• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pengelolaan Hutan: Perumusan Kebijakan dan Implementasinya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Pengelolaan Hutan: Perumusan Kebijakan dan Implementasinya"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN

:

Perurnusan kebjakan dan ~rnplementasinyd

Hariadi ~ a r t o d i h a r d j o ~

PENGANTAR

Naskah ini tidak secara khusus membahas uraian isi kebijakan yang berlaku dl dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan. Apabila ha1 itu dikehendaki, peserta dapat menelaahnya secara langsung melalui berbagai sumber. Naskah ini menguraikan bagaimana kebijakan dirumuskan, masalah kebijakan yang timbul, serta pemecahan masalah lapangan yang mungkin dapat dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Masa transisi, dalam ha1 ini lebih dimaksud kearah perjalanan otonomi daerah dengan berbagai problem struktural dan kelembagaan yang timbul, menjadi tema penting yang banyak dipertimbangkan dalam uraian in;.

I.

KONSEP DASAR KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN

1.1. Ruang Lingkup Kebijakan Pengelolaan Hutan

Kerangka pemikiran penetapan ruang lingkup pengelolaan hutan dapat dilihat pada Garnbar

1. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, keterkaitan dan ketergantungan setiap komponen yang menentukan kir~erja pengelolaan hulan adalah sebagai berikut :

1. Sasaran utama dalam pengelolaan hutan adalah terwujudnya kinerja yang dinllai dengan standar yang telah ditetapkan berdasarkan situasi dan slstem nilai masyara kat;

2 . Kondisi pengelolaan hutan pada dasarnya ditentukan oleh perilaku masyarakat yang mempengaru hinya;

3. Perilaku masyarakat, dl satu pihak, dipengaruhl oleh karakteristik sumberdaya alam, sosial budaya, maupun teknologi yang digunakan. Sedangkan di pihak lain, perilaku masyarakat merupakan respon dari implementasi peraturan perundangan yang ditetapkan;

4.

Pada umumnya sumberdaya hutan memiliki karakteristik yang biasa disebut sebagai biaya transaksi tinggi (high transaction cost) akibat mahalnya biaya dan pengorbanan serta gagalnya mendapat informasi (yang benar) maupun menetapkan dan mengendalikan para pihak agar sumberdaya hutan tidak dimanfaatkan secara berlebihan dan illegal. Karakteristik sumberdaya hutan tersebut seringkall sebagai penyebab gagalnya kebijakan (policy failure), oleh sebab itu kebijakan yang baik (dapat diimplementasikan) harus memperhatikan adanya karakteristik tersebut';

I Hallall l ' ~ l i ~ t i l ~ ; ~ ~ ~ I'CII~C~O~;I~III i . i l i g l \ ~ ~ l ~ g i ~ ~ ~ t i i d u p Ilac.~.al~. l o p i k : Deselitralisasi I ' c ~ i ~ e l o l ~ t a ~ ~ Su~iiberda)a H u t a l ~ . ole/] I<L.H. Juli 2006.

I Star P c l i ~ i t ~ a r I-;lhulr;~s K c ' l l ~ ~ t a l t a ~ ~ I'1.0yri1111 P a ~ c i l Sa~:jalia I P B Ilariildi rr'i~ido.net.id

' M i s a l ~ ~ ~ a ada s u a t ~ l reholilendasi "til~gkatkan penga~\asall". dan r t . k o ~ ~ i e ~ ~ t l a s i dcliiil\iali yitgal d i l a k s a l i a k a ~ ~ . Mcllyaoa '? liarella biaqa d a ~ l p e n g o r b n n a ~ ~ \erta kooldlliasi L I I I ~ L I ~ ~i~c.lal,uha~i pengauasan saligat h e a l - a ~ a u kcgiatall itu gagal dicapai. A I - t i l ~ j a . ongkos kegiatan pellya\vasan (termasuk k o o r d i l i a s i ~ ~ y a ) hisa l a d i lehih hesar daripada nilai liilansnya hasil hutan akihat dari

(2)

SUMBERDAYA

I I

I I

STANDAR PENGUKURAN

KINERJA

PENGELOLA-

PEMANTAUAN PIHAK 1 AIN

ORNOP PERGLJliUAN

1 INGGl MASY OLL.

PERAN PEMERINTAH

[image:2.605.77.532.83.412.2]

CS

Gambar

1. Lingkup Kebijakan Pengelolaan Hutan

5. Implementasi peraturan perundangan (termasuk penetapan standar pengelolaan hutan) sangat tergantung peran instansi pemerintah. Implementasi peraturan- perundangan yang t~dak efektif dapat disebabkan antara lain oleh hal-ha1 ber~kut :

5.1. Substansi peraturan tidak dapat rnengendalikan adanya biaya transaksi tinggi sebagairnana disebutkan dalarn butir 4;

5.2. Instansi pemerintah tidak menerapkan peraturan itu sehingga kontrol yang seharusnya dilakukan tidak berjalan;

5.3. Masyarakat (terrnasuk dunia usaha) belum memaharni isi peraturan atau bahkan tidak mengetahuinya sarna sekali;

5.4. Sangsi yang mungkin ada dari implementasi suatu peraturan tidak berjalan, sehingga masyarakat tidak melihat adanya resiko apabila rnereka rnelanggar peraturan;

5.5. Biaya yang ditanggung ketika melakukan pelanggaran peraturan sebenarnya lebih rnurah daripada bila peraturan dipatuhi.

Dalam pernbahasan tersebut, rnasalah inefisiensi ekonomi yang dikaitkan dengan rnasalah- masalah struktural pengelolaan hutan produksi rnenladi sangat penting.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data biaya transaksi pengusahaan hutan dan kondisi irnplementasi kebijakan pengendalian pengusahaan hutan alam produksi, sebagai berikut :

1. Biaya pengurusan pengusahaan hutan - di luar biaya tetap dan biaya variablt. yang

resrni, sekitar 24V0 - 46Oh dari biaya variable (Kartodi hardjo, 1998);

(3)

3. Biaya pengurusan ijin-ijin dan pengesahan dalam pengusahaan sekitar 43°/) (APHI, 2001);

4. Terdapat 58 kali inspeksi per tahun yang secara resmi dilakukan oleh 12 instansi pemerintah terhadap 19 jenis kegiatan pengusahaan hutan (Prasetyo dan Hinrichs, 1999);

5. Setiap tahun pemegang HPH harus melakukan 43 jenis kegiatan, masing-masing kegiatan perlu berhubungan dengan 2 sampai 8 instansi. Untuk melakukan hal-ha1 tersebut setiap tahun harus melakukan 169 jenis urusan (meja) dan untuk itu harus menyerahkan 1599 kertas kerjalpeta yang terdiri dari : 256 buku, 510 lembar peta, 7 lembar citra landsat, dan 521 blanko isian. Urusan yang demikian itu adalah pelaksanaan dari 7 buah PP, 4 Keputusan Presiden, 82 Keputusan Menteri, dan 20 Keputusan Dirjen (Deperindag dan Sucofindo, 2001);

Timbulnya biaya tersebut di atas masih ditambah lagi dengan biaya yang harus ditanggung akibat konflik penggunaan kawasan hutan dan lahan yang sampai kini frekwensinya masih cukup tinggi.

Terjadinya biaya transaksi tinggi menyebabkan beberapa implikasi, sebagai berikut :

1. Sistem pengelolaan dan pengusahaan hutan, secara umum, sudah sampai pada kondisi tidak lagi rasional untuk mencapai pengelolaan hutan IestariIPHL. Dalam pengusahaan hutan alam produksi, dari ski suplai, potensi hutan di hampir seluruh unit manajemen terus berkurang akibat illegal logging dan over cutting. Maka jika upaya pelestarian diterapkan, jangka benah harus sudah dijalankan.

Artinya jumlah produksi harus dikurangi atau produksi dihentikan. Sedangkan dari sisi manfaat-biaya, pembiayaan per unit produksi pengusahaan hutan alam terus menirlgkat, sehingga jumlah produksi untuk mencapai keuntungan minimal yang diharapkan, lebih besar daripada jumlah produksi sesuai dengan daya dukung hutan (AAC). Maka usaha swasta (yang rasional) harus terus melakukan over cutting jika ingin mempertahankan usahanya. Dengan demikian, dari pertimbangan finansial, sistem pengusahaan hutan sebenarnya sudah collapse. I a tidak lagi bisa secara teknis dibenahi, karena secara inherent sistem dan teknologi yang digunakan tidak lagi mungkin dapat ditopang oleh sumberdaya hutan (baca: kayu) yang ada. Sistemnya harus diubah jika pelestarian hutan menjadi tujuannya;

2. Mempertimbangkan biaya transaksi dalam perumusan kebijakan sangat penting karena biaya transaksi menentukan tingkat efisiensi hubungan antar pelaku ekonomi, dalam ha1 ini misalnya antara swasta dan pemerintah. Jika biaya transaksi tinggi terjadi akan timbul perilaku 'memilih tanpa perhitungan' (uncalculating choice). Perilaku tersebut oleh Williamson (1985) disebut perilaku oportunis4. Kondisi dernikian inilah yang sebenarnya menjadi penyebab mengapa kebijakan sering tidak berjalans. Kebijakan tidak berjalan akibat dari kesalahan kebijakan itu sendiri, sehingga tidak dapat dikatakan -

sebagaimana sering dikemukakan banyak pihak, bahwa kebijakannya baik tetapi implementasinya buruk.

Berdasarkan uraian di atas, maka peraturan-perundangan disebut baik apabila peraturan- perundangan tersebut dapat diimplementasikan. Sehingga pernyataan yang mengatakan "peraturannya baik tetapi implementasinya tidak berjalan" adalah suatu pernyataan yang -

secara teoritis - keliru;

I

Dciiliisi opo1.1i111ih olcll M ' i l l i a ~ ~ l s u l l (1985) adalall d o ~ i i i ~ l a ~ i ~ i ! a kt'pc'li[iliya~l il l d i v i d ~ ~ ~C'II~;III c i l r i ~ 1ipt1 ~ ~ ~ i i ~ l i l i a t ! L I ~ I ~ ~CI.III?,I\~II~ diiI\~111 OICII sit'ht 1iic11ip~1 da11 ~ i i e ~ i c ~ ~ ~ ~ i , P c ~ i > e l ~ a O le~;iacli~~!ii ~ i k i l l ) opor111111s ~CI.SC~IIII ildaI:111 I\LI~LIII~~!;I i ~ ~ f o ~ . ~ i i : ~ s i . ~IIII~LI>II!~ i~ i f b r ~ i i ; ~ s i lati: d i p c r l ~ ~ l \ : ~ ~ i 1111ti1k

n ~ c ~ l l l ) e ~ . l l i t i i ~ i y k ; i ~ ~ ul,a!ii-ilpa!ja !'an? d i p e r l u k a ~ l 1111tuk n i e n ~ p r r h a i k i tel:jadili~a I \ e ~ a l a l l a r ~ pelakra~laall pt'ke~:jaa~i. 5c1-1a adn11)a d i s r o r ~ i kebijaksa~laan atau ketidak-ses11nia11 kc.l~i,i;~l\sa~l,iall densall lu-juan J ~ I I ~ akan dicapai.

'

(4)

Beberapa aspek yang perlu dikuasai dalam pelaksanaan evaluasi atau perumusan kebijakan pengelolaan hutan adalah :

1. Informasi mengenai karakteristik sumberdaya hutan, sosial budaya masyarakat, serta teknologi yang digunakan;

2. Informasi mengenai perilaku masyarakat pada saat kebijakan dijalankan;

3. Informasi mengenai kondisi dan kinerja pengelolaan hutan, serta standar pengelolaan hutan yang digunakan;

4.

Respon para pihak terhadap kondisi pengelolaan hutan.

1.2.

Framework Perumusan Kebijakan

Kerangka pendekatan perumusan kebijakan pengelolaan hutan dapat dilihat pada Gambar 2. Terdapat tiga pendekatan yang mungkin dapat dilakukan untuk membentuk kebijakan pengelolaan hutan, yaitu :

1.

Pendekatan psikologi sosia! yang dilakukan dengan lebih mengutamakan pendekatan indiv~du maupun kerjasama antar kelompok masyarakat. Pendekatan ini mengandalkan informasi yang sampai kepada masyarakat serta terbentuknya kelembagaan masyarakat dan pemerintah yang dapat dipercaya masyarakat. Dalam pengembangan pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat (community forestry), pendekatan ini sangat penting dikuasai.

Perrnasalahan PENGELOLAANHUTAN

ALTERNATIF 1 Pendekatan Psikologi Sosial

f

i

ALTERNATIF 2

f

Pendkatan

I

ALTERNATIF 3 Pendekatan

Politik Ekonorni

Non lnstitusi (Individual)

(Market Based)

lnstitusi (PolitiklNon Markct)

f \

Faktor .

Kornunikasi Faktor

lnforrnasi Cooperation Exclusive right or Hukurn

Altruism territories Budaya

Moral ldeologi

Trust

'.

Penyelesa~an

Masalah Melalui Masalah Melalui Individu

1 PRILAKU AKTOR

[image:4.599.95.502.329.705.2]

2. KONTRAK

Gambar 2.

Alternatif Pendekatan Kebijakan Pengelolaan Hutan

(5)

(termasuk dunia usaha) ditentukan oleh insentif/disinsentif yang mereka hadapi pada saat akan melakukan pilihannya. Pendekatan ekonomi dapat berjalan apab~la sejumlah asumsi dipenuhi. Misalnya adanya kepastian jaminan usaha, rendahnya biaya transaksi, dll.

3.

Pendekatan hukum yang dilakukan dengan menetapkan segenap peraturan-perundangan dengan perangkat pengawasan (command a n d control). Pendekatan inilah yang selama ini dijalankan pemerintah. Pendekatan ini sangat mengandalkan ketepatan aturan dengan kondisi lapangan serta adanya pemerintah yang bersih. Jika kedua syarat ini tidak dipenuhi, maka pendekatan ini pasti gagal dilaksanakan.

1.3.

Framework Pengambilan Keputusan (Penyelesaian Konflik)

Kerangka pendekatan proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian konflik kebijakan pengelolaan hutan dapat dilihat pada Gambar 3.

lebih fleksibrl

SECARA KONSENSUS

I

SECARA POLlTlK

Kriteria : proses secara partls~pallf kepulusari yang rnendapal duklir~garl

2

Nilai yang digunakan :

3

E

d~alekt~k-konfllk, e k s ~ s t e n s ~ ,

u

3

feeling dan kon~pronr~

5 .5

'

Kriteria : proses d~dasarkall data-based kcplrlusan yang 3 o,

bertanggung gugnt

Nilai yang digunakan . eniplr~s dedukllf ~ e l l g ~ l l g g l j / k ~ ~ l l fakla pernartfaalar~ ~r~fortrras~

Kriteria : proses yarig dpl beradaplas~. kepulusan yang rnendapal legltlrnas~

Nilai yang digunakan :

g

F

kelenvakrlan, lnterpretasl, -5

2

z

7 pernbahasan rnendalarn fakta

z.

r ,

3

dan surnberdaya

6

5

5 -5

..,

2

5-

Kriteria : proses % rnengutarnakan tujuan $

5

kepulusan yang ef~slen 5

E

b 5

Nilai yang digunakan : formal- dedukt~f raslonal logls. subyekllf

[image:5.599.100.495.272.608.2]

SECARA EMPlRlS

I

SECARA RASIONAL

Gambar 3.

Alternatif Pengambilan Keputusan Penyelesaian Konflik Kebijakan Pengelolaan Hutan

Kita dapat menetapkan apakah dalam pengambilan keputusan, informasi yang diperlukan lebih terkontrol atau tidak. Demikian pula apakah kita lebih ingin menetapkan proses pengambilan keputusan secara tertutup (internal) atau terbuka (eksternal). Kombinasi dari dua aspek tersebut dapat diperoleh empat pendekatan yang mungkin dapat dilakukan, yaitu :

1. Secara empiris. Lebih mementingkan tersedianya data dan informasi yang diperoleh dan diolah dengan kaidah-kaidah ilmiah. Pendekatan lni memerlukan standar pengelolaan hutan yang valid sesuai dengan kondisi setempat. Hasil pengambilan keputusan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmia h dan accountable. Skema sertifi kas~ hutan pada umumnya mengikuti cara seperti ini;

(6)

proses-proses dialektik, partisipatif, dan kompromistis. Yang dicapai biasanya adalah adanya dukungan pihak-pihak yang bersengketa;

3. Secara rasional. Orientasi pendekatan ini adalah pada tujuan yang ditetapkan. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan sangat efisien karena bisa minta tenaga ahli yang sesuai dengan bidang yang sedang disengketakan. Hasil keputusan ditetapkan secara 'subyektif' oleh tenaga ahli yang disepakati oleh pihak-pihak yang sedang bersengketa;

Secara politik. Legitimasi secar? politik akan diperoleh jika pendekatan ini dilakukan. Keputusan yang dilakukan biasanya sangat tergantung pada situasi politik dan sangat interpretatif.

111. PROGRAM DEPARTEMEN KEHUTANAN

Delapan program yang telah ditetapkan Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan ITDCF memiliki dimensi yang berbeda terhadap upaya pencapaian pengelolaan hutan lestari (SFM). Pengelompokkan ke delapan program tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penyelamatan hutan yang sudah ada :

11.

Illegal logging, 31. Moratorium konversi hutan alam;

C

2. Pembaharuan sistem dan arah pengelolaan hutan : 21. Inventar~sas~ hutan sebagai dasar penyusunan IVFP, 71. Perhitungan kembali nilai kayu;

3. Upaya menyeimbangkan supply-demand kayu nasional : 41. Restrukturisasi industri, 51. Penutupan industri kayu sarat hutang, 61. Reboisasi (pembangunan hutan tanaman) dikaitkan dengan kapasitas industri;

4. Penyelenggaraan pemerintahan yang efektif : 81. Desentralisasi urusan kehutanan

Dengan memperhatikan cakupan yang akan dicapai dengan adanya program tersebut, dan berdasarkan eksplorasi symptom dan problem yang telah dilakukan, diperlukan tambahan empat program lain yaitu :

91.

Penyelesaian masalah tenurial,

101.

Penyempurnaan sistem pengelolaan hutan,

111.

Penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan, 121. Penyusunan Program Kehutanan Nasional (NFP). Pengelompokkan program disajikan dalam

Gambar 4.

Dari 12 program tersebut, kecuali program 81. Desentralisasi, berupa bentuk-bentuk kebijakan dan perencanaan untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan program 81. Desentralisasi adalah program yang menentukan seberapa jauh kapasitas dan kapabilitas pemerintahan mampu untuk menjalankan kebijakan yang telah dirumuskan. Sebab keberhasilan atau kegagalan desentralisasi urusan kehutanan juga ditentukan oleh seberapa

C

jauh pemerintah pusat mampu menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, dapat atau tidak dapat ditanggulanginya berbagai permasalahan desentralisasi, sangat menentukan berhas~l atau gagalnya pelaksanaan 11 program lainnya.

Kajian bersama dalam Team ad hoc IDCF telah menghasilkan rumusan hasil kaj~an tentarlg kondisi harapan dan dikelompokkan menjadi 7 aspek, yaitu :

1. Terwujudn ya good and clean governace;

2. Berlangsungnya koordinasi antar pihak dan menguatnya kapasitas daerah;

3. Tersedianya mekanisme pengambilan keputusan dan datalinformasi serta pengawasan yang efektif;

4. Adanya kesepaharnan, peraturan dan diakuinya hak-hak masyarakat adat dan lokal lainnya serta tumbuhnya pcrekonomian lokal;

5. Adanya fokus dan pengualan peran BUMN/D/S dalam perlgelolaan hutan;

6. Terwujudnya keseimbangan supply-demand bahan baku kayu dan tumbuhnya industri yang efisien; serta

(7)
[image:7.841.198.739.129.503.2]

Gambar 4. Kaitan Program DepHut dengan Tujuan Pengelolaan Hutan Lestari

PEMBAHARUAN SISTEM DAN ARAH PENGELOLAAN HUTAN

7)-

NlLAl KAYU FOREST

ASSESMENT

a*

PENYELA MA TA N HUTAN YANG ADA

3).

MORATORIUM KONVERSI HUTAN

ALAM

ILLEGAL LOGGING

l o ) .

SISTEM PENGUSAHAAN

HUTAN

KEBAKARAN

1

HUTANDANLAHAN

MASALAH RESTRUKTURISASI INDUSTRI TENURIAL

9

1.

DlKAlTKAN DENGAN SUMBER

BA HA N BAKU

RESTRUKTURISASI

4).

INDUSTRI

PENUTUPAN INDUSTRI SARAT

HUTANG

I

/

REBOlSASl DlKAlTKAN

1).

KAPASITAS INDUSTRI
(8)

Interaksi berbagai kondisi yang diharapkan diatas dapat digunakan sebagai dasar pemikiran untuk menggabungkan sumber masalah. Dengan menggunakan kerangka pemikiran ini diperoleh enam sumber masalah utama dalam pengelolaan hutan, yaitu :

1. Masalah struktural (desentralisasi termasuk di dalamnya); 2. Masalah proses dan mekanisme pengambilan keputusan;

3. Masalah kesepahaman, peraturan-perundangan dan pengakuan hak masyarakat adat dan lokal lainnya serta perekonomian lokal;

4. Masalah kepastian usaha dan penegakan hukum lingkungan; 5. Masalah kesenjangan supply-demand dan alokasi kayu bulat; 6. Masalah hubungan bilateral dan perdagangan internasional.

Untuk menghadapi masa transisi 2engelolaan hutan tersebut di atas tidaklah mudah. Hal ini terjadi karena :

1. Landasan ekonomi - yaitu pilihan-pilihan yang tersedia bagi masyarakat, tidak

memungkinkan adanya pilihan yang paling logis adalah melestarikan hutan alam yang masih tersisa. Melakukan over cutling danlatau lllegal logglng selalu lebih menguntungkan daripada menjalankan peraturan u n t ~ k menebang sesuai AAC dan melakukan perlindungan hutan. Kondisi ini juga dipicu oleh suatu kenyataan bahwa dengan menjalankan peraturan atau melakukan usaha-usaha secara legal, biayanya sangat tinggi relatif terhadap usaha-usaha ilegal;

2. Landasan institusi - yaitu ikatan-ikatan atau kepastian hubungan antar pihak, tidak

memungkinkan terwujudnya rasa memil~ki dan percaya bahwa pengamanan stok hutan yang ada atau investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki stok hutan yang ada, dapat terjamin dan akan menghasilkan manfaat bagi pihak yang melakukannya;

3. Hal-ha1 yang secara ilegal atau kondisi-kondisi ak~bat kesalahan kebijakan telah memberi manfaat yang sangat besar bagi masyarakat/publik maupun pembuat kebijakan. Bagi publik misalnya berupa penyerapan tenaga kerja, pendapatan daerah, dll, sedangkan bagi pembuat keputusan adalah adanya pendapatan tambahan". Dengan demikian perbaikan kebijakan mengandung resiko - baik bagi masyarakat maupun pembuatan kebijakan. Semakin besar

resiko, semakin besar pula faktor penyebab terjadinya kondisi tidak mungkin balik ( lrre vers~ble)

.

Kebijakan nasional yang tidak kondusif dapat berpengaruh terhadap kebijakan pengelolaan hutan alam produksi daerah baik propinsi maupun kabupaten. Maka pelaksanaan program prioritas IDCF di atas, sangat tergantung bagaimana kebijakan itu sejalan dengan kebijakan pembangunan daerah. I n i berarti dalam menjalankan program tersebut kuncinya terletak pada bagaimana DepHut dapat melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah propinsi dan kabupaten.

"

Dari suatu allalibis (Iiartudi11a1-d.jv. 300 1 ) ~ l ~ t ' ~ ~ i ~ l ! i i ~ k k i l l ~ hilll\\i~ w t i a p tahun. dari tahu~i 1077- IC)C)8. Iii11a11

Gambar

Gambar 1. Lingkup Kebijakan Pengelolaan Hutan
Gambar 2. Alternatif Pendekatan Kebijakan Pengelolaan Hutan
Gambar 3. Alternatif Pengambilan Keputusan Penyelesaian Konflik Kebijakan Pengelolaan
Gambar 4. Kaitan Program DepHut dengan Tujuan Pengelolaan Hutan Lestari

Referensi

Dokumen terkait

bahwa bentuk keterlibatan orangtua merupakan salah satu komponen positif dalam meningkatkan literasi dasar anak prasekolah di hampir semua negara. Ia juga menjelaskan

 Setiap Sub-Index mempunyai bobot yang berbeda sesuai dengan tingkat kemajuan ekonomi.. Indonesia termasuk ke dalam Kelompok Negara Tahap 2: Efficiency

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Начина коришћења земљишта је: - шуме (шумско земљиште, ливаде са ретким растињем); - пољопривредно земљиште (чисте ливаде, пашњаци и њиве које се обрађују);

Yang dimaksud dengan keadaan &#34;gawat&#34; adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukanpenegakan diagnosis dan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu satu

Analisis ragam merupakan analisis statistik yang biasa digunakan dalam analisis uji deskripsi dan uji lain dimana sampel yang digunakan lebih dari dua dan diukur dengan skala

Hal-hal yang mempengaruhi konsumen dalam mengkonsumsi buah adalah jenis buah, kebiasaan, pengetahuan akan kandungan buah, ketersediaan, ketergantungan pada impor, asal