• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kemiskinan di pedesaan dan strategi penanggulangannya studi kasus di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kemiskinan di pedesaan dan strategi penanggulangannya studi kasus di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten"

Copied!
339
0
0

Teks penuh

(1)

PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

TONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ANALISIS KEMISKINAN DI PEDESAAN DAN STRATEGI

PENANGGULANGANNYA: STUDI KASUS DI KABUPATEN

PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

TONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

ANALISIS KEMISKINAN DI PEDESAAN DAN STRATEGI

PENANGGULANGANNYA: STUDI KASUS DI KABUPATEN

PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan para komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2009

TONO

(4)

ABSTRACT

TONO. Rural Poverty and It’s Alleviation Strategies: Case study in

Pandeglang District, Banten Province (SJAFRI MANGKUPRAWIRA as chairman and RINA OKTAVIANI as a member of advisory committee).

Poverty in Pandeglang is still a crucial problem and has to be handled more seriously. The objectives of this research are: (1) to identify the factors affecting poverty in the rural areas based on rural typology and to identify the poverty characteristic in agriculture households, (2) to determine characteristics of poor rural areas based on rural typology and characteristics of poor agricultural households, and (3) to formulate poverty alleviation strategies both at regional and household level. Principle Component Analysis, Factor Analysis, Cluster Analysis, Descriptive Analysis and SWOT Analysis are the methods for assessing the poverty at the regional level. CHAID Analysis, Relative Poverty Analysis and Descriptive Analysis are the methods for assessing the poverty at household level.

The main factor that affecting poverty in rural areas are lack in economic facilities, healthcare and medical health. Cluster analysis indicates that percentages of poor villages are more in non-agriculture areas, coastal areas and dense-populated areas. The poverty characteristics at household level are different among villages. The main characteristics are floor area per capita under 8.1 m2 and unable to buy cloth. The percentage of poor household which result from this research is higher than BPS result.

The poverty alleviation strategies should be integrated between macro and micro strategies. Macro strategies in regional level could be done by improving the potential natural resource, developing and recovering facilities, improving human resources and human participation, increasing capital access and creating employment. Micro strategies which based on rural typology could be done by developing electricity in agriculture and coastal area, optimizing marginal land in under-populated area. Therefore the strategies at household level could be done by utilizing the skilled household labor and developing several aspects such as social capital, skill of poor household, sanitary and electricity.

(5)

TONO. Analisis Kemiskinan di Pedesaan dan Strategi Penanggulangannya: Studi Kasus di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten (SJAFRI MANGKUPRAWIRA sebagai Ketua dan RINA OKTAVIANI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kemiskinan di Kabupaten Pandeglang masih merupakan persoalan yang serius dan karenanya diperlukan upaya-upaya pemecahan yang lebih serius. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kemiskinan di wilayah desa berdasarkan tipologi desa dan penciri kemiskinan rumahtangga daerah pertanian, (2) mengetahui karakteristik wilayah desa miskin berdasarkan tipologi desa dan karakteristik rumahtangga miskin pertanian, dan (3) merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan baik di tingkat wilayah maupun tingkat rumahtangga. Analisis kemiskinan di wilayah desa dilakukan dengan metode analisis Komponen Utama, Analisis Faktor, Analisis Cluster, Analisis Deskriptif dan Analisis SWOT. Analisis di tingkat rumahtangga dilakukan dengan menggunakan metode analisis CHAID, Analisis Kemiskinan Relatif dan Analisis Deskriptif.

Faktor penyebab utama kemiskinan di wilayah desa adalah tidak memiliki fasilitas ekonomi, kesehatan dan tenaga medis. Pengelompokkan desa menunjukkan bahwa persentase desa miskin lebih tinggi pada daerah non pertanian, daerah pesisir dan daerah berpenduduk padat. Faktor penciri kemiskinan rumahtangga berbeda antar desa. Karakteristik utama rumahtangga miskin adalah luas lantai per kapita kurang dari 8.1 m2 dan tidak mampu membeli pakaian. Persentase rumahtangga miskin hasil penelitian menunjukkan angka yang lebih tinggi jika dibandingkan persentase rumahtangga miskin Badan Pusat Statistik.

(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(7)

PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

TONO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Tono

NRP : A151050161

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui 1. Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS

(10)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan tesis dengan judul

Analisis Kemiskinan di Pedesaan dan Strategi Penanggulannya: Studi Kasus

di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilatar belakangi oleh kondisi kemiskinan yang masih belum dapat dipecahkan khususnya di Kabupaten Pandeglang. Dengan penelitian ini diharapkan mendapatkan solusi penanganan penduduk miskin secara tepat dan

terarah.

Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis

ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira dan Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku ketua dan anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dengan

penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB.

3.

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS sebagai Penguji Luar Komisi

Pembimbing.

4. Ibu, bapak, kakak-kakak dan adik yang selalu memberikan semangat dalam

(11)

6. Kepala Bidang Kerawanan Pangan atas izin sekolah yang diberikan.

7. Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang, khususnya BAPPEDA dan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Pandeglang atas dukungan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

8. Badan Pusat Statistik Pusat, Provinsi Banten dan Kabupaten Pandeglang atas dukungan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

9. Aparat desa, tokoh masyarakat, tenaga pendamping serta masyarakat Desa Babakan Keusik, Bulagor, Sudimanik dan Cikalong yang telah berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan selama penelitian ini.

10. Teman-teman pada Bidang Kerawanan Pangan. 11. Teman-teman EPN angkatan 2005.

12. Teman-teman di Sekretariat EPN.

13. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca dan semoga hasil penelitian ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Februari 2009

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, 06 Maret 1980 sebagai anak keempat dari

lima bersaudara dari pasangan Bapak Sahri dan Ibu Rosmini. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Bogor. Tahun yang sama penulis diterima di Jurusan

Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan lulus pada tahun 2002. Desember 2002 penulis diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN... xxvi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Kegunaan Penelitian ... 15

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kemiskinan ... 17

2.1.1. Pengertian Kemiskinan Menurut Pakar ... 17

2.1.2. Pengertian Kemiskinan Menurut Pemerintah ... 19

2.1.3. Pengertian Miskin Menurut Lembaga Multilateral... 21

2.2. Dimensi-dimensi Kemiskinan... 22

2.3. Faktor Penyebab dan Karakteristik Desa Miskin... 24

2.4. Faktor Penciri dan Karakteristik Rumahtangga Miskin... 28

2.5. Tipologi Kemiskinan... 32

2.6. Strategi Penanggulangan Kemiskinan ... 34

2.7. Kajian Penelitian Terdahulu ... 40

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pikir Penelitian ... 46

3.2. Teknik Analisis Kemiskinan Wilayah Desa ... 49

3.3. Teknik Analisis Kemiskinan Rumahtangga... 53

(14)

xiii

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 56

4.2. Jenis, Variabel dan Sumber Data ... 57

4.2.1. Analisis Kemiskinan Wilayah Desa... 57

4.2.2. Analisis Kemiskinan Rumahtangga ... 63

4.2.3. Rekomendasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan... 67

4.3. Metode Pengambilan Contoh... 68

4.4. Metode Analisis ... 69

4.4.1. Analisis Faktor Penyebab Kemiskinan di Wilayah Desa 69 4.4.2. Analisis Penetapan Desa Miskin... 77

4.4.3. Analisis Karakteristik Kemiskinan Wilayah Desa... 78

4.4.4. Analisis Faktor Penciri Rumahtangga Miskin ... 78

4.4.5. Analisis Karakteristik Rumahtangga Miskin ... 83

4.4.6. Analisis Strategi Penanggulangan Kemiskinan ... 84

4.5. Definisi Operasional ... 90

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Penduduk... 94

5.2. Kesehatan ... 94

5.3. Pendidikan... 95

5.4. Ketenagakerjaan... 96

5.5. Indeks Pembangunan Manusia ... 97

5.6. Perekonomian Daerah... 97

VI. KEMISKINAN DI WILAYAH DESA 6.1. Faktor Penyebab dan Karakteristik Kemiskinan Desa Berdasarkan Jenis Usaha... 101

6.1.1. Pertanian ... 101

6.1.2. Non Pertanian... 111

6.2. Faktor Penyebab dan Karakteristik Kemiskinan Desa Berdasarkan Letak Geografis... 119

6.2.1. Pesisir ... 119

(15)

xiv

6.3.1. Jarang ... 134

6.3.2. Sedang... 142

6.3.3. Padat... 150

VII. KEMISKINAN DI TINGKAT RUMAHTANGGA 7.1. Analisis Kemiskinan Relatif Pendekatan Departemen Pertanian 159 7.1.1. Kependudukan ... 166

7.1.2. Karakteristik Pendidikan... 172

7.1.3. Karakteristik Rumah Tinggal... 178

7.1.4. Karakteristik Ekonomi ... 187

7.1.5. Karakteristik Konsumsi... 192

7.1.6. Karakteristik Ketenagakerjaan ... 193

7.1.7. Karakteristik Pengeluaran Rumahtangga... 197

7.2. Faktor Penciri dan Karakteristik Kemiskinan Rumahtangga Berdasarkan Hasil Analisis CHAID ... 201

7.2.1. Faktor Penciri dan Karakteristik Kemiskinan Rumahtangga di Desa Babakan Keusik ... 201

7.2.2. Faktor Penciri dan Karakteristik Kemiskinan Rumahtangga di Desa Bulagor ... 206

7.2.3. Faktor Penciri dan Karakteristik Kemiskinan Rumahtangga di Desa Cikalong ... 212

7.2.4. Faktor Penciri dan Karakteristik Kemiskinan Rumahtangga di Desa Sudimanik ... 216

7.2.5. Asosiasi dan Interaksi antar Peubah Penjelas dan Peubah Respon... 220

VIII. STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN 8.1. Makro di Tingkat Wilayah... 222

8.1.1. Analisis Lingkungan Internal ... 222

8.1.2. Analisis Lingkungan Eksternal ... 228

8.1.3. Tahap Masukan ... 232

8.1.4. Tahap Pemaduan ... 235

(16)

xv

8.2. Spesifik Tipologi dan Rumahtangga... 241

8.2.1. Jenis Usaha... 242

8.2.2. Letak Geografi ... 244

8.2.3. Kepadatan Penduduk ... 246

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan ... 262

9.2. Saran... ... 264

9.3. Saran untuk Penelitian Lanjutan ... 265

DAFTAR PUSTAKA... 267

(17)

Nomor Halaman

1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut

Daerah, Tahun 1996 - 2006... 3

2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Banten Menurut Tipe Daerah, Tahun 2002 - 2004... 6

3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1 dan P2 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Tahun 1999 - 2006 ... 7

4. Pengertian Kemiskinan Menurut Beberapa Lembaga Pemerintah ... 20

5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Pandeglang, Tahun 1993-2007... 56

6. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal Wilayah... 86

7. Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal Wilayah ... 86

8. MatriksExternal FactorEvaluation... 88

9. MatriksInternal Factor Evaluation ... 88

10. Matriks SWOT ... 89

11.Quantitative Strategic Planning Matrix ... 90

12. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Rasio di Kabupaten Pandeglang, Tahun 1990 - 2006 ... 94

13. Angka Kematian Bayi dan Angka Harapan Hidup Penduduk Kabupaten Pandeglang, Tahun 2005 - 2006 ... 94

14. Jumlah dan Persentase Balita Menurut Status Gizi di Kabupaten Pandeglang, Tahun 2006... 95

15. Angka Melek Huruf Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Pandeglang, Tahun 2005– 2006... 95

16. Jumlah Sekolah, Guru, Murid dan Rasio Murid– Guru Menurut Jenjang Sekolah di Kabupaten Pandeglang, Tahun Ajaran 2006/2007... 96

(18)

xvii

18. Indeks Pembangunan Manusia dan Komponennya, Kabupaten

Pandeglang, Tahun 2005 - 2006... 97 19. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Kontribusi PDRB

Kabupaten Pandeglang Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2005–

2006 ... 97 20. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Laju Pertumbuhan

Ekonomi Kabupaten Pandeglang Menurut Lapangan Usaha, Tahun

2005 - 2006 ... 98 21. Indeks Implisit dan Inflasi Sektoral Kabupaten Pandeglang,

Tahun 2004 - 2006 ... 98 22. PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Per Kabupaten/ Kota,

Tahun 2004 - 2006 ... 99 23. Nilai Beban Faktor yang Telah Dirotasi pada Desa Pertanian... 102 24. Nilai Rata-Rata Skor Faktor pada Masing-Masing Kelompok di

Desa Pertanian ... 104 25. Nilai Rata-Rata Indikator dan Total Menurut Status Desa di Desa

Pertanian... 105 26. Nilai Beban Faktor yang Telah Dirotasi pada Desa Non Pertanian.. 113 27. Nilai Rata-Rata Skor Faktor pada Masing-Masing Kelompok di

Desa Non Pertanian ... 114 28. Nilai Rata-Rata Indikator dan Total Menurut Status Desa di Desa

Non Pertanian... 115 29. Nilai Beban Faktor yang Telah Dirotasi pada Desa Pesisir ... 121 30. Nilai Rata-Rata Skor Faktor pada Masing-Masing Kelompok di

Desa Pesisir ... 122 31. Nilai Rata-Rata Indikator dan Total Menurut Status Desa di Desa

Pesisir ... 123 32. Nilai Beban Faktor yang Telah Dirotasi pada Desa Non Pesisir ... 128 33. Nilai Rata-Rata Skor Faktor pada Masing-Masing Kelompok di

Desa Non Pesisir ... 129 34. Nilai Rata-Rata Indikator dan Total Menurut Status Desa di Desa

(19)

xviii

36. Nilai Rata-Rata Skor Faktor pada Masing-Masing Kelompok di

Desa Berpenduduk Jarang... 136

37. Nilai Rata-Rata Indikator dan Total Menurut Status Desa di Desa Berpenduduk Jarang... 137

38. Nilai Beban Faktor yang Telah Dirotasi pada Desa Berpenduduk Sedang ... 143

39. Nilai Rata-Rata Skor Faktor pada Masing-Masing Kelompok di Desa Berpenduduk Sedang ... 144

40. Nilai Rata-Rata Indikator dan Total Menurut Status Desa di Desa Berpenduduk Sedang ... 145

41. Nilai Beban Faktor yang Telah Dirotasi pada Desa Berpenduduk Padat ... 151

42. Nilai Rata-Rata Skor Faktor pada Masing-Masing Kelompok di Desa Berpenduduk Padat ... 152

43. Nilai Rata-Rata Indikator dan Total Menurut Status Desa di Desa Berpenduduk Padat ... 153

44. Status Rumahtangga di Kabupaten Pandeglang Berdasarkan Survei Data Dasar Rumahtangga, Tahun 2006 ... 164

45. Status Rumahtangga di Kabupaten Pandeglang Berdasarkan Survei BLT, Tahun 2006 ... 165

46. Karakteristik Kemiskinan Desa Babakan Keusik ... 202

47. Ketepatan Klasifikasi Analisis CHAID di Desa Babakan Keusik .... 206

48. Karakteristik Kemiskinan Desa Bulagor... 208

49. Ketepatan Klasifikasi Analisis CHAID di Desa Bulagor ... 212

50. Karakteristik Kemiskinan Desa Cikalong... 214

51. Ketepatan Klasifikasi Analisis CHAID di Desa Cikalong... 216

52. Karakteristik Kemiskinan Desa Sudimanik ... 217

53. Ketepatan Klasifikasi Analisis CHAID di Desa Sudimanik... 220

(20)

xix

55. Matriks EFE Penanggulangan Kemiskinan Wilayah ... 234 56. Matriks SWOT Strategi Penanggulangan Kemiskinan Wilayah di

(21)

Nomor Halaman 1. Indeks Kedalaman Kemiskinan di Indonesia Menurut Daerah,

Tahun 1999 - 2006 ... 4

2. Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1999 - 2006 ... 5

3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Banten, Tahun 1996 - 2006 ... 6

4. Pengaruh-pengaruh terhadapStrategic Analysis... 35

5. Kerangka Pikir Penelitian ... 54

6. Skema Proses Penelitian ... 62

7. Karakteristik Kemiskinan Desa Pertanian Berdasarkan Indikator pada Faktor Satu... 106

8. Karakteristik Kemiskinan Desa Pertanian Berdasarkan Indikator pada Faktor Dua ... 107

9. Karakteristik Kemiskinan Desa Pertanian Berdasarkan Indikator pada Faktor Tiga ... 108

10. Karakteristik Kemiskinan Desa Pertanian Berdasarkan Indikator pada Faktor Empat ... 109

11. Karakteristik Kemiskinan Desa Pertanian Berdasarkan Indikator pada Faktor Lima ... 110

12. Karakteristik Kemiskinan Desa Non Pertanian Berdasarkan Indikator pada Faktor Satu ... 116

13. Karakteristik Kemiskinan Desa Non Pertanian Berdasarkan Indikator pada Faktor Dua ... 117

14. Karakteristik Kemiskinan Desa Non Pertanian Berdasarkan Indikator pada Faktor Tiga... 118

15. Karakteristik Kemiskinan Desa Non Pertanian Berdasarkan Indikator pada Faktor Empat... 118

(22)

xxi

17. Karakteristik Kemiskinan Desa Pesisir Berdasarkan Indikator

pada Faktor Dua ... 125 18. Karakteristik Kemiskinan Desa Pesisir Berdasarkan Indikator

pada Faktor Tiga ... 125 19. Karakteristik Kemiskinan Desa Pesisir Berdasarkan Indikator

pada Faktor Empat ... 126 20. Karakteristik Kemiskinan Desa Non Pesisir Berdasarkan Indikator

pada Faktor Satu... 130 21. Karakteristik Kemiskinan Desa Non Pesisir Berdasarkan Indikator

pada Faktor Dua ... 131 22. Karakteristik Kemiskinan Desa Non Pesisir Berdasarkan Indikator

pada Faktor Tiga ... 132 23. Karakteristik Kemiskinan Desa Non Pesisir Berdasarkan Indikator

pada Faktor Empat ... 133 24. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Jarang Berdasarkan

Indikator pada Faktor Satu ... 138 25. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Jarang Berdasarkan

Indikator pada Faktor Dua ... 138 26. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Jarang Berdasarkan

Indikator pada Faktor Tiga... 140 27. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Jarang Berdasarkan

Indikator pada Faktor Empat... 140 28. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Jarang Berdasarkan

Indikator pada Faktor Lima... 141 29. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Sedang Berdasarkan

Indikator pada Faktor Satu ... 146 30. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Sedang Berdasarkan

Indikator pada Faktor Dua ... 146 31. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Sedang Berdasarkan

Indikator pada Faktor Tiga... 148 32. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Sedang Berdasarkan

Indikator pada Faktor Empat... 148 33. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Sedang Berdasarkan

(23)

xxii

35. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Padat Berdasarkan

Indikator pada Faktor Dua ... 155 36. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Padat Berdasarkan

Indikator pada Faktor Tiga... 156 37. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Padat Berdasarkan

Indikator pada Faktor Empat... 156 38. Karakteristik Kemiskinan Desa Berpenduduk Padat Berdasarkan

Indikator pada Faktor Lima... 157 39. Jumlah Anggota Rumahtangga Menurut Kelompok Rumahtangga

Miskin dan Tidak Miskin di Desa Babakan Keusik ... 167 40. Jumlah Anggota Rumahtangga Menurut Kelompok Rumahtangga

Miskin dan Tidak Miskin di Desa Bulagor ... 167 41. Jumlah Anggota Rumahtangga Menurut Kelompok Rumahtangga

Miskin dan Tidak Miskin di Desa Sudimanik ... 168 42. Jumlah Anggota Rumahtangga Menurut Kelompok Rumahtangga

Miskin dan Tidak Miskin di Desa Babakan Cikalong ... 169 43. Jumlah Balita Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Babakan Keusik... 170 44. Jumlah Balita Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Bulagor ... 170 45. Jumlah Balita Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Sudimanik... 171 46. Jumlah Balita Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Cikalong ... 172 47. Jumlah Anak Usia Sekolah 7– 15 Tahun Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Babakan Keusik .. 173 48. Jumlah Anak Usia Sekolah 7– 15 Tahun Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Bulagor... 173 49. Jumlah Anak Usia Sekolah 7– 15 Tahun Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Sudimanik ... 174 50. Jumlah Anak Usia Sekolah 7– 15 Tahun Menurut Kelompok

(24)

xxiii

51. Jumlah Anak Usia Sekolah 7– 15 TahunDrop Out Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Babakan Keusik .. 175 52. Jumlah Anak Usia Sekolah 7– 15 TahunDrop Out Menurut

Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa

Bulagor... 176 53. Jumlah Anak Usia Sekolah 7– 15 TahunDrop Out Menurut

Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa

Sudimanik ... 176 54. Jumlah Anak Usia Sekolah 7– 15 TahunDrop Out Menurut

Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa

Cikalong ... 177 55. Kelompok Luas Lantai Per Kapita Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Babakan Keusik .. 178 56. Kelompok Luas Lantai Per Kapita Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Bulagor... 179 57. Kelompok Luas Lantai Per Kapita Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Sudimanik ... 179 58. Kelompok Luas Lantai Per Kapita Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Cikalong ... 180 59. Jenis Lantai Hunian Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Babakan Keusik... 181 60. Jenis Lantai Hunian Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Bulagor ... 181 61. Jenis Lantai Hunian Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Sudimanik... 182 62. Jenis Lantai Hunian Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Cikalong ... 182 63. Sumber Air Minum Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Babakan Keusik... 183 64. Sumber Air Minum Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Bulagor ... 183 65. Sumber Air Minum Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Sudimanik... 184 66. Sumber Air Minum Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

(25)

xxiv

68. Sumber Penerangan Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Bulagor ... 186 69. Sumber Penerangan Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Sudimanik... 187 70. Sumber Penerangan Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan

Tidak Miskin di Desa Cikalong ... 187 71. Karakteristik Kepemilikan Lahan Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin... 188 72. Karakteristik Persediaan Bahan Makanan Pokok Menurut

Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin ... 189 73. Karakteristik Kepemilikan Kendaraan Bermotor Menurut

Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin ... 189 74. Karakteristik Kepemilikan Kendaraan Tak Bermotor Menurut

Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin ... 190 75. Karakteristik Kepemilikan Kasur Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin ... 191 76. Karakteristik Kepemilikan Ternak Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin ... 191 77. Karakteristik Konsumsi Daging/Ayam/Telur/Ikan Satu Minggu

yang Lalu Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak

Miskin ... 192 78. Konsumsi Minimal Satu Stel Pakaian Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin ... 193 79. Lapangan Usaha dari Pekerjaan Utama Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Babakan Keusik . 194 80. Lapangan Usaha dari Pekerjaan Utama Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Bulagor... 195 81. Lapangan Usaha dari Pekerjaan Utama Menurut Kelompok

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa Sudimanik ... 196 82. Lapangan Usaha dari Pekerjaan Utama Menurut Kelompok

(26)

xxv

83. Proporsi Makanan Terhadap Total Pengeluaran Menurut Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa

Babakan Keusik ... 198 84. Proporsi Makanan Terhadap Total Pengeluaran Menurut

Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa

Bulagor... 199 85. Proporsi Makanan Terhadap Total Pengeluaran Menurut

Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa

Sudimanik ... 200 86. Proporsi Makanan Terhadap Total Pengeluaran Menurut

Kelompok Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin di Desa

(27)
(28)

xxvii

(29)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang mencakup berbagai aspek kehidupan baik aspek politik,

ekonomi, idiologi, sosial budaya dan keamanan secara berkesinambungan. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat secara adil dan merata. Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia pada

dasarnya merupakan suatu proses dengan titik tolak pemikiran yang dilandasi oleh keinginan menuju kemajuan bangsa. Pelaksanaan pembangunan di seluruh

pelosok tanah air di satu sisi terus mengalami penyempurnaan dan telah membawa banyak keberhasilan. Namun di sisi lain, dalam pelaksanaan pembangunan tersebut masih terdapat permasalahan yang belum dapat dipecahkan secara

sempurna antara lain: masalah ketimpangan pendapatan, kependudukan dan kemiskinan.

Tujuan pembangunan ekonomi bukanlah hanya semata-mata untuk

menciptakan pertumbuhan ekonomi yang terlihat dari nilai Gross Domestic

Product (GDP) yang setinggi-tingginya seperti yang terjadi selama dasawarsa

1950-an dan 1960-an, namun lebih luas dari itu. Seers (1977) menyatakan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi adalah penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan

penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang. Kemiskinan yang merupakan salah satu manifestasi dari taraf hidup yang rendah (low levels of living) di negara-negara sedang berkembang, oleh

(30)

2

bagi upaya-upaya pembangunan. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bahkan dianggap merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di banyak

negara. PBB menempatkan penghapusan kemiskinan dan kelaparan pada urutan pertama dari kedelapan Tujuan Pembangunan Millennium (Millenium

Development Goals) yang dicanangkan pada tahun 2000 (World Bank, 2004).

Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai negara yang ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Kemiskinan

di Indonesia merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan. Hal tersebut sesuai dengan kepedulian pemerintah untuk mengatasi

pengangguran dan kemiskinan. Kepedulian tersebut kemudian dirumuskan dalam tujuan pembangunan ekonomi Indonesia yang tertuang dalam triple track

strategy: pro-growth, pro-job dan pro-poor. Track pertama dilakukan dengan

meningkatkan pertumbuhan dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Track

kedua, menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja dan track

ketiga, merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan (Yudhoyono, 2006).

Badan Pusat Statistik (2006), secara faktual telah terjadi penurunan

jumlah penduduk miskin dari 54.20 juta jiwa atau 40.10 persen pada tahun 1976 menjadi 22.60 juta jiwa atau 17.47 persen pada tahun 1996. Angka kemiskinan mengalami perubahan yang cepat pada saat krisis multi-dimensi melanda Bangsa

(31)

penduduk miskin pada tahun 2002, 2003, 2004 dan Februari 2005 cenderung menurun, masing-masing 38.40 juta jiwa (18.20 persen), 37.30 juta jiwa (17.40 persen), 36.20 (16.66 persen) dan 35.10 juta jiwa (15.90 persen), namun pada

tahun 2006 meningkat kembali menjadi 39.30 juta (17.75 persen).

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1996– 2006

Jumlah Penduduk Miskin (Juta Jiwa)

Persentase Penduduk Miskin (%) Tahun

Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

1996 9.42 24.59 34.01 13.39 19.78 17.47

1998 17.60 31.90 49.50 21.92 25.72 24.23

1999 15.64 32.33 47.97 19.41 26.03 23.43

2000 12.30 26.40 38.70 14.60 22.38 19.14

2001 8.60 29.30 37.90 9.76 24.84 18.41

2002 13.30 25.10 38.40 14.46 21.10 18.20

2003 12.20 25.10 37.30 13.57 20.23 17.42

2004 11.40 24.80 36.20 12.13 20.11 16.66

2005 12.40 22.70 35.10 11.68 19.98 15.97

2006 1) r) 14.49 24.81 39.30 13.47 21.81 17.75

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006 Catatan:

1) Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006

r) Merupakan angka revisi. Berdasarkan penghitungan awal yang diterbitkan dalam press release 1 September 2006, jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 adalah 39.05 juta.

Strategi besar pembangunan di masa lalu seperti diuraikan di atas adalah mencapai pertumbuhan yang cepat dengan melakukan trade off terhadap

pemerataan. Atmosfer strategi ini memunculkan budaya konglomerasi yang diharapkan akan menghasilkan trickle down effects kepada berbagai lapisan

ekonomi. Pendekatan ini memfokuskan diri pada pembangunan industri secara besar-besaran, dimana kedudukan pemerintah sebagai pendorong kekuatan

enterpreneur. Permasalahan yang timbul adalah kemacetan mekanisme trickle

down effects, dimana mekanisme tersebut sangat diyakini akan terbentuk sejalan

(32)

4

telah berhasil membangun akumulasi kapital yang cukup besar, namun disisi lain juga telah menciptakan proses kesenjangan secara simultan, baik kesenjangan desa dan kota, maupun kesenjangan antar kelompok di masyarakat. Hal tersebut

ditunjukan oleh Tabel 1 dimana jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah perkotaan. Tahun 2006 jumlah penduduk

miskin di pedesaan sebesar 24.81 juta jiwa atau sekitar 21.81 persen sedangkan jumlah penduduk miskin di perkotaan adalah sebesar 14.49 juta jiwa atau sekitar 13.47 persen.

Kesenjangan tingkat kesejahteraan antara pedesaan dan perkotaan ditunjukan oleh perbedaan kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2). Indeks P1 di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Perbedaan indeks

P1 relatif tinggi terjadi pada periode 2000–2001 dimana di pedesaan sebesar 4.68 sedangkan diperkotaan hanya sebesar 1.74. Angka tersebut mengindikasikan bahwa jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan di

pedesaan relatif lebih jauh bila dibandingkan dengan di daerah perkotaan.

3 .5 2

(33)

Indeks P2 di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Perbedaan terbesar terjadi pada tahun 2001 dimana indeks P2 di pedesaan adalah 1.36 sedangkan di perkotaan sebesar 0.45. Hal ini mengindikasikan bahwa

distribusi pengeluaran penduduk miskin di pedesaan memiliki ketimpangan yang lebih tinggi dari ketimpangan distribusi pengeluaran penduduk miskin di

perkotaan.

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

P

2

Kota Desa Kota+Desa

Sumber: BPS, 2006

Gambar 2. Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1999 - 2006

Jumlah penduduk miskin di Banten khususnya sejak krisis (1997) nampak mengalami fluktuasi. Penduduk miskin pada tahun 1996 sebesar 9.55

angka ini terus mengalami peningkatan, pada tahun 1999 mencapai 19.66 persen. Tahun 2000 yang juga titik awal lahirnya Provinsi Banten, insiden kemiskinan dapat ditekan menjadi 14.93 persen, namun terjadi peningkatan kembali menjadi

(34)

6

Jumlah 1547.8 1184.1 1424.0 786.7 855.8 779.2 805.9 904.3

Persen 19.66 14.93 17.24 9.22 9.56 8.58 8.65 9.79

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Sumber: BPS Banten, 2006

Gambar 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Banten, Tahun 1999– 2006

Angka kemiskinan tahun 2004 hingga 2006 di Provinsi Banten seperti disajikan pada Tabel 2, memperlihatkan bahwa kantong kemiskinan berada di pedesaan yang jumlahnya hampir dua kali lipat dibanding penduduk miskin

perkotaan. Penduduk miskin di desa sebesar 11.99 persen pada tahun 2004 dan sebesar 13.34 persen pada tahun 2006. Persentase penduduk miskin di kota pada

tahun 2004 tercatat sebesar 5.69 persen dan 7.47 persen tahun 2006.

Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Banten Menurut Tipe Daerah, Tahun 2004– 2006

2004 2005 2006

Kota 279.9 5.69 370.2 6.56 417.1 7.47

Desa 499.3 11.99 460.3 12.34 487.1 13.34

Total 779.2 8.58 830.5 8.86 904.3 9.79

Sumber: BPS Banten, 2006

Jumlah penduduk miskin menurut hasil perhitungan BPS di Kabupaten

(35)

persen, 1996 sebesar 11.94 dan tahun 2005 sebesar 13.89 persen. Selama kurun waktu 1993 – 2007, pada tahun 2000 merupakan angka tertinggi baik jumlah maupun persentase penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang yaitu sebesar

198 983 jiwa atau sekitar 19.80 persen.

Kabupaten Pandeglang merupakan kabupaten di Provinsi Banten yang

memiliki persentase penduduk miskin terbesar, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) terbesar yaitu masing-masing sebesar 3.23 dan 1.07. Hal ini menunjukkan jarak rata-rata pengeluaran penduduk

miskin dengan garis kemiskinan di Kabupaten Pandeglang relatif lebih jauh bila dibandingkan dengan di kabupaten lain. Begitu pula dengan distribusi pengeluaran penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang memiliki ketimpangan

yang lebih tinggi dari ketimpangan distribusi pengeluaran penduduk miskin di kabupaten lain di Provinsi Banten.

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1 dan P2 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Tahun 2006

Kab/Kota Jumlah

Penduduk Miskin (000 Jiwa)

Persentase Penduduk Miskin

(%)

P1 P2

Pandeglang 177.8 15.82 3.23 1.07

Lebak 172.4 14.55 2.04 0.47

Tanggerang 279.1 8.28 1.38 0.31

Serang 170.8 9.55 1.51 0.38

Kota Tanggerang 95.1 6.41 0.92 0.19

Kota Cilegon 16.6 4.99 0.81 0.18

Prov. Banten 904.3 9.79 2.04 0.55

Sumber: BPS, 2007

(36)

8

Kemiskinan menjadi penting mendapat perhatian karena kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat, sehingga mengakibatkan antara lain: tingginya beban sosial-ekonomi masyarakat, rendahnya kualitas dan

produktivitas sumberdaya manusia serta menurunnya ketertiban umum (Yudhoyono dan Harniati, 2004).

Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta negara donor namun tingkat kemiskinan masih tinggi. Bermacam program aksi

penanggulangan kemiskinan telah dirancang dan diimplementasikan oleh berbagai instansi pemerintah dengan berbagai pendekatan. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2005) dan Harniati (2007) menyatakan bahwa

kebijakan-kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah selama ini belum cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa kelemahan mendasar, antara lain: (1) pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan

ekonomi dan kurang memperhatikan aspek pemerataan, (2) cenderung lebih menekankan pendekatan sektoral dan kuatnya arogansi sektoral, (3) kurang

mempertimbangkan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi, (4) cenderung terfokus pada orientasi kedermawanan, (5) menganggap diri lebih hebat dan tahu segala-galanya, (6) monopoli pemerintah dalam upaya

penanggulangan kemiskinan, dan (7) kurangnya pemahaman tentang akar penyebab kemiskinan (Sumodiningrat, 2003; Mega, 2003 dalam Papilaya 2006). Harniati (2007) menyebutkan bahwa upaya pengurangan kemiskinan selama ini

(37)

karitatif (charity), (3) kebijakan yang tidak memperhitungkan indikator dan karakteristik kemiskinan, (4) kurang berkesinambungan dalam implementasinya, dan (5) kebijakan yang terpusat dan cenderung seragam.

Program Kredit Usaha Tani (KUT) merupakan salah satu di antara serangkaian program pemerintah, yang menuai kegagalan. Sejak tahun 2000,

program KUT yang dianggap gagal total diganti pemerintah dengan program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Pelaksanaan Program KKP diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi

subsidi pada tahap awal. Berdasarkan target pemerintah, program ini menuai sukses tahun 2004, tetapi mengalami kegagalan karena kesulitan bank menyalurkan kredit kepada petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit.

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan program lain dalam penanggulangan kemiskinan. Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat pedesaan, sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara

memberi bantuan modal dan pengadaan infrastruktur. Program ini di beberapa daerah mengalami kegagalan, karena tidak ada perencanaan yang matang dan

transparansi penggunaan dan alokasi anggaran yang rendah (Sahdan, 2005). Belajar dari kegagalan penanganan kemiskinan di masa lalu, kebijakan penanggulangan kemiskinan secara makro memang penting tetapi tidak cukup,

perlu ada perspektif di tingkat mikro. Kebijakan pengurangan kemiskinan di suatu wilayah tidak dapat mengacu pada resep-resep pengentasan kemiskinan dari daerah lain secara keseluruhan ataupun pendekatan spasial dengan skala agregat.

(38)

10

Mengingat keterbatasan sumberdaya pemerintah daerah ataupun pemangku kepentingan (stakeholders) lain dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Pandeglang, maka alokasi sumberdaya haruslah tepat

sasaran dan jenis intervensinya. Analisis mengenai faktor penyebab dan karakteristik kemiskinan di wilayah pedesaan berdasarkan tipologi sangat

diperlukan. Strategi penanggulangan kemiskinan yang sesuai untuk sasaran tertentu, titik masuk pengurangan kemiskinan, prioritas berdasarkan urgensi, keterbatasan sumberdaya dan rentang waktu intervensi dapat diketahui dengan

menganalisis kemiskinan berdasarkan tipologi.

Karakteristik atau faktor-faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin di Kabupaten Pandeglang perlu juga mendapat perhatian dalam

merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan. Harniati (2007) menyatakan bahwa faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin adalah suatu

archetype kemiskinan: household that is consider to be the poor because they

have all their most important characteristics.

Berdasarkan uraian di atas, maka strategi penanggulangan kemiskinan

tidak dapat seragam untuk semua wilayah tetapi harus memperhatikan faktor penyebab dan karakteristik kemiskinan wilayah desa dan rumahtangga di wilayah tersebut. Hal ini didasari pemikiran bahwa keragaman kemiskinan mencerminkan

perbedaan peluang-peluang ekonomi, peluang usaha serta harga sumberdaya yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.

1.2 Perumusan Masalah

Seiring dengan perubahan waktu, jumlah penduduk suatu wilayah

(39)

seperti sandang, pangan dan papan menjadi bertambah, sedangkan lahan yang tersedia tidak mengalami perubahan dalam ukurannya, yang pada akhirnya akan mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar oleh setiap orang. Berawal

dari kondisi seperti inilah maka muncul fenomena bahwa dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar setiap orang dalam jangka waktu yang cukup lama

akan menimbulkan apa yang disebut kemiskinan.

Pembangunan yang tidak dikaitkan dengan masalah kemiskinan akan menimbulkan permasalahan jangka pendek dan jangka panjang yang pada

akhirnya akan membahayakan proses pembangunan itu sendiri. Mengangkat permasalahan kemiskinan dan mencari alternatif upaya penanggulangannya menjadi suatu prioritas dalam pembangunan merupakan hal yang sangat tepat.

Kebijakan makro seperti pertumbuhan ekonomi, pengurangan angka pengangguran, dan kebijakan lain yang pro poor merupakan prasyarat penting dalam upaya pengurangan kemiskinan yang tidak dapat ditinggalkan (Tambunan,

2004 dan Squire, 1993). Pelaksanaan kebijakan makro ini saja belum cukup, diperlukan perspektif mikro yang selama ini terabaikan dalam upaya-upaya

penanggulangan kemiskinan. Perspektif mikro dalam dimensi kemiskinan antara lain peningkatan kapabilitas individu dan rumahtangga, perbaikan kelembagaan dan lingkungan. Pembangunan sosial dan ekonomi dapat dilakukan mulai dari

tingkat bawah (Harniati, 2007).

Perhatian pemerintah yang besar terhadap program penanggulangan kemiskinan pada tingkat wilayah administratif seperti kabupaten/kota bahkan

(40)

12

informasi dasar mengenai besaran rumahtangga miskin selama ini hanya dapat dipenuhi pada tahun-tahun tertentu yang ada kegiatan pengumpulan data Potensi Desa (PODES) yang pelaksanaannya bersamaan dengan diselenggarakannya

kegiatan Sensus yang dilakukan oleh BPS. Sumber data kedua melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dengan mengumpulkan informasi dari data

kor (core data) dan modul konsumsi yang dilakukan dalam periode loncatan tiga tahun sekali pengamatan dan akan menghasilkan estimasi kemiskinan di tingkat provinsi dan nasional saja. BPS melakukan penghitungan dengan data SUSENAS

Kor yang dilakukan setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan data pada tahun-tahun yang tidak ada kegiatan survei modul konsumsi. BPS hingga saat ini masih mengalami kesulitan dalam memperkirakan penduduk miskin pada tingkat

kabupaten/kota terlebih desa, terutama dalam penggunaan metode perhitungan/penetapan penduduk miskin dengan pendekatan moneter atau non moneter apabila menggunakan data kor tersebut. Hal ini disebabkan oleh

keterbatasan cakupan variabel yang dimiliki untuk dapat menjelaskan fenomena mengenai kemiskinan itu sendiri (Mulia, 2004).

Mengapa mengukur kemiskinan?. Justifikasi yang paling kuat adalah yang diberikan oleh Ravallion (1997) yang mengatakan bahwa “a credible

measure of poverty can be a powerfull instrument for focusing the attention of

policy makers on the living conditions of the poor (pengukuran kemiskinan yang

dapat dipercaya dapat menjadi instrumen yang tangguh bagi penitikberatan perhatian pengambil kebijakan pada kondisi hidup orang miskin)”. Data

(41)

sebuah pengukuran kemiskinan yang baik akan: (1) memungkinkan seseorang untuk mengevaluasi akibat dari pelaksanaan proyek, krisis atau kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, (2) memungkinkan seseorang untuk

membandingkan kemiskinan antar waktu, (3) memungkinkan seseorang untuk membuat perbandingan antar provinsi, kabupaten/kota, dan (4) menentukan target

penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki posisi.

Salah satu upaya untuk mencapai Millenium Development Goals

(MDGs) tujuan pertama yaitu untuk mengurangi angka kemiskinan dan

kerawanan pangan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015 dan menjalankan program pembangunan yang tertuang di dalam triple track strategy yaitu track

ketiga, merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi pedesaan untuk

mengurangi kemiskinan, sejak tahun 2006 Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian telah meluncurkan Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Lokasi sasaran pada Program Aksi Desa Mandiri Pangan adalah desa miskin dan rawan pangan

dengan kelompok sasaran yaitu rumahtangga miskin.

Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu kabupaten pelaksana

Program Aksi Desa Mandiri Pangan karena seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa Kabupaten Pandeglang memiliki jumlah penduduk miskin yang masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 177 895 jiwa atau 15.82 persen pada tahun

2006. Selain itu apabila dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu kabupaten yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks

(42)

14

Faktor yang menjadi penyebab kemiskinan wilayah pedesaan dan faktor penciri rumahtangga miskin di Kabupaten Pandeglang tentunya akan beragam, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu wilayah ke wilayah

lain, bahkan dari satu waktu ke waktu yang lain. Strategi penanggulangan kemiskinan yang bersifat seragam tidaklah tepat. Kebijakan pengurangan

kemiskinan perlu disesuaikan dengan karakteristik tipologi desa dan tidak membuat ketergantungan penduduk miskin.

Permasalahan yang ada adalah pada saat ini belum tersedia informasi

mengenai faktor penyebab kemiskinan wilayah pedesaan berdasarkan tipologi desa dan faktor penciri rumahtangga miskin di Kabupaten Pandeglang untuk merumuskan strategi yang dapat dilakukan agar lebih efektif dan tepat sasaran.

Dalam rangka memberikan kontribusi untuk menjawab permasalahan dan keterbatasan-keterbatasan penelitian tentang kemiskinan, maka tesis ini dirumuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemiskinan dan bagaimana karakteristik desa miskin berdasarkan tipologi desa di Kabupaten Pandeglang?

2. Apa faktor penciri dan bagaimana karakteristik kemiskinan tingkat rumahtangga di daerah pertanian di Kabupaten Pandeglang?

3. Bagaimana strategi penanggulangan kemiskinan yang dapat dilakukan di

Kabupaten Pandeglang di tingkat wilayah dan tingkat rumahtangga?

1.3 Tujuan Penelitian

(43)

1. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kemiskinan dan mengetahui karakteristik desa miskin berdasarkan tipologi desa di Kabupaten Pandeglang.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor penciri dan mengetahui karakteristik rumahtangga miskin di daerah pertanian di Kabupaten Pandeglang.

3. Merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan yang dapat dilakukan di Kabupaten Pandeglang baik di tingkat wilayah maupun tingkat rumahtangga.

Informasi yang lebih baik dan terkini (up-to-date) tentang penduduk miskin sangat penting untuk membantu pemerintah Kabupaten Pandeglang dalam

mendesain kebijakan yang efektif untuk memerangi kemiskinan. Siapa yang miskin?. Berapa jumlah penduduk yang miskin?. Dimana mereka tinggal?. Kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk membantu penduduk miskin tidak

dapat berjalan dengan sukses jika pemerintah daerah tidak mengetahui siapa yang miskin dan bagaimana kemungkinan penduduk miskin merespon beberapa strategi pertumbuhan yang dilaksanakan pemerintah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat baik

untuk masyarakat, para peneliti, akademisi serta pemerintah. Hasil rumusan metodologi identifikasi diharapkan berguna untuk analisis desa miskin oleh

berbagai pihak yang membutuhkan pada berbagai ruang lingkup kegiatan terutama di pedesaan.

Tujuan terpenting dari informasi kemiskinan adalah untuk mendukung

(44)

16

penanganan penduduk miskin secara tepat dan terarah. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian lanjutan dalam konteks pengurangan kemiskinan dan pencegahan pertambahan penduduk

miskin.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup dan keterbatasan dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian tentang karakteristik dan faktor penyebab kemiskinan di wilayah desa dilakukan dengan menggunakan data Podes 2005 dengan membagi

wilayah sesuai tipologinya yaitu: (1) berdasarkan jenis usaha (pertanian dan non pertanian), (2) jumlah penduduk (jarang, sedang dan padat), dan (3) letak

geografis (pesisir dan non pesisir).

2. Analisis rumahtangga miskin hanya dilakukan pada desa yang memiliki jenis usaha dibidang pertanian. Karakteristik rumahtangga pada desa yang dibagi

(45)

2.1 Pengertian Kemiskinan

Papilaya (2006) menyatakan terdapat dua sudut pandang dalam

memahami substansi kemiskinan di Indonesia. Pertama, kelompok pakar dan aktivis LSM yang mengatakan bahwa, kemiskinan pada hakekatnya adalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam kehidupan masyarakat,

khususnya masyarakat pedesaan. Kedua, kelompok para pejabat yang melihat inti dari masalah kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta dan

pendidikan yang rendah.

2.1.1 Pengertian Kemiskinan Menurut Pakar

Pengertian kemiskinan sangat beragam, yaitu mulai dari sekedar ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan hingga pengertian lebih luas yang memasukkan komponen-komponen

sosial dan moral. Definisi kemiskinan mengalami perkembangan sesuai dengan penyebabnya yaitu, pada awal 1990-an definisi kemiskinan telah diperluas tidak

hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tetapi juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Belakangan ini pengertian kemiskinan telah mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan dan

ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2003).

Menurut Sajogyo (1978), mereka yang disebut miskin adalah jika

(46)

18

kota tiap tahun tiap jiwa. Pembatasan garis kemiskinan tersebut masih terbatas

pada pemenuhan pangan, belum memperhitungkan kebutuhan lainnya.

Definisi orang miskin hanya dari sudut pemenuhan konsumsi saja sudah

tidak cukup karena: (1) pengertian ini sering tidak berhubungan dengan definisi kemiskinan yang dimaksud oleh orang miskin itu sendiri dan tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan, (2) pengertian tersebut dapat menjerumuskan

kepada kesimpulan yang salah, bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai, dan (3) pengertian tersebut

telah terbukti tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika merumuskan kebijakan lintas sektoral dan bisa kontra produktif (Smeru, 2002). Todaro dan Smith (2003) mendeskripsikan siapa sesungguhnya kaum miskin (the poor),

sebagai berikut :

Mereka itu berjumlah lebih dari tiga perempat total penduduk dunia yang kini hampir mencapai enam milyar jiwa, nasibnya jauh kurang beruntung karena sehari-hari harus hidup dalam kondisi serba kekurangan. Mereka tidak memiliki rumah sendiri dan kalau pun punya, ukurannya begitu kecil. Persediaan makanan yang ada juga acap kali tidak memadai. Kondisi kesehatan mereka pada umumnya tidak begitu baik atau bahkan buruk, dan banyak dari begitu dari mereka buta huruf serta menganggur. Masa depan mereka untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik biasanya suram atau sekurang-kurangnya tidak mampu.

Dapat disimpulkan bahwa kemiskinan sesungguhnya bukanlah semata-mata masalah kekurangan pendapatan dan harta(lack of income and assets), akan

(47)

2.1.2 Pengertian Kemiskinan Menurut Pemerintah

Kriteria terbaru mengenai rumahtangga miskin telah ditetapkan oleh BPS (2006), pada 14 kriteria rumahtangga miskin yang digunakan dalam rangka

penyaluran Bantuan Langsung (BLT). Kategorisasi rumahtangga miskin berdasarkan pendekatan pengeluaran rumahtangga per bulan, yaitu: (1) sangat miskin: kurang dari Rp 480 000, (2) miskin: antara Rp 480 000– Rp 700 000, dan

(3) hampir miskin, yaitu lebih dari Rp 700 000. Pengertian kemiskinan menurut pemerintah disajikan pada Tabel 4.

BAPPENAS (2005) menyatakan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan

kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain: terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari

perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik baik bagi perempuan maupun laki-laki. BAPPENAS

menggunakan beberapa pendekatan utama dalam rangka memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin. Pendekatan tersebut antara lain: pendekatan kebutuhan dasar

(basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan

kemampuan dasar (human capability approach) serta pendekatan objective dan

subjective.

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu

(48)

20

memenuhi kebutuhan minimum. Kebutuhan dasar tersebut antara lain: pangan,

sandang, papan, kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.

Tabel 4. Pengertian Kemiskinan Menurut Beberapa Lembaga Pemerintah

Lembaga Pemerintah

Pengertian Kemiskinan

BAPPENAS

(2005)

Kemiskinan mencakup unsur-unsur: (1) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, transportasi, dan sanitasi), (2) kerentanan, (3)

ketidakberdayaan, dan (4) ketidakmampuan menyalurkan aspirasinya KPK

(2003)

Secara umum masyarakat miskin ditandai oleh ketidakberdayaan: (1) tidak mempunyai daya/kemampuan untuk memenuhi kebutuhan

dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan, dan

kesehatan (basic need deprivation)

(2) Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk melakukan kegiatan usaha produktif

(3) Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk menjangkau akses

sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccessibility)

(4) Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri, senantiasa mendapat perlakukan diskriminatif, mempunyai perasaaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik (5) Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk membebaskan diri dari

mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah

BPS (2006)

14 kriteria rumahtangga miskin, yaitu:

(1) Luas lantai bangunan tempat tinggal yang dimanfaatkan untuk aktivitas sehari-hari

(2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas terdiri dari tanah/bambu/kayu berkualitas rendah

(3) Jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas terdiri dari bambu/kayu berkualitas rendah

(4) Fasilitas tempat buang air besar (jamban/kakus) digunakan secara bersama-sama atau menggunakan secara umum

(5) Sumber air minum adalah mata air yang tidak terlindung/sungai/air hujan

(6) Sumber penerangan utama bukan listrik

(7) Jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari dari kayu/arang/minyak tanah

(8) Jarang atau tidak pernah membeli dagang/ayam/susu setiap minggunya

(9) Anggota rumahtangga hanya mampu menyediakan makan dua kali dalam sehari

(10) Tidak mampu membeli pakaian baru minimal satu stel setiap tahun (11) Bila jatuh sakit tidak berobat karena tidak ada biaya untuk berobat (12) Pekerjaan utama kepala keluarga sebagai buruh kasar dan atau tidak

bekerja

(13) Pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala keluarga SD ke bawah (14) Ada tidaknya barang dalam keluarga yang dapat dijual dengan nilai

(49)

500.000,-Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya

penguasaan asset dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang

dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar

seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya

kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan

(the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang

harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri.

2.1.3 Pengertian Miskin Menurut Lembaga Multilateral

Menurut World Bank (2000) kemiskinan merupakan suatu masalah yang

bersifat multidimensi sebagai berikut:

Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom.

Walaupun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering

(50)

22

income and assets) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan,

pakaian, perumahan, tingkat pendidikan dan kesehatan yang dapat diterima, yang semuanya berada dalam lingkup dimensi ekonomi. Aset dalam hal ini mencaku:

human assets, natural assets, physical asset, financial assets dan social assets

(World Bank, 2000). Ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and

asset) bahkan telah dilihat salah satu penyebab utama dari kemiskinan.

Kemiskinan menurut World Bank adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan pendapatan US$ 1.00 per hari bagi negara yang tergolong

negara berpendapatan sangat rendah (very low-income countries). Kemiskinan diukur dengan standar pendapatan US$ 2.00 untuk negara-negara tergolong negara dengan pendapatan sedang (middle-level income countries) dan US$ 14.00

bagi negara-negara kaya.

2.2 Jenis-jenis Kemiskinan

Sumodiningrat et al. (1999) menyatakan kemiskinan sekurang-kurangnya diklasifikasikan dalam lima kelas, yaitu: pertama kemiskinan absolut; apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan atau jumlah

pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain: kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, papan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Kedua, kemiskinan relatif; apabila seseorang

yang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya. Ketiga, kemiskinan

(51)

disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap

dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya, taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan yang rendah, lapangan

pekerjaan yang terbatas dari ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kelima, kemiskinan sementara; terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang

bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang

menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Kartasasmita (1996), keadaan kemiskinan secara umum diukur dengan tingkat pendapatan, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut

dan kemiskinan relatif. Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis kemiskinan absolut atau dengan kata lain pendapatan yang dihasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup

minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut umumnya disandingkan dengan kemiskinan relatif. Kemiskinan realtif adalah

keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yaitu antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada garis kemiskinan dan kelompok

masyarakat yang lebih kaya. Berdasarkan pola waktu, kemiskinan dapat dibedakan menjadi empat pola, yaitu: pertama Persistent Poverty, kemiskinan yang kronis atau turun-menurun dan secara umum terjadi di daerah yang memiliki

sumberdaya alam kritis atau daerah yang terisolasi. Kedua adalah Cyclical

(52)

24

KetigaSeasonal Poverty, kemiskinan bersifat musiman yang secara umum terjadi

di kasus nelayan dan petani tanaman pangan. Keempat Accidental Poverty, kemiskinan yang terjadi akibat bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan

tertentu yang menyebabkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat mengalami penurunan.

Kartasasmita (1996), kemiskinan juga dapat dikaji berdasarkan keadaan

penduduk dan potensi wilayah. Dari segi keadaan penduduk, penentuan penduduk miskin didasarkan pada garis kemiskinan. Adapun potensi wilayah yang

digunakan untuk menetapkan wilayah-wilayah atau desa-desa yang dikategorikan sebagai wilayah atau desa tertinggal. Penduduk miskin secara umum terkait erat dengan wilayah miskin. Wilayah dengan potensi daerah yang tertinggal besar

kemungkinan menyebabkan kemiskinan penduduk.

2.3 Faktor Penyebab dan Karakteristik Desa Miskin

Informasi tentang profil kemiskinan di pedesaan sangat diperlukan oleh pengambil kebijakan terutama untuk penanganan masalah kemiskinan. Keterangan mengenai jenis persoalan dan akar permasalahan yang dihadapi

berbagai jenis segmen penduduk miskin dapat membantu perencana program pengentasan kemiskinan di pedesaan sehingga dapat lebih sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin tersebut. Berbagai program pengentasan kemiskinan

yang didasari pemahaman menyuluruh mengenai karakteristik sosial demografi dan dimensi ekonomi penduduk miskin dapat membantu perencanaan,

(53)

Karakteristik utama kemiskinan berkaitan dengan kondisi dan potensi

wilayah miskin, yang dalam banyak hal berkaitan erat dengan penyebab utama kemiskinan. Penyebab utama kemiskinan berkaitan dengan faktor-faktor yang

menjadi penyebab kemiskinan, baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam, kualitas sumberdaya manusia maupun hal-hal yang berhubungan dengan kegagalan dalam upaya meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

World Bank (2000), penyebab kemiskinan antara lain: (1) kepemilikan

tanah dan modal yang terbatas, (2) sarana dan prasarana yang dibutuhkan terbatas,

(3) pembangunan yang bias kota, (4) perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, (5) perbedaan sumberdaya manusia dan sektor ekonomi, (6) rendahnya produktivitas, (7) budaya hidup yang jelek, (8) tata pemerintahan yang

buruk, dan (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Indikator utama kemiskinan menurut BAPPENAS (2005), adalah: (1) kecukupan dan mutu pangan terbatas, (2) mutu dan akses layanan kesehatan

terbatas, (3) akses dan mutu layanan pendidikan rendah dan terbatas, (4) kesempatan kerja dan berusaha terbatas, (5) perlindungan terhadap aset usaha

rendah dan perbedaan upah, (6) akses layanan perumahan dan sanitasi terbatas, (7) akses terhadap air bersih terbatas, (8) kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah yang lemah, (9) kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam memburuk,

serta akses masyarakat terhadap sumberdaya alam terbatas, (10) jaminan rasa aman rendah, (11) partisipasi rendah, (12) beban kependudukan tinggi yang disebabkan oleh tanggungan keluarga yang besar, dan (13) tata kelola

(54)

26

Sahdan (2005), penyebab utama kemiskinan desa adalah: (1) pengaruh

faktor pendidikan yang rendah, (2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian, (3) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian, (4) alokasi anggaran

kredit yang terbatas, (5) ketersediaan bahan kebutuhan dasar yang terbatas, (6) kebijakan pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota), (7) pengelolaan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional, (8) produktivitas

dan pembentukan modal yang masih rendah, (9) budaya menabung yang belum berkembang di kalangan masyarakat desa, (10) tata pemerintahan yang buruk

(bad governance) yang secara umum masih berkembang di pedesaan, (11) tidak

adanya jaminan sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat desa, serta (12) jaminan kesehatan yang rendah. Mulia (2004),

penyebab utama kemiskinan di pedesaan adalah ketidakmampuan masyarakat menghadapi kondisi-kondisi yang berubah, karena: (1) kondisi kesehatan dan fisik yang lemah akibat kekuarangan gizi dan penyakit, (2) pengalaman yang menjadi

sumber pengetahuan tidak relevan dengan perubahan zaman, (3) ketiadaan akses terhadap teknologi, (4) sumber pendapatan tidak terjamin, (5) kondisi

pemerintahan, hukum dan politik tidak berpihak pada kaum miskin, (6) bias perkotaan, dan (7) infrastruktur pedesaan yang terbatas.

Selama ini belum ada metode yang digunakan oleh BPS maupun

pemerintah dalam menentukan wilayah desa miskin, yang telah ada adalah penentuan desa tertinggal yang dilakukan pada tahun 1993 dan 1994 yang lalu. Pendekatan ini masih memiliki beberapa kelemahan. Menurut Mulia (2004),

(55)

1. Faktor-faktor kelemahan penghitungan IDT tahun 1990

a. Penetapan variabel sangat riskan karena sangat dibatasi dengan data yang terisi lengkap saja yang dapat diperhitungkan.

b. Masih ada kerancuan dalam penetapan status perkotaan atau pedesaan. c. Penetapan kriteria desa dengan sarana komunikasi telepon, menjadi lemah

dengan kondisi desa miskin dengan penduduk mayoritas miskin skor

meningkat apabila ada satu rumahtangga yang memiliki telepon.

d. Penetapan pasar sebagai kriteria apabila memiliki pasar dengan bangunan

permanen, semi permanen atau toko/kios maka skor meningkat, sebaliknya desa dengan pasar tanpa bangunan dikreteriakan miskin.

e. Jarak kelurahan/desa ke ibu kota kecamatan dengan skor semakin besar

apabila berdekatan dengan ibukota kecamatan. Hal ini semakin lemah apabila ada desa yang jauh dari ibu kota kecamatan yang bersangkutan akan tetapi dekat dengan ibu kota kecamatan tetangga dan desa tersebut

menjadi salah terklasifikasi.

2. Faktor-faktor kelemahan penghitungan IDT tahun 1994

a. Penetapan variabel fasilitas pendidikan dengan memberikan skor bila memiliki fasilitas SMP/SMA, apakah dapat dinyatakan sebagai desa yang tidak tertinggal.

b. Cara buang sampah sebagian besar penduduk ke lubang dapat menaikkan skor sementara itu apabila sebagian membuang ke kali mendapat nilai skor yang lebih kecil. Masalahnya adalah apabila sebagian besar penduduk

Gambar

Gambar  2.  Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia Menurut Daerah, Tahun
Gambar 4.  Pengaruh-Pengaruh terhadap Strategic Analysis
Gambar 5. Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 5.  Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten  Pandeglang,Tahun 1993-2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa peningkatan produksi keripik pare ke depan lebih menjanjikan dari pada keripik sayur lainnya, disamping pula ada

Tapi hal itu tidak berlaku bagi Jingga, dia mati-matian membenci Janus, sejak hari pertama mereka bertemu setahun lalu.. Tepatnya ketika Jingga mengikuti seleksi masuk tim

Faktor keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengaruh pihak-pihak yang memiliki hubungan darah secara langsung serta kerabat dekat terhadap status anak

BAGI HARI PENYERAHAN DIPLOMA SESI DISEMBER 2018 & JUN 2018 POLITEKNIK SULTAN IDRIS SHAH... Bayaran bagi hari Penyerahan Diploma bagi sesi Disember 2018 dan Jun 2019

Partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Partisipasi siswa dalam pembelajaran

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh rasio keuangan (rasio likuiditas, rasio leverage, rasio aktivitas, rasio profitabilitas) dan ukuran

Untuk menguji permasalahan kedua yaitu untuk mengetahui ramalan penjualan pertahun dari penjualan kopi rakyat di Desa Sidomulyo dan Desa Garahan digunakan analisa trend

[r]