BERBAGAI JENIS PENGEKSTRAK YANG DIKOMBINASIKAN DENGAN UNSUR MIKRO TERHADAP PERTUMBUHAN DAN
PRODUKSI TANAMAN SAWI (Brassica rapa L.) (Skripsi)
Oleh
ANDRISA TIARANI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
PENGARUH JENIS EKSTRAK KOMPOS KEPALA UDANG DENGAN BERBAGAI JENIS PENGEKSTRAK YANG DIKOMBINASIKAN
DENGAN UNSUR MIKRO TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN SAWI (Brassica rapa L.)
Oleh
ANDRISA TIARANI
Produksi udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, yang diperkirakan rata-rata meningkat 7,4% per tahun. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merilis data adanya kenaikan produksi udang nasional sebesar 2,6% dari 338.060 ton pada 2009 menjadi 352.600 ton pada 2010. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah produksi pada bagian kulit dan kepala. Limbah udang jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak, bahkan sering dibiarkan membusuk. Limbah udang harus mengalami beberapa tahapan teknologi agar dapat dimanfaatkan di bidang pertanian, karena tidak dapat digunakan secara langsung tanpa sentuhan teknologi. Teknik tersebut antara lain pengomposan dan ekstraksi untuk diformulasikan menjadi pupuk organik cair. Unsur hara mikro dapat ditambahkan ke dalam formula pupuk organik cair tersebut guna bersinergi dengan senyawa aktif dalam ekstrak limbah kepala udang yang diharapkan lebih berguna juga dalam mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman.
mikro (M0) dan dengan pemberian unsur mikro (M1). Data yang diperoleh dirata-rata berdasarkan ulangannya, kemudian diuji homogenitas dan aditivitas dengan uji Bartlett dan uji Tukey. Selanjutnya data diolah dengan analisis ragam pada taraf nyata 5% dan perbedaan perlakuan diuji dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%.
Ekstrak kompos kepala udang hasil ekstraksi dengan pengekstrak asam asetat lebih baik dibandingkan dengan ekstrak kompos kepala udang hasil ekstraksi dengan pengekstrak air destilata dan asam sitrat ,dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman sawi seperti ditunjukkan oleh bobot akar, tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot bagian atas tanaman sawi. Interaksi jenis ekstak kompos kepala udang dengan unsur mikro terbaik terjadi pada kombinasi perlakuan ekstrak kompos kepala udang hasil ekstraksi dengan pengekstrak asam asetat yang dikombinasikan dengan pemberian unsur mikro (mangan, seng, besi, boron dan tembaga) terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi yang ditunjukkan oleh persentase peningkatan produksi (bobot basah bagian atas tanaman) tertinggi mencapai 103%.
Halama
E. Syarat Penanaman pada Media Tanpa Tanah... 18
III. BAHAN DAN METODE ... 22
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 22
B. Alat dan Bahan ... 22
C. Metode Penelitian... 23
D. Pelaksanaan Penelitian ... 23
1. Pengomposan ... 23
2. Ekstraksi Kompos Kepala Udang ... 24
3. Penyiapan Larutan Stok Unsur Hara Mikro... 24
Kepala Udang... 25
E. Analisis Awal ... 26
F. Pengamatan ... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 28
A. Hasil 1. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang dengan Berbagai Jenis pengekstrak dengan Unsur Mikro terhadap Variabel Pengamatan... 28
2. Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang Dengan Berbagai Jenis Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro Tinggi Tanaman Sawi ... 29
3. Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang Dengan Berbagai Jenis Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap Jumlah Daun Tanaman Sawi... 31
4. Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang Dengan Berbagai Jenis Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap Bobot Basah Akar Tanaman Sawi .. 32
5. Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang Dengan Berbagai Jenis Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap Bobot Kering Akar Tanaman Sawi 33 6. Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang Dengan Berbagai Jenis Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap Bobot Basah Daun Tanaman Sawi.. 35
Teks
Tabel Halaman
1. Sifat Fisik Asam Asetat... 12
2. Hasil Analisis Kimia Kompos Kepala Udang... 26
3. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang dengan Berbagai Jenis Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap Komponen Pertumbuhan Tanaman Sawi (tinggi, jumlah daun, dan bobot akar) ... 29
4. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang dengan Berbagai Jenis Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap Komponen Produksi Tanaman Sawi
(bobot basah dan kering bagian atas tanaman) ... 29
5. Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang dengan Berbagai Jenis Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap
terhadap Tinggi Tanaman Sawi (cm)... 30
6. Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang dengan Berbagai Jenis Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap
terhadap Jumlah Daun Tanaman Sawi (helai) ... 31
7. Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang dengan Berbagai Jenis Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap
terhadap Bobot Basah Akar Tanaman Sawi (g tan-1)... 32 8. Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang dengan Berbagai Jenis
Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap
terhadap Bobot Kering Akar Tanaman Sawi (g tan-1) ... 34 9. Pengaruh Jenis Ekstrak Kompos Kepala Udang dengan Berbagai Jenis
Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap
Pengekstrak yang Dikombinasikan dengan Unsur Mikro terhadap
terhadap Bobot Kering Bagian Atas Tanaman (g tan-1)... 36
Lampiran 13. Data Tinggi Tanaman Sawi (cm) ... 46
14. Uji Homogenitas Tinggi Tanaman Sawi... 46
15. Analisis Ragam Tinggi Tanaman Sawi (cm) ... 47
16. Data Jumlah Daun Tanaman Sawi (helai)... 47
17. Uji Homogenitas Jumlah Daun Tanaman Sawi ... 48
18. Analisis Ragam Jumlah Daun Tanaman Sawi (helai)... 48
19. Data Bobot Basah Akar Tanaman Sawi (g tan-1) ... 49
20. Uji Homogenitas Bobot Basah Akar Tanaman Sawi... 49
21. Analisis Ragam Bobot Basah Akar Tanaman Sawi (g tan-1) ... 50
22. Data bobot kering akar tanaman sawi (g tan-1) ... 50
23. Uji Homogenitas Bobot Kering Akar Tanaman Sawi... 51
24. Analisis Ragam Bobot Kering Akar Tanaman Sawi (g tan-1)... 51
34. Data Bobot Basah Bagian Atas Tanaman Sawi (g tan-1) ... 52
35. Uji Homogenitas Bobot Basah Bagian Atas Tanaman Sawi ... 52
36. Analisis Ragam Bobot Basah Bagian Atas Tanaman Sawi (g tan-1) 53 37. Data Bobot Kering Bagian Atas Tanaman Sawi (g tan-1) ... 53
38. Uji Homogenitas Bobot Kering Bagian Atas Tanaman Sawi ... 54
39. Analisis Ragam Bobot Kering Bagian Atas Tanaman Sawi (g tan-1) ... 54
Teks
Gambar Halaman
1. Sketsa media tumbuh tumbuh tanaman sawi ... 25
A. Latar Belakang
Produksi udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, yang
diperkirakan rata-rata meningkat 7,4% per tahun. Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) merilis data adanya kenaikan produksi udang nasional sebesar
2,6% dari 338.060 ton pada 2009 menjadi 352.600 ton pada 2010 (Trubus, 2011).
Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang
menjadi limbah produksi pada bagian kulit dan kepala (Prasetiyo, 2004).
Seiring berkembangannya industri pengolahan udang, limbah yang dihasilkan
terus meningkat. Limbah udang jika tidak ditangani secara tepat, akan
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, karena selama ini pemanfaatan
limbah cangkang dan kepala udang hanya terbatas untuk pakan ternak dan terasi,
bahkan sering dibiarkan membusuk.
Saat ini limbah udang belum diaplikasikan pada bidang pertanian. Padahal di
dalam limbah udang tersebut diperkirakan terdapat bahan atau senyawa kimia
aktif yang diperkirakan dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Limbah udang
harus mengalami beberapa tahapan proses agar dapat dimanfaatkan di bidang
Namun demikian, sifat kompos yang bulky seringkali menyebabkan kesulitan dalam pengaplikasiannya. Selain itu dengan kandungan hara yang rendah
menyebabkan kompos selalu diaplikasikan dalam volume yang besar, sehingga
akibatnya menyulitkan dalam hal pengangkutan, tenaga kerja, dan biaya (Taisa,
2009). Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka harus dicari pemecahan
masalahnya. Alternatif yang diterapkan yaitu dengan cara ekstraksi untuk
mengambil senyawa aktif dalam kompos. Menurut Giglioti et al. (2002), senyawa organik aktif yang terekstrak dari kompos mempunyai peranan yang tidak berbeda
denganbulkkomposnya.
Ekstraksi dapat menggunakan berbagai pengekstrak, baik air, asam maupun alkali.
Dengan ekstraksi diharapkan senyawa organik aktif yang dapat merangsang
pertumbuhan tanaman yang diperkirakan terdapat dalam limbah udang dapat
terambil. Bahan ekstrak tersebut dapat diformulasikan menjadi pupuk organik
cair. Telah diketahui bahwa, selain dapat dilakukan melalui akar, pemupukan
dapat pula diberikan melalui daun. Menurut Lingga (1999), bukan hanya akar
yang dapat mengabsorpsi unsur hara, tetapi bagian tanaman yang lainnya seperti
batang dan daun dapat pula mengabsorpsi unsur hara yang diberikan.
Beberapa unsur hara mikro dapat ditambahkan dalam formulasi pupuk organik
cair tersebut yang diharapkan bersinergi dengan senyawa ekstrak limbah kepala
udang, yang diharapkan dapat lebih berdaya guna dalam mempengaruhi
pertumbuhan tanaman. Unsur hara mikro sudah biasa ditambahkan melalui pupuk
cair. Pemupukan melalui daun berjalan lebih cepat karena tanaman dapat langsung
itu keuntungan pemupukan melalui daun adalah cairan pupuk yang jatuh ke media
tidak hilang melainkan dapat diserap kembali oleh akar (Taisa, 2009).
Potensi ekonomi dari penelitian ini bisa sangat menguntungkan, karena dapat di
lihat dari bahan utama ekstrak yang berupa limbah memiliki nilai jual yang
rendah. Penelitian ini juga dapat dilihat dari potensi lingkungannya karena dapat
mengurangi polusi lingkungan dengan memanfaatkan limbah.
Berdasarkan pemikiran di atas, perlu dilakukan kajian sistematik mengenai
pemanfaatan limbah industri udang, khususnya untuk mendukung pengembangan
pupuk cair alternatif di bidang pertanian.
B. Tujuan
Tujuan dari penilitian ini adalah untuk mengetahui jenis ekstrak kompos kepala
udang terbaik hasil ekstraksi dengan air destilata, asam sitrat, dan asam asetat
yang dikombinasikan dengan pemberian unsur hara mikro (mangan, seng, besi,
boron dan tembaga) yang diaplikasikan pada tanaman sawi (Brassica rapa).
C. Kerangka Pemikiran
Pupuk adalah bahan yang digunakan untuk menambah unsur hara dalam tanah
untuk memenuhi kebutuhan tanaman dalam pertumbuhannya yang baik, sehingga
dapat berproduksi secara optimal, yang penambahannya dapat dilakukan melalui
tanah maupun tubuh tumbuhan. Pupuk berdasarkan bentuknya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: (1) pupuk padat dan (2) pupuk cair. Pupuk padat
fertilizer) dalam bentuk suspensi umumnya diaplikasikan melalui daun tanaman, tetapi juga dapat diaplikasikan melalui bagian-bagian tanaman lainnya. Pupuk
cair juga biasanya digunakan pada fase pembibitan tanaman dikarenakan
penggunaanya yang lebih praktis.
Salah satu sumber pupuk organik adalah bahan organik. Sumber bahan organik
dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami,
brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah
industri yang menggunakan bahan pertanian, peternakan dan perikanan, serta
limbah sampah kota. Kompos merupakan salah satu produk pembusukan dari
limbah tanaman dan hewan, hasil dari proses dekomposisi. Kepala udang
merupakan limbah industri udang yang dapat dijadikan salah satu sumber
alternatif bahan organik untuk dijadikan pupuk organik (kompos).
Limbah udang yang terdiri dari kepala dan kulit masih mempunyai kandungan
nutrisi yang cukup tinggi, adalah 25 – 40% protein, 45 – 50% kalsium karbonat,
15 - 20% kitin (Altschul, 1976). Menurut Sudibya (1998), komposisi nutrien
limbah kepala udang windu segar adalah protein 45,54 %, lemak 5,52 %, serat
kadar 15,31 %, kalsium. 9,58 % dan pospor 1,63 %. Kepala udang yang telah
dikeringkan mempunyai kandungan protein 45,37 %, lemak 5,91 %, air 9,54 %
dan abu 18,28 %.
Salah satu kandungan yang bermanfaat dalam limbah kepala udang adalah kitin
tipis, berwarna putih atau kuning, tidak berbau. Kitosan merupakan produk
diasetilasi kitin melalui proses kimia menggunakan enzim kitin diasetilase.
Kitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas. Namun
dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang
mempunyai sifat kimia yang lebih baik. Salah satu turunan kitin adalah kitosan.
Kitosan merupakan senyawa yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis kitin
menggunakan basa kuat. Saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari kitin dan
kitosan serta turunannya di industri makanan, pemrosesan makanan, bioteknologi,
pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan (Balley and Ollis 1977). Kitin dan
kitosan bisa diperoleh dengan mudah dari cangkang udang atau kepiting.
Mengingat potensi negara maritim Indonesia, perlu dipikirkan alternatif
pemanfaatan kitin atau kitosan yang memiliki nilai jual tinggi, salah satunya
adalah untuk bahan dasar pupuk organik cair seperti dalam penelitian ini.
Untuk memanfaatkan limbah industri udang di bidang pertanian, antara lain
dijadikan pupuk cair, maka diperlukan proses pengomposan. Proses dilanjutkan
dengan proses ekstraksi untuk mengambil senyawa organik aktif yang terdapat
dalam kepala udang tersebut. Ekstraksi adalah proses pemisahan satu atau lebih
komponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solvent) sebagai separating agent (Taisa, 2009). Proses ekstraksi sangat tergantung dari
jenis zat pengekstrak, antara lain air, asam asetat, dan asam sitrat.
Pengaruh aplikasi ekstrak kompos kepala udang terhadap pertumbuhan tanaman
(2011) menyimpulkan bahwa konsentrasi aplikasi ekstrak 75% merupakan
konsentrasi terbaik ekstrak kompos kepala udang yang diaplikasikan pada
tanaman sawi.
Unsur mikro diperlukan dalam jumlah sedikit tetapi pengaruhnya sangat
signifikan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Penambahan unsur mikro ke
dalam ekstrak kompos kepala udang diharapkan dapat meningkatkan manfaat dari
ekstrak kompos kepala udang tersebut. Unsur mikro sudah biasa diformulasikan
dalam bentuk pupuk cair, yang diaplikasikan melalui daun. Unsur hara mikro
tersebut adalah besi (Fe), Mangan (Mn), tembaga (Cu), Boron (B) dan seng (Zn).
Untuk mengetahui pengaruh jenis ekstrak kepala udang hasil ekstraksi dengan
berbagai jenis pengekstrak yang dikombinasikan dengan pemberian unsur mikro
terhadap tanaman, maka campuran ekstrak tersebut perlu diaplikasikan pada
tanaman. Tanaman sawi digunakan karena berumur pendek dan banyak
dibudidayakan sebagai tanaman sayuran.
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Ekstrak kompos kepala udang hasil ekstraksi dengan pengekstrak asam
asetat lebih baik daripada hasil ekstraksi dengan pengekstrak lain dalam
mempengaruhi pertumbuhan tanaman sawi.
2. Ekstrak kompos kepala udang yang dikombinasikan dengan pemberian
unsure hara mikro lebih baik daripada hasil ekstraksi dengan pengekstrak
3. Terjadi interaksi pengaruh jenis ekstrak kompos kepala udang hasil ekstraksi
berbagai jenis pengekstrak dan pemberian unsur mikro (mangan, seng, besi,
A. Limbah Kepala Udang
Limbah udang sering kali menimbulkan masalah lingkungan karena mudah
busukdan sangat berbau. Hal ini terutama karena limbah udang banyak
mengandung senyawa organik, terutama protein sebesar 23-27% dan kepala
udang merupakan tempat berkumpulnya enzim-enzim pemecah bahan organik
serta bakteri pembusuk. Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala,
dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan
invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969).
Kepala udang kini tak lagi dibuang-buang sebagai limbah tak tersayang.
Ternyata, dalam kepala si bongkok itu tersimpan bahan industri kitin dan kitosan
dalam jumlah besar. Itu telah dibuktikan oleh Syarif Bastaman dari Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian (BPPIHP) Bogor. Menurut
penelitiannya, kadar kitin dalam kepala udang mencapai 25-30% (Bastaman,
1989). Selama ini kepala udang dibiarkan membusuk. Hanya sebagian kecil yang
diolah menjadi terasi, sambal petis, atau kerupuk udang. Padahal, jika kepala
udang seIndonesia dikumpulkan, jumlahnya bisa mencapai 9-11 ribu ton/setahun.
Dari kepala udang itu juga bisa diperoleh bahan kitosan, zat kimia yang tak kalah
udang itu akan menghasilkan kitin atau kitosan (Synowiecki dan Al-Khateeb,
2003).
Zat pengatur tumbuh tanaman atau ZPT digunakan untuk mengendalikan dan
mendukung kelangsungan hidupnya. Unsur ZPT ini merupakan hormon pada
tumbuhan yang merupakan senyawa kimia yang diekskresi oleh suatu organ atau
jaringan yang dapat mempengaruhi organ atau jaringan lain dengan cara khusus.
Berbeda dengan yang diproduksi oleh hewan senyawa kimia pada tumbuhan
sering mempengaruhi sel-sel yang juga penghasil senyawa tersebut disamping
mempengaruhi sel lainnya. Dan salah satu tipe Zat Pengatur Tumbuhan tersebut
yang telah diidentifikasi yaitu auksin.
Kitin ditemukan sebagian besar di dalam hewan tak bertulang belakang, krustacea,
serangga, ganggang, dinding sel jamur dan ragi (Synowiecki dan Al-Khateeb, 2003).
Kitosan merupakan bahan yang dapat membantu mempercepat proses
pertumbuhan pada tanaman. Kitin adalah polisakarida struktural yang digunakan
untuk menyusun eksoskleton dari artropoda (serangga, laba-laba, krustase, dan
hewan-hewan lain sejenis). Kitin tergolong homopolisakarida linear yang
tersusun atas residu N-asetilglukosamin pada rantai beta dan memiliki monomer
berupa molekul glukosa dengan cabang yang mengandung nitrogen. Kitin murni
mirip dengan kulit, namun akan mengeras ketika dilapisi dengan garam kalsium
karbonat Kitin membentuk serat mirip selulosa yang tidak dapat dicerna oleh
vertebrata. Kitosan merupakan turunan kitin yang diperoleh melalui proses
asam organik encer seperti asam formiat, asam asetat, asam sitrat dan asam
mineral lain kecuali sulfur.
Sifat kitosan sebagai polimer alami mempunyai sifat menghambat absorbsi
lemak, penurun kolesterol, pelangsing tubuh, atau pencegahan penyakit lainnya.
Kitosan bersifat tidak dapat dicernakan dan tidak diabsorbsi tubuh, sehinga lemak
dan kolesterol makanan terikat menjadi bentuk non absorbsi yang tak berkalori.
Sifat khas kitosan yang lain adalah kemampuannya untuk menurunkan kandungan
LDL kolesterol sekaligus mendorong meningkatkan HDL kolesterol dalam serm
darah. Peneliti Jepang menjuluki kitosan sebagai suatu senyawa yang
menunjukkan zat hipokolesterolmik yang sangat efektif. Dengan kata lain, kitosan
mampu menurunkan tingkat kolesterol dalam serum denagn efektif dan tanpa
menimbulkan efek samping.
Pada saat ini limbah kepala udang banyak sekali dimanfaatkan dalam bidang
bioteknologi, industri pangan, farmasi, kesehatan, dan pengolahan limbah, tetapi
sedikit yang dimanfaatkan dalam bidang pertanian.Limbah padat krustasea (kulit,
kepala, kaki) merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik
pengolahan krustasea. Selama ini limbah tersebut dikeringkan dan dimanfaatkan
B. Pengekstrak
Ekstraksi adalah peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) di antara dua pelarut
yang tidak saling bercampur (Nur dan Adijuwana, 1989). Proses ekstrasi sangat
tergantung pada jenis pengekstrak yang digunakan. Pengekstrak yang biasa
digunakan dalam ekstraksi bahan organik antara lain air destilata, asam lemah dan
basa lemah.
1. Air
Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O satu molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen. Air
bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu
pada tekanan 100 kPa (1 bar) and temperatur 273,15 K (0 °C). Zat kimia ini
merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan untuk
melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam-garam, gula, asam, beberapa
jenis gas dan banyak macam molekul organik (Anonim, 2010a).
2. Asam Sitrat
Asam sitrat merupakan asam organik lemah yang ditemukan pada daun dan buah
tumbuhan genus Citrus (jeruk-jerukan). Senyawa ini merupakan bahan pengawet
yang baik dan alami, selain digunakan sebagai penambah rasa masam pada
makanan dan minuman ringan. Dalam biokimia, asam sitrat dikenal sebagai
senyawa antara dalam siklus asam sitrat, yang penting dalam metabolisme
makhluk hidup, sehingga ditemukan pada hampir semua makhluk hidup. Rumus
sebelah kanan). Struktur asam ini tercermin pada nama IUPAC-nya, asam
2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat (Anonim, 2010b)
3. Asam Asetat
Asam asetat termasuk kelompok asam organik. Asam organik ini dikenal sebagai
bakteriostatik (zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri) maupun
bakterisidal (zat yang dapat membunuh bakteri) sehingga kemampuan tersebut
sering dimanfaatkan sebagai bahan pengawet. Asam asetat merupakan cairan
yang jernih, tidak berwarna, dan memiliki bau asam yang menusuk. Asam asetat
dapat larut dalam air, alkohol, lemak, dan gliserol. Selain itu, asam jenis ini juga
dikenal sebagai pelarut yang baik untuk bahan organik (Marshallet al., 2000).
Tabel 1. Sifat fisik asam asetat
Comercial grades Larutan aqueous 99,5% dan 36%
Kelarutan Larut air, alkohol, dan gliserin
Konstanta ionisasi 1,75 x 10-5
Panas jenis 20oC 0,505 kal g-1oC
Densitas larutan 99,5% 1045 g l-1
Densitas larutan 36% 376 g l-1
Bau Menyengat
Rasa Asam
pH larutan 1% 2,78
C. Unsur Hara Mikro
Unsur hara mikro yaitu unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang
relatif sedikit namun mutlak diperlukan. Unsur hara mikro bisa diperoleh melalui
penaburan pupuk kandang atau pupuk organik yang lain, bisa juga dilakukan
melalui penyemprotan dengan pupuk mikro dosis tinggi misal Multimikro,
metalik atau yang lainnya (Ardi, 2009).
1. Besi (Fe)
Pada kondisi aerasi baik dan pH sekitar netral konsentrasi ion Fe+++dan Fe (III) dan Fe (II) adalah bentuk Fe yang dominan di dalam tanah dan larutan nutrisi. Fe
(II) adalah bentuk Fe yang langsung tersedia bagi tanaman, sedangkan Fe (III)
harus direduksi dulu pada permukaan akar sebelum diangkut ke dalam
cytoplasma.
Defisiensi Fe menyebabkan terjadi penimbunan atau akumulasi asam-asam
organik seperti malic dan citric acid dan ini merupakan gejala khas dan umum
dijumpai pada kasus defisiensi Fe. Penimbunan asam-asam organik pada tanaman
yang mengalami defisiensi kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya
aktivitas enzim yang mengkatalisa isomerisasi citrate menjadi isocitrat. Enzim
yang dimaksud adalah enzim aconitase yang mana Fe (II) adalah komponen
2. Mangan (Mn)
Mangan diserap oleh tanaman dalam bentuk Mn++dan ditranslokasikan sebagai kation bebas bervalensi dua di dalam xylem dari akar ke bagian tajuk tanaman.
Dibandingkan dengan unsur hara mikro lain seperti Fe, Cu, Zn, dan Mo, Mn
memiliki stabilitas ikatan yang paling lemah. Karena itu Mn dapat dengan mudah
diganti oleh Mg++dalam berbagai reaksi.
Mn merupakan bagian penyusun enzim superoxide dismutase (SOD). Enzim ini
memiliki peran penting dalam melindungi jaringan tanaman dari efek negatif dari
oksigen radikal bebas yang terbentuk dari reaksi enzimatis yang satu elektronnya
bergabung denagn O2.
3. Tembaga (Cu)
Tembaga (Cu) diserap dalam bentuk ion Cu++ dan mungkin dapat diserap dalam
bentuk senyaewa kompleks organik, misalnya Cu-EDTA (Cu-ethilen diamine
tetra acetate acid) dan Cu-DTPA (Cu diethilen triamine penta acetate acid).
Dalam getah tanaman bik dalam xylem maupun floem hampir semua Cu
membentuk kompleks senyawa dengan asam amino. Cu dalam akar tanaman dan
dalam xylem > 99% dalam bentuk kompleks. Dalam tanah, Cu berbentuk
senyawa dengan S, O, CO3 dan SiO4 misalnya kalkosit (Cu2S), kovelit (CuS),
kalkopirit (CuFeS2), borinit (Cu5FeS4), luvigit (Cu3AsS4), tetrahidrit
[(Cu,Fe)12SO4S3)], kufirit (Cu2O), sinorit (CuO), malasit [Cu2(OH)2CO3],
Fungsi dan peranan Cu antara lain : mengaktifkan enzim sitokrom-oksidase,
askorbit-oksidase, asam butirat-fenolase dan laktase. Berperan dalam
metabolisme protein dan karbohidrat, berperan terhadap perkembangan tanaman
generatif, berperan terhadap fiksasi N secara simbiotis dan penyusunan
lignin.Adapun gejala defisiensi atau kekurangan Cu antara lain : pembungaan dan
pembuahan terganggu, warna daun muda kuning dan kerdil, daun-daun lemah,
layu dan pucuk mongering serta batang dan tangkai daun lemah.
4. Boron (B)
Boron dalam tanah terutama sebagai asam borat (H2BO3) dan kadarnya berkisar
antara 7-80 ppm. Boron dalam tanah umumnya berupa ion borat hidrat B(OH)4-.
Boron yang tersedia untuk tanaman hanya sekitar 5%dari kadar total boron dalam
tanah. Boron ditransportasikan dari larutan tanah ke akar tanaman melalui proses
aliran masa dan difusi. Selain itu, boron sering terdapat dalam bentuk senyawa
organik. Boron juga banyak terjerap dalam kisi mineral lempung melalui proses
substitusi isomorfik dengan Al3+ dan atau Si4+. Mineral dalam tanah yang
mengandung boron antara lain turmalin (H2MgNaAl3(BO)2Si4O2)O20 yang
mengandung 3%-4% boron. Mineral tersebut terbentuk dari batuan asam dan
sedimen yang telah mengalami metomorfosis.
Mineral lain yang mengandung boron adalah kernit (Na2B4O7.4H2O), kolamit
(Ca2B6O11.5H2O), uleksit (NaCaB5O9.8H2O) dan aksinat. Boron diikat kuat
oleh mineral tanah, terutama seskuioksida (Al2O3+Fe2O3). Fungsi boron dalam
protein, fenol dan auksin. Di samping itu boron juga berperan dalam pembelahan,
pemanjangan dan diferensiasi sel, permeabilitas membran, dan perkecambahan
serbuk sari. Gejal defisiensi hara mikro ini antara lain : pertumbuhan terhambat
pada jaringan meristematik (pucuk akar), mati pucuk (die back), mobilitas rendah,
buah yang sedang berkembang sngat rentan, mudah terserang penyakit.
5. Seng (Zn)
Zn diserap oleh tanaman dalam bentuk ion Zn++ dan dalam tanah alkalis
mungkin diserap dalam bentuk monovalen Zn(OH)+. Di samping itu, Zn diserap
dalm bentuk kompleks khelat, misalnya Zn-EDTA. Seperti unsure mikro lain, Zn
dapat diserap lewat daun. Kadar Zn dalam tanah berkisar antara 16-300 ppm,
sedangkan kadar Zn dalam tanaman berkisar antara 20-70 ppm. Mineral Zn yang
ada dalam tanah antara lain sulfida (ZnS), spalerit [(ZnFe)S], smithzonte
(ZnCO3), zinkit (ZnO), wellemit (ZnSiO3 dan ZnSiO4).
Fungsi Zn antara lain : pengaktif enim anolase, aldolase, asam oksalat
dekarboksilase, lesitimase,sistein desulfihidrase, histidin deaminase, super okside
demutase (SOD), dehidrogenase, karbon anhidrase, proteinase dan peptidase.
Juga berperan dalam biosintesis auxin, pemanjangan sel dan ruas batang.
Ketersediaan Zn menurun dengan naiknya pH, pengapuran yang berlebihan
sering menyebabkan ketersediaaan Zn menurun. Tanah yang mempunyai pH
tinggi sering menunjukkan adanya gejala defisiensi Zn, terytama pada tanah
Adapun gejala defisiensi Zn antara lain : tanaman kerdil, ruas-ruas batang
memendek, daun mengecil dan mengumpul (resetting) dan klorosis pada
daun-daun muda dan intermedier serta adanya nekrosis (Wijaya, 2008).
D. Tanaman Sawi
Klasifikasi:
Divisi : Spermatophyta.
Subdivisi : Angiospermae.
Kelas : Dicotyledonae.
Ordo : Rhoeadales (Brassicales).
Famili : Cruciferae (Brassicaceae).
Genus : Brassica.
Spesies : Brassica rapa.
Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian 5 meter sampai
dengan 1.200 meter di atas permukaan laut. Namun biasanya dibudidayakan pada
daerah yang mempunyai ketinggian 100 meter sampai 500 meter dpl.
Tanaman sawi tahan terhadap air hujan, sehingga dapat di tanam sepanjang tahun.
Pada musim kemarau yang perlu diperhatikan adalah penyiraman secara teratur.
Berhubung dalam pertumbuhannya tanaman ini membutuhkan hawa yang sejuk.
lebih cepat tumbuh apabila ditanam dalam suasana lembab. Akan tetapi tanaman
ini juga tidak senang pada air yang menggenang. Dengan demikian, tanaman ini
cocok bils di tanam pada akhir musim penghujan. Tanah yang cocok untuk
pembuangan airnya baik. Derajat kemasaman (pH) tanah optimum untuk
pertumbuhannya adalah antara pH 6 sampai pH 7 (Margiyanto, 2007).
Manfaat tanaman caisim/sawi adalah daunnya digunakan sebagai sayur dan
bijinya dimanfaatkan sebagai minyak serta pelezat makanan. Tanaman
caisim/sawi banyak disukai karena rasanya serta kandungan beberapa vitaminnya.
Pada daun sawi 100 gr terkandung 6460 IU Vitamin A, 102 mg Vit B, 0,09 mg
Vit C, 220 mg kalsium dan kalium (Arief, 1990).
E. Penanaman Pada Media Tanpa Tanah
Istilah hidroponik digunakan untuk menjelaskan tentang cara bercocok tanam
tanpa menggunakan tanah sebagai media tanamnya. Di kalangan umum, istilah
ini dikenal sebagai “bercocok tanam tanpa tanah”. Di sini termasuk juga bercocok
tanam di dalam pot atau wadah lainnya yang menggunakan air atau bahan porous
lainnya, seperti pecahan genting, pasir kali, kerikil, maupun gabus putih.
Keuntungan yang bisa didapatkan dari bertanam secara hidroponik, diantaranya:
perawatan lebih praktis serta gangguan hama lebih terkontrol, pemakaian pupuk
lebih hemat atau efisien, kebersihan tanaman lebih mudah dikontrol, dan produksi
tidak tergantung pada musim dan kondisi alam (Lingga, 2002).
Media tanam yang dapat digunakan dalam teknik hidroponik ini diantaranya
adalah: pasir, sekam, arang tempurung kelapa, batu apung putih, batu zeolit,
pecahan batu bata, batu kali, dan kawat kasa nilon. Untuk menjaga sterilitas
media tanam. Sedangkan tanamannya, diambil tanaman yang telah tumbuh di
dalam polybag dan siap direplanting ke dalam pot.
Faktor-faktor penting dalam budidaya hidroponik diantaranya yaitu:
1. Unsur Hara
Pemberian larutan hara yang teratur sangatlah penting pada hidroponik, karena
media hanya berfungsi sebagai penopang tanaman dan sarana meneruskan larutan
atau air yang berlebihan. Hara tersedia bagi tanaman pada pH 5.5 – 7.5 tetapi
yang terbaik adalah 6.5, karena pada kondisi ini unsur hara dalam keadaan
tersedia bagi tanaman. Unsur hara makro dibutuhkan dalam jumlah besar dan
konsentrasinya dalam larutan relatif tinggi. Termasuk unsur hara makro adalah N,
P, K, Ca, Mg, dan S. Unsur hara mikro hanya diperlukan dalam konsentrasi yang
rendah, yang meliputi unsur Fe, Mn, Zn, Cu, B, Mo, dan Cl. Kebutuhan tanaman
akan unsur hara berbeda-beda menurut tingkat pertumbuhannya dan jenis
tanaman. Larutan hara dibuat dengan cara melarutkan garam-garam pupuk dalam
air. Berbagai garam jenis pupuk dapat digunakan untuk larutan hara,
pemilihannya biasanya atas harga dan kelarutan garam pupuk tersebut.
2. Media Tanam Hidroponik
Jenis media tanam yang digunakan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. Media yang baik membuat unsur hara tetap tersedia,
kelembaban terjamin dan drainase baik. Media yang digunakan harus dapat
menyediakan air, zat hara dan oksigen serta tidak mengandung zat yang beracun
hidroponik antara lain pasir, kerikil, pecahan batu bata, arang sekam, spons, dan
sebagainya. Bahan yang digunakan sebagai media tumbuh akan mempengaruhi
sifat lingkungan media. Tingkat suhu, aerasi dan kelembaban media akan
berlainan antara media yang satu dengan media yang lain, sesuai dengan bahan
yang digunakan sebagai media. Arang sekam (kuntan) adalah sekam bakar yang
berwarna hitam yang dihasilkan dari pembakaran yang tidak sempurna, dan telah
banyak digunakan sabagai media tanam secara komersial pada sistem hidroponik.
Komposisi arang sekam paling banyak ditempati oleh SiO2 yaitu 52% dan C
sebanyak 31%. Komponen lainnya adalah Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO, dan
Cu dalam jumlah relatif kecil serta bahan organik. Karakteristik lain adalah
sangat ringan, kasar sehingga sirkulasi udara tinggi karena banyak pori, kapasitas
menahan air yang tinggi, warnanya yang hitam dapat mengabsorbsi sinar
matahari secara efektif, pH tinggi (8.5 – 9.0), serta dapat menghilangkan
pengaruh penyakit khususnya bakteri dan gulma.
3. Oksigen
Keberadaan Oksigen dalam sistem hidroponik sangat penting. Rendahnya oksigen
menyebabkan permeabilitas membran sel menurun, sehingga dinding sel makin
sukar untuk ditembus, Akibatnya tanaman akan kekurangan air. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa tanaman akan layu pada kondisi tanah yang tergenang.
Tingkat oksigen di dalam pori-pori media mempengaruhi perkembangan rambut
akar. Pemberian oksigen ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
memberikan gelembung-gelembung udara pada larutan (kultur air), penggantian
dalam larutan hara dan memberikan lubang ventilasi pada tempat penanaman
untuk kultur agregat.
4. Air
Kualitas air yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman secara hidroponik
mempunyai tingkat salinitas yang tidak melebihi 2500 ppm, atau mempunyai nilai
EC tidak lebih dari 6,0 mmhos/cm serta tidak mengandung logam-logam berat
dalam jumlah besar karena dapat meracuni tanaman.
Sistem bercocok tanam secara hidroponik memiliki banyak sekali keunggulan,
tetapi selain itu juga hidroponik memiliki beberapa kelemahan. Kelebihan
bertanam secara hidroponik diantaranya yaitu: produksi tanaman persatuan luas
lebih banyak, tanaman tumbuh lebih cepat, pemakaian pupuk lebih hemat,
pemakaian air lebih efisien, tenaga kerja yng diperlukan lebih sedikit, lingkungan
kerja lebih bersih, kontrol air, hara dan pH lebih teliti, masalah hama dan
penyakit tanaman dapat dikurangi serta dapat menanam tanaman di lokasi yang
tidak mungkin/sulit ditanami seperti di lingkungan tanah yang miskin hara dan
berbatu atau di garasi (dalam ruangan lain) dengan tambahan lampu. Sedangkan
kelemahan dari hidroponik ini yaitu: ketersediaan dan pemeliharaan perangkat
hidroponik agak sulit, memerlukan keterampilan khusus untuk menimbang dan
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010 - Maret 2011. Penelitian
dilakukan di laboratorium Ilmu Tanah dan rumah kaca Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lainhand sprayerukuran 500 ml,
shaker, pipet, corong, erlenmeyer, timbangan, botol air mineral ukuran 1.500 ml,
gelas ukur, kertas label, dan pot untuk penanaman ukuran 1 kg.
Bahan yang digunakan adalah limbah industri udang berupa kepala udang sebagai
bahan baku kompos, ekstrak kompos kepala udang, aquades (H2O), larutan asam
asetat (CH3COOH) 0,01N, larutan asam sitrat (C6H8O7) 2%, mangan (MnSO4.
7H2O) 2,37 ppm, seng (ZnSO4. H2O) 11,15 ppm, besi (Fe chelaetes) 36,45 ppm,
boron (Na2B4O7 . 10H2O) 0.25% dan tembaga (CuSO4 . 5H2O) 0.03, benih
tanaman sawi, kertas saring, tissue, serta bahan kimia untuk analisis kimia ekstrak
kompos kepala udang. Disamping itu digunakan larutan hara lengkap standar
(Gandasil dan Sampurna) dengan dosis 50% dari dosis yang dianjurkan. Bahan
Format t ed:English (United States)
Format t ed:Left
limbah Industri udang berasal dari PT. Central Pertiwi Bahari Kabupaten Tulang
Bawang.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Perlakuan disusun secara faktorial 3x2 dengan 3 ulangan. Secara
keseluruhan penilitian ini terdiri dari 18 satuan percobaan. Faktor pertama adalah
jenis gekstrak kompos kepala udang (E) hasil ekstraksi dengan pengekstrak yang
terdiri dari air destilata (E1), asam sitrat 2% (E2), dan asam asetat 0,01 N (E3).
Faktor Kedua adalah tanpa pemberian unsur mikro (M0) dan dengan pemberian
unsur mikro (M1).
Selanjutnya data yang diperoleh dirata-rata berdasarkan ulangan, kemudian diuji
homogenitas dan aditivitas dengan uji Bartlett dan uji Tukey. Selanjutnya data
diolah dengan analisis ragam pada taraf nyata 5% dan perbedaan perlakuan diuji
dengan uji BNT pada taraf 5%.
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Pengomposan
Limbah industri udang sebanyak 100 kg di masukkan kedalam karung plastik
berlubang. Sebelum pengomposan tambahkan inokulan EM4 sesuai dosis anjuran
10cc per l air dan pupuk NPK Phonska 1kg per 100kg. Kelembaban
dipertahankan pada kondisi sedang. Diaduk secara berkala 7 hari sekali, dibiarkan
2. Ekstraksi Kompos Kepala Udang
Prosedur ekstraksi kompos kepala udang dilakukan dengan sedikit memodifikasi
metode yang dilakukan oleh Gigliotti dkk. (2005). Kompos kepala udang
diekstrak dengan menggunakan air destilata, asam asetat, dan asam sitrat dengan
perbandingan 1 : 5 (bahan kompos : pengekstrak) . Campuran dikocok selama 48
jam kemudian campuran disentrifius pada kecepatan 3000 rpm dan disaring
menggunakan kertas saring 1 μ m. Konsentrasi ekstrak yang diperoleh dianggap
100%, kemudian larutan dianalisis sifat kimianya. Selanjutnya dibuat larutan
ekstrak konsentrasi 75% dengan cara menambahkan air destilata dengan
perbandingan 75% : 25% (larutan ekstrak : air destilata).
3. Penyiapan Larutan Stok Unsur Hara Mikro
Membuat larutan stok unsur mikro mangan (MnSO4 . 7H2O) 2,37 ppm, seng
(ZnSO4 . H2O) 11,15 ppm, besi (Fe chelaetes) 36,45 ppm, boron (Na2B4O7 .
10H2O) 0.25% dan tembaga (CuSO4 . 5H2O) 0.03. Kemudian masing-masing
unsur mikro dimasukkan kedalam larutan ekstrak kompos kepala udang
konsentrasi 75%.
4. Penyiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan adalah larutan hara lengkap standar (gandasil,
Sampurna) dengan dosis 50% dari dosis anjuran, pot, dan arang sekam.
Sebelumnya arang sekam harus disterilkan terlebih dahulu denggan autoklaf
sampai suhu 1250C. Pot diisi 500 g arang sekam dan diberi larutan hara standar
► Media Tumbuh (arang sekam)
Lubang◄ ► Larutan Hara
Standar
Gambar 1. Sketsa media tumbuh tanaman sawi
Gambar 2. Foto media tumbuh tanaman sawi
5. Penanaman Sawi dan Aplikasi Ekstrak Kompos Kepala Udang
Pertama-tama benih disemai terlebih dahulu pada menia persemaian yang
menggunakan campuran tanah, pasir dan pupuk kandang dengan komposisi 1:1:1.
Bibit ditanam setelah berumur 2-3 minggu atau bibit telah memiliki kira-kira 3-5
helai daun, bibit tanaman tersebut diambil yang paling baik dan seragam. Ekstrak - - - -
-- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- ---Pengaplikasian
kompos kepala udang konsentrasi 75% yang dikombinasikan dan tanpa
dikombinasikan unsur mikro disiapkan untuk kemudian dilakukan pengaplikasian
ekstrak kompos kepala udang. Volume ekstrak yang diberikan adalah 50 ml
/tanaman-1 dan diberikan dengan cara disemprotkan melalui daun dengan
menggunakan alat hand sprayer plastik. Penyemprotan ekstrak kompos kepala
udang dilakukan pertama kali bersamaan dengan penanaman pada media tanam.
Selanjutnya penyemprotan ekstrak kompos kepala udang dilakukan secara
periodik dengan selang waktu 1 (satu) minggu. Pemberian ekstrak kompos ini
diberikan sampai masa vegetatif sawi berhenti yaitu sampai 6 minggu setelah bibit
di tanam pada media tanam sehingga dilakukan pengaplikasian ekstrak kompos
kepala udang sebanyak 6 kali.
E. Analisis awal
Kompos kepala udang : Analisis pH dan C dan N.
Ekstrak kompos kepala udang : Analisis pH, C, N, P dan K.
Tabel 2. Hasil analisis kimia ekstrak kepala udang
Pengekstrak pH C (mg L-1)
Air (H2O) 7.81 0,79 546 12.69 1502
Asam Sitrat 2%
(C6H8O7) 8.56 0.98 658 9.36 1673
Asam Asetat 0,01
N(CH3COOH) 7.58 0.72 623 7.75 1390
F. Pengamatan
Variabel utama yang diamati : Tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah akar
dan bobot kering akar, serta bobot basah bagian
atas tanaman dan bobot kering bagian atas
tanaman sawi.
A. Simpulan.
1. Ekstrak kompos kepala udang hasil ekstraksi dengan pengekstrak asam
asetat lebih baik dibandingkan dengan ekstrak kompos kepala udang hasil
ekstraksi dengan pengekstrak air destilata dan asam sitrat ,dalam
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman sawi seperti
ditunjukkan oleh bobot akar, tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot
bagian atas tanaman sawi.
2. Interaksi jenis ekstak kompos kepala udang dengan pemberian unsur
mikro terbaik terjadi pada kombinasi perlakuan ekstrak kompos kepala
udang hasil ekstraksi dengan pengekstrak asam asetat yang
dikombinasikan dengan unsur mikro (mangan, seng, besi, boron dan
tembaga) terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi yang
ditunjukkan oleh persentase peningkatan produksi (bobot basah bagian
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan antara lain :
1. Untuk penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan penggunaan
pengekstrak basa lemah untuk melihat perbedaan dengan pengekstrak
asam dan penyempurnaan pada teknik percobaan, khususnya media tanam.
2. Melanjutkan penelitian dengan pengaplikasian pada tanaman jenis lain,
khususnya untuk mengetahui pengaruh ekstrak kompos kepala udang
pada tanaman yang memiliki hasil produksi berupa buah dan tanaman lain.
3. Untuk penelitian selanjutnya dapat digunakan perlakuan ekstrak saja atau
Altschul, A.M. 1976. New Protein foods. Academic Press Inc., New York.
Agung, R., A. Nawawi dan D. Hadi. 2005. Pengaruh Suhu, Jenis Pelarut, dan Waktu Ekstraksi terhadap Rendemen Total Senyawa Terekstrasi dalam Ekstrak Umbi Lapis Bawang Putih (Allium sativum L.). Abstrak. http://bahan-alam.fa.itb.ac.id diakses tanggal 19 Mei 2010.
Anonim. 2010a.Air.http://id.wikipedia.org/wiki/Air. Diakses tanggal 10 Mei 2010. Anonim. 2010b.Asam Sitrat. http://www.scribd.com/doc/24470723/Asam-SITRAT.
Diakses tanggal 10 Mei 2010.
Anonim. 2010c.http://ayo bertani. wordpress. Diakses tanggal 31 Juli 2010. Ardi, R.Unsur Hara Makro dan mikro dalam tanah.
http://rioardi.wordpress.com/2009/03/03/unsur-hara-dalam-tanah-makro-dan-mikro/ diakses tanggal 10 Mei 2010.
Arief, A. 1990.Holtikultura. Peneber Swadaya
Austin, P., C.J., Brine, J.E. Castle, and J.P. Zikakis. 1981.Chitin:New of Research. Science. 212 : 749
Balley, J.E., and D.F. Ollis. 1977, “Biochemical Engineering Fundamental”, Mc. Graw Hill Kogakusha, ltd., Tokyo.
Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shell (Nephrops norvegicus). Thesis. The Departement of Mechanical, Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. Faculty
of Engineering The Queen’s University of Belfast.
Focher, B., A. Naggi, G. Tarri, A. Cosami and M. Terbojevich. 1992. Structural Differences Between Chitin Polymorphs and Their Precipitates from Solution Evidence from CP-MAS 13 C-NMR, FT-IR and FT-Raman Spectroscopy. Charbohidrat Polymer.17 (2) : 97–102.
Foth, H. D. 1978.Fundamentls of Soil Science. 6thedition. John Wiley and Sons. New York. Pp. 293-374.
Gigliotti,G., F. G. Erniquens and D. Said-Pullicino. 2005. Changes In The Chemical Characteristic Of Dissolved Organic Matter During The Composting Process And Their Influence On Compost Stability And Maturity. Geophysical Research Abstract7: 1-7.
Handayani, E. O. 2009. “Pengaruh Aplikasi Ekstrak Air Kompos Jerami Padi Pada
Berbagai Konsentrasi Terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai (Capsicum annum. L)”. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.68 hlm.
Hirano, S. 1986. Chitin and Chitosan. Ulmann’s Encyclopedia of Industrial
Chemistry. Republicka of Germany. 5th. ed. A 6: 231–232.
Krissetiana, H. 2004.Khitin dan Khitosan dari Limbah Udang. H.U. Suara Merdeka. Lingga, P. 1999.Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. 163 hlm. Margiyanto, E. 2007. Budidaya Tanaman Sawi. http://zuldesains.wordpress.com/
2008/01/11/budidaya-tanaman-sawi/. Diakses tanggal 4 Oktober 2010.
McKay, G., H. S. Blair dan S. Grant. 1987. Desorption of Copper from a Copper-Chitosan Complex. J. Chem. Tech. Biotechnology. 40:63.
Muzzarelli, R.A.A. 1986. Chitin. Faculty of Medicine Univeersity of Ancona. Italy. Pergamon Press. 81–87.
Neely, M.C.H and William. 1969. Chitin and Its Derivates in Industrial. Gums Kelco. Company California. 193–212.31 hlm.
Nur, M.A. dan Adijuwan. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologi. PAU. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Prasetiyo, K. W. 2004.Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang Sebagai Bahan Pengawet Kayu Ramah Lingkungan.
Rosmarkam, A dan N. W Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta. 224 hlm.
Salisbury, F. B dan Ross, C. W. 1991. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Diterjemahkan oleh Diah R Lukman dan Sumaryono. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 241 hlm.
Sudibya, 1998.Manipulasi Kadar Kolesterol dan Asam Lemak Omega-3 Telur Ayam Melalui Penggunaan Limbah Kepala Udang dan Minyak Ikan Lamuru. Program Pascasarjana, IPB.
Sunarjono, H. 2004.Bertanam 30 Jenis Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soputri, R. D. 2009. “Pengaruh PengekstrakKotoran Cacing Tanah Terhadap Pertumbuhan Dan Serapan Hara Tanaman Tomat (Lycopersicon asculentum
Mill.)”. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 56 hlm.
Sutejo, M. M. 2008.Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. 177 hlm.
Stevenson, F.J. 1982.Humus Chemistry Genesis, Composition, Reaction. John Wiley and Sons. London. 443p.
Synowiecki, J. and N. A. Al-Khateeb. 2003. Production, properties, and some new applications of chitin and its derivatives. Crit Rev Food Sci Nutr. 43 (2): 145-71.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=pubmed &dopt=Abstract&list_uids=12705640&query_hl=1. Diakses tanggal : 21 Juli 2011
Taisa, R. 2009. Pengaruh Aplikasi Ekstrak Air Kompos Sampah Kota Melalui Daun Terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai ( Capsicum annum L.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Trubus. 2011. Serema : Terkecil di Dunia ( Tubuh Sekepal, Tinggi Sejengkal). Februari : 2011
Winan. 2010.Chitin–Chitosan. http://winan08.student.ipb.ac.id/2010/06/19/chitin-chitosan. Diakses tanggal 23 Mei 2010.
THE INFLUENCE COMBINATION OF EXTRACT COMPOST OF SHRIMP INDUSTRY WITH SEVERAL KIND OF EXTRACTANTS WITH
MICRO NUTRIENTS ON THE GROWTH AND PRODUCTION OF MUSTARD PLANT (Brassica rapa L.)
By
ANDRISA TIARANI
Shrimp production in Indonesia from year to year then increase, estimated average increase 7, 4% per year. Oceanic ministry and fishery collect data about national shrimp production increase as big as 2,6% from 338.060 ton in 2009 be 352.600 ton in 2010. From shrimp coagulation process to export, 60-70 percent from heavy shrimp is production waste in skin part and head. Shrimp waste otherwise handled correctly will evoke negative impact for environment. During the time shrimp eggshell waste utilization just for livestock woof, even often let to decay. Shrimp waste must experience several technology stages so that can be made use agriculture side, because cannot be used directly without technology touching. Technique among others compost and extract to be formulated by liquid organic fertilizer. Element hara micro can be added into formula liquid organic fertilizer with mobile compound in supposed shrimp waste extract useful also in influence growth and plants production.
Extract compost of Shrimp head of extract result with acetate has good influence compared with shrimp head compost extract by extract result with water extractor distillate and citrate, in increasing of growth and production mustard green plants likes showed by root heavy, tall plants, leaf total and the top of plant with mustard green plants heavy. shrimp head compost extract kind interaction influence with element gift micro best happen in result shrimp head compost extract treatment combination extract with acetate sour extractor combine with element gift micro (manganese, zinc, iron, boron and copper) towards growth and mustard green plants production that by product increase percentage (wet heavy) achieves 103%.