• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Embrio In Vitro Dari Oosit Hasil Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Mencit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi Embrio In Vitro Dari Oosit Hasil Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Mencit"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI EMBRIO

IN VITRO

DARI OOSIT HASIL

AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK

OVARIUM MENCIT

NURBARIAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Produksi Embrio In Vitro dari Oosit Hasil Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Mencit adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

(3)

ABSTRAK

NURBARIAH. Produksi Embrio In Vitro dari Oosit Hasil Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Mencit. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan IMAN SUPRIATNA.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari kemampuan oosit yang dikoleksi dari ovarium transplan heterotopik untuk produksi embrio in vitro dan mengetahui pengaruh induksi pregnant mare’s serum gonadotrophin (PMSG) terhadap peningkatan jumlah oosit dari ovarium transplan heterotopik. Teknik transplantasi yang digunakan adalah heterotopik autotransplantasi pada kapsula ginjal mencit betina umur empat minggu dengan perlakuan oosit hasil transplan ovarium (OT) dan oosit hasil transplan ovarium dan induksi PMSG (OTP). Dilakukan perlakuan pembanding tanpa transplantasi ovarium (OSO) dengan mencit yang diinduksi PMSG dan human chorionic gonadothropin (hCG) masing-masing dengan dosis 5 IU intraperitoneal (i.p.) interval 48 jam untuk mendapatkan oosit matang in vivo. Induksi PMSG dilakukan 48 jam dan hCG 14 jam sebelum koleksi oosit. Koleksi oosit dari ovarium transplan dilakukan pada hari ke-21 setelah transplantasi kemudian dimatangkan secara in vitro selama 24 jam. Oosit hasil pematangan in vivo dan in vitro difertilisasi in vitro dengan sperma vas deferen mencit jantan dilanjutkan dengan kultur perkembangan embrio. Pematangan dan fertilisasi oosit serta kultur embrio in vitro menggunakan medium kalium simplex optimized medium (KSOM) pada inkubator CO2 5% suhu

37 ºC. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah oosit yang dikoleksi dari perlakuan OT dan OTP tidak berbeda secara signifikan namun kedua perlakuan tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan perlakuan OSO. Oosit yang mencapai metafase II (Mt-II) pada perlakuan OT (52.38%) dan OTP (53.19%) secara signifikan tidak berbeda namun menunjukkan perbedaan signifikan dengan perlakuan OSO (84.85%). Tingkat fertilisasi tidak berbeda secara signifikan diantara ketiga perlakuan namun perkembangan embrio menunjukkan perbedan signifikan antara perlakuan OSO (60.19%) dengan OT (30.43%) dan OTP (30%). Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh disimpulkan bahwa dari ovarium transplan heterotopik dapat dihasilkan oosit yang dapat digunakan untuk produksi embrio in vitro. Induksi dengan menggunakan PMSG tidak mempengaruhi perolehan jumlah oosit yang dikoleksi dari ovarium transplan. Oosit hasil transplantasi ovarium menunjukkan kemampuan untuk matang in vitro mencapai tahap Mt-II dan setelah difertilisasi mampu berkembang menjadi embrio.

(4)

ABSTRACT

NURBARIAH. Embryo In Vitro Production Using Oocytes Collected from Heterotopic Autografted Mice Ovary. Under the direction of ITA DJUWITA and

IMAN SUPRIATNA.

The aim of this study was to examine the capability of oocyte collected from heterotopic autografted mice ovary in embryo in vitro production and the influenced of pregnant mare’s serum gonadotrophin (PMSG) induction on the number of oocytes collected from heterotopic autografted mice ovary. Ovarian tissue from four weeks old mice were transplanted under the kidney capsules of ovariectomized mice. The grafted mice were grouped into two; group one was mice without induction PMSG (OT) and group two treated with 5 IU PMSG induction (OTP). The third group was mice without grafted ovary and treated with PMSG and human chorionic gonadothropin (hCG) induction (OSO). Induction of PMSG was injected 48 hours before oocytes collection while hCG was injected 14 h before oocytes collection. Tweenty one days after grafting or fourty eight h after PMSG injection, oocytes were collected from the two groups and matured in vitro for 24 h. Matured oocytes were then fertilized in vitro with vas deferens sperm followed by embryo in vitro development. Oocytes in vitro maturation and fertilization and embryo in vitro development were done in kalium simplex optimized medium (KSOM) in 5% CO2 incubator. The results showed that the

number of oocytes collected from group OT and OTP were not significantly different, but both showed significantly different with the OSO group. Under in vitro culture conditions, the number of matured oocytes that reached metaphase-II stage in group OT (52.38%) and OTP (53.19%) were not significantly different, but significantly different with those from group OSO (84.85%). Although the oocytes fertilization rate were not significantly different among the three groups, the embryo development rate showed significantly different between OSO (60.19%) with OT (30.43%) and OTP (30%). In conclusion, the oocytes collected from heterotopic grafted ovary can be used in embryo in vitro production after sequential matured and fertilized in vitro. The induction of PMSG on the mice with grafted ovary did not increased the collected number of oocytes.

(5)

RINGKASAN

NURBARIAH. Produksi Embrio In Vitro dari Oosit Hasil Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Mencit. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan IMAN SUPRIATNA.

Transplantasi jaringan ovarium dapat digunakan sebagai metoda alternatif penyimpanan dan penyelamatan ovarium dalam rangka penyelamatan fungsi reproduksi dan salah satu upaya mendukung konservasi satwa langka. Ovarium dapat ditransplantasi pada kapsula ginjal karena memiliki sistem vaskularisasi yang baik sehingga akan mempercepat persembuhan ovarium dan perkembangan folikel pascatransplantasi sehingga ovarium masih dapat digunakan dalam program produksi embrio in vitro. Perkembangan folikel pada ovarium dapat diinduksi dengan hormon gonadotrophin eksogenous sehingga penyuntikan pregnant mare’s serum gonadothropin (PMSG) sebelum pengambilan ovarium transplan dapat mengoptimalkan perolehan oosit untuk digunakan dalam produksi embrio in vitro. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kemampuan oosit yang dikoleksi dari ovarium transplan heterotopik untuk produksi embrio in vitro dan mengetahui pengaruh induksi PMSG terhadap peningkatan jumlah oosit dari ovarium transplan heterotopik.

Teknik transplantasi yang digunakan adalah heterotopik autotransplantasi pada kapsula ginjal mencit betina umur empat minggu dengan perlakuan oosit hasil transplan ovarium (OT) dan oosit hasil transplan ovarium dan induksi PMSG (OTP). Dilakukan perlakuan pembanding tanpa transplantasi ovarium (OSO) dengan mencit yang diinduksi PMSG dan human chorionic gonadothropin (hCG) masing-masing dengan dosis 5 IU intraperitoneal (i.p.) interval 48 jam untuk mendapatkan oosit matang in vivo. Induksi PMSG dilakukan 48 jam dan hCG 14 jam sebelum koleksi oosit. Koleksi oosit dari ovarium transplan dilakukan pada hari ke-21 setelah transplantasi kemudian dimatangkan secara in vitro selama 24 jam. Oosit yang mencapai tahap metafase II (Mt-II) ditandai dengan terbentuknya polar bodi I. Tingkat pematangan dihitung dari jumlah oosit yang mencapai Mt-II per jumlah oosit yang dikultur. Oosit hasil pematangan in vivo dan in vitro difertilisasi in vitro dengan sperma vas deferen mencit jantan dilanjutkan dengan kultur perkembangan embrio. Keberhasilan fertilisasi ditandai dengan terbentuknya pronukleus jantan dan betina. Tingkat fertilisasi dihitung dari jumlah oosit yang terfertilisasi per jumlah oosit yang diinseminasi. Perkembangan embrio diperoleh dengan menghitung jumlah embrio yang berhasil membelah dibandingkan dengan jumlah yang dikultur. Pematangan dan fertilisasi oosit serta kultur embrio in vitro menggunakan medium kalium simplex optimized medium (KSOM) pada inkubator CO2 5% suhu 37 ºC. Data yang diperoleh dari hasil

penelitian dianalisis dengan sidik ragam menggunakan general linear method (GLM). Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Duncan multiple range test (DMRT).

(6)

ovarium) tidak berbeda secara signifikan namun kedua perlakuan tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan perlakuan OSO (17.6±5.69 per ekor dan 8.77±2.84 per ovarium). Secara alamiah oosit yang dapat diovulasikan oleh mencit tanpa induksi gonadotrophin adalah 7-13 oosit tergantung strain. Hasil tersebut menunjukkan bahwa induksi PMSG tidak meningkatkan jumlah oosit pada ovarium transplan heterotopik. Hal ini disebabkan kemungkinan lokasi transplantasi ovarium (heterotopik) tidak dapat memberikan respon terhadap induksi gonadotrophin secara normal. Namun demikian, dengan teknik transplantasi ovarium heterotopik memungkinkan ovarium digunakan sebagai sumber oosit untuk dapat dipergunakan lebih lanjut.

Oosit yang mencapai metafase II (Mt-II) pada perlakuan OT (52.38%) dan OTP (53.19%) secara signifikan tidak berbeda namun menunjukkan perbedaan signifikan dengan perlakuan OSO (84.85%). Hal ini menunjukkan bahwa oosit dari ovarium transplan heterotopik memiliki viabilitas untuk matang in vitro mencapai Mt-II selain itu tidak terdapat perbedaan secara signifikan hasil oosit yang mencapai Mt-II antara perlakuan OT (52.38%) dan OTP (53.19%) diduga bahwa induksi PMSG secara in vivo terhadap ovarium transplan heterotopik tidak mempengaruhi jumlah dan kualitas oosit yang terkoleksi sehingga tidak mempengaruhi tingkat pematangan oosit secara in vitro. Dalam kultur pematangan oosit in vitro, kualitas oosit dan medium mempengaruhi tingkat pematangan oosit. Oosit yang dikoleksi dari perlakuan OT dan OTP hanya oosit yang dikelilingi oleh sel-sel kumulus kompak, karena keberadaan sel-sel kumulus dapat mendukung proses pematangan in vitro oosit sehingga inti oosit dapat mencapai tahap Mt-II. Medium yang digunakan dalam pematangan oosit in vitro dapat memberikan pengaruh bukan hanya pada oosit tapi juga terhadap perkembangan embrio.

Jumlah oosit yang terfertilisasi in vitro (tingkat fertilisasi) pada perlakuan OT (52.50%), OTP (66.67%) dan OSO (64.38%) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa oosit yang diperoleh dari ovarium transplan heterotopik dan matang secara in vitro mampu terfertilisasi. Tidak semua oosit yang telah matang baik secara in vitro maupun in vivo mampu terfertilisasi. Kegagalan fertilisasi dapat dipengaruhi oleh tingkat pematangan oosit (baik inti dan sitoplasma), kemampuan sperma membuahi oosit (kapasitasi dan reaksi akrosom) dan kegagalan sperma mengalami kondensasi dalam sitoplasma oosit sehingga terjadi kegagalan pembentukan pronukleus (PN) jantan. Oleh karena itu walaupun oosit yang berasal dari pematangan in vivo (OSO) telah mengalami pematangan inti dan sitoplasma namun tingkat fertilisasi in vitro juga dipengaruhi oleh kualitas dan kemampuan sperma yang digunakan. Keberhasilan fertilisasi sangat ditentukan oleh interaksi antara oosit dengan sperma dan medium. Kemampuan oosit respon terhadap aktivasi sperma menunjukkan keberhasilan pematangan oosit. Sehingga meskipun sperma mampu memasuki oosit namun ketidakcukupan pematangan pada oosit akan menyebabkan proses selanjutnya terhambat sehingga menyebabkan kegagalan fertilisasi. Kemampuan oosit untuk merespon penetrasi sperma diperoleh secara bertahap sebelum ovulasi ketika oosit mengalami pematangan inti dan sitoplasma.

(7)

dibandingkan dengan perlakuan OSO (60.19%) menunjukkan perbedaan yang signifikan. Terdapat perbedaan persentase antara perlakuan OT (30.43%) dan OTP (30.00%) akan tetapi setelah diuji secara statistik perkembangan embrio yang diperoleh secara signifikan tidak berbeda. Hal ini diduga karena oosit yang diperoleh pada perlakuan OT dan OTP berasal dari pematangan in vitro. Diduga bahwa dalam proses pematangan oosit in vitro terjadi ketidaksempurnaan pematangan terutama pematangan sitoplasma. Pematangan inti dapat diamati secara jelas yang ditandai dengan pengeluaran polar bodi namun pematangan sitoplasma dapat diketahui dari kemampuan oosit terfertilisasi dan kemampuan perkembangan embrio. Ketidakcukupan proses pematangan sitoplasma pada oosit akan mempengaruhi perpindahan atau pertukaran kontrol perkembangan maternal ke embrio dan akan mempengaruhi perkembangan embrio. Pada penelitian ini tingkat perkembangan embrio yang diperoleh dari perlakuan transplantasi masih sangat rendah. Seperti hasil dari koleksi oosit, pematangan dan fertilisasi in vitro pada penelitian ini, pemberian PMSG pada ovarium transplan heterotopik tidak memberikan pengaruh yang berbeda termasuk dalam perkembangan embrio. Hal ini diduga karena perkembangan embrio in vitro dipengaruhi oleh kualitas oosit dan medium yang digunakan. Perbedaan kondisi kultur mempengaruhi faktor-faktor sitoplasma sehingga mempengaruhi kemampuan oosit untuk terfertilisasi dan keberhasilan embriogenesis. Perkembangan tahap awal embrio tergantung pada lingkungan pematangan oosit, ketika sistem pematangan in vitro tidak memberikan lingkungan yang cocok bagi oosit walaupun dapat terbentuk kematangan inti dan terjadi fertilisasi namun hasil akhir adalah rendahnya perkembangan embrio yang diperoleh. Oleh karena itu kualitas embrio dapat ditingkatkan dengan kultur pada kondisi lingkungan yang optimal.

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka disimpulkan bahwa dari ovarium transplan heterotopik dapat dihasilkan oosit yang memiki potensi untuk digunakan dalam produksi embrio in vitro. Induksi dengan menggunakan PMSG tidak mempengaruhi perolehan jumlah oosit yang dikoleksi dari ovarium transplan heterotopik. Oosit hasil transplantasi ovarium menunjukkan kemampuan untuk matang in vitro mencapai tahap metafase II dan setelah difertilisasi mampu berkembang menjadi embrio.

(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(9)

PRODUKSI EMBRIO

IN VITRO

DARI OOSIT HASIL

AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK

OVARIUM MENCIT

NURBARIAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Judul Tesis : Produksi Embrio In Vitro dari Oosit Hasil Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Mencit

Nama : Nurbariah

NRP : B051040021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Ita Djuwita, M.Phil Dr. drh. Iman Supriatna

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Reproduksi

Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur senantiasa kehadirat Allah SWT atas segala

limpahan karunia dan rahmat-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini

berhasil diselesaikan. Penelitian yang telah dilaksanakan mengangkat tema

mengenai transplantasi dengan judul Produksi Embrio In Vitro dari Oosit Hasil

Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Mencit.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada

Ibu Dr. drh Ita Djuwita, M.Phil dan Bapak Dr. drh. Iman Supriatna selaku ketua

dan anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk

memberikan bimbingan, nasehat, masukan dan saran serta dorongan semangat

yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

merampungkan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga ditujukan pada Bapak Dr.

drh. Agus Setiadi sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan

dan saran kepada penulis. Terima kasih kepada Ibu Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S,

selaku Ketua Program Studi Biologi Reproduksi beserta seluruh staf pengajar

Program Studi Biologi Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi

FKH IPB. Terima kasih kepada Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi,

Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB serta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hewan

Laboratorium FKH IPB atas bantuan fasilitas pendukung sehingga penelitian

dapat berjalan dengan baik.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada drh.

Wahono Esthi Prasetyaningtyas M.Si, drh. Hamny, M.Si, Dr. drh. I Wayan Batan,

M.Si, Ir. Thomas Mata Hine, M.Si, Ir. Bayu Rosadi, M.Si, Wito Prawigit, M.Si,

Suparmin Fathan, M.Si, Heppi Iromo, M.Si, Roza Helmita, S.Si, Yanie P.

Ritonga, M.Si, Yuli Erina, M.Si, Elita Agustina, M.Si, Dhona Arianti, M.Si,

Adnan Albahry, M.Si, Bonita Ayu Novelani, M.Si, Nurul, M.Si, Anovia, SP, Ida,

S.Si, Nadia, S.Pi, drh. Ena, drh. Rini, Evi, S.Pi, Rinrin, SP, Uca, S.Pi, Silvi, S.Hut,

rekan-rekan mahasiswa Program Studi Biologi Reproduksi, keluarga besar

Laboratorium Embriologi dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu

(12)

Terima kasih tak terhingga selamanya kepada yang tercinta ayahanda dan

ibunda serta saudaraku tersayang (Kak Fitri, Iir dan Beni) atas segala cinta, doa,

dukungan semangat, dukungan moril dan materil yang tiada henti diberikan

kepada penulis selama ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga tesis ini dan apa yang telah

dihasilkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, bagi pembaca

pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Bogor, Mei 2007

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 25 Oktober 1978 dari

pasangan H. Poniman Usman dan Dra. Hj. Sarwati Hamzah. Penulis merupakan

putri ke dua dari empat bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

dan gelar sarjana diraih pada tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis diterima

sebagai mahasiswa program master pada Program Studi Biologi Reproduksi,

(14)

DAFTAR ISI

Autotransplantasi Heterotopik Ovarium ... 8

Superovulasi... 10

Pematangan Oosit In Vitro... 12

Fertilisasi In Vitro... 14

Perkembangan Embrio In Vitro... 18

BAHAN DAN METODE

Autotransplantasi Heterotopik ... 22

Koleksi Oosit dari Ovarium Transplan Heterotopik ... 22

Pematangan Oosit In Vitro... 23

Fertilisasi Oosit In Vitro... 23

Perkembangan Embrio In Vitro... 24

Evaluasi Data ... 24

Analisis Data ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Koleksi Oosit dari Ovarium Transplan Heterotopik ... 25

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah oosit terkoleksi dari ovarium transplan dengan dan tanpa induksi

PMSG... 25

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Perkembangan folikel ... 6

2 Aktivitas meiosis pada oosit ... 7

3 Proses rekrutmen, seleksi dan dominan pada ovarium selama perkembangan folikel... 11

4 Interaksi oosit-sperma dalam proses fertilisasi ... 15

5 Perubahan pada sperma selama reaksi akrosom ... 17

6 Oosit yang mampu mencapai kematangan tahap metafase II ... 27

7 Pematangan oosit secara in vitro... 29

8 Oosit terfertilisasi in vitro... 30

9 Perbandingan perkembangan embrio in vitro dari perlakuan transplantasi dan tanpa transplantasi ... 32

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Komposisi medium koleksi ovarium dan oosit (phosphate buffered

saline)... 45

2 Komposisi medium KSOM... 46

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Reproduksi merupakan aktivitas yang penting bagi keberlangsungan hidup

suatu spesies. Aktivitas reproduksi dapat berhadapan dengan kendala yang

menyebabkan prosesnya terganggu antara lain akibat campur tangan manusia pada

suatu populasi spesies dan kematian mendadak pada hewan langka yang

menyebabkan berkurangnya jumlah populasi suatu spesies hewan tertentu. Pada

wanita, organ reproduksi dapat terganggu karena pengaruh efek samping dari

kemo- atau radioterapi pada pengobatan penyakit kanker yang dapat

mempengaruhi ovarium sebagai organ reproduksi primer.

Dalam fungsinya sebagai organ reproduksi primer, ovarium merupakan

penghasil sel telur (oosit) dan hormon. Oosit pada ovarium berkembang

bersamaan dengan perkembangan folikel. Saat lahir pada korteks ovarium

mamalia terdapat banyak kumpulan folikel primordial sebagai sumber oosit yang

akan berkembang dan dapat mencapai tahap ovulasi saat pubertas (Fortune 1994).

Pada hewan langka yang mati atau hewan ternak yang dipotong, pada korteks

ovarium masih dapat ditemukan folikel primordial dalam jumlah banyak dan

dapat digunakan lebih lanjut. Bahkan pada wanita muda pasien kanker yang akan

menjalani kemo- atau radioterapi dilakukan ovariektomi sebelum terapi agar

ovarium dapat disimpan beku dan digunakan kembali kemudian hari pascaterapi.

Koleksi jaringan ovarium yang mengandung folikel primordial dapat dilakukan

setiap saat tanpa memperhatikan usia atau siklus estrus dan pemanfaatan folikel

primordial merupakan salah satu cara untuk penyimpanan oosit dalam jumlah

besar (Shaw et al. 2000).

Terdapat beberapa metoda pemanfaatan ovarium yang telah dikembangkan

untuk penyelamatan fertilitas antara lain penyimpanan jaringan ovarium yang

mengandung folikel primordial secara in vitro dalam bentuk beku untuk jangka

waktu yang lama atau penyimpanan secara in vivo dengan teknik transplantasi

(Sonmezer & Oktay 2004) dan kultur in vitro jaringan ovarium atau folikel

preantral (Wu et al. 2001). Transplantasi ovarium merupakan pemindahan

(19)

penyimpanan ovarium dan perkembangan folikel secara in vivo. Folikel preantral

terutama folikel primordial dan primer dari ovarium beku atau segar dapat

dipergunakan kembali dengan menumbuhkan secara in vivo menggunakan teknik

transplantasi atau dikultur in vitro untuk perkembangan mencapai folikel antral

dan menghasilkan oosit matang (Liu et al. 2000, Newton & Illingworth 2001).

Oosit yang dikoleksi dari folikel antral ovarium hasil transplantasi masih dapat

dimatangkan, difertilisasi dan dikultur in vitro hingga diperoleh embrio

selanjutnya embrio dapat ditransfer ke induk resipien untuk menghasilkan

keturunan (Liu et al. 2001). Selain itu beberapa penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan keberhasilan transplantasi ovarium ternyata dapat memulihkan

fungsi reproduksi pada mencit (Candy et al. 2000, Mohammad et al. 2004),

primata (Schnorr et al. 2002) dan manusia (Silber et al. 2005).

Berdasarkan hubungan donor dan resipien, transplantasi dapat dilakukan

pada individu yang sama (autotransplantasi); individu yang berbeda tapi masih

satu spesies (allotransplantasi) atau individu yang berbeda dari spesies yang

berbeda (xenotransplantasi). Pada autotransplantasi hampir tidak ada penolakan

jaringan oleh tubuh resipien karena ovarium yang ditransplantasikan merupakan

jaringan individu sendiri. Berdasarkan tempat transplantasi, ovarium dapat

ditransplantasikan di tempat semula (ortotopik) pada bursa ovarium (Candy et al.

2000) dan di tempat lain (heterotopik) diluar bursa ovarium seperti subkutan

(Mohammad et al. 2003, Schnorr et al. 2002), kapsula ginjal (Gook et al. 2001,

Liu et al. 2001) dan intraperitoneal (Rosendahl et al. 2006, Salehnia 2002).

Transplantasi secara ortotopik umum dilakukan jika ingin melihat viabilitas

ovarium sampai dihasilkan keturunan. Pada transplantasi heterotopik meskipun

evaluasi tidak dapat dilakukan sampai dihasilkan keturunan karena tidak

memungkinkan untuk terjadi ovulasi dan fertilisasi secara in vivo, akan tetapi

masih dapat dikoleksi folikel atau oosit dari ovarium transplan dan dapat

dikembangkan secara in vitro.

Daerah kapsula ginjal merupakan salah satu tempat yang sering digunakan

untuk transplantasi heterotopik. Pada daerah kapsula ginjal, besar dan jumlah

potongan jaringan ovarium yang dapat ditransplantasikan terbatas akan tetapi

(20)

ovarium pada kapsula ginjal dapat mengembalikan fungsi reproduksi pada hari

ketujuh setelah transplantasi dengan kembalinya siklus estrus, morfologi dan

jumlah folikel (Mohamad 2003).

Hormon gonadotrophin eksogenous umum digunakan pada manusia dan

hewan untuk menginduksi perkembangan folikel sehingga meningkatkan jumlah

oosit yang dapat dipergunakan dalam bidang biologi dan teknologi reproduksi

bantuan (Zudova et al. 2004). Oleh karena itu penyuntikan pregnant mare’s

serum gonadotrophin (PMSG) sebelum pengambilan ovarium transplan

heterotopik dapat mengoptimalkan perolehan oosit untuk digunakan dalam

produksi embrio in vitro. Berdasarkan pengamatan histologis, perlakuan dengan

induksi PMSG terhadap ovarium transplan heterotopik terbukti dapat

meningkatkan jumlah folikel tersier (Setiadi 2004). Namun demikian gambaran

histologis hanya memberikan informasi tentang perkembangan folikel. Untuk

dapat dipergunakan pada produksi embrio in vitro maka harus diketahui viabilitas

oosit yang dapat diperoleh dari ovarium setelah transplantasi. Sehingga diperlukan

kajian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh induksi PMSG terhadap jumlah

dan viabilitas oosit dari ovarium transplan heterotopik. Hal ini akan memberikan

informasi tambahan potensi ovarium sebagai sumber oosit sehingga dapat

digunakan untuk produksi embrio in vitro.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kemampuan oosit yang

dikoleksi dari ovarium autotransplantasi heterotopik untuk produksi embrio in

vitro dan mengetahui pengaruh induksi PMSG terhadap peningkatan jumlah oosit

dari ovarium autotransplantasi heterotopik.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

transplantasi ovarium dan viabilitas oosit yang diperoleh. Sehingga dapat

diaplikasikan untuk mendukung pemanfaatan ovarium bagi pembentukan bank

gamet/embrio serta mendukung salah satu upaya konservasi satwa langka melalui

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Folikel dan Oosit

Secara anatomis, organ reproduksi betina terdiri atas sepasang ovarium

dan saluran reproduksi yaitu tuba Falopii, uterus, serviks dan vagina. Ovarium

merupakan organ reproduksi primer dengan ukuran yang bervariasi antara spesies.

Sebagai organ reproduksi primer, ovarium berfungsi untuk menghasilkan oosit

yang berkembang bersama dengan perkembangan folikel. Oleh karena itu folikel

ovarium disebut juga sebagai unit struktural dan fungsional dari ovarium yang

merupakan lingkungan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan oosit

(Itoh et al. 2002). Selain menghasilkan oosit, ovarium juga menghasilkan hormon

reproduksi seperti estrogen dan progesteron. Ovarium terletak di dalam rongga

pelvis pada ventral ginjal terbungkus dalam suatu bursa ovarium yang transparan,

menggantung dan bertaut melalui mesovarium ke uterus. Berdasarkan dari

gambaran histologis terlihat bahwa ovarium terbagi atas dua bagian yaitu korteks

(bagian lateral) dan medula (bagian medial). Pada korteks ovarium dapat

ditemukan kumpulan folikel dengan berbagai tahapan perkembangan.

Folikel-folikel ini akan berkembang menjadi Folikel-folikel matang dan mengovulasikan oosit

sedangkan pada bagian medula ovarium terdapat pembuluh darah, saraf dan

jaringan ikat (Senger 1999). Bagian korteks dilapisi oleh satu lapisan epitelium

kuboid rendah dan stroma pada bagian korteks terdiri atas jaringan ikat longgar.

Perkembangan folikel di dalam ovarium dikenal dengan nama

folikulogenesis merupakan proses perkembangan folikel yang berawal dari

terbentuknya folikel primordial sampai berkembang menjadi folikel matang dan

siap melakukan proses ovulasi. Folikel primordial akan berkembang menjadi

folikel primer, sekunder, tersier, de Graaf dan pada akhirnya oosit akan

diovulasikan. Proses folikulogenesis ini disertai dengan proses pertumbuhan dan

pematangan oosit yang merupakan bagian dari proses oogonesis yaitu proses yang

menghasilkan oosit yang haploid. Perkembangan folikel pada ovarium

dipengaruhi oleh endokrin dan mekanisme intraovarian yang mengatur proses

pertumbuhan oosit dan proliferasi serta diferensiasi sel somatik (Itoh et al. 2002,

Thomas & Van der Hayden 2006). Perkembangan folikel tergantung pada

(22)

folikel dari peristiwa apoptosis. Faktor yang mempengaruhi perkembangan folikel

antara lain gonadotrophin, hormon steroid dan beberapa faktor pertumbuhan

(Quirk et al. 2004). Follicle stimulating hormone (FSH) merupakan

gonadotrophin yang berperan dalam proses proliferasi dan diferensiasi folikel

sedangkan estrogen adalah hormon yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka

diketahui berperan dalam pembentukan rongga folikel. Diantara beberapa faktor

pertumbuhan yang berperan dalam perkembangan folikel adalah epidermal

growth factor (EGF), transforming growth factor (TGF), basic fibroblast-like

growth factor (bFGF), vascular epithelial growth factor (VEGF) dan nerve

growth factor (NGF) (Van den Hurk et al. 1997).

Perkembangan folikel berdasarkan morfologinya dapat dibedakan atas

folikel preantral dan folikel antral. Folikel preantral merupakan tahapan folikel

yang belum memiliki antrum sedangkan folikel antral merupakan tahapan folikel

yang telah memiliki antrum. Saat lahir pada korteks ovarium mamalia terdapat

banyak kumpulan folikel primordial dan dapat dipergunakan sebagai sumber

oosit. Folikel primordial yang terdapat pada korteks ovarium memiliki jumlah

yang lebih banyak dibanding folikel antral. Folikel primordial merupakan bentuk

awal dari folikel yang mengandung oosit diselaputi oleh selapis sel somatis

berbentuk pipih. Folikel primordial akan mengalami pertumbuhan menjadi folikel

primer dan sekunder, ketiga bentuk folikel ini digolongkan ke dalam folikel

preantral. Tahap pertama pertumbuhan folikel primordial adalah pembesaran oosit

yang meningkat diameternya menjadi dua sampai tiga kali lipat. Kemudian diikuti

dengan perubahan bentuk lapisan sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dari

bentuk pipih menjadi kuboid dan tahapan folikel ini disebut folikel primer.

Selanjutnya tahapan pembentukan folikel sekunder adalah proliferasi dari sel

kuboid akan membentuk beberapa lapisan sel granulosa dan terbentuk sebuah

membran (zona pelusida) yang mengelilingi oosit. Oosit dan sel granulosa

berperan dalam proses pembentukan zona pelusida yang mengandung

glikoprotein yang berperan pada proses pelekatan spermatozoa pada oosit (Robker

& Richard 1998).

Pada tahapan folikel primordial dan primer, komunikasi antara oosit

(23)

banyaknya vesikel dan celah pada oosit (Gambar 1) dan setelah memasuki tahap

folikel sekunder, komunikasi dilakukan melalui gap junction yang terbentuk

diantara oosit dan sel granulosa (Hyttel et al. 1997, Hogan et al. 1994).

Komunikasi diantara sel granulosa dan oosit bertanggung jawab terhadap

perubahan biokimia yang penting bagi potensi perkembangan dan proses meiosis

oosit. Nutrisi dan elemen pengatur yang bertanggung jawab terhadap

pertumbuhan oosit dan mempertahankan istirahat meiosis dan juga substrat untuk

pertumbuhan dan pematangan dilewatkan melalui gap junction (Barnes 2000).

Gambar 1 Perkembangan folikel (Hogan et al. 1994).

Sesudah tahap awal pertumbuhan proliferasi, massa sel granulosa

mensekresi cairan folikular yang mengandung estrogen dalam konsentrasi tinggi.

Penumpukan cairan ini menyebabkan munculnya antrum di dalam massa sel

granulosa, tahap ini disebut folikel tersier (Van den Hurk et al. 1997). Diameter

folikel semakin meningkat akibat adanya proliferasi sel granulosa serta

pembentukan antrum folikuli yang semakin membesar karena produksi cairan

folikuli yang semakin meningkat pula sehingga oosit terdesak ke bagian tepi

folikel. Pertumbuhan folikel pada tahap ini akan tergantung pada hormon

gonadotrophin untuk mencapai folikel de Graaf sehingga oosit dapat diovulasikan

(24)

tersier dan de Graaf maka perkembangan folikel tahap ini digolongkan ke dalam

folikel antral.

Proses folikulogenesis disertai dengan proses oogenesis yaitu

pertumbuhan dan perkembangan oosit mencapai pematangan. Pertumbuhan oosit

antara lain peningkatan diameter oosit dan pertambahan ukuran dari

organel-organel. Pertumbuhan oosit disertai dengan perubahan atau perkembangan pada

inti dan sitoplasma. Pada saat lahir, semua oosit primer berada pada fase profase

tahap diploten pembelahan meiosis dan akan tetap bertahan dalam fase ini sampai

mengalami pubertas (Telfer 1996). Diameter oosit pada mencit saat berada dalam

fase profase meiosis I berukuran 20 µm meningkat mencapai diameter 85 µm

pada oosit primer dalam folikel de Graaf (Hogan et al. 1994). Umumnya

perkembangan oosit pada mamalia sampai dengan diovulasikan mengalami dua

fase istirahat yaitu pada tahap profase meiosis I dan tahap metafase II pada

meiosis II (Whitaker 1996). Inti oosit pada folikel berada dalam keadaan istirahat

pada fase G2 atau tahap germinal vesicle (GV) pada pembelahan meiosis I.

Kemudian proses meiosis tersebut akan berlanjut diawali dengan robeknya

membran inti dikenal dengan tahap germinal vesicle breakdown (GVBD), terjadi

kondensasi kromosom inti kemudian oosit memasuki tahap istirahat pada

metafase II dan mengeluarkan polar bodi I (Kidson 2005). Pengeluaran polar bodi

I (Gambar 2) digunakan sebagai ciri atau bukti kematangan inti oosit dan tahapan

ini disebut oosit sekunder (Schramm & Bavister 1999).

(25)

Tahap istirahat oosit pada metafase II karena tingginya aktivitas

maturation/m-phase promoting faktor (MPF) yang bertanggung jawab terhadap

kondensasi kromatin, pecahnya membran inti (GVBD) dan pembentukan

kumparan sitoskeleton. Aktivitas MPF tergantung pada interaksi antara protein

cyclin dan P34cdc2 (Alberior et al. 2001, Barnes 2000). Pembelahan meiosis II

yaitu tahapan metafase II akan berlanjut jika ada sperma yang mampu

mempenetrasi dan membuahi oosit (fertilisasi). Selesainya pembelahan meiosis II

ditandai dengan dilepaskan polar bodi II (Moore 1989). Selain perkembangan inti

selama proses perkembangan oosit juga terjadi penambahan kandungan

sitoplasma oosit dengan meningkatnya jumlah organel seperti retikulum

endoplasmik, ribosom, granul kortek, lipid droplet dan komplek golgi serta

akumulasi mRNA (Hyttel et al. 1997, Cha & Chian 1998).

Autotransplantasi Heterotopik Ovarium

Transplantasi ovarium merupakan tindakan pemindahan sebagian atau

seluruh jaringan ovarium ke daerah yang diinginkan. Berdasarkan hubungan

antara donor dan resipien maka transplantasi ovarium dapat dibedakan atas auto-,

allo- dan xenotransplantasi. Autotransplantasi ovarium adalah pemindahan

jaringan ovarium dilakukan pada individu yang sama (Mohammad et al. 2004),

jaringan ovarium yang dipindahkan dari donor ke individu yang berbeda tapi

masih satu spesies disebut allotransplantasi (Waterhouse et al. 2004) sedangkan

pada xenotransplantasi ovarium pemindahan jaringan ovarium dilakukan pada

individu dengan spesies yang berbeda (Kagawa et al. 2005). Berdasarkan tempat

transplantasi, ovarium dapat ditransplantasikan di tempat semula (orthotopic

transplantation) yaitu bursa ovarium (Candy et al. 2000) dan di tempat lain selain

bursa ovarium (heterotopic transplantation) seperti di daerah subkutan

(Mohammad et al. 2003, Schnorr et al. 2002), kapsula ginjal (Gook et al. 2001,

Liu et al. 2001) dan intraperitoneal (Rosendahl et al. 2006, Salehnia 2002).

Masing-masing tempat transplantasi (ortotopik atau heterotopik) memiliki

keuntungan dan keterbatasan. Transplantasi ortotopik memiliki teknik yang sulit

karena harus dilakukan hati-hati agar bursa ovarium tidak rusak. Transplantasi

(26)

dihasilkan keturunan akan tetapi teknik transplantasi ini memungkinkan tersisanya

jaringan ovarium asal sehingga menyulitkan evaluasi apakah ovarium yang

berkembang berasal dari jaringan ovarium asal yang tersisa atau ovarium donor

yang ditransplantasikan. Pada transplantasi heterotopik meskipun evaluasi tidak

dapat dilakukan sampai dihasilkan keturunan akan tetapi teknik pengerjaan lebih

mudah dan didapatkan kepastian bahwa ovarium yang berkembang hanya berasal

dari ovarium donor.

Keberhasilan transplantasi ortotopik telah dilaporkan mampu

menghasilkan keturunan melalui perkawinan alamiah (Candy et al. 2000). Pada

transplantasi heterotopik evaluasi tidak dapat dilakukan sampai dihasilkan

keturunan karena tidak memungkinkan untuk terjadi ovulasi dan fertilisasi secara

in vivo. Namun dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada ovarium hasil

transplantasi heterotopik dapat mengalami perkembangan folikel dan resipien

ovarium transplan mampu mengalami siklus estrus secara normal (Schmidt et al.

2003, Schnorr et al. 2002, Mohamad et al. 2004). Keturunan dari transplantasi

heterotopik telah berhasil diperoleh secara in vitro dengan mengkoleksi oosit dari

ovarium transplan dilanjutkan dengan maturasi, fertilisasi dan kultur in vitro

sampai dihasilkan embrio selanjutnya embrio in vitro ditransfer ke induk resipien

dan menghasilkan keturunan (Liu et al. 2001).

Keberhasilan transplantasi ovarium dapat dipengaruhi oleh lokasi

transplantasi, sistem vaskularisasi, besar potongan jaringan serta umur donor dan

resipien. Ovarium mencit telah berhasil ditransplantasikan dengan berbagai

ukuran mulai dari ovarium fetal sampai ovarium dewasa (Cox et al. 1996,

Waterhouse et al. 2004). Pada ovarium dengan ukuran yang lebih besar seperti

domba (Gosden et al. 1994) dan manusia (Callejo et al. 2001), transplantasi

dilakukan menggunakan potongan kortek ovarium dengan ukuran kecil. Pada

daerah kortek ovarium terdapat banyak kumpulan folikel primordial dan

penggunaan potongan daerah kortek ovarium memungkinkan semakin banyak

folikel primordial yang dapat ditransplantasikan. Lokasi transplantasi di bursa

ovarium atau di daerah lain yang kaya dengan pembuluh darah memungkinkan

keberhasilan transplantasi lebih baik dibanding daerah dengan vaskularisasi

(27)

ginjal lebih baik dibandingkan di subkutan karena sistem vaskularisasi ginjal lebih

baik dibanding subkutan, sehingga pemulihan fungsi ovarium lebih cepat.

Superovulasi

Individu betina pada saat dilahirkan memiliki sumber oosit dalam jumlah

banyak yang terdapat pada folikel dikedua ovarium namun yang berkembang dan

dapat diovulasikan hanya beberapa karena sisa folikel yang lain akan mengalami

atresia. Hal ini terjadi karena dalam tahap perkembangan folikel antral terdapat

peristiwa rekrutmen, seleksi dan dominan (Savio et al. 1993). Rekrutmen adalah

fase pada pertumbuhan folikel dimana sekelompok folikel antral kecil mulai

tumbuh dan memproduksi estrogen. Setelah melalui rekrutmen, sekelompok

folikel yang sedang tumbuh dan tidak mengalami atresia terseleksi. Folikel yang

terseleksi dapat menjadi dominan atau mengalami atresia. Folikel dominan yang

terseleksi meningkatkan produksi jumlah estrogen dan juga inhibin. Folikel

dominan mengontrol pertumbuhan atau perkembangan folikel lainnya dengan

memproduksi hormon seperti estrogen, inhibin, aktivin dan produk sekresi lainnya

seperti faktor pertumbuhan dan penghambat (Savio et al. 1993, Senger 1999).

Proses perkembangan folikel, ovulasi dan pembentukan corpus luteum

(CL) pada ovarium dipengaruhi oleh sirkulasi hormon reproduksi dalam tubuh.

Gonadotrophin releasing hormone (GnRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus

berfungsi untuk merangsang pengeluaran follicle stimulating hormone (FSH) dan

luteinizing hormone (LH) oleh hipofisa anterior sebagai respon terhadap estrogen

atau progesteron. Selama proses pertumbuhan folikel antral kecil atau tahap

rekrutmen, konsentrasi FSH dan LH mulai meningkat sehingga merangsang

perkembangan folikel dan mulai menghasilkan estrogen dan sejumlah kecil

inhibin. Saat memasuki tahap seleksi, konsentrasi inhibin yang diproduksi oleh

folikel mulai meningkat memberikan efek umpan balik negatif terhadap anterior

hipofisa sehingga menghambat pelepasan FSH. Saat ini peranan FSH dan LH

mulai berubah, konsentrasi FSH mulai menurun dan LH meningkat (Gambar 3).

Folikel yang terseleksi dapat menjadi folikel dominan atau mengalami atresia.

(28)

LH, folikel berukuran besar atau dominan mulai memproduksi estrogen dalam

jumlah besar.

Gambar 3 Proses rekrutmen, seleksi dan dominan pada ovarium selama perkembangan folikel (Senger 1999).

Konsentrasi FSH berkurang karena hambatan dari inhibin yang bersifat

umpan balik negatif terhadap pelepasan FSH dari hipofisa anterior, hal ini

menyebabkan folikel antral lain mengalami atresia. Dari peristiwa ini

menyebabkan terjadi perkembangan folikel dominan yang bersifat ovulatoris dan

non ovulatoris atau disebut folikel pendamping dan hanya beberapa folikel yang

mampu berkembang menjadi dominan ovulatoris dan menekan folikel

pendamping lainnya (Sunderland et al. 1994). Penekanan pertumbuhan oleh

folikel dominan terhadap folikel pendamping selain karena pengaruh inhibin juga

disebabkan oleh estrogen yang dihasilkan pada folikel dominan akan memberi

respon positif terhadap pembentukan reseptor FSH pada sel granulosa sehingga

meningkatkan rangsangan FSH terhadap folikel dominan (Fortune 1994). Folikel

dominan yang mengandung estrogen dan inhibin dengan konsentrasi tinggi

berhubungan dengan penekanan konsentrasi FSH dalam sirkulasi darah dan

kombinasi antara produksi inhibin oleh folikel dominan serta penurunan

(29)

perkembangan folikel (Senger 1999). Penyuntikan hormon pregnant mare’s

serum gonadotrophin (PMSG) yang analog dengan FSH akan mencegah atresi

folikel pendamping yang berukuran besar karena peningkatan konsentrasi FSH

akan meningkatkan jumlah ikatan reseptor FSH pada folikel sehingga merangsang

perkembangan folikel dan meningkatkan jumlah folikel dominan. Apabila

konsentrasi estrogen yang dihasilkan oleh folikel dominan telah mencapai batas

maksimal maka akan memicu lonjakan pengeluaran LH oleh hipofisa anterior

sehingga menyebabkan terjadi ovulasi oosit.

Ovulasi didefinisikan sebagai pelepasan oosit dari folikel dominan dan

panjang waktu ovulasi dapat berbeda-beda diantara hewan tergantung pada siklus

estrusnya. Panjang siklus estrus dan waktu ovulasi dapat dipengaruhi oleh banyak

faktor lingkungan dan dapat pula diinduksi secara buatan dengan penyuntikan

hormon. Untuk meningkatkan jumlah oosit yang akan dikoleksi dapat dilakukan

dengan induksi superovulasi menggunakan PMSG yang memiliki daya kerja

seperti FSH dan human chorionic gonadotropin (hCG) yang memiliki daya kerja

seperti LH. Secara fisiologis hCG tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan

folikel tapi berfungsi membantu pecahnya folikel yang matang sehingga terjadi

ovulasi. Induksi superovulasi pada mencit menggunakan PMSG dan hCG

diberikan dengan dosis sebanyak 5 IU/ekor secara intraperitonial (i.p.) dalam

interval waktu 48 jam (Hogan et al. 1994). Efisiensi dari induksi ovulasi

dipengaruhi beberapa faktor seperti perbedaan genetik (Spearow & Barkley 1999)

yaitu strain mencit dan juga respon superovulasi dapat berbeda-beda tergantung

pada spesies, umur dan berat badan (Hogan et al. 1994, Kon et al. 2005).

Pematangan Oosit In Vitro

Pematangan oosit baik secara in vivo atau in vitro meliputi pematangan inti

dan sitoplasma. Proses pematangan inti dan sitoplasma merupakan hal yang

penting bagi oosit untuk mendukung keberhasilan fertilisasi dan perkembangan

embrio (Rodriguez & Farin 2004). Oosit mamalia setelah dilepaskan dari folikel

ovarium dapat melanjutkan pematangan inti secara spontan di dalam medium

kultur secara in vitro. Pematangan oosit secara in vitro dilakukan agar oosit primer

(30)

sekunder yang haploid dan mempunyai kemampuan untuk berhasil terfertilisasi

dan mendukung perkembangan embrio selanjutnya (Hyttel et al. 1997).

Proses pematangan inti ditandai dengan perubahan inti dari tahap diploten

profase meiosis I ke metafase II (Whitaker 1996) yang ditunjukkan dengan

kemampuan membran inti melewati germinal vesicle, kondensasi kromosom,

pelepasan polar bodi I dan istirahat pada metafase II. Pada saat diovulasikan oosit

berada pada tahap istirahat metafase II sampai terjadi aktivasi pada oosit untuk

melanjutkan perkembangan. Inisiasi atau awal meiosis pada oosit dikontrol oleh

maturation/m-phase promoting faktor (MPF) yang aktivitasnya meningkat pada

saat germinal vesicle breakdown (GVBD), maksimum pada metafase I dan

menurun pada metafase II (Crozet et al. 2000). Proses pematangan sitoplasma

melibatkan akumulasi mRNA maternal dan perubahan molekuler dan struktural

antara lain peningkatan yang pesat terhadap jumlah dan ukuran organel seperti

ribosom, butir lemak, golgi, mitokondria dan butir korteks sehingga oosit

memiliki kemampuan untuk mendukung proses fertilisasi dan perkembangan

embrio (Ebner et al. 2003). Kedua pematangan ini harus terjadi sehingga oosit

mempunyai kemampuan untuk mendukung perkembangan setelah fertilisasi.

Efisiensi kematangan sitoplasma termasuk kemampuan oosit untuk menghambat

penetrasi sperma lebih dari satu dan juga mendukung dekondensasi kepala sperma

pada ooplasma saat oosit terfertilisasi. Kematangan inti dapat dievaluasi dengan

pewarnaan sederhana seperti aceto orcein sedangkan pematangan sitoplasma

dapat diketahui secara tidak langsung antara lain dari jumlah blastosis yang

dihasilkan, kandungan glutation pada oosit dan persentase pembentukan

pronukleus jantan (Kidson 2005).

Proses pematangan oosit in vivo dapat ditiru secara in vitro dengan

menggunakan medium dan keadaan yang meniru kondisi in vivo. Sistem kultur in

vitro melibatkan beberapa faktor seperti sumber gas CO2, medium sebagai nutrisi,

substrat (wadah) dan suhu. Medium yang digunakan dalam pematangan oosit

dapat memberikan pengaruh bukan hanya pada oosit tapi juga terhadap

perkembangan embrio. Kondisi kultur suboptimal selama pematangan in vitro

akan menyebabkan abnormalitas oosit yang dapat mempengaruhi pre- atau

(31)

sumber nutrisi untuk mendukung pematangan oosit dapat berupa medium racikan

sederhana dan medium komersial. Berbagai medium yang umum digunakan untuk

pematangan oosit antara lain tissue culture medium (TCM-199) (Mattioli et al.

1994), potassium simplex optimized medium (KSOM) (Gardner & Lane 2000),

Ham’s F10 (Wu et al. 2001), minimal essential medium (MEM) (Waterhouse et

al. 2004), Charles Rosenkrans (CR1aa) (Yulnawati 2006) dan lain sebagainya.

Untuk menunjang keberhasilan proses pematangan sejumlah penelitian telah

dilakukan dengan menambahkan berbagai macam bahan dalam medium untuk

menciptakan medium yang optimum bagi proses pematangan seperti penambahan

protein, hormon gonadotrophin serta antibiotik. Umumnya medium diberi

tambahan protein seperti fetal calf serum (FCS), fetal bovineserum (FBS), bovine

serum albumine (BSA), follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing

hormone (LH). Faktor pertumbuhan berperan penting pada pematangan oosit in

vitro seperti penambahan EGF dan TGF mempengaruhi pematangan oosit

(Kobayashi et al. 1994).

Dalam kultur pematangan oosit in vitro selain faktor medium, kualitas

folikel dan oosit juga mempengaruhi tingkat pematangan oosit in vitro.

Keberadaan sel kumulus yang mengelilingi oosit berperan penting untuk

mendukung proses pematangan oosit secara in vitro. Terdapat korelasi positif dari

keberadaan lapisan sel granulosa pada kumulus dan kemampuan perkembangan

embrio (Cobo et al. 1999) karena fungsi sel kumulus menyediakan nutrisi untuk

oosit selama perkembangan folikel. Gonadotrophin berperan untuk menstimuli

proses meiosis pada oosit mamalia dan ekspansi sel kumulus. Ekspansi sel

kumulus merupakan salah satu indikator keberhasilan pematangan oosit secara in

vitro dan menjadi kriteria pemilihan oosit yang akan digunakan dalam proses

fertilisasi in vitro.

Fertilisasi In Vitro

Fertilisasi merupakan proses yang penting dalam kehidupan makhluk

hidup. Proses fertilisasi menandakan dimulainya kehidupan organisme baru

dengan terjadinya penggabungan informasi genetik jantan dan betina melalui

(32)

penggabungan informasi genetik jantan dan betina saja, akan tetapi dalam proses

ini melibatkan banyak hal yang sangat komplek. Proses yang terkait dalam

fertilisasi (Gambar 4) antara lain kapasitasi, reaksi akrosom, pengikatan sperma

dengan oosit, penetrasi sperma ke zona pelusida pada oosit, peleburan antara

membran sperma dan oosit, pencegahan polispermia dan diakhiri dengan

peleburan pronukleus sperma dan oosit (Tulsiani et al. 1997).

Gambar 4 Interaksi oosit-sperma dalam proses fertilisasi (Hafez & Hafez 2000).

Secara in vivo fertilisasi terjadi di tuba Falopii saluran kelamin betina

sedangkan proses fertilisasi secara in vitro dapat dilakukan pada medium yang

dikondisikan. Hambatan dalam teknik fertilisasi in vitro adalah kondisi yang tidak

sesuai dengan in vivo sehingga harus diatasi dengan menggunakan medium yang

sesuai dengan kondisi in vivo. Dalam proses fertilisasi secara in vitro, sumber

oosit dapat berasal dari induk betina yang mengalami ovulasi atau superovulasi

atau dari folikel preantral dan antral setelah melalui tahapan kultur in vitro untuk

(33)

untuk fertilisasi in vitro dapat berasal dari epididimis atau sperma ejakulat. Agar

sperma mampu melakukan fertilisasi dengan oosit, sperma harus mengalami

serangkaian perubahan yaitu pematangan dan kapasitasi. Sperma mengalami

pematangan selama berada di epididimis sebelum diejakulasikan. Perubahan yang

terjadi pada sperma selama pematangan antara lain penghilangan sisa sitoplasma

(cytoplasmic droplet), perubahan permukaan plasma membran dan memperoleh

kemampuan motilitas. Setelah mengalami pematangan, sperma masih belum siap

untuk membuahi oosit. Sperma harus melalui tahap kapasitasi agar mempunyai

kemampuan untuk penetrasi ke dalam oosit (Garner & Hafez 2000).

Kapasitasi secara in vivo terjadi pada saluran kelamin betina dan proses

kapasitasi dapat dilakukan secara in vitro dengan inkubasi di dalam suatu medium

tertentu. Awal mula proses kapasitasi in vitro dilakukan menggunakan cairan

oviduk, cairan folikel atau serum darah namun kemajuan dan kemudahan

kapasitasi in vitro dapat dilakukan atau berhasil dilakukan menggunakan

chemically defined medium (Yanagimachi 1988) yang mengandung bovine serum

albumine (BSA) dan sumber energi seperti glukosa dan piruvat (Tulsiani et al.

1997). Medium kapasitasi dan fertilisasi in vitro yang telah digunakan antara lain

seperti KSOM (Summers et al. 2000), Whittingham’s medium (Bagis et al. 2001),

Tyrode’s medium (Waterhouse et al. 2004) pada mencit, Ham’s F10 medium pada

manusia (Wu et al. 2001), CR1aa pada domba (Yulnawati 2006) dan lain

sebagainya. Penambahan suplemen seperti kafein atau heparin dalam medium

kapasitasi dapat meningkatkan kemampuan kapasitasi sperma (Tatham 2000,

O’Flaherty et al. 2006).

Dalam proses kapasitasi terjadi perubahan pada sperma antara lain

perubahan pergerakan sperma menjadi lebih aktif (hiperaktivasi), perubahan

permeabilitas membran sperma, perubahan konsentrasi ion intraseluler, perubahan

akrosom dan perubahan membran plasma (Yanagimachi 1988). Perubahan

permeabilitas membran menyebabkan ion–ion kalsium (Ca2+) ekstraseluler dapat

masuk dan menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler. Disamping

peningkatan Ca2+ juga terjadi perubahan konsentrasi kalium (K+) dan natrium

(Na+) intraseluler. Kalsium merupakan komponen yang penting dalam proses

(34)

bertanggung jawab terhadap sistem adenylate cyclase-cyclic AMP sehingga

meningkatkan konsentrasi cAMP. Kalsium juga terlibat dalam aktivasi perubahan

proakrosin menjadi akrosin pada reaksi akrosom. Peningkatan konsentrasi Ca2+

intraseluler merupakan hal yang penting dalam fusi atau peleburan membran

antara sperma dengan oosit dan hal ini berhubungan dengan reaksi akrosom

(Fraser 1982).

Setelah proses kapasitasi, sperma dapat melakukan eksositosis akrosom

(reaksi akrosom) dengan tujuan agar dapat menembus zona pelusida serta

melakukan peleburan dengan plasma membran oosit. Reaksi akrosom adalah

proses yang ditandai dengan peleburan membran luar akrosom dengan plasma

membran sperma. Peleburan ini menyebabkan pelepasan isi akrosom dan

membukanya membran dalam akrosom (Brown et al. 2002). Peleburan antara

kedua membran ini disebut proses vesikulasi dengan terbentuknya banyak vesikel

kecil (Gambar 5). Adanya proses vesikulasi membran akrosom menandakan

terjadinya reaksi akrosom (Senger 1999). Selanjutnya setelah reaksi akrosom,

terjadi interaksi baru antara membran dalam akrosom dengan zona pelusida.

Pelepasan enzim akrosom (termasuk hialuronidase dan akrosin) bersama dengan

motilitas sperma yang hiperaktif memungkinkan penetrasi sperma melalui zona

diikuti pelekatan sperma pada oolema (plasma membran oosit).

Gambar 5 Perubahan pada sperma selama reaksi akrosom (Senger 1999).

Selama penetrasi sperma ke dalam oosit, peningkatan konsentrasi Ca2+

intraseluler mengakibatkan peleburan kortikal granul dengan lapisan terluar

(35)

distribusi kortikal granul setelah penetrasi sperma in vitro dapat mempengaruhi

pembentukan lapisan kortikal granul dan menyebabkan tidak efektifnya

penahanan terhadap polispermi (Kim et al. 1996). Penetrasi sperma ke dalam oosit

akan menyebabkan penyelesaian pembelahan meiosis II yang ditandai dengan

terbentuknya polar bodi II. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk

pronukleus betina dan kepala sperma akan mengalami dekondensasi dan

kemudian membentuk pronukleus jantan. Perangsangan oleh sperma pada oosit

matang akan menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler sehingga

menurunkan aktifitas maturation/m-phase promoting faktor (MPF) dan

mitogen-activated protein (MAP) kinase. Inaktifasi dari MPF dan MAP kinase saat

fertilisasi berhubungan dengan pelepasan polar bodi II dan pembentukan

pronukleus (Kikuchi et al. 2000).

Kondisi pematangan oosit, ekspansi sel kumulus dan sistem kapasitasi

sperma in vitro yang kurang memadai bertanggung jawab terhadap penundaan dan

rendahnya angka penetrasi. Pematangan sitoplasma melibatkan sejumlah

modifikasi struktur dan metabolik yang dipersiapkan untuk rangkaian fertilisasi

(Ebner et al. 2003). Keberhasilan fertilisasi in vitro dari oosit yang berasal dari

pematangan in vitro tergantung pada metode dan kondisi kultur pematangan.

Kondisi kultur pematangan mempengaruhi faktor sitoplasmik yang

mempengaruhi kemampuan oosit untuk melalui fertilisasi dan berhasilnya

embriogenesis (Cobo et al. 1999).

Perkembangan Embrio In Vitro

Oosit yang dihasilkan melalui proses pematangan dan fertilisasi in vitro

telah berhasil dikembangkan secara in vitro menjadi embrio di dalam medium

kultur seperti KSOM (Liu et al. 2001), TCM-199 (Laurincik et al. 1994), CR1aa

(Yulnawati 2006), synthetic oviduct fluid (SOF) (Krisher et al. 1999) atau medium

dengan komposisi bahan kimia tertentu (chemically defined medium) (Erbach et

al. 1994, Yoshioka et al. 2002) dan lain sebagainya. Metode kultur embrio secara

in vitro sangat mempengaruhi keberhasilan perkembangan embrio lebih lanjut dan

proses implantasi pada resipien (Petters 1992). Hambatan dalam produksi embrio

(36)

Hambatan ini sering terjadi pada tahap awal perkembangan embrio atau tahap

embrio preimplantasi. Pada embrio tikus dan mencit, hambatan perkembangan

terjadi pada tahap dua sel sedangkan embrio sapi dan domba mengalami hambatan

perkembangan pada tahap delapan sel.

Usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi hambatan perkembangan

pada embrio antara lain penggunaan sistem ko-kultur dengan sel-sel somatis

seperti monolayer sel-sel kumulus (Malekshah & Moghaddam 2005), sel-sel

epitel tuba Falopii (Hendri 1997) atau penggunaan chemically defined medium

yang diberi tambahan asam amino (Booth et al. 2005) dan bahan-bahan growth

factor tertentu. Menurut Gordon (1994) terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi keberhasilan perkembangan embrio in vitro seperti jenis medium

yang digunakan, penambahan serum, substrat energi, sistem inkubasi (suhu, fase

gas, pH, osmolalitas medium, kualitas air), penggunaan ko-kultur sel epitel tuba

Falopii dan sel kumulus.

Medium kultur yang digunakan dapat mempengaruhi metabolisme dari

embrio yang dihasilkan (Krisher et al. 1999). Pada beberapa penelitian terhadap

perkembangan embrio, hambatan perkembangan embrio in vitro tergantung pada

substrat energi seperti tahap awal pembelahan pada embrio babi dipengaruhi oleh

piruvat dan pada mencit atau hamster dipengaruhi oleh glukosa (Kiernan et al.

1991). Selama perkembangan awal embrio preimplantasi, glukosa berada dalam

jumlah yang rendah pada embrio mencit dan manusia. Setelah aktifasi genom

embrio pada tahap 2-4 sel pada mencit dan 4-8 sel pada manusia, terdapat

penurunan piruvat pada mencit tapi tidak pada manusia dan lonjakan glukosa pada

keduanya (Conaghan et al. 1993). Gangguan metabolisme embrio, kemampuan

kapasitasi, kemampuan signaling dan perkembangan maternal berhubungan

dengan lingkungan yang suboptimal baik secara in vivo atau in vitro yang akan

mengaktifkan kondisi stres atau tekanan hal ini akan merangsang embrio untuk

mempertahankan keseimbangan homeostatik (Fleming et al. 2004).

Perkembangan tahap awal embrio tergantung pada lingkungan mikro

pematangan oosit (Kidson 2005). Ketika proses pematangan oosit in vitro tidak

memberikan lingkungan yang cocok bagi oosit, walaupun dapat terbentuk

(37)

rendahnya nilai kualitas blastosis/embrio yang dihasilkan (Lucidi et al. 2003).

Tidak cukup proses pematangan sitoplasma pada oosit akan mempengaruhi

perpindahan atau pertukaran kontrol perkembangan maternal ke embrio dan

menghasilkan perkembangan yang salah (Vassena et al. 2003). Menurut Laurincik

et al. (2000) tahap pembelahan 1-3 sel tergantung pada maternal genom dan lebih

dari 3 sel akan tergantung pada embrionik genom, tahapan ini merupakan keadaan

(38)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2005 sampai dengan

November 2006. Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium

Embriologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi. Pemeliharaan

hewan percobaan dilakukan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hewan

Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian

Materi penelitian yang digunakan adalah mencit (Mus musculus albinus)

betina strain DDY yang biasa dipakai dalam penelitian bidang reproduksi karena

merupakan mencit fertil (high ovulator). Umur mencit yang digunakan empat

minggu dan belum mencapai umur dewasa kelamin (prapubertas). Mencit

dipelihara dalam kandang plastik yang diberi alas sekam dan dilengkapi dengan

penutup kawat. Pakan dan air minum diberikan ad libitum.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga

perlakuan yaitu (1) oosit hasil ovarium transplan (OT); (2) oosit hasil ovarium

transplan dan induksi PMSG (OTP); (3) oosit hasil superovulasi in vivo (OSO)

tanpa transplantasi ovarium. Ovarium dari setiap mencit pada perlakuan

transplantasi dikoleksi dengan cara ovariektomi dan dibelah menjadi dua bagian

yang sama besar. Potongan ovarium kemudian ditransplantasi ke kapsula ginjal.

Pada hari ke-19 transplantasi, mencit pada perlakuan OTP diinduksi dengan 5

IU/ekor PMSG intraperitoneal (i.p.). Pada hari ke-21 dilakukan pengkoleksian

oosit dari ovarium transplan dan dikultur untuk mengetahui tingkat pematangan,

fertilisasi dan perkembangan embrio secara in vitro. Pada perlakuan kontrol tanpa

transplantasi (OSO) dilakukan induksi PMSG dan hCG masing-masing dengan

dosis 5 IU/ekor dengan interval waktu 48 jam. Setelah induksi hCG, 14 jam

kemudian oosit yang matang in vivo dikoleksi dengan menoreh ampula tuba

(39)

Metode Penelitian Koleksi Ovarium

Pengambilan ovarium atau ovariektomi dilakukan menurut metoda yang

telah dilaporkan oleh Mohammad et al. (2004) yaitu melalui bedah punggung.

Sebelum pembedahan, mencit dibius dengan xylazine sebanyak 0.3 mg/ekor

intraperitoneal (i.p.) dikombinasi dengan ketamine sebanyak 1.5 mg/ekor

intramuscular (i.m.). Setelah mencit terbius, kulit daerah punggung dibersihkan

dengan alkohol 70% dan rambut di daerah orientasi pembedahan dicukur sampai

bersih. Kemudian kulit punggung di daerah orientasi pembedahan disayat

sepanjang 1-1.5 cm secara horizontal sejajar dengan tulang punggung. Kulit

jaringan subkutan dikuakkan dan daerah abdomen disayat dengan orientasi tepat

di atas ginjal karena akan dilakukan transplantasi pada kapsula ginjal. Ovarium

diambil dan dipisahkan dari bursa ovarium dengan bantuan pinset. Selanjutnya

ovarium dicuci dalam medium phosphate buffered saline (PBS) dan dibelah

menjadi dua bagian yang sama besar.

Autotransplantasi Ovarium Heterotopik

Autotransplantasi ovarium mencit dilakukan di kapsula ginjal berdasarkan

metode yang telah dilaporkan oleh Mohammad et al. (2004). Ginjal dikeluarkan

dari ruang abdomen dengan cara menekan daerah perut dari arah ventral ke atas.

Selanjutnya dengan menggunakan pinset berujung runcing, kapsula ginjal ditusuk

tanpa melukai korteks ginjal dan diperlebar sebesar ovarium yang akan

ditransplantasikan. Ovarium dimasukkan ke dalam kapsula ginjal dengan hati-hati

dan didorong menjauhi daerah sayatan. Ginjal dimasukkan kembali ke dalam

ruang abdomen. Abdomen dan kulit punggung dijahit dan diberi antibiotik

neomycin sulfate (Nebacetin) untuk persembuhan.

Koleksi Oosit dari Ovarium Transplan Heterotopik

Setelah mengalami proses transplantasi, mencit dibiarkan pulih selama

beberapa hari. Pada hari ke-19 setelah transplantasi, mencit perlakuan OTP

disuntik dengan 5 IU PMSG per ekor secara intraperitoneal(i.p.). Pada hari ke-21

(40)

dengan cara dislocatio cervicalis kemudian ginjal diambil dan ovarium dari

kapsula ginjal dipindahkan ke medium PBS. Isolasi oosit dari folikel ovarium

dilakukan dibawah mikroskop stereo secara mekanik dengan cara menoreh folikel

antral pada ovarium menggunakan jarum berukuran 27 G yang dihubungkan

dengan spuit 1 cc. Oosit dikeluarkan dari folikel kemudian dicuci tiga kali

berturut-turut dalam PBS dan dua kali di dalam medium kultur yang akan

digunakan. Oosit yang digunakan untuk tahap selanjutnya adalah oosit yang

dilapisi oleh sel-sel kumulus. Untuk perlakuan kontrol tanpa transplantasi (OSO),

mencit diinjeksi PMSG dan hCG masing-masing 5 IU/ekor dengan interval 48

jam. Koleksi oosit dari tuba Falopii dilakukan dengan menoreh ampula tuba

Falopii.

Pematangan Oosit In Vitro

Oosit yang berasal dari mencit pada perlakuan OT dan OTP yang

digunakan dalam pematangan in vitro hanya oosit yang dikelilingi oleh sel-sel

kumulus kompak. Selanjutnya setelah pencucian dalam PBS dan medium kultur,

oosit yang dikoleksi dari mencit pada perlakuan OT dan OTP dimatangkan dalam

20 µl medium tetes kalium simplex optimized medium (KSOM) yang telah

ditambah dengan follicle stimulating hormone (FSH) 10 µg/ml, gentamycin

sulphate 50 µg/ml, BSA 2% (w/v) dan ditutup dengan mineral oil. Pematangan

oosit dilakukan dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37 ºC selama 24 jam.

Fertilisasi Oosit In Vitro

Sperma yang digunakan berasal dari vas deferen mencit jantan dewasa dari

strain yang sama. Preparasi sperma dilakukan dalam medium KSOM yang telah

ditambah dengan BSA 2% (w/v), kafein 2.5 mM dan gentamycin sulphate 50

µg/ml. Suspensi sperma 10 µl ditambahkan ke dalam 90 µl medium drop KSOM

fertilisasi dan diinkubasi dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37 ºC selama 30

menit untuk proses kapasitasi. Oosit yang telah mengalami pematangan in vitro

dan in vivo dicuci dua kali dalam medium fertilisasi dan digabungkan ke dalam

100 µl drop medium fertilisasi (konsentrasi sperma 2x106/ml) kemudian

(41)

Perkembangan Embrio In Vitro

Oosit yang telah terfertilisasi in vitro dicuci dan dipindahkan ke dalam

medium drop KSOM 20 µl yang telah ditambah dengan BSA 3% (w/v),

gentamycin sulphate 50 µg/ml dan ditutup dengan mineral oil. Kemudian dikultur

dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37 ºC untuk melihat perkembangan embrio.

Evaluasi Data

Jumlah dan kualitas oosit yang diperoleh dari ovarium transplan

heterotopik setelah isolasi secara mekanik dari folikel antral diamati dengan

mikroskop inverted. Evaluasi dilakukan terhadap pematangan inti oosit yang telah

mengalami pematangan in vitro. Oosit yang telah matang adalah oosit pada tahap

metafase II (Mt-II) yang ditandai dengan terbentuknya polar bodi I. Untuk

mengetahui tingkat pematangan oosit dilakukan penghitungan terhadap jumlah

oosit yang mencapai tahap Mt-II per jumlah oosit yang dikultur. Selanjutnya

dilakukan fertilisasi in vitro pada oosit yang telah matang in vitro dan in vivo.

Pengamatan terhadap keberhasilan fertilisasi in vitro ditandai dengan

terbentuknya pronukleus jantan dan betina. Tingkat fertilisasi dihitung dari jumlah

oosit yang terfertilisasi per jumlah oosit yang diinseminasi. Hasil fertilisasi in

vitro dikultur untuk mengetahui perkembangan embrio. Tingkat perkembangan

embrio in vitro diperoleh dengan menghitung jumlah embrio yang berhasil

membelah dibandingkan dengan jumlah yang dikultur.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam

menggunakan general linear model procedure (GLM). Perbedaan antar perlakuan

Gambar

Gambar 1 Perkembangan folikel (Hogan et al. 1994).
Gambar 3 Proses rekrutmen, seleksi dan dominan pada ovarium selama perkembangan folikel (Senger 1999)
Gambar 4 Interaksi oosit-sperma dalam proses fertilisasi (Hafez & Hafez 2000).
Gambar 5 Perubahan pada sperma selama reaksi akrosom (Senger 1999).
+7

Referensi

Dokumen terkait

semakin sering, kemuadian peserta didik juga mengalami keenganan untuk membuka buku, dan yang menjadi perhatian guru PPKn adalah peserta didik melihat apa yang

Data tersebut diperoleh dari alat ukur yang diisi langsung oleh subjek melalui skala bullying, secure attachment dengan orang tua, dan kontrol dirig. Metode

Hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya siklus kenaikan dan penurunan konsumen, jika produk dan harga tidak diperhatikan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul: Pengaruh Brand KFC Terhadap Kepuasan Konsumen Muslim Di Mega Town Square (METOS) Palangka Raya Kalimantan Tengah

Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) Penilaian konsumen terhadap experiential marketing pada BreadTalk dinilai baik karena berada pada kategori baik

Lembaga pendidikan yang tidak menempatkan Tauhid sebagai ajaran utama, berarti pendidikan tersebut telah melakukan dosa besar terhadap anak didiknya, sebab bagi

Dari sekian banyak masalah yang dikemukakan, maka masalah yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini dibatasi pada pengaruh pelatihan menjahit terhadap

Satuan-satuan dasar untuk kapasitas, berat, dan luas dikembangkan pada waktu yang sama dengan satuan panjang tersebut.Seliter adalah satuan dasar untuk kapasitas merupakan