• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi bakteri dari lumpur limbah tekstil dan aplikasinya untuk pengolahan limbah tekstil menggunakan sistem kombinasi Anaerob Aerob

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isolasi bakteri dari lumpur limbah tekstil dan aplikasinya untuk pengolahan limbah tekstil menggunakan sistem kombinasi Anaerob Aerob"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

I DEWA KETUT SASTRAWIDANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya nyatakan bahwa disertasi Isolasi Bakteri dari Lumpur Limbah Tekstil dan Aplikasinya untuk Pengolahan Limbah Tekstil Menggunakan Sistem Kombinasi Anaerob-Aerob, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 18 Februari 2009

I Dewa Ketut Sastrawidana

(3)

Plants and Its Application for The Textile Wastewater Treatment in an Anaerobic-Aerobic Combination System. Supervised by DWI ANDREAS SANTOSA, BIBIANA W. LAY and ANAS MIFTAH FAUZI.

The objective of this research is to assess the wastewater treatment using bacteria that were adapted to the textile wastewater environment. Bacteria were isolated from the sludge of textile waste water treatment plants of CV Mama & Leon in Tabanan Regency and Badung River, Denpasar Bali. Phases of this research were begun by cultivating the bacteria in liquid media in anaerobic and aerobic condition. Afterwards, bacteria were selected through some phases by re-cultivating them in liquid media containing textile dye at higher concentration. Those selected bacteria were then identified and its efficiency was examined towards textile dye at various pH conditions, glucose concentration, dye concentration and retention time. The dye implemented in this test consisted of yellow remazol, red remazol, black remazol, blue remazol and mixture of the four dyes. Potential bacteria obtained were used in the treatment of artificial textile wastewater using anaerobic-aerobic system. In this wastewater treatment suspended-growth and attached-growth were applied within anaerobic-aerobic reactor. The treatment system by attached growth process used volcanic stone as media for attachment of the bacteria. The best wastewater treatment obtained will later on be applied for processing the textile sludge taken from textile dying industry. A number of 27 selected bacteria were obtained from the mud waste of CV Mama & Leon consisting of Aeromonas sp., Pseudomonas sp., Flavobacterium sp., Plesiomonas sp. and Vibrio sp. Meanwhile, 5 other selected bacteria taken from the mud of Badung River were Vibrio sp and Plesiomonas sp. Textile wastewater treatment in anaerobic-aerobic reactor used bacteria consortia comprising Aeromonas sp. ML6, Aeromonas sp ML14, Pseudomonas sp. ML8 and Flavobacterium sp. ML20 in the anaerobic phase and bacteria consortia consisting of Plesiomonassp.SB1, Plesiomonassp.SB2, Vibrio sp.SB1, Vibrio sp.SB2 and Vibrio sp.SB3 in aerobic phase with 3-day retention time. Each reactor could produce wastewater below the standard required by the Ministerial Decree of Environmental Affairs No. 51/MENLH/10/1995. This technology produced efficiency of dye degradation, TDS, TSS, COD and BOD respectively of 95.72%, 80.87%, 87.50%, 98.38% and 93.90%. Result of textile wastewater treatment in anaerobic phase had higher toxicity level than the one before being processed. However, its toxicity was sharply reduced after passing through aerobic treatment phase.

(4)

I DEWA KETUT SASTRAWIDANA, Isolasi Bakteri dari Lumpur Limbah Tekstil dan Aplikasinya untuk Pengolahan Limbah Tekstil Menggunakan Sistem Kombinasi Anaerob-Aerob. Dibimbing oleh DWI ANDREAS SANTOSA, BIBIANA W. LAY dan ANAS MIFTAH FAUZI.

(5)
(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan karya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

I DEWA KETUT SASTRAWIDANA

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Etty Riani, MS.

(Sekretaris Eksekutif Pengelolan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB) 2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Eng

(Sekretaris Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB)

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka 1. Dr. Ir. I Made Sudiana, M.Sc

( Peneliti Utama, Pusat Penelitian Biologi, LIPI) 2. Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)

(9)

Nama : I Dewa Ketut Sastrawidana NRP : P062050051

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, M.S Ketua

Prof. Dr. drh. Bibiana W. Lay, M.Sc Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Si

(10)

segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengolahan limbah industri tekstil, dengan judul “Isolasi Bakteri dari Lumpur Limbah Tekstil dan Aplikasinya untuk Pengolahan Limbah Industri Tekstil Sistem Kombinasi Anaerob-Aerob” Pencarian bakteri

isolat lokal potensial dan metode pengolahan cair industri tekstil ini sangat penting untuk dikaji, karena keberhasilan pengolahan limbah secara biologis sangat ditentukan oleh faktor jenis bakteri dan sistem pengolahan limbah yang digunakan.

Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Seiring dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S, sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta arahannya dalam menyelesaikan studi.

2. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, M.S, sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

3. Prof. Dr. drh. Bibiana W. Lay, M.Sc, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan disertasi ini.

4. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

5. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Yayasan DAMANDIRI di Jakarta yang telah memberikan bantuan dana dalam penulisan disertasi ini.

(11)

8. Ketua Jurusan Pendidikan Kimia dan Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Ganesha yang telah memberikan fasilitas penggunaan laboratorium serangkaian pengambilan data.

9. Staf Laboratorium ICBB yang telah banyak membantu dalam pengambilan data.

10. Penghargaan yang tak terhingga juga disampaikan kepada istri tercinta Desak Ketut Armini, S.S, dan anak tersayang Desak Putu Pramesti Ardhaswari yang telah banyak berkorban dan telah memberikan dorongan, bantuan yang tak ternilai dengan penuh kesabaran serta pengertiannya sehingga penulis tetap semangat menyelesaikan disertasi ini.

11. Rekan-rekan PSL angkatan 2005 dan Wisma Pinus IPB

12. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin untuk disebutkan satu per satu, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkatinya.

(12)

Penulis dilahirkan di Desa Belatungan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan Propinsi Bali pada tanggal 17 April 1968. Pendidikan SD, SMP dan SMA, diselesaikan di Tabanan. Pada tahun 1994 lulus S1 Jurusan Kimia di Universitas Udayana Denpasar. Pada tahun 1998 penulis berkesempatan melanjutkan studi Pascasarjana (S2) Kimia Murni di UGM bidang Kimia Analitik. Pada tahun 2005 menempuh program S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1995, penulis diangkat menjadi staf pengajar di Jurusan Pendidikan Kimia, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja, Bali sekarang menjadi Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja (UNDIKSHA). Penulis menjadi pengajar mata kuliah kimia lingkungan, kimia analitik dan kimia instrumen. Penulis menikah dengan Desak Ketut Armini, S.S pada tanggal 25 januari 2002 dan telah dikarunia seorang anak perempuan yaitu Desak Putu Pramesti Ardhaswari umur 6 tahun.

Publikasi ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian dalam disertasi ini antara lain :

1. Diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Nasional Berita Biologi (Terakreditasi A) Volume 9, Nomor 2, Agustus 2008. Judul : Pemanfaatan Konsorsium Bakteri Lokal untuk Bioremediasi Limbah Tekstil Menggunakan Sistem Kombinasi Anaerob-Aerob

(13)

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 6

1.4 Tujuan ... ... 7

1.5 Hipotesis ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 8

1.7 Keterbaruan ... 8

II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Profil Industri Tekstil Indonesia ... 11

2.2 Zat Warna Pencelupan Tesktil... 11

2.3 Proses Produksi Tekstil dan Karakteristik Limbah... 13

2.4 Metode Pengolahan Limbah Cair ... 15

2.4.1 Pengolahan Fisika ... 16

2.4.2 Pengolahan Kimia ... 17

2.4.3 Pengolahan Biologi ... 18

2.4.3.1 Pengolahan Menggunakan Proses Pertumbuhan Tersuspensi... 18

2.4.3.2 Pengolahan Menggunakan Proses Pertumbuhan Terlekat... 21

2.5 Pengolahan Air Limbah Tekstil ... 25

2.6 Perombakan Zat Warna Tekstil Secara Biologi ... 27

2.6.1 Perombakan Zat Warna Tekstil Pada Kondisi Anaerob... 28

(14)

2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Perombakan

Limbah Tekstil Secara Biologi... 34

2.8 Toksisitas Zat Warna Tekstil ... 36

III METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 38

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 38

3.3 Rancangan Penelitian... 39

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 42

3.4.1 Isolasi dan Identifikasi Bakteri Perombak Zat Pewarna Tekstil... 42

3.4.2 Efisiensi Perombakan Zat Warna Pada Kondisi Anaerob Diberbagai Kondisi Lingkungan ... 44

3.4.3 Pengolahan Limbah Tekstil Buatan ... 46

3.4.3.1 Pengolahan Limbah Pada Kondisi Anaerob... 47

3.4.3.2 Pengolahan Limbah Lanjutan Pada Kondisi Aerob... 50

3.4.4 Pengolahan Limbah tekstil Sistem Kombinasi Anaerob- Aerob ... 52

3.4.5 Uji Kualitas Hasil Pengolahan Limbah Tekstil ... 53

3.5 Analisis Data ... 54

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

4.1 Kultivasi, Seleksi dan Identifikasi ... . 56

4.2 Efisiensi Perombakan Zat Warna Pada Variasi Kondisi Lingkungan ... 62

4.2.1 Efisiensi Perombakan Pada Variasi pH... 62

4.2.2 Efisiensi Perombakan Pada Variasi Konsentrasi Glukosa.... 64

4.2.3 Efisiensi Perombakan Pada Variasi Konsentrasi Zat Warna. 67

4.2.4 Efisiensi Perombakan Pada Variasi Lama Waktu Inkubasi... 68

4.3 Pengolahan Limbah Tekstil Buatan... 69

4.4 Pengolahan Air limbah Tekstil Sistem Kombinasi Anaerob- Aerob Menggunakan Proses pertumbuhan Terlekat... 79

(15)

5.1 Simpulan ... 86

5.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(16)

1. Perkembangan ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia ... 11

2. Penggolongan zat warna menurut sifat dan cara pencelupannya... 12

3. Karakteristik limbah cair tekstil... 15

4 Potensial redoks setengah reaksi untuk sistem biologi ... 30

5 Parameter kualitas air limbah yang diukur dan metode pengukurannya... 54

6 Morfologi dan karakter fisiologi bakteri hasil isolasi dari lumpur Instalasi pengolahan limbah tekstil CV. Mama & Leon Tabanan dan lumpur Sungai Badung Denpasar Bali... 61

7 Jumlah koloni bakteri teramobil pada batu vulkanik... 73

(17)

1. Kerangka pemikiran penelitian... 5

2. Ruang lingkup permasalahan penelitian ... 7

3. Proses pencelupan kain dan karakteristik limbah tekstil ... 14

4. Diagram alir pengolahan limbah cair dengan activated sludge... .. 19

5. Diagram alir pengolahan limbah cair dengan sequential batch reactor... 20

6. Diagram alir pengolahan limbah cair dengan contact stabilization system ... 20

7. Desain reaktor pengolahan limbah cair dengan upflow anaerobic sludge bed ... 21

8. Mekanisme pembentukan biofilm bakteri pada permukaan Padatan ... 22

9. Desain pengolahan limbah cair dengan trickling filter ... 24

10. Desain pengolahan limbah cair dengan fluidized bed reactor ... 24

11. Diagram pengolahan limbah cair industri tekstil ... 26

12. Mekanisme perombakan orange II dikatalisis oleh enzim orange II Azoreductase... 28

13. Mekanisme perombakan zat warna azo menggunakan riboflavin sebagai mediator redoks... 29

14. Mekanisme perombakan reactive red 141 menggunakan Rhizobium radiobacter ... 31

15. Perombakan zat warna mordant yellow 3 dengan sistem kombinasi anaerob-aerob... ... 33

16. Daphnia magna ... 36

17 Struktur kimia zat warna reaktif azo yang digunakan untuk Penelitian... 39

18. Diagran akhir rancanga penelitian ... 41

19 Rancangan bioreaktor anaerob untuk perombakan limbah tekstil menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi ... 47

(18)

Proses petumbuhan terlekat... 53 22 Perombakan zat warna remazol pada kultivasi suspensi

lumpur pada kondisi anaerob dan aerob selama tiga hari ... 57 23 Pewarnaan Gram bakteri di bawah pengamatan mikroskop

dengan pembesaran 1000x ... 58 24 Efisiensi perombakan zat warna pada kondisi anaerob selama lima

hari inkubasi di berbagai kondisi pH... 62 25 Efisiensi perombakan zat warna azo pada kondisi anaerob

selama lima hari inkubasi diberbagai konsentrasi glukosa... 64 26 Mekanisme perombakan zat warna azo secara indirecct enzymatic... 66 27 Perombakan zat warna azo menggunakan mediator redoks ... 66 28 Efisiensi perombakan zat warna pada kondisi anaerob selama lima

hari inkubasi diberbagai konsentrasi zat warna... 68 29 Perombakan 200 mg/L zat warna pada kondisi anaerob dengan

lama waktu 1-10 hari inkubasi... 69 30 Penurunan konsentrasi zat warna pada limbah tekstil buatan

selang waktu 1-4 hari inkubasi proses pertumbuhan tersuspensi

dan terlekat ... 70 31 Scanning electron micrograph penampakan batu vulkanik dengan

pembesaran 10.000X... 71 32 Scanning electron micrograph permukaan batu vulkanik setelah

diamobilisasi menggunakan konsorsium bakteri pada kondisi

anaerob dengan pembesaran 10.000X... 72 33 Mekanisme perombakan amina aromatik pada kondisi aerob... 75 34 Penurunan COD dan warna pada perombakan lanjutan limbah

tekstil buatan menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi

pada kondis aerob selang waktu 1-3 hari... 75 35 Penurunan COD dan warna pada perombakan lanjutan limbah

tekstil buatan menggunakan proses pertumbuhan terlekat

pada kondis aerob selang waktu 1-3 hari ... 76 36 Scanning electron micrograph permukaan batu vulkanik setelah

diamobilisasi menggunakan konsorsium bakteri pada kondisi

(19)

sistem kombinasi anaerob-aerob pertumbuhan terlekat... 78 38 Perubahan warna limbah tekstil sebelum dan sesudah pengolahan

pada reaktor anaerob-aerob selama 6 hari inkubasi... 80 39 Hubungan dosis respon log konsentrasi limbah (%) terhadap

mortalitas Daphnia magna paparan 48 jam untuk limbah tekstil

sebelum pengolahan selama... 83 40 Hubungan dosis respon log konsentrasi limbah (%) terhadap jumlah

mortalitas Daphnia magna untuk limbah setelah pengolahan

(20)

1 Kurva kalibrasi untuk pengukuran konsentrasi zat warna

menggunakan spektrofotometer UV-Vis……… 94 2 Konsentrasi zat warna yang tersisa pada perombakan 200 mg/L

zat warna selama 5 hari inkubasi pada variasi pH……….. 97 3 One-way Anova: Pengaruh faktor pH terhadap efisiensi perombakan

200 mg/L zat warna azo ... 102 4 Konsentrasi zat warna yang tersisa pada perombakan 200 mg/L

zat warna azo selama 5 hari inkubasi pada variasi

konsentrasi glukosa ……… 108 5 One-way anova: pengaruh glukosa terhadah efisiensi perombakan

200 mg/L zat warna azo………. 113 6. Konsentrasi zat warna yang tersisa pada perombakan 50-400 mg/L

zat warna azo selama 5 hari inkubasi ………... 119 7 Penentuan orde laju perombakan zat warna remazol……… 125 8 One-way anova: Pengaruh konsentrasi zat warna terhadap efisiensi

perombakan zat warna azo selama 5 hari inkubasi ………. 126 9. Konsentrasi zat warna yang tersisa pada perombakan 200 mg/L

zat warna azo pada variasi lama waktu inkubasi……… 132 10. One-way anova : Pengaruh lama waktu inkubasi terhadap

efisiensi perombakan 200 mg/L zat warna azo ………. 140 11 Perombakan warna limbah tekstil buatan pada kondisi

anaerob menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi dan

terlekat selama 1-4 hari inkubasi……….. 146 12 Kualitas limbah tekstil buatan sebelum dan sesudah pengolahan

dalam bioreaktor anaerob menggunakan proses pertumbuhan

tersuspensi dan proses pertumbuhan terlekat selama 3 hari inkubasi… 150 13 Karakteristik limbah tekstil buatan hasil pengolahan anaerob untuk

digunakan tahap pengolahan lanjutan pada kondisi aerob... 151 14. Pengolahan limbah tekstil buatan tahap aerob menggunakan

proses pertumbuhan tersuspensi selama 1-3 hari inkubasi……….. 152 15. Pengolahan limbah tekstil buatan tahap aerob menggunakan

(21)

17. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

Nomor : Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah

Cair bagi Kegiatan Industri. Tanggal 23 Oktober 1995………. 155

(22)

1.1. Latar Belakang

Industri tekstil dan produk tekstil Indonesia (TPT) memainkan peran yang cukup besar dalam menunjang perekonomian nasional. Pada tahun 2006, industri ini memberikan kontribusi sebesar 11,7% terhadap ekspor nasional, 20,2% terhadap surplus perdagangan nasional dan 3,8% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Disamping itu, Industri ini tekstil mampu menyerap tenaga kerja sekitar 1,84 juta orang (Miranti 2007). Namun, saat ini keberadaan industri tekstil menjadi industri kontroversi karena di samping berkontribusi besar terhadap peningkatan perekonomian nasional pada sisi lain industri tekstil penghasil limbah cair tinggi dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya pencemaran air. Industri TPT di Indonesia sekitar 85% terkonsentrasi di pulau Jawa sedangkan sisanya tersebar di Sumatera dan Bali.

(23)

Pada proses pencelupan tekstil lebih banyak memakai zat warna sintetik dibandingkan zat warna alam karena zat warna sintetik dapat memenuhi kebutuhan skala besar, warna lebih bervariasi dan pemakaiannya lebih praktis (Montano 2007). Di antara zat warna sintetik yang tersebar di pasaran, zat paling banyak digunakan dalam pencelupan tekstil adalah zat warna reaktif azo.

Zat warna reaktif azo merupakan zat warna sintetik yang mengandung paling sedikit satu ikatan ganda N=N dan mempunyai gugus reaktif yang dapat membentuk ikatan kovalen dengan gugus –OH, -NH atau –SH pada serat. Zat warna reaktif azo banyak digunakan dalam pencelupan kain terutama dari serat selulosa, rayon dan wool. Hal ini disebabkan zat warna reaktif azo dapat terikat kuat pada kain, memberikan warna yang baik dan tidak mudah luntur (Blackburn dan Burkinshaw 2002). Zat warna reaktif azo disintesis untuk tidak mudah rusak oleh perlakuan kimia maupun fotolitik. Dengan demikian, bila terbuang ke lingkungan dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama dan mengalami akumulasi dalam lingkungan sampai pada tingkat konsentrasi tertentu dapat menimbulkan dampak negatif terhadap daya dukung lingkungan.

Studi yang dilakukan oleh Suganda et al. (2005), tentang evaluasi pencemaran limbah industri tekstil terhadap kelestarian lahan sawah melaporkan bahwa lahan sawah yang tergenang limbah tekstil dapat mengurangi produksi padi. Dalam data penelitian tersebut dinyatakan lahan sawah yang sering terkena aliran limbah industri tekstil menghasilkan produksi gabah sebesar sekitar 3 - 3,5 ton/ha/musim sedangkan yang tidak kena aliran limbah tekstil produksinya mencapai 5 - 5,5 ton/ha/musim. Turunnya produksi gabah pada lahan yang terkena aliran limbah tekstil disebabkan karena air limbah tekstil merusak akar dan batang padi.

(24)

menghasilkan senyawa amina aromatik yang kemungkinan lebih toksik dibandingkan dengan zat warna azo itu sendiri (Van der Zee 2002). Untuk itu, sistem pengendalian pencemaran limbah tekstil melalui penyediaan instalasi pengolahan air limbah sangat perlu dilakukan.

Dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan oleh limbah industri, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah industri cair bagi kegiatan industri dan PP No.82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Kedua perundang-undangan tersebut pada intinya mewajibkan setiap usaha dan atau kegiatan melakukan pengolahan limbah sampai memenuhi persyaratan baku mutu air limbah sebelum dibuang ke lingkungan. Perlindungan terhadap sumber-sumber air saat ini memang harus dilakukan karena air merupakan komponen lingkungan hidup yang sangat penting bagi kelangsungan hidup. Konsekuensi dari perundang-undangan tersebut adalah pelaku industri yang aktivitas industrinya menghasilkan limbah dalam jumlah besar dan berpotensi mencemari lingkungan harus membangun instalasi pengolahan air limbah yang memadai.

Sampai saat ini, pembangunan IPAL tekstil masih menjadi masalah terutama bagi industri kelas menengah ke bawah karena keterbatasan biaya untuk pembuatan IPAL. Disamping itu, ketersediaan metode pengolahan limbah yang ada belum banyak bisa diaplikasikan secara langsung pada skala lapang. Kebanyakan metode pengolahan air limbah tekstil menggunakan cara kimia dan fisika. Pelaku industri pencelupan tekstil mengolah limbahnya dengan menambahkan natrium hipoklorit dan alum yang dikombinasikan dengan batu kapur. Pengolahan limbah tekstil cara kimia dan fisika cukup efektif menghilangkan warna, akan tetapi memerlukan biaya yang relatif tinggi dan pemakaian bahan-bahan kimia yang banyak serta menimbulkan sludge yang banyak. Adanya sludge dapat mempercepat pendangkalan bak pengolah bak pengolah limbah sehingga, memerlukan penanganan lanjutan.

(25)

Pengolahan limbah tekstil secara biologi dapat berlangsung pada kondisi anaerob, aerob maupun kombinasi anaerob-aerob, sedangkan proses pengolahannya dibedakan menjadi dua yaitu proses pengolahan dengan pertumbuhan tersuspensi (suspended growth treatment processes) dan proses pengolahan dengan pertumbuhan terlekat (attached growth treatment processes). Pengolahan dengan proses pertumbuhan terlekat dilakukan dengan

mengamobilisasi mikrob pada padatan pendukung membentuk lapisan tipis yang disebut dengan biofilm. Mikrob yang teramobil pada padatan menghasilkan densitas populasi lebih tinggi dan stabil, lebih tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan sehingga dalam penggunaannya untuk mengolah limbah mampu menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tersuspensi (HeFang et al. 2004).

1.2. Kerangka Pemikiran

Industri pencelupan tekstil dalam proses produksinya menghasilkan produk samping berupa air limbah dalam jumlah yang besar dan mengandung berbagai macam bahan-bahan kimia. Bahan kimia seperti enzim, asam, detergen, sabun, dan soda abu biasanya digunakan pada proses pengkanjian, pengelantangan dan pewarnaan. Pewarnaan kain umumnya dilakukan dengan cara mencelupkan kain yang akan diwarnai ke dalam larutan zat warna tekstil. Air sisa dari pencelupan tekstil ini, apabila dibuang begitu saja ke perairan tanpa adanya proses pengolahan terlebih dahulu, maka dapat berdampak negatif bagi keberlangsungan ekosistem perairan.

(26)

organik biasanya masih tinggi disertai adanya bau yang tak sedap. Untuk itu, perlu dilakukan pengolahan lanjutan yaitu tahap pengolahan aerob. Pengolahan aerob merupakan pengolahan lanjutan yang ditujukan untuk menurunkan bahan-bahan pencemar yang belum sempurna terombak pada tahap anaerob.

Kelemahan pengolahan limbah tekstil menggunakan bakteri adalah efisiensi perombakannya masih rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhi efisiensi perombakan antara lain jumlah dan jenis bakteri, kondisi lingkungan dan proses yang digunakan dalam mengolah limbah. Untuk itu, pengkajian penggunaan berbagai jenis bakteri, kondisi lingkungan dan proses pengolahan limbah menjadi hal yang sangat menarik untuk diteliti. Salah satu pengembangan teknologi pengolahan limbah tekstil yang dilakukan adalah sistem kombinasi anaerob-aerob dengan proses pertumbuhan terlekat menggunakan potensi sumberdaya lokal. Sumberdaya lokal yang digunakan adalah bakteri yang diisolasi dari lumpur tempat pembuangan limbah tekstil dan media pelekatan bakteri menggunakan batu vulkanik. Berdasarkan uraian di atas, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Limbah padat dan cair

Pencemaran air

Industri tekstil

Pengolahan limbah sistem kombinasi

anaerob-aerob

Gangguan pada kualitas air,organisme perairan, estetika dan kesehatan

Menimbulkan kerugian dan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat Standar baku mutu

Tidak memenuhi

Memenuhi

Pemilihan teknologi pengolahan limbah Investasi rendah

Efektif dan efisien

Biaya operasional murah Karakteritik limbah

Keasaman (pH)

Penambahan kosubstrat

Konsentrasi zat warna

Lama pengolahan Jenis mikroorganisme

Dapat dibuang ke lingkungan Kondisi sosial, ekonomi,

(27)

1.3. Perumusan Masalah

Daerah sentral industri tekstil di Bali seperti Gianyar, Tabanan dan Denpasar umumnya masuk pada katagori usaha skala kecil dan menengah. Industri tekstil skala kecil dan menengah yang ada di Bali, sebagian besar membuang limbahnya begitu saja tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Sedangkan beberapa industri yang sudah dilengkapi dengan IPAL masih diragukan efektivitasnya oleh berbagai pihak. Hal ini disebabkan air limbah yang keluar dari IPAL masih mempunyai warna yang intensitasnya cukup tinggi. Air limbah tekstil yang dibuang secara langsung ke badan air dapat menimbulkan permasalahan estetika karena muculnya bau tak sedap dan mengancam kehidupan organisme akuatik. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah belum tersedianya cara pengolahan limbah tekstil yang efektif, murah dan ramah lingkungan yang bisa diaplikasikan secara langsung pada skala lapang.

Penelitian ini mengembangkan cara pengolahan limbah tekstil dengan sistem kombinasi anaerob-aerob menggunakan bakteri yang sudah lama beradaptasi dengan lingkungan limbah tekstil. Beberapa bakteri seperti Aeromonas sp., Pseudomonas sp., Sphingomonas sp. dan Rhizobium radiobacter telah dilaporkan mampu digunakan untuk merombak zat warna tekstil

(Cutright 2001). Walaupun demikian, penelusuran bakteri-bakteri dalam pemanfaatannya untuk mengolah limbah tekstil masih perlu diupayakan untuk menghasilkan teknologi pengolahan limbah yang lebih optimal. Pengolahan limbah tekstil menggunakan bakteri sering berlangsung kurang optimal. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penggunaan jenis dan jumlah bakteri yang tidak sesuai, proses pengolahan yang kurang tepat dan kondisi lingkungan seperti pH, waktu tinggal limbah, ada tidaknya kosubstrat dan konsentrasi limbah yang kurang mendukung. Proses pengolahan limbah tekstil dapat dilakukan menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi dan proses pertumbuhan terlekat. Hasil penelitian ini, memperlihatkan pengaruh faktor lingkungan terhadap efisiensi perombakan zat warna. Disamping itu, penelitian ini juga memperlihatkan seberapa besar efisiensi pengolahan yang dihasilkan dari proses pertumbuhan tersuspensi dan terlekat serta menggunakan kultur tunggal dan konsorsium bakteri yang terlekat pada batu vulkanik.

(28)

nilai COD dan BOD5 yang tinggi dan perombakan zat warna azo menghasilkan amina aromatik yang lebih toksik dibandingkan dengan zat warna azo sendiri. Oleh karena itu, diperlukan pengolahan lanjutan tahap aerob untuk menstabilkan bahan organik dan merombak amina aromatik sampai pada tingkat yang lebih aman sebelum dibuang ke lingkungan. Uji toksisitas terhadap hasil pengolahan dilakukan untuk melihat tingkat toksisitas relatif dari limbah yang akan dibuang ke badan air. Lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Ruang lingkup permasalahan penelitian. 1.4. Tujuan

1. Mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri yang hidup di lingkungan limbah tekstil digunakan untuk mengolah limbah tekstil.

2. Menganalisis faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas bakteri dalam merombak zat warna tekstil

3. Mendapatkan sistem kombinasi anaerob-aerob yang lebih efisien dan potensial digunakan untuk mengolah limbah tekstil.

4. Mengetahui toksisitas hasil pengolahan limbah tekstil sistem kombinasi anaerob-aerob.

Limbah cair industri tekstil

Bahan organik dan

intensitas warna tinggi Pengolahan secara biologi

pH Glukosa

Lama pengolahan

Konsentrasi zat warna

Memenuhi Standar Baku Mutu Limbah Industri

Tidak toksik

Pengolahan tahap anaerob

Pengolahan tahap aerob

Pertumbuhan tersuspensi Pertumbuhan

terlekat

Kultur tunggal

Konsorsium Kultur tunggal

(29)

1.5. Hipotesis

1. Beberapa bakteri yang hidup dalam lingkungan air limbah tekstil dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah tekstil dan aktivitas perombakannya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

2. Pengolahan limbah tekstil menggunakan bakteri yang teramobil pada batu vulkanik pada reaktor sistem kombinasi anaerob dan aerob menghasilkan efisiensi perombakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan mengggunakan sel bebas.

1.6. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah tentang pemanfaatan sumberdaya lokal untuk pengolahan limbah cair industri tekstil.

2. Memberikan informasi ilmiah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas bakteri dalam merombak zat warna tekstil

3. Memberikan sumbangan ilmiah terhadap bidang bioteknologi pengendalian limbah cair industri tekstil

1.7. Keterbaruan

(30)

H2O2/UV/Fe2+, Ozon/UV, Ozon/H2O2, Ozon/UV/H2O2, dan Ozon/TiO2/H2O2, (Al-Kdasi et al. 2004). Kajian perombakan zat warna tekstil menggunakan cara fisika dan kimia pada umumnya memberikan hasil yang cukup efektif. Namun, pada operasionalnya memerlukan biaya yang relatif tinggi sehingga aplikasinya pada skala lapang masih menjadi kendala terutama bagi industri skala kecil dan menengah. Untuk itu, perlu dilakukan inovasi teknologi perombakan zat warna tekstil ke arah peningkatan efisien dan ramah lingkungan sehingga mampu menghasilkan teknologi potensial untuk digunakan pada industri tekstil.

Beberapa metode perombakan zat warna tekstil secara biologi yang telah dilakukan adalah menggunakan jamur, alga dan bakteri. Jamur penghasil enzim lignolitik seperti lignin peroksidase, mangan peroksidase dan laccase dilaporkan potensial digunakan untuk mengolah limbah tekstil. Studi tentang beberapa jenis jamur penghasil enzim lignolitik yang digunakan untuk mengolah limbah tekstil antara lain, jamur Phanerocaete chrysosporium (Capalash and Sharma 1992), Trametes villosa dan Trametes pycnoporus (Machado et al. 2006) dan Aspergillus sp (Ramya et al. 2007). Pemanfaatan alga hijau (green algae) untuk

merombak zat warna monoazo dan diazo (Omar 2008).

Disamping menggunakan jamur dan alga, kajian penanganan limbah zat warna tekstil menggunakan bakteri saat ini terus dikembangkan karena diyakini sebagai strategi pengendalian pencemaran yang efektif, murah dan ramah lingkungan. Studi pemanfaatan bakteri untuk merombak zat warna tekstil yang telah dilakukan adalah menggunakan teknik batch maupun aliran (flow) yang berlangsung pada kondisi anaerob, aerob dan kombinasi anaerob-aerob. Beberapa jenis bakteri yang digunakan untuk merombak zat warna tekstil dengan teknik batch pada kondisi anaerob adalah (1) konsorsium bakteri dengan bantuan glukosa sebagai sumber karbon (Mendez et al. 2004; Georgiou et al. 2003), (2) bakteri fakultatif Sphingomonas sp. BN6 dengan bantuan enzim flavin reductase (Russ et al. 2000), (3) perombakan menggunakan bakteri Rhizobium

radiobacter MTCC 8161 (Telke et al. 2008) dan (4) konsorium bakteri dari

(31)

Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Ajibola et al. 2005;

Mona et al. 2008) dan Enterobacter agglomerans (Moutaouakkil et al. 2003). Konsorsium bakteri yang terdiri dari Pseudomonas sp., Bacillus sp., Halomonas sp., dan Micrococcus sp. (Padmavathy et al. 2003).

Studi perombakan zat warna tekstil menggunakan sistem kombinasi anaerob-aerob yang telah dilakukan adalah (1) anaerobic-aerobic sequencing batch reactor (Luangdilok and Panswad 2000 ; Liyan et al. 2001; Gonsalves et al.

2005), (2) Sequencing batch biofilm reactor menggunakan konsorsium bakteri dari sungai Lagadar (Wahyuni et al. 2003), (3). Pengolahan dengan kombinasi anaerob-aerob teknik batch menggunakan lumpur aktif (Manurung et al. 2004; Melgoza et al. 2004), dan (4) Squential anoxic-aerobic bioreactor menggunakan konsorsium bakteri Stenotrophomonas sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. yang diamobilkan pada poliuretan. Pada tahap anoksik pengaliran zat warna dilakukan secara up flow fixed-film column reactor sedangkan pada tahap aerob menggunakan metode continously stirred aerobic reactor (Khehra et al. 2006)

(32)

2.1. Profil Industri Tekstil Indonesia

Hingga tahun 2006, jumlah industri tekstil Indonesia mencapai 2.699 perusahaan, dengan total investasi Rp 135,7 triliun. Jumlah ini mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 2,656 perusahaan. Lokasi industri TPT terkonsentrasi di Jawa Barat (57%), Jawa Tengah (14% ), dan Jakarta (17%). Sisanya tersebar di Jawa Timur, Bali, Sumatera dan Yogyakarta (API 2007). Sebagian besar negara tujuan tekstil dan produk tekstil Indonesia adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Pada 2006, ekspor ke AS mencapai 41,3 persen, Uni Eropa 16,5 persen, dan Jepang 3,7 persen. Bila diperhatikan, terlihat bahwa kenaikan ekspor pada 2006 juga didorong oleh kenaikan harga rata-rata produk TPT yang cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya yakni dari USD 4,76/kg pada 2005 menjadi USD 4,99/kg. Perkembangan ekspor TPT Indonesia seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia Tahun Volume

(ribu kg)

Nilai (Ribu USD)

Harga rata-rata (USD/kg) 2000 1.777132 8.377397 4,71 2001 1.721312 7.678422 4,46 2002 1.758675 6.888559 3,92 2003 1.555920 7.052181 4,53 2004 1.626461 7.647441 4,70 2005 1.796800 8.555000 4,76 2006 1.877400 9,376000 4,99 Sumber : Asosiasi Pertekstilan Indonesia 2007

2.2. Zat Warna Pencelupan Tekstil

(33)
[image:33.612.106.505.202.744.2]

(visible). Beberapa kromofor yang umum di antaranya gugus etilen (–C=C-), gugus karbon-nitrogen (-C=NH-, CH=N-), gugus karbonil (-C=O), gugus azo (-N=N-), gugus nitro (-NO2), dan gugus nitroso (–NO) sedangkan auksokrum di antaranya –NH2, -NR2, -COOH, -SO3H, -OH dan OCH3 (Van der Zee 2002). Dewasa ini, telah tersebar bermacam-macam jenis zat warna sintetik yang penggunaannya disesuaikan dengan jenis serat yang akan dicelup, ketahanan warna yang dikehendaki, faktor-faktor teknis dan ekonomis lainnya. Penggolongan zat warna tekstil berdasarkan cara pencelupannya dapat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Penggolongan zat warna menurut sifat dan cara pencelupannya No Golongan zat

warna

Sifat

1 Zat warna direk Mempunyai daya ikat kuat dengan serat selulosa. Pencelupan dilakukan secara langsung dalam larutan dengan zat-zat tambahan yang sesuai. 2 Zat warna mordan Mempunyai daya ikat yang lemah dengan serat.

Pada proses pencelupan biasanya dilakukan pengerjaan pendahuluan dengan penambahan krom pada zat warna sehingga membentuk kompleks logam.

3 Zat warna reaktif Mempunyai gugus reaktif yang dapat membentuk ikatan kovalen kuat dengan serat selulosa, protein, poliamida dan poliester.Pemakaian zat warna ini bisa pada suhu rendah dan suhu tinggi.

4 Zat warna penguat Mempunyai daya ikat yang kuat dengan serat selulosa, warna terbentuk dalam serat setelah ditambahkan garam penguatnya.

5 Zat warna asam Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat protein dan poliamida. Pencelupan dilakukan pada kondisi asam dan secara langsung ditambahkan pada serat.

6 Zat warna basa Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat protein Pencelupan dilakukan pada kondisi basa dan secara langsung ditambahkan pada serat.

7 Zat warna belerang Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat selulosa. Pada sistem kromofor dan gugus sampingnya mengandung belerang yang mampu berikatan kuat dengan serat.

(34)

membentuk ikatan kovalen antara gugus reaktif dari molekul zat warna dengan gugus nukleofil dari rantai polimer serat (Suwanruji 2004). Proses pencelupan kain menggunakan zat warna reaktif azo membutuhkan garam-garam dan natrium hidroksida yang cukup besar. Garam diperlukan untuk memudahkan terjadinya adsorpsi zat warna ke dalam serat sedangkan natrium hidroksida digunakan untuk mengkondisikan agar pH sekitar 11 sehingga terbentuknya gugus anion dari selulosa (selulosa-O-) untuk proses fiksasi. Fiksasi zat warna pada kain selulosa melalui mekanisme reaksi adisi nukleofilik gugus reaktif vinilsulfon yang dituliskan dalam reaksi :

Dye-SO2-CH2-CH2-OSO3Na + NaOH Dye-SO2-CH2=CH2 + Na2SO4 + H2O Dye-SO2-CH2=CH2 + Selulosa-OH Dye-SO2-CH2-CH2-O-Selulosa

2.3. Proses Produksi Tekstil dan Karakteristik Limbah

Pada proses pembuatan tekstil, terdapat tiga tahapan penting yaitu proses pemintalan benang (spinning), penenunan (weaving) dan pencelupan (dyeing). Pemintalan benang atau spinning adalah proses pembuatan benang dari serat kapas, serat polyester atau bahan lainnya. Pada proses awal, kapas diuraikan melalui proses blowing-carding sehingga serat-serat yang pendek terpisah dari serat yang panjang. Untuk meratakan berat serat dilakukan proses combing-drawing. Serat yang akan digunakan digulung pada bobin dalam bentuk roving dan diberi perlakuan proses ring-spinning sehingga benang menjadi lebih kuat. Benang yang telah dibuat selanjutnya digabung secara memanjang dan melintang menjadi kain melalui proses penenunan.

Penenunan adalah proses penyusunan benang menjadi kain. Proses penenunan terdiri dari tahap persiapan, penenunan dan pemeriksaan. Pada tahap persiapan, dilakukan proses pengkanjian benang dengan maksud menambah kekuatan dan memadatkan benang pada kain serta merapatkan anyaman kain dan memudahkan pencucian. Pada tahap penenunan, benang dipasang pada mesin tenun sedangkan pada tahap akhir dilakukan pemeriksaan kualitas kain yang meliputi pengecekan jenis, kerapatan dan lebar kain serta nomor dan jumlah benang yang digunakan. Kain yang dihasilkan dari penenunan dilakukan pencelupan untuk meningkatkan nilai komersial kain.

(35)

kanji (desizing), pelepasan wax (scouring), pengelantangan (bleaching), mercerizing, dan pencelupan (dyeing). Desizing merupakan penghilangan sisa-sisa bahan seperti pati, polivinil alkohol dan karboksimetil selulosa yang digunakan pada proses sizing. Desizing dapat menggunakan asam dan enzim. Scouring merupakan penghilangan pengotor-pengotor alami yang terdapat pada kain melalui proses safonifikasi pada pH tinggi. Sabun atau detergen ditambahkan selama proses scouring untuk mengendapkan kalsium, magnesium maupun besi yang terdapat pada kain. Selanjutnya logam-logam tersebut dihilangkan dengan menambahkan sequestering agent dan reduktor. Reduktor berfungsi untuk mereduksi ion besi (III) menjadi besi (II) dan pada pH yang tinggi sequestrant mengikat kalsium, magnesium dan besi (II) membentuk senyawa kompleks. Bleaching merupakan penghilangan zat warna alami pada kain yang tidak diinginkan. Bahan kimia yang digunakan pada bleaching di antaranya natrium hipoklorit, hidrogen peroksida dan natrium klorida. Setelah selesai bleaching dilakukan pencucian dengan larutan antiklor (NaHSO3) untuk menghilangkan sisa-sisa klor. Mercerising adalah pengolahan kain menggunakan larutan alkali pekat yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan serat mengikat zat warna dan penampakan kain yang lebih lembut. Secara garis besar tahapan dalam produksi tekstil pada Gambar 3.

[image:35.612.117.508.396.691.2]

Gambar 3 Proses pencelupan kain dan karakteristik limbah tekstil. Kain

Desizing

Scouring

Bleaching

Bahan organik pH rendah

pH tinggi, detergen dan bahan organik

Bahan organik Mercerizing

Dyeing

Proses akhir

Kain jadi

pH tinggi

Zat warna, bahan organik dan panas

Bahan organik Air,asam dan enzim

NaOH/Na2CO3 detergen, sabun

NaOCl/CaOCl2

NaOH

Zat warna Bahan tambahan

(36)

Karakteristik limbah cair yang dihasilkan sangat erat hubungannya dengan bahan-bahan yang digunakan dalam proses tekstil. Berdasarkan tahapan yang dilakukan pada proses produksi tekstil, maka air limbah industri tekstil banyak dihasilkan dari proses penghilangan kanji, pengelantangan, pelepasan wax, merserisasi, pencelupan, pencucian dan penyabunan. Pada umumnya karakteristik limbah cair industri tekstil disajikan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik limbah cair tekstil

Sumber : Azbar et al. 2004.

2.4. Metode Pengolahan Limbah Cair

Pengendalian pencemaran dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain menggunakan teknologi pengolahan limbah, perbaikan teknologi proses produksi, daur ulang, reuse, recovery dan penghematan bahan baku serta energi (Ginting 2007). Limbah pada konsentrasi tertentu melewati ambang batas yang ditetapkan akan mempengaruhi kondisi lingkungan. Hingga saat ini, sungai merupakan salah satu tempat pembuangan limbah. Ketika jumlah limbah yang dihasilkan sangat banyak sungai tidak lagi memiliki kemampuan self purification dan akan menurunkan kualitas air sungai serta menimbulkan pencemaran.

Berbasis pada wawasan kita terhadap resiko pencemaran lingkungan oleh bahan-bahan pencemar yang terkandung pada air limbah, teknologi pengolahan limbah yang dipergunakan harus memadai agar limbah yang dihasilkan memenuhi syarat baku mutu limbah sebelum dibuang ke lingkungan. Untuk menghasilkan teknologi pengolahan limbah cair yang efektif dan efisien, maka pengembangan sistem pengolahan limbah cair harus diarahkan pada peningkatan efisiensi, pemanfaatan sumberdaya lokal, dan pemenuhan bahan baku. Beberapa teknologi pengolahan limbah cair yang umum diterapkan maupun dan terus dikembangkan adalah cara fisika, kimia dan biologi atau

Parameter Satuan Nilai

pH - 7,0-9,0

Biological Oxygen Demand (BOD) mg/L 80-6.000 Chemical Oxygen Demand (COD) mg/L 150-12.000

Total Suspended Solid (TSS) mg/L 15-8.000 Klorida (Cl) mg/L 2.900-3.000

Nitrogen total mg/L 1000-1.600

(37)

gabungan dari ketiga sistem pengolahan tersebut. Proses fisika bertujuan untuk mengolah limbah secara fisik, proses kimia bertujuan untuk mengikat bahan pencemar melalui reaksi kimia dengan adanya penambahan bahan kimia ke dalam limbah. Sedangkan proses biologi bertujuan untuk merombak bahan organik menjadi zat-zat yang lebih sederhana.

2.4.1. Pengolahan Fisika

Pengolahan fisika adalah pemanfaatan proses-proses fisika untuk menghilangkan bahan pencemar. Proses fisika ditujukan untuk mengolah limbah secara fisik seperti pengendapan. Beberapa proses fisika yang digunakan dalam pengolahan limbah cair antara lain :

1. Teknologi membran

Membran adalah materi tipis yang memungkinkan lewatnya partikel-partikel dengan ukuran tertentu atau karakteristik fisika dan kimia tertentu. Dalam pengolahan limbah cair, teknologi membran dimanfaatkan untuk menghilangkan atau me-recovery materi-materi tertentu. Teknologi membran ditekankan pada tiga katagori, yaitu filtrasi ultra, filtrasi nano dan osmosis fase balik. Teknologi ini pada umumnya memerlukan biaya dan energi yang besar. Filtrasi nano dan osmosis fase balik dapat digunakan sebagai proses utama atau proses akhir untuk pemisahan, pemurnian dan penggunaan kembali dari garam-garam dan molekul-molekul yang besar dalam proses tekstil. Pada osmosis fase balik, limbah dialirkan pada tekanan sedang melewati semipermeabel. Proses ini dapat mengambil sekitar 98% pengotor-pengotor dalam air yang mempunyai massa molekul lebih besar dari 100 sedangkan filtrasi nano, membran secara efektif dapat menyaring material yang mempunyai massa molekul lebih besar dari 200 (Southern 1995)

2. Adsorpsi

(38)

3. Koagulasi

Koagulasi ditujukan untuk menurunkan TDS dan COD pada air limbah. Prinsip koagulasi ini adalah penambahan koagulan seperti garam-garam magnesium, besi dan aluminium pada limbah sehingga terjadi asosiasi antara bahan pencemar dengan koagulan membentuk endapan.

2.4.2. Pengolahan Kimia

1. Advanced Oxidation Processes

Advanced oxidation processes (AOP) adalah oksidasi menggunakan senyawa yang mempunyai nilai potensial oksidasi (Eo) lebih tinggi dari oksigen (1,23 V). Senyawa kimia yang memiliki potensial oksidasi lebih besar dari oksigen di antaranya hidrogen peroksida (1,78 V) dan ozon (2,07 V). AOP didasarkan pada prinsip pembentukan spesies radikal bebas hidroksil (OHy) yang dapat bereaksi dengan bahan pencemar ( Van der Zee 2002). Beberapa jenis AOP yang banyak digunakan adalah UV/H2O2, pereaksi fenton (Fe2+/H2O2), UV/TiO2, H2O2/UV/Fe2+, ozon/UV, ozon/H2O2, ozon/UV/H2O2, ozon/TiO2/H2O2, dan ozon/ultrasonik (Kdasi et al., 2004). Oksidasi fenton didasarkan pada pembentukan radikal bebas berupa HO- dari reagen fenton (35%(v/v) H2O2 dan FeCl2 (13,5% (w/v) Fe

2+

) ketika ion besi (II) dioksidasi oleh hidrogen feroksida.

H2O2 + Fe 2+

HO• + Fe(OH)2+ + OH-

Oksidasi fenton berlangsung baik pada kondisi asam. Pada kenyataannya limbah tekstil biasanya bersifat basa. Dengan demikian, banyak besi (III) yang mengendap sehingga proses tersebut tidak efektif (Van der Zee 2002).

2. Ozonasi

Ozon adalah agen pengoksidasi kuat dapat bereaksi dengan kebanyakan spesies yang mempunyai ikatan ganda seperti C=C, C=N, N=N serta ion-ion sederhana yang mudah dioksidasi seperti ion S2- membentuk oksoanion misalnya SO32- dan SO42-. Dekomposisi ozon membutuhkan kondisi pH yang tinggi (pH>10). Pada proses ozonasi, hidroksi radikal terbentuk ketika ozon terdekomposisi dalam air.

(39)

Pada kondisi basa, ozon bereaksi dengan komponen lain yang terdapat dalam limbah terutama dengan senyawa hidrogen menjadi molekul yang lebih sederhana. Keterbatasan utama dari pengolahan dengan metode ozonasi adalah memerlukan biaya yang tinggi.

2.4.3. Pengolahan Biologi

Perombakan bahan organik menggunakan mikroorganisme dapat berlangsung pada kondisi aerob maupun anaerob. Perbedaan mendasar antara perombakan aerob dan anaerob adalah terletak pada senyawa yang berperan sebagai penerima ion hidrogen. Pada kondisi aerob, yang berperan sebagai penerima ion hidrogen adalah oksigen dengan melepaskan lebih besar energi sedangkan pada kondisi anaerob yang berperan sebagai penerima ion hidrogen adalah nitrat atau sulfat atau bahan-bahan organik lain dengan melepaskan energi lebih sedikit

Adanya kandungan karbohidrat, lemak dan protein dalam limbah sangat penting dalam metabolisme kehidupan mikroorganisme. Teknologi pengolahan limbah cair secara biologi muncul sebagai teknologi alternatif yang potensial untuk dikembangkan. Teknologi pemanfaatan jasa mikroorganisme digunakan untuk limbah cair yang mengandung bahan organik tinggi di mana mikroorganisme menggunakan bahan organik tersebut sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya. Proses pengolahan limbah cair secara biologi tersebut dapat dilakukan pada kondisi aerob (dengan udara), kondisi anaerob (tanpa udara) atau kombinasi anaerob dan aerob tergantung pada karakteristik bahan pencemar. Untuk mendesain suatu proses pengolahan limbah cair yang menggunakan mikroorganisme, variabel yang perlu diperhatikan adalah pemilihan strain yang sesuai, waktu kontak, proses pemisahan dan pertimbangan ekonomis proses (Ginting 2007). Secara garis besar pengolahan limbah cair secara biologi dilakukan melalui dua mekanisme dasar, yaitu proses pengolahan dengan pertumbuhan tersuspensi (suspended growth treatment processes) dan proses pengolahan dengan pertumbuhan terlekat atau teramobil (attachment growth treatment processes).

2.4.3.1. Pengolahan Menggunakan Proses Pertumbuhan Tersuspensi

(40)

membentuk flokulan yang mampu bergerak sesuai dengan arah aliran limbah. Beberapa metode pengolahan limbah cair menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi antara lain (Siregar et al. 2004).

1. Lumpur aktif

[image:40.612.135.477.334.463.2]

Proses lumpur aktif merupakan pengolahan dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan polutan, baik dalam suasana aerob (dengan aerasi) maupun anaerob (tanpa aerasi). Prinsip pengolahnnya adalah bahan organik diuraikan oleh mikroorganisme dalam tangki aerasi. Limbah dan lumpur aktif dialirkan ke bak pengendap dan dibiarkan dalam waktu tertentu sehingga terjadi pemisahan fase padat dan fase cair. Fase cair dikeluarkan sedangkan fase padat (lumpur aktif) diresirkulasi dan dicampur dengan influen limbah cair. Udara dialirkan ke dalam tangki aerasi untuk memberikan oksigen pada proses aerob.

Gambar 4 Diagram alir pengolahan limbah cair dengan activated sludge.

2. Sequential Batch Reactor (SBR)

Sequential batch reactor merupakan modifikasi dari proses lumpur aktif dengan mengubah aliran (inflow) dan aerasi kontinyu menjadi diskrit (batch). Prinsip kerja dari SBR adalah limbah cair dialirkan ke dalam reaktor anaerob dan dibiarkan selama waktu tertentu untuk berlangsungnya proses reaksi anaerob. Setelah selang waktu tertentu, limbah dialirkan ke reaktor aerob diikuti pengaliran oksigen ke dalam reaktor untuk mensuplai oksigen yang diperlukan dalam proses oksidasi. Limbah cair dipisahkan menjadi dua fase yaitu, fase padat (lumpur aktif) dan fase cair (air jernih). Fase cair dialirkan di keluarkan dari tangki sedangkan fase padat dikembalikan ke reaktor anaerob untuk digunakan kembali.

Efluen Bak

pengendap Tangki

aerasi

Resirkulasi lumpur aktif

(41)
[image:41.612.131.485.81.221.2]

Gambar 5 Diagram alir pengolahan limbah cair dengan sequential batch reactor.

3. Contact Stabilization System (CSS)

Contact Stabilization System juga merupakan modifikasi dari proses lumpur aktif yang memanfaatkan proses biosorpsi, yaitu pengikatan polutan oleh biomassa dalam reaktor. Prinsip kerja CSS adalah limbah cair diaerasi bersamaan dengan biomassa dalam tangki kontak selama jangka waktu tertentu sehingga terjadi proses biosorpsi bahan pencemar oleh biomassa. Biomassa selanjutnya diendapkan dan dialirkan ke tangki stabilisasi untuk diaerasi lebih lanjut kemudian limbah cair dan biomassa dialirkan ke bak pengendap. Efluen yang jernih dikeluarkan sedangkan biomassa yang mengendap diresirkulasi ke tangki kontak untuk digunakan kembali.

Gambar 6 Diagram alir pengolahan limbah cair dengan contact stabilization system.

4. Upflow Anaerob Sludge Bed (UASB)

Upflow Anaerob Sludge Bed merupakan teknologi pengolahan limbah cair secara anaerob. Pada teknologi ini, limbah cair dialirkan dari bawah

Fase cair Proses

anaerob

Proses

aerob Pengendapan Limbah cair

Tangki stabilisasi

Efluen

Resirkulasi Tangki kontak

Pengolah lumpur Influen

[image:41.612.158.476.461.612.2]
(42)
[image:42.612.172.409.254.411.2]

ke atas (upflow) melalui sludge bed. Prinsip kerja UASB adalah limbah cair masuk dan didistribusikan melalui pendistributor yang terdapat pada bagian bawah reaktor. Mikroorgansime dalam bioreaktor membentuk pellet berukuran sekitar 0,5-2 mm yang mengendap di dasar reaktor membentuk sludge bed sebagai tempat berlangsungnya reaksi anaerob. Sistem distribusi dan gas yang dihasilkan dari reaksi di sludge bed menghasilkan turbelensi yang memungkinkan terjadinya pencampuran dalam reaktor. Bagian terpenting dari UASB adalah 3 fase separator untuk memisahkan bagian padat, cair dan gas.

Gambar 7 Desain reaktor pengolahan limbah cair dengan upflow anaerobic sludge bed.

2.4.3.2. Pengolahan Menggunakan Proses Pertumbuhan Terlekat

Cara pengolahan air limbah dengan proses pertumbuhan terlekat dilakukan dengan mengalirkan air limbah ke dalam reaktor biologi yang di dalamnya berisi media penyangga untuk pelekatan mikroorganisme. Terjadinya pelekatan mikroorganisme pada permukaan padatan disebabkan oleh adanya interaksi yang kuat antara permukaan padatan dengan mikroorganisme melalui pembentukan polimer ekstraseluler di permukaan sel (Kumar and Prasad 2006). Sekali terjadi pelekatan, sel akan tumbuh dan berkembang dengan menggunakan nutrien yang ada di lingkungannya. Faktor utama untuk pelekatan dan pertumbuhan mikroorganisme di permukaan padatan adalah bahan tersebut kasar dan berpori. Pembentukan koloni mikrob meningkat dengan semakin besarnya luas permukaan dan porous karena energi yang dibutuhkan lebih kecil (Prakash et al. 2003). Untuk aplikasi dilapangan, persyaratan yang dipenuhi oleh material sebagai padatan pendukung di antaranya mudah diperoleh, harganya

Efluen

Influen

Pendistribusi aliran Sampling ports Gas

(43)

murah dan bersifat inert. Beberapa padatan pendukung yang sering digunakan di antaranya keramik, nylon, pasir, batu, gel, poliurethane dan karbon aktif.

Pelekatan mikroorganisme di permukaan padatan membentuk lapisan tipis disebut dengan biofilm. Biofilm terdiri dari sekumpulan sel mikroorganisme yang melekat pada padatan sehingga berada dalam keadaan diam, tidak mudah lepas atau berpindah tempat atau biofilm juga disebut sebagai komunitas yang terstruktur dari mikroorganisme di dalam suatu matriks (Prakash et al. 2003). Pada Biofilm terjadi penumpukan bahan organik yang diselubungi oleh matrik polimer ekstraseluler dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut (Donlan 2002).

Proses Pembentukan Biofilm

Mekanisme pembentukannya biofilm pada permukaan padatan dibagi menjadi 3 tahap yaitu (1) tahap pelekatan mikrob ke permukaan padatan, (2) tahap kolonisasi, dan (3) tahap pertumbuhan biofilm. Mekanisme pembentukan mikrob biofilm pada permukaan padatan disajikan pada Gambar 8.

[image:43.612.146.480.354.491.2]

(dimodifikasi dari Borja et al. 2003) Gambar 8 Mekanisme pembentukan biofilm bakteri pada permukaan

padatan.

Pada tahap pelekatan, bakteri pertama-tama mendekati permukaan melalui gaya elektrostatik maupun gaya fisika. Pada umumnya, ketersediaan nutrisi, suhu air dan laju alir cairan yang memadai serta karakteristik mikrob seperti adanya flagela dan permukaan sel yang terasosiasi dengan poplisakarida atau protein mempercepatan proses pelekatan mikrob pada permukaan padatan (Prakash et al. 2003). Setelah mikrob melekat pada permukaan padatan inert atau jaringan hidup, asosiasi menjadi stabil dengan terbentuknya mikrokoloni. Beberapa dari sel bakteri terikat secara permanen pada permukaan material melalui pembentukan polimer ekstraseluler. Polimer ekstraseluler terdiri dari sejumlah besar protein, polisakarida, asam nukleat dan fosfolipid yang berfungsi

Pelekatan Kolonisasi Pertumbuhan

* * * *

(44)

sebagai jembatan antar permukaan sel dan menjadi inisiasi pada pembentukan biofilm. Polimer ekstraseluler juga mencegah difusi senyawa-senyawa toksik yang membahayakan serta mengatur pertumbuhan sel. Pemasakan biofilm umumnya terjadi dalam rentang beberapa jam hingga berminggu-minggu tergantung pada jenis bakteri.

Biofilm bakteri memiliki keunggulan dibandingkan dengan bakteri yang hidup secara bebas. Beberapa keunggulannya adalah menghasilkan kepadatan populasi sel yang lebih tinggi, lebih efisien terhadap penggunaan nutrisi dan lebih tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Hal ini menghasilkan aktivitas biodegradasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tersuspensi (Brault 1991). Berdasarkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh mikroorganisme pertumbuhan terlekat, teknologi biofilm prospektif untuk diterapkan pada pengendalian pencemaran lingkungan terutama untuk menguraikan senyawa organik kompleks menjadi senyawa-senyawa organik dan anorganik yang lebih sederhana. Dewasa ini, teknologi biofilm banyak digunakan untuk memproduksi bahan kimia seperti etanol dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae, produksi butanol dengan menggunakan Clostridium acetobutylicum serta bahan kimia lainnya (Qureshi et al. 2005). Biofilm bakteri Pseudomonas sp. yang teramobil pada keramik dan sponge digunakan pada pengolahan air limbah mengandung fenol (Misson and Razali 2007). Beberapa contoh proses pengolahan limbah cair dengan pertumbuhan terlekat antara lain (Siregar et al. 2004).

1. Trickling Filter

(45)
[image:45.612.146.497.82.266.2]

(Dimodifikasi dari Rittman and McCarty, 2001) Gambar 9 Desain pengolahan limbah cair dengan trickling filter.

2. Fluidized Bed Reactor

Fluidized bed reactor adalah sistem pengolahan limbah dengan aliran limbah secara upflow melalui media berpori berisikan mikroorganisme yang teramobil. Fluidized bed reactor terdiri atas tiga komponen utama yaitu bagian pendistribusi, bagian pemisah dan carrier. Carrier berfungsi sebagai tempat melekatnya mikroorganisme. Inlet limbah cair didesain sedemikian rupa untuk mendistribusikan limbah secara merata ke seluruh tangki. Pada bagian atas, plat memiliki lubang-lubang dengan diameter lebih kecil dari media pengamobil untuk menjaga agar media pengamobil tetap berada di reaktor. Secara umum, desain pengolahan limbah cair Fluidized Bed Reactor seperti disajikan pada Gambar 10.

(Dimodifikasi dari Rittman and McCarty 2001) Gambar 10 Desainpengolahan limbah cair dengan fluidized bed reactor.

^ ^ ^ ^

^ ^ ^ ^

media

Influen Udara

Udara

Efluen

Lumpur Air bersih

Daur ulang

Pompa

Pendistribusi Influen berputar

¤

Influen

Daur ulang Efluen

Pendistribusi aliran

Gas

[image:45.612.161.437.509.686.2]
(46)

Studi perombakan limbah cair yang dilakukan oleh Nusa (2000), melaporkan beberapa keunggulan pengolahan limbah cair menggunakan proses pertumbuhan terlekat adalah sebagai berikut:

1. Proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm, tanpa dilakukan resirkulasi lumpur seperti pada pengolahan dengan lumpur aktif. Oleh karena itu, pengelolaannya relatif mudah.

2. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif, lumpur yang dihasilkan pada proses biofilm relatif lebih kecil. Di dalam lumpur aktif sekitar 30-60% dari BOD yang dihilangkan diubah menjadi lumpur aktif (biomassa), sedangkan pada proses biofilm sekitar 10-30%. Hal ini disebabkan karena pada proses biofilm bahan pencemar terurai lebih sempurna dibandingkan pada proses lumpur aktif.

3. Faktor suhu sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Penurunan dan kenaikan suhu mengakibatkan aktivitas mikroorganisme menjadi terganggu. Pembentukan biofilm merupakan salah satu bentuk pertahanan mikroorganisme terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Biofilm mempunyai lapisan terstruktur dengan ketebalan tertentu. Substrat maupun enzim dapat terdifusi sampai ke bagian dalam lapisan biofilm dan juga lapisan biofilm bertambah tebal sehingga aktivitas mikroorganisme pada biofilm tidak begitu dipengaruhi oleh perubahan suhu.

4. Aktivitas mikroorganisme biofilm dinilai lebih ekonomis karena densitas populasi mikroorganisme relatif stabil dan sel memiliki kemampuan untuk diregenerasi berdasarkan kemampuan pertumbuhannya.

2.5. Pengolahan Air Limbah Tekstil

(47)
[image:47.612.129.502.111.330.2]

(tertiary treatment). Masing-masing unit memiliki fungsi yang saling menunjang. Bagan alir pengolahan limbah tekstil, garis besarnya disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Diagram pengolahan limbah cair industri tekstil.

Unit pengolahan pendahuluan meliputi proses pemisahan padatan, proses ekualisasi dan netralisasi. Proses ekualisasi dimaksudkan untuk mengkondisikan limbah yang homogen sehingga mempermudah fungsi dari unit pegolahan selanjutnya. Sedangkan proses netralisasi dilakukan untuk menciptakan kondisi pH netral pada air limbah yang akan diproses. Air limbah setelah melalui proses pengolahan pendahuluan dialirkan menuju unit pengolahan primer.

Unit pengolahan primer, biasanya ditujukan untuk menghilangkan zat padat tercampur melalui proses fisika seperti pengendapan, pengapungan atau dengan penyaringan partikel tersuspensi. Pengendapan partikel dilakukan dengan menambahkan koagulan atau mendiamkan limbah selama beberapa hari sehingga partikel yang terdapat pada limbah cair dapat diendapkan. Pengendapan ini akan meringankan proses berikutnya, terutama pada proses pengolahan skunder yang menggunakan mikroorganisme.

Pada unit pengolahan sekunder, mencangkup proses pengolahan biologi untuk mengurangi bahan-bahan organik melalui aktivitas mikroorganisme di dalamnya. Efektifitas proses pengolahan biologi sangat tergantung pada tingkat pencemarnya, jenis pencemar, jenis mikroorganisme yang digunakan dan waktu kontak. Untuk limbah-limbah yang mempunyai bahan pencemar dengan konsentrasi yang tinggi dan karakteristik limbahnya sangat kompleks sering memerlukan pengolahan tersier.

Saringan

Pemisahan minyak/lemak

Influen Ekualisasi

Netralisasi

Unit pengolahan primer

Unit pengolahan sekunder

Unit pengolahan tersier

(48)

Unit pengolahan tersier ini merupakan pengolahan secara khusus berfungsi untuk menghilangkan partikel-partikel halus dan senyawa kimia yang tidak dapat diuraikan oleh mikrob. Teknik yang digunakan adalah pengendapan dengan cara menambahkan koagulan dan karbon aktif. Air limbah yang sudah mengalami pengolahan dan memenuhi standar baku mutu air buangan industri selanjutnya dibuang ke perairan umum.

2.6. Perombakan Zat Warna Tekstil Secara Biologi

Pengolahan limbah zat warna tekstil secara biologi yang paling sederhana adalah melalui proses adsorpsi menggunakan biomassa. Penggunaan biomassa kurang baik digunakan pada pengolahan jangka panjang. Hal ini disebabkan selama proses perombakan, zat warna terkonsentrasi dan suatu saat mengalami kejenuhan sehingga adsorben harus dibuang atau didesorpsi kembali sebelum digunakan. Pengolahan limbah zat warna tekstil menggunakan mikroorganisme hidup lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan biomassa karena mikroorganisme hidup dapat memanfaatkan bahan organik yang terdapat dalam limbah sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya.

Perombakan zat warna azo yang dilakukan oleh HeFang et al. (2004), menunjukkan bahwa perombakan menggunakan mikroorganisme dengan proses pertumbuhan terlekat memberikan efisiensi perombakan yang lebih tinggi dibandingkan menggunakan mikroorganisme dengan proses pertumbuhan tersuspensi. Efisiensi perombakan zat warna azo direct fast scarlet 4BS menggunakan konsorsium mikrob proses pertumbuhan terlekat adalah 99,6% selama 6 jam inkubasi sedangkan menggunakan konsorsium mikrob proses pertumbuhan tersuspensi sebesar 99,1% selama 24 jam inkubasi.

(49)

ekstraseluler peroksidase yang berperan penting pada proses degradasi lignin juga efektif digunakan untuk merombak zat warna tekstil (Montano 2007). Disamping bakteri, beberapa jenis jamur pendegradasi lignin penghasil enzim lacasse, lignin peroksidase dan mangan peroksidase seperti Bjerkandera adusta, Irpex lacteus, Phanaerochaete crysosphorium and Hypoxylon fragiforme dapat digunakan untuk mengolah limbah zat warna tekstil (Adosinda et al. 2003).

2.6.1. Perombakan Zat Warna Tekstil pada Kondisi Anaerob

Zat warna azo memiliki gugus kromofor berupa azo (N=N) lebih kuat menarik elektron dibandingkan dengan mentransfer elektron. Oleh sebab itu, perombakan secara biologi tidak efektif pada kondisi aerob (Van der Zee 2002). Kebanyakan perombakan zat warna azo secara biologis dimulai dari tahap pemecahan ikatan azo dengan bantuan enzim azoreductase pada kondisi anaerob dan dilanjutkan ke tahap mineralisasi produk intermediet pada kondisi aerob.

Mekanisme reduksi zat warna azo pada kondisi anaerob dibedakan menjadi tiga, yaitu reduksi menggunakan bantuan enzim secara langsung (direct enzymatic reduction), reduksi dengan bantuan enzim secara tidak langsung (indirect enzymatic reduction) dan reduksi secara kimia (Van der Zee 2002). Pada perombakan dengan mekanisme direct enzymatic reduction, enzim mentransfer reducing equivalents yang dihasilkan dari glikolisis substrat organik (glukosa, laktat) ke zat warna azo. Studi yang dilakukan oleh Zimmermann et al. (1982), melaporkan bahwa bakteri Pseudomonas KF46. mampu menggunakan zat warna azo sederhana sebagai sumber karbon dan energi dengan bantuan enzim azoreductase. Mekanisme reduksi zat warna azo (orange II) oleh bakteri Pseudomonas KF46 yang dikatalisis oleh enzim azoreductase disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Mekanisme perombakan orange II dikatalisis enzim orange II azoreductase.

N N

OH

Orange II azoreductase

2 NAD(P)H + H 2 NAD(P)+ SO3Na

SO3Na

NH2

+ OH

NH2

(50)

Perombakan zat warna azo menurut hipotesis indirect enzymatic memerlukan mediator redoks yang berfungsi untuk mengakselerasi proses reduksi zat warna azo. Zat warna azo secara tidak langsung direduksi secara enzimatik oleh elektron yang dihasilkan glikolisis karbon eksternal. Enzim azoreductase mengkatalisis pembentukan flavinadeninenucleotide (FAD) tereduksi melalui reoksidasi oleh nicotinamide adenine dinucleotide (NADH). Flavin dalam keadaan tereduksi mentransfer elektron secara langsung ke zat warna azo tanpa bantuan enzim azoreductase. Senyawa organik yang dapat berperan sebagai mediator redoks dilaporkan oleh beberapa peneliti, di antaranya flavin (FADH2, FMNH2) dan riboflavin (Field dan Brady 2003), antrakuinon-2,6-disulfonat (Damronglerd et al. 2005), metil viologen, menadion, dan antrakuinon (Van der Zee 2002). Mekanisme reduksi zat warna azo secara indirect enzymatic menggunakan mediator redoks dilaporkan oleh Field dan Brady (2003), ditunjukkan pada Gambar 13.

Gambar 13 Mekanisme perombakan zat warna azo menggunakan riboflavin sebagai mediator redoks.

Perombakan zat warna azo secara kimia dengan menggunakan senyawa organik atau anorganik seperti sistein, askorbat, ditionat, sulfida yang dihasilkan dari metabolisme bakteri. Proses perombakan zat warna azo secara kimia ini, zat warna azo mengalami reaksi reduksi sedangkan senyawa organik atau anorganik mengalami reaksi oksidasi. Senyawa organik atau anorganik yang dapat digunakan mereduksi zat warna azo harus mempunyai nilai potensial reduksi lebih kecil dibandingkan dengan potensial reduksi zat warna azo. Beberapa potensial reduksi untuk sistem biologi pada pH 7 dan suhu 25oC seperti ditunjukkan pada Tabel 4.

Riboflavin teroksidasi

Riboflavin tereduksi

Zat warna azo N

N

N NH

R H

O

O H N N

N NH R

O

O Riboflavin

reductase R2

NH2

R1

NH2

+ Substrat

Substrat teroksidasi

Amina aromatik

N=N

(51)
[image:51.612.141.479.94.288.2]

Tabel 4 Potensial redoks setengah reaksi pada sistem biologi

Setengah reaksi Eo (mV) Transfer 2 SO32-/S2O42- + 2 H2O -574 2e + 4 H+

Ti(IV) sitrat/Ti(III)sitrat -480 e + H Sistein/2 sistein -340 2e + 2 H+ NAD+/NADH + H+ -320 2e + 2 H+ So/HS- -270 2e + 2 H+ So/H2S -250 2e + 2 H+ FAD/FADH2 -220 2e + 2 H+ FMN/FMNH2 -220 2e + 2 H+ RO 96/dua amina aromatik -133 4e + 4 H+

2.6.2. Perombakan Zat Warna Tekstil pada Kondisi Aerob

Zat warna azo relatif sulit dirombak pada kondisi aerob. Hal ini disebabkan zat warna azo mempunyai gugus kromofor sebagai penarik elektron yang kuat. Dengan demikian, sistem penanganan aerob tidak efektif digunakan sebagai proses awal pada perombakan limbah tekstil melainkan lebih banyak digunakan sebagai penanganan lanjutan dari proses anaerob.

(52)

tumbuh pada kondisi aerob dan mampu merombak zat warna azo dengan menggunakan gula sebagai sumber karbon (Chen et al. 1999). Berdasarkan hasil kajian tersebut, pada umumnya hanya zat warna azo sederhana seperti methyl red, acid orange 10, acid orange 8 dan acid red 88 yang mampu dirombak oleh bakteri pada kondisi aerob.

[image:52.612.118.505.83.762.2]

Perombakan zat warna azo pada kondisi aerob memerlukan enzim spesifik yaitu aerobic azoreductase yang mengkatalis reaksi dengan adanya oksigen. Menurut Telke et al. (2008), mekanisme reaksi oksidasi zat warna azo reactive red 141 oleh bakteri Rhizobium radiobacter pada kondisi semi aerob dengan bantuan enzim azoreductase ditunjukkan seperti pada Gambar 14.

Gambar 14 Mekanisme perombakan reactive red 141 menggunakan Rhizobium radiobacter. SO3 N=N OH NO SO3 SO3 SO3 N=NH

Napthalena 2-diazonium 1,5 asam disulfonat 2-Nitroso napthol 4,7 asam disulfonat + N=NH Desulfonasi Desulfonasi OH NO Napthalena diazonium 2-Nitroso napthol N=N

NaSO3 SO3Na OH

HN

Reactive Red 141

N N N O O H H

1,3,5 triazine 2,4 diol

intermediet

+ O2N NO2

SO3 SO3 NO SO3 OH N=N SO3 +

p-dinitro benzen Monoazo intermediet SO3 SO3 SO3 N=N OH NO SO3 Monoazo SO3Na

SO3Na HN

HN N

N N O

SO3Na NaSO3

N=N O

N N

N NH OH SO3Na

(53)

2.6.3. Perombakan Zat Warna Tekstil Kombinasi Anaerob dan Aerob

Karakteristik limbah industri tekstil dengan nilai COD dan intensitas warna yang tinggi disertai sifat bahan pewarna yang stabil pada kondisi aerob, proses pengolahan sistem kombinasi anaerob-aerob menjadi pilihan utama untuk menanggulangi pencemaran air oleh limbah tekstil. Secara umum proses pengolahannya dibagi menjadi dua tahap yaitu pertama proses penguraian

Gambar

Tabel 2  Penggolongan zat warna menurut sifat dan cara pencelupannya
Gambar 3  Proses pencelupan kain dan karakteristik limbah tekstil.
Gambar 4  Diagram alir pengolahan limbah cair dengan activated sludge.
Gambar 6  Diagram alir pengolahan limbah cair dengan contact stabilization
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perspektif realis yang digunakan dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa setiap bantuan luar negeri yang diberikan oleh Jepang kepada Myanmar tidak terlepas

Pemberian mulsa dan pengolahan tanah secara nyata mempengaruhi sifat fisik tanah, pertumbuhan tanaman jagung dan meningkatkan kadar air tanah, bahan organik tanah,

Memberikan wewenang dan kuasa kepada Direksi Perseroan, dengan hak substitusi, untuk melakukan segala dan setiap tindakan yang diperlukan sehubungan keputusan

Pada penelitian ini digunakan larutan uranil sulfat dengan menggunakan software MCNPX, untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan menggunakan jenis bahan

 besarnya + 1500 ml ml dan volume dan volume cadangan cadangan ekspirasi yang ekspirasi yang merupakan merupakan volume volume udara udara yang masih dapat dikeluarkan

• Efek samping pengobatan berupa demam obat terjadi pada 3-5% dari seluruh reaksi obat yang dilaporkan • Obat yang sering menyebabkan demam  antibiotik dan antikonvulsi

Mengapa demikian dilihat dari awal muncul berdirinya administrasi sudah jelas bahwa munculnya adminstrasi bersamaan dengan adanya kelompok manusia yang membentuk satu tujuan

α 0,1 dapat diartikan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan keluhan pernapasan pada mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta tahun