/ml polyvinilpyrrolidone (PVP) dan 60 µl 10% sodium dedocyl sulfate (SDS)

ditambah 10 µl mercapto ethanol. Kemudian tabung tersebut divorteks sampai

campuran homogen lalu dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 65 oC

selama 30 menit setelah itu didinginkan sampai dengan suhu ruang lalu

ditambahkan 5 µl enzim RNase (1 mg/ml) untuk mendegradasi RNA kemudian

diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 1 jam. Selanjutnya campuran tersebut

ditambahkan 750 µl chloroform : isoamyl alcohol (24 : 1) lalu tabung yang berisi

ekstraktan divorteks dan disentrifugasi pada 11.000 rpm pada suhu 4 oC selama 10

menit. Supernatan ditambah 1 ml chloroform kemudian divorteks dan

disentrifugasi pada 11.000 rpm pada suhu 4 oC. Supernatan ditambah 1 ml

isopropanol dingin kemudian dihomogenkan dengan cara membolakbalikkan

tabung beberapa kali lalu diinkubasi pada suhu -20 oC selama 30 menit dan

disentrifugasi pada 11.000 rpm pada suhu 4 oC selama 10 menit. Pelet

diresuspensi dengan 200 µl TE pH 8,0 (10 mM Tris Cl. pH 8,0 dan 1 mM EDTA

pH 8,0), dihomogenkan dengan cara membalikkan tabung beberapa kali

kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama satu jam. Pelet ditambah 1/10

volume natrium asetat (3 M, pH 5,2) dan 2,5 x volume ethanol absolute dingin

dihomogenkan dengan cara membalikkan tabung beberapa kali lalu diinkubasi

(41)

25

4 oC selama 10 menit. Cairan dibuang kemudian pelet dicuci dengan 500 µl

ethanol 75% dingin, dikeringkan dan diresuspensi dengan 100 µl bufer TE

kemudian disimpan pada suhu -20 oC sampai digunakan pada metode selanjutnya.

b. Amplifikasi Gen Protein Selubung RTBV

Amplifikasi Gen Protein Selubung RTBV dilakukan dengan metode PCR

menggunakan primer spesifik RTBV yaitu RTBV-2L

(5’_GGTCTTGGATGGATGGTAGA_3’) dan RTBV-2R

(3’_GCTGAGGTGCTACATAGGTT_3’). Sepasang primer tersebut didesain

untuk mengamplifikasi pada bagian gen coat protein (CP) sampai bagian gen

aspartic protease (PR) (Venkitesh et al. 1994). Sebanyak 1 µl masing-masing

primer RTBV-2L 10 µM dan RTBV-2R 10 µM, 0,2 µl Taq DNA polymerase 5

unit/ µl, 2,5 µl 10x bufer PCR, 0,5 µl dNTPs 10 µM, 17,8 µl ddH2O (Double

Distilled H2O) (New England Biolabs, New England), dan 2 µl templat sehingga

volume akhir adalah 25 µl. Amplifikasi ini dilakukan pada DNA thermal cycler

(Gene Amp PCR System 9700, PE Applied Biosystems, USA). Amplifikasi

didahului dengan denaturasi awal selama 5 menit pada 94 oC. Kemudian dalam

satu siklus amplifikasi adalah denaturasi 1 menit pada 94 oC, penempelan primer

(annealing) selama 1 menit pada 55 oC, sintesis selama 2 menit pada 72 oC dan

diulang sebanyak 34 kali kemudian untuk tahapan sintesis ditambah 10 menit

pada 72 oC. Akhir siklus dipertahankan pada suhu 4 oC.

c. Elektroforesis

Penyiapan gel agarose. Visualisasi DNA hasil amplifikasi dilakukan pada gel agaros 1,2% dalam TBE 0,5X. Sebelumnya aparatus pencetak gel dibersihkan,

dikeringkan, kemudian diletakkan pada permukaan datar. ”sisir” gel diletakkan di

bagian atas aparatus pencetak gel (± 0,5-1,0 mm dari atas). Bufer elektroforesis

TBE 0,5X (0,045 M Tris-borate, 0,001 M EDTA) disiapkan untuk membuat gel

dan mengisi tangki elektroforesis. Gel agaros disiapkan dengan mencampurkan

bubuk agaros dalam TBE 0,5X dan dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer.

Campuran dipanaskan dalam microwave hingga agaros larut sempurna kemudian

(42)

larutan ditambahkan 0,5 µl ethium bromida 1%). Campuran gel agaros kemudian

dituang ke dalam aparatus pencetak gel. Setelah gel mengeras, dengan hati-hati

sisir gel dilepas dan gel diletakkan dalam tangki elektroforesis. Selanjutnya

ditambahkan bufer elektroforesis hingga gel terendam (tinggi bufer ± 1 mm diatas

permukaan gel) (Sambrook et al. 1989).

Elektroforesis sampel DNA. Sebanyak 10 µl DNA hasil PCR dicampur dengan 2 µl loading dye (0,25% bromophenol blue (b/v), 0,25% xylene cyanol

(b/v), dan 30% glycerol), dihomogenkan, kemudian dipipet dengan mikropipet

diisikan ke dalam sumuran gel. Kemudian salah satu sumuran gel diberi 6 µl

marker 1 kb (New England Biolabs, New England) ditambah 2 µl loading dye

yang telah dihomogenkan. Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 75 volt

selama 40 menit. Hasil elektroforesis tersebut divisualisasikan dengan

transluminator ultraviolet (Sambrook et al. 1989).Pita DNA yang terbentuk pada

(43)

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Uji Mortalitas N. virescens

Hasil pengamatan terhadap mortalitas imago N. virescens menunjukkan

bahwa aplikasi cendawan B. bassiana dan V. lecanii mampu menyebabkan

[image:43.595.95.551.276.424.2]

mortalitas imago N. virescens, meskipun dengan tingkat persentase yang berbeda

(Gambar 7). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

3HSA 7HSA 10HSA

Pengam atan (hari)

Mo rt a li ta s ( % )

BB 0 BB 10^6 BB 10^7 BB 10^8 BB 10^9

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

3 HSA 7 HSA 10 HSA

Pengam atan (hari)

M o rt a lit a s ( % )

VL 0 VL 10^6 VL 10^7 VL 10^8 VL 10^9

b

a

Gambar 7 Pengaruh B. bassiana (a)dan V. lecanii (b)terhadap mortalitas N. virescens

Pada gambar di atas juga terlihat adanya kecenderungan mortalitas N.

virescens meningkat seiring dengan meningkatnya kerapatan konidia. Aplikasi

cendawan B. bassiana menyebabkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi

dibandingkan aplikasi dengan cendawan V. lecanii.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian beberapa peneliti

sebelumnya yang menunjukkan adanya korelasi positif antara konsentrasi konidia

cendawan entomopatogen dengan mortalitas serangga uji, yaitu semakin tinggi

konsentrasi konidia maka mortalitas serangga uji juga semakin tinggi (James &

Lighthart 1994).

Uji DMRT (α = 0,05) terhadap mortalitas N. virescens yang menerima

perlakuan cendawan pada 3 HSA menunjukkan bahwa B. bassiana pada kerapatan

konidia 107 konidia/ml dan V. lecanii pada kerapatan konidia 108 konidia/ml

(44)

Lampiran 1 & 2). Semakin cepat cendawan entomopatogen tersebut mematikan

serangga vektor, maka kemungkinan penyebaran virus tungro semakin kecil.

7

Berdasarkan hal ini maka kerapatan konidia 10 konidia/ml untuk B.

bassiana dan kerapatan konidia 108 konidia/ml untuk V. lecanii dipilih untuk

pengujian selanjutnya.

a

b

Gambar 8 Imago N. virescens sehat (a) dan terkolonisasi B. bassiana pada 10 HSA (b)

Imago N. virescens yang mati akibat infeksi B. bassiana ditandai dengan

adanya miselia yang berwarna putih pada permukaan tubuh serangga, miselia

yang berwarna putih mulai menembus kutikula keluar tubuh serangga, kemudian

berkembang terus dan akhirnya menutupi seluruh tubuh serangga (gambar 8b).

Sedangkan imago yang diinfeksikan dengan V. lecanii tidak menunjukkan adanya

(45)

29

Uji Waktu Kematian N. virescens

Berdasarkan hasil uji potensi mortalitas, konsentrasi konidia 107 konidia/ml

untuk B. bassiana dan konsentrasi konidia 108 konidia/ml untuk cendawan V.

lecanii dipilih untuk menguji waktu kematian serangga uji. Cendawan B. bassiana

menyebabkan tingkat mortalitas N. virescens lebih tinggi dibandingkan V. lecanii

(Gambar 9). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

3 7 10 14

Hari Setelah Aplikasi (HSA)

M o rt al it as ( % )

[image:45.595.173.436.234.384.2]

B. bassiana 10 7 V.lecanii 10 8 kontrol

Gambar 9 Mortalitas imago N. virescens setelah perlakuan V. lecanii dan B. bassiana

Lethal Time (LT) diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk

mematikan populasi serangga. LT50 dan LT90 untuk B. bassiana yaitu 6,66 hari

dan 9,70 hari, sedangkan V. lecanii yaitu 8,02 hari dan 10,82 hari (Tabel 1).

Berdasarkan hasil analisis probit diketahui bahwa LT B. bassiana lebih singkat

dibandingkan V. lecanii.

Tabel 1 Waktu kematian (LT50 dan LT90) imago N. virescens pada perlakuan

cendawan B. bassiana dan V. lecanii

Waktu kematian

Nilai LT

Limit atas Limit bawah (hari)

B. bassiana

LT50 6,66 7,42 4,44

LT90 9,70 15,21 8,59

V. lecanii

LT50 8,02 9,37 7,22

LT 10,82 17,72 9,44

Ket : LT = Lethal Time

[image:45.595.140.473.618.733.2]
(46)

Uji Kemampuan Terbang Imago N. virescens

Pengamatan terhadap kemampuan N. virescens untuk terbang

(menggerakkan sayapnya) berkaitan dengan peranan N. virescens sebagai

serangga vektor dalam menularkan virus. Aplikasi cendawan entomopatogen

diharapkan dapat mempengaruhi aktivitas terbangnya sehingga dapat menekan

[image:46.595.105.515.257.381.2]

penyebaran virus tungro.

Tabel 2 Uji kemampuan terbang imago N. virescens

Perlakuan Waktu

Pengamatan (HSA)

B. bassiana V. lecanii Kontrol

Ket : HSA = hari setelah aplikasi

Hasil pengamatan terhadap kemampuan N. virescens untuk terbang

(menggerakkan sayapnya) setelah aplikasi cendawan B. bassiana dan V. lecanii

(Tabel 2) menunjukkan bahwa imago wereng hijau masih aktif bergerak pada 3

HSA, sedangkan perlakuan kontrol (disemprot air) masih aktif bergerak hingga 10

HSA. Namun setelah 10 HSA terlihat bahwa imago mulai kurang aktif bergerak;

pada saat disentuh imago wereng hijau hanya mampu bergeser tanpa

menggerakkan/mengepakkan sayap. Pada pengamatan 14 HSA, imago wereng

hijau tidak berpindah sedikitpun meski disentuh, dan pada hari berikutnya imago

wereng hijau tersebut mati.

Efikasi Kemampuan N. virescens dalam Menularkan Virus Tungro

Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan V. lecanii tidak

mempengaruhi kemampuan N. virescens dalam menularkan virus tungro. Hal ini

dapat dilihat dari variabel pengamatan berupa tipe gejala penyakit tungro, masa

inkubasi virus tungro, kejadian penyakit tungro, tinggi tanaman maupun jumlah

anakan pada tiga varietas uji (TN1, Tukad Petanu, dan Ciliwung).

107 konidia/ml 108 konidia/ml

(47)

31

Gejala Penyakit Tungro

[image:47.595.175.437.110.249.2]

a

b

Gambar 10 Daun varietas TN1 b

Gambar

Tabel
Gambar                                                                                                        Halaman
Gambar 2 Dua partikel virus penyebab penyakit tungro. A. Bentuk dan organisasi genom RTBV
Gambar 3  Gejala penyakit tungro di lapangan (A); rumpun tanaman padi yang terinfeksi virus tungro (B); daun padi yang terinfeksi virus tungro (C)
+7

Referensi

Dokumen terkait