• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Deskripsi Umum Geososiodemografi Kota Denpasar. Kota Denpasar merupakan satu-satunya kotamadya di Propinsi Bali dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Deskripsi Umum Geososiodemografi Kota Denpasar. Kota Denpasar merupakan satu-satunya kotamadya di Propinsi Bali dan"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

74 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Umum Geososiodemografi Kota Denpasar

Kota Denpasar merupakan satu-satunya kotamadya di Propinsi Bali dan sekaligus merupakan ibu kota propinsi. Secara geografis Kota Denpasar berada pada ketinggian 0 -75 meter dari permukaan laut, terletak pada posisi 8°35’31” sampai 8°44’49” Lintang Selatan dan 115°00’23” sampai 115°16’27” Bujur Timur. Sementara luas wilayah Kota Denpasar 127,78 km² atau 2,18% dari luas wilayah Propinsi Bali (Pemerintah Kota Denpasar, 2015).

Gambar 5.1

Peta Wilayah Administratif Kota Denpasar (Pemerintah Kota Denpasar, 2015)

(2)

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 2011, secara administratif, Denpasar terdiri dari 4 kecamatan (Gambar 5.1) yaitu Denpasar Utara, Denpasar Selatan, Denpasar Barat dan Denpasar Timur serta mencakup 16 kelurahan dan 27 desa (Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, 2013). Seperti yang dijelaskan dalam Tabel 5.1, Denpasar Selatan merupakan kecamatan yang paling luas dengan cakupan 39,12% dari seluruh wilayah Kota Denpasar, disusul berturut-turut Denpasar Utara dengan luas wilayah 24,59%, Denpasar Barat 18,83% dan Denpasar Timur 17,46%. Adapun Kota Denpasar secara administratif berbatasan dengan :

a. Sebelah Barat : Kecamatan Kuta (Badung)

b. Sebelah Utara : Kecamatan Mengwi dan Abiansemal (Badung) c. Sebelah Timur : Desa Batubulan (Gianyar)

d. Sebelah Selatan : Selat Badung dan Kuta (Badung) Tabel 5.1

Luas Wilayah Kota Denpasar Menurut Kecamatan

No Wilayah Kecamatan Luas Wilayah(km2) Persentase Luas Wilayah(%)

1 Denpasar Selatan 49,99 39,12

2 Denpasar Timur 22,31 17,46

3 Denpasar Barat 24,06 18,83

4 Denpasar Utara 31,42 24,59

Total 127,78 100,00

Sumber : BPS Kota Denpasar ( 2015)

Dalam situs resmi Pemerintah Kota Denpasar tahun 2015 disebutkan bahwa sebagai satu-satunya kotamadya di Bali pada dasarnya Denpasar memiliki dua fungsi utama yaitu :

(3)

76

1. Fungsi Dasar

a. Sebagai pusat perdagangan

b. Sebagai pusat industri kecil dan kerajinan c. Sebagai pusat transportasi

d. Sebagai pusat aktivitas pariwisata e. Sebagai pusat aktivitas jasa regional 2. Fungsi Penunjang

a. Sebagai pusat pemerintahan b. Sebagai pusat pendidikan

c. Sebagai pusat pelayanan kesehatan d. Sebagai pusat utilitas

e. Sebagai pusat hankam (pertahanan dan keamanan)

Apabila dilihat dari jenis pekerjaannya, seperti yang ditampilkan dalam Tabel 5.2, penduduk Kota Denpasar yang berjumlah 846.200 orang, dominan bekerja di sektor usaha perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 39,55 % dan sektor jasa sejumlah 24,02 %. Angka tersebut secara signifikan lebih besar apabila dibandingkan dengan jumlah persentase Bali secara keseluruhan yang bekerja di sektor yang sama. Penduduk Kota Denpasar yang bekerja di sektor pertanian sangatlah kecil yaitu hanya sejumlah 1,72 % jika dibandingkan dengan persentase penduduk Bali secara keseluruhan yang bekerja di sektor yang sama sebesar 24,00 % (BPS Kota Denpasar, 2015).

(4)

Tabel 5.2

Persentase Tenaga Kerja Menurut Sektor Lapangan Usaha di Kota Denpasar dan Propinsi Bali Tahun 2013

Sektor Lapangan Usaha Wilayah / daerah

Denpasar Bali

(1) (2) (3)

1 Pertanian 1,72 24,00

2 Penggalian 0,00 0,40

3 Industri 13,29 14,10

4 Listrik, Gas & Air Minum 1,02 0,40

5 Bangunan / Konstruksi 7,17 9,29

6 Perdagangan, Hotel & Restoran 39,55 27,64

7 Angkutan dan Komunikasi 6,22 3,20

8 Keuangan 7,01 4,11

9 Jasa-jasa 24,02 16,86

Jumlah 100,00 100,00

Sumber : BPS Kota Denpasar (2015)

Berdasarkan Tabel 5.2 dapat diketahui bahwa penduduk Kota Denpasar sebagian besar menggantungkan mata pencaharian mereka dari 3 (tiga) sektor utama yaitu perdagangan, jasa dan industri. Sektor pertanian tidak mendapatkan porsi yang banyak dikarenakan derasnya alih fungsi lahan akibat pembangunan di Kota Denpasar, menyebabkan sektor pertanian menjadi terpinggirkan (Sudaratmaja, 2008). Pemerintah Kota Denpasar mencatat

s

elama kurang lebih lima tahun terakhir ini luas lahan sawah berkurang sekitar 283 Ha. atau menyusut rata-rata tiap tahun sekitar 2,8 % (Pemerintah Kota Denpasar, 2015). Menyusutnya lahan produktif karena adanya alih fungsi lahan mengakibatkan produksi pertanian menjadi menurun.

(5)

78

Sudaratmaja (2008) dalam tulisannya yang berjudul Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Ketahanan Sosial-Ekonomi dan Ekologi di Bali, mengatakan bahwa Denpasar menduduki peringkat kedua dari segi kecepatan alih fungsi lahan setelah Jembrana. Dalam makalahnya Sudaratmaja lebih lanjut memaparkan bahwa alih fungsi lahan di Kota Denpasar yang bersifat terkonsentrasi menyebabkan hilangnya satu kawasan pertanian dan berkurangnya kelompok petani tradisional yaitu subak. Ini terbukti dari jumlah subak di Denpasar tahun 1993 yang masih berjumlah 45 buah berkurang menjadi hanya 37 buah di tahun 2006.

Sektor Jasa dan perdagangan menjadi pilihan paling banyak bagi penduduk di Kota Denpasar. Salah satu usaha yang masuk ke dalam sektor jasa adalah perbengkelan yang khususnya merupakan sektor jasa di bidang otomotif dan transportasi.

5.2 Deskripsi Umum Usaha Bengkel Sepeda Motor di Kota Denpasar

Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI (1999) dalam Keputusan No. 551/MPP/Kep/10/1999 mendefinisikan bengkel umum kendaraan bermotor adalah bengkel umum kendaraan yang berfungsi untuk membetulkan, memperbaiki, dan merawat kendaraan bermotor agar tetap memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. Usaha bengkel kendaraan merupakan suatu unit usaha atau perusahaan yang menyelenggarakan usaha perbengkelan untuk kendaraan bermotor untuk umum dengan pembayaran sebagai imbal jasa.

Bengkel kendaraan merupakan suatu unit usaha yang padat karya yang terdiri dari sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih untuk menjalankan servis

(6)

kendaraan serta menggunakan peralatan yang sesuai spesifikasi pabrik dalam melakukan servis kendaraan (Daryanto, 2010). Peralatan bengkel sepeda motor untuk satu bengkel dengan yang lainnya biasanya hampir sama. Adapun secara umum peralatan yang dipergunakan dalam melakukan pelayanan usaha perbengkelan sepeda motor antara lain (Dinas Perbuhungan Kota Denpasar, 2001):

a. Pit lift

b. Head light tester

c. Side slip dan brake tester d. Smoke tester

e. Test Bosch pump

f. Kompresor dan generator set

g. Gerinda, mesin bubut dan mesin bor h. Las listrik / las karbit

i. Toolkitdan peralatan kerja lainnya

Proses dan kegiatan yang sering dilakukan di bengkel sepeda motor di Denpasar meliputi proses perawatan dan perbaikan yang meliputi penggantian oli, penggantian cairan pendingin kendaraan, penggantian baterai, penggantian filter udara/filter oli, perbaikan dan pembersihan knalpot, penggantian ban, penggantian spare part, tune up, dan lain-lain. Proses dan kegiatan servis tersebut di atas tentunya menghasilkan berbagai limbah dan sampah yang dibuang ke lingkungan. Limbah atau sampah tersebut apabila tidak mendapat penanganan yang sesuai akan mendatangkan bahaya bagi lingkungan.

(7)

80

Limbah yang dihasilkan dari kegiatan perbengkelan di Kota Denpasar dapat diklasifikasikan menjadi limbah padat, limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun), limbah cair serta limbah gas/partikulat seperti yang divisualisasikan dalam Gambar 5.2.

1. Limbah Padat

Limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan bengkel sepeda motor antara lain : a. Suku cadang motor (misalnya piston)

b. Filter udara c. Ban bekas d. Potongan logam e. Kain lap (majun) f. Plastik/fiberglass g. Gelas/kaca

h. Kotak/boxbekas (misalnya :box, kaleng, drum) 2. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Limbah B3 menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 adalah limbah yang mengandung zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain (Presiden Republik Indonesia, 2014). Limbah B3 yang dihasilkan oleh aktivitas kerja bengkel antara lain :

(8)

a. Minyak pelumas bekas

b. Bahan-bahan pelarut (misalnya anti karat) c. Cairan pendingin bekas radiator kendaraan d. Lumpur dan minyak(sludge)

e. Minyak rem daribrake cirkuit

f. Baterai (aki) bekas yang mengandung asam kuat dan timbal g. Filter oli/bensin dan asbes

h. Kanvas rem i. Sisa – sisa cat

Gambar 5.2

Visualisasi Limbah Kegiatan Perbengkelan di Kota Denpasar yang ditempatkan Sesuai Dengan Jenis Limbahnya

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)

Berdasarkan Lampiran I Peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2014, dapat diketahui bahwa sebagian besar limbah B3 yang dihasilkan oleh aktivitas bengkel merupakan limbah B3 kategori I (Presiden Republik Indonesia, 2014). Adapun

(9)

82

limbah bengkel yang termasuk dalam limbah B3 kategori I sesuai dengan PP No. 101 Tahun 2014 antara lain : pelarut cat, benzena, asam sulfat (berasal dari aki bekas), aki, fiber asbes kendaraan dan rem, cairan pendingin (refrigerant) dari sistem pendingin kendaraan. Botol – botol oli maupun pelumas serta majun (kain lap yang terkontaminasi oli atau minyak) termasuk ke dalam kategori II.

Limbah B3 kategori I (sesuai pasal 5 ayat (3) pada PP No. 101 Tahun 2014), adalah limbah dengan karakteristik mudah meledak, mudah menyala, reaktif, infeksius, dan/atau korosif. Di samping itu, limbah B3 kategori I juga memiliki sifat sangat beracun karena memiliki LD50 (Lethal Dose) atau lebih kecil dari 50 mg/kg berat badan hewan uji (Presiden Republik Indonesia, 2014).

Untuk mengelola limbah B3 dari hasil aktivitas bengkel ini diperlukan suatu pembinaan dan pengawasan yang benar dari seluruh komponen, baik swasta maupun pemerintah melalui dinas terkait, supaya limbah B3 yang sangat berbahaya tersebut tidak mengkontaminasi lingkungan.

3. Limbah Cair

Limbah cair merupakan air limbah yang dibuang dari kegiatan perbengkelan yang antara lain meliputi :

a. Sisa –sisa oli mesin, pelumas, gemuk, minyak rem, zat asam kuat dari aki atau baterai yang bocor atau pecah, pelarut cat, dan lain-lain.

b. Cairan yang dipakai untuk mencuci suku cadang motor saat servis. c. Bahan pembersih kendaraan seperti sabun/detergen.

(10)

4. Limbah Gas / partikulat

Limbah gas / partikulat merupakan limbah yang dibuang ke udara berupa gas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar dan debu atau partikel yang bercampur dengan udara ambien. Limbah gas tersebut terdiri dari gas karbonmonoksida (CO), karbon dioksida (CO2), dan nitrogen oksida (NOx) yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar bensin yang merupakan bahan bakar utama untuk sepeda motor (BPPT, 2008; Marji, 2012). Dari pengamatan lapangan diketahui partikel debu yang dilepaskan ke udara oleh aktivitas servis kendaraan berasal dari pembersihan komponen sepeda motor berupa pembersihan rem kendaraan, pembersihan ruang bakar kendaraan, pembersihan karburator, komponen filter udara kendaraan dan pembersihan kendaraan sepeda motor itu sendiri.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perijinan Kota Denpasar, diperoleh jumlah usaha perbengkelan sepeda motor belum terklasifikasi dengan baik sesuai dengan kelasnya berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 551/MPP/Kep/10/1999 Tentang Bengkel Umum Kendaraan Bermotor. Selama ini usaha bengkel sepeda motor di Kota Denpasar dicatat di Dinas Perijinan berdasarkan besaran modal yang dipakai oleh unit usaha, keberadaan SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan), SITU (Surat Ijin Tempat Usaha) dan Ijin Gangguan (HO) (Dinas Perijinan Kota Denpasar, 2014).

Dari data bengkel yang diperoleh, diketahui jumlah bengkel sepeda motor di Kota Denpasar yang tercatat di Dinas Perijinan Kota Denpasar tahun 2014 berjumlah 118 bengkel (Dinas Perijinan Kota Denpasar, 2014). Kemudian

(11)

84

dilakukan klasifikasi unit usaha bengkel sesuai dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 551/MPP/Kep/10/1999 (Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, 1999) Tentang Bengkel Umum Kendaraan Bermotor yang ditindaklanjuti melalui Keputusan Direktur Jenderal Industri dan Logam Mesin Elektronik dan Aneka No. 04/SK/DJ-ILMEA/V/2000 (Dirjen Industri dan Logam Mesin dan Aneka, 2000) Tentang Persyaratan dan Penilaian Klasifikasi Bengkel Umum Kendaraan Bermotor serta berdasarkan adanya standar operasional prosedur (SOP) yang dimiliki masing-masing bengkel. Adapun jumlah bengkel yang menjadi bagian dari populasi penelitan sejumlah 90 bengkel. Bengkel – bengkel tersebut tersebar di 4 (empat ) kecamatan di Kota Denpasar.

Setelah dilakukan pemilihan sampel berdasarkan Normogram Harry King dengan tingkat signifikansi 15% (α = 0,15; CI = 85%) didapatkan sebanyak 20 (dua puluh) sampel bengkel yang diteliti, di mana terdiri dari 3 (tiga) klasifikasi bengkel yaitu A, B dan C. Adapun sebaran lokasi bengkel yang menjadi sampel penelitian ini seperti yang dijelaskan dalam Gambar 5.3. Adapun bengkel yang menjadi sampel penelitian dengan Klasifikasi A berjumlah 3 (tiga) bengkel yaitu Astra Honda Teuku Umar, Yamaha Flagship Diponegoro Denpasar, dan Cahaya Surya Bali Indah (Suzuki Gunung Agung). Bengkel dengan klasifikasi B berjumlah 9 bengkel (Hero Nusa Kartini, Agung Motor Centre, Tri Tunggal Sejahtera, Nikki Baru Motor, Waja Gunung Agung, Asaparis, Kharisma Perkasa Dewata, HD 99 Kamboja, Bisma Supratman) dan klasifikasi C berjumlah 8 bengkel.

(12)

Gambar 5.3

(13)

86

5.3 Karakteristik Karyawan Mekanik Bengkel

Tenaga kerja bengkel merupakan sumber daya utama penggerak sektor perbengkelan. Mereka merupakan ujung tombak pelayanan bagi costumer, sehingga kualitas dan kesehatan dari para tenaga kerja, khususnya para karyawan mekanik merupakan suatu keharusan. Dalam penelitian ini para karyawan mekanik sepeda motor yang merupakan responden berjumlah 101 orang. Responden ini tersebar secara proporsional di masing-masing kelas bengkel yaitu A, B dan C.

Gambar 5.4

Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Kelas Bengkel

Berdasarkan atas Keputusan Menteri Prindustrian dan Perdagangan RI No. 551/MPP/Kep/10/1999 Tentang Bengkel Umum Kendaraan Bermotor, yang diperjelas melalui Keputusan Dirjen Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka No. 04/SK/DJ-ILMEA/V/2000 Tentang Persyaratan dan Penilaian Klasifikasi Bengkel Umum Kendaraan Bermotor, yang dimaksud dengan bengkel kelas A adalah bengkel kendaraan yang mampu melakukan jenis pekerjaan

20,8 %

49,5% 29,7%

(14)

perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar dan seluruh pekerjaan perbaikan chassis dan body. Bengkel kelas B merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis pekerjaan berkala, perbaikan kecil dan perbaikan besar serta sebagian perbaikan pada chassis dan body. Dalam peraturan tersebut juga disebutkan bahwa bengkel kelas C merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, dan perbaikan kecil saja (Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, 1999; Dirjen Industri dan Logam Mesin Elektronik dan Aneka, 2000).

Karyawan mekanik bengkel secara keseluruhan berjenis kelamin pria. Dalam penelitian ini tidak ditemukan karyawan mekanik wanita yang bekerja di bengkel di Kota Denpasar. Seperti yang ditampilkan dalam Gambar 5.4, jumlah karyawan mekanik yang menjadi responden berasal dari bengkel kelas A sejumlah 20,8%, bengkel kelas B berjumlah 49,5 % dan sisanya merupakan bengkel kelas C sebesar 29,7%. Bengkel kelas B merupakan bengkel dengan fasilitas yang cukup lengkap dan merupakan bengkel dengan klasifikasi terbanyak . Selain itu, bengkel tersebut juga memiliki mekanik dalam jumlah antara 5-15 orang tiap bengkel.

Hasil kuesioner mengenai umur karyawan menemukan rentang umur mekanik yang bekerja di bengkel Kota Denpasar antara 18-44 tahun. Para mekanik didominasi oleh tenaga kerja yang berusia muda seperti yang dijelaskan pada Gambar 5.5, yaitu sebanyak 39,6 % yang kisaran usianya berada pada 20-25 tahun serta 26-30 tahun sebanyak 17,8%. Karyawan mekanik bengkel yang berusia > 40 tahun juga masih ada yang bekerja secara produktif di pelayanan bengkel, namun jumlahnya memang paling sedikit yaitu sebanyak 4,0%.

(15)

88

Gambar 5.5

Karakteristik Umur Karyawan Mekanik Bengkel Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

Dalam usia yang masih muda tersebut para karyawan mekanik bengkel memiliki tenaga yang lebih dibandingkan dengan para mekanik dengan usia yang lebih tua, sehingga mereka dapat bekerja dalam porsi yang lebih besar untuk melayanicostumer.

Di samping karena faktor usia karyawan mekanik yang rata-rata masih muda, kemampuan pelayanan servis dan pengalaman kerja juga sangat menentukan dalam menjamin kepuasan pelayanan kepada costumer. Pengalaman kerja karyawan mekanik di bengkel bisa dilihat dari masa kerjanya.

Ditinjau dari masa kerjanya, mekanik sepeda motor di Kota Denpasar paling banyak memiliki masa kerja dengan rentang waktu 1- 2 tahun (31,7%) dan 3-4 tahun (20,8%). Yang menarik adalah para mekanik dengan pengalaman kerja yang termasuk lama jumlahnya juga tidak sedikit. Mereka di bengkel merupakan karyawan yang menjadi mentor bagi mekanik junior di tempat kerja masing-masing. Para mekanik senior dengan masa kerja > 10 tahun berjumlah 20,8 %.

< 20 20-25 26-30 31-35 36-40 > 40 0 5 < 20 Jumlah (%) 13,9 88 Gambar 5.5

Karakteristik Umur Karyawan Mekanik Bengkel Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

Dalam usia yang masih muda tersebut para karyawan mekanik bengkel memiliki tenaga yang lebih dibandingkan dengan para mekanik dengan usia yang lebih tua, sehingga mereka dapat bekerja dalam porsi yang lebih besar untuk melayanicostumer.

Di samping karena faktor usia karyawan mekanik yang rata-rata masih muda, kemampuan pelayanan servis dan pengalaman kerja juga sangat menentukan dalam menjamin kepuasan pelayanan kepada costumer. Pengalaman kerja karyawan mekanik di bengkel bisa dilihat dari masa kerjanya.

Ditinjau dari masa kerjanya, mekanik sepeda motor di Kota Denpasar paling banyak memiliki masa kerja dengan rentang waktu 1- 2 tahun (31,7%) dan 3-4 tahun (20,8%). Yang menarik adalah para mekanik dengan pengalaman kerja yang termasuk lama jumlahnya juga tidak sedikit. Mereka di bengkel merupakan karyawan yang menjadi mentor bagi mekanik junior di tempat kerja masing-masing. Para mekanik senior dengan masa kerja > 10 tahun berjumlah 20,8 %.

5 10 15 20 25 30 35

< 20 20-25 26-30 31-35 36-40

13,9 39,6 17,8 14,9 9,9

88

Gambar 5.5

Karakteristik Umur Karyawan Mekanik Bengkel Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

Dalam usia yang masih muda tersebut para karyawan mekanik bengkel memiliki tenaga yang lebih dibandingkan dengan para mekanik dengan usia yang lebih tua, sehingga mereka dapat bekerja dalam porsi yang lebih besar untuk melayanicostumer.

Di samping karena faktor usia karyawan mekanik yang rata-rata masih muda, kemampuan pelayanan servis dan pengalaman kerja juga sangat menentukan dalam menjamin kepuasan pelayanan kepada costumer. Pengalaman kerja karyawan mekanik di bengkel bisa dilihat dari masa kerjanya.

Ditinjau dari masa kerjanya, mekanik sepeda motor di Kota Denpasar paling banyak memiliki masa kerja dengan rentang waktu 1- 2 tahun (31,7%) dan 3-4 tahun (20,8%). Yang menarik adalah para mekanik dengan pengalaman kerja yang termasuk lama jumlahnya juga tidak sedikit. Mereka di bengkel merupakan karyawan yang menjadi mentor bagi mekanik junior di tempat kerja masing-masing. Para mekanik senior dengan masa kerja > 10 tahun berjumlah 20,8 %.

35 40 45

36-40 > 40

(16)

Selengkapnya data tentang karakteristik umur para mekanik bengkel ditampilkan dalam Gambar 5.6.

Gambar 5.6

Karakteristik Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Berdasarkan Masa Kerja Tahun 2015

Dari hal tersebut diketahui perbandingan jumlah mekanik senior dan junior pada bengkel di Kota Denpasar hampir berimbang di mana sebanyak 52,5% terdiri dari mekanik dengan masa kerja < 5 tahun; serta 47,5% sisanya merupakan mekanik dengan pengalaman kerja > 5 tahun.

Apabila dilihat dari pendidikannya, para karyawan mekanik sepeda motor sebagian besar merupakan lulusan dengan pendidikan tingkat menengah yaitu setingkat SMU/SMK sebanyak 74,3% dan diploma otomotif 15,8% (Gambar 5.7). Para karyawan mekanik lulusan sarjana menempati posisi sebagai supervisor atau kepala tim atau kepala bengkel dengan jumlah 9,9%. Dari penelitian ini belum ditemukan para karyawan mekanik yang memiliki pendidikan setingkat dengan

0 1-2 3-4 5-6 7-8 9-10 > 10 1-2 Jumlah (%) 31,7 Masa Kerja (th)

Selengkapnya data tentang karakteristik umur para mekanik bengkel ditampilkan dalam Gambar 5.6.

Gambar 5.6

Karakteristik Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Berdasarkan Masa Kerja Tahun 2015

Dari hal tersebut diketahui perbandingan jumlah mekanik senior dan junior pada bengkel di Kota Denpasar hampir berimbang di mana sebanyak 52,5% terdiri dari mekanik dengan masa kerja < 5 tahun; serta 47,5% sisanya merupakan mekanik dengan pengalaman kerja > 5 tahun.

Apabila dilihat dari pendidikannya, para karyawan mekanik sepeda motor sebagian besar merupakan lulusan dengan pendidikan tingkat menengah yaitu setingkat SMU/SMK sebanyak 74,3% dan diploma otomotif 15,8% (Gambar 5.7). Para karyawan mekanik lulusan sarjana menempati posisi sebagai supervisor atau kepala tim atau kepala bengkel dengan jumlah 9,9%. Dari penelitian ini belum ditemukan para karyawan mekanik yang memiliki pendidikan setingkat dengan

5 10 15 20 25 30

1-2 3-4 5-6 7-8 9-10

31,7 20,8 6,9 8,9 10,9

Selengkapnya data tentang karakteristik umur para mekanik bengkel ditampilkan dalam Gambar 5.6.

Gambar 5.6

Karakteristik Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Berdasarkan Masa Kerja Tahun 2015

Dari hal tersebut diketahui perbandingan jumlah mekanik senior dan junior pada bengkel di Kota Denpasar hampir berimbang di mana sebanyak 52,5% terdiri dari mekanik dengan masa kerja < 5 tahun; serta 47,5% sisanya merupakan mekanik dengan pengalaman kerja > 5 tahun.

Apabila dilihat dari pendidikannya, para karyawan mekanik sepeda motor sebagian besar merupakan lulusan dengan pendidikan tingkat menengah yaitu setingkat SMU/SMK sebanyak 74,3% dan diploma otomotif 15,8% (Gambar 5.7). Para karyawan mekanik lulusan sarjana menempati posisi sebagai supervisor atau kepala tim atau kepala bengkel dengan jumlah 9,9%. Dari penelitian ini belum ditemukan para karyawan mekanik yang memiliki pendidikan setingkat dengan

30 35

> 10 20,8

(17)

90

pasca sarjana dan tidak ada mekanik yang memiliki pendidikan di bawah pendidikan menengah yaitu setingkat SMP.

Gambar 5.7

Karakteristik Pendidikan Karyawan Mekanik Bengkel Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

Berdasarkan atas kualifikasi pendidikan yang dimiliki oleh para karyawan mekanik sepeda motor tersebut, dapat dilihat bahwa pekerjaan di bidang otomotif memiliki standar yang ketat, di mana mengharuskan setiap orang memiliki kompetensi yang sesuai dengan pekerjaan yang akan digelutinya. Pekerjaan di bidang servis mesin dan kendaraan merupakan pekerjaan dengan komposisi skill yang dominan sehingga bagi pekerja yang tidak memiliki keahlian dan terlatih akan cukup kesulitan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Hal inilah yang kemudian disadari oleh para pengusaha bengkel untuk menerima karyawan yang telah terlatih dan terdidik di bidang mesin atau otomotif.

Untuk mendapatkan kualitas kerja dengan produktivitas yang baik, maka diperlukan tenaga kerja dengan kesehatan yang baik pula (Harrianto, 2010).

SMP SMU/SMK

90

pasca sarjana dan tidak ada mekanik yang memiliki pendidikan di bawah pendidikan menengah yaitu setingkat SMP.

Gambar 5.7

Karakteristik Pendidikan Karyawan Mekanik Bengkel Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

Berdasarkan atas kualifikasi pendidikan yang dimiliki oleh para karyawan mekanik sepeda motor tersebut, dapat dilihat bahwa pekerjaan di bidang otomotif memiliki standar yang ketat, di mana mengharuskan setiap orang memiliki kompetensi yang sesuai dengan pekerjaan yang akan digelutinya. Pekerjaan di bidang servis mesin dan kendaraan merupakan pekerjaan dengan komposisi skill yang dominan sehingga bagi pekerja yang tidak memiliki keahlian dan terlatih akan cukup kesulitan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Hal inilah yang kemudian disadari oleh para pengusaha bengkel untuk menerima karyawan yang telah terlatih dan terdidik di bidang mesin atau otomotif.

Untuk mendapatkan kualitas kerja dengan produktivitas yang baik, maka diperlukan tenaga kerja dengan kesehatan yang baik pula (Harrianto, 2010).

0%

74,3% 15,8%

9,9% 0%

SMU/SMK Diploma (I/II/III) Sarjana (D IV/S-1) Pasca sarjana

90

pasca sarjana dan tidak ada mekanik yang memiliki pendidikan di bawah pendidikan menengah yaitu setingkat SMP.

Gambar 5.7

Karakteristik Pendidikan Karyawan Mekanik Bengkel Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

Berdasarkan atas kualifikasi pendidikan yang dimiliki oleh para karyawan mekanik sepeda motor tersebut, dapat dilihat bahwa pekerjaan di bidang otomotif memiliki standar yang ketat, di mana mengharuskan setiap orang memiliki kompetensi yang sesuai dengan pekerjaan yang akan digelutinya. Pekerjaan di bidang servis mesin dan kendaraan merupakan pekerjaan dengan komposisi skill yang dominan sehingga bagi pekerja yang tidak memiliki keahlian dan terlatih akan cukup kesulitan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Hal inilah yang kemudian disadari oleh para pengusaha bengkel untuk menerima karyawan yang telah terlatih dan terdidik di bidang mesin atau otomotif.

Untuk mendapatkan kualitas kerja dengan produktivitas yang baik, maka diperlukan tenaga kerja dengan kesehatan yang baik pula (Harrianto, 2010).

(18)

Untuk itu, para pengusaha wajib mengupayakan kesehatan kerja karyawan melalui penciptaan kualitas lingkungan kerja yang sehat dan juga karyawan wajib menjaga kesehatan diri mereka. Status gizi merupakan salah satu indikator penting dan paling mudah untuk dipakai menilai kecukupan asupan gizi seseorang (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011; Kurniawidjaja, 2012). Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan (Almatsier, 2001). Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui bahwa apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik. Salah satu indikator yang mudah dilakukan untuk menilai status gizi dapat dilihat melalui pengukuran nilai indeks massa tubuh (IMT). Indeks massa tubuh merupakan nilai perbandingan antara berat badan seseorang (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m) (Almatsier, 2001) .

Pada penelitian ini ditemukan bahwa, IMT karyawan mekanik sepeda motor di Kota Denpasar sebagian besar berada dalam rentang normal yaitu sebanyak 74,3%. Sebanyak 8,9 % mekanik mengalami status gizi kurang (kurus) terdiri dari 3,0 % kekurangan berat badan tingkat berat, dan 5,9 % merupakan kekurangan berat badan tingkat ringan. Di samping status gizi kurang, ditemukan juga sebesar 16,8 % merupakan karyawan mekanik dengan status gizi lebih atau kegemukan. Dari 16,8 % tersebut 5,9 % merupakan karyawan mekanik dengan status gizi lebih tingkat ringan dan 10,9 % merupakan kelebihan berat badan tingkat berat (obesitas). Data tentang status indeks massa tubuh (IMT) mekanik ditampilkan dalam Gambar 5.8.

(19)

92

Gambar 5.8

Hasil Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

Status IMT yang kurang dari nilai normal yang dianjurkan (18,5-25 kgm-2), berpotensi menyebabkan karyawan mekanik sepeda motor menjadi kurang produktif dalam bekerja (Almatsier, 2001; Kurniawidjaja, 2012). Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), dalam pedoman praktis memantau status gizi orang dewasa, menurunnya produktivitas pada orang dengan IMT yang rendah disebabkan oleh asupan kalori yang minimal, sehingga energi yang dihasilkan lebih rendah dari kebutuhan yang mengakibatkan sebagian cadangan energi tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan dan karyawan yang bersangkutan cenderung mudah sakit.

Sebaliknya dengan orang yang memiliki IMT berlebih (> 25,0 kgm-2), ini terjadi sebagai akibat makanan yang dikonsumsi mengandung energi melebihi kebutuhan tubuh. Kelebihan energi tersebut akan disimpan tubuh sebagai cadangan dalam bentuk lemak sehingga mengakibatkan seseorang menjadi lebih

74,3%

92

Gambar 5.8

Hasil Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

Status IMT yang kurang dari nilai normal yang dianjurkan (18,5-25 kgm-2), berpotensi menyebabkan karyawan mekanik sepeda motor menjadi kurang produktif dalam bekerja (Almatsier, 2001; Kurniawidjaja, 2012). Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), dalam pedoman praktis memantau status gizi orang dewasa, menurunnya produktivitas pada orang dengan IMT yang rendah disebabkan oleh asupan kalori yang minimal, sehingga energi yang dihasilkan lebih rendah dari kebutuhan yang mengakibatkan sebagian cadangan energi tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan dan karyawan yang bersangkutan cenderung mudah sakit.

Sebaliknya dengan orang yang memiliki IMT berlebih (> 25,0 kgm-2), ini terjadi sebagai akibat makanan yang dikonsumsi mengandung energi melebihi kebutuhan tubuh. Kelebihan energi tersebut akan disimpan tubuh sebagai cadangan dalam bentuk lemak sehingga mengakibatkan seseorang menjadi lebih

3% 5,9% 74,3% 5,9% 10,9% Kurang Tk. Berat Kurang Tk. Ringan Normal Lebih Tk Ringan Lebih Tk Berat 92 Gambar 5.8

Hasil Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

Status IMT yang kurang dari nilai normal yang dianjurkan (18,5-25 kgm-2), berpotensi menyebabkan karyawan mekanik sepeda motor menjadi kurang produktif dalam bekerja (Almatsier, 2001; Kurniawidjaja, 2012). Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), dalam pedoman praktis memantau status gizi orang dewasa, menurunnya produktivitas pada orang dengan IMT yang rendah disebabkan oleh asupan kalori yang minimal, sehingga energi yang dihasilkan lebih rendah dari kebutuhan yang mengakibatkan sebagian cadangan energi tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan dan karyawan yang bersangkutan cenderung mudah sakit.

Sebaliknya dengan orang yang memiliki IMT berlebih (> 25,0 kgm-2), ini terjadi sebagai akibat makanan yang dikonsumsi mengandung energi melebihi kebutuhan tubuh. Kelebihan energi tersebut akan disimpan tubuh sebagai cadangan dalam bentuk lemak sehingga mengakibatkan seseorang menjadi lebih

Kurang Tk. Berat Kurang Tk. Ringan Lebih Tk Ringan Lebih Tk Berat

(20)

gemuk (Almatsier, 2001). Kegemukan berpotensi menyebabkan orang menjadi kurang gesit dalam bergerak, dan sangat berisiko menderita penyakit metabolik seperti penyakit jantung, diabetes, dan tekanan darah tinggi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Penggunaan nilai ukur Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu indikator yang dapat dipercayai untuk mengukur status gizi. Meskipun merupakan indikator yang mudah dilakukan, penggunaan IMT memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan dalam menentukan pengukuran status gizi terutama jika berkaitan dengan lemak tubuh. Chumlea et al.(2008) dalam tulisannya yang berjudul Anthropometric Assessment: Stature, Weight, and the Body Mass Index in Adults dalam Buku Handbook of Nutrition and Food edisi kedua menjelaskan ada beberapa kelemahan dari penggunaan nilai indeks massa tubuh antara lain:

1. Pada olahragawan (terutama atlet binaraga) yang cenderung mempunyai massa otot yang lebih banyak, maka seorang atlet binaraga terkadang masuk dalam kategori obesitas apabila menggunakan skala ukur IMT. Padahal atlet binaraga memiliki persentase lemak tubuh dalam kadar yang rendah. Dalam pengukuran berdasarkan berat badan dan tinggi badan, kenaikan nilai IMT disebabkan oleh lemak tubuh, sehingga nilai IMT pada atlet terkadang menimbulkanfalsepositif obesitas.

2. Pada anak-anak: tidak akurat karena jumlah lemak tubuh akan berubah seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuh badan seseorang. Jumlah lemak tubuh pada lelaki dan perempuan juga berbeda selama pertumbuhan. Oleh karena itu, pada anak-anak dianjurkan untuk mengukur

(21)

94

berat badan berdasarkan nilai persentil yang dibedakan atas jenis kelamin dan usia. Skala IMT dianjurkan digunakan untuk mereka yang telah dewasa yang berumur > 18 tahun.

3. Pada kelompok ras dan etnis tertentu nilai IMT memiliki variasi yang besar sehingga harus dimodifikasi mengikuti kelompok ras atau etnis tertentu. Sebagai contoh, IMT wanita Afrika-Amerika dan wanita Hispanik cenderung memiliki rata-rata IMT yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita bukan Hispanik kulit putih. Apabila dibandingkan, antara pria non Hispanik Afrika – Amerika berkulit putih cenderung memiliki level lemak tubuh yang lebih tinggi tetapi tidak dengan nilai IMT-nya.

Kelebihan indeks massa tubuh adalah: a. Biaya yang diperlukan relatif murah.

b. Dalam mengukur IMT hanya diperlukan data berat badan dan tinggi badan seseorang, sehingga dibutuhkan pengukur berat badan (skala kg) dan pengukur tinggi badan saja.

c. Mudah dikerjakan dan hasil bacaan adalah sesuai nilai standar yang telah dinyatakan pada tabel IMT.

Dalam penilaian status kesehatan tenaga kerja mekanik di bengkel sepeda motor dengan menggunakan IMT, dilihat pula bagaimana kebiasaan para mekanik berkaitan dengan rokok. Dari penelitian ini ditemukan bahwa karyawan mekanik yang keseluruhan merupakan tenaga kerja pria memiliki kebiasaan merokok. Dari kuesioner yang diedarkan dan hasilnya ditampilkan pada Gambar 5.9, mereka

(22)

yang mengakui sebagai perokok aktif sebanyak 75 orang (74,3%) dan sisanya 25,7% mengaku tidak merokok.

Gambar 5.9

Distribusi Frekuensi Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Berdasarkan Kebiasaan Merokok Tahun 2015

Kebiasaaan merokok di kalangan mekanik sepeda motor dilakukan setiap hari dan sering ditemukan saat jam istirahat berlangsung. Data yang diperoleh di lapangan melalui penelitian ini sejalan dengan data yang diperoleh lewat Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan tahun 2007 yang disebutkan dalam Buku Pedoman Kawasan Tanpa Rokok tahun 2010 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Pada buku tersebut Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi penduduk yang menjadi perokok bahkan angka perokok aktif pada umur < 15 tahun telah meningkat dari 29,2% pada 2007 menjadi 34,7% pada 2010. Prevalensi perokok yang meningkat terjadi juga pada kelompok umur 15-24 tahun yang meningkat dari 17,3% (2007) menjadi 18,6% atau naik hampir 10% dalam kurun waktu 3 tahun. Peningkatan juga terjadi pada kelompok umur

Proporsi Karyawan Mekanik Berdasarkan Kebiasaan Merokok

yang mengakui sebagai perokok aktif sebanyak 75 orang (74,3%) dan sisanya 25,7% mengaku tidak merokok.

Gambar 5.9

Distribusi Frekuensi Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Berdasarkan Kebiasaan Merokok Tahun 2015

Kebiasaaan merokok di kalangan mekanik sepeda motor dilakukan setiap hari dan sering ditemukan saat jam istirahat berlangsung. Data yang diperoleh di lapangan melalui penelitian ini sejalan dengan data yang diperoleh lewat Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan tahun 2007 yang disebutkan dalam Buku Pedoman Kawasan Tanpa Rokok tahun 2010 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Pada buku tersebut Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi penduduk yang menjadi perokok bahkan angka perokok aktif pada umur < 15 tahun telah meningkat dari 29,2% pada 2007 menjadi 34,7% pada 2010. Prevalensi perokok yang meningkat terjadi juga pada kelompok umur 15-24 tahun yang meningkat dari 17,3% (2007) menjadi 18,6% atau naik hampir 10% dalam kurun waktu 3 tahun. Peningkatan juga terjadi pada kelompok umur

25,7%

74,3%

Proporsi Karyawan Mekanik Berdasarkan Kebiasaan Merokok

Ya Tidak

yang mengakui sebagai perokok aktif sebanyak 75 orang (74,3%) dan sisanya 25,7% mengaku tidak merokok.

Gambar 5.9

Distribusi Frekuensi Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Berdasarkan Kebiasaan Merokok Tahun 2015

Kebiasaaan merokok di kalangan mekanik sepeda motor dilakukan setiap hari dan sering ditemukan saat jam istirahat berlangsung. Data yang diperoleh di lapangan melalui penelitian ini sejalan dengan data yang diperoleh lewat Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan tahun 2007 yang disebutkan dalam Buku Pedoman Kawasan Tanpa Rokok tahun 2010 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Pada buku tersebut Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi penduduk yang menjadi perokok bahkan angka perokok aktif pada umur < 15 tahun telah meningkat dari 29,2% pada 2007 menjadi 34,7% pada 2010. Prevalensi perokok yang meningkat terjadi juga pada kelompok umur 15-24 tahun yang meningkat dari 17,3% (2007) menjadi 18,6% atau naik hampir 10% dalam kurun waktu 3 tahun. Peningkatan juga terjadi pada kelompok umur

Proporsi Karyawan Mekanik Berdasarkan Kebiasaan Merokok

(23)

96

produktif (25-34 tahun) dari 29,0% (2007) menjadi 31,1% (2010) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Merokok sampai saat ini masih menjadi masalah nasional yang perlu secara terus menerus diupayakan penanggulangannya, karena menyangkut berbagai aspek permasalahan dalam kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, politik, utamanya aspek kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Aspek kesehatan yang dimaksud adalah terjadinya kerusakan kesehatan dini yang dapat menyebabkan kesehatan yang buruk pada masa dewasa. Orang dewasa bukan perokok pun yang terus-menerus terpapar juga akan mengalami peningkatan risiko kanker paru dan jenis kanker lainnya. Dari aspek ekonomi, hasil penelitian menunjukkan bahwa satu orang perokok mengeluarkan rata-rata Rp. 216.000,- per bulan untuk tembakau dan sejumlah Rp. 2.592.000,- per tahun untuk membeli rokok. Suatu jumlah yang cukup besar apabila uang tersebut dapat dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih produktif (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Pada karyawan mekanik sepeda motor juga dilakukan pemeriksaan fungsi paru sebagai salah satu indikator kesehatan karyawan. Pengukuran fungsi paru karyawan mekanik sepeda motor dilakukan dengan menggunakan alat spirometer, dan hasil pengukurannya dinyatakan sebagai fungsi paru normal, dan gangguan ventilasi yang dapat berupa restriksi (ringan, sedang, dan berat), obstruksi (ringan, sedang dan berat) serta combine defect (Tabel 5.3). Parameter ukur yang dicari adalah FVC/forced vital capacityatau kapasitas vital paru paksa, dan FEV1/forced expiration volume in 1 (one) second, yang datanya disokong oleh nilai

(24)

antropometri karyawan yang diukur yakni berupa tinggi badan dan berat badan. Nilai antropometri karyawan sangat menentukan nilai prediksi dua parameter ukur pada spirometer.

Selengkapnya hasil pengukuran fungsi paru untuk 101 karyawan mekanik beserta ditampilkan dalam Lampiran 2 dan foto pengukuran fungsi paru para mekanik dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan klasifikasi dari Mc Kay et al. dalam Budiono (2007) didapatkan hasil seperti dalam Tabel 5.3, di mana 42,6% karyawan mekanik memiliki fungsi paru yang normal, 37,6 % dengan restriksi paru di mana 17,8 % mengalami restriksi ringan dan masing-masing 9,9% untuk restriksi sedang dan restriksi berat. Sebanyak 7,9 % karyawan dengan combine defect dan sisanya (11,9 %) mengalami obstruksi ringan. Pada pengukuran ini tidak ditemukan karyawan dengan kategori obstruksi paru sedang dan berat. Seseorang dikategorikan memiliki fungsi paru normal apabila nilai FVC > 80% dan FEV1/FVC ≥ 75%.

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Fungsi Paru Berdasarkan Umur Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

FUNGSI PARU UMUR (th) Total (%)

< 20 20-25 26-30 31-35 36-40 > 40 Normal (5,9%)6 (12,9%)13 (8,9%)9 (7,9%)8 (6,9%)7 (0,0%)0 (42,6%)43 Restriksi Ringan (1,0%)1 (9,9%)10 (2,0%)2 (4,0%)4 (0,0%)0 (1,0%)1 (17,8%)18 Sedang (1,0%)1 (5,0%)5 (3,0%)3 (1,0%)1 (0,0%)0 (0,0%)0 (9,95%)10 Berat (1,0%)1 (5,9%)6 (2,0%)2 (0,0%)0 (1,0%)1 (0,0%)0 (9,9%)10 Obstruksi Ringan (2,0%)2 (4,0%)4 (1,0%)1 (2,0%)2 (1,0%)1 (2,0%)2 (11,9%)12 Combined defect (3,0%)3 (2,0%)2 (1,0%)1 (0,0%)0 (1,0%)1 (1,0%)1 (7,9%)8

(25)

98

Apabila nilai dari pengukuran fungsi paru karyawan mekanik dikaitkan dengan umur, diketahui fungsi paru normal (42,6%) tersebar pada umur < 20 tahun sebanyak 6 orang (5,9%), 20-25 tahun sebanyak 13 orang (12,9%), 26-30 tahun sebanyak 9 orang (8,9%), 31-35 tahun sebanyak 8 orang (7,9%) dan 7 orang (6,9%) pada umur 36-40 tahun.

Restriksi paru diketahui sebanyak 36,6 % yang terbagi menjadi restriksi ringan (17,8%), sedang (9,95%) dan berat (9,9%). Restriksi ringan ditemukan sebanyak 10 orang pada rentang umur 20-25 tahun, dan sebanyak 4 orang pada usia 31-35 tahun. Restriksi sedang dan restriksi berat juga ditemukan pada usia 20-25 tahun dengan masing-masing sebanyak 5 orang dan 6 orang. Untuk nilai obstruksi ringan dan combine defect memang tidak terlalu besar tetapi kedua klasifikasi tersebut tersebar dan ditemukan pada semua rentang umur karyawan.

Spirometri merupakan suatu upaya untuk mengukur ventilasi paru dalam bentuk volume statis dan dinamis dengan menggunakan spirometer. Pengukuran spirometri dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui status faal paru, menentukan prognosis dan manfaat pengobatan khususnya di bidang paru, serta di klinis sering digunakan untuk memantau perjalanan penyakit (Guyton dan Hall, 2012).

Indikasi pemeriksaan spirometri antara lain dilakukan kepada : a. Setiap keluhan sesak nafas

b. Evaluasi penderita asma dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) c. Pekerja yang terpajan zat berbahaya atau berisiko di tempat kerja d. Pemeriksaan berkala kepada perokok.

(26)

Pada pengukuran spirometri ini juga secara simultan dilakukan pengukuran frekuensi nafas dan frekuensi nadi saat istirahat. Dari pengukuran frekuensi nafas diketahui frekuensi nafas karyawan antara 16-22 kali per menit dan frekuensi nadi istirahat antara 64-86 kali per menit. Secara fisiologis kedua parameter tersebut berada dalam rentang normal (Guyton dan Hall, 2012).

Jika dibandingkan antara fungsi paru dengan masa kerja (Tabel 5.4) maka diketahui bahwa dari 32 orang (31,7%) karyawan mekanik dengan masa kerja 1-2 tahun ditemukan sebanyak 13 orang dengan fungsi paru normal, 12 orang dengan restriksi paru, 3 orang dengan obstruksi ringan dan 4 orang dengan combine defect.

Pada masa kerja mekanik 3-4 tahun yaitu sebanyak 21 orang (20,8%), diketahui sebanyak 6 orang dengan fungsi paru normal, 11 orang dengan restriksi paru, 3 orang dengan obstruksi ringan dan 1 orang dengan combine defect. Pada rentang masa kerja 7-8 tahun yaitu sebanyak 9 orang (8,9%) mekanik, diketahui fungsi paru normal sebanyak 5 orang. Data selengkapnya tentang fungsi paru mekanik sepeda motor dengan masa kerja ditampilkan pada Tabel 5.4.

Apabila dilihat distribusi fungsi paru karyawan berdasarkan atas kebiasaan merokok (Tabel 5.5) pada para mekanik sepeda motor, ditemukan hasil yang menarik. Sebagaimana disebutkan pada data tentang jumlah perokok pada mekanik sepeda motor yaitu sebanyak 75 orang (74,3%) dan 26 orang (25,7%) tidak merokok.

(27)

100

Tabel 5.4

Distribusi Frekuensi Fungsi Paru Berdasarkan Masa Kerja Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

FUNGSI PARU MASA KERJA (th) Total(%)

1-2 3-4 5-6 7-8 9-10 > 10 Normal (12,9%)13 (5,9%)6 (2,0%)2 (5,0%5 (6,9%)7 (9,9%)10 (42,6%)43 Restriksi Ringan (5,0%)5 (5,0%)5 (2,0%)2 (1,0%)1 (1,0%)1 (4,0%)4 (17,8%)18 Sedang (3,0%)3 (3,0%)3 (2,0%)2 (1,0%)1 (1,0%)1 (0,0%)0 (9,9%)10 Berat (4,0%)4 (3,0%)3 (0,0%)0 (2,0%)2 (0,0%)0 (1,0%)1 (9,9%)10 Obstruksi Ringan (3,0%)3 (3,0%)3 (1,0%)1 (0,0%)0 (1,0%)1 (4,0%)4 (11,9%)12 Combined (4,0%)4 (1,0%)1 (0,0%0 (0,0%)0 (1,0%)1 (2,0%)2 (7,9%)8

Pada mekanik yang merokok ditemukan sebanyak 21 orang (20,8%) dengan fungsi paru normal dan sisanya (79,2%) dengan kelainan fungsi paru, yang antara lain 17 orang (16,8%) dengan restriksi ringan, masing-masing 10 orang (9,9%) dengan restriksi sedang dan berat, 9 orang (8,9%) dengan obstruksi ringan dan 8 orang (7,9%) dengancombine defect.

Pada mekanik yang tidak merokok diketahui sebanyak 22 orang (21,8%) dengan hasil fungsi paru normal dan tidak ditemukan kelainan restriksi sedang dan berat serta combine defect. Kelainan restriksi ringan ditemukan 1 orang (1,0%) dan obstruksi ringan sebanyak 3 orang (3,0%). Selengkapnya data disajikan pada Tabel 5.5

(28)

.

Tabel 5.5

Distribusi Frekuensi Fungsi Paru Berdasarkan Kebiasaan Merokok Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

FUNGSI PARU MEROKOK Total (%)

TIDAK YA Normal (21,8%)22 (20,8%)21 (42,6%)43 Restriksi Ringan (1,0%)1 (16,8%)17 (17,8%)18 Sedang (0,0%)0,0 (9,9%)10 (9,9%)10 Berat (0,0%)0,0 (9,9%)10 (9,9%)10 Obstruksi Ringan (3,0%)3 (8,9%)9 (11,9%)12 Combined defect (0,0%)0,0 (7,9%)8 (7,9%)8 Total (%) (25,7%)26 (74,3%)75 (100%)101

Apabila Tabel 5.5 ditampilkan dalam bentuk gambar, maka akan tampak seperti Gambar 5.11 yang dapat memperlihatkan secara lebih jelas bahwa proporsi kejadian gangguan ventilasi paru pada para karyawan mekanik bengkel lebih banyak terjadi pada karyawan mekanik dengan kebiasaan merokok. Linelejan (2012) menemukan kejadian penurunan fungsi paru pada para nelayan perokok di Tuminting, Manado. Sebanyak 80,5 % nelayan dengan kebiasaan merokok mengalami gangguan fungsi paru berupa restriksi ringan hingga sedang.

Woodhouse et al. (2003) dari Sheffield University, melakukan penelitian penurunan ventilasi paru dengan menggunakan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dengan metode SSFSE (Single Shot Fast Spin Echo) terhadap orang merokok dan bukan merokok, menemukan bahwa terjadi penurunan rata-rata pada

(29)

102

volume paru (mean ventilated volume reduction) sebesar 24,8% pada perokok aktif dibandingkan dengan yang bukan perokok. Nilai penurunan ini ditemukan meningkat menjadi 34,4% pada perokok dengan penyakit paru obstruktif kronis.

Gambar 5.10

Distribusi Fungsi Paru Karyawan Mekanik Sepeda Motor dengan Kebiasaan Merokok di Kota Denpasar Tahun 2015

Sebagaimana disebutkan di penjelasan sebelumnya bahwa kelas bengkel di mana para mekanik bekerja memiliki 3 (tiga) klasifikasi yaitu bengkel kelas A, B dan C. Setelah dilakukan analisis antara fungsi paru mekanik sepeda motor dengan kelas bengkel di mana mereka bekerja diketahui distribusinya seperti dalam Tabel 5.6 . Jumlah mekanik sepeda motor di bengkel kelas A sebanyak 21 orang (20,8%) dan ditemukan 10 orang di antaranya memiliki fungsi paru normal, 6 orang dengan restriksi, dan 2 orang dengan obstruksi ringan serta 3 orang dengan combine defect. Di bengkel kelas B yang merupakan komposisi sampel/responden mekanik terbanyak dengan jumlah 50 orang (49,5%),

Normal Restriksi Ringan 21,8 1,0 20,8 102

volume paru (mean ventilated volume reduction) sebesar 24,8% pada perokok aktif dibandingkan dengan yang bukan perokok. Nilai penurunan ini ditemukan meningkat menjadi 34,4% pada perokok dengan penyakit paru obstruktif kronis.

Gambar 5.10

Distribusi Fungsi Paru Karyawan Mekanik Sepeda Motor dengan Kebiasaan Merokok di Kota Denpasar Tahun 2015

Sebagaimana disebutkan di penjelasan sebelumnya bahwa kelas bengkel di mana para mekanik bekerja memiliki 3 (tiga) klasifikasi yaitu bengkel kelas A, B dan C. Setelah dilakukan analisis antara fungsi paru mekanik sepeda motor dengan kelas bengkel di mana mereka bekerja diketahui distribusinya seperti dalam Tabel 5.6 . Jumlah mekanik sepeda motor di bengkel kelas A sebanyak 21 orang (20,8%) dan ditemukan 10 orang di antaranya memiliki fungsi paru normal, 6 orang dengan restriksi, dan 2 orang dengan obstruksi ringan serta 3 orang dengan combine defect. Di bengkel kelas B yang merupakan komposisi sampel/responden mekanik terbanyak dengan jumlah 50 orang (49,5%),

Restriksi

Ringan RestriksiSedang Restiksiberat ObstruksiRingan

1,0 0,0 0,0 3,0

16,8

9,9 9,9 8,9

Tidak Merokok Merokok

102

volume paru (mean ventilated volume reduction) sebesar 24,8% pada perokok aktif dibandingkan dengan yang bukan perokok. Nilai penurunan ini ditemukan meningkat menjadi 34,4% pada perokok dengan penyakit paru obstruktif kronis.

Gambar 5.10

Distribusi Fungsi Paru Karyawan Mekanik Sepeda Motor dengan Kebiasaan Merokok di Kota Denpasar Tahun 2015

Sebagaimana disebutkan di penjelasan sebelumnya bahwa kelas bengkel di mana para mekanik bekerja memiliki 3 (tiga) klasifikasi yaitu bengkel kelas A, B dan C. Setelah dilakukan analisis antara fungsi paru mekanik sepeda motor dengan kelas bengkel di mana mereka bekerja diketahui distribusinya seperti dalam Tabel 5.6 . Jumlah mekanik sepeda motor di bengkel kelas A sebanyak 21 orang (20,8%) dan ditemukan 10 orang di antaranya memiliki fungsi paru normal, 6 orang dengan restriksi, dan 2 orang dengan obstruksi ringan serta 3 orang dengan combine defect. Di bengkel kelas B yang merupakan komposisi sampel/responden mekanik terbanyak dengan jumlah 50 orang (49,5%),

Obstruksi

Ringan CombineDefect

0,0 7,9

(30)

ditemukan 18 orang dengan fungsi paru normal, 25 orang dengan restriksi dan 5 orang dengan obstruksi ringan serta 2 orang dengancombine defect.

Pada bengkel kelas C diketahui sebanyak 15 orang dengan fungsi paru normal, 7 orang dengan restriksi paru dan 5 orang dengan obstruksi ringan serta 3 orang dengancombine defect.

Tabel 5.6

Distribusi Frekuensi Fungsi Paru Berdasarkan Kelas Bengkel Karyawan Mekanik Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

FUNGSI PARU KELAS BENGKEL Total(%)

A B C Normal (9,9%)10 (17,8%)18 (14,9%)15 (42,6%)43 Restriksi Ringan (1,0%)1 (11,9%)12 (5,0%)5 (17,8%)18 Sedang (2,0%)2 (6,9%)7 (1,0%)1 (9,9%)10 Berat (3,0%)3 (5,9%)6 (1,0%)1 (9,9%)10 Obstruksi Ringan (2,0%)2 (5,0%)5 (5,0%)5 (11,9%)12 Combined defect (3,0%)3 (2,0%)2 (3,0%)3 (7,9%)8 Total (%) (20,8%)21 (49,5%)50 (29,7%)30 (100%)101

5.4 Karakteristik Lingkungan Kerja Bengkel

Lingkungan kerja bengkel dalam penelitian ini dinilai dengan melakukan pengukuran pada parameter seperti CO pada udara ambien, debu, pencahayaan, kebisingan, iklim kerja yang mencakup ISBB dan kelembaban udara. Selain itu, juga dilakukan penilaian lingkungan kerja bengkel dengan menggunakan kuesioner terhadap para mekanik sepeda motor selaku karyawan yang bekerja di

(31)

104

bengkel tersebut dan memberikan penilaian terhadap beberapa parameter yang telah disiapkan menyangkut lingkungan kerja dan pelaksanaan standar operasional prosedur.

Di samping kedua hal di atas, disiapkan pula checklistyang digunakan untuk menilai beberapa aspek di lingkungan kerja bengkel seperti ijin bengkel, prosedur kerja tetap, ketersediaan alat pelindung diri, ventilasi, toilet, kelengkapan P3K, ceceran oli di lantai ruang kerja, tempat sampah, ruang istirahat, fasilitas cuci tangan serta catatan lainnya yang meliputi volume servis harian bengkel, jadwal ambilan limbah oleh pihak ketiga dan supervisi dari instansi terkait ke bengkel tersebut. Pengisian checklist dilakukan oleh peneliti dengan menanyakan kepada manajemen bengkel atau staf manajemen yang berwenang dan melalui observasi saat penelitian berlangsung. Isian checklist berisi komponen isian jawaban ada atau tidak. Selengkapnya tentang hasil pengujian lingkungan kerja bengkel servis sepeda motor di Kota Denpasar dapat dilihat pada Lampiran 3.

Apabila dilihat lingkungan kerja bengkel melalui kegiatan pengukuran lingkungan yang dibantu oleh staf laboratorium dari UPT. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Propinsi Bali, didapatkan data hasil pengukuran seperti pada Tabel 5.7. Data hasil pengukuran tersebut kemudian dibandingkan dengan baku mutu. Adapun baku mutu yang digunakan antara lain :

a. Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Lingkungan (Gubernur Bali, 2007), Lampiran X tentang Baku Mutu Udara Ambien yang memberikan acuan NAB (Nilai Ambang Batas) pengukuran gas CO dan debu.

(32)

b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.13/Men/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2011) pada Lampiran I yang memberikan acuan terhadap NAB ISBB yang merupakan cerminan iklim kerja dan NAB kebisingan di tempat kerja.

c. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri yang memberikan acuan NAB untuk suhu, kelembaban ruang kerja, dan pencahayaan ruang kerja industri (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2002).

5.4.1 Gas Karbonmonoksida Pada Ruang Kerja Mekanik Bengkel

Pengukuran gas CO dilakukan dengan menggunakan alat impinger dari Balai Hiperkes Bali, seperti tampak pada Gambar 5.11. Dari 20 sampel bengkel yang diambil menunjukkan nilai pengukuran CO masih berada di bawah baku mutu yang dipersyaratkan dalam Peraturan Gubernur Bali NO. 8 Tahun 2007 Lampiran X, yaitu < 30.000 µg/m-3 (dalam 1 jam pengukuran), di mana nilai pengukuran gas CO di 20 sampel itu berada pada rentang nilai 313,33 - 606,67 µg/m-3.

Setelah dibandingkan dengan baku mutu, dapat disimpulkan bahwa nilai kadar gas pencemar CO di lingkungan udara ambien ruang kerja servis mekanik bengkel berada dalam batas normal. Apabila diklasifikasikan lagi, diketahui untuk bengkel kelas A memiliki rentang kadar CO sebesar 341,33 – 586,67 µg/m3,

(33)

106

bengkel kelas B antara 352,00 - 606,67 µg/m-3 serta bengkel kelas C dengan rentang nilai 286,70 – 530,22 µg/m-3.

Tabel 5.7

Rekapitulasi Nilai Pengukuran Variabel Lingkungan Kerja Bengkel di Kota Denpasar Tahun 2015

NO KELAS KODE PENGUJIAN LINGKUNGAN KERJA

CO DEBU PENCAHAYAAN KEBISINGAN ISBB RH WS

(µgm-3) (µgm-3) (lux) (dBA) (˚C) (%) ms-1 1 A A1 586,67 470,50 408,40 76,90 25,85 84,00 0,4 2 A A2 341,33 208,00 363,20 67,56 27,30 67,00 0,5 3 A A3 389,33 281,14 230,60 69,28 27,70 77,00 0,3 4 B B1 536,00 326,67 353,20 77,34 27,40 74,50 0,3 5 B B2 352,00 214,75 326,40 66,26 26,00 73,50 0,5 6 B B3 394,67 263,00 167,20 76,68 26,30 74,00 0,3 7 B B4 532,33 352,45 51,60 73,86 27,50 86,67 0,4 8 B B5 313,33 321,67 51,67 76,70 28,60 77,50 0,4 9 B B6 580,00 493.67 355,60 83,94 27,45 75,00 0,5 10 B B7 606,67 354,50 454,20 81,16 27,97 63,67 0,5 11 B B8 598,20 361,00 291,60 76,72 28,00 74,00 0,3 12 B B9 412,77 239,33 159,40 70,44 27,55 75,50 0,3 13 C C1 462,67 320,50 137,60 81,88 25,70 78,00 0,3 14 C C2 286,70 360,12 515,20 75,61 28,01 78,50 0,6 15 C C3 501,42 461,14 120,15 80,12 27,25 79,00 0,5 16 C C4 361,20 312,01 230,00 73,56 26,15 85,25 0,5 17 C C5 471,55 360,15 327,12 72,46 26,00 80,45 0,4 18 C C6 371,42 281,17 231,19 71,80 27,50 78,00 0,5 19 C C7 381,90 330,10 409,10 76,15 28,20 78,00 0,6 20 C C8 530,22 370,18 127,70 81,15 28,61 76,50 0,3

Keterangan Tabel 5.7 Nilai Baku Mutu Pengujian Lingkungan

No Parameter NAB

1 CO 30.000 µgm-3 Pengukuran 1 jam 2 Debu total 230 µgm-3 Pengukuran 24 jam

200 lux : pekerjaan dengan mesin dan perakitan kasar 4 Kebisingan 85 dBA Untuk pemaparan harian 8 jam

5 ISBB 28-31 ˚C 6 RH (Kelembaban) 65%-95% 7 WS(wind speed) 0,15 -0,25 ms-1 Keterangan 200-300 lux Pencahayaan

3 300 lux : R.Administrasi, R. Kontrol, pekerjaan mesin dan perakitan/penyusun

Beban kerja ringan - sedang dengan pengaturan waktu kerja setiap jam 75-100%

(34)

Gambar 5.11

Visualisasi Pengukuran Gas CO Ruang Servis Sepeda Motor Kota Denpasar dengan Memakai Alat Impinger Tahun 2015

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)

Hal ini berarti bahwa kadar karbonmonoksida di lingkungan udara ambien ruang kerja bengkel masih dalam batas aman bagi pekerja dan orang yang berada di lingkungan kerja tersebut. Nilai lengkap hasil pengukuran gas CO dijelaskan lebih rinci pada Tabel 5.7.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi yang berada pada lapisan troposfir yang dibutuhkan dan dapat mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup serta unsur lingkungan hidup lainnya (Presiden Republik Indonesia, 1999). Kualitas udara ambien ini sendiri merupakan tahap awal dalam memahami dampak negatif dari cemaran udara

(35)

108

terhadap lingkungan, dimana kualitas udara ambien dalam hal ini ditentukan oleh (Azizah dan Agnestisia, 2011):

1. Kuantitas emisi cemaran dari sumber cemaran.

2. Proses transportasi, konversi dan penghilangan cemaran di atmosfer (Gambar 5.13), dimana kualitas udara ambien akan menentukan dampak negatif cemaran udara terhadap kesehatan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat seperti tumbuhan, hewan, material dan yang lainnya.

Gambar 5.12

Skema Rantai Emisi-Dampak Cemaran Udara

(Sumber : Setyowati (2009) dalam Azizah dan Agnestisia, 2011)

Apabila diperhatikan skema rantai emisi (Gambar 5.13) dapat diketahui bahwa gas CO yang dihasilkan dalam suatu proses kerja perbengkelan yang timbul saat pembakaran tidak sempurna, bahan bakar kendaraan akan mengalami proses transportasi, konversi dan dilusi di udara ambien. Proses tersebut mengakibatkan nilai konsentrasi zat pencemar dapat turun dan berada dalam level yang tidak berbahaya bagi kesehatan manusia secara akut.

Meskipun gas CO bukan merupakan gas racun yang sifatnya akumulatif bagi manusia, paparan kronik rendah hingga sedang dapat menimbulkan serangan pengambilan oksigen berulang dan efek resultan termasuk kerusakan kardiovaskuler atau sistem saraf pusat. Tanda dan gejala yang dilaporkan meliputi Emisi dari sumber

pencemar

Proses transportasi, konversi dan penghilangan

Konsentrasi

(36)

polisitemia (Hb berlebih/diatas normal), keletihan, malaise, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, pusing, ataksia, pingsan, glikosuria, kelemahan anggota badan, nyeri sendi dan neuromuskuler, spasme otot, hilangnya sensasi pada jari, tanda Romberg positif, gangguan pendengaran dan penglihatan serta gangguan kewaspadaan. Juga mungkin terjadi iritabilitas, perubahan kepribadian, gangguan daya ingat dan kesulitan berkonsentrasi (Badan POM RI, 2010).

5.4.2 Debu Total Lingkungan Kerja Bengkel

Berkebalikan dengan nilai CO yang 100% masih berada dalam level normal, maka nilai pengukuran kadar debu total/TSP (total suspended particle) dari 20 sampel debu ruang kerja yang diuji dengan menggunakan alat Nephelometer (Gambar 5.13), ditemukan bahwa saat puncakserviskendaraan ditemukan rentang nilai debu total adalah 208,00 – 494,67 µgm-3.

Dari rentang tersebut diketahui bahwa 90% ruang kerja bengkel memiliki kadar debu total di atas nilai baku mutu berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007 (Gubernur Bali, 2007). Di antara jumlah tersebut sebanyak 2 (dua) bengkel merupakan bengkel kelas A, kemudian masing-masing sebanyak 8 (delapan) bengkel merupakan kelas B dan C. Apabila diambil di masing-masing kelas bengkel maka dapat diketahui nilai kadar debu total sebagai berikut: bengkel kelas A dengan kadar debu total sebesar 208-470,5 µgm-3, bengkel kelas B sebesar 214,75 – 493,67 µgm-3, sedangkan bengkel kelas C dengan rentang nilai debu total sebesar 281,17 – 461,14 µgm-3.

(37)

110

Gambar 5.13

Visualisasi Pengukuran Debu Total di Ruang Servis Kendaraan Sepeda Motor Kota Denpasar dengan Menggunakan Nephelometer Tahun 2015

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)

Menurut peraturan tersebut nilai baku mutu untuk debu total/TSP adalah 230 µgm-3 (Gubernur Bali, 2007). Tentunya ini merupakan hal yang memberikan situasi lingkungan kerja yang tidak sehat terhadap para mekanik dan costumer yang berada di dekat ruang servis. Penelitian yang dilakukan oleh Bonro (2013) mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kadar debu lingkungan kerja dengan penurunan fungsi paru karyawan. Selain itu, Riyadina (1996) dalam Mayasari (2011) menjelaskan bahwa efek biologis paparan debu di udara terhadap kesehatan manusia atau pekerja terdiri dari:

a. Efek Fibrogenik b. Efek Iritan

(38)

c. Efek Alergi

d. Efek Karsinogenik e. Efek Sistemik Toksik f. Efek pada Kulit

Berdasarkan atas fakta di atas, maka kadar debu yang melebihi baku mutu di ruang kerja para mekanik sepeda motor sudah barang tentu akan dapat memberikan efek atau dampak bagi kesehatan fisik mereka dalam jangka waktu tertentu

5.4.3 Pencahayaan di Lingkungan Kerja Bengkel

Servis kendaraan bermotor merupakan suatu pekerjaan rutin yang bersifat kasar dan terus menerus yang dilakukan dengan menggunakan mesin dan melakukan perakitan mesin. Di dalam ruang servis kendaraan terdapat ruang penerimaan order (admin bengkel), ruang pekerjaan mesin dan perakitan. Menurut Kemenkes RI No. 1405 Tahun 2002, disebutkan pencahayaan yang diperlukan untuk jenis pekerjaan seperti di ruang servis kendaraan sepeda motor adalah sebesar 200-300 lux (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2002).

Dari pengamatan lapangan diketahui, selain menggunakan pencahayaan alami, ruang kerja servis kendaraan telah dilengkapi dengan pencahayaan buatan dengan menggunakan lampu neon, dengan penempatan sedemikian rupa (Gambar 5.14) sehingga cukup terang untuk karyawan dan tidak menyilaukan. Berdasarkan data pada Tabel 5.7 ditemukan bahwa pencahayaan di bengkel sepeda motor di Kota Denpasar diketahui pada rentang 51,6 - 515,2 lux. Sebanyak 35% dari jumlah bengkel yang diukur diketahui memiliki intensitas pencahayaan yang

(39)

112

masih kurang dari NAB yang dipersyaratkan yaitu 4 bengkel termasuk kelas B dan 3 bengkel di kelas C.

Gambar 5.14

Pencahayaan Ruang Kerja Servis Sepeda Motor di Kota Denpasar dan Pengukuran Pencahayaan Ruang Kerja Oleh Petugas

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)

Dalam Peraturan Menteri Perburuhan No. 7 Tahun 1964 Tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan Serta Penerangan Dalam Tempat Kerja yaitu pada pasal 14 (6) juga dengan jelas diatur bahwa syarat minimal untuk penerangan di ruang kerja dengan menggunakan mesin seperti bengkel yang melakukan percobaan terhadap barang-barang harus disediakan penerangan dengan kekuatan paling sedikit 200 lux (20ft candles) (Menteri Perburuhan RI, 1964).

Pencahayaan/penerangan di tempat kerja sangat berarti bagi keselamatan kerja, operasi kerja dan semangat kerja (Daryanto, 2010). Penerangan yang baik dapat mengurangi gangguan kerja dan dapat meningkatkan kesenangan kerja, dan

(40)

penerangan yang memadai akan memberi pemandangan yang baik dan menyegarkan (Harrianto, 2010). Penerangan ruang kerja yang optimal dapat membuat produktivitas kerja meningkat. Padmanaba (2008) telah meneliti pengaruh penerangan terhadap produktivitas pada mahasiswa design interior ISI Denpasar dan mendapatkan hasil, bahwa dengan mengubah penerangan ruang kerja mahasiswa design interior dapat meningkatkan produktivitas karya mahasiswa dan mempersingkat waktu produksi yang diperlukan mahasiswa designinterior FSRD ISI Denpasar.

5.4.4 Kebisingan di Lingkungan Kerja Bengkel

Kebisingan ruang kerja merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan penyakit akibat kerja (Harrianto, 2010; Kurniawidjaja, 2012). Berdasarkan baku mutu yang ada pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.13/Men/X/2011 (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2011) tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja Lampiran I, maka intensitas bising ruang kerja yang diperbolehkan dalam 8 jam kerja maksimum sebesar 85 dBA. Apabila nilai bising ruang kerja melebihi nilai tersebut maka harus dilakukan perlindungan terhadap pekerja dengan menggunakan alat pelindung diri dan menyesuaikan jam kerja karyawan untuk mengurangi paparan bising untuk meminimalisasi akibat buruk bising terhadap tubuh karyawan.

Pada pengukuran yang dilakukan di ruang kerja bengkel ditemukan bising kerja di bengkel kelas A berada dalam rentang 67,56 - 76,6 dBA. Nilai tersebut masih berada dalam rentang nilai kebisingan normal untuk lingkungan kerja. Di

(41)

114

bengkel kelas B kebisingan diketahui sebesar 66,26 – 83,94 dBA. Dari rentang tersebut, diketahui sebanyak 2 bengkel kelas B yang memiliki kebisingan yang telah mendekati NAB. Bengkel kelas C diketahui memiliki rentang kebisingan antara 71,80 – 81,88 dBA, dengan 3 bengkel di antaranya memiliki kebisingan lebih dari 80 dBA yang mendekati NAB (maksimal 85 dBA). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.7.

5.4.5 Iklim Kerja Bengkel

Apabila ditinjau dari data kenyamanan iklim kerja di ruang kerja bengkel yang mencakup komponen ISBB (Indeks Suhu Basah Bola), kelembaban udara dan kecepatan udara di ruang servis kendaraan maka diketahui di bengkel kelas A memiliki rentang ISBB 25,85 – 27,7 ˚C; bengkel kelas B dengan rentang ISBB 26 – 28,60 ˚C; serta bengkel kelas C sebesar 25,7 – 28,61 ˚C.

Berdasarkan atas acuan baku mutu yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.13/Men/X/2011 (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2011), Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja Lampiran I, disebutkan bahwa untuk beban kerja ringan dengan kebutuhan kalori sampai 200 kkal / jam dengan kontinuitas pekerjaan dan istirahat > 50% dipersyaratkan ISBB maksimum sebesar 31 ˚C. Jika dilihat dari acuan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2002) ditetapkan suhu ideal untuk ruang kerja industri antara 18 – 30 ˚C. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa suhu ruang kerja di

(42)

bengkel servis sepeda motor di Kota Denpasar masih dalam rentang normal sesuai dengan baku mutu.

Kelembaban udara yang terukur di bengkel kelas A yaitu 67 - 84% dengan kecepatan udara 0,3 - 0,5 ms-1; bengkel kelas B 63,67 – 86,67% serta kecepatan udara 0,3 - 0,5 ms-1 dan di bengkel kelas C sebesar 76,50 - 85,25% dengan kecepatan udara 0,3 - 0,6 ms-1. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2002) ditetapkan kelembaban ruangan kerja industri adalah sebesar 65 - 95%, dengan laju ventilasi antara 0,15 -0,25 ms-1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelembaban relatif ruangan kerja bengkel servis sepeda motor di Kota Denpasar masih dalam rentang normal sesuai dengan baku mutu. Namun, kecepatan atau laju ventilasi di ruang kerja tersebut cukup kencang dengan kecepatan angin > 0,3 ms-1.

5.5 Karakteristik Standar Operasional Prosedur Bengkel Servis Sepeda Motor di Kota Denpasar Tahun 2015

Selain pengukuran terhadap kualitas lingkungan kerja seperti yang dijelaskan di atas, juga dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan standar operasional prosedur (S O P) di bengkel servis kendaraan di Kota Denpasar. Hal ini dilakukan dengan melengkapi checklist pengamatan dan panduan wawancara yang telah disiapkan sebelumnya. Tentang hal tersebut telah dilakukan pengamatan di lingkungan kerja bengkel selama servis berlangsung (Gambar 5.15) dan melakukan wawancara dengan petugas di bengkel tersebut, terutama dengan

(43)

116

kepala bengkel atau supervisor mekanik bengkel seputar pelaksanaan S O P di bengkel yang bersangkutan.

Gambar 5.15

Pengamatan Proses Kerja Mekanik dan Penilaian Pelaksanaan SOP oleh Petugas (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)

Checklist untuk penilaian S O P di bengkel sepeda motor mencakup pertanyaan tentang keberadaan ijin bengkel, kepemilikan dokumen S O P kerja bengkel, ketersediaan alat pelindung diri, ventilasi yang digunakan di ruang kerja, keberadaan dan kebersihan toilet, kelengkapan kotak P3K, keberadaan ceceran oli di lantai ruang kerja yang berpotensi menyebabkan kecelakaan kerja. Selain itu, juga terdapat penilaian keberadaan tempat sampah, fasilitas ruang istirahat mekanik, keberadaan fasilitas cuci tangan, serta catatan tentang volume servis harian, jadwal ambilan limbah B3 oleh pihak ketiga dan riwayat supervisi bengkel yang dilakukan oleh instansi pemerintah terkait. Data tentang penilaian standar operasional prosedur bengkel servis sepeda motor di Kota Denpasar yang diperoleh darichecklistdapat diuraikan sebagai berikut :

Gambar

Gambar 5.25 Pit Servis Kendaraan

Referensi

Dokumen terkait

Pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025) dinyatakan bahwa dasar perlindungan dan kesejahteraan sosial adalah mewujudkan pembangunan yang lebih merata

Era globalisasi informasi, dimana tekhnologi yang canggih melahirkan gaya hidup yang baru yaitu gaya hidup e-life atau electronik life dimana smartphone sebagai media

Hasil penelitian menunjukkan : 1) Pelaksanaan penggunaan Lembar Kerja Siswa untuk meningkatkan minat belajar pada kompetensi dasar mengolah kue Indonesia di

Semua itu menunjukkan bahwa lateks polistirena perbandingan 90 : 10 pada semua konsentrasi ALS memiliki tingkat kesabilan yang paling baik yang terlihat dari

Ten Berge khususnya terkait dengan prinsip-prinsip demokrasi maka beberapa poin penting yang perlu ditekankan adalah pada pernyataannya, Perwakilan politik: Kekuasaan

Dibandingkan dengan logam berat lainnya HgCl 2 merupakan logam berat yang paling toksik terhadap pertumbuhan mikroorganisme, karena isolat-isolat yang diuji dapat

Berdasarkan tabel di atas bahwa seluruh variabel bebas yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan, motivasi intrinsik, motivasi ekstrinsik, supervisi, reward,

RC4 Apakah perusahaan anda bersedia untuk menukar risiko anggaran yang lebih sedikit dengan keuntungan yang lebih sedikit?. RC5 Apakah perusahaan anda bersedia untuk menukar risiko