• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Stres Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Stres Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN 1

HasilUjiReliabilitasdan Daya Beda Aitem

(2)

LAMPIRAN 1.HASIL UJI RELIABILITAS DAN DAYA BEDA AITEM

(3)

S20 160.75 221.610 .384 .771

(4)
(5)

S41 88.84 159.067 .388 .840

S42 88.74 159.708 .375 .840

S43 88.84 161.834 .306 .842

S44 88.93 160.181 .424 .839

S45 88.72 161.411 .301 .843

(6)

LAMPIRAN 2

(7)
(8)

N 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 2 2 2 1 1 2 2 1 37

H 1 1 2 4 2 2 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 42

M 3 4 2 1 2 4 3 3 3 2 2 4 4 3 2 3 4 1 3 3 3 2 4 4 3 1 2 75

MR 3 2 2 2 3 2 2 3 2 2 1 3 2 2 1 2 2 1 2 3 2 2 3 2 3 3 2 59

RS 3 2 2 2 4 2 1 2 2 2 2 2 4 4 2 3 4 2 3 3 3 2 2 1 3 1 3 66

RP 2 4 2 3 3 4 3 5 4 2 2 1 4 1 2 1 1 1 1 4 2 2 2 2 2 2 2 64

MS 3 1 2 2 1 1 3 3 2 2 1 3 3 3 1 1 2 3 3 3 2 1 1 2 3 3 3 58

YN 4 2 1 3 3 3 4 4 3 2 2 3 3 3 2 2 1 3 3 2 3 2 2 3 1 4 3 71

N 4 4 3 1 1 2 3 3 3 2 3 2 5 5 4 3 3 3 3 3 2 2 2 5 4 4 3 82

DS 2 1 1 1 1 1 2 2 1 1 2 1 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 35

NG 4 3 3 2 3 3 2 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 2 1 2 3 2 2 2 4 2 3 69

(9)

LAMPIRAN 3

(10)

RAHASIA

1.

No:

SKALA PENELITIAN

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(11)

KATA PENGANTAR

Dengan hormat,

Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, maka saya bermaksud mengadakan penelitian berkaitan stres ibu dari anak autis. Untuk itu saya memerlukan sejumlah data yang hanya akan dapat saya peroleh dengan adanya kerjasama Anda dalam mengisi skala ini.

Dalam pengisian skala ini tidak ada jawaban yang salah karena setiap orang memiliki jawaban yang berbeda, karena itu pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda. Anda diharapkan dapat memberikan jawaban yang jujur dan tanpa mendiskusikannya dengan orang lain. Semua jawaban akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian ini saja. Cara memberikan pernyataan-pernyataan tersebut akan dijelaskan dalam petunjuk pengisian. Jika telah selesai, periksa kembali jawaban anda, jangan sampai ada pernyataan yang terlewati dan belum diisi.

Kesediaan Anda dalam mengisi kuisioner ini merupakan bantuan yang amat besar artinya bagi keberhasilan penelitian ini. Untuk itu saya ucapkan terimakasih.

Hormat Saya,

(12)

IDENTITAS DIRI

Silahkan isi identitas diri Anda terlebih dahulu: Nama/ Inisial : __________________

Usia : ____ tahun

PETUNJUK PENGISIAN

Dibawah ini terdapat 27 pernyataan. Baca dan pahami baik-baik setiap pernyataan tersebut. Jawablah semua pernyataan dalam skala ini, karena kelengkapan pengisian skala merupakan syarat mutlak agar data dapat dianalisis. Ibu diminta untuk mengemukakan apakah pernyataan tersebut sesuai dengan diri Ibu, dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu pilihan jawaban yang tersedia, yaitu:

STS : Jika pernyataan SANGAT TIDAK SESUAI dengan diri Anda. TS : Jika pernyataan TIDAK SESUAI dengan diri Anda.

N : jika pernyataan NETRAL dengan diri Anda. S : jika pernyataan SESUAI dengan diri Anda.

(13)

Contoh:

NO Pernyataan STS TS N S SS

1. Saya dapat mengerjakan kuisioner ini dengan baik.

X

Bila Ibu ingin mengganti jawaban yang telah diberikan sebelumnya, coret tanda silang (X) sebelumnya dengan dua garis (=), dan berikan tanda silang (X) pada pilihan yang menurut Ibu sesuai.

Contoh Koreksi Jawaban:

NO Pernyataan STS TS N S SS

1. Saya dapat mengerjakan kuisioner ini dengan baik.

X X

(14)
(15)
(16)

LAMPIRAN 4

(17)
(18)
(19)

http://tabloidnova.com/Kesehatan/Anak/Orangtua-Berbagi-Suka-Duka-Mengasuh-Anak-Autisme-1

Diakses pada tanggal 29 Maret 2016.

American Psychiaric Association. (2004). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders: DSM-IV-TR. (4th ed Text Revision.). Washington DC: American Psychiatric Association.

Astuti, Yuni. (2016). Perilaku Tantrum Anak Usia 5-6 Tahun Ditinjau Dari Usia Menikah Orang Tua di Desa Bener, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo. SKRIPSI (Tidak Diterbitkan). Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Atkinson, R.L., dkk.(2000). Introduction to Psychology (13th Ed). Editor : Smith, Carolyn D. Harcourt College Publishers.

Azwandi. (2005). Mengenal dan Membantu Penyandang Autis. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. (2012). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

--- (1999). Reliabilitas dan Validitas: Seri Pengukuran Psikologi. Yogyakarta: Sigma Alpha.

Bilih, Abdul. (2011). Ibu Itu Sungguh Ajaib. Yogyakarta: Transmedia.

Central for Disease Control and Prevention. (2014). Autism Spectrum Disorder: Sign and Symptoms. http://www.cdc.gov/ncbddd/autism/signs.html

Diakses tanggal 21 Januari 2015

(20)

Depdiknas. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Domino & Domino. (2006). Psychological Testing: An Introduction (2nd Ed.). United Kingdom: Cambridge University Press.

Endow, J. (2009). Outsmarting Explosive Behavior: A Visual System of Support and Intervention for Individuals With ASD. Shawnee Mission, KS: AAPC Publishing.

(http://ollibean.com/2015/01/13/autistic-meltdown-or-temper-tantrum/) Diakses tanggal 18 Februari 2016

Hadi, Sutrisno. (2000). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Hariansib. (2014). Jumlah anak dengan ASD setiap tahunnya meningkat,

Orangtua diminta waspada.

(http://hariansib.co/view/Medan- Kita/33944/Jumlah-Anak-dengan-ASD-Tiap-Tahunnya-Meningkat--Orangtua-Diminta-Waspada.html#.VMJVSixNnIU)

Diakses tanggal 23 Januari 2015

Hidayati, F. (2013). Pengaruh Pelatihan “Pengasuhan Ibu Cerdas” terhadap Stres Pengasuhan pada Ibu dari Anak Autis. Jurnal Psikoislamika, Volume 10, No. 1, Tahun 2013.

Hurlock, E, B. (2001). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi 5). Jakarta: Erlangga.

Hutten, Mark. (2009). Tantrums and Meltdowns in Kids with Autism Spectrum

Disorders.

(http://www.myaspergerschild.com/2009/07/temper-tantrums-and-meltdowns-in.html)

(21)

Jakarta: Rajawali.

Lam, W.L., & Mackenzie, E.A. (2002). Coping With a Child With Down Syndrome: The Experiences of Mothers in Hong Kong. Qualitative Health Research, 2. Februari, Vol 12, No. 2, 223-237.

Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal and Coping. New York: Springer Publishing Company.

Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid Kesatu. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Marijani, L. (2003). Bunga Rampai Seputar Autisme dan Permasalahannya. Jakarta: Puterakembara Foundation.

Miftah, Ici. (2010). Hubungan Dukungan Sosial dengan Tingkat Stres Ibu yang memiliki anak autisme di Sekolah Luar Biasa (SLB) Autisme di Kota Padang Tahun 2010. SKRIPSI. (Tidak Diterbitkan). Fakultas Keperawatan: Universitas Andalas.

Nevid, J.S., Rathus, S.A. & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal, Edisi kelima, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga

NewsRX. (2010). Washington State University Researchers Finds Mothers of Children with Autism Pay Price in Workplace. Washington D.C: Washington State University.

(22)

Viewpoint (7th Ed.). Boston: McGraw-Hill

Phetrasuwan, Supapak & Miles, Margaret Shandor. (2009). Parenting Stress in Mothers of Children with Autism Spectrum Disorders. Journal for Specialists in Pediatric Nursing. Vol. 14 No. 3, Juli 2009

Pisula, Ewa. (2011). Parenting Stress in Mothers and Fathers of Children with Autism Spectrum Disorders, A Comprehensive Book on Autism Spectrum Disorders, Dr. Mohammed-Reza Mohammadi (Ed.) Diakses dari:

http://www.intechopen.com/books/a-comprehensive-book-on-autism- spectrum-disorders/parenting-stress-in-mothers-and-fathers-of-children-with-autism-spectrum-disorders

Diakses pada tanggal 21 Januari 2016

Pusponegoro, H.D & Purboyo, Solek. (2007). Apakah Anak Kita Autis?. Bandung: Trikarsa Multi Media

Rahayu, S.M. (2014). Deteksi dan Intervensi Dini pada Anak Autis. Jurnal Pendidikan Anak, Vol. III, Edisi 1, Juni 2014.

Rahmawati, dkk. (2013). Hubungan antara Penerimaan Diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Makalah (Tidak Diterbitkan). Surakarta: Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Rachmayanti, S. & Zulkaida, A. (2007). Penerimaan diri orangtua terhadap anak autisme dan perannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi Vol.1, No. 1, 7 – 17.

Rice, P.L. (1992). Stress and Health (2nd ed). California: Wadsworth, Inc.

Rumahautis. (2013). Misteri Autis yang Tak Terungkap.

http://rumahautis.org/rumahautis/berita-misteri-autis-yang-tak-terungkap.html

(23)

Sarafino, E.P. (2011). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions (7th ed.). USA: John Wiley & Son

Sari, dkk. (2011). Profil „Resilience‟ pada ibu yang memiliki anak autis di kota Bandung. Mimbar, Vol. XXVII, No. 1. 105-111.

Sastry, A., Aguirre, B. (2014). Parenting anak dengan autisme: Solusi, Strategi, dan saran praktis untuk membantu keluarga anda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sembiring, M. (2011). Gambaran Kebahagiaan pada Ibu yang memiliki Anak Autisme. SKRIPSI (Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Stefani. (2011). Hubungan Kejadian Penyakit Autistik pada Anak dengan Usia Maternal dan Paternal di kota Medan. SKRIPSI (Tidak Diterbitkan). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Sugiyono. (1999). Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.

Suraiya, M & Yulianti, Astuti. (2008). Faktor-faktor Stres pada Orangtua Anak Autis. NASKAH PUBLIKASI. Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Suryabrata, S. (2000). Metode Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Swahyuningroem. (2012). Ya Anak Saya Autis.

(24)

Englewood Cliffs NJ: Printice Hall.

Veskarisyanti, G.A., 2008. 12 Terapi Autis Paling Efektif & Hemat: untuk Autis, Hiperaktif, dan Retardasi Mental.Yogyakarta: Pustaka Anggrek.

Wenar, C & Kerig, P.K. (2000). Developmental Psychopathology: From infancy through adolescence (4th ed.) New York: Mc-Graw Hill.

Whitman, T.L & Ekas, N.V. (2010). Adaptation to Daily Stress among Mothers of Children with an Autism Spectrum Disorder: The Role of Daily Positive Affect. Journal Autism Develompent Disorder. Vol. 41. 1202-1213.

(25)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis (Azwar, 2012).

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini hanya satu variabel, yaitu stres.

B. DEFENISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Definisi Operasional dari Stres ialah kondisi yang disebabkan oleh ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang dapat dilakukan individu sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya, sehingga mengakibatkan menurunnya kemampuan berpikir dan mengingat, individu menjadi mudah marah dan tersinggung, sedih, cemas, takut, khawatir, gelisah dan muncul perilaku menyendiri atau menarik diri dari lingkungan.

(26)

tingkat stres yang dialaminya. Sedangkan sebaliknya, semakin rendah skor yang dimiliki subjek, maka semakin rendah pula tingkat stres yang dialami subjek.

C. POPULASI DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi dan Sampel

Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah para ibu yang memiliki anak yang didiagnosa oleh profesional memiliki sindrom autisme di Medan.

Sampel adalah sebagian dari populasi dan harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki populasi (Azwar, 2010). Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian, yakni sampel. Adapun sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sampel yang sesuai dengan ciri dari populasi:

a. Ibu dari anak autis dengan rentang usia kanak-kanak awal (2-5 tahun) dan kanak-kanak akhir (6-12 tahun).

b. Diagnosa autisme ditegakkan oleh profesional. c. Ibu masih mengasuh anaknya yang autis d. Berdomisili di Medan

2. Teknik Pengambilan Sampel

(27)

tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dan dengan memperhatikan sifat-sifat serta penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik non-probabilitas purposive sampling. Berdasarkan teknik ini, sampel diambil dengan adanya pertimbangan dan berdasarkan kesesuaian dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Sugiyono, 2008). Teknik pengambilan sampel ini sesuai dengan penelitian mengingat jumlah populasi yang tidak memiliki jumlah data yang jelas dalam arti tidak ada sumber data yang pasti mengenai jumlah populasi penelitian. Besarnya sampel yang dipilih adalah berdasarkan pertimbangan ketepatan dan efisiensi biaya, tenaga, waktu dan kemampuan peneliti.

Data dari Yayasan Autisma Indonesia pada tahun 2003, terdapat lima lembaga autis yang ada di kota Medan. Setelah melakukan pendekatan dengan lembaga, maka peneliti berhasil mengumpulkan 40 orang anak autis beserta dengan ibunya yang bersedia menjadi subjek penelitian.

(28)

D. JENIS PENELITIAN

Jenis Penelitian adalah penelitian deskriptif untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis (Azwar, 2012).

E. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode skala. Skala merupakan kumpulan-kumpulan pernyataan mengenai suatu objek. Azwar (1999) menguraikan beberapa karakteristik skala sebagai alat ukur psikologi, yaitu:

1. Stimulus berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur, melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan.

2. Dikarenakan atribut psikologis diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator perilaku, sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam berntuk aitem-aitem, maka skala psikologi selalu berisi banyak aitem. 3. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai "benar" atau "salah". Semua respon dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh.

(29)

mengingat; emosi yang ditunjukkan dengan mudah marah, tersinggung; dan perilaku sosial seperti menarik diri, tidak mengikuti kegiatan sosial.

Skala Stres menggunakan model skala Likert yang berjumlah 49 aitem yang terdiri dari aitem favorable dan unfavorable, dengan menggunakan empat pilihan dalam memberi respon, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pemberian skor untuk skala ini bergerak dari 4 sampai 1 untuk aitem favorable, sedangkan untuk aitem unfavorable bergerak dari 1 sampai 4. Pemberian skor untuk skala ini dapat dilihat pada tabel 3.3, sedangkan blueprint skala stress ibu dapat dilihat pada tabel 3.4

Tabel 3.1 Bobot Nilai Pernyataan Skala Stres Ibu

Bobot Nilai STS TS N S SS

Favorable 1 2 3 4 5

Unfavorable 5 4 3 2 1

Tabel 3.2 Blueprint Skala Stres Sebelum Uji Coba

No. Aspek Indikator Jenis Aitem Jlh

Favorable Unfavorable 1. Kognisi - Konsentrasi menurun

(30)

F. UJI INSTRUMEN ALAT UKUR

1. Uji Validitas

Rogers (dalam Urbina, 2004) menyatakan bahwa defenisi pertama dari validitas yang diungkapkan oleh National Association of the Directors of Educational Research adalah batas dimana suatu alat tes mengukur apa yang

seharusnya diukur. Untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukanlah suatu pengujian validitas (Azwar, 1999).

Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah content validity atau yang disebut sebagai validitas isi, yaitu berkaitan dengan relevansi dan representatif dari aitem tes dalam mewakili sasaran yang akan diukur (Urbina, 2004). Validitas isi tes menunjuk kepada sejauh mana tes yang merupakan seperangkat soal-soal, dilihat dari isinya memang mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Validasi isi tes ditentukan melalui pendapat professional (professional judgement) dalam proses telaah soal (Suryabrata, 2000).

2. Reliabilitas

(31)

Pengukuran yang tidak memiliki reliabilitas tinggi akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi di antara individu lebih ditentukan oleh faktor eror daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Pengukuran yang tidak reliabel tentu tidak akan konsisten pula dari waktu ke waktu (Azwar, 1999). Ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil pengukuran alat tersebut dapat dipercaya. Hal ini ditunjukkan oleh taraf keajegan (konsistensi) skor yang diperoleh oleh para subjek yang diukur dengan alat yang sama, atau diukur dengan alat yang setara pada kondisi yang berbeda (Suryabrata, 2000).

Uji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan pendekatan konsistensi internal dimana seperangkat alat tes diberikan kepada sekelompok subjek hanya sekali saja. Pengukuran reliabilitas alat ukur menggunakan Koefisien Alpha Cronbach, yang artinya menggunakan administrasi tunggal dari suatu bentuk tunggal, didasarkan pada konsistensi respon terhadap semua butir soal dalam tes.

3. Uji Daya Beda Aitem

(32)

korelasinya (mendekati nol), berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya rendah. Apabila koefisien korelasi didapati bernilai negatif, maka dapat dipastikan terdapat cacat serius pada aitem yang bersangkutan (Azwar, 2012).

Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) yang

dikenal dengan sebutan parameter daya beda aitem. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan koefisien korelasi aitem menggunakan batasan di atas atau sama dengan 0,3. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi (rix) minimal 0,3, daya

pembedanya dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki koefisien korelasi (rix)

di bawah 0,3 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya beda rendah. Pengujian ini dilakukan dengan SPSS Statistics version 17.0 for Windows.

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur dilakukan pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus sebanyak 87 orang. Analisa data dilakukan dengan menggunakan SPSS Statistics version 17.0 for Windows.

Berdasarkan hasil uji coba pada 49 aitem skala Stres Ibu yang terdiri dari 3 (tiga) aspek, diperoleh 27 aitem yang memiliki nilai di atas atau sama dengan 0,3 dan terdapat 22 aitem yang gugur karena memiliki nilai dibawah 0,3. Aitem yang gugur ialah aitem 3, 38, 26, 46, 5, 16, 36, 39, 2, 9, 13, 22, 23, 30, 12, 19, 21, 34, 18, 32, 47, 48.

(33)

Nilai koefisien reliabilitas Skala Stres Ibu 0,845 menunjukkan bahwa alat ukur reliabel.

Tabel 3.3 Blueprint Skala Stres Ibu Setelah Uji Coba

No. Aspek Indikator Jenis Aitem Jlh

Favorable Unfavorable 1. Kognisi - Konsentrasi menurun

- Ingatan melemah

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

a. Pembuatan alat ukur

Pada tahap ini, peneliti akan membuat konstruksi alat ukur berupa skala untuk mengukur Stres Ibu. Penyusunan skala ini dimulai dengan membuat blue-print aitem-aitem yang ingin diberikan. Skala akan dicetak pada kertas

(34)

b. Uji coba alat ukur

Setelah perancangan skala selesai, peneliti akan melakukan uji coba alat ukur kepada 87 orangtua dari anak berkebutuhan khusus di kota Medan pada tanggal 09 November s.d. 25 November 2015. Uji coba ini bertujuan untuk memperoleh nilai reliabilitas dan validitas dari alat ukur.

c. Revisi Alat Ukur

Setelah try out selesai, peneliti akan merevisi alat ukur dengan cara memilih aitem-aitem yang sudah teruji reliabilitas dan validitasnya. Komputasi dilakukan dengan bantuan program SPSS version 17.0 for Windows. Berdasarkan hasil uji coba pada 49 aitem skala Stres Ibu diperoleh 27 aitem yang memiliki nilai di atas atau sama dengan 0,3. Nilai koefisien alpha yang diperoleh adalah sebesar 0,845.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini, peneliti akan mengambil data penelitian yang sebenarnya. Alat ukur akan diberikan kepada 40 ibu yang memiliki anak autis. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 15 Desember 2015 s.d. 05 Januari 2016 di Medan.

3. Tahap Pengolahan Data

(35)

H. METODE ANALISA DATA

Penelitian ini dilakukan untuk melihat Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis, maka metode analisa data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Data yang akan diolah yaitu skor minimum, skor maksimum, mean dan standar deviasi. Pengolahan data akan dibantu oleh program SPSS version

(36)

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN

Subjek yang terlibat dalam penelitian adalah 40 anak autis beserta ibunya yang berdomisili di kota Medan. Hasil dari penyebaran skala terhadap subjek penelitian diperoleh gambaran mengenai ciri-ciri demografi subjek yang meliputi usia ibu, usia anak, suku bangsa dan pekerjaan ibu.

1. Usia

Peneliti mengkategorikan usia subjek penelitian menjadi 3 kategori yaitu dewasa dini dengan rentang usia 18-40 tahun, dewasa madya dengan rentang usia 41-60 tahun dan dewasa akhir dengan usia lebih dari 60 tahun (Hurlock, 2001). Berdasarkan usia subjek penelitian, maka diperoleh penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Ibu

Usia Jumlah (N) Persentase

Dewasa Awal (18-40 tahun) 27 67,5 %

Dewasa Madya (41-60 tahun) 13 32,5 %

Dewasa Akhir (≥ 60 tahun) – 0 %

(37)

Selanjutnya, penyebaran subjek penelitian berdasarkan usia dapat dilihat pada Grafik 1.

Grafik 1. Penyebaran Subjek berdasarkan Usia

2. Usia Anak

Peneliti mengkategorikan usia anak dari subjek penelitian menjadi 2 kategori, yaitu kanak-kanak awal dengan usia 2-5 tahun, kanak-kanak akhir dengan usia 6-13 tahun (Hurlock, 2001). Berdasarkan usia anak dari subjek penelitian, maka diperoleh penyebaran data seperti yang tertera pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Anak

Usia Jumlah (N) Persentase

Kanak-Kanak Awal (2-5 tahun) 18 45 %

Kanak-Kanak Akhir (6-12 tahun) 22 55 %

(38)

orang (45%). Selanjutnya, penyebaran subjek penelitian berdasarkan usia anak dapat dilihat pada Grafik 2.

Grafik 2. Penyebaran Subjek berdasarkan Usia Anak

3. Suku Bangsa

Peneliti mengkategorikan suku bangsa dari subjek penelitian menjadi 6 (enam) kategori besar, yaitu Suku Batak (termasuk Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, Batak Angkola dan Batak Pakpak), Suku Jawa, Suku Melayu, Suku Minangkabau, Suku Nias dan Suku Tionghoa. Berdasarkan suku bangsa dari subjek penelitian, maka diperoleh penyebaran data seperti yang tertera pada tabel 4.3

Tabel 4.3 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Bangsa

Suku Bangsa Jumlah (N) Persentase

Batak 21 52,5 %

Jawa 7 17,5 %

Melayu 5 12,5 %

Minangkabau 3 7,5 %

Nias 2 5 %

(39)

Berdasarkan data dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah subjek terbanyak adalah ibu dari Suku Batak, yakni 21 orang (52,5%), kemudian diikuti dengan ibu bersuku Jawa, yaitu 7 orang (17,5%); ibu bersuku Melayu, yaitu 5 orang (12,5%); ibu bersuku Minangkabau, yaitu 3 orang (7,5%); ibu bersuku Nias, yaitu 2 orang (5%) dan ibu bersuku Tionghoa, yaitu 2 orang (5%). Selanjutnya, penyebaran subjek penelitian berdasarkan suku bangsa dapat dilihat pada Grafik 3. .

Grafik 3. Penyebaran Subjek berdasarkan Suku Bangsa

4. Pekerjaan

(40)

Tabel 4.4 Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Jumlah (N) Persentase

Pegawai Negeri Sipil (PNS) 9 22,5 %

Pegawai Swasta 11 27,5 %

Wiraswasta 4 10 %

Ibu Rumah Tangga (IRT) 16 40 %

Berdasarkan data dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah subjek terbanyak adalah ibu yang tidak bekerja (IRT), yakni 16 orang (40%), kemudian diikuti dengan ibu yang bekerja sebagai Pegawai Swasta, yaitu 11 orang (27,5%); ibu yang bekerja sebagai PNS, yaitu 9 orang (22,5%) dan ibu yang berkarir sebagai wiraswasta, yaitu 4 orang (10%). Selanjutnya, penyebaran subjek penelitian berdasarkan usia dapat dilihat pada Grafik 4.

Grafik 4. Penyebaran Subjek berdasarkan Pekerjaan

B. HASIL PENELITIAN

1. Hasil Utama Penelitian

a. Gambaran Umum Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis

(41)

analisis deskriptif. Fungsi analisis deskriptif ialah untuk menyederhanakan kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna. Data dalam penelitian ini ialah data numerik, maka analisis deskriptif yang disajikan meliputi nilai mean, Standar Deviasi, nilai maksimum dan nilai minimum. Analisa deskripstif dalam penelitian ini dibantu dengan program SPSS Statistics version 17.0 for Windows. Penyajian hasil analisa deskriptif pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil analisa deskriptif Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis

N Minimum Maksimum Mean SD

Total 40 32 122 71,05 23,952

Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa subjek yang diteliti (N) ialah 40 orang, yang mana skor rata-rata (mean) yang diperoleh ialah 71,05 dan nilai Standar Deviasi yang diperoleh ialah 23,952 dengan skor minimum yaitu 32 dan skor maksimum yaitu 122. Deskripsi data penelitian yang tersaji memungkinkan peneliti untuk melakukan pengelompokan yang mengacu pada kriteria kategorisasi model distribusi normal. Azwar (2010) menyatakan bahwa kategorisasi ini didasarkan pada asumsi bahwa data terdistribusi secara normal. Kategorisasi skor stres ibu dikelompokkan kedalam 3 kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Norma kategorisasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.6 sebagai berikut:

Tabel 4.6 Norma Kategorisasi Stres

Rentang Nilai Kategori

X < (µ - 1,0 SD) Rendah

(µ - 1,0 SD) ≤ X < (µ + 1,0 SD) Sedang

(42)

Besar mean empirik stres ialah 71,05 dengan Standar Deviasi (SD) sebesar 23, 952 maka kategorisasi yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Tabel 4.7 Kategorisasi Stres

Kategori Rentang Nilai Jumlah Persentase

Rendah X < 47,098 7 17,5 %

Sedang 47,098 ≤ X < 95,002 26 65 %

Tinggi 95,002 ≤ X 7 17,5 %

Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa mayoritas para ibu memiliki tingkat stres dalam kategori sedang, yaitu sebanyak 26 orang (65%). Ibu dengan kategori stres rendah dan tinggi sama-sama berjumlah 7 orang (17,5%).

Penyebaran kategorisasi stres dapat dilihat pada grafik 5.

Grafik 5. Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis

b. Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis ditinjau dari

aspek Stres

1) Gambaran Stres pada Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Aspek Kognisi

(43)

skor terendah 7. Penyajian hasil analisis deskriptif stres ditinjau dari aspek kognisi dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.8 Gambaran Stres Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Aspek Kognisi

N Minimum Maksimum Mean Standar

Deviasi

Total 40 8 31 18,68 5,959

Berdasarkan tabel 4.8 diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai minimum yang diperoleh ialah 8 dan nilai maksimum yang diperoleh ialah 31, kemudian mean stres dari aspek kognisi ialah 18,68, dengan standar deviasi sebesar 5,959. Kriteria kategorisasi skor stres ditinjau dari aspek kognisi disertai dengan jumlah subjek dan persentasenya disajikan pada tabel 4.9

Tabel 4.9 Kategorisasi Stres ditinjau dari Aspek Kognisi

Kategori Rentang Nilai Jumlah Persentase

Rendah X < 12,721 7 17,5 %

Sedang 12,721 ≤ X < 24,639 26 65 %

Tinggi 24,639 ≤ X 7 17,5 %

(44)

Grafik 6. Stres pada Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Aspek Kognisi

.

2) Gambaran Stres pada Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Aspek Emosi

Aspek Emosi dalam Skala Stres Ibu diukur dengan 12 aitem dengan rentang nilai 1-5 sehingga menghasilkan kemungkinan skor tertinggi 60 dan kemungkinan skor terendah 12. Penyajian hasil analisis deskriptif stres ditinjau dari aspek kognisi dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.10 Gambaran Stres Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Aspek Emosi

N Minimum Maksimum Mean Standar

Deviasi

Total 40 15 54 30,95 10,919

(45)

Tabel 4.11 Kategorisasi Stres ditinjau dari Aspek Emosi

Kategori Rentang Nilai Jumlah Persentase

Rendah X < 20,031 8 20 %

Sedang 20,031 ≤ X < 41,869 25 62,5 %

Tinggi 41,869 ≤ X 7 17,5 %

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa 25 orang ibu memiliki stres pada kategori sedang bila ditinjau dari aspek emosi (62,5%), kemudian diikuti oleh 8 orang ibu pada kategori stres rendah (20%) dan 7 orang ibu pada kategori stres tinggi (17,5%). Selanjutnya, penyebaran subjek penelitian berdasarkan aspek emosi dari stres dapat dilihat pada Grafik 7.

Grafik 7. Stres pada Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Aspek Emosi

3) Gambaran Stres pada Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Aspek

Perilaku Sosial

(46)

Tabel 4.12 Gambaran Stres Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Aspek Perilaku Sosial

N Minimum Maksimum Mean Standar

Deviasi

Total 40 8 38 21,43 8,041

Berdasarkan tabel 4.12 diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai minimum yang diperoleh ialah 8 dan nilai maksimum yang diperoleh ialah 38, kemudian mean stres dari aspek perilaku sosial ialah 21,43, dengan standar deviasi sebesar 8,041. Kriteria kategorisasi skor stres ditinjau dari aspek perilaku sosial disertai dengan jumlah subjek dan persentasenya disajikan pada tabel 4.13

Tabel 4.13 Kategorisasi Stres ditinjau dari Aspek Perilaku Sosial

Kategori Rentang Nilai Jumlah Persentase

Rendah X < 13,389 7 17,5 %

Sedang 13,389 ≤ X < 29,471 25 62,5 %

Tinggi 29,471 ≤ X 8 20 %

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa 25 orang ibu memiliki stres pada kategori sedang bila ditinjau dari aspek perilaku sosial (65%), kemudian diikuti oleh 8 orang ibu pada kategori stres tinggi (20%) dan 7 orang ibu pada kategori stres rendah (17,5%). Selanjutnya, penyebaran subjek penelitian berdasarkan aspek perilaku sosial dari stres dapat dilihat pada Grafik 8.

(47)

2. Hasil Tambahan Penelitian

Hasil tambahan penelitian ditujukan untuk memperkaya hasil penelitian dari data yang telah didapat sebelumnya. Hasil tambahan tersebut antara lain memaparkan gambaran stres pada ibu dari anak autis ditinjau dari Usia Ibu, Usia Anak, Suku Bangsa dan Pekerjaan Ibu.

a. Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis ditinjau dari Usia

Tabel 4.14 Gambaran Stres pada Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Usia

Usia N Minimum Maksimum Mean Standar

Deviasi

Dewasa Awal 27 35 122 77,26 22,499

Dewasa Madya 13 32 103 58,15 22,379

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa subjek penelitian dengan usia Dewasa Awal (18-40 tahun) memiliki mean Stres Ibu paling tinggi, diikuti dengan subjek penelitian dengan usia Dewasa Madya (41-60 tahun). Berdasarkan hasil pengujian independent sample t-test untuk melihat perbedaan stres ditinjau dari usia ibu, maka diperoleh nilai p = 0,016 (< 0,05) didapatkan bahwa terdapat perbedaan skor pada Stres Ibu ditinjau dari usia ibu.

b. Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis ditinjau dari Usia Anak

Tabel 4.15 Gambaran Stres Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Usia Anak

Usia Anak N Minimum Maksimum Mean Standar

Deviasi

Kanak Awal 18 32 122 70,50 25,382

Kanak Akhir 22 35 117 71,50 23,311

(48)

yang lebih tinggi dibandingkan dengan mean Stres Ibu yang memiliki anak autis dengan kategori usia Kanak-Kanak Awal (2-5 tahun). Berdasarkan hasil pengujian independent sample t-test untuk melihat perbedaan stres ditinjau dari usia anak mereka, maka diperoleh nilai p = 0,897 (> 0,05) didapatkan bahwa tidak ada perbedaan skor pada Stres Ibu ditinjau dari usia anak.

c. Gambaran Stres pada Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Suku Bangsa

Tabel. 4.16 Gambaran Stres Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Suku Bangsa

Suku Bangsa N Minimum Maksimum Mean Standar

Deviasi

Batak 21 32 120 71,48 23,058

Jawa 7 37 122 71,57 36,327

Melayu 5 37 98 74,00 25,318

Minangkabau 3 69 82 75,33 6,506

Nias 2 57 76 66,50 13,435

Tionghoa 2 42 69 55,50 19,092

(49)

d. Gambaran Stres pada Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Pekerjaan Ibu Tabel. 4.17 Gambaran Stres Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Pekerjaan

Pekerjaan N Minimum Maksimum Mean Standar

Deviasi

PNS 9 32 117 74,56 26,674

Peg. Swasta 11 37 120 69,64 23,880

Wiraswasta 4 37 69 50,50 14,248

IRT 16 35 122 75,19 23,487

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa ibu yang tidak bekerja (IRT) memiliki mean Stres yang paling tinggi (75,19), kemudian diikuti dengan ibu yang bekerja sebagai PNS (74,56), ibu yang bekerja sebagai Pegawai Swasta (69,64) dan pekerjaan ibu yang memiliki mean paling rendah adalah ibu yang bekerja sebagai Wiraswasta (50,50). Peneliti menggunakan pengujian One-Way

ANOVA untuk melihat perbedaan mean lebih dari 2 kelompok. Berdasarkan hasil

pengujian, maka diperoleh nilai p = 0,309 (> 0,05) dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan skor pada Stres Ibu ditinjau dari pekerjaan yang dimiliki ibu.

C. PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis, dengan demikian dapat diketahui bagaimana gambaran umum stres dilihat dari aspek-aspek pengukur stres yang dikemukakan oleh Sarafino (2011), yaitu aspek Kognisi, aspek Emosi dan aspek Perilaku Sosial.

(50)

menjadi subjek penelitian, terdapat 26 ibu yang kategori stresnya sedang, 7 orang ibu yang kategori stresnya rendah dan 7 orang ibu yang kategori stresnya tinggi.

Sarafino (2011) mendefinisikan stres sebagai adanya kesenjangan atau ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang dapat dilakukan individu sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya, sehingga mengakibatkan menurunnya kemampuan berpikir dan mengingat, individu menjadi mudah marah dan tersinggung, sedih, cemas, takut, khawatir, gelisah dan muncul perilaku menyendiri atau menarik diri dari lingkungan.

(51)

autis tentunya menjadi beban tersendiri bagi ibu. Ibu harus siap memberi perhatian ekstra kepada anak, bahkan ibu harus bersedia menerima kenyataan bahwa anak akan sulit untuk mandiri di kehidupannya kelak. Mendukung pernyataan diatas, Pisula (2011) menyatakan terdapat tiga penyebab utama stres ibu dari anak autis, yaitu karakteristik perilaku anak, kurangnya dukungan dari profesional yang tepat dan sikap negatif dari lingkungan sosial atas kondisi anak.

Berdasarkan nilai mean yang diperoleh dari setiap aspek stres, yaitu mean aspek kognisi sebesar 18,68, mean aspek emosi sebesar 30,95 dan mean aspek perilaku sosial sebesar 8,041, diketahui bahwa stres dari aspek emosi memiliki nilai mean yang tertinggi. Hal ini berarti bahwa stres yang dimiliki ibu dari anak autis termanifestasi paling besar terhadap aspek emosinya. Ibu menjadi mudah marah dan tersinggung ketika anaknya tidak mendapat fasilitas yang sesuai, takut memikirkan kondisi anak yang tidak dapat mandiri, dan sedih atau depresi menghadapi karakteristik anaknya yang autis. Mean yang terendah ialah pada aspek kognisi, hal ini dapat berarti bahwa stres yang dimiliki ibu dari anak autis tidak menjadikan ibu sulit berkonsentrasi, menurunkan kemampuan mengingat dan tidak melemahkan kemampuan ibu dalam memecahkan masalah.

(52)

lagi, hasil pengujian independent sample t-test memperoleh nilai p = 0,016 (< 0,05) yang berarti terdapat perbedaan skor pada Stres Ibu ditinjau dari usia ibu.

Sesuai dengan teori Hurlock (2001) yang menyatakan bahwa usia mempengaruhi kematangan emosi seseorang, maka semakin bertambahnya usia individu, diharapkan semakin baik kemampuannya dalam mengekspresikan emosinya. Kedewasaan dalam emosi menjadikan individu tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak pantas (Dariyo, 2007). Terdapat hubungan yang bersifat negatif antara kematangan emosi dengan tingkat stres seseorang, semakin baik kematangan emosi yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah pula tingkat stres yang dimilikinya (Hidayati dkk, 2008).

Ibu dengan usia yang lebih dewasa dapat memiliki kematangan emosi yang lebih baik, sehingga hal ini mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan coping stress dengan cara yang lebih baik. Hastings & Johnson (dalam Pisula,

2011) menyatakan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara cara orangtua melakukan coping dengan tingkat stres yang dimilikinya. Oleh karena itu, ibu dewasa madya memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan ibu dewasa awal.

(53)

ditinjau dari usia anak. Berdasarkan hasil diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun mean stres ibu dengan anak autis usia 6-12 tahun lebih besar daripada ibu dengan anak autis usia 2-5 tahun, namun perbedaan mean stres yang dimiliki ibu tidaklah signifikan sehingga hal tersebut tidak menjadikan ibu dengan usia anak autis Kanak-Kanak Akhir (6-12 tahun) lebih stres dibandingkan ibu dengan usia anak autis Kanak-Kanak Awal (2-5 tahun).

Setiap ibu memiliki tantangan tersendiri dalam membesarkan anak autis. Perjuangan ibu dalam membesarkan anak autis adalah perjuangan seumur hidup (Suraiya & Yulianti, 2011). Ibu dengan usia anak autis 2-5 tahun akan berperang dengan dirinya sendiri dalam menerima anak. Diagnosa dokter, kondisi anak, penyesuaian dirinya sebagai caregiver utama, bahkan penyesuaian dengan keluarga besar merupakan tantangan bagi ibu yang dapat menjadikan ibu stres (Safaria, 2005).

(54)

yang dapat membuat ibu stres karena meskipun saat ini sudah banyak ditemukan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan beragam metode yang digunakan dalam menanganinya, namun tidak ada sekolah atau layanan pendidikan yang dapat menjamin sepenuh keberhasilan program pendidikan terhadap anak (Kalaei, 2008).

Hasil analisa tambahan terkait dengan Suku Bangsa diperoleh bahwa ibu bersuku Minangkabau memiliki mean Stres Ibu yang paling tinggi (75,33), kemudian diikuti dengan ibu bersuku Melayu (74,00), ibu bersuku Jawa (71,57), ibu bersuku Batak (71,48), ibu bersuku Nias (66,50) dan yang terakhir ibu bersuku Tionghoa (55,50). Namun pada pengujian One-Way ANOVA diperoleh nilai p = 0,962 (> 0,05) yang menunjukkan tidak ada perbedaan skor pada Stres Ibu ditinjau dari suku bangsa yang dimiliki ibu. Berdasarkan hasil diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan mean stres yang dimiliki ibu ditinjau dari suku bangsa tidaklah signifikan sehingga hal tersebut tidak menjadikan ibu bersuku Minangkabau lebih stres dibandingkan ibu bersuku lainnya. Hasil ini tidak sesuai dengan Smet (1994) yang menyatakan bahwa karakteristik individu seperti jenis kelamin, suku bangsa, latar belakang sosial ekonomi membuat individu mengalami stres dalam tingkatan yang berbeda-beda.

(55)

ditinjau dari pekerjaan yang dimiliki ibu. Berdasarkan hasil diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan mean stres yang dimiliki ibu ditinjau dari pekerjaan tidaklah signifikan sehingga hal tersebut tidak dapat dikatakan ibu yang tidak bekerja (IRT) lebih stres dibandingkan ibu yang bekerja.

Hal ini tidak sejalan dengan penemuan sebelumnya dari Washington State University pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa ibu anak autis yang bekerja

cenderung lebih ‘membayar harga’ dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Beban

(56)

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil kategorisasi, gambaran stres pada ibu yang memiliki anak autis lebih banyak pada kategori sedang, yaitu 26 orang (65%), kemudian diikuti dengan 7 orang pada kategori rendah (17,5%) dan 7 orang pada kategori tinggi (17,5%).

2. Berdasarkan nilai mean dari setiap aspek stres, nilai mean tertinggi terletak pada aspek Emosi yaitu sebesar 30,95, kemudian diikuti oleh aspek Perilaku Sosial, sebesar 21,43 dan aspek Kognisi sebesar 18,68. Perincian kategorisasi stres ditinjau dari aspek stres adalah sebagai berikut:

a. Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki anak autis ditinjau dari aspek Kognisi berada dalam kategori sedang, yaitu 26 orang (65%), kemudian diikuti oleh 7 orang pada kategori rendah (17,5%) dan 7 orang pada kategori

tinggi (17,5%).

b. Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki anak autis ditinjau dari aspek Emosi berada dalam kategori sedang, yaitu 25 orang (62,5%), kemudian diikuti oleh 8 orang pada kategori rendah (20%) dan 7 orang pada kategori

tinggi (17,5%).

(57)

kemudian diikuti oleh 7 orang pada kategori rendah (17,5%) dan 8 orang

pada kategori tinggi (20%).

3. Berdasarkan karakteristik subjek, dalam penelitian juga diperoleh hasil tambahan, yaitu:

a. Ditinjau dari Usia, Ibu dalam kategori usia Dewasa Awal (18-40 tahun) memiliki mean stres yang lebih tinggi yaitu sebesar 77,26 dibandingkan dengan mean stres dari Ibu dalam kategori usia Dewasa Madya (41-60 tahun) yaitu sebesar 58,15.

b. Ditinjau dari Usia Anak, Ibu yang memiliki anak autis dalam kategori usia Kanak-Kanak Akhir (6-12 tahun) memiliki mean stres yang lebih tinggi yaitu sebesar 71,50 dibandingkan dengan mean stres dari Ibu yang memiliki anak autis dalam kategori usia Kanak-Kanak Awal (2-5 tahun) yaitu sebesar 70,50.

c. Ditinjau dari Suku Bangsa, Ibu bersuku Minangkabau memiliki mean

Stres yang paling tinggi (75,33), kemudian diikuti dengan ibu bersuku

Melayu (74,00), ibu bersuku Jawa (71,57), ibu bersuku Batak (71,48), ibu

bersuku Nias (66,50) dan yang terakhir ibu bersuku Tionghoa (55,50).

d. Ditinjau dari Pekerjaan, ibu yang tidak bekerja (IRT) memiliki mean Stres yang paling tinggi (75,19), kemudian diikuti dengan ibu yang bekerja

sebagai PNS (74,56), ibu yang bekerja sebagai Pegawai Swasta (69,64) dan

(58)

B. SARAN

Peneliti sepenuhnya menyadari bahwa penelitian masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, peneliti akan memberikan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan gambaran stres pada ibu yang memiliki anak autis.

1. Saran Metodologis

a. Dalam pemilihan subjek penelitian, hendaknya ditambah dengan proses wawancara sehingga memungkinkan mendapatkan data yang lebih mendalam.

b. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah jumlah subjek agar hasil penelitian dapat digunakan pada generalisasi yang lebih luas.

c. Autis bukanlah satu-satunya gangguan perkembangan pada anak. Peneliti lain diharapkan untuk meneliti gambaran stres pada ibu anak berkebutuhan khusus lainnya, seperti Down Syndrome, Mental Retardasi, ADHD dan lain-lain.

d. Skala yang digunakan dalam penelitian ini memiliki interval ganjil. Kecenderungan skala dengan interval ganjil adalah responden yang kurang memahami aitem dalam skala akan memilih interval tengah,

yaitu “netral”. Sehingga pada penelitian selanjutnya, diharapkan

(59)

2. Saran Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat tentang gambaran stres pada ibu yang memiliki anak autis, sehingga ibu dapat memahami penyebab stres dalam dirinya dan dapat melakukan coping yang sesuai untuk menurunkan stresnya.

b. Terapi atau treatment dalam merawat anak autis diharapkan dapat menurunkan permasalahan perilaku yang dimiliki anak autis. Oleh karena itu, ibu dapat meminta bantuan tempat terapi untuk mengatasi masalah perilaku anak, mengingat karakteristik perilaku anak autis merupakan penyebab utama stres ibu.

(60)

A. STRES

1) Definisi Stres

Stres menurut Sarafino (2011), ialah kondisi dimana terjadi kesenjangan antara tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber daya biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut yang akan mempengaruhi kognisi, emosi dan perilaku sosialnya.

Lazarus dan Folkman (1984) juga menyatakan, stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan, dll) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping. Menurut Atkinson (2000), stres muncul akibat adanya permintaan yang berlebihan sehingga mengakibatkan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang terganggu.

(61)

menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Lazarus & Folkman, 1984). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi internal yang dapat merusak dan membahayakan fisik maupun psikologis individu akibat adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan individu dengan kemampuan individu dalam meresponnya.

2) Penggolongan Stres

Selye (dalam Rice, 1992) menggolongkan stres menjadi dua golongan berdasarkan atas persepsi individu terhadap stres:

a. Distres (Stres Negatif)

Distres merupakan stres yang merusak dan tidak menyenangkan. Distres menciptakan kondisi cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Hal ini mengakibatkan individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya. Akibatnya, ia lebih banyak menarik diri, tidak mengikuti kegiatan sosial, mudah tersinggung, marah, mudah emosi.

b. Eustres (Stres Positif)

(62)

3) Sumber Stres

Sarafino (2011) membagi 3 jenis sumber-sumber stres (stresors) yang dapat terjadi dalam kehidupan individu, antara lain sebagai berikut:

1. Sumber yang berasal dari individu

Ada dua hal yang memicu stres pada individu, yaitu: (1) Penyakit, dimana adanya penyakit menyebabkan tekanan biologis dan psikososial sehingga dapat menimbulkan stres; (2) Adanya Konflik, dalam konflik individu memiliki dua kecenderungan yang berlawanan yaitu menjauh dan mendekat.

2. Sumber yang berasal dari keluarga

Stres dalam keluarga dihasilkan melalui adanya perilaku, kebutuhan-kebutuhan dan kepribadian dari masing-masing anggota keluarga yang berdampak pada anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari adanya masalah finansial, perilaku yang tidak sesuai, melalui adanya tujuan yang berbeda antar anggota keluarga, bertambahnya anggota keluarga, penyakit yang dialaminya anggota keluarga dan kematian anggota keluarga (Sarafino, 2011). 3. Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat

(63)

4) Aspek Stres

Sarafino (2011), mengemukakan 3 aspek psikologis dari stres yaitu: 1. Kognisi

Stres dapat melemahkan ingatan dan konsentrasi dalam aktivitas kognitif (Cohen dkk dalam Sarafino, 2011). Stresor berupa kebisingan dapat menyebabkan penurunan kognitif. Baum (dalam Sarafino, 2011) mengatakan bahwa individu yang terus menerus memiliki stresor dapat menimbulkan stres yang lebih parah terhadap stresor. Kesulitan dalam berkonsentrasi, mengingat, memecahkan masalah dan mengontrol impuls merupakan refleksi bahwa stres dapat melemahkan kognitif (Sarafino, 2011).

2. Emosi

Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat memengaruhi stres dan pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi/perasaan sedih, dan rasa marah. 3. Perilaku Sosial

(64)

5) Faktor yang mempengaruhi Stres

a. Faktor Lingkungan

Dukungan sosial dari lingkungan dapat mempengaruhi stres individu. Ketika seseorang memperoleh dukungan sosial dari lingkungannya, maka stres yang dialaminya dapat hilang dan kemungkinan menjadikan individu dapat menyesuaikan keadaannya. Dukungan sosial dapat didapatkan individu juga menjadikan individu memiliki self-esteem dalam menghadapi masalahnya (Sarafino, 2011). Hasil Penelitian tentang dukungan sosial pada ibu dari anak autis menyatakan bahwa ibu yang tidak memperoleh dukungan sosial yang cukup dari lingkungan memiliki tingkat stres yang tinggi. Perasaan berjuang sendirian menghadapi perilaku anak yang tidak dapat dikontrol menjadikan ibu memiliki tingkat stres yang tinggi (Miftah, 2010).

b. Kontrol personal

(65)

pada kebutuhan anak; ketika anak menunjukkan perilaku yang tidak dapat dikendalikan ibu, ibu menjadi bingung dalam mengambil tindakan, hal ini akan meningkatkan stres ibu (Sari dkk, 2011).

c. Faktor Kepribadian

Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda, memiliki persepsi yang berbeda pula terhadap stres. Ketika individu memandang stres sebagai sesuatu yang negatif, maka ia akan menunjukkan perilaku maladaptif, sebaliknya, ketika ia memandang stres sebagai sesuatu yang memotivasi, ia akan berperilaku adaptif terhadap stres sehingga efek stres pun berbeda (Sarafino, 2011).

d. Faktor Usia

Usia seseorang dapat mempengaruhi tingkat stres yang dimilikinya. Hasil penelitian yang relevan menyatakan bahwa ibu dengan usia yang lebih muda cenderung memiliki anak dengan perilaku tantrum pada intensitas yang lebih tinggi (Astuti, 2016). Hal ini dikaitkan dengan kematangan emosi dan kemampuan coping yang belum berkembang dengan maksimal, sehingga reaksi ibu yang diberikan atas perilaku anak belum tepat, yang berakibat pada meningkatnya tantrum anak (Astuti, 2016).

B. AUTISME

1) Defenisi

(66)

ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologis dari individu (APA, 2004).

Parke & Gauvan (2009) menyatakan autisme ialah gangguan yang serius pada kemampuan anak dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial; Anak dengan sindrom autisme mengalami penurunan bahasa, dan mengutamakan keteraturan dalam lingkungannya. Anak dengan sindrom autisme juga sangat terikat dengan perilaku yang berulang-ulang (perilaku repetitif).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pada anak - anak yang ditandai dengan gangguan interaksi sosial seperti pengasingan diri dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain, gangguan komunikasi dan bahasa seperti ecolalia, penggunaan kalimat - kalimat yang tidak sesuai dengan situasi, mutism, pembalikan kalimat atau kata, gangguan ketertarikan dan aktivitas seperti adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipe serta keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dan kesamaan di dalam lingkungannya.

2) Gejala Autisme

(67)

a. Kurangnya minat dan interaksi sosial

Anak autis dapat kurang memiliki ketertarikan untuk bergabung dengan lingkungan sosial, mereka seringkali tidak mau terlibat kontak mata dengan orang lain, lebih menyukai bermain sendiri, dan gagal memberikan perilaku dan respon yang sesuai dengan orang lain.

b. Masalah dalam hal komunikasi

Anak dengan sindrom autisme memiliki jumlah kosakata yang sedikit dibanding anak seusianya. Mereka juga cenderung mengalami echolalia, dimana anak autis mengulang kembali perkataan orang-orang disekitarnya. Pemahaman bahasa verbal dan nonverbal pada anak autis tidak terintegrasi dengan baik.

c. Pola Perilaku yang terbatas, repetitif dan stereotip

Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang - ulang secara terus-menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar -putar, berjingkat-jingkat dan lain sebagainya. Anak autis juga tertarik pada hanya bagian - bagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya, pada roda mainan mobil- mobilannya. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton.

3) Penyebab Autisme

(68)

umumnya. Gangguan ini mempengaruhi berbagai bidang perkembangan, bermanifestasi pada awal kehidupan dan menyebabkan disfungsi yang bersistem.

APA (2004) mengemukakan 2 faktor penyebab dari anak mengalami autisme, yaitu:

1. Faktor Lingkungan

Penyebab anak mengalami autisme disebabkan adanya faktor-faktor yang tidak spesifik dari lingkungan, seperti usia ibu ketika mengandung, berat yang kecil ketika dilahirkan dan paparan zat kimia yang berlebihan sejak dini.

2. Faktor Genetik dan Fisiologis

Heritabilitas atau faktor keturunan pada anak autis diperkirakan bergerak dari angka 37 % - 90 %. Belakangan ini, sebanyak 15 % anak dengan autisme diasosiasikan dengan adanya mutasi genetik dalam keluaranya.

4) Kriteria Diagnostik Autisme

Menurut APA (2004) kriteria diagnostik gangguan autisme adalah :

A. Jumlah dari 6 (atau lebih) aitem dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua dari (1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3):

(1) Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan dengan setidak-tidaknya dua dari hal berikut:

(69)

(b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang sesuai dengan tahap perkembangan.

(c) Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain (seperti dengan kurangnya menunjukkan atau membawa objek ketertarikan).

(d) Kekurangan dalam emosi atau sosial yang timbal balik.

(2) Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari hal berikut:

(a) Keterlambatan perkembangan bahasa atau bahkan tidak berkembang sama sekali (tidak disertai dengan usaha untuk menggantinya melalui beragam alternatif dari komunikasi, seperti gestur atau mimik).

(b) Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup, kerusakan ditandai dengan ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.

(c) Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap atau bahasa yang aneh.

(70)

(3) Suatu pola-pola perilaku yang dipertahankan dan berulang-ulang dari perilaku, minat dan kegiatan, yang dimanifestasikan setidak-tidaknya satu dari hal berikut:

(a) Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang tetap dan berulang, yang intensitas atau fokusnya abnormal.

(b) Terpaku pada rutinitas non fungsional atau ritual yang spesifik. (c) Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan atau mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang kompleks dari keseluruhan tubuh).

(d) Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek.

B. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.

C. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau Childhood Disintegrative Disorder.

5) Tingkat Kecerdasan Anak Autis

(71)

a. Low Functioning (IQ Rendah)

Penderita autis yang dikategorikan dalam Low Functioning Autism, maka dapat dipastikan dikemudian hari penderita tidak dapat hidup mandiri dan seumur hidupnya akan bergantung kepada orang lain.

b. Medium Functioning (IQ Sedang)

Penderita autis yang dikategorikan dalam level ini dikemudian hari masih bisa hidup bermasyarakat dan masih dapat bersekolah di sekolah khusus yang memang diperuntukkan bagi penderita autis.

c. High Functioning (IQ Tinggi)

Penderita autis pada kategori ini dikemudian hari memiliki kemungkinan untuk hidup mandiri, dapat bekerja bahkan memiliki kesempatan berkeluarga.

6) Perkembangan Anak Autis

Wenar & Kerig (2000) menyatakan autis berkembang pada 30 bulan pertama dalam hidup, karenanya periode perkembangan anak autis dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:

1. Masa infant dan toddler

(72)

ketidakmampuan membentuk attachment, kepatuhan hanya pada hal-hal yang dapat mereka pahami dan bersikap negatifistik secara berlebihan. 2. Masa Prasekolah dan Middle Childhood

a. Faktor Afektif-Motivasional

Motivasi untuk menjadi partisipan aktif tidak dimiliki anak autis. Anak autis kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak autis juga kurang dalam hal empati, yaitu proses dimana seseorang berespon secara afektif terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect yang sama dengan orang tersebut.

b. Hubungan Timbal-Balik

Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam interaksi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat bertahan seumur hidup mereka.

7) Penanganan terhadap Anak Autis

Davison dkk (2006) mengungkapkan tiga (3) model penanganan terhadap anak autis, yaitu:

a. Penanganan Behavioral

(73)

dewasa. Penggunaan reward juga dibutuhkan untuk menguatkan perilaku yang diinginkan dari anak autis.

b. Penanganan Psikodinamika

Pandangan psikodinamika menganggap bahwa masalah attachment dan kelemahan emosional merupakan penyebab autisme, sehingga diperlukan adanya kehangatan dan suasana penuh kasih sayang dari lingkungan sekitar yang dapat mendorong anak untuk ‘memasuki dunia’. Kesabaran dan penerimaan dari orang

sekitar khususnya keluarga sangat diperlukan oleh anak autis untuk mulai memercayai orang lain dan mengambil kesempatan untuk mulai berhubungan dengan orang lain.

c. Penanganan dengan menggunakan obat-obatan

(74)

C. STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS

Ibu ialah seorang wanita yang telah menjalankan perannya dalam melahirkan dan mengasuh seorang anak. Seorang ibu berperan dalam mengasuh anaknya mulai dari lahir, hingga berkembang dan tumbuh dewasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ibu ialah sebutan bagi wanita yang telah berkeluarga dan memiliki keturunan (Depdiknas, 2008).

Kartono (1985) mengungkapkan bahwa salah satu fungsi ibu yang utama ialah sebagai pengasuh bagi anak-anaknya. Ibu sangat berperan dalam kehidupan buah hatinya di saat anaknya masih bayi hingga dewasa. Peranan ibu terhadap anak adalah sebagai pembimbing kehidupan di dunia ini khususnya dalam hal beretika dan susila untuk bertingkah laku yang baik dan sesuai norma (Bilih, 2011).

Peranan ibu akan menjadi lebih besar ketika anaknya memiliki kebutuhan khusus, seperti autisme yang mengharuskan ibu memiliki perhatian yang lebih pada anaknya. Ketika anak didiagnosa autis, maka beragam respon dari ibu dapat muncul, hal ini juga terkait dengan tingkat keberfungsian anak. Pada umumnya respon negatiflah yang pertama kali muncul ketika ibu mengetahui bahwa anaknya autis (Wiliam & Wright, 2004).

(75)

Stres ialah kondisi terjadinya kesenjangan atau ketidaksesuaian tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber daya biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut yang akan mempengaruhi kognisi, emosi dan perilaku sosialnya (Sarafino, 2011).

Salah satu sumber stres yang dikemukakan oleh Sarafino ialah bersumber dari keluarga. Penyakit yang dialami anggota keluarga menjadikan anggota keluarga lainnya harus mampu memahami dan beradaptasi dengan perilaku yang berubah dikarenakan adanya anggota keluarga yang sakit (Sarafino, 2011). Dalam sebuah keluarga yang memiliki anak autis, setiap anggota keluarga harus melakukan penyesuaian terkait karakteristik anak autis, khususnya ibu yang berperan penting dalam merawat anak. Kondisi ibu yang terbatas dalam mengasuh, terkadang menjadikan ibu stres (Hutten, 2009).

(76)

Banyaknya gejala dari anak autis juga menjadikan ibu stres dalam mengasuh anak. Berbagai kesulitan yang dialami ibu dalam mengasuh anak autis diantaranya, dalam hal mengajar dan berkomunikasi dengan anak sangatlah sulit karena anak bermasalah dalam bahasa dan mengekspresikan emosinya, harus selalu waspada dengan perilaku anak yang suka menyerang, perawatan yang ekstra karena anak autis tidak mampu merawat dirinya sendiri, memenuhi semua kebutuhan anak autis, kebutuhan sekolah dan kesehatan anak, bahkan stigma masyarakat tentang anak autis (Phetrasuwan & Miles, 2009).

(77)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Anak ialah anugerah yang terindah bagi setiap orangtua karena anak merupakan tumpuan harapan dan kebanggaan dari orangtuanya. Setiap orangtua tentunya mengharapkan anak memiliki proses tumbuh kembang yang optimal, namun sering terjadi harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan, yang mana anak menunjukkan masalah perkembangan sejak usia dini. Salah satu contoh masalah perkembangan yang dialami anak ialah autisme (Rachmayanti & Zulkaida, 2007).

Autisme telah menjadi fenomena yang masih banyak menyimpan rahasia walaupun telah diteliti sejak ditemukannya pada tahun 1943. Fenomena autis sendiri di Indonesia muncul di sekitar tahun 1990. Meskipun banyak spekulasi masyarakat tentang penyebab dari autisme, seperti faktor gaya hidup, polusi udara, narkotika, makanan yang tercemar limbah, keracunan logam berat, virus dari vaksin, bahkan alergi; namun para ilmuwan sendiri belum menetapkan penyebab pasti dari autisme (Rumahautis, 2013).

(78)

menemukan bahwa 1 persen dari anak berusia 8 tahun di Amerika Serikat memenuhi kriteria Autisme di tahun 2006. Hal ini berarti, hanya untuk anak berusia 8 tahun sudah terdapat 40.000 individu yang mengalami Autisme. Antara tahun 1990 hingga 2002, kelompok anak yang didiagnosa mengidap autis meningkat hingga 600 persen (Sastry, 2014).

Badan Pusat Statistik pada tahun 2010, di Indonesia terdapat hampir 2,4 juta orang penderita autisme dengan prevalensi 1,14% (Rahayu, 2014). Belum ada badan resmi yang melakukan pendataan akurat terhadap jumlah anak autis di kota Medan, namun jika disesuaikan dengan prevalensi sebelumnya, penambahan jumlah anak autis di Medan mencapai 250 orang pertahunnya (Stefani, 2011). Sebuah surat kabar di kota Medan menyatakan, orangtua harus berada dalam tahap waspada dan cermat memperhatikan perkembangan anak, mengingat kasus autisme meningkat pesat setiap tahunnya (Hariansib, 2014).

Istilah Autisme berasal dari bahasa Yunani “autos” yang artinya self (diri

Gambar

Tabel 3.1 Bobot Nilai Pernyataan Skala Stres Ibu
Tabel 3.3 Blueprint Skala Stres Ibu Setelah Uji Coba
Tabel 4.1  Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Ibu Usia
Tabel 4.2  Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Anak Usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Event Organizer (EO) merupakan penyedia jasa organisasi professional dimana didalamnya terdapat sekumpulan orang-orang yang menyelenggarakan sebuah acara yang dimana

Situs pemesanan tiket kereta ini dibuat melihat kondisi sekarang dimana keterbatasan.jumlah petugas di loket loket penjualan tiket juga menyebabkan kesulitan dalam melayani

Berdasarkan aturan dalam pelelangan umum dengan pascakualifikasi, maka panitia pengadaan diharuskan melakukan pembuktian kualifikasi terhadap data-data kualifikasi perusahaan,

Penulis sekiranya dapat memberikan alternatif pilihan dalam pengaturan lampu lalu lintas tersebut sehingga dapat mengurangi kemacetan pada suatu

[r]

Model yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi penempatan TKI pada beberapa negara Asia adalah model regresi data panel. Variabel bebas yang digunakan

Permasalahan yang dihadapi saat ini diantaranya adalah disparitas wilayah dalam penyediaan dan kebutuhan energi, pemanfaatan EBT belum dapat meningkat secara signifikan,

Siswa dengan keterampilan operasi hitung rendah yaitu siswa yang mendapat nilai tes perkalian dan pembagian kurang dari 70, dalam mengerjakan soal matematika