• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas Sosial Etnik Tionghoa Golongan Pernakan di Kota Medan (Studi Kasus Autobiografi KeluargaLiem Ki Lio)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identitas Sosial Etnik Tionghoa Golongan Pernakan di Kota Medan (Studi Kasus Autobiografi KeluargaLiem Ki Lio)"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

Panduan Wawancara (Interview Guide)

Nama :

Usia :

Alamat :

1. Apa yang anda ketahui mengenai Tionghoa?

2. Bagaimana perasaan anda menjadi bagian dari etnik Tionghoa Peranakan?

3. Hal dan apa saja yang anda peroleh dengan identitas anda sebagai Tionghoa peranakan,

baik dari etnik Tionghoa maupun dari etnik Pribumi?

4. Bagaimana cara anda menyikapi identitas anda sebagai etnik Tionghoa Peranakan dalam

Interaksi yang anda lakukan, baik ketika bersinggungan dengan etnik Tionghoa maupun

etnik pribumi?

5. Menurut anda apa yang harusnya dilakukan oleh para Tionghoa peranakan terhadap

(2)

PANDUAN WAWANCARA (INTERVIEW GUIDE)

Nama :

Usia :

Alamat :

1. Anda mengetahui apa itu Tionghoa?

2. Menurut anda apa yang menjadi penyebab etnik Tionghoa masih di anggap sebagai

pendatang ?

3. Apakah anda mengetahui bahwa terdapat penggolongan identitas dalam etnik Tionghoa,

baik Totok ataupun Peranakan?

4. Bagaimana cara anda melihat dan membedakan dua identitas yang ada dalam etnik

Tionghoa antara Totok dan Peranakan?

5. Apakah anda memiliki kerabat Tionghoa peranakan?

6. Bagaimana perasaan anda terhadap kerabat anda tersebut serta perlakuan apa yang sering

(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alo,Liliweri.Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKI. 2007.

Barth,Frederik. Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Little, Brown, and Companies,1969.

Cangaran, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2002.

Duvall, E.M. dan Miller, B.C. Marriage and family development. New York: Harper and Row.1985.

Gertz,Hildred.Keluarga Jawa.Jakarta:Graffiti Press.1990

Gerungan, W.A.Psikologi Sosial.Bandung:PT.Eresco.1986

Koentjaraningrat,Prof.DR.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta:PT Rineka Cipta.2002

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.1986.

Littlejohn, Stephen W. and Karen A.Foss. Encyclopedia of Communication

Theory.USA: Sage Publications. 2009

Olson,D.H.,DeFrein,J.Marriage & Families Intimacy,Diversity and Strenght(5th

ed).New York:McGraw-Hill Inc.2006.

Prasetijo,Adi.“Kelompok Etnik dan Batasannya: Tatanan Sosial dari

PerbedaanKebudayaan”,Ethnic Group and Boundaries,ed.Fredrik Barth.Jakarta:UI – Press.1988

Samovar, Larry.A., Richard E.Porter & Edwin R.McDaniel.Intercultural

Communication (A Reader), 11th (ed).Belmont California. Thomson and

Wadsworth Publishing Company. 2006.

Sarwono, S.W. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok, dan Psikologi Terapan. PT Balai Pustaka:Jakarta, 2005.

Seccombe,K. Rebecca,L.W.Marriage and Families Relationships in Social

Context.Canada:Thomson Learning Inc.2004.

Siagian, Matias.Metode Penelitian Sosial.Medan:Grasindo Monorotama.2011.

(4)

Spradley, James.P.Metode Etnografi.Yogyakarta:PT. Tiara Wacana Yogya.1997

Suparlan, Parsudi.Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar Sukubangsa. Dalam I. Wibowo (ed), Restropeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia.1999

Suryadinata, Leo. Ethnic Chinese as Southeast Asians. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. 1997.

Tengku Luckman Sinar. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia.1991.

Ting-Tormey,Stella.Communicating Across Cultures.New York:The Guilford Press.1999

Sumber Lain:

Sumber dari Halaman Website

akses 5 Juni 2015, Pukul 20.00 WIB)

(5)

(diakses 28 agustus 2015, pukul 23.00 WIB)

Sumber dari Halaman Blog

(6)

BAB III

IDENTITAS ETNIK TIONGHOA GOLONGAN PERANAKAN

3.1. Identitas

Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani (dalam Firdy, 2003) mengatakan

bahwa manusia adalah Zoon Politicon atau De Mens Is Een Social Wesen yang

artinya manusia sebagai mahluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan

berkumpul dengan manusia lainnya. Oleh karena sifatnya yang demikian itulah

manusia disebut sebagai mahluk sosial. Hal ini juga yang menyebabkan manusia

tidak dapat tinggal dan hidup sendirian saja, sebaliknya selalu berada bersama

dan berhubungan dengan makhluk serta manusia lainnya. Sarwono (2005)

mengatakan bahwa manusia menurut kodratnya selalu ingin hidup berkumpul

danberkelompok, yakni manusia yang satu dengan yang lainnya senantiasa

menjalin hubungan dan hidup bersama-sama.Manusia tidak tinggal dan hidup

sendirian saja, sebaliknya selalu berada bersama dan berhubungan dengan

makhluk serta orang-orang lainnya. Sarwono (2005) mengatakan bahwa manusia

menurut kodratnya selalu ingin hidup berkumpul dan berkelompok, yakni

manusia yang satu dengan yang lainnya senantiasa menjalin hubungan satu sama

lain[18

[18]

. Sarwono, S.W. Psikologi sosial, psikologi kelompok, dan psikologi terapan. PT Balai Pustaka :Jakarta, 2005

]

. Adanya suatu hubungan menandakan bahwa adanya dua atau lebih

manusia yang saling berhubungan satu sama lain sehingga muncul pertanyaan

bagaimana membedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Hal ini

(7)

dan lainnya didalam hubungan tersebut, Hal tersebut yang kemudian dikenal

dengan sebutan identitas.

Identitas menurut KBBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) memiliki arti

ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri[19]

berpendapat, Identitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal

dari keluarga, gender, budaya, etnik dan proses sosialisasi[20

1. Identitas Seksual adalah acuan dalam proses identifikasi seseorang dengan

berbagai kategori seksualitas. Bisa berupa heteroseksual, gay, lesbian dan

biseksual. Identitas seksual yang kita miliki akan mempengaruhi apa yang

kita konsumsi. Program televisi apa yang akan kita lihat atau majalah apa

yang akan kita baca. Identitas seksual juga dapat mempengaruhi pekerjaan

seseorang.

]

. Identitas pada

dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain

terhadap diri kita. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwasanya

identitas adalah suatu hal yang membedakan antar individu yang saling

berhubungan satu sama lain. Berdasarkan hubungan - hubungan yang terjalin

antar individu ini kemudian munculah beragam bentuk besar Identitas. Adapun

bentuk dari identitas antara lain:

2. Identitas Gender adalah suatu pandangan mengenai maskulinitas dan

feminitas dan apa arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan. Arti

menjadi seorang perempuan atau laki-laki sangat dipengaruhi oleh

pandangan budaya. Misalnya saja kegiatan yang dianggap lebih maskulin

[19]

[20]

(8)

atau lebih feminim. Ungkapan gender tidak hanya mengkomunikasikan siapa

kita, tetapi juga mengkonstruksi rasa yang kita inginkan. Identitas gender

juga ditunjukkan oleh gaya komunikasi. Gaya komunikasi perempuan sering

digambarkan sebagai suportif, egaliter, personal dan disclosive, sedangkan

gaya komunikasi laki-laki digambarkan sebagai kompetitif dan tegas.

3. Identitas Agama Identitas agama adalah dimensi yang penting dalam

identitas seseorang. Identitas tersebut merupakan pemberian secara sosial

dan budaya, bukan hasil dari pilihan individu. Hanya pada era moderm,

identitas agama menjadi hal yang bisa dipilih, bukan identitas yang diperoleh

saat lahir. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh

pemeluk agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang

dipakai.

4. Identitas nasional merujuk pada kebangsaan seseorang. Mayoritas dari

masyarakat mengasosiasikan identitas nasional mereka dengan negara di

mana mereka dilahirkan. Akan tetapi, identitas nasional dapat juga diperoleh

melalui imigrasi dan naturalisasi. Identitas nasional biasanya menjadi sering

diucapkan saat seseorang berada di negara lain. Orang yang identitas

nasionalnya berbeda dari tempat ia dilahirkan pada akhirnya akan mulai

mengadopsi aspek identitas nasional yang baru. Namun, hal ini tergantung

pada keterikatan pada negara yang baru tersebut. Sementara itu, orang yang

secara permanen tinggal di negara lain mungkin akan mempertahankan

identitas negara tempat ia lahir.

Berdasarkan atas bentuk-bentuk dasar identitas ini, penulis menyimpulkan

(9)

dan Identitas kelompok. Pembagian ini didasari atas sifat dari bentuk-bentuk

identitas itu sendiri.

3.1.1.Identitas Diri

Menurut Erikson yang merupakan salah satu ahli yang pertama kali

menyajikan teori yang cukup komprehensif tentang perkembangan identitas diri.

Teori Erikson dikenal juga sebagai “ego psychology” yang menekankan pada

konsep bahwa “diri (self)” diatur oleh ego bawah sadar/unconcious ego serta

pengaruh yang besar dari kekuatan sosial dan budaya di sekitar individu (Muus,

1996). Ego bawah sadar ini menyediakan seperangkat cara dan aturan untuk

menjaga kesatuan berbagai aspek kepribadian serta memelihara individu dalam

keterlibatannya dengan dunia sosial, termasuk menjalankan tugas penting dalam

hidup yakni mendapatkan makna dalam hidup.

Pengertian Identitas diri yang dimaksud Erikson dirangkum menjadi

beberapa bagian (Erickson, 1989), yakni :

a. Identitas diri sebagai intisari seluruh kepribadian yang tetap tinggal sama

dalam diri seseorang walaupun situasi lingkungan berubah dan diri

menjadi tua.

b. Identitas diri sebagai keserasian peran sosial yang pada prinsipnya dapat

berubah dan selalu mengalami proses pertumbuhan.

c. identitas diri sebagai gaya hidupku sendiri yang berkembang dalam

tahap-tahap terdahulu dan menetukan cara-cara bagaimana peran sosial

(10)

d. Identitas diri sebagai suatu perolehan khusus pada tahap remaja dan akan

diperbaharui dan disempurnakan setelah masa remaja.

e. Identitas diri sebagai pengalaman subjektif akan kesamaan serta

kesinambungan batiniahnya sendiri dalam ruang dan waktu.

f. Identitas diri sebagai kesinambungan dengan diri sendiri dalam

pergaulan dengan orang lain.

Dari beberapa keterangan mengenai identitas dapat disimpulkan bahwa

identitas merupakan suatu persatuan. Persatuan yang terbentuk dari azas-azas,

cara hidup, pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya.

Persatuan ini merupakan inti pada seseorang yang menentukan cara meninjau

diri sendiri dalam pergaulan dan tinjauanya keluar dirinya (Gunarsa, 2003).

Identitas diri adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri

serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak,

teman, pelajar, atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda

memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekadar

mengikuti pilihan orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah

orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada

masa mendatang. Istilah pencarian identitas diri sebagai sebuah upaya untuk

meneguhkan suatu konsep diri yang bermakna, merangkum semua pengalaman

berharga di masa lalu, realitas keyakinan yang terjadi termasuk juga aktivitas

yang dilakukan sekarang serta harapan di masa yang akan datang menjadi

sebuah kesatuan gambaran tentang diri yang utuh, berkesinambungan dan unik

(Muus, 1996). Burns (1993) menambahkan bahwa “ego yang dimaksud Erikson

(11)

sedangkan „diri‟ merupakan objek. Ide ini diperluas secara sosial, sehingga

identitas diri merupakan hasil yang muncul dari pengalaman dalam kontek

skultural”. Erikson sangat memberi penekanan pada pengaruh sosial dalam

perkembangan seorang individu. Dalam istilah Erikson yang dimaksud sebagai

psikososial adalah kecocokan timbal balik antara individu dengan

lingkungannya artinya suatu pihak antara kapasitas individu untuk berhubungan

dengan suatu ruang kehidupan yang terdiri atas manusia dan pranata-pranata

yang selalu bertambah luas. Di pihak lain, kesiapan manusia dan pranata ini

untuk membuatnya menjadi bagian dari suatu keprihatinan budaya yang tengah

berlangsung.

Identitas diri muncul sebagai hasil positif dari integrasi bertahap semua

proses identifikasi remaja, karena itu Erikson merinci delapan tahap

perkembangan manusia yang masing-masing mengandung dua kemungkinan

yang saling berlawanan. Setiap tahap menunjukkan perkembangan potensial dan

tantangan yang baru yang disebut Erikson sebagai krisis normatif yang

merupakan titik balik perkembangan seseorang. Jika seseorang berhasil

melewati suatu tahapan krisis normatif, maka individu akan memperoleh hasil

yang positif dan menguntungkan bagi dirinya. Sebaliknya, kegagalan pada

suatutahap akan menyumbangkan potensi negatif dan menjadi penghambat bagi

(12)

3.1.2.Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Diri

Selain dipengaruhi oleh perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial dan

moral yang pesat. Identitas diri juga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain

(Erickson, 1989):

a. Perkembangan para remaja

Menurut Erikson Proses identitas diri sudah berlangsung sejak anak

mengembangkan kebutuhan akan rasa percaya (trust), otonomi diri (autonomy),

rasa mampu berinisiatif (initiative), dan rasa mampu menghasilkan sesuatu

(industry). Keempat komponen ini memberikan kontribusi kepada pembentukan

identitas diri.

b. Pengaruh keluarga

Keluarga yang mempunyai pola asuh yang berbeda akan mempengaruhi

proses pembentukan identitas diri secara berbeda pula. Contohnya, keluarga

yang menerapkan pola asuh otoriter yang mana orang tua mengontrol setiap

perilaku anaknya tanpa memberikan mereka kesempatan untuk mengekspresikan

opini dan perasaannya akan mengembangkan identitas diri yang mengarah pada

bentuk foreclosure (tertutup). Sebaliknya orang tua yang permissive, hanya

menyediakan sedikit pengarahan kepada anaknya, akan mengembangkan

identitas diri yang mengarah pada bentuk diffuse (terbuka)(Santrock,1998).

Selain itu, menurut stuart, orang tua yang yang mengembangkan sikap

(13)

proses pembentukan identitas dirinya dibandingkan orang tua yang

mengembangkan sikap constraining(selalu menilai dan mengevaluasi).

c. Pengaruh individualisasi dan connectedness

Atmosfir hubungan keluarga akan membantu pembentukan identitas diri

dengan cara merangsang individualitas dan ketertarikan satu sama lain

(connectedness). Individualitas menyangkut kemampuan individu dalam

mengemukakan pendapatnya, perasaan bahwa dirinya berbeda dengan orang lain

atau anggota keluarga yang lain. Sedangkan connectedness berkaitan dengan

kebersamaan, sensitivitas, keterbukaan terhadap kritik dan aspek terhadap

pendapat orang lain. Jadi keluarga yang dapat memberikan kesempatan untuk

mengemukakan pendapatnya dan memberikan tempat aman bagi mereka untuk

mengeksplorasi lingkungan sosial yang lebih luas. Walaupun demikian, kedua

komponen tersebut tidak selalu tinggi. Bila faktor individualisasi lemah

sedangkan faktor connectedness tinggi, maka individu akan mengembangkan

identitas diri yang mengarah pada bentuk foreclosure. Sebaliknya, jika kedua

faktor tersebut lemah, maka individu akan mengembangkan identitas diri yang

mengarah pada bentuk diffuse.

Selain faktor-faktor di atas, masih ada beberapa faktor yang turut

mempengaruhi pembentukan identitas diri, antara lain: banyaknya model atau

contoh, adanya permasalahan pribadi, toleransi lingkungan terhadap apa yang

mereka lakukan serta umpan balik yang realistis mengenai diri mereka dari

(14)

3.1.3.Proses Pembentukan Identitas Diri

Menurut marcia (dalam Satrock, 2003) pembentukan identitas diri diawali

oleh munculnya ketertarikan (attachment), perkembangan suatu pemikiran

mengenai diri dan pemikiran mengenai hidup dimasa tua.

Erickson mengatakan bahwa hal yang paling utama dalam perkembangan

identitas diri adalah eksperimentasi kepribadian dan peran. Erikson yakin bahwa

seseorang akan mengalami sejumlah pilihan dan pada titik tertentu akan

memasuki masa moratorium. Pada masa moratorium ini, seorang akan mencoba

peran dan kepribadian yang berbeda-beda sebelum akhirnya seseorang mencapai

pemikiran diri yang stabil (Erickson, 1989).

Menurut Marcia terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses

pembentukan identitas diri, yaitu :

1. Tingkat identifikasi dengan orang tua sebelum dan selama masa remaja.

2. Gaya pengasuhan orang tua

3. Adanya figur yang menjadi model.

4. Harapan sosial tentang pilihan identitas yang terdapat dalam keluarga,

sekolah dan teman sebaya.

5. Tingkat keterbukaan individu terhadap berbagai alternatif identitas.

6. Tingkat kepribadian pada masa pra-adolescence yang memberikan

sebuah landasan yang cocok untuk mengatasi identitas.

Erickson (1989) juga menyebutkan, bahwa pembentukan identitas diri juga

memerlukan dua elemen penting, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen. Istilah

(15)

berbagai alternatif tertentu dan memberikan perhatian yang besar terhadap

keyakinan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam pemilihan alternatif tersebut.

Sedangkan “komitmen” menunjuk pada usaha membuat keputusan mengenai

pekerjaan atau ideologi, serta menentukan berbagai strategi untuk merealisasikan

keputusan tersebut. Berdasarkan dua elemen diatas, maka dalam pembentukan

identitas diri, seorang akan mengalami suatu krisis identitas untuk menuju pada

suatu komitmen yang merupakan keputusan akan masa depan yang akan

dijalani.

Erikson (1968) mengatakan bahwa perkembangan identitas terdiri dari

aspek psikologi dan aspek sosial seperti yang disebutkan dibawah ini:

1. Perkembangan individu berdasarkan rasa kesamaan diri yang

berkelanjutan dalam semua bidang, kepercayaan kesamaan diri dan

kontiniutas yang diakui lingkungannya

2. Banyak aspek dalam pencarian identitas diri yang disadari, namun

motivasi ketidaksadaran justru memainkan peranan penting. Dalam taraf

ini, perasaan ketidakberdayaan mungkin digantikan oleh pengharapan pada

kesuksesan.

3. Identitas tidak dapat berkembang tanpa aspek fisik, mental dan kondisi

sosial yang pasti.

4. Perkembangan identitas tergantung pada masa lalu, masa sekarang dan

(16)

lalu dan bergantung pada aturan dan model yang ada. selain itu, juga

dipengaruhi oleh aturan yang memungkinkan dimasa depan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan identitas

diri terdapat beberapa elemen penting, diantaranya yaitu eksplorasi lingkungan

dan sosial, eksperimentasi kepribadian dan peran, identifikasi masa lalu, masa

depan yang di antisipasi.

3.1.4.Ciri-Ciri Pencapaian Identitas Diri

Menurut Erikson (1989), proses identitas diri sudah berlangsung sejak

anak mengembangkan kebutuhan akan rasa percaya (trust), otonomi diri

(autonomy), rasa mampu berinisiatif (initiative), dan rasa mampu menghasilkan

sesuatu (industry). Keempat komponen ini memberikan kontribusi kepada

pembentukan identitas diri.

Menurut Erikson, seorang individu yang berhasil mencapai suatu

identitas diri yang stabil bercirikan :

1. Memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya.

2. Memahami perbedaan dan persamaan dengan orang lain.

3. Menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya.

4. Penuh percaya diri.

5. Tanggap terhadap berbagai situasi.

6. Mampu mengambil keputusan penting.

7. Mampu mengantisipasi tantangan masa depan.

(17)

Menurut Marcia (dalam Ginanjar & Yunita, 2003) mengembangkan

suatu teori berdasarkan ide-ide dari Erickson yaitu teori pencapaian identitas

diri. Seseorang yang telah mencapai identitas diri yang sukses dapat dilihat dari

komitmen yang telah dibuatnya, khususnya dalam pekerjaan dan hubungan antar

pribadi. Proses pencapaian identitas berawal dengan berakhirnya

pengidentifikasian diri individu terhadap orang tua atau orang dewasa

disekeliling individu. Individu tidak lagi mengidentifikasi dirinya dengan

anggota tubuh, penampilan dan orang tuanya. Proses pencapaian identitas

tergantung pada keadaan masyarakat dimana dia tinggal, sehingga kemudian

masyarakat mengenalnya sebagai individu yang telah menjadi dirinya sendiri

dengan caranya sendiri (Erikson,1989).

Menurut Erikson seseorang yang sedang mencari identitas akan berusaha

“menjadi seseorang”, yang berarti berusaha mengalami diri sendiri sebagai

“AKU” yang bersifat sentral, mandiri, unik, yang mempunyai suatu kesadaran

akan kesatuan batinnya, sekaligus juga berarti menjadi “seseorang” yang

diterima dan diakui oleh orang banyak. Lebih jauh dijelaskan bahwa orang yang

sedang mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan “siapakah” atau

“apakah” yang diinginkannya pada masa mendatang. Bila individu itu telah

memperoleh identitas, maka dirinya akan menyadari ciri-ciri khas

kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa

depan yang diantisipasi, perasaan bahwa dirinya dapat dan harus mengatur

orientasi hidupnya. Identitas diri diartikan pula sebagai suatu persatuan yang

terbentuk dari asas-asas atau cara hidup, pandangan-pandangan yang

(18)

Kemudian Erikson juga menyebutkan istilah pencarian identitas diri

sebagai sebuah upaya untuk meneguhkan suatu konsepsi atas diri yang

bermakna, merangkum semua pengalaman berharga di masa lalu, realitas

keyakinan yang terjadi termasuk juga aktivitas yang dilakukan sekarang serta

harapan di masa yang akan datang menjadi sebuah kesatuan gambaran tentang

diri yang utuh, berkesinambungan dan unik.

3.1.5.Peranan Model Dalam Pembentukan Identitas Diri

Anak-anak yang mendekati usia dewasa tampak mengambil sesuatu

dimana mereka ingin dilihat sebagai siapapun kecuali orang tua mereka. Mereka

berhenti menghabiskan waktu bersama keluarga dan jika mungkin terlihat

sejarang mungkin bersama orang tua. Proses pemisahan dari orang tua adalah

peristiwa yang alami. Erikson (1968), awal dari pembentukan identitas dimulai

dari masa kanak-kanak menuju ke masa remaja dengan hubungan timbal balik

diikuti dengan perubahan fisik, meningkatnya dorongan seksual, menigkatnya

kemampuan mental dan konflik sosial. Untuk membangun suatu identitas yang

mampu mengalahkan kebingungan, Erikson mengemukakan bahwa dalam

identitas, pertumbuhan dan masa krisis yang dialami remaja dalam sebuah

pertimbangan.

Pada tahap ini, remaja sering menolak orang tuanya dan semua yang

dekat dengan mereka agar dapat membuat jarak dengan masa kanak-kanak

sebagai pembentukan identitas mereka sendiri. Mereka haus akan role model dan

(19)

Dengan perubahan yang terus menerus dalam proses pencarian identitas

mereka, remaja akan sering masuk dalam kelompok teman-teman sebayanya

untuk menemukan dan mendapatkan arti identitas itu. Ini menjelaskan beberapa

kecenderungan untuk memuja tokoh yang dianggap sebagai pahlawan (biasanya

bintang film atau penyanyi) dengan memakai baju yang sama dan melakukan

perlawanan terhadap otoritas yang berkuasa. Yang menarik mengenai hal ini

adalah bahwa perlawanan atau pembangkangan yang terjadi sering merupakan

bentuk dari konformitas.

Pada tahap perkembangan ini (biasanya terjadi pada remaja), model

dapat secara signifikan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang

dibuat oleh remaja dan keputusan ini dapat mempengaruhi jalan hidup mereka.

Pada usia ini, remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk mengidolakan orang

lain terutama mereka yang lebih tua dan memiliki semboyan hidup. Suatu

kualitas yang ingin mereka miliki. Mereka dapat dengan mudah terpesona pada

mereka yang lebih tua (dalam rentang usia 18-19 tahun). Umumnya pria yang

mengendarai mobil gaya, memakai dugs, atau atlit olahraga yang pekerja keras

dan dianggap berdedikasi (Ellis,2002).

3.2.Pernikahan dan Keluarga

Pernikahan dan keluarga merupakan dua hal yang berkaitan satu sama

lain. Hal ini disebabkan Pernikahan merupakan salah satu cara yang dapat

digunakan untuk membentuk suatu keluarga baru, oleh karena itu setiap

pernikahan pasti bertujuan untuk memiliki keluarga, atau dengan kata lain

(20)

keluarga itu sendiri bisa terbentuk tanpa harus adanya pernikahan. Bentuk

keluarga tanpa pernikahan ini sendiri bagi kelompok masyarakat tertentu

dianggap sebagai sebuah anomali ( keanehan ), bahkan akan cenderung dianggap

sebagai sebuah penyimpangan. Meskipun ada juga kelompok masyarakat yang

menganggap hal tersebut sebagi hal biasa, bahkan dianjurkan untuk membentuk

keluarga terlebih dahulu sebelum melakukan pernikahan.

Banyaknya konsep mengenai pernikahan dan keluarga menyebabkan

banyak pertentangan yang terjadi antar konsep tersebut. Sehingga terkadang

tidak jarang pertentangan antar konsep menjadi pemicu munculnya perdebatan

yang berujung pada konflik. Konflik ini yang kemudian memunculkan sikap

etnosentrisme yang cenderung mengarah pada eksklusifitas guna menunjukkan

eksistensi kelompok. Hal ini pula yang kemudian bertransformasi menjadi

penghambat proses asimilasi di tengah masyarakat. Terhambatnya proses itu

sendiri disebabkan oleh rasa etnosentrisme yang kuat. Oleh karena itu disini

penulis mencoba mendeskripsikan sendiri mengenai Pernikahan dan keluarga.

3.2.1. Pernikahan

Pernikahan adalah suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang

didalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belaah pihak. Janji setia

yang terucap merupakan sesuatu yang tidak mudah diucapkan. Dalam pasal 1

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, mendefinisikan

pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

(21)

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan defenisi

pernikahan menurut Duvall & Miller (1985)[21

dan bertujuan menciptakan kebahagian individu yang terlibat didalamnya.

Menurut Bachtiar (2004) defenisi pernikahan adalah pintu bagi bertemunya dua

hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang

lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang

layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Pernikahan itu merupakan

ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari

masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan

manusia di bumi. Terruwe menyatakan bahwa pernikahan merupakan suatu

persatuan. Persatuan itu diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan oleh ]

.

“Socially recognized relationship between a man and

woman that provider for sexual relationship,

legitimates childbearing and establishes a division of

labour between spouses”

Jadi dapat disimpulkan bahwa pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari

itu pernikahan merupakan ikatan lahir batin dalam membina kehidupan

keluarga. Dalam menjalankan kehidupan berkeluarga diharpkan kedua individu

itu dapatmemenuhi kebutuhannya dan mengembangkan dirinya. Pernikahan

sifatnya kekal

[21]

(22)

seorang pria pada isterinya, dan wanita pada suaminya. Menurut Goldberg

pernikahan merupakan suatu lembaga yang sangat populer dalam masyarakat,

tetetapi sekaligus juga bukan suatu lembaga yang tahan uji. Pernikahan sebagai

kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan bahkan

abadi serta pelesatarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan

interpersonal[22

a. Sebagai suatu institusi sosial. Suatu solusi kolektif terhadap kebutuhan

sosial. Eksistensi dari pernikahan itu memberikan fungsi pokok untuk

kelangsungan hidup suatu kelompok dalam hal ini adalah masyarakat.

Makna individual. ]

. Menurut Kartono (1992), pengertian pernikahan merupakan

suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat.

Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetetapi praktek-prakteknya

pernikahan dihampir semua kebudayaan cenderung sama pernikahan

menunujukkan pada suatu peristiwa saat sepasang calon suami-istri

dipertemukan secara formal dihadapan ketua agama,para saksi, dan sejumlah

hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi denganupacara dan ritual-ritual

tertentu.Menurut Saxton pernikahan memiliki dua makna, yaitu:

b. Pernikahan sebagai bentuk legitimisasi (pengesahan) terhadap peran

sebagai individual, tetetapi yang terutama, pernikahan di pandang

sebagai sumber kepuasan personal.

Menurut Abdul Jumali pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita, hidup bersama dalam rumah tangga,

[22]

(23)

melanjutkan keturunan menurut ketentuan hukum syariat Islam. Hukum katholik

pernikahan adalah ikatan seumur hidup antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri yang terjadi atas persetujuan kedua belah pihak yang

tidak dapat ditarik kembali. Berdasarkan berbagai definisi tentang pernikahan di

atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara

laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri yang memiliki kekuatan hukum

dan diakui secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga sebagai kesatuan

yang menjanjikan pelestarian kebudayaan dan pemenuhan segala kebutuhan –

kebutuhan inter – personal .

Bagi mayoritas penduduk Indonesia, sebelum memutuskan untuk

menikah biasanya harus melalui tahap-tahapan yang menjadi prasyarat bagi

pasangan tersebut. Tahapan tersebut diataranya adalah masa perkenalan atau

dating kemudian setelah masa ini dirasa cocok, maka mereka akan melalui

tahapan berikut yaitu meminang. Peminangan (courtship) adalah kelanjutan dari

masa perkenalan dan masa berkencan (dating). Selanjutnya, setelah perkenalan

secara formal melalui peminangan tadi, maka dilanjutkan dengan melaksanakan

pertunangan (mate-selection) sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk

melaksanakan pernikahan (Narwoko, dalam Kertamuda,2009:25). Pernikahan

merupakan aktivitas sepasang laki-laki dan perempuan yang terkait pada suatu

tujuan bersama yang hendak dicapai. Dalam pasal 1 Undang – Undang

pernikahan tahun 1974 tersebut diatas dengan jelas disebutkan, bahwa tujuan

pernikahan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

(24)

Menurut Walgito (2002), masalah pernikahan adalah hal yang tidak

mudah, karena kebahagiaan bersifat reltif dan subyektif. Subyektif karena

kebahagiaan bagi seseorang belum tentu berlaku bagi orang lain, relatif karena

sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan kebahagiaan dan belum

tentu diwaktu yang lain juga dapat menimbulkan kebahagiaan. Masdar Helmy

(dalam Bachtiar, 2004) mengemukakan bahwa tujuan pernikahan selain

memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga membentuk

keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan di dunia, mencegah

perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang

bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat. Menurut Soemijati (dalam

bachtiar, 2004) tujuan pernikahan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat

kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka

mewujudkan keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang,

memperoleh keturunan yang sah dengan mengikuti ketentuan – ketentuan yang

telah diatur oleh hukum. Menurut Bachtiar (2004), membagi lima tujuan

pernikahan yang paling pokok adalah:

1. Memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan

rumah tangga yang damai dan teratur

2. Mengatur potensi kelamin

3. Menjaga diri dari perbuatan-perbuan yang dilarang agama

4. Menimbulkan rasa cinta antara suami-isteri

5. Membersihkan keturunan yang hanya bisa diperoleh dengan jalan

(25)

Sedangkan menurut Ensiklopedia Wanita Muslimah (dalam bacthtiar, 2004),

tujuan pernikahan adalah:

1. Kelanggengan jenis manusia dengan adanya keturunan

2. Terpeliharanya kehormatan

3. Menenteramkan dan menenangkan jiwa

4. Mendapatkan keturunan yang sah

5. Mengembangkan tali silaturahmi dan memperbanyak keluarga

3.2.2. Keluarga

Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup

bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu

ada hubungan darah, ikatan perkawinan, ikatan kekerabatan, atau ikatan ikatan

lainnya. Terdapat beberapa definisi keluarga antara lain Keluarga menurut

duvall dan Logan yaitu sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran,

dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan

meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap

anggota keluarga (Duvall dan Logan, 1986)[23]. Sedangkan Menurut Bailon dan

Maglaya Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah

tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling

berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan

menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon dan

Maglaya,1978)[24

. Selain itu Menurut DEPKES RI (Departemen Kesehatan

(26)

masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang

berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling

ketergantungan (Departemen Kesehatan RI, 1988)[25

• Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi.

] .

Oleh karena itu berdasarkan beberapa definisi mengenai keluarga maka

dapat ditarik kesimpulan bahwasanya keluarga memiliki karakteristik tersendiri.

Adapun karakteristik tersebut, yakni

• Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain.

• Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai fungi dan peran sosial.

• Mempunyai tujuan menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota.

Selain itu setiap keluarga tentunya akan memiliki banyak fungsi, dimana

fungsi – fungsi tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian.

Adapun fungsi dari keluarga itu sendiri ialah :

1. Fungsi Biologis

• Untuk meneruskan keturunan

• Memelihara dan membesarkan anak

• Memberikan makanan bagi keluarga dan memenuhi kebutuhan gizi

[25]

(27)

• Merawat dan melindungi kesehatan para anggotanya

• Memberi kesempatan untuk berekreasi 2. Fungsi Psikologis

• Identitas keluarga serta rasa aman dan kasih sayang

• Pendewasaan kepribadian bagi para anggotanya

• Perlindungan secara psikologis

• Mengadakan hubungan keluarga dengan keluarga lain atau masyarakat

3. Fungsi Sosial Budaya atau Sosiologi

• Meneruskan nilai-nilai budaya

• Sosialisasi

• Pembentukan norma-norma, tingkah laku pada tiap tahap perkembangan anak serta kehidupan keluarga

4. Fungsi Sosial

• Mencari sumber-sumber untuk memenuhi fungsi lainnya

• Pembagian sumber-sumber tersebut untuk pengeluaran atau tabungan

• Pengaturan ekonomi atau keuangan 5. Fungsi Pendidikan

• Penanaman keterampilan, tingkah laku dan pengetahuan dalam hubungan dengan fungsi-fungsi lain.

• Persiapan untuk kehidupan dewasa.

(28)

Oleh karena itu apabila terdapat karakteristik serta fungsi dari keluarga

itu sendiri, maka kemudian terbentuklah sebuah keluarga. Dimana bentuk

keluarga juga memiliki keberagaman sendiri. Namun bentuk – bentuk keluarga

yang dapat ditemukan ditengah – tengah kehidupan masyarakat dapat

diidentifikasi berdasarkan beberapa latar belakang, antara lain :

1. Berdasarkan Garis Keturunan

Patrilinear adalah keturunan sedarah yang terdiri dari sanak saudara

sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun

melalui jalur garis keturunan ayah.

Matrilinear adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara

sedarah dalam beberapa ganerasi dimana hubungan itu disusun

melalui jalur garis keturunan ibu.

2. Berdasarkan Jenis Perkawinan

• Monogami adalah keluarga dimana terdapat seorang suami dengan seorang istri.

• Poligami adalah keluarga dimana terdapat seorang suami dengan lebih dari satu istri.

3. Berdasarkan Pemukiman

Patrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau dekat

dengan keluarga sedarah suami.

Matrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau dekat

dengan keluarga satu istri

Neolokal adalah pasangan suami istri, tinggal jauh dari keluarga

(29)

4. Berdasarkan Jenis Anggota Keluarga

Keluarga inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.

Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambahkan dengan sanak saudara. Misalnya : kakak, nenek, keponakan, dan

lain-lain.

Keluarga Berantai (Serial Family) adalah keluarga yang terdiiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu

keluarga inti.

Keluarga Duda/janda (Single Family) dalah keluarga yang terjadi karena perceraian atau kematian.

Keluarga berkomposisi (Composite) adalah keluarga yang perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama.

Keluarga Kabitas (Cahabitation) adalah dua orang yang terjadi tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga.

5. Berdasarkan Dominasi Kekuasaan

Patriakal adalah keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan

dalam keluarga adalah dipihak ayah.

Matrikal adalah keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan

dalam keluarga adalah pihak ibu.

Equalitarium adalah keluarga yang memegang kekuasaan adalah

ayah dan ibu.

(30)

Manusia merupakan salah satu diantara mahkluk hidup lain yang memiliki

sifat, dan ciri tersendiri yang membedakannya dengan mahkluk hidup lainya,

adapun salah satu dari sifat dan ciri tersebut yang membedakan manusia dengan

mahkluk hidup lainya yaitu, akal. Dimana menurut salah seorang filosof Yunani

yang berpendapat “Aku berpikir maka aku ada”. Pendapat ini bermakna bahwa

seorang manusia itu ada dan dapat dikatakan dan diakui sebagai manusia hanya

apabila ia berpikir, akan tetapi jika ia tidak berpikir maka manusia tersebut

bukanlah manusia dan tidak dapat dikatakan sebagai manusia meskipun

keberadaannya secara materi tidak terbantahkan. Hal ini sependapat dengan

penulis, karena menurut penulis akal merupakan elemen penting dari seorang

manusia untuk melanjutkan keberlangsungan hidupnya. Sebab sebagai mahkluk

hidup manusia memiliki banyak kebutuhan, diantara kebutuhan – kebutuhan

tersebut terdapat beberapa kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tersebut menurut

Abraham Maslow, antara lain:

1. Kebutuhan Fisiologis,

yang merupakan kebutuhan

paling dasar pada manusia.

Antara lain ; pemenuhan

kebutuhan oksigen dan

pertukaran gas, cairan

(minuman), nutrisi (makanan),

eliminasi, istirahat dan tidur,

(31)

2. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, dibagi menjadi perlindungan

fisik dan perlindungan psikologis. Perlindungan fisik, meliputi

perlindungan dari ancaman terhadap tubuh dan kehidupan seperti

kecelakaan, penyakit, bahaya lingkungan, dll. Perlindungan psikologis,

perlindungan dari ancaman peristiwa atau pengalaman baru atau asing

yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang.

3. Kebutuhan rasa cinta, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki,

memberi dan menerima kasih sayang, kehangatan, persahabatan, dan

kekeluargaan.

4. Kebutuhan akan harga diri dan perasaan dihargai oleh orang lain serta

pengakuan dari orang lain.

5. Kebutuhan aktualisasi diri, ini merupakan kebutuhan tertinggi dalam

hierarki Maslow, yang berupa kebutuhan untuk berkontribusi pada orang

lain atau lingkungan serta mencapai potensi diri sepenuhnya.

Berdasarkan pendapat Maslow terkait dengan kebutuhan, maka dapat

dengan jelas terlihat bagaimana Maslow memisahkan kebutuhan tersebut

menjadi 3 ( tiga ) aspek, adapun ketiga aspek itu yakni :

1. Aspek Fisiologis : Aspek seperti ini merupakan aspek primer bagi

manusia, sebab aspek ini merupakan syarat utama yang menentukan

keberlangsungan hidup manusia. Adapun hal yang masuk kedalam aspek

ini antara lain : pemenuhan kebutuhan oksigen dan pertukaran gas, cairan

(minuman), nutrisi (makanan), eliminasi, istirahat dan tidur, aktivitas,

(32)

2. Aspek Psikologis : Aspek ini merupakan aspek skunder bagi seorang

manusia, sebab tanpa adanya aspek ini manusia masih akan tetap bisa

menjalankan keberlangsungan hidupnya. Akan tetapi dalam kehidupan

manusia yang kebutuhan aspek psikologisnya tidak terpenuhi, maka akan

berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan manusia tersebut. Adapun hal –

hal yang termasuk dalam bagian aspek ini, yakni : segala hal yang

berkaitan dengan perasaan yang dirasakan oleh manusia terhadap segala

hal yang ada diluar dirinya.

3. Aspek Sosiologis : Aspek ini merupakan aspek tertier bagi

keberlangsungan hidup seorang manusia, sebab aspek ini merupakan

aspek lanjutan dari dua aspek sebelumnya. Oleh karena itu aspek ini

tidak akan pernah terpenuhi jika dua aspek sebelumnya tidak terpenuhi,

sebab dalam aspek ini manusia akan berusaha memperoleh penilaian,

pengakuan, serta penghargaan atas keberadaan dirinya yang didasari oleh

aktualisasi diri atas pemenuhan dua aspek sebelumnya. Maka dalam hal

ini aspek sosiologis dapat juga dikatakan sebagai puncak tiga aspek

kebutuhan. Adapun hal yang termasuk kedalam aspek ini, yakni : segala

bentuk penilaian, pengakuan dan penghargaan atas dirinya dari orang

yang diluar dirinya.

Berdasarkan pendapat dari Maslow terkait dengan kebutuhan manusia

serta pembagian aspeknya, maka akan terlihat bagaimana pentingnya peran

kebutuhan dalam pengelompokan manusia. Pentingnya peran tersebut terlihat

dari pembagian 3 (tiga) aspek kebutuhan menurut maslow. Dimana berdasarkan

(33)

aspek tersebut manusia memerlukan manusia lain baik untuk memenuhi aspek –

aspek tersebut ataupun untuk mempermudah pemenuhan aspek kebutuhan

tersebut. Oleh karena aspek – aspek kebutuhan itulah manusia dikatakan sebagai

mahkluk yang Zoon Politicon atau De Mens Is Een Social Wesen oleh seorang

filsuf Yunani Aristoteles (Firdy,2003). Berdasarkan hal inilah kemudian

manusia melakukan pengelompokan, dimana pengelompokan yang terjadi pada

mulanya didasari oleh berbagai aspek kebutuhan baik secara fisiologis,

psikologis, maupun sosiologis. Namun seiring perkembangan berbagai

latarbelakang pun bermunculan sebagai hal yang mendasari pengelompokan.

Pengelompokan – pengelompokan itu pada awalnya didasari atas

kesamaan ciri fisik, hal inilah yang nantinya dikatakan sebagai suatu ras (

J.Jones; 1972) . Ciri fisik ini yang pada awalnya menjadi alasan pertama dalam

pengelompokan. Pengelompokan – pengelompokan yang didasari ciri fisik ini

kemudian dapat dikatakan sebagai dasar dari sebuah etnik atau dengan kata lain

hal ini merupakan batasan awal dari suatu etnik. Akan tetapi adanya sebuah

transformasi dalam pengelompokan seiring dengan perkembangan manusia

dalam berbagai aspek kehidupannya secara langsung menyebabkan terjadinya

pergerseran terhadap batasan etnik itu sendiri. Adapun transformasi tersebut

terjadi karena mendapatkan pengaruh besar berbagai macam kepentingan

manusia. Kepentingan – kepentingan ini pun merupakan sebuah perwujudan

baru kebutuhan, karena secara prinsip dasar kebutuhanlah yang menjadi dasar

sebuah kepentingan. Kemudian kepentingan ini yang mempertemukan suatu

(34)

lainnya dengan kata lain adanya sebuah interaksi yang terjadi yang

menyebabkan bergesernya batasan dari suatu etnik.

Unsur budaya merupakan aspek penting dalam mempertemukan beragam

bentuk kepentingan yang dilatarbelakangi kebutuhan. Pernyataan ini seiring

dengan beragam aspek kehidupan manusia yang berkembang baik itu aspek

fisiologis, aspek psikologis, maupun sosiologis. Sebab tidak dapat dipungkiri

bagaimana pentingnya unsur budaya memainkan perannya dalam perkembangan

manusia dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya meskipun budaya

beserta unsurnya itu sendiri muncul karena adanya manusia dan

pengelompokannya. Perkembangan manusia beserta kebutuhan dan

kepentingannya menyebabkan terjadinya perubahan dalam budaya dan unsur

budaya, hal inilah yang menyebabkan pergeseran pada batasan sebuah etnik

yang pada awalnya didasari oleh hal yang bersifat spesifik dan sempit yaitu

kesamaan ciri fisik ( Ras ) menuju kearah yang lebih umum dan luas.

Lantas dimana batasan dari suatu etnik jika terjadinya pergeseran dari

yang pada mulanya hanya terletak pada batasan kesamaan ciri fisik saja. Hal ini

menjadi sebuah pertanyaan besar, namun hal itu terjawab dengan pernyataan

yang dikemukaan oleh Frederich Barth (Kelompok Etnik dan Batasannya; UI

Press, Jakarta, 1988). bahwa batasan dari suatu etnik di tentukan oleh: 1.

Pengakuan etnik itu sendiri, sebab adanya ciri yang ditentukan oleh etnik

tersebut yang membentuk pola tersendiri dalam proses interaksinya, dengan kata

lain maka batasan etnik itu sendiri bergantung pada pola dan ciri yang disepakati

(35)

dimiliki bahwa ada standarisasi nilai dari suatu kategori yang mungkin berbeda

dengan standar nilai kategori yang lain. Makin besar perbedaan antara nilai

standar ini, maka tingkat pembatasan hubungan antar kelompok etnik akan

semakin tegas. Dengan demikian seseorang akan ditandai identitas etniknya

berdasarkan perilaku yang mencirikan kategori yang menjadi nilai standar

seseorang dalam menilai anggota kelompok etniknya dan kelompok etnik lain.

Seorang anggota kelompok etnik akan selalu berusaha berperilaku sesuai dengan

nilai standar yang menjadi identitas kelompok etniknya. Ia akan selalu berusaha

untuk menghindari perilaku yang dianggap menyimpang, sebab kuatir

perilakunya akan merusak citra identitas yang dibangun bersama. Apabila

seseorang melakukan penyimpangan atau melanggar nilai-nilai yang dipedomani

bersama oleh anggota etnik, maka ia akan mendapatkan hukuman yang

diterimanya tidak saja dari anggota kelompok etniknya tetapi juga dari

kelompok etnik lain.

Lantas apa yang membedakan satu etnik dengan etnik lainya jika batasan

dan ciri ditentukan oleh etnik itu sendiri, serta bagaimana cara melihat

perbedaan tersebut. Menurut Barth cara melihat dan membedakan satu etnik

dengan etnik lainnya bergantung pada pengakuan yang dilakukan oleh

seseorang, ia termasuk dalam kelompok etnik yang mana. Pengakuan dalam hal

ini tidak hanya sekedar pengucapan namun lebih kepada adanya sebuah

penegasan yang dilakukan lewat prilaku dan pola interaksi yang dilakukan

dalam setiap kehidupannya, hal ini akan memunculkan ciri tersendiri dari orang

tersebut. Pengakuan ini yang kemudian akan dilihat dan dinilai oleh orang lain

(36)

antara pengkuan dengan realita ciri yang dimiliki oleh kelompok yang

diakuinya. Begitu pula seterusnya akan terlihat suatu perbedaan dengan adanya

pengakuan yang terjadi dari setiap anggota kelompok yang mengakui etniknya

berbeda dengan etnik yang lain. Dengan demikian maka letak batasan antara

satu etnik dan etnik lainnya merupakan suatu hal yang askriptif yang muncul

antara anggota dari tiap-tiap etnik. Hal ini pula yang menyebabkan sering

terjadinya pergeseran batas sehingga banyak potensi masalah yang akan terus

muncul seiring dengan semakin dinamisnya batasan yang ada antar tiap etnik.

3.3.1.Batas Etnik

Batas etnik sendiri bukanlah suatu hal yang sifatnya teritorial melainkan

hal yang lebih luas maknanya. Batas etnik merupakan tapal batas yang dimiliki

oleh setiap kelompok etnik yang memisahkan wilayah etniknya dengan dunia

luar. Batas etnik juga merupakan pagar pembatas yang memberikan proteksi dan

penegasan atas eksistensi etnik tersebut terhadap pengaruh dari dunia diluar

etniknya. Adapun bentuk proteksi itu sendiri bergantung pada eksistensi dari

masing – masing anggota kelompok etnik tersebut dalam mempertahankan

segala sesuatu yang ada di dalam wilayah yang dibatasi. Sedangkan penegasan

sendiri akan terlihat dari bagaimana proses pencitraan yang dilakukan oleh

anggota kelompok etnik tersebut dalam mencitrakan diri dan kelompok

etniknya. Hal ini selaras dengan pendapat Fredrik barth dalam bukunya

“kelompok etnik dan batasannya” , barth yang menyatakan bahwasanya batas

etnik bukanlah suatu hal yang hanya mengacu pada sifat demografi melainkan

(37)

kelompok etnik yang ditekankan kepada batas-batas yang sifatnya sosial,

walaupun tidak menutup pula untuk mengkaitkannya dengan batas wilayah[26

Batas ini muncul ketika dalam interaksi sebuah kelompok etnik ingin

mempertahankan identitasnya, sehingga memerlukan batas dimana

batas-batas tersebut berfungsi untuk membuat kriteria bagi penentuan keanggotaan

seseorang atau kelompok dalam kelompok etniknya. Jadi kelompok etnik bukan

semata-mata ditentukan oleh wilayah yang menjadi posisinya, tetapi oleh

berbagai macam cara yang digunakan untuk mempertahankannya, dan dilakukan

dengan cara pengungkapan dan pengukuhan yang sifatnya terus-menerus, dan

dapat dipelajari, berbentuk semacam nilai atau norma yang menjadi aturan

kesepakatan yang diakui dan dilaksanakan bersama anggota kelompok etnik

tersebut. Usaha pelestarian batas etnik ada dalam situasi kontak sosial diantara

orang-orang yang mempunyai budaya yang berbeda karena kelompok etnik yang

dikenal sebagai unit kebudayaan memperlihatkan perilaku yang berbeda

sehingga menimbulkan suatu perbedaan budaya. Dalam situasi kontak sosial

tersebut, diharapkan perbedaan-perbedaan budaya itu dapat dikurangi karena

interaksi memerlukan kesatuan tanda dan nilai, atau budaya umum yang menjadi

kesepakatan bersama diantara mereka. Sehingga kemudian selain

kelompok-kelompok etnik tersebut menetapkan kriteria untuk mengidentifikasikan

batas-batas etnik, dalam interaksi terbentuk suatu struktur yang juga menetapkan

perbedaan-perbedaan budaya. Menurut Barth, sifat tatanan struktur ini haruslah

bersifat umum bagi semua hubungan etnik, dan merupakan seperangkat aturan

yang sistematis untuk mengatur kontak sosial antar etnik. Pada akhirnya struktur ]

.

[26]

(38)

interaksi yang ada dalam hubungan etnik akan menghasilkan suatu pola

hubungan antar etnik yang bersifat mapan atau stabil. Struktur interaksi diartikan

Barth sebagai perangkat ketentuan yang mengatur cara berhubungan dan

memungkinkan adanya hubungan di beberapa bidang kegiatan, serta perangkat

ketentuan tentang situasi sosial yang melarang adanya interaksi antar etnik di

sektor lain. Semua kondisi ini akan mencegah terjadinya konfrontasi dan

modifikasi budaya yang telah ada.

3.3.2. Identitas Etnik

Isajiw (1999) menjelaskan bahwa identitas etnik meliputi dua aspek yaitu:

Aspek internal identitas etnik merujuk pada citra (images), ide (ideas), sikap

(attitudes), dan perasaan (feeling) yang kemudian dibagi dalam empat dimensi

yaitu affective (afektif), Fiducial (kepercayaan), cognitive (kognitif), moral

(moral). Aspek eksternal ditunjukkan oleh perilaku yang dapat diamati

(observable behaviours) yang meliputi: logat (dialek) bahasa, praktek tradisi

etnik, keikutsertaan dalam jaringan kerja etnik tersebut seperti keluarga dan

persahabatan terlibat dalam institusi.Konsekuensi dari identitas etnik adalah

sikap etnosentrisme. Etnosentrisme adalah semacam paham yang menganggap

kebudayaan sendiri lebih baik daripada kebudayaan orang lain atau kelompok

lain (luar).

Liliweri (2005, h.236), konflik yang disertai kekerasan yang melibatkan

etnik harus dipandang dari kacamata yang lebih luas. Konflik etnik yang diawali

oleh prasangka, stereotipe, jarak sosial, atau diskriminasi harus dimengerti

(39)

hubungan antara identitas etnik dengan prasangka (dalam Liliweri, 2005, h.203)

salah satunya adalah Zastrow mengemukakan bahwa prasangka salah satunya

disebabkan oleh adanya proyeksi atau upaya mempertahankan ciri kelompok

etnik/ras secara berlebihan.Gundykunst menambahkan bahwa prasangka

bersumber dari timbulnya kesadaran terhadap sasaran prasangka (ras atau etnik

lain) yaitu kesadaran bahwa (1) mereka (ras/etnik) adalah kelompok lain yang

berbeda latar belakang kebudayaan serta mental (kesadaran “kami” versus

“mereka”); (2) kelompok etnik/ras lain tidak mampu beradaptasi; (3) kelompok

etnik/ras lain selalu terlibat dalam tindakan negatif (penganiayaan, kriminalitas);

dan (4) kehadiran kelompok etnik/ras lain dapat mengancam stabilitas sosial dan

ekonomi. Selanjutnya, Johnson mengemukakan bahwa prasangka disebabkan

oleh stereotipe antar etnik dan perasaan superior kelompok etnik atau ras yang

menjadikan etnik atau ras lain inferior.

Jadi dapat disimpulkan bahwa identitas etnik sebagai perasaan yang

didasarkan pada kesamaan sejarah, budaya, nilai, dan ras mengarah pada

bagaimana meletakkan individu-individu dalam kelompok sendiri, kemudian

memandang kelompok sendiri berbeda dengan kelompok lain. Perbedaan ini

menyebabkan timbulnya jarak antara kelompok etnik satu dengan yang lain

karena masing-masing kelompok memandang kelompok etnik sendiri berbeda

dengan kelompok etnik lain. Perbedaan tersebut dapat berkembang menjadi

sikap etnosentrisme yaitu sikap yang menganggap kebudayaan sendiri lebih

baik/ lebih superior daripada kebudayaan orang lain atau kelompok lain.

Etnosentrisme adalah konsekuensi dari identitas etnik. Sikap etnosentrisme

(40)

stereotipe, jarak sosial, dan diskriminasi kepada individu atau kelompok etnik

lain. Semakin kuat identitas suatu etnik akan diikuti oleh sikap etnosentrisme

yang dapat menyebabkan munculnya prasangka antara etnik yang satu terhadap

etnik yang lain.

Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat dipahami bahwasanya

identitas etnik akan terbentuk apabila adanya persamaan antara satu individu

dengan individu lainnya, dimana persamaan – persamaan tersebut tidak akan

pernah ada tanpa adanya interaksi antar individu. Sama halnya dengan

persamaaan yang memunculkan identitas etnik maka begitu pula dengan hal

yang membedakan antar identitas etnik yang juga hanya akan diperoleh melalui

interaksi, baik antar individu ataupun interaksi antar etnik.

3.3.3.Interaksi Antar Etnik

Interaksimerupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan

yang berdasarkan pada danyang berlaku dan diterapkan di

dalamdanyang berlaku, makaitu

sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada

dapat dilakukan dengan baik. Namun jika tidak adanya kesadaran atas pribadi

masing-masing, maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan

yang diharapkan.

Dalam konteks interaksi antar etnik nilai dan norma yang menjadi acuan

penting dalam interaksi, diperoleh karena adanya persamaan.

Persamaan-persamaan ini yang kemudian memunculkan hal yang dijadikan acuan dalam

(41)

yang muncul karena didasari persamaan maka tidak akan bisa dikatakan sebagai

nilai dan norma yang dijadikan acuan dalam menilai lagi jika berada diluar

batas etnik tersebut, hal ini disebabkan adanya perbedaan antara hal yang berada

dalam wilayah etnik dengan hal yang berada diluar wilayah etnik tersebut. Oleh

karena itu perbatasan antara persamaan dan perbedaan ini yang kemudian

memunculkan hal yang disebut dengan etnosentrisme. Etnosentrisme sendiri

merupakan sisi dalam wilayah etnik sedangkan stereotipe merupakan sisi luar

dari wilayah etnik tersebut.

Apabila suatu kelompok etnik ataupun individu dari kelompok etnik

tersebut melakukan interaksi dengan hal yang berada diluar wilayah etniknya

maka hal ini yang kemudian memunculkan suatu konsekuensi logis yang

dinamakan prasangka. Prasangka ini yang kemudian dapat memicu terjadinya

konflik. Dimana konflik itu sendiri didasari oleh perbedaan antara etnik ataupun

individu tersebut dengan etnik ataupun individu lainnya. Oleh karena itu

Menurut

merupakan kunci dari semua kehidupan sosial tanpa adanya komunikasi ataupun

interaksi maka tidak mungkin ada kehidupan bersama beliau juga menyatakan

bahwa interaksi hanya dapat terbentuk apabila memiliki dua syarat, yakni harus

ada komunikasi dan kontak sosial.

a. Kontak Sosial

Kontak sosial secara harfiah berasal dari kata “kontak”

berasal dari

(42)

menyentuh. Dalam pengertian sosiologi, secara definitif kontak sosial

tidak selalu terjadi melalui interaksi atau hubungan fisik, sebab orang bisa

melakukan kontak sosial dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, misalnya

bicara melalui telepon, radio, atau surat elektronik. Oleh karena itu,

hubungan fisik tidak menjadi syarat utama terjadinya kontak. Kontak

sosial memiliki sifat-sifat berikut, kontak sosial dapat bersifat positif atau

negatif. Kontak sosial positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan

kontak sosial negatif mengarah pada suatu pertentangan atau konflik.

Terakhir kontak sosial dapat bersifat primer atau sekunder. kontak sosial

primer terjadi apabila para peserta interaksi bertemu muka secara

langsung. Sementara itu, kontak sekunder terjadi apabila interaksi

berlangsung melalui suatu perantara.

b. Komunikasi

Komunikasi, hal ini merupakan syarat selanjutnya agar terjadinya

interaksi. Hal terpenting dalam komunikasi yaitu adanya kegiatan saling

menafsirkan perilaku (pembicaraan, gerakan-gerakan fisik, atau sikap) dan

perasaan-perasaan yang disampaikan. Ada lima unsur pokok dalam

komunikasi yaitu sebagai berikut:

1. Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan, perasaan, atau

pikiran kepada pihak lain.

2. Komunikan, yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan,

(43)

3. Pesan, yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator. Pesan dapat

berupa informasi, instruksi, dan perasaan.

4. Media, yaitu alat untuk menyampaikan pesan. Media komunikasi dapat

berupa lisan, tulisan, gambar, dan film.

5. Efek, yaitu perubahan yang diharapkan terjadi pada komunikan,

setelah mendapatkan pesan dari komunikator.

Berdasarkan atas lima unsur inilah kemudian terjadilah proses

komunikasi, yang didalam setiap prosesnya tedapat tiga tahapan penting. Ketiga

tahap tersebut adalah sebagai berikut:

1. Encoding, pada tahap ini, gagasan atau program yang akan

dikomunikasikan diwujudkan dalam kalimat atau gambar, dan dalam

tahap ini pula komunikator harus memilih kata, istilah, kalimat dan

gambar yang mudah dipahami oleh komunikan. komunikator juga harus

menghindari penggunaan kode-kode yang membingungkan komunikan.

2. Penyampaian, dimana pada tahap ini istilah atau gagasan yang sudah

diwujudkan dalam bentuk kalimat dan gambar disampaikan.

Penyampaian dapat berupa lisan, tulisan, dan gabungan dari keduanya.

3. Decoding, tahap ini merupakan tahap penting terakhir dalam proses

komunikasi, dimana pada tahap ini dilakukanlah proses mencerna dan

memahami kalimat serta gambar yang diterima menurut pengalaman

yang dimiliki.

Oleh karena itu berdasarkan uraian mengenai interaksi dan syarat

(44)

syarat saja interaksi dapat terjadi, namun adanya faktor yang menjadi latar

belakang terjadinya interaksi barulah interaksi dapat terjadi. Adapun faktor

penyebab terjadinya interaksi adalah:

1. atau meniru, imitasi atau meniru adalah suatu

prosesuntuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang

dilakukan oleh model dengan melibatkan alatsebagai

penerima rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk

mengolah dari rangsang dengan kemampuan aksi untuk

melakukan gerakan

tahap tinggi karena tidak hanya melibatkan bahasa namun

juga pemahaman terhadap pemikiran orang lain. Imitasi saat ini

dipelajari dari berbagai sudut pandang ilmu

seperti

hingga kepada studi mengenai hewan (animal

study),dan

dengan fungsipada pembelajaran terutama pada anak,

maupun kemampuan manusia untuk berinteraksi secara sosial sampai

dengan penurunan budaya pada generasi selanjutnya.

2. adalah pemberian tanda-tanda pada golongan

barang-barang atau sesuatu. Hal ini perlu, oleh karena tugas

identifikasi ialah membedakan suatu hal dengan hal lainnya, sehingga

tidak menimbulkan kebingungan. Dengan identifikasi barulah suatu

hal itu dapat dikenal dan diketahui masuk dalam golongan mana.

(45)

bermacam-macam antara lain dengan menggantungkan kartu

pengenal, seperti halnya orang yang akan pesawat, tasnya akan diberi

tanpa pengenal pemilik agar nanti dapat dikenali dengan mudah.

3. adalahyang

diberikan seorang individu kepada individu lain sehingga orang yang

diberimenuruti atau melaksanakan tanpa berpikir kritis dan

rasional.

4. merupakan pengaruh,yang

diberikan antar

diberi

secara kritis,dan penuh rasa tanggung jawab .

biasanya diberikan oleh orang yang memiliki status yang lebih tinggi

dan berwibawa, misalnya dari seorang ayah kepada anak, seorang

guru kepada siswa.

5. adalah ketertarikan seseorang kepada orang lain

hingga mampu merasakan perasaan orang lain tersebut.

6. mirip dengan

hanya mengenai permasalahan hati, keinginan dan kondisi

perasaansaja. dibarengi

dengan perasaantubuh yang sangat intens/dalam.

yang terbangun antara suatu individu atau pun kelompok etnik

dengan individu ataupun kelompok etnik diluar etniknya maka hal ini

menentukan struktur nilai dan norma baru yang muncul, dimana interaksi yang

(46)

keduanya. interaksi ini pula yang kemudian akan menciptakan

merupakan hal mutlak yang menjadi suatu konsekuensi dari sebuah interaksi

yang terbangun, akan tetapi perkembangan sendiri masih belum pasti, sebab hal

ini masih bergantung pada tahapan ataupun tingkatan dari interaksi yang

terbangun. Tingkatan ataupun tahapan ini merupakan kunci penentu dari struktur

nilai dan norma yang nantinya akan dijadikan sebagai tolak ukur dalam

menentukn batasan antar tiap tiap etnik yang berbeda. Hal ini pula yang nantinya

akan menentukan baik buruknya interaksi yang terbangun antara dua etnik yang

berbeda.

3.4.Etnik Tionghoa

Tionghoa adalah salah satuetnik yang berasal dari

atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di

Indonesia. Kata ini berasal dari kata Zhonghua dalam Bahasa Mandarin dalam

dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Tionghoa sendiri merupakan salah

satu kelompok etnik yang apabila digolongkan berdasarkan kesamaan ciri fisik

ataupun ras berasal dari golongan ras asiatic mongoloidyang merupakan sub ras

dari ras mongoloid[27

[22]

]

. Ras ini menurut Luigi Luca Cavalli-Sforza secara

teritorial ras ini berasal dari benua asia bagian utara, adapun batas teritorial

pemukiman antara ras asia tenggara dan ras asia utara ialah sungai Yangtze di

sebelah selatan Tiongkok. Namun berkat invasi dan juga migrasi dari cina utara,

maka anggota ras Asia Utara juga sudah banyak tersebar di asia tenggara.

(47)

Adapun ciri fisik wajah relative oval, bermata sipit dengan bola mata hitam

kecoklatan dan berkulit putih[28

Wujud dari perubahan dan perkembangan kelompok ras asiatic mongoloid

antara lain munculnya beragam kelompok baru didalamnya yang terus ]

.

Seiring perkembangannya golongan ras asiatic mongoloid yang mulanya

berkelompok hanya didasari atas batasan ras kemudian berkembang, karena

berdasarkan populasi yang terus berkembang yang beriringan pula dengan

perkembangan kebutuhan serta aspek lain yang saling berkaitan lantas terjadilah

migrasi yang awalnya dilatarbelakangi kebutuhan akan teritorial dalam

memenuhi kebutuhannya, kemudian berkembang seiring waktu dan

perkembangan kebutuhan itu sendiri, maka terjadilah migrasi yang didalam

prosesnya terjadi banyak interaksi baik antar sesama kelompok ras asiatic

mongoloid maupun dengan kelompok ras lainnya. Oleh karena itu dengan

adanya interaksi maka terdapat pula beragam nilai dan norma yang mana hal ini

juga turut berubah dan berkembang seiring perkembangan kelompok itu sendiri.

perubahan dan perkembangan baik secara teritorial, struktur nilai, norma serta

aturan yang mengikat didalam kelompok, kemudian memunculkan sebuah

batasan baru didalam kelompok itu sendiri yang memicu munculnya

pengelompokan baru. Meskipun pada dasarnya berasal dari satu kelompok yang

didasari ciri fisik sama namun berbeda dalam hal teritorial, cara pandang

mengenai struktur nilai, norma serta aturan yang mengikat individu didalam

kelompok tersebut.

[28]

(48)

berkembang seiring berkembangnya jumlah populasi kelompok itu sendiri.

karena banyaknya pengelompokan yang terjadi maka kelompok - kelompok

tersebut mengalami penggolongan guna membedakan satu kelompok dengan

kelompok lainnya yang ada di dalam kelompok ras asiatic mongoloid. Adapun

penggolongan tersebut didasari atas jumlah populasi yang paling mayoritas dari

kelompok - kelompok yang ada karena banyaknya kelompok yang terdapat pada

ras asiatic mongoloid. Terdapat lima kelompok paling mayoritas secara jumlah

populasi, yakni(汉族 : Hàn Zú), Suku Ma满族 : Mǎn

Zú)(回族 : Huí Zú), Suku Menggu /(蒙古族: Měnggǔ

Zú), Suku Zang /(藏族 : Zàng Zú) [29

3.4.1.Etnik Tionghoa Di Indonesia

] .

Meskipun ada yang menyebutkan bahwa keturunan Tionghoa sudah

mengenal kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia) sejak sebelum Masehi,

namun belum ada keterangan lebih lanjut tentang daerah Nusantara yang mana,

berapa populasi Tionghoa itu, apa kegiatan mereka, dan bagaimana bentuk

hubungan mereka dengan daerah itu. Setelah zaman Masehi, beberapa catatan

informasi dari Tiongkok menyebutkan tentang perjalanan beberapa tokoh agama

Budha dari daratan Tiongkok ke India, dan singgah di berbagai tempat di

Nusantara. Para biksu ini menulis tentang daerah dan masyarakat yang mereka

kunjungi. Mereka antara lain adalah Fa Hsien yang singgah di sebuah daerah

yang disebut Jawa, dalam perjalanannya antara Tiongkok dan India, pada tahun

413 M (Masehi). Biksu Budha Hwi Ning singgah di sebuah daerah yang disebut

(49)

Holing ( Jawa utara ) pada tahun 664 M( Masehi ), dan Pendeta I Tsing singgah

di Sriwijaya ( Sekarang Sumatera Selatan ) pada tahun 671 M. Sejak saat itu

nampaknya kepulauan Nusantara mulai dikenal orang – orang Tiongkok,

khususnya para penguasanya. Beberapa peristiwa yang terjadi kemudian

memberi tanda tentang adanya hubungan diplomatik antara beberapa kerajaan di

Nusantara dengan penguasa daratan Tiongkok. Dikatakan bahwa mulai tahun

904, kerajaan Sriwijaya di pantai timur Sumatera mengirim utusan diplomatik

dan dagang secara teratur ke Tiongkok. Pada sekitar tahun 1200-an, tercatat

dalam kitab Chan Ju Kua tentang adanya dua kerajaan kuat di Nusantara, yaitu

Sriwijaya di Sumatera dan Kediri di Jawa.

Pada tahun 1289, kaisar Tiongkok Kubilai Khan mengirim seorang

utusan, yaitu Meng Ki, ke Singosari di Jawa Timur, meminta agar Singosari

mengakui kedaulatan kerajaan Tiongkok atas daerah mereka. Utusan tersebut

ternyata telah dipermalukan oleh Raja Singosari. Atas penghinaan ini, katanya,

Kubilai Khan mengirimkan 10,000 serdadu untuk menghukum Singosari pada

tahun 1292. Sebagaimana diketahui, ekspedisi ini menemui kegagalan karena

dikalahkan oleh menantu Raja Singosari, Raden Wijaya. Sebagian dari tentara

Kubilai Khan yang kocar-kacir itu katanya tertinggal di Jawa dan menetap

menjadi penduduk setempat. Semua kejadian tentang hubungan antara Tiongkok

dengan Nusantara seperti yang diceritakan di atas tidak menyebutkan tentang

sudah adanya komunitas imigran Tiongkok di suatu tempat tertentu di

Gambar

Tabel Jumlah Penduduk Kelompok Etnik Tionghoa Di Indonesia Tahun 1930
Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
Tabel 4.1 Tabel Keterangan Warna Kolom Bagan 4.1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berjudul Identitas Diri Dalam Komunitas Punk ( Studi Kasus Identitas Diri Anak Punk yang Sudah Bekerja Dalam Konteks Komunikasi Antar Pribadi Pada

Identitas Diri Anggota Komunitas Punk di Bandung, Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro [Jurnal]. Persepsi Masyarakat Terhadap Eksistensi Komunitas Punk di

Identitas Muslim Tionghoa Indonesia Pasca Orde Baru: Melampaui Batas-Batas Kategori Peranakan dan Totok .Depok:Jurnal Antropologi Indonesia vol 33 .Diakses pada 25 Mei