• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Uji Mortalitas N. virescens

Hasil pengamatan terhadap mortalitas imago N. virescens menunjukkan bahwa aplikasi cendawan B. bassiana dan V. lecanii mampu menyebabkan mortalitas imago N. virescens, meskipun dengan tingkat persentase yang berbeda (Gambar 7). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

3HSA 7HSA 10HSA

Pengam atan (hari)

Mo rt a li ta s ( % ) BB 0 BB 10^6 BB 10^7 BB 10^8 BB 10^9 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

3 HSA 7 HSA 10 HSA

Pengam atan (hari)

M o rt a lit a s ( % ) VL 0 VL 10^6 VL 10^7 VL 10^8 VL 10^9

b

a

Gambar 7 Pengaruh B. bassiana (a)dan V. lecanii (b)terhadap mortalitas N. virescens

Pada gambar di atas juga terlihat adanya kecenderungan mortalitas N. virescens meningkat seiring dengan meningkatnya kerapatan konidia. Aplikasi cendawan B. bassiana menyebabkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan aplikasi dengan cendawan V. lecanii.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian beberapa peneliti sebelumnya yang menunjukkan adanya korelasi positif antara konsentrasi konidia cendawan entomopatogen dengan mortalitas serangga uji, yaitu semakin tinggi konsentrasi konidia maka mortalitas serangga uji juga semakin tinggi (James & Lighthart 1994).

Uji DMRT (α = 0,05) terhadap mortalitas N. virescens yang menerima perlakuan cendawan pada 3 HSA menunjukkan bahwa B. bassiana pada kerapatan konidia 107 konidia/ml dan V. lecanii pada kerapatan konidia 108 konidia/ml efektif menyebabkankematian lebih dari 50% populasi imago N. virescens (Tabel

Lampiran 1 & 2). Semakin cepat cendawan entomopatogen tersebut mematikan serangga vektor, maka kemungkinan penyebaran virus tungro semakin kecil.

7

Berdasarkan hal ini maka kerapatan konidia 10 konidia/ml untuk B. bassiana dan kerapatan konidia 108 konidia/ml untuk V. lecanii dipilih untuk pengujian selanjutnya.

a

b

Gambar 8 Imago N. virescens sehat (a) dan terkolonisasi B. bassiana pada 10 HSA (b)

Imago N. virescens yang mati akibat infeksi B. bassiana ditandai dengan adanya miselia yang berwarna putih pada permukaan tubuh serangga, miselia yang berwarna putih mulai menembus kutikula keluar tubuh serangga, kemudian berkembang terus dan akhirnya menutupi seluruh tubuh serangga (gambar 8b). Sedangkan imago yang diinfeksikan dengan V. lecanii tidak menunjukkan adanya tanda pertumbuhan cendawan di permukaan tubuhnya (kolonisasi cendawan).

29

Uji Waktu Kematian N. virescens

Berdasarkan hasil uji potensi mortalitas, konsentrasi konidia 107 konidia/ml untuk B. bassiana dan konsentrasi konidia 108 konidia/ml untuk cendawan V. lecanii dipilih untuk menguji waktu kematian serangga uji. Cendawan B. bassiana menyebabkan tingkat mortalitas N. virescens lebih tinggi dibandingkan V. lecanii (Gambar 9). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 3 7 10 14

Hari Setelah Aplikasi (HSA)

M o rt al it as ( % ) B. bassiana 10 7 V.lecanii 10 8 kontrol

Gambar 9 Mortalitas imago N. virescens setelah perlakuan V. lecanii dan B. bassiana

Lethal Time (LT) diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mematikan populasi serangga. LT50 dan LT90 untuk B. bassiana yaitu 6,66 hari

dan 9,70 hari, sedangkan V. lecanii yaitu 8,02 hari dan 10,82 hari (Tabel 1). Berdasarkan hasil analisis probit diketahui bahwa LT B. bassiana lebih singkat

dibandingkan V. lecanii.

Tabel 1 Waktu kematian (LT50 dan LT90) imago N. virescens pada perlakuan

cendawan B. bassiana dan V. lecanii Waktu

kematian

Nilai LT

Limit atas Limit bawah (hari) B. bassiana LT50 6,66 7,42 4,44 LT90 9,70 15,21 8,59 V. lecanii LT50 8,02 9,37 7,22 LT 10,82 17,72 9,44

Ket : LT = Lethal Time

Uji Kemampuan Terbang Imago N. virescens

Pengamatan terhadap kemampuan N. virescens untuk terbang (menggerakkan sayapnya) berkaitan dengan peranan N. virescens sebagai serangga vektor dalam menularkan virus. Aplikasi cendawan entomopatogen diharapkan dapat mempengaruhi aktivitas terbangnya sehingga dapat menekan penyebaran virus tungro.

Tabel 2 Uji kemampuan terbang imago N. virescens Perlakuan Waktu Pengamatan (HSA) B. bassiana V. lecanii Kontrol

Ket : HSA = hari setelah aplikasi

Hasil pengamatan terhadap kemampuan N. virescens untuk terbang (menggerakkan sayapnya) setelah aplikasi cendawan B. bassiana dan V. lecanii (Tabel 2) menunjukkan bahwa imago wereng hijau masih aktif bergerak pada 3 HSA, sedangkan perlakuan kontrol (disemprot air) masih aktif bergerak hingga 10 HSA. Namun setelah 10 HSA terlihat bahwa imago mulai kurang aktif bergerak; pada saat disentuh imago wereng hijau hanya mampu bergeser tanpa menggerakkan/mengepakkan sayap. Pada pengamatan 14 HSA, imago wereng hijau tidak berpindah sedikitpun meski disentuh, dan pada hari berikutnya imago wereng hijau tersebut mati.

Efikasi Kemampuan N. virescens dalam Menularkan Virus Tungro

Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan V. lecanii tidak mempengaruhi kemampuan N. virescens dalam menularkan virus tungro. Hal ini dapat dilihat dari variabel pengamatan berupa tipe gejala penyakit tungro, masa inkubasi virus tungro, kejadian penyakit tungro, tinggi tanaman maupun jumlah anakan pada tiga varietas uji (TN1, Tukad Petanu, dan Ciliwung).

107 konidia/ml 108 konidia/ml 3 Masih aktif Masih aktif Masih aktif 7 Masih aktif Kurang aktif Kurang aktif 10 Masih aktif Kurang aktif Kurang aktif 14 Kurang aktif Tidak aktif Tidak aktif

31

Gejala Penyakit Tungro

a

b

Gambar 10 Daun varietas TN1 berumur 14 HST yang terserang virus tungro berwarna orange disertai bercak-bercak coklat (a), gejala stripe interveinal orange pada daun padi varietas TN1 (b)

a

b

Gambar 11 Pertumbuhan tanaman padi varietas Tukad Petanu (a), daun varietas Tukad Petanu berumur 28 HST yang tidak terserang virus tungro (b)

b

a

Gambar 12 Pertumbuhan tanaman padi varietas Ciliwung yang kerdil (a), daun varietas Ciliwung umur 14 HST yang terserang virus tungro

berwarna kuning, nampak belang (mottle) dan bercak-bercak coklat karat (b)

Masa Inkubasi Virus Tungro

Aplikasi B. bassiana dan V. lecanii pada N. virescens tidak berpengaruh terhadap kemampuan N. virescens untuk menularkan virus tungro berdasarkan masa inkubasi, baik pada serangga yang makan akuisisinyapada 1,3,5, maupun 7 Hari Setelah Aplikasi (HSA) (Tabel 3).

Tabel 3 Masa inkubasi virus tungro yang ditularkan oleh N. virescens yang telah menerima perlakuan B. bassiana dan V. lecanii

Masa Inkubasi (hari) Perlakuan*

TN1 Tukad Petanu Ciliwung

Ket : (-) = tidak muncul gejala sampai akhir pengamatan (4 MSI)

* = makan akuisisi dilakukan pada 1, 3, 5, 7 HSA cendawan entomopatogen Hasil pengujian menunjukkan adanya perbedaan tanggap masing-masing varietas. Masa inkubasi baik perlakuan maupun kontrol bervariasi antara 7- 25 hari setelah tanam (HST). Pada varietas TN1 dan Ciliwung gejala muncul dimulai pada 7 HST. Sedangkan varietas Tukad Petanu tidak memperlihatkan adanya gejala sampai akhir pengamatan.

1 HSA 7 – 21 - 7 – 24 B. bassiana 3 HSA 7 – 20 - 7 – 25 5 HSA 10 – 24 - 7 – 21 7 HSA 7 – 24 - 7 – 25 V. lecanii 1 HSA 10 – 22 - 12 – 22 3 HSA 7 – 22 - 7 – 24 5 HSA 7 – 22 - 7 – 21 7 HSA 10 – 21 - 12 – 21 kontrol 1 HSA 7 – 22 - 12 – 21 3 HSA 7 – 22 - 12 – 21 5 HSA 7 – 21 - 10 – 20 7 HSA 7 – 20 - 10 – 21

33

Kejadian Penyakit Tungro

Aplikasi B. bassiana dan V. lecanii pada N. virescens tidak berpengaruh terhadap kemampuan N. virescens untuk menularkan virus tungro berdasarkan kejadian penyakit, baik pada serangga yang makan akuisisinya pada 1,3,5, maupun 7 Hari Setelah Aplikasi (HSA) (Tabel 4).

Varietas TN1 tidak memiliki gen ketahanan terhadap penyakit tungro, sehingga kejadian penyakit mencapai 100%. Kejadian penyakit pada Tukad Petanu 0%, hal ini disebabkan oleh gen tahan virus tungro yang dimiliki oleh Tukad Petanu. Sedangkan pada Ciliwung yang memiliki gen tahan wereng hijau, kejadian penyakit mencapai 100%, kecuali pada perlakuan B. bassiana dan kontrol yang hanya mencapai 70%. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh mulai patahnya ketahanan varietas ini terhadap N. virescens.

Tabel 4 Kejadian penyakit tungro akibat penularan oleh N. virescens yang telah diaplikasikan B. bassiana dan V. lecanii pada 4 MST

Kejadian Penyakit (%) Perlakuan*

TN1 Tukad Petanu Ciliwung

Ket : * = makan akuisisi dilakukan pada 1, 3, 5, 7 HSA cendawan entomopatogen 1 HSA 100 0 100 B. bassiana 3 HSA 100 0 100 5 HSA 100 0 70 7 HSA 100 0 100 V. lecanii 1 HSA 100 0 100 3 HSA 100 0 100 5 HSA 100 0 100 7 HSA 100 0 100 kontrol 1 HSA 100 0 70 3 HSA 100 0 100 5 HSA 100 0 100 7 HSA 100 0 100

Tinggi Tanaman

Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan V. lecanii tidak berpengaruh terhadap kemampuan N. virescens dalam menularkan virus tungro, sehingga varietas uji yang terserang virus tungro mengalami penurunan tinggi tanaman (Tabel 5). Hal ini dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan tinggi tanaman antara tanaman kontrol dan tanaman yang mendapat perlakuan cendawan. Varietas TN1 maupun Ciliwung mengalami penurunan tinggi tanaman akibat serangan virus tungro, sedangkan varietas Tukad Petanu yang tidak terserang virus tungro tidak mengalami penurunan tinggi tanaman.

Tabel 5 Pengaruh tinggi tanaman varietas uji terhadap virus tungro yang ditularkan oleh N. virescens setelah aplikasi B. bassiana dan V. lecanii pada 4 MST

Tinggi Tanaman (X ± SD, cm) Perlakuan*

TN1 Tukad Petanu Ciliwung

Ket : antar perlakuan pada kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada taraf DMRT 5%.

* = makan akuisisi dilakukan pada 1, 3, 5, 7 HSA cendawan entomopatogen 1 HSA 13.00 ± 1.05 20.68 ± 2.25 16.26 ± 3.62 B. bassiana 3 HSA 15.99 ± 2.09 19.44 ± 3.34 10.97 ± 2.31 5 HSA 14.87 ± 2.32 22.83 ± 2.96 11.44 ± 4.40 7 HSA 16.26 ± 3.62 20.13 ± 3.26 17.25 ± 3.16 V. lecanii 1 HSA 17.25 ± 3.16 21.12 ± 1.71 15.99 ± 2.09 3 HSA 12.83 ± 3.10 19.44 ± 3.34 12.83 ± 3.10 5 HSA 17.04 ± 6.60 22.85 ± 4.39 16.39 ± 3.92 7 HSA 15.99 ± 2.09 19.45 ± 4.52 14.87 ± 2.32 Kontrol 1 HSA 16.50 ± 5.44 20.20 ± 1.39 13.00 ± 1.05 3 HSA 11.44 ± 4.40 21.75 ± 3.19 14.05 ± 4.31 5 HSA 14.62 ± 2.35 25.11 ± 3.37 14.62 ± 2.35 7 HSA 13.00 ± 1.05 21.75 ± 3.19 14.21 ± 1.74

35

Jumlah Anakan

Serangan penyakit tungro, selain mempengaruhi tinggi tanaman juga berdampak pada pengurangan jumlah anakan. Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan V. lecanii tidak memberikan pengaruh terhadap pengurangan jumlah anakan akibat serangan tungro (Tabel 6). Pengamatan pada 4 minggu setelah tanam (MST) menunjukkan bahwa varietas TN1 dan Ciliwung yang terserang virus tungro menghasilkan jumlah anakan yang lebih sedikit dibandingkan varietas Tukad Petanu yang tidak terserang virus tungro.

Tabel 6 Pengaruh jumlah anakan varietas uji terhadap virus tungro yang ditularkan oleh N. virescens setelah aplikasi B. bassiana dan V. lecanii pada 4 MST

Jumlah Anakan (x ± SD, rumpun) Perlakuan*

TN1 Tukad Petanu Ciliwung B. bassiana 1 HSA 1.2 ± 0.44 2.7 ± 0.82 1.7 ± 0.95 3 HSA 1.6 ± 0.97 2.8 ± 0.63 1.0 ± 0.00 5 HSA 1.4 ± 0.73 2.5 ± 0.71 1.3 ± 0.48 7 HSA 1.0 ± 0.00 2.6 ± 0.63 1.0 ± 0.00 V. lecanii 1 HSA 1.0 ± 0.00 2.6 ± 0.84 1.3 ± 0.48 3 HSA 1.4 ± 0.79 2.4 ± 0.79 1.4 ± 0.73 5 HSA 1.6 ± 0.70 3.0 ± 0.00 1.4 ± 0.70 7 HSA 1.3 ± 0.71 3.0 ± 0.47 1.0 ± 0.00 Kontrol 1 HSA 1.1 ± 0.33 2.7 ± 0.84 1.3 ± 0.48 3 HSA 1.3 ± 0.71 2.6 ± 0.53 1.3 ± 0.68 5 HSA 1.7 ± 1.03 3.8 ± 0.63 1.2 ± 0.44 Ket : antar perlakuan pada kolom yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada

taraf DMRT 5%.

7 HSA 1.8 ± 0.79 3.0 ± 0.47 1.0 ± 0.00

Deteksi Keberadaan Virus Tungro pada Tanaman Uji dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) ini bertujuan untuk membuktikan varietas uji yang tidak menampakkan gejala pada uji efikasi daya hambat penularan tungro tidak mengandung virus. Amplifikasi DNA RTBV dari tanaman yang menunjukkan gejala (TN1 dan Ciliwung) didapatkan ukuran fragmen DNA sesuai yang diharapkan sekitar 1500 bp. Hal ini membuktikan bahwa varietas uji tersebut terinfeksi virus tungro, kecuali tanaman yang tidak menunjukkan gejala.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2000 bp

1500 bp 1000 bp

Gambar 13 Hasil amplifikasi gen selubung protein RTBV dengan PCR menggunakan primer RTBV-2R dan RTBV-2L pada varietas TN1. M = Marker 1 kb DNA Ladder (Fermentas Inc., USA), 1= TN1 BB 1 HSA, 2= TN1 BB 3 HSA, 3= TN1 BB 5 HSA, 4= TN1 BB 7 HSA, 5= TN1 VL 3 HSA, 6= TN1 VL 5 HSA, 7= TN1 VL 7 HSA, 8= TN1 KONTROL 1 HSA, 9= TN1 KONTROL 5 HSA, 10= TN1 KONTROL 7 HSA

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2000 bp

1500 bp 1000 bp

Gambar 14 Hasil amplifikasi gen selubung protein RTBV dengan PCR menggunakan primer RTBV-2R dan RTBV-2L pada varietas Tukad Petanu (TP). M = Marker 1 kb DNA Ladder (Fermentas Inc., USA), 1= TP BB 1 HSA, 2= TP BB 3 HSA, 3= TP BB 5 HSA, 4= TP VL 1 HSA, 5= TP VL 3 HSA, 6= TP VL 5 HSA, 7= TP VL 7 HSA, 8= TP KONTROL 3 HSA, 9= TP KONTROL 5 HSA, 10= TP KONTROL 7 HSA

37

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1000 bp 2000 bp

Gambar 15 Hasil amplifikasi gen selubung protein RTBV dengan PCR menggunakan primer RTBV-2R dan RTBV-2L pada varietas Ciliwung (CIL). M = Marker 1 kb DNA Ladder (Fermentas Inc., USA), 1= CIL BB 1 HSA, 2= CIL BB 3 HSA, 3= CIL BB 5 HSA, 4= CIL BB 7 HSA, 5= CIL VL 1 HSA, 6= CIL VL 3 HSA, 7= CIL VL 5 HSA, 8= CIL KONTROL 1 HSA, 9= CIL KONTROL 3 HSA, 10= CIL KONTROL 7 HSA

Hasil amplifikasi menunjukkan varietas TN1 dan Ciliwung positif terserang virus tungro (RTBV), dengan ukuran fragmen DNA yang sama yaitu sekitar 1500 bp (Gambar 13 & 15). Hal ini memang sesuai dengan pengamatan gejala secara visual di rumah kaca, dimana 100% tanaman sampel varietas TN1 terserang virus tungro (Tabel 6) . Varietas Ciliwung menunjukkan gejala kerdil dan daun kuning- orange (Gambar 12). Sedangkan varietas Tukad Petanu yang merupakan varietas tahan virus memang tidak terserang virus tungro, sesuai dengan pengamatan gejala di rumah kaca dimana tidak nampak ada serangan virus tungro (Gambar 11).

Pembahasan

B. bassiana dan V. lecanii dengan masing-masing 4 tingkat kerapatan konidia yaitu 106, 107,108, dan 109 konidia/ml mampu menyebabkan mortalitas imago N. virescens. Berdasarkan pengamatan terhadap uji mortalitas (Tabel Lampiran 1 & 2), kedua cendawan entomopatogen ini menyebabkan mortalitas imago N. virescens nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (air). Data menunjukkan bahwa V. lecanii dan B. bassiana efektif menekankematian imago N. virescens lebih dari 50% pada kerapatan konidia 108 konidia/ml untuk V. 1500 bp

lecanii dan kerapatan konidia 107 konidia/ml untuk B. bassiana setelah 7 HSA dan 10 HSA.

Pada Gambar 7 juga terlihat bahwa ada kecenderungan mortalitas N. virescens meningkat seiring dengan meningkatnya kerapatan konidia. Aplikasi B. bassiana menyebabkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan aplikasi dengan V. lecanii. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian beberapa peneliti sebelumnya yang menunjukkan adanya korelasi positif antara kerapatan konidia cendawan entomopatogen dengan mortalitas serangga uji, yaitu semakin tinggi konsentrasi konidia maka mortalitas serangga uji juga semakin tinggi (James & Lighthart 1994).

Imago N. virescens yang mati akibat infeksi B. bassiana ditandai dengan adanya miselia atau konidia yang berwarna putih pada permukaan tubuh serangga, miselia yang berwarna putih mulai menembus kutikula keluar tubuh serangga, kemudian berkembang terus dan akhirnya menutupi seluruh tubuh serangga (Gambar 8b). Imago yang diinfeksi oleh V. lecanii tidak menunjukkan adanya gejala mumifikasi. Pada umumnya, patogen ini memasuki tubuh serangga inang melalui membran intersegmental, menyebar ke seluruh lapisan dinding tubuh dengan bantuan enzim proteinase, lipase, dan kitinase (Ferron 1985). Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora. Menurut Santoso (1993), apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan cendawan hanya berlangsung di dalam tubuh serangga tanpa keluar menembus integumen.

Pada uji waktu kematian N. virescens, kerapatan konidia yang digunakan dipilih berdasarkan uji mortalitas N. virescens, yaitu 108 konidia/ml untuk V. lecanii dan 107 konidia/ml untuk B. bassiana. Kerapatan konidia ini digunakan pula pada pengujian-pengujian selanjutnya. Berdasarkan hasil uji waktu kematian N. virescens, B. bassiana menyebabkan tingkat mortalitas N. virescens tertinggi dibandingkan V. lecanii (Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa B. bassiana cukup efektif bila digunakan sebagai agens pengendali hayati bagi N. virescens. Prayogo et al (2002) juga menemukan bahwa B. bassiana memiliki virulensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan V. lecanii dalam membunuh Spodoptera litura. Menurut Widiarta et al. (1999), N. virescens jarang dilaporkan mencapai tingkat populasi yang dapat menimbulkan kerusakan secara langsung. Namun

39

sebagai serangga vektor, N. virescens mempunyai kemampuan pemencaran yang tinggi dan hal ini mengakibatkan peluang penyebaran virus tungro juga lebih tinggi. Dengan aplikasi B. bassiana dan V. lecanii ini diharapkan terjadi penurunan pemencaran N. virescens sebagai vektor virus tungro sehingga akan mengurangi penyebaran virus tungro ke area yang lebih luas.

Hasil pengamatan terhadap uji N. virescens tidak bisa terbang setelah aplikasi B. bassiana dan V. lecanii (Tabel 2) menunjukkan bahwa imago wereng hijau masih aktif bergerak pada 3 HSA, sedangkan perlakuan kontrol (disemprot air) masih aktif bergerak hingga 10 HSA. Namun setelah 10 HSA terlihat bahwa imago mulai kurang aktif bergerak; pada saat disentuh imago wereng hijau hanya mampu bergeser tanpa menggerakkan/mengepakkan sayap. Pada pengamatan 14 HSA, imago wereng hijau tidak berpindah sedikitpun meski disentuh, dan pada hari berikutnya imago wereng hijau tersebut mati.

Pada dasarnya, prinsip kerja cendawan entomopatogen tidak secepat insektisida sintetik yang dapat secara langsung mematikan serangga targetnya. Cendawan entomopatogen membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mematikan serangga targetnya. Selama proses infeksi B. bassiana menghasilkan sejumlah enzim selama perkecambahan dalam tubuh serangga seperti protese, kitinase dan lipase yang berfungsi untuk mendegradasi kutikula inang dan memfasilitasi perlekatan konidia B. bassiana pada kutikula serangga inang (Boucias & Pendland 1998). Selain itu, Robert (1984) melaporkan bahwa cendawan entomopatogen menghasilkan beberapa jenis toksin yang dalam mekanisme kerjanya akan menyebabkan terjadinya kenaikan pH hemolimfa, penggumpalan hemolimfa, dan terhentinya peredaran hemolimfa. Beberapa toksin yang dihasilkan oleh B. bassiana adalah beauverisin, beauverolit, bassianolit, isorolit

dan asam oksalit. Sedang jenis toksin yang dihasilkan oleh V. lecanii adalah

Cyclosporin A. Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi (Vey et al. 2001).

Berdasarkan uji waktu kematian diketahui bahwa Lethal Time (LT) 50 dan

LT90 untuk B. bassiana yaitu 6,66 hari dan 9,70 hari, sedangkan V. lecanii yaitu

Lethal Time (LT) B. bassiana lebih singkat dibandingkan V. lecanii, meskipun

dari segi jumlah konidia (dosis) yang diaplikasikan V. lecanii lebih tinggi dibanding B. bassiana. Hal ini berarti terhadap N. virescens, B. bassiana memiliki tingkat patogenisitas yang lebih tinggi dibanding V. lecanii.

Tingkat patogenisitas antar cendawan entomopatogen diperkirakan disebabkan oleh perbedaan sifat dasar internal (genetik) dan perbedaan sumber inang asal isolat. Selain hal itu, juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan sebagai faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan cendawan tumbuh dan berkembang serta melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga inang. Menurut Tanada & Kaya (1993) biasanya cendawan menyebabkan mortalitas dengan satu atau lebih cara seperti : defisiensi nutrisi, menyerang dan merusak jaringan, dan melepaskan toksin. Beberapa diantaranya bersifat bersifat virulen dan membunuh serangga dalam waktu yang singkat dan yang lainnya menghasilkan infeksi kronik yang lama.

Disamping itu, diketahui pula bahwa virus tungro yang ditularkan oleh wereng hijau N. virescens bersifat semi persisten. Dalam hal ini periode akuisisi dan inokulasi sangat singkat. Rentang waktu periode makan akuisisi wereng hijau untuk mendapatkan virus dari tanaman sakit antara 5-30 menit (Rivera & Ou 1965), sedangkan rentang waktu makan inokulasi untuk menularkan virus yang didapat antara 7-30 menit (Ling 1968). Virus tidak memerlukan periode inkubasi dalam tubuh vektor. Wereng hijau N. virescens dapat langsung menularkan virus tungro sesaat setelah proses akuisisi, dengan masa retensi maksimum kurang dari satu minggu (Ling 1972).

Kematian wereng hijau N. virescens akibat aplikasi cendawan entomopatogen membutuhkan waktu 7 hari sehingga selama periode waktu tersebut wereng hijau N. virescens masih berpotensi sebagai vektor virus tungro. Ditunjang oleh kemampuan wereng hijau N. virescens untuk melakukan pemencaran yang cukup tinggi, peluang penyebaran virus tungro cukup besar. Aplikasi B. bassiana dan V. lecanii tidak mempengaruhi kemampuan N. virescens dalam menularkan virus tungro. Hal ini dapat dilihat dari parameter pengamatan berupa gejala yang ditimbulkan, masa inkubasi, kejadian penyakit,

42

Pada beberapa tanaman TN1 juga ditemukan gejala stripe interveinal orange (Gambar 10). Hal ini sesuai penelitian Suprihanto (2005) bahwa asal isolat virus tungro menyebabkan adanya variasi gejala, dimana isolat Jabar menyebabkan gejala stripe interveinal orange.

Pengamatan terhadap masa inkubasi menunjukkan bahwa aplikasi B. bassiana dan V. lecanii tidak berpengaruh terhadap masa inkubasi pada ke tiga varietas yang diuji, baik pada serangga yang melakukan acquisition feeding pada 1,3,5, maupun 7 Hari Setelah Aplikasi (HSA) (Tabel 3). Hasil pengujian menunjukkan adanya perbedaan respon masing-masing varietas. Pada varietas TN1 dan Ciliwung munculnya gejala dimulai pada 7 hari setelah inokulasi (HSI). Sedangkan varietas Tukad Petanu tidak memperlihatkan adanya gejala sampai akhir pengamatan. Adanya perbedaan masa inkubasi selain dipengaruhi oleh varietas, juga dipengaruhi patogenitas isolat yang digunakan. Isolat virus tungro yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Bogor. Hasil penelitian Suprihanto (2005) menyebutkan bahwa isolat virus tungro dari Jabar mampu menyebabkan munculnya gejala yang paling cepat (± 10 HSI) dibandingkan isolat dari daerah lain. Bos (1994) mengemukakan bahwa patogenisitas virus tergantung pada keagresifannya atau keinfektifan dan tingkat virulensi virus tersebut.

Selain asal isolat, jenis varietas juga mempengaruhi persentase kejadian penyakit (Tabel 4). Hasil pengamatan kejadian penyakit memperlihatkan tanaman padi varietas TN1 yang diinokulasi dengan virus tungro, baik dengan perlakuan cendawan maupun tanpa perlakuan cendawan (kontrol) terinfeksi 100%. Varietas TN1 sama sekali tidak memiliki gen ketahanan baik gen ketahanan terhadap wereng hijau maupun terhadap virus sendiri. Demikian pula halnya dengan varietas Ciliwung dimana semua tanaman pada pengamatan 4 MSI terserang 100 %, kecuali pada perlakuan kontrol yang hanya mencapai 70 % (Tabel 4). Varietas Ciliwung termasuk salah satu jenis varietas yang masuk ke dalam golongan T2 dimana golongan ini mengandung gen ketahanan terhadap Wereng Hijau (Glh 6) (Sama et al. 1991; Lesmana et al. 2004). Kejadian penyakit yang mencapai 100% kemungkinan disebabkan oleh mulai patahnya gen ketahanan terhadap wereng itu sendiri, selain itu sumber isolat juga memang sangat virulen. Kemungkinan lainnya bahwa varietas yang tahan wereng hijau tidak berarti tahan virus tungro.

Pada varietas tahan wereng hijau, wereng hijau masih dapat menyerang dan menularkan virus, namun sulit berkembangbiak. Beberapa sampel tanaman yang tidak bergejala tersebut belum tentu bebas virus. Kemungkinan gejalanya bersifat laten. Dan hal ini dibuktikan melalui uji Polymerase Chain Reaction. Berbeda halnya dengan varietas Tukad Petanu, sampai akhir pengamatan tidak dijumpai adanya tanaman yang terserang. Tukad Petanu merupakan salah satu varietas baru yang memilki gen ketahanan terhadap virus tungro (gen ketahanannya berasal dari Utri Merah) (Lesmana et al. 2004).

Tingkat keparahan gejala penyakit tungro disebabkan oleh komposisi infeksi kedua virus. Tanaman padi yang peka dan terinfeksi ganda akan menunjukkan gejala penyakit yang paling parah, kerdil dengan daun kuning- oranye; sebaliknya yang terinfeksi tunggal, dengan RTSV tanaman hampir sama dengan tanaman sehat dan agak kerdil, sedangkan dengan RTBV saja tanaman agak kerdil dan dengan gejala tungro yang agak ringan (Hibino et al. 1978).

Tanaman padi yang tahan tungro memiliki mekanisme ketahanan secara toleran dan avoidan. Mekanisme ketahanan toleran adalah mekanisme ketahanan yang menyebabkan virus tungro dapat berkembang di dalam tanaman, tetapi tanaman tetap tahan. Mekanisme avoidan menyebabkan tanaman mengembangkan suatu mekanisme tertentu sehingga virus tidak dapat masuk ke dalam tanaman (immun), sehingga tanaman tetap tahan. Mekanisme lain adalah virus tungro dapat masuk ke dalam tanaman, tetapi virus tungro tidak dapat berkembang di dalam tanaman (resistance multiplication) (Hasanuddin 2002; Goodman et al. 1986).

Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu alternatif dalam upaya pengendalian penyakit tungro. Varietas tahan penyakit tungro diklasifikasikan tahan terhadap wereng hijau sebagai penular (vektor) patogen dan tahan terhadap virus yang merupakan patogen penyebab penyakit tungro. Namun perlu adanya pergiliran varietas yang diyakini dapat memperpanjang ketahanan varietas tahan tungro karena mengurangi tingkat seleksi virulensi virus (Hasanuddin 2002). Holt (1996) menyatakan meskipun proporsi varietas tahan di lapangan cukup kecil namun berpengaruh nyata mengurangi keberadaan tungro.

41

tinggi tanaman maupun jumlah anakan pada tiga varietas uji (TN1, Tukad Petanu, dan Ciliwung).

Gejala penyakit tungro yang khas dapat dilihat dengan adanya perubahan warna daun menjadi kuning-orange, kerdil, penurunan jumlah anakan dan tinggi tanaman. Menurut Hibino et al. (1978) gejala utama tanaman padi yang terinfeksi virus tungro adalah adanya perubahan warna daun menjadi kuning-orange, kerdil,

Dokumen terkait