• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. KESENJANGAN (GAP) ANTARA KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN IMPLEMENTASINYA DI LAPANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. KESENJANGAN (GAP) ANTARA KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN IMPLEMENTASINYA DI LAPANGAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

LAPANGAN

Kebijakan dan implementasinya merupakan dua fungsi yang berlainan dan dapat dibedakan, namun keduanya erat berhubungan dengan satu sama lain sehingga sulit untuk dipisahkan. Kebijakan yang baik harus mengandung langkah-langkah kongkrit untuk implementasinya. Implementasi kebijakan itu sendiri mengandung implikasi kebijakan, cara bagaimana garis-garis besar kebijakan diterjemahkan ke dalam tindakan atau program-program kongkrit, aturan-aturan untuk implementasinya dirumuskan serta penafsiran yang diberikan terhadap kebijakan tersebut (Wahab, 1990). Dampak paling buruk terpisahnya antara kebijakan dan implementasinya adalah hilangnya tanggungjawab pembuat kebijakan terhadap hasil dari implementasi kebijakan. Keterpisahan tersebut dapat membuka pintu darurat (escape hatches), yaitu pembuat kebijakan keluar dari tanggungjawabnya terhadap implementasi kebijakan yang dibuatnya (Sutton, 1999).

Banyak anggapan bahwa jika pemerintah membuat kebijakan maka implementasinya seperti yang diharapkan oleh pembuat kebijakan tersebut, namun banyak kepustakaan menyebutkan banyak hambatan dalam implementasi suatu kebijakan, sehingga kebijakan tersebut tidak efektif (Wahab, 1990). Analisis asumsi dipakai untuk mengetahui kesenjangan (gap) antara kebijakan dan implementasinya. Menurut Dunn (2003), analisis asumsi merupakan analisis yang paling komprehesif dari semua metode perumusan masalah. Analisis asumsi diciptakan untuk mengurusi masalah yang rumit, dimana para analis, pembuat, pelaku kebijakan tidak dapat sepakat tentang bagimana merumuskan masalah. Analisis asumsi diciptakan untuk mengatasi empat kelemahan utama analisis kebijakan :

a. Analisis kebijakan seringkali didasarkan pada asumsi dari satu pembuat keputusan dengan nilai-nilai yang ditata secara jelas dan dapat direalisasikan pada suatu titik waktu.

(2)

b. Analisis kebijakan biasanya gagal mempertimbangkan secara sistematis dan eksplisit pandangan-pandangan yang sangat berlawanan mengenai sifat masalah dan potensi pemecahannya

c. Kebanyakan analisis kebijakan dilakukan dalam organisasi dimana sifat self sealing-nya membuat sulit atau tidak mungkin untuk menghadapi rumusan masalah yang besar

d. Kriteria yang digunakan untuk menilai kecukupan masalah dan solusinya seringkali hanya menyentuh karakteristik permukaan (misalnya konsistensi logis) daripada dengan asumsi-asumsi dasar yang melandasi konseptualisasi masalah.

Kesenjangan antara kebijakan dan implementasinya didekati dengan menganalisis peran stakeholder berdasarkan aturan perundangan dibandingkan dengan implementasi peran stakeholder di lapangan. Berdasarkan Dewar et al (1993) dan Dunn (2003), tahapan asumsi yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah:

a. Identifikasi stakeholder yang terkait dengan desentralisasi pengelolaan hutan lindung

b. Identifikasi peran stakeholder berdasarkan peraturan perundang-undangan c. Identifikasi realisasi atau implementasi peran tersebut di lokasi studi.

d. Mempertentangkan asumsi yang tertulis dalam peraturan peruundangan dengan asumsi pelaksanaan peraturan perundangan di lokasi studi, dan dianalisis sejauhmana gap antara keduanya.

e. Mensintesis rumusan masalah

5.1. Identifikasi Stakeholder

Identifikasi pelaku kebijakan yang terkait dengan desentralisasi

pengelolaan hutan lindung dilakukan dengan analisis stakeholder. Stakeholder

dalam pengelolaan hutan lindung bisa dipilahkan menjadi stakeholder utama, stakeholder kunci dan stakeholder pendukung (Reitbergen et al, 1998 dan ODA, 1995).

(3)

5.1.1. Stakeholder Utama

Stakeholder utama (primer), yaitu stakeholder yang terkena dampak langsung, baik positif maupun negatif oleh suatu program atau proyek serta mempunyai kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, masyarakat sekitar hutan masuk dalam kategori stakeholder utama. Dampak pengelolaan hutan lindung sangat dirasakan oleh masyarakat di sekitar hutan lindung. Masyarakat sekitar hutan lindung menggantungkan sebagian hidupnya pada kawasan tersebut dalam bentuk hasil hutan bukan kayu, kayu dan lahan untuk berkebun. Stakeholder ini seharusnya ditempatkan sebagai penentu utama dalam pengambilan keputusan.

5.1.2. Stakeholder kunci

Stakeholder kunci adalah stakeholder yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan. Berdasarkan analisis 69 peraturan perundangan (Lampiran 5) ada empat stakeholder kunci yang terlibat dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung, yaitu Kementerian Kehutanan baik yang ada di pusat maupun daerah, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten dan DPRD.

a. Kementerian Kehutanan

Kementerian Kehutanan berperan dalam menetapan norma, standart, prosedur dan kriteria (NSPK) beberapa kewenangan pengelolaan hutan yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten. Kementerian Kehutanan mempunyai beberapa unit pelaksana teknis pusat di daerah yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat, yaitu : Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). BPDAS berperan dalam penyusunan

rencana, penyajian informasi, pengembangan model pengelolaan dan

kelembagaan DAS serta monev DAS. Peran BPDAS dalam pengelolaan hutan lindung adalah penyusun rencana, monitoring, evaluasi dan pembinaan rehabilitasi. BKSDA berperan penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan kawasan konservasi dan koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung. BPKH berperan sebagai

(4)

identifikasi potensi, pelaksanaan penataan batas, penatagunaan, penetapan, perubahan status, pemetaan dan pengelola sistem informasi geografis dan perpetaan kehutanan.

b. Dinas Kehutanan Provinsi

Institusi yang mengurusi pengelolaan hutan di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat adalah Dinas Kehutanan. Kedua provinsi tersebut masih menaruh perhatian besar terhadap sektor kehutanan, hal tersebut dapat dilihat dari masih adanya dinas kehutanan dalam susunan organisasi perangkat daerah di provinsi. Kedua Dinas Kehutanan tersebut berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Dinas Kehutanan Provinsi keberadaannya sangat relevan sebagai jembatan antara kepentingan Pusat dan Daerah. Dinas Kehutanan Provinsi berperan sebagai koordinator program antara UPT (Unit Pelaksana Teknis) Departemen Kehutanan dengan Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota.

c. Dinas Kehutanan Kabupaten

Pasal 7 dari PP No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah menyebutkan bahwa Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Dinas Daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dinas Daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:

a. Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya

b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya

c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya

d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya

Perangkat daerah yang ada di lokasi penelitian adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

(5)

d. DPRD

Menurut pasal 41 dan 40 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dalam konteks pengelolaan hutan lindung, DPRD membahas rancangan, menyetujui dan pengawasi pelaksanaan perda tersebut. Di bidang anggaran, kewenangan DPRD adalah membahas dan penyetujui anggaran.

5.1.3. Stakeholder pendukung

Stakeholder pendukung (sekunder), yaitu stakeholder yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap kegiatan tersebut, tetapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi intermediaries atau fasilitator dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Stakeholder pendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Lembaga Swadaya Masyarat

LSM secara legal formal tidak mempunyai kewenangan maupun hak veto dalam pengambilan keputusan, tetapi mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk mempengaruhi pendapat masyarakat, karena LSM cukup dekat berinteraksi dengan masyarakat. Terbentuknya Inisiasi Pembentukan Dan Penguatan Jaringan Anti Kejahatan Kehutanan merupakan salah satu forum yang diinisiasi oleh FLEGT. KKI-WARSI menginisiasi Forum Penyelamatan DAS Batanghari. Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya tersebut, stakeholder ini perlu dilibatkan minimal dalam pengumpulan informasi dan konsultasi. Berdasarkan hasil observasi dan penelusuran literatur, setidaknya ada tiga LSM yang beraktivitas di lokasi studi, yaitu FLEGT, WARSI dan Qbar.

1. KKI WARSI

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI merupakan forum aliansi 20 LSM dari 4 propinsi di Sumatera bagian selatan (Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, dan Bengkulu) yang peduli pada masalah konservasi sumberdaya alam dan pengembangan masyarakat (community development). Warsi berdiri sejak tahun 1992, dengan sekretariat di kota Jambi. KKI WARSI melakukan

(6)

inventarisasi/pendataan dan identifikasi sistim hutan kerakyatan baik hutan adat, hutan lindung dan lubuk larangan desa yang tersebar di Propinsi Jambi kerjasama dengan Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) dan pendampingan masyarakat. KKI WARSI juga mendukung pendekatan bioregion dalam pengelolaan sumber daya alam di DAS Batanghari. Kegiatan ini diharapkan terbangun komitmen bersama (adanya nota kesepahaman bersama para pihak) untuk memulai penyusunan rencana pengelolaan bersama sumberdaya alam pada Daerah Aliran Sungai Batanghari di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat.

2. FLEGT

”EC-Indonesia FLEGT Support Project (Forest Law Enforcement, Governance and Trade)” merupakan program bantuan teknis Uni Eropa untuk Indonesia dalam hal penegakan hukum, tata kelola, dan perdagangan bidang kehutanan. Proyek FLEGT untuk Indonesia mulai bekerja sejak Maret 2006 sampai dengan 28 Februari 2011. Lokasi proyek ini di Jakarta, Kalimantan Barat dan Jambi. Lokasi proyek FLEGT di Jambi berada di Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Sarolangun, dan Kabupaten Tebo. Beberapa kegiatan yang dilakukan FLEGT di lokasi kajian adalah : 1) Pertemuan antar instansi terkait untuk penguatan penegakan hukum kehutanan di Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2) Lokakarya menuju tata kelola kehutanan yang efektif dan terbuka, 3) Laporan operasi gabungan pengamanan hutan terpadu, 4) Potensi dan pengembangan HHBK di kawasan hutan Bukit Bulan dan 5) Studi kebutuhan kayu lokal.

3. Qbar

Qbar didirikan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 4 Januari 2002. Kata Qbar berasal dari dua suku kata, yaitu Q (equilibrium: keseimbangan) dan bar (line: garis). Jadi, Qbar berarti garis keseimbangan. Pilihan nama ini diambil atas kesadaran bahwa untuk mewujudkan sebuah sistem yang demokratis dan adil, perlu adanya keseimbangan. Alam secara arif telah mengajarkan untuk menciptakan suatu keharmonisan sistem alam semesta. Visi organisasi ini adalah

(7)

terwujudnya tatanan kehidupan kebangsaan dan kerakyatan yang adil dan demokratis untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Misi organisasi adalah lahirnya hukum dan kebijakan untuk memenuhi keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Visi dan misi dicapai melalui (1) fasilitasi proses penumbuhan dan peningkatan kapasitas pemerintah dalam pembuatan hukum dan kebijakan yang responsif dalam memenuhi keadilan dan kesejahteraan; (2) fasilitasi penguatan basis (rakyat) untuk memenuhi keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan (3) pengembangan dan penguatan institusi Qbar. Di bidang kehutanan Qbar terlibat dalam pendampingan masyarakat sekitar hutan dalam program hutan desa.

b. Perguruan Tinggi

Hutan di ketiga kabupaten menjadi lokasi penelitian bagi mahasiswa, peneliti dan pendidik beberapa universitas seperti Universitas Jambi, Universitas Andalas, UNDIP, IPB, CIFOR, ICRAF. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi diantaranya: 1) Inisiatif kebijakan daerah dalam pengamanan kawasan hutan menjamin hak-hak lingkungan dan peran warga dalam adaptasi dan mitigasi iklim, 2) Strategi kebijakan pengelolaan mangrove berkelanjutan di wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan 3) Kearifan lokal masyarakat sekitar hutan. Stakeholder ini tidak memiliki hak veto dalam pengambilan keputusan, tetapi beberapa hasil penelitiannya bisa menjadi masukan untuk memperbaiki kinerja pengelolaan hutan lindung. Stakeholder ini sebaiknya dilibatkan minimal pada tahap informasi dan konsultasi.

c. Swasta

Ada beberapa perusahaan swasta yang terkait dengan hutan lindung di lokasi kajian, yaitu saluran pipa PT Petro China yang berada di Hutan Lindung Sei Buluh, Kabupaten Jabung Timur dan Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan PT AIMA yang mengambil air dari kawasan hutan lindung di Solok Selatan. PT Petro China berencana menggali sumber minyak yang berada di dalam kawasan Hutan lindung Gambut (HGL) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, tetapi mendapat penolakan dari Komisi IV DPR RI. Sebagai lembaga swasta kedua perusahaan tersebut tidak mempunyai hak veto terhadap kebijakan yang dibuat

(8)

oleh negara, tetapi dengan kemampuan modal yang dimiliki bisa mempengaruhi negara dalam pengambilan keputusan.

5.2. Identifikasi Peran Stakeholder Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Asumsi peran para pelaku diidentifikasi dari 69 (lima puluh sembilan) peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi pedoman pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan lindung (Lampiran 5 no 1 sampai dengan 69). Variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi peran stakeholder dalam pengelolaan hutan lindung diambil dari pengertian pengelolaan hutan yang

terdapat dalam pasal 21 UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan36 dan lampiran

PP No 38 tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten bidang kehutanan. Berdasarkan kedua perundangan tersebut desentralisasi pengelolaan hutan lindung ke

pemerintah kabupaten meliputi kegiatan : inventarisasi hutan37, rehabilitasi

hutan38, pemberian ijin pemanfaatan kawasan hutan39, pemungutan hasil hutan

bukan kayu40 yang tidak dilindungi dan tidak termasuk appendix CITES,

pemanfaatan jasa lingkungan41 skala kabupaten dan perlindungan hutan42

Berdasarkan identifikasi variabel pengelolaan hutan terhadap 69 dokumen kebijakan, diperoleh distribusi dokumen yang membahas masing-masing

36 Pengelolaan hutan meliputi kegiatan: a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) pemanfaatan hutan

dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan reklamasi hutan dan d) perlindungan hutan dan konservasi alam.

37 Inventarisasi hutan adalah rangkaian kegiatan pengumpulan data untuk mengetahui keadaan dan potensi sumberdaya

hutanserta lingkungan secara lengkap (pasal 1 Permenhut No P.6/Menhut-II/2010).

38 Rehabilitasi hutan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan sehingga daya

dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga lengkap (pasal 1 Permenhut No P.6/Menhut-II/2010).

39 Ijin usaha pemanfaatan kawasan adalah ijin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan kawasan pada hutan lindung

dan/atau hutan produksi (pasal 1 PP no 6 Tahun 2007) .

40 Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung

dan/atau hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getahgetahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu (pasal 1 PP no 6 Tahun 2007).

41 Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan yang selanjutnya disingkat IUPJL adalah izin usaha yang diberikan untuk

memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi (pasal 1 PP No 6 Tahun 2007).

42 Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang

disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (lengkap (pasal 1 Permenhut No P.6/Menhut-II/2010).

(9)

variabel, seperti disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa total frekuensi peran dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung ada sekitar 207 kali. Kegiatan rehabilitasi merupakan kegiatan yang paling banyak diatur dalam dokumen kebijakan (34,78 %), kemudian diikuti kegiatan ijin pemanfaatan kawasan (18,84 %) dan perlindungan hutan (18,36 %). Kegiatan yang paling sedikit diatur adalah kegiatan inventarisasi hutan (7,73 %). Stakeholder yang paling banyak disebut dalam pengelolaan hutan lindung adalah pemerintah kabupaten sebanyak 31,40 % atau 65 kali, sedangkan stakeholder yang paling sedikit disebut adalah stakeholder pendukung, yaitu sebanyak 5,80% atau 12 kali. Masyarakat sebagai stakeholder utama pengelolaan hutan lindung juga mempunyai frekuensi yang kecil dalam kebijakan pengelolaan hutan, yaitu 7,25 % (15 kali). Frekuensi masing-masing kegiatan atau masing-masing stakeholder yang tertulis dalam kebijakan perundangan mencerminkan seberapa besar perhatian pemerintah terhadap kegiatan atau stakeholder tersebut, walaupun frekuensi tersebut tidak selalu mencerminkan besarnya peran. Peran masing-masing stakeholder dapat dilihat pada Tabel 21.

Berdasarkan pada hasil identifikasi di atas nampak bahwa sebenarnya distribusi peran antar tingkat pemerintahan dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung sudah berimbang. Peran masyarakat perlu diperkuat, karena masyarakat adalah utama dalam pengelolaan hutan lindung.

Tabel 20 Distribusi peran stakeholder dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung Stakeholde r Peran (kali) Inventarisas i Rehabilitas i Perlindunga n Ijin pemanfaata n kawasan Ijin Pemunguta n HHBK Ijin jasa lingkunga n Jumla h % Masyaraka t - 6 3 2 2 2 15 7,25 Pemerintah desa - 3 5 4 1 1 14 6,76 Pemerintah Kabupaten 6 25 12 8 5 9 65 31,4 0 Pemerintah Provinsi 5 14 6 7 5 5 42 20,2 9 Pemerintah Pusat 5 20 7 16 4 7 59 28,5 0 Pendukung - 4 5 2 - 1 12 5,80 Jumlah 16 72 38 39 17 25 207 100 Persen (%) 7,73 34,78 18,36 18,84 8,21 12,08 100

Sumber : hasil analisis dari 69 dokumen peraturan perundangan (lampiran 1 no 1 s/d 69)

Berikut ini uraian peran stakeholder dalam kegiatan pengelolaan hutan lindung berdasarkan aturan perundang-undangan di pusat.

(10)

1. Inventarisasi Hutan

Pada tahap inventarisasi hanya ada tiga stakeholder yang berperan, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Ada tiga stakeholder yang tidak punya peran, yaitu Pemerintah Desa, stakeholder pendukung dan masyarakat. Pemerintah Pusat berperan dalam :1)pembuatan Norma, Standart, Prosedur dan Kriteria (NSPK), 2) penyelenggara inventarisasi hutan tingkat nasional, 3) pembinaan dan pengendalian dan 4) supervisi dan

fasilitasi. Pemerintah Provinsi berperan dalam : 1) penyusunan pedoman, 2)

menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat provinsi dan 3) pembinaan dan

pengendalian. Pemerintah Kabupaten berperan dalam: 1) menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten/kota serta 2) pembinaan dan pengendalian.

2. Rehabilitasi hutan

Pada kegiatan rehabilitasi semua stakeholder mempunyai peran. Pemerintah Kabupaten menduduki frekuensi peran paling banyak (25 kali) dibanding stakeholder lainnya. Pemerintah Pusat berperan dalam: 1)penetapan NSPK, 2) penetapan lahan kritis skala nasional, 3)penyusun dan penetapan rencana RHL DAS/Sub DAS dan 4) pembinaan, monitoring, evaluasi. Pemerintah Provinsi berperan dalam : 1)penyelenggara rehabilitasi skala provinsi, 2)Penetapan lahan kritis skala provinsi, 3) pertimbangan teknis rencana RHL DAS/Sub DAS dan penetapan rencana pengelolaan, 4) rencana tahunan dan rancangan RHL skala provinsi dan 5) mengkoordinir pengusulan kegiatan rehabilitasi dari kabupaten/kota untuk mendapatkan alokasi DAK DR dan 6) pembinaan, monitoring dan evaluasi. Pemerintah Kabupaten berperan sebagai :1)penyelenggara rehabilitasi skala kabupaten, 2)penetapan lahan kritis skala kabupaten, 3) pertimbangan teknis rencana RHL DAS/Sub DAS, 4) penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan RHL skala kabupaten dan 5) pembinaan, monitoring dan evaluasi. Pemerintah desa, masyarakat dan pendukung berperan sebagai penyelenggara rehabilitasi.

(11)

Pada kegiatan perlindungan hutan semua stakeholder mempunyai peran. Pemerintah Kabupaten menduduki frekuensi peran paling banyak (12 peran) dibanding stakeholder lainnya. Pemerintah Pusat berperan dalam: 1) penetapan NSPK, 2) penyelenggara perlindungan hutan skala nasional, 3) fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan, 4) pengendalian kebakaran hutan tingkat nasional, 5) membentuk lembaga pengendalian kebakaran hutan pada tingkat

pusat, provinsi, kabupaten dan unit pengelolaan hutan.. Pemerintah Provinsi

berperan dalam : 1) penyelenggara perlindungan hutan skala provinsi, 2) fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan dan 3) pengendalian kebakaran hutan tingkat povinsi. Pemerintah Kabupaten berperan dalam : 1)penyelenggara perlindungan hutan skala kabupaten, 2) fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan dan 3) pengendalian kebakaran hutan tingkat kabupaten. Pemerintah desa, masyarakat

dan stakeholder pendukung berperan dalam penyelenggaraan perlindungan hutan.

4. Ijin pemanfaatan kawasan

Semua stakeholder mempunyai peran dalam ijin pemanfaatan kawasan. Pemerintah Pusat menempati frekuensi peran paling banyak (16 kali) dibanding stakeholder lainnya. Pemerintah Pusat berperan dalam :1) penetapan NSPK, 2) penyelenggara ijin pemanfaatan hutan skala nasional, 3)penetapan areal kerja, 4) fasilitasi, 4)pembinaan dan pengendalian dan 5)verifikasi pengajuan ijin. Pemerintah Provinsi berperan dalam :1) fasilitasi, 2) penyelenggaran ijin pemanfaatan hutan skala provinsi, 3)IUPHKm lintas kabupaten, 4)pemberi hak pengelolaan hutan desa dan 5) pembinaan dan pengendalian. Pemerintah kabupaten berperan dalam : 1)penyelenggara ijin pemanfaatan hutan skala kabupaten, 2) fasilitasi, 3)IUPHKm dalam kabupaten, dan 4) pembinaan dan pengendalian. Pemerintah Desa berperan dalam sosialisasi dan pembentukan lembaga desa, masyarakat berperan untuk mengajukan permohonan ijin pemanfaatan kawasan, stakeholder pendukung berperan dalam fasilitasi.

5. Ijin pemungutan HHBK

Semua stakeholder mempunyai peran dalam ijin pemungutan HHBK. Frekuensi peran pada masing-masing stakeholder seimbang. Pemerintah Pusat berperan dalam :1) penetapan NSPK, 2) IUHHBK lintas provinsi dan

(12)

3)pembinaan dan pengendalian. Pemerintah Provinsi berperan dalam: 1) IUHHBK lintas kabupaten dan 2)pembinaan dan pengendalian. Pemerintah Kabupaten berperan dalam: 1) IUHHBK dalam kabupaten dan 2)pembinaan dan pengendalian.. Pemerintah Desa, masyarakat dan stakeholder pendukung juga berperan sebagai pemungut HHBK.

6. Ijin Jasa lingkungan

Pada ijin jasa lingkungan ada beberapa stakeholder yang berperan, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Ada tiga stakeholder yang tidak punya peran, yaitu Pemerintah Desa, stakeholder pendukung dan masyarakat. Pemerintah Pusat berperan dalam :1)NSPK, 2) verifikasi ijin, 3) pembinaan dan pengendalian dan 3)IUPJL lintas provinsi. Pemerintah Provinsi berperan :1) pembinaan dan pengendalian dan IUPJL lintas kabupaten. Pemerintah Kabupaten berperan dalam :1)pemberi ijin, 2)pelaksana, 3)rekomendasi dan 4) pembinaan dan pengendalian dan IUPJL dalam satu kabupaten. Masyarakat dan stakeholder pendukung (koperasi, BUMN/BUMS) berperan sebagai pengusul ijin.

(13)

Tabel 21 Analisis peran stakeholder dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung berdasarkan peraturan perundang-undangan N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung43 Peran stakeholder44

Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Masyarakat Pendukung Pemerintah Desa

1 Inventarisasi hutan NSPK Penyelenggaraan inventarisasi hutan tingkat nasional Pembinaan dan pengendalian Supervisi dan fasilitasi45 Pedoman inventarisasi hutan Menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat provinsi Pembinaan dan pengendalian Menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten/kota Pembinaan dan pengendalian - - - 2 Rehabilitasi hutan NSPK Penetapan lahan kritis skala nasional Penyusun dan penetapan rencana RHL DAS/Sub DAS pembinaan,monito-ring, evaluasi Penyelenggara rehabilitasi skala provinsi

Penetapan lahan kritis skala provinsi Pertimbangan teknis rencana RHL DAS/Sub DAS Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan RHL skala provinsi Mengkoordinir pengusulan kegiatan rehabilitasi dari kabupaten/kota untuk mendapatkan alokasi DAK DR pembinaan, monitoring dan evaluasi Penyelenggara rehabilitasi skala kabupaten Penetapan lahan kritis

skala kabupaten Pertimbangan teknis rencana RHL DAS/Sub DAS Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan RHL skala kabupaten pembinaan, monitoring

dan evaluasi

Penyelenggara Penyelenggara Penyelenggara

43 Disusun berdasarkan lampiran z PP No 38 Tahun 2007 44

Diidentifikasi dari 69 Peraturan perundangan terkait (Lampiran 1 nomor 1 s/d 69)

45

Fasilitasi merurut PP No 6 Tahun 2007 meliputi pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar serta pembinaan dan pengendalian.

(14)

Tabel 21 Lanjutan N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung Peran stakeholder

Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Masyarakat Pendukung Pemerintah Desa

3 Perlindungan hutan NSPK Penyelenggara perlindungan hutan skala nasional fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan pengendalian kebakaranhutan tingkat nasional membentuk lembaga pengendalian kebakaran hutan pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan unit pengelolaan hutan. Penyelenggara perlindungan hutan skala provinsi fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan pengendalian

kebakaran hutan tingkat povinsi Penyelenggara perlindungan hutan skala kabupaten fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan pengendalian

kebakaran hutan tingkat kabupaten Memelihara, menjaga Melaporkan membantu pemadaman Penyelenggara Penyelenggara 4 Ijin pemanfaatan kawasan NSPK Penyelenggara ijin pemanfaatan hutan skala nasional Penetapan areal kerja Fasilitasi pembinaan dan pengendalian46 verifikasi pengajuan ijin Fasilitasi Penyelenggara ijin pemanfaatan hutan skala provinsi IUPHKm lintas kabupaten Pemberi hak

pengelolaan hutan desa Pembinaan dan pengendalian47 Penyelenggara ijin pemanfaatan hutan skala kabupaten Fasilitasi IUPHKm dalam kabupaten Pembinaan dan pengendalian48

Permohonan Fasilitasi Sosialisasi

Membentuk lembaga desa

46Menteri menyusun pedoman pengelolaan hutan desa, monitoring, dan evaluasi; 47Gubernur memberikan bimbingan, arahan dan supervisi, monitoring, dan evaluasi 48 Bupati/Walikota melakukan pelatihan, monitoring, dan evaluasi

(15)

Tabel 21 Lanjutan N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung Peran stakeholder

Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Masyarakat Pendukung Pemerintah Desa

5 Ijin pemungutan HHBK Penetapan NSPK IUHHBK lintas provinsi pembinaan dan pengendalian pembinaan dan pengendalian IUHHBK lintas kabupaten Pembinaan dan pengendalian IUHHBK dalam satu

kabupaten

Pemungutan HHBK Pemungut HHBK Pemungut HHBK

6 Ijin jasa lingkungan Penetapan NSPK

Verifikasi ijin pembinaan dan pengendalian IUPJL lintas provinsi Pembinaan dan pengendalian IUPJL hutan lintas

kabupaten Pemberi ijin Pelaksana ijin Rekomendasi Pembinaan dan pengendalian

IUPJL hutan dalam satu kabupaten

Pengusul Pengusul -

Sumber : Analisis data primer, 2010

1

0

(16)

5.3. Identifikasi Realisasi Peran di Lokasi Studi (Implementatif)

Implementasi peran stakeholder di lokasi studi dilakukan dengan mengidentifikasi terhadap 27 dokumen kebijakan di tingkat lokal (lampiran 5 no 70 sampai dengan 96), observasi lapangan dan wawancara (seperti terlihat pada Tabel 22). Implementasi peran stakeholder dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung adalah sebagai berikut:

1. Inventarisasi

Pemerintah Pusat belum menetapkan NSPK inventarisasi hutan secara umum. Pedoman inventarisasi hutan yang ada adalah inventarisasi hutan produksi, yang tertuang dalam P10/menhut-II/2006 tentang Inventarisasi Hutan Produksi Tingkat Unit Pengelolaan dan P. 34/Menhut-II/2007 tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Sebenarnya Pemerintah Pusat membentuk BPKH untuk melakukan fungsi identifikasi lokasi dan potensi kawasan hutan yang akan ditunjuk. Provinsi Jambi pernah melakukan kegiatan inventarisasi flora dan fauna, sedangkan di Provinsi Sumbar pernah melakukan inventarisasi Hasil Hutan Bukan Kayu (manau, rotan, getah, gambir) dan jasa lingkungan. Ketentuan perundangan yang ada menyatakan bahwa kegiatan inventarisasi hutan dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun, tetapi karena keterbatasan pendanaan pemerintah provinsi tidak melakukan kegiatan inventarisasi sesuai periode tersebut.

Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah melakukan inventarisasi batas hutan, inventarisasi perambahan hutan dan inventarisasi flora dan fauna. Kabupaten Solok Selatan melakukan inventarisasi perambah hutan. Kabupaten belum Sarolangun belum melakukan inventarisasi hutan. Beberapa kegiatan inventarisasi yang dilakukan belum bisa menghasilkan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap, sehingga kurang mendukung sebagai bahan untuk penyusunan rencana pengelolaan hutan. Data yang dipakai selama ini hanya berdasarkan data lama hasil inventarisasi hutan yang

(17)

dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Pengajuan pendanaan untuk kegiatan inventarisasi hutan di provinsi kurang begitu mendapat prioritas.

2. Rehabilitasi hutan

Pemerintah Pusat sudah melakukan perannnya (penetapan NSPK, penetapan lahan kritis skala nasional, penyusun dan penetapan rencana RHL DAS/Sub DAS dan pembinaan,monitoring serta evaluasi). Pemerintah Provinsi sudah melakukan penetapan, rekomendasi teknis, koordinasi DAK, pembinaan dan monev, tetapi belum melakukan rehabilitasi dan menyusun rancangan RHL skala provinsi. Pemerintah kabupaten sudah melakukan perannya (penyelenggara rehabilitasi skala kabupaten, penetapan lahan kritis skala kabupaten, pertimbangan teknis rencana RHL DAS/Sub DAS, penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan RHL skala kabupaten, pembinaan, monitoring dan evaluasi). Masyarakat, pemerintah desa dan stakeholder pendukung juga sudah melakukan perannya. Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur kendala yang dihadapi Pemda setempat dalam penyelenggaraan rehabilitasi adalah kurang sesuainya pedoman teknis yang disusun oleh Pemerintah Pusat dengan karakteristik lokasi setempat (hutan lindung gambut).

3. Perlindungan hutan

Semua stakeholder sudah melakukan perannya masing-masing, tetapi belum maksimal, karena keterbatasan pendanaan dan SDM yang ada. Fasilitasi dan sosialisasi Pemda pada masyarakat sekitar hutan juga sangat terbatas, karena pengajuan anggaran kurang diprioritaskan oleh DPRD setempat.

4. Ijin pemanfaatan kawasan

Pemerintah Pusat sudah menetapkan NSPK ijin pemanfaatan kawasan, penetapan areal kerja dan verifikasi pengajuan ijin. NSPK yang disusun Pemerintah Pusat dalam pemanfaatan hutan (Permenhut tentang HKm dan Hutan Desa) sulit untuk diimplementasikan. Kegiatan fasilitasi yang dilakukan Pemerintah Pusat sangat kurang, sedangkan kapabilitas masyarakat sekitar hutan dan Pemda setempat terbatas.

(18)

Pembinaan sudah dilakukan oleh UPT Pusat (BPDAS) dalam bentuk pelatihan, tetapi masih sangat terbatas. Peran yang dijalankan Pemerintah provinsi (fasilitasi, pembinaan dan pengendalian) masih kurang, karena keterbatasan anggaran. Belum ada penyelenggara ijin lintas kabupaten. Belum ada pengajuan ijin pemanfaatan kawasan (Hutan Desa, HKm) di ketiga lokasi penelitian.

5. Ijin pemungutan HHBK

Pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten belum menerbit ijin

pemungutan HHBK. Pemerintah Kabupaten dulu pernah mengeluarkan ijin

pemungutan rotan, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi masyarakat/perusahaan yang mengajukan ijin. Ijin pemungutan HHBK terkendala oleh tata usaha HHBK yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Masyarakat sekitar hutan sebenarnya sudah melakukan pemungutan HHBK, walaupun belum mengajukan ijin. Pembinaan dan pengendalian dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabuten masih kurang. HHBK belum menjadi prioritas unggulan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, padahal HHBK mempunyai potensi yang besar dalam mengembangkan pengelolaan hutan lindung.

6. Ijin jasa lingkungan

Pemerintah belum membuat NSPK tentang ijin jasa lingkungan, NSPK yang sudah ada adalah ijin wisata alam di hutan konservasi. Pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten belum menerbitkan ijin jasa lingkungan. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung dalam bentuk perdagangan karbon sudah diatur dalam permenhut, tetapi belum bisa diimplementasikan di tingkat kabupaten. Masyarakat sekitar hutan sebenarnya sudah mengambil manfaat jasa lingkungan dari hutan lindung dalam bentuk PLTMH, jasa aliran air untuk pengairan sawah dan air untuk kebutuhan rumah tangga. Pembinaan dan pengendalian dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabuten masih kurang. Hutan lindung mempunyai potensi wisata yang bisa dikembangkan, tetapi wisata di hutan lindung di lokasi penelitian kurang berkembang karena aksesbilitas yang jauh. Hutan lindung

(19)

dimasa mendatang memiliki potensi yang besar dalam era perdagangan karbon. Isu tersebut bisa menjadi insentif bagi Pemerintah Kabupaten untuk menjaga kelestarian hutan lindung di wilayahnya.

(20)

Tabel 22 Analisis peran stakeholder dalam proses desentralisasi pengelolaan hutan lindung (implementatif) N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung49 Peran stakeholder50

Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Pemerintah Desa Masyarakat Pendukung

Kabupaten Tanjung Jabung Timur Kabupaten Sarolangun Kabupaten Solok Sealatan 1 Inventarisasi hutan NSPK belum ada Pembinaan dan pengendalian, supervisi serta

fasilitasi belum jalan

Belum menyusun pedoman Inventarisasi hutan

tingkat provinsi sudah dilakukan tetapi tidak lengkap dan tidak diberbaharui Belum ada pembinaan

dan pengendalian

Sudah melakukan inventarisasi, tapi belum lengkap

Sama sekali belum ada kegiatan inventarisasi Sudah melakukan inventarisasi, tapi belum lengkap - - - 2 Rehabilitasi hutan NSPK sudah ada Penetapan lahan

kritis skala nasional Disusun dan ditetapan rencana RHL DAS/Sub DAS Pembinaan,monitori ng, evaluasi Penetapan rencana Pertimbangan teknis Penyusunan rancangan RHL skala provinsi belum Koordinasi DAK Pembinaan, monitoring Penyelenggaraan su-dah dilakukan , kendala pedoman teknis pusat yang kurang sesuai dengan kondisi daerah (gambut)

Penyenggaraan Penyelenggaraan Penyenggaraan Penyenggaraan Penyenggaraan

49

Disusun berdasarkan lampiran z PP No 38 Tahun 2007

50

(21)

Tabel 22 Lanjutan N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung Peran stakeholder

Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Pemerintah Desa Masyarakat Pendukung

Kabupaten Tanjung Jabung Timur Kabupaten Sarolangun Kabupaten Solok Sealatan 3 Perlindungan hutan NSPK sudah ada Penyelenggara fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan membentuk lembaga pengendalian kebakaran hutan Penyelenggara tetapi kurang maksimal fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan pengendalian kebakaran Penyelenggara dengan melakukan operasi gabungan, tapi belum maksimal fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan, tapi kurang maksimal Penyelenggara tetapi kurang maksimal fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan, tapi kurang maksimal pengendalian kebakaran Penyelenggara dengan membentuk polisi nagari, tapi belum maksimal fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan, tapi kurang maksimal pengendalian kebakaran

Penyelenggara Penyelenggara Penyelenggara

4 Ijin pemanfaatan kawasan

NSPK

Penetapan areal kerja Fasilitasi kurang pembinaan dan pengendalian kurang verifikasi pengajuan ijin Fasilitasi kurang Penyelenggara ijin

lintas kabupaten belum ada

Pemberi hak

pengelolaan hutan desa Pembinaan dan pengendalian kurang Penyelenggara ijin pemanfaatan kawasan hutan belum ada Fasilitasi belum dilakukan Penyelenggara ijin pemanfaatan kawasan hutan belum ada Fasilitasi belum dilakukan Penyelenggara ijin pemanfaatan kawasan hutan belum ada Fasilitasi belum dilakukan Belum mengajukan permohonan ijin

Fasilitasi Belum ada

sosialisasi dan pembentukan lembaga desa 1 0 7

(22)

Tabel 22 Lanjutan N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung Peran stakeholder

Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Pemerintah Desa Masyarakat Pendukung

Kabupaten Tanjung Jabung Timur Kabupaten Sarolangun Kabupaten Solok Sealatan 5 Ijin pemungutan HHBK NSPK Pembinaan dan pengendalian kurang Belum ada ijin

pemungutan HHBK skala nasional

Pembinaan dan pengendalian kurang Belum ada ijin

pemungutan HHBK skala provinsi

Pembinaan dan pengendalian kurang Belum ada ijin

pemungutan HHBK skala kabupaten Pembinaan dan pengendalian kurang Belum ada ijin

pemungutan HHBK skala kabupaten Pembinaan dan pengendalian kurang Belum ada ijin

pemungutan HHBK skala kabupaten Tidak melakukan pemungutan HHBK Pemungutan HHBK - 6 Ijin jasa lingkungan NSPK belum ada (wisata alam) NSPK yang ada belum bisa diiimplemen-tasikan (ijin penyerapan/ penyimpanan karbon Pembinaan dan pengendalian kurang Belum ada ijin jasa

lingkungan lintas provinsi

Belum ada ijin jasa lingkungan lintas kabupaten Pembinaan dan

pengendalian kurang

Belum ada ijin jasa lingkungan skala kabupaten Pembinaan dan

pengendalian kurang

Belum ada ijin jasa lingkungan skala kabupaten Pembinaan dan

pengendalian kurang

Belum ada ijin jasa lingkungan skala kabupaten Pembinaan dan pengendalian kurang - Pengambil manfaat jasa lingkungan -

(23)

5.4. Kesenjangan Peran Stakeholder (antara Peraturan Perundangan dan Implementasinya)

Kesenjangan antara kebijakan dan implementasinya didekati dengan membandingkan peran stakeholder berdasarkan peraturan undang-undang dan implementasinya di lapangan. Hasil analisis asumsi kebijakan (identifikasi pada Tabel 21 dan Tabel 22) dirangkum dan disajikan pada Tabel 23. Dari hasil analisis asumsi dapat disimpulkan bahwa beberapa stakeholders belum menjalankan perannya secara optimal, sebagai contoh :

a. Pemerintah Pusat belum membuat beberapa NSPK pengelolaan hutan lindung (seperti inventarisasi hutan, ijin wisata alam dan ijin pemanfaatan air), beberapa NSPK yang dibuat juga sulit diimplementasikan di lapangan (NSPK ijin pemanfaatan kawasan) atau belum bisa diimplementasikan (NSPK ijin penyimpanan/penyerapan karbon). Peran pemerintah pusat dalam fasilitasi, pembinaan, monev masih kurang. Desentralisasi pengelolaan hutan memerlukan mekanisme pembinaan dan monev yang intensif dari pemerintah pusat agar pemerintah daerah mampu menjalankan kewenangannya.

b. Pemerintah Provinsi belum membuat pedoman inventarisasi hutan dan penyelenggaran inventarisasi tingkat provinsi juga tidak dijalankan secara periodik sesuai ketentuan perundangan (setiap 5 tahun diperbaharui). Pemerintah provinsi kurang menjalankan fungsi fasilitasi dalam pengelolaan hutan karena keterbatasan anggaran.), padahal Pemerintah Provinsi sebenarnya mengembang peran melaksanakan tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan di bidang kehutanan sesuai dengan lingkup tugasnya. Beberapa kegiatan penyelenggaraan pengelolaan hutan maupun ijin pemanfaatan hutan lintas kabupaten juga tidak bisa diimplementasikan.

c. Pemerintah kabupaten belum melakukan peran inventarisasi atau sudah melakukan peran inventarisasi tetapi masih parsial. Beberapa peran penyelenggaraan pengelolaan hutan sudah dilakukan oleh pemerintah kabupaten (seperti rehabilitasi, perlindungan) tetapi belum maksimal, karena beberapa kendala (keterbatasan anggaran, SDM dan NSPK pusat yang tidak sesuai dengan kondisi

(24)

lapangan). Peran ijin pemanfaatan kawasan belum bisa diimplementasikan, padahal ijin tersebut memberi manfaat langsung bagi masyarakat dan Pemda setempat, sehingga pemanfaatan hutan oleh pemerintah kabupaten belum optimal dilakukan. Selama ini belum ada mekanisme insentif dan disinsentif pengelolaan hutan lindung.

d. Pemerintah Desa mempunyai sedikit peran dalam pengelolaan hutan lindung, tetapi beberapa peran tersebut belum bisa diimplementasikan.

e. Masyarakat meskipun mendapat beberapa peran dalam pengelolaan hutan lindung, namun perannya masih pasif (penerima), padahal masyarakat merupakan stakeholder utama dalam pengelolaan hutan lindung. Masyarakat tidak mempunyai tempat dalam pengambilan keputusan, biasanya hanya dilibatkan dalam proses konsultasi dan pengumpulan informasi.

f. Di lokasi penelitian stakeholder pendukung (LSM) yang menonjol adalah FLEGT, WARSI dan Qbar. LSM tersebut menjalankan fungsi fasilitasi dalam bentuk pendampingan kepada masyarakat sekitar hutan. Stakeholder pendukung (swasta) yang cukup menonjol adalah PT Petro China, sudah melakukan peran reklamasi. Perusahaan swasta yang memanfaatkan jasa dari hutan lindung belum begitu banyak. Perusahaan tersebut bisa diarahkan supaya bisa memberikan kompensasi kepada Pemda dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung.

Berdasarkan kesenjangan antara peran yang terdapat dalam aturan perundangan-undangan dan implementasi peran di ketiga kabupaten penelitian, dapat disimpulkan masing-masing stakeholder belum menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan yang tertulis dalam aturan perundangan. Pemerintah pusat perlu menjalankan beberapa perannya, agar desentralisasikan pengelolaan hutan lindung dapat berjalan. Beberapa peran yang belum dijalankan oleh pemerintah pusat yang sangat mempengaruhi kinerja pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Belum terimplementasinya beberapa kegiatan pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah kabupaten (seperti inventarisasi, perlindungan, ijin pemanfaatan hutan) juga disebabkan oleh belum terpenuhinya beberapa syarat administratif pelaksanaan desentralisasi yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat. Menurut

(25)

Bappenas dan UNDP (2009), pemerintah provinsi juga belum bisa menjalankan perannya dengan baik karena ketidakjelasan pengaturan fiskal di level pemerintah provinsi.

Banyaknya peran pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten yang belum diimplementasikan sejalan dengan hasil penelitian Ngakan et al (2007) tentang Implikasi Perubahan Kebijakan Otonomi Daerah terhadap Beberapa Aspek di Sektor Kehutanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat belum secara jelas menunjukkan komitmennya mendorong otonomi secara bertahap di bidang kehutanan, di sisi lain Pemerintah Kabupaten belum dapat menunjukkan komitmen dan kemampuannya untuk mengurus hutan yang ada di wilayahnya secara baik dan bertanggungjawab.

(26)

Tabel 23 Analisis Asumsi Kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung Peran stakeholder Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah

Kabupaten

Pemerintah Desa Masyarakat Pendukung

1 Berdasarkan aturan perundang-undangan di pusat51 - Pembuat Kebijakan - Penyelenggara - Pembinaan pengendalain dan monev - Pembuat kebijakan, pedoman - Penyelenggara - Fasilitasi, pembinaan dan pengendalian - Penyelenggara - Fasilitasi - Penyelenggara - Pengajuan ijin - Penyelenggara - Pengajuan ijin - Penyelenggara - Pengajuan ijin 2 Implementasi desentralisasi pengelolaan hutan lindung 52 - Pembuatan kebijakan (belum dibuat, tidak implementatif) - Penyelenggara - Pembinaan, pengendalian dan monev kurang - Pedoman inventarisasi belum dibuat - Penyelenggara (inventarisasi tidak di-up date) - Fasilitasi, pembinaan dan pengendalian kurang - Penyelenggaraan sudah dilakukan tapi belum optimal) - Penyelenggaraan belum dilakukan (ijin pemanfaatan kawasan) - Fasilitasi kurang - Penyelenggara - Belum mengajukan ijin - Penyelenggara - Belum mengajukan ijin - Penyelenggara - Belum mengajukan ijin

Keterangan : kata yang digaris bawah menunjukkan bahwa peran tersebut belum diimplementasikan Sumber : hasil analisis data sekunder, wawancara dan observasi lapangan, 2010

51 Diidentifikasi dari 69 Peraturan perundangan terkait (Lampiran 1 nomor 1 s/d 69) 52 Diidentifikasi dari 27 Dokumen kebijakan terkait (Lampiran 1 nomor 70 s/d 96)

Gambar

Tabel  20  Distribusi  peran  stakeholder  dalam  desentralisasi  pengelolaan  hutan   lindung  Stakeholde r   Peran (kali)  Inventarisas i  Rehabilitasi  Perlindungan  Ijin  pemanfaata n kawasan  Ijin  Pemungutan HHBK  Ijin jasa  lingkungan  Jumlah  %  Ma
Tabel 21 Analisis peran stakeholder dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung berdasarkan peraturan perundang-undangan  N o  Desentralisasi  Pengelolaan Hutan  Lindung 43 Peran stakeholder 44
Tabel 21 Lanjutan  N o  Desentralisasi  Pengelolaan Hutan  Lindung  Peran stakeholder
Tabel 21 Lanjutan  N o  Desentralisasi  Pengelolaan Hutan  Lindung  Peran stakeholder
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pemeriksaan fisis telinga, hidung dan tenggorok adalah adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan- kelainan pada telinga, mulai dari

Tissue Debridement merupakan tindakan untuk membuang jaringan nekrosis, kalus dan jaringan fibrotik sekitar 2 – 3 mm dari tepi luka ke jaringan sehat. Metode yang digunakan yaitu:

Dalam era perkembangan teknologi maklumat dan komunikasi (ICT), ibu bapa perlu diberi pendedahan tentang penggunaan teknologi ini bagi menghasilkan masyarakat yang celek

Karena algoritma yang sama digunakan penyeleksian bit-bit yang akan dienkripsi dan didekripsi, dan bahwa proses enkripsi dan dekripsi pada Serpent menggunakan

Selanjutnya dilakukan perhitungan perencanaan pengadaan bahan baku dengan 4 metode dimana hasil perencanaan kebutuhan bahan baku yang dilakukan pada penelitian ini

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, alat dapat berfungsi dengan baik, yaitu pengisian baterai berlangsung normal dan pada saat matahari terbenam, secara

Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 12 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang sejak tahun 1957 dan selanjutnya secara formal dituangkan dalam Keputusan DPRD