Panduan Wawancara (Interview Guide)
Nama :
Usia :
Alamat :
1. Apa yang anda ketahui mengenai Tionghoa?
2. Bagaimana perasaan anda menjadi bagian dari etnik Tionghoa Peranakan?
3. Hal dan apa saja yang anda peroleh dengan identitas anda sebagai Tionghoa peranakan,
baik dari etnik Tionghoa maupun dari etnik Pribumi?
4. Bagaimana cara anda menyikapi identitas anda sebagai etnik Tionghoa Peranakan dalam
Interaksi yang anda lakukan, baik ketika bersinggungan dengan etnik Tionghoa maupun
etnik pribumi?
5. Menurut anda apa yang harusnya dilakukan oleh para Tionghoa peranakan terhadap
PANDUAN WAWANCARA (INTERVIEW GUIDE)
Nama :
Usia :
Alamat :
1. Anda mengetahui apa itu Tionghoa?
2. Menurut anda apa yang menjadi penyebab etnik Tionghoa masih di anggap sebagai
pendatang ?
3. Apakah anda mengetahui bahwa terdapat penggolongan identitas dalam etnik Tionghoa,
baik Totok ataupun Peranakan?
4. Bagaimana cara anda melihat dan membedakan dua identitas yang ada dalam etnik
Tionghoa antara Totok dan Peranakan?
5. Apakah anda memiliki kerabat Tionghoa peranakan?
6. Bagaimana perasaan anda terhadap kerabat anda tersebut serta perlakuan apa yang sering
DAFTAR PUSTAKA
Alo,Liliweri.Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKI. 2007.
Barth,Frederik. Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Little, Brown, and Companies,1969.
Cangaran, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2002.
Duvall, E.M. dan Miller, B.C. Marriage and family development. New York: Harper and Row.1985.
Gertz,Hildred.Keluarga Jawa.Jakarta:Graffiti Press.1990
Gerungan, W.A.Psikologi Sosial.Bandung:PT.Eresco.1986
Koentjaraningrat,Prof.DR.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta:PT Rineka Cipta.2002
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.1986.
Littlejohn, Stephen W. and Karen A.Foss. Encyclopedia of Communication
Theory.USA: Sage Publications. 2009
Olson,D.H.,DeFrein,J.Marriage & Families Intimacy,Diversity and Strenght(5th
ed).New York:McGraw-Hill Inc.2006.
Prasetijo,Adi.“Kelompok Etnik dan Batasannya: Tatanan Sosial dari
PerbedaanKebudayaan”,Ethnic Group and Boundaries,ed.Fredrik Barth.Jakarta:UI – Press.1988
Samovar, Larry.A., Richard E.Porter & Edwin R.McDaniel.Intercultural
Communication (A Reader), 11th (ed).Belmont California. Thomson and
Wadsworth Publishing Company. 2006.
Sarwono, S.W. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok, dan Psikologi Terapan. PT Balai Pustaka:Jakarta, 2005.
Seccombe,K. Rebecca,L.W.Marriage and Families Relationships in Social
Context.Canada:Thomson Learning Inc.2004.
Siagian, Matias.Metode Penelitian Sosial.Medan:Grasindo Monorotama.2011.
Spradley, James.P.Metode Etnografi.Yogyakarta:PT. Tiara Wacana Yogya.1997
Suparlan, Parsudi.Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar Sukubangsa. Dalam I. Wibowo (ed), Restropeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia.1999
Suryadinata, Leo. Ethnic Chinese as Southeast Asians. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. 1997.
Tengku Luckman Sinar. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia.1991.
Ting-Tormey,Stella.Communicating Across Cultures.New York:The Guilford Press.1999
Sumber Lain:
• Sumber dari Halaman Website
akses 5 Juni 2015, Pukul 20.00 WIB)
(diakses 28 agustus 2015, pukul 23.00 WIB)
• Sumber dari Halaman Blog
BAB III
IDENTITAS ETNIK TIONGHOA GOLONGAN PERANAKAN
3.1. Identitas
Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani (dalam Firdy, 2003) mengatakan
bahwa manusia adalah Zoon Politicon atau De Mens Is Een Social Wesen yang
artinya manusia sebagai mahluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan
berkumpul dengan manusia lainnya. Oleh karena sifatnya yang demikian itulah
manusia disebut sebagai mahluk sosial. Hal ini juga yang menyebabkan manusia
tidak dapat tinggal dan hidup sendirian saja, sebaliknya selalu berada bersama
dan berhubungan dengan makhluk serta manusia lainnya. Sarwono (2005)
mengatakan bahwa manusia menurut kodratnya selalu ingin hidup berkumpul
danberkelompok, yakni manusia yang satu dengan yang lainnya senantiasa
menjalin hubungan dan hidup bersama-sama.Manusia tidak tinggal dan hidup
sendirian saja, sebaliknya selalu berada bersama dan berhubungan dengan
makhluk serta orang-orang lainnya. Sarwono (2005) mengatakan bahwa manusia
menurut kodratnya selalu ingin hidup berkumpul dan berkelompok, yakni
manusia yang satu dengan yang lainnya senantiasa menjalin hubungan satu sama
lain[18
[18]
. Sarwono, S.W. Psikologi sosial, psikologi kelompok, dan psikologi terapan. PT Balai Pustaka :Jakarta, 2005
]
. Adanya suatu hubungan menandakan bahwa adanya dua atau lebih
manusia yang saling berhubungan satu sama lain sehingga muncul pertanyaan
bagaimana membedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Hal ini
dan lainnya didalam hubungan tersebut, Hal tersebut yang kemudian dikenal
dengan sebutan identitas.
Identitas menurut KBBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) memiliki arti
ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri[19]
berpendapat, Identitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal
dari keluarga, gender, budaya, etnik dan proses sosialisasi[20
1. Identitas Seksual adalah acuan dalam proses identifikasi seseorang dengan
berbagai kategori seksualitas. Bisa berupa heteroseksual, gay, lesbian dan
biseksual. Identitas seksual yang kita miliki akan mempengaruhi apa yang
kita konsumsi. Program televisi apa yang akan kita lihat atau majalah apa
yang akan kita baca. Identitas seksual juga dapat mempengaruhi pekerjaan
seseorang.
]
. Identitas pada
dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain
terhadap diri kita. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwasanya
identitas adalah suatu hal yang membedakan antar individu yang saling
berhubungan satu sama lain. Berdasarkan hubungan - hubungan yang terjalin
antar individu ini kemudian munculah beragam bentuk besar Identitas. Adapun
bentuk dari identitas antara lain:
2. Identitas Gender adalah suatu pandangan mengenai maskulinitas dan
feminitas dan apa arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan. Arti
menjadi seorang perempuan atau laki-laki sangat dipengaruhi oleh
pandangan budaya. Misalnya saja kegiatan yang dianggap lebih maskulin
[19]
[20]
atau lebih feminim. Ungkapan gender tidak hanya mengkomunikasikan siapa
kita, tetapi juga mengkonstruksi rasa yang kita inginkan. Identitas gender
juga ditunjukkan oleh gaya komunikasi. Gaya komunikasi perempuan sering
digambarkan sebagai suportif, egaliter, personal dan disclosive, sedangkan
gaya komunikasi laki-laki digambarkan sebagai kompetitif dan tegas.
3. Identitas Agama Identitas agama adalah dimensi yang penting dalam
identitas seseorang. Identitas tersebut merupakan pemberian secara sosial
dan budaya, bukan hasil dari pilihan individu. Hanya pada era moderm,
identitas agama menjadi hal yang bisa dipilih, bukan identitas yang diperoleh
saat lahir. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh
pemeluk agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang
dipakai.
4. Identitas nasional merujuk pada kebangsaan seseorang. Mayoritas dari
masyarakat mengasosiasikan identitas nasional mereka dengan negara di
mana mereka dilahirkan. Akan tetapi, identitas nasional dapat juga diperoleh
melalui imigrasi dan naturalisasi. Identitas nasional biasanya menjadi sering
diucapkan saat seseorang berada di negara lain. Orang yang identitas
nasionalnya berbeda dari tempat ia dilahirkan pada akhirnya akan mulai
mengadopsi aspek identitas nasional yang baru. Namun, hal ini tergantung
pada keterikatan pada negara yang baru tersebut. Sementara itu, orang yang
secara permanen tinggal di negara lain mungkin akan mempertahankan
identitas negara tempat ia lahir.
Berdasarkan atas bentuk-bentuk dasar identitas ini, penulis menyimpulkan
dan Identitas kelompok. Pembagian ini didasari atas sifat dari bentuk-bentuk
identitas itu sendiri.
3.1.1.Identitas Diri
Menurut Erikson yang merupakan salah satu ahli yang pertama kali
menyajikan teori yang cukup komprehensif tentang perkembangan identitas diri.
Teori Erikson dikenal juga sebagai “ego psychology” yang menekankan pada
konsep bahwa “diri (self)” diatur oleh ego bawah sadar/unconcious ego serta
pengaruh yang besar dari kekuatan sosial dan budaya di sekitar individu (Muus,
1996). Ego bawah sadar ini menyediakan seperangkat cara dan aturan untuk
menjaga kesatuan berbagai aspek kepribadian serta memelihara individu dalam
keterlibatannya dengan dunia sosial, termasuk menjalankan tugas penting dalam
hidup yakni mendapatkan makna dalam hidup.
Pengertian Identitas diri yang dimaksud Erikson dirangkum menjadi
beberapa bagian (Erickson, 1989), yakni :
a. Identitas diri sebagai intisari seluruh kepribadian yang tetap tinggal sama
dalam diri seseorang walaupun situasi lingkungan berubah dan diri
menjadi tua.
b. Identitas diri sebagai keserasian peran sosial yang pada prinsipnya dapat
berubah dan selalu mengalami proses pertumbuhan.
c. identitas diri sebagai gaya hidupku sendiri yang berkembang dalam
tahap-tahap terdahulu dan menetukan cara-cara bagaimana peran sosial
d. Identitas diri sebagai suatu perolehan khusus pada tahap remaja dan akan
diperbaharui dan disempurnakan setelah masa remaja.
e. Identitas diri sebagai pengalaman subjektif akan kesamaan serta
kesinambungan batiniahnya sendiri dalam ruang dan waktu.
f. Identitas diri sebagai kesinambungan dengan diri sendiri dalam
pergaulan dengan orang lain.
Dari beberapa keterangan mengenai identitas dapat disimpulkan bahwa
identitas merupakan suatu persatuan. Persatuan yang terbentuk dari azas-azas,
cara hidup, pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya.
Persatuan ini merupakan inti pada seseorang yang menentukan cara meninjau
diri sendiri dalam pergaulan dan tinjauanya keluar dirinya (Gunarsa, 2003).
Identitas diri adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri
serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak,
teman, pelajar, atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda
memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekadar
mengikuti pilihan orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah
orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada
masa mendatang. Istilah pencarian identitas diri sebagai sebuah upaya untuk
meneguhkan suatu konsep diri yang bermakna, merangkum semua pengalaman
berharga di masa lalu, realitas keyakinan yang terjadi termasuk juga aktivitas
yang dilakukan sekarang serta harapan di masa yang akan datang menjadi
sebuah kesatuan gambaran tentang diri yang utuh, berkesinambungan dan unik
(Muus, 1996). Burns (1993) menambahkan bahwa “ego yang dimaksud Erikson
sedangkan „diri‟ merupakan objek. Ide ini diperluas secara sosial, sehingga
identitas diri merupakan hasil yang muncul dari pengalaman dalam kontek
skultural”. Erikson sangat memberi penekanan pada pengaruh sosial dalam
perkembangan seorang individu. Dalam istilah Erikson yang dimaksud sebagai
psikososial adalah kecocokan timbal balik antara individu dengan
lingkungannya artinya suatu pihak antara kapasitas individu untuk berhubungan
dengan suatu ruang kehidupan yang terdiri atas manusia dan pranata-pranata
yang selalu bertambah luas. Di pihak lain, kesiapan manusia dan pranata ini
untuk membuatnya menjadi bagian dari suatu keprihatinan budaya yang tengah
berlangsung.
Identitas diri muncul sebagai hasil positif dari integrasi bertahap semua
proses identifikasi remaja, karena itu Erikson merinci delapan tahap
perkembangan manusia yang masing-masing mengandung dua kemungkinan
yang saling berlawanan. Setiap tahap menunjukkan perkembangan potensial dan
tantangan yang baru yang disebut Erikson sebagai krisis normatif yang
merupakan titik balik perkembangan seseorang. Jika seseorang berhasil
melewati suatu tahapan krisis normatif, maka individu akan memperoleh hasil
yang positif dan menguntungkan bagi dirinya. Sebaliknya, kegagalan pada
suatutahap akan menyumbangkan potensi negatif dan menjadi penghambat bagi
3.1.2.Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Diri
Selain dipengaruhi oleh perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial dan
moral yang pesat. Identitas diri juga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
(Erickson, 1989):
a. Perkembangan para remaja
Menurut Erikson Proses identitas diri sudah berlangsung sejak anak
mengembangkan kebutuhan akan rasa percaya (trust), otonomi diri (autonomy),
rasa mampu berinisiatif (initiative), dan rasa mampu menghasilkan sesuatu
(industry). Keempat komponen ini memberikan kontribusi kepada pembentukan
identitas diri.
b. Pengaruh keluarga
Keluarga yang mempunyai pola asuh yang berbeda akan mempengaruhi
proses pembentukan identitas diri secara berbeda pula. Contohnya, keluarga
yang menerapkan pola asuh otoriter yang mana orang tua mengontrol setiap
perilaku anaknya tanpa memberikan mereka kesempatan untuk mengekspresikan
opini dan perasaannya akan mengembangkan identitas diri yang mengarah pada
bentuk foreclosure (tertutup). Sebaliknya orang tua yang permissive, hanya
menyediakan sedikit pengarahan kepada anaknya, akan mengembangkan
identitas diri yang mengarah pada bentuk diffuse (terbuka)(Santrock,1998).
Selain itu, menurut stuart, orang tua yang yang mengembangkan sikap
proses pembentukan identitas dirinya dibandingkan orang tua yang
mengembangkan sikap constraining(selalu menilai dan mengevaluasi).
c. Pengaruh individualisasi dan connectedness
Atmosfir hubungan keluarga akan membantu pembentukan identitas diri
dengan cara merangsang individualitas dan ketertarikan satu sama lain
(connectedness). Individualitas menyangkut kemampuan individu dalam
mengemukakan pendapatnya, perasaan bahwa dirinya berbeda dengan orang lain
atau anggota keluarga yang lain. Sedangkan connectedness berkaitan dengan
kebersamaan, sensitivitas, keterbukaan terhadap kritik dan aspek terhadap
pendapat orang lain. Jadi keluarga yang dapat memberikan kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya dan memberikan tempat aman bagi mereka untuk
mengeksplorasi lingkungan sosial yang lebih luas. Walaupun demikian, kedua
komponen tersebut tidak selalu tinggi. Bila faktor individualisasi lemah
sedangkan faktor connectedness tinggi, maka individu akan mengembangkan
identitas diri yang mengarah pada bentuk foreclosure. Sebaliknya, jika kedua
faktor tersebut lemah, maka individu akan mengembangkan identitas diri yang
mengarah pada bentuk diffuse.
Selain faktor-faktor di atas, masih ada beberapa faktor yang turut
mempengaruhi pembentukan identitas diri, antara lain: banyaknya model atau
contoh, adanya permasalahan pribadi, toleransi lingkungan terhadap apa yang
mereka lakukan serta umpan balik yang realistis mengenai diri mereka dari
3.1.3.Proses Pembentukan Identitas Diri
Menurut marcia (dalam Satrock, 2003) pembentukan identitas diri diawali
oleh munculnya ketertarikan (attachment), perkembangan suatu pemikiran
mengenai diri dan pemikiran mengenai hidup dimasa tua.
Erickson mengatakan bahwa hal yang paling utama dalam perkembangan
identitas diri adalah eksperimentasi kepribadian dan peran. Erikson yakin bahwa
seseorang akan mengalami sejumlah pilihan dan pada titik tertentu akan
memasuki masa moratorium. Pada masa moratorium ini, seorang akan mencoba
peran dan kepribadian yang berbeda-beda sebelum akhirnya seseorang mencapai
pemikiran diri yang stabil (Erickson, 1989).
Menurut Marcia terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses
pembentukan identitas diri, yaitu :
1. Tingkat identifikasi dengan orang tua sebelum dan selama masa remaja.
2. Gaya pengasuhan orang tua
3. Adanya figur yang menjadi model.
4. Harapan sosial tentang pilihan identitas yang terdapat dalam keluarga,
sekolah dan teman sebaya.
5. Tingkat keterbukaan individu terhadap berbagai alternatif identitas.
6. Tingkat kepribadian pada masa pra-adolescence yang memberikan
sebuah landasan yang cocok untuk mengatasi identitas.
Erickson (1989) juga menyebutkan, bahwa pembentukan identitas diri juga
memerlukan dua elemen penting, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen. Istilah
berbagai alternatif tertentu dan memberikan perhatian yang besar terhadap
keyakinan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam pemilihan alternatif tersebut.
Sedangkan “komitmen” menunjuk pada usaha membuat keputusan mengenai
pekerjaan atau ideologi, serta menentukan berbagai strategi untuk merealisasikan
keputusan tersebut. Berdasarkan dua elemen diatas, maka dalam pembentukan
identitas diri, seorang akan mengalami suatu krisis identitas untuk menuju pada
suatu komitmen yang merupakan keputusan akan masa depan yang akan
dijalani.
Erikson (1968) mengatakan bahwa perkembangan identitas terdiri dari
aspek psikologi dan aspek sosial seperti yang disebutkan dibawah ini:
1. Perkembangan individu berdasarkan rasa kesamaan diri yang
berkelanjutan dalam semua bidang, kepercayaan kesamaan diri dan
kontiniutas yang diakui lingkungannya
2. Banyak aspek dalam pencarian identitas diri yang disadari, namun
motivasi ketidaksadaran justru memainkan peranan penting. Dalam taraf
ini, perasaan ketidakberdayaan mungkin digantikan oleh pengharapan pada
kesuksesan.
3. Identitas tidak dapat berkembang tanpa aspek fisik, mental dan kondisi
sosial yang pasti.
4. Perkembangan identitas tergantung pada masa lalu, masa sekarang dan
lalu dan bergantung pada aturan dan model yang ada. selain itu, juga
dipengaruhi oleh aturan yang memungkinkan dimasa depan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan identitas
diri terdapat beberapa elemen penting, diantaranya yaitu eksplorasi lingkungan
dan sosial, eksperimentasi kepribadian dan peran, identifikasi masa lalu, masa
depan yang di antisipasi.
3.1.4.Ciri-Ciri Pencapaian Identitas Diri
Menurut Erikson (1989), proses identitas diri sudah berlangsung sejak
anak mengembangkan kebutuhan akan rasa percaya (trust), otonomi diri
(autonomy), rasa mampu berinisiatif (initiative), dan rasa mampu menghasilkan
sesuatu (industry). Keempat komponen ini memberikan kontribusi kepada
pembentukan identitas diri.
Menurut Erikson, seorang individu yang berhasil mencapai suatu
identitas diri yang stabil bercirikan :
1. Memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya.
2. Memahami perbedaan dan persamaan dengan orang lain.
3. Menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya.
4. Penuh percaya diri.
5. Tanggap terhadap berbagai situasi.
6. Mampu mengambil keputusan penting.
7. Mampu mengantisipasi tantangan masa depan.
Menurut Marcia (dalam Ginanjar & Yunita, 2003) mengembangkan
suatu teori berdasarkan ide-ide dari Erickson yaitu teori pencapaian identitas
diri. Seseorang yang telah mencapai identitas diri yang sukses dapat dilihat dari
komitmen yang telah dibuatnya, khususnya dalam pekerjaan dan hubungan antar
pribadi. Proses pencapaian identitas berawal dengan berakhirnya
pengidentifikasian diri individu terhadap orang tua atau orang dewasa
disekeliling individu. Individu tidak lagi mengidentifikasi dirinya dengan
anggota tubuh, penampilan dan orang tuanya. Proses pencapaian identitas
tergantung pada keadaan masyarakat dimana dia tinggal, sehingga kemudian
masyarakat mengenalnya sebagai individu yang telah menjadi dirinya sendiri
dengan caranya sendiri (Erikson,1989).
Menurut Erikson seseorang yang sedang mencari identitas akan berusaha
“menjadi seseorang”, yang berarti berusaha mengalami diri sendiri sebagai
“AKU” yang bersifat sentral, mandiri, unik, yang mempunyai suatu kesadaran
akan kesatuan batinnya, sekaligus juga berarti menjadi “seseorang” yang
diterima dan diakui oleh orang banyak. Lebih jauh dijelaskan bahwa orang yang
sedang mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan “siapakah” atau
“apakah” yang diinginkannya pada masa mendatang. Bila individu itu telah
memperoleh identitas, maka dirinya akan menyadari ciri-ciri khas
kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa
depan yang diantisipasi, perasaan bahwa dirinya dapat dan harus mengatur
orientasi hidupnya. Identitas diri diartikan pula sebagai suatu persatuan yang
terbentuk dari asas-asas atau cara hidup, pandangan-pandangan yang
Kemudian Erikson juga menyebutkan istilah pencarian identitas diri
sebagai sebuah upaya untuk meneguhkan suatu konsepsi atas diri yang
bermakna, merangkum semua pengalaman berharga di masa lalu, realitas
keyakinan yang terjadi termasuk juga aktivitas yang dilakukan sekarang serta
harapan di masa yang akan datang menjadi sebuah kesatuan gambaran tentang
diri yang utuh, berkesinambungan dan unik.
3.1.5.Peranan Model Dalam Pembentukan Identitas Diri
Anak-anak yang mendekati usia dewasa tampak mengambil sesuatu
dimana mereka ingin dilihat sebagai siapapun kecuali orang tua mereka. Mereka
berhenti menghabiskan waktu bersama keluarga dan jika mungkin terlihat
sejarang mungkin bersama orang tua. Proses pemisahan dari orang tua adalah
peristiwa yang alami. Erikson (1968), awal dari pembentukan identitas dimulai
dari masa kanak-kanak menuju ke masa remaja dengan hubungan timbal balik
diikuti dengan perubahan fisik, meningkatnya dorongan seksual, menigkatnya
kemampuan mental dan konflik sosial. Untuk membangun suatu identitas yang
mampu mengalahkan kebingungan, Erikson mengemukakan bahwa dalam
identitas, pertumbuhan dan masa krisis yang dialami remaja dalam sebuah
pertimbangan.
Pada tahap ini, remaja sering menolak orang tuanya dan semua yang
dekat dengan mereka agar dapat membuat jarak dengan masa kanak-kanak
sebagai pembentukan identitas mereka sendiri. Mereka haus akan role model dan
Dengan perubahan yang terus menerus dalam proses pencarian identitas
mereka, remaja akan sering masuk dalam kelompok teman-teman sebayanya
untuk menemukan dan mendapatkan arti identitas itu. Ini menjelaskan beberapa
kecenderungan untuk memuja tokoh yang dianggap sebagai pahlawan (biasanya
bintang film atau penyanyi) dengan memakai baju yang sama dan melakukan
perlawanan terhadap otoritas yang berkuasa. Yang menarik mengenai hal ini
adalah bahwa perlawanan atau pembangkangan yang terjadi sering merupakan
bentuk dari konformitas.
Pada tahap perkembangan ini (biasanya terjadi pada remaja), model
dapat secara signifikan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang
dibuat oleh remaja dan keputusan ini dapat mempengaruhi jalan hidup mereka.
Pada usia ini, remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk mengidolakan orang
lain terutama mereka yang lebih tua dan memiliki semboyan hidup. Suatu
kualitas yang ingin mereka miliki. Mereka dapat dengan mudah terpesona pada
mereka yang lebih tua (dalam rentang usia 18-19 tahun). Umumnya pria yang
mengendarai mobil gaya, memakai dugs, atau atlit olahraga yang pekerja keras
dan dianggap berdedikasi (Ellis,2002).
3.2.Pernikahan dan Keluarga
Pernikahan dan keluarga merupakan dua hal yang berkaitan satu sama
lain. Hal ini disebabkan Pernikahan merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk membentuk suatu keluarga baru, oleh karena itu setiap
pernikahan pasti bertujuan untuk memiliki keluarga, atau dengan kata lain
keluarga itu sendiri bisa terbentuk tanpa harus adanya pernikahan. Bentuk
keluarga tanpa pernikahan ini sendiri bagi kelompok masyarakat tertentu
dianggap sebagai sebuah anomali ( keanehan ), bahkan akan cenderung dianggap
sebagai sebuah penyimpangan. Meskipun ada juga kelompok masyarakat yang
menganggap hal tersebut sebagi hal biasa, bahkan dianjurkan untuk membentuk
keluarga terlebih dahulu sebelum melakukan pernikahan.
Banyaknya konsep mengenai pernikahan dan keluarga menyebabkan
banyak pertentangan yang terjadi antar konsep tersebut. Sehingga terkadang
tidak jarang pertentangan antar konsep menjadi pemicu munculnya perdebatan
yang berujung pada konflik. Konflik ini yang kemudian memunculkan sikap
etnosentrisme yang cenderung mengarah pada eksklusifitas guna menunjukkan
eksistensi kelompok. Hal ini pula yang kemudian bertransformasi menjadi
penghambat proses asimilasi di tengah masyarakat. Terhambatnya proses itu
sendiri disebabkan oleh rasa etnosentrisme yang kuat. Oleh karena itu disini
penulis mencoba mendeskripsikan sendiri mengenai Pernikahan dan keluarga.
3.2.1. Pernikahan
Pernikahan adalah suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang
didalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belaah pihak. Janji setia
yang terucap merupakan sesuatu yang tidak mudah diucapkan. Dalam pasal 1
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, mendefinisikan
pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan defenisi
pernikahan menurut Duvall & Miller (1985)[21
dan bertujuan menciptakan kebahagian individu yang terlibat didalamnya.
Menurut Bachtiar (2004) defenisi pernikahan adalah pintu bagi bertemunya dua
hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang
lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang
layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Pernikahan itu merupakan
ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari
masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan
manusia di bumi. Terruwe menyatakan bahwa pernikahan merupakan suatu
persatuan. Persatuan itu diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan oleh ]
.
“Socially recognized relationship between a man and
woman that provider for sexual relationship,
legitimates childbearing and establishes a division of
labour between spouses”
Jadi dapat disimpulkan bahwa pernikahan bukan semata-mata legalisasi,
dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari
itu pernikahan merupakan ikatan lahir batin dalam membina kehidupan
keluarga. Dalam menjalankan kehidupan berkeluarga diharpkan kedua individu
itu dapatmemenuhi kebutuhannya dan mengembangkan dirinya. Pernikahan
sifatnya kekal
[21]
seorang pria pada isterinya, dan wanita pada suaminya. Menurut Goldberg
pernikahan merupakan suatu lembaga yang sangat populer dalam masyarakat,
tetetapi sekaligus juga bukan suatu lembaga yang tahan uji. Pernikahan sebagai
kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan bahkan
abadi serta pelesatarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
interpersonal[22
a. Sebagai suatu institusi sosial. Suatu solusi kolektif terhadap kebutuhan
sosial. Eksistensi dari pernikahan itu memberikan fungsi pokok untuk
kelangsungan hidup suatu kelompok dalam hal ini adalah masyarakat.
Makna individual. ]
. Menurut Kartono (1992), pengertian pernikahan merupakan
suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat.
Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetetapi praktek-prakteknya
pernikahan dihampir semua kebudayaan cenderung sama pernikahan
menunujukkan pada suatu peristiwa saat sepasang calon suami-istri
dipertemukan secara formal dihadapan ketua agama,para saksi, dan sejumlah
hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi denganupacara dan ritual-ritual
tertentu.Menurut Saxton pernikahan memiliki dua makna, yaitu:
b. Pernikahan sebagai bentuk legitimisasi (pengesahan) terhadap peran
sebagai individual, tetetapi yang terutama, pernikahan di pandang
sebagai sumber kepuasan personal.
Menurut Abdul Jumali pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita, hidup bersama dalam rumah tangga,
[22]
melanjutkan keturunan menurut ketentuan hukum syariat Islam. Hukum katholik
pernikahan adalah ikatan seumur hidup antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri yang terjadi atas persetujuan kedua belah pihak yang
tidak dapat ditarik kembali. Berdasarkan berbagai definisi tentang pernikahan di
atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara
laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri yang memiliki kekuatan hukum
dan diakui secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga sebagai kesatuan
yang menjanjikan pelestarian kebudayaan dan pemenuhan segala kebutuhan –
kebutuhan inter – personal .
Bagi mayoritas penduduk Indonesia, sebelum memutuskan untuk
menikah biasanya harus melalui tahap-tahapan yang menjadi prasyarat bagi
pasangan tersebut. Tahapan tersebut diataranya adalah masa perkenalan atau
dating kemudian setelah masa ini dirasa cocok, maka mereka akan melalui
tahapan berikut yaitu meminang. Peminangan (courtship) adalah kelanjutan dari
masa perkenalan dan masa berkencan (dating). Selanjutnya, setelah perkenalan
secara formal melalui peminangan tadi, maka dilanjutkan dengan melaksanakan
pertunangan (mate-selection) sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk
melaksanakan pernikahan (Narwoko, dalam Kertamuda,2009:25). Pernikahan
merupakan aktivitas sepasang laki-laki dan perempuan yang terkait pada suatu
tujuan bersama yang hendak dicapai. Dalam pasal 1 Undang – Undang
pernikahan tahun 1974 tersebut diatas dengan jelas disebutkan, bahwa tujuan
pernikahan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Menurut Walgito (2002), masalah pernikahan adalah hal yang tidak
mudah, karena kebahagiaan bersifat reltif dan subyektif. Subyektif karena
kebahagiaan bagi seseorang belum tentu berlaku bagi orang lain, relatif karena
sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan kebahagiaan dan belum
tentu diwaktu yang lain juga dapat menimbulkan kebahagiaan. Masdar Helmy
(dalam Bachtiar, 2004) mengemukakan bahwa tujuan pernikahan selain
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga membentuk
keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan di dunia, mencegah
perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang
bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat. Menurut Soemijati (dalam
bachtiar, 2004) tujuan pernikahan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang,
memperoleh keturunan yang sah dengan mengikuti ketentuan – ketentuan yang
telah diatur oleh hukum. Menurut Bachtiar (2004), membagi lima tujuan
pernikahan yang paling pokok adalah:
1. Memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang damai dan teratur
2. Mengatur potensi kelamin
3. Menjaga diri dari perbuatan-perbuan yang dilarang agama
4. Menimbulkan rasa cinta antara suami-isteri
5. Membersihkan keturunan yang hanya bisa diperoleh dengan jalan
Sedangkan menurut Ensiklopedia Wanita Muslimah (dalam bacthtiar, 2004),
tujuan pernikahan adalah:
1. Kelanggengan jenis manusia dengan adanya keturunan
2. Terpeliharanya kehormatan
3. Menenteramkan dan menenangkan jiwa
4. Mendapatkan keturunan yang sah
5. Mengembangkan tali silaturahmi dan memperbanyak keluarga
3.2.2. Keluarga
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup
bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu
ada hubungan darah, ikatan perkawinan, ikatan kekerabatan, atau ikatan ikatan
lainnya. Terdapat beberapa definisi keluarga antara lain Keluarga menurut
duvall dan Logan yaitu sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran,
dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan
meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap
anggota keluarga (Duvall dan Logan, 1986)[23]. Sedangkan Menurut Bailon dan
Maglaya Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah
tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling
berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon dan
Maglaya,1978)[24
. Selain itu Menurut DEPKES RI (Departemen Kesehatan
masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang
berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling
ketergantungan (Departemen Kesehatan RI, 1988)[25
• Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi.
] .
Oleh karena itu berdasarkan beberapa definisi mengenai keluarga maka
dapat ditarik kesimpulan bahwasanya keluarga memiliki karakteristik tersendiri.
Adapun karakteristik tersebut, yakni
• Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain.
• Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai fungi dan peran sosial.
• Mempunyai tujuan menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota.
Selain itu setiap keluarga tentunya akan memiliki banyak fungsi, dimana
fungsi – fungsi tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian.
Adapun fungsi dari keluarga itu sendiri ialah :
1. Fungsi Biologis
• Untuk meneruskan keturunan
• Memelihara dan membesarkan anak
• Memberikan makanan bagi keluarga dan memenuhi kebutuhan gizi
[25]
• Merawat dan melindungi kesehatan para anggotanya
• Memberi kesempatan untuk berekreasi 2. Fungsi Psikologis
• Identitas keluarga serta rasa aman dan kasih sayang
• Pendewasaan kepribadian bagi para anggotanya
• Perlindungan secara psikologis
• Mengadakan hubungan keluarga dengan keluarga lain atau masyarakat
3. Fungsi Sosial Budaya atau Sosiologi
• Meneruskan nilai-nilai budaya
• Sosialisasi
• Pembentukan norma-norma, tingkah laku pada tiap tahap perkembangan anak serta kehidupan keluarga
4. Fungsi Sosial
• Mencari sumber-sumber untuk memenuhi fungsi lainnya
• Pembagian sumber-sumber tersebut untuk pengeluaran atau tabungan
• Pengaturan ekonomi atau keuangan 5. Fungsi Pendidikan
• Penanaman keterampilan, tingkah laku dan pengetahuan dalam hubungan dengan fungsi-fungsi lain.
• Persiapan untuk kehidupan dewasa.
Oleh karena itu apabila terdapat karakteristik serta fungsi dari keluarga
itu sendiri, maka kemudian terbentuklah sebuah keluarga. Dimana bentuk
keluarga juga memiliki keberagaman sendiri. Namun bentuk – bentuk keluarga
yang dapat ditemukan ditengah – tengah kehidupan masyarakat dapat
diidentifikasi berdasarkan beberapa latar belakang, antara lain :
1. Berdasarkan Garis Keturunan
• Patrilinear adalah keturunan sedarah yang terdiri dari sanak saudara
sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun
melalui jalur garis keturunan ayah.
• Matrilinear adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara
sedarah dalam beberapa ganerasi dimana hubungan itu disusun
melalui jalur garis keturunan ibu.
2. Berdasarkan Jenis Perkawinan
• Monogami adalah keluarga dimana terdapat seorang suami dengan seorang istri.
• Poligami adalah keluarga dimana terdapat seorang suami dengan lebih dari satu istri.
3. Berdasarkan Pemukiman
• Patrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau dekat
dengan keluarga sedarah suami.
• Matrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau dekat
dengan keluarga satu istri
• Neolokal adalah pasangan suami istri, tinggal jauh dari keluarga
4. Berdasarkan Jenis Anggota Keluarga
• Keluarga inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.
• Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambahkan dengan sanak saudara. Misalnya : kakak, nenek, keponakan, dan
lain-lain.
• Keluarga Berantai (Serial Family) adalah keluarga yang terdiiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu
keluarga inti.
• Keluarga Duda/janda (Single Family) dalah keluarga yang terjadi karena perceraian atau kematian.
• Keluarga berkomposisi (Composite) adalah keluarga yang perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama.
• Keluarga Kabitas (Cahabitation) adalah dua orang yang terjadi tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga.
5. Berdasarkan Dominasi Kekuasaan
• Patriakal adalah keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan
dalam keluarga adalah dipihak ayah.
• Matrikal adalah keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan
dalam keluarga adalah pihak ibu.
• Equalitarium adalah keluarga yang memegang kekuasaan adalah
ayah dan ibu.
Manusia merupakan salah satu diantara mahkluk hidup lain yang memiliki
sifat, dan ciri tersendiri yang membedakannya dengan mahkluk hidup lainya,
adapun salah satu dari sifat dan ciri tersebut yang membedakan manusia dengan
mahkluk hidup lainya yaitu, akal. Dimana menurut salah seorang filosof Yunani
yang berpendapat “Aku berpikir maka aku ada”. Pendapat ini bermakna bahwa
seorang manusia itu ada dan dapat dikatakan dan diakui sebagai manusia hanya
apabila ia berpikir, akan tetapi jika ia tidak berpikir maka manusia tersebut
bukanlah manusia dan tidak dapat dikatakan sebagai manusia meskipun
keberadaannya secara materi tidak terbantahkan. Hal ini sependapat dengan
penulis, karena menurut penulis akal merupakan elemen penting dari seorang
manusia untuk melanjutkan keberlangsungan hidupnya. Sebab sebagai mahkluk
hidup manusia memiliki banyak kebutuhan, diantara kebutuhan – kebutuhan
tersebut terdapat beberapa kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tersebut menurut
Abraham Maslow, antara lain:
1. Kebutuhan Fisiologis,
yang merupakan kebutuhan
paling dasar pada manusia.
Antara lain ; pemenuhan
kebutuhan oksigen dan
pertukaran gas, cairan
(minuman), nutrisi (makanan),
eliminasi, istirahat dan tidur,
2. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, dibagi menjadi perlindungan
fisik dan perlindungan psikologis. Perlindungan fisik, meliputi
perlindungan dari ancaman terhadap tubuh dan kehidupan seperti
kecelakaan, penyakit, bahaya lingkungan, dll. Perlindungan psikologis,
perlindungan dari ancaman peristiwa atau pengalaman baru atau asing
yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang.
3. Kebutuhan rasa cinta, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki,
memberi dan menerima kasih sayang, kehangatan, persahabatan, dan
kekeluargaan.
4. Kebutuhan akan harga diri dan perasaan dihargai oleh orang lain serta
pengakuan dari orang lain.
5. Kebutuhan aktualisasi diri, ini merupakan kebutuhan tertinggi dalam
hierarki Maslow, yang berupa kebutuhan untuk berkontribusi pada orang
lain atau lingkungan serta mencapai potensi diri sepenuhnya.
Berdasarkan pendapat Maslow terkait dengan kebutuhan, maka dapat
dengan jelas terlihat bagaimana Maslow memisahkan kebutuhan tersebut
menjadi 3 ( tiga ) aspek, adapun ketiga aspek itu yakni :
1. Aspek Fisiologis : Aspek seperti ini merupakan aspek primer bagi
manusia, sebab aspek ini merupakan syarat utama yang menentukan
keberlangsungan hidup manusia. Adapun hal yang masuk kedalam aspek
ini antara lain : pemenuhan kebutuhan oksigen dan pertukaran gas, cairan
(minuman), nutrisi (makanan), eliminasi, istirahat dan tidur, aktivitas,
2. Aspek Psikologis : Aspek ini merupakan aspek skunder bagi seorang
manusia, sebab tanpa adanya aspek ini manusia masih akan tetap bisa
menjalankan keberlangsungan hidupnya. Akan tetapi dalam kehidupan
manusia yang kebutuhan aspek psikologisnya tidak terpenuhi, maka akan
berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan manusia tersebut. Adapun hal –
hal yang termasuk dalam bagian aspek ini, yakni : segala hal yang
berkaitan dengan perasaan yang dirasakan oleh manusia terhadap segala
hal yang ada diluar dirinya.
3. Aspek Sosiologis : Aspek ini merupakan aspek tertier bagi
keberlangsungan hidup seorang manusia, sebab aspek ini merupakan
aspek lanjutan dari dua aspek sebelumnya. Oleh karena itu aspek ini
tidak akan pernah terpenuhi jika dua aspek sebelumnya tidak terpenuhi,
sebab dalam aspek ini manusia akan berusaha memperoleh penilaian,
pengakuan, serta penghargaan atas keberadaan dirinya yang didasari oleh
aktualisasi diri atas pemenuhan dua aspek sebelumnya. Maka dalam hal
ini aspek sosiologis dapat juga dikatakan sebagai puncak tiga aspek
kebutuhan. Adapun hal yang termasuk kedalam aspek ini, yakni : segala
bentuk penilaian, pengakuan dan penghargaan atas dirinya dari orang
yang diluar dirinya.
Berdasarkan pendapat dari Maslow terkait dengan kebutuhan manusia
serta pembagian aspeknya, maka akan terlihat bagaimana pentingnya peran
kebutuhan dalam pengelompokan manusia. Pentingnya peran tersebut terlihat
dari pembagian 3 (tiga) aspek kebutuhan menurut maslow. Dimana berdasarkan
aspek tersebut manusia memerlukan manusia lain baik untuk memenuhi aspek –
aspek tersebut ataupun untuk mempermudah pemenuhan aspek kebutuhan
tersebut. Oleh karena aspek – aspek kebutuhan itulah manusia dikatakan sebagai
mahkluk yang Zoon Politicon atau De Mens Is Een Social Wesen oleh seorang
filsuf Yunani Aristoteles (Firdy,2003). Berdasarkan hal inilah kemudian
manusia melakukan pengelompokan, dimana pengelompokan yang terjadi pada
mulanya didasari oleh berbagai aspek kebutuhan baik secara fisiologis,
psikologis, maupun sosiologis. Namun seiring perkembangan berbagai
latarbelakang pun bermunculan sebagai hal yang mendasari pengelompokan.
Pengelompokan – pengelompokan itu pada awalnya didasari atas
kesamaan ciri fisik, hal inilah yang nantinya dikatakan sebagai suatu ras (
J.Jones; 1972) . Ciri fisik ini yang pada awalnya menjadi alasan pertama dalam
pengelompokan. Pengelompokan – pengelompokan yang didasari ciri fisik ini
kemudian dapat dikatakan sebagai dasar dari sebuah etnik atau dengan kata lain
hal ini merupakan batasan awal dari suatu etnik. Akan tetapi adanya sebuah
transformasi dalam pengelompokan seiring dengan perkembangan manusia
dalam berbagai aspek kehidupannya secara langsung menyebabkan terjadinya
pergerseran terhadap batasan etnik itu sendiri. Adapun transformasi tersebut
terjadi karena mendapatkan pengaruh besar berbagai macam kepentingan
manusia. Kepentingan – kepentingan ini pun merupakan sebuah perwujudan
baru kebutuhan, karena secara prinsip dasar kebutuhanlah yang menjadi dasar
sebuah kepentingan. Kemudian kepentingan ini yang mempertemukan suatu
lainnya dengan kata lain adanya sebuah interaksi yang terjadi yang
menyebabkan bergesernya batasan dari suatu etnik.
Unsur budaya merupakan aspek penting dalam mempertemukan beragam
bentuk kepentingan yang dilatarbelakangi kebutuhan. Pernyataan ini seiring
dengan beragam aspek kehidupan manusia yang berkembang baik itu aspek
fisiologis, aspek psikologis, maupun sosiologis. Sebab tidak dapat dipungkiri
bagaimana pentingnya unsur budaya memainkan perannya dalam perkembangan
manusia dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya meskipun budaya
beserta unsurnya itu sendiri muncul karena adanya manusia dan
pengelompokannya. Perkembangan manusia beserta kebutuhan dan
kepentingannya menyebabkan terjadinya perubahan dalam budaya dan unsur
budaya, hal inilah yang menyebabkan pergeseran pada batasan sebuah etnik
yang pada awalnya didasari oleh hal yang bersifat spesifik dan sempit yaitu
kesamaan ciri fisik ( Ras ) menuju kearah yang lebih umum dan luas.
Lantas dimana batasan dari suatu etnik jika terjadinya pergeseran dari
yang pada mulanya hanya terletak pada batasan kesamaan ciri fisik saja. Hal ini
menjadi sebuah pertanyaan besar, namun hal itu terjawab dengan pernyataan
yang dikemukaan oleh Frederich Barth (Kelompok Etnik dan Batasannya; UI
Press, Jakarta, 1988). bahwa batasan dari suatu etnik di tentukan oleh: 1.
Pengakuan etnik itu sendiri, sebab adanya ciri yang ditentukan oleh etnik
tersebut yang membentuk pola tersendiri dalam proses interaksinya, dengan kata
lain maka batasan etnik itu sendiri bergantung pada pola dan ciri yang disepakati
dimiliki bahwa ada standarisasi nilai dari suatu kategori yang mungkin berbeda
dengan standar nilai kategori yang lain. Makin besar perbedaan antara nilai
standar ini, maka tingkat pembatasan hubungan antar kelompok etnik akan
semakin tegas. Dengan demikian seseorang akan ditandai identitas etniknya
berdasarkan perilaku yang mencirikan kategori yang menjadi nilai standar
seseorang dalam menilai anggota kelompok etniknya dan kelompok etnik lain.
Seorang anggota kelompok etnik akan selalu berusaha berperilaku sesuai dengan
nilai standar yang menjadi identitas kelompok etniknya. Ia akan selalu berusaha
untuk menghindari perilaku yang dianggap menyimpang, sebab kuatir
perilakunya akan merusak citra identitas yang dibangun bersama. Apabila
seseorang melakukan penyimpangan atau melanggar nilai-nilai yang dipedomani
bersama oleh anggota etnik, maka ia akan mendapatkan hukuman yang
diterimanya tidak saja dari anggota kelompok etniknya tetapi juga dari
kelompok etnik lain.
Lantas apa yang membedakan satu etnik dengan etnik lainya jika batasan
dan ciri ditentukan oleh etnik itu sendiri, serta bagaimana cara melihat
perbedaan tersebut. Menurut Barth cara melihat dan membedakan satu etnik
dengan etnik lainnya bergantung pada pengakuan yang dilakukan oleh
seseorang, ia termasuk dalam kelompok etnik yang mana. Pengakuan dalam hal
ini tidak hanya sekedar pengucapan namun lebih kepada adanya sebuah
penegasan yang dilakukan lewat prilaku dan pola interaksi yang dilakukan
dalam setiap kehidupannya, hal ini akan memunculkan ciri tersendiri dari orang
tersebut. Pengakuan ini yang kemudian akan dilihat dan dinilai oleh orang lain
antara pengkuan dengan realita ciri yang dimiliki oleh kelompok yang
diakuinya. Begitu pula seterusnya akan terlihat suatu perbedaan dengan adanya
pengakuan yang terjadi dari setiap anggota kelompok yang mengakui etniknya
berbeda dengan etnik yang lain. Dengan demikian maka letak batasan antara
satu etnik dan etnik lainnya merupakan suatu hal yang askriptif yang muncul
antara anggota dari tiap-tiap etnik. Hal ini pula yang menyebabkan sering
terjadinya pergeseran batas sehingga banyak potensi masalah yang akan terus
muncul seiring dengan semakin dinamisnya batasan yang ada antar tiap etnik.
3.3.1.Batas Etnik
Batas etnik sendiri bukanlah suatu hal yang sifatnya teritorial melainkan
hal yang lebih luas maknanya. Batas etnik merupakan tapal batas yang dimiliki
oleh setiap kelompok etnik yang memisahkan wilayah etniknya dengan dunia
luar. Batas etnik juga merupakan pagar pembatas yang memberikan proteksi dan
penegasan atas eksistensi etnik tersebut terhadap pengaruh dari dunia diluar
etniknya. Adapun bentuk proteksi itu sendiri bergantung pada eksistensi dari
masing – masing anggota kelompok etnik tersebut dalam mempertahankan
segala sesuatu yang ada di dalam wilayah yang dibatasi. Sedangkan penegasan
sendiri akan terlihat dari bagaimana proses pencitraan yang dilakukan oleh
anggota kelompok etnik tersebut dalam mencitrakan diri dan kelompok
etniknya. Hal ini selaras dengan pendapat Fredrik barth dalam bukunya
“kelompok etnik dan batasannya” , barth yang menyatakan bahwasanya batas
etnik bukanlah suatu hal yang hanya mengacu pada sifat demografi melainkan
kelompok etnik yang ditekankan kepada batas-batas yang sifatnya sosial,
walaupun tidak menutup pula untuk mengkaitkannya dengan batas wilayah[26
Batas ini muncul ketika dalam interaksi sebuah kelompok etnik ingin
mempertahankan identitasnya, sehingga memerlukan batas dimana
batas-batas tersebut berfungsi untuk membuat kriteria bagi penentuan keanggotaan
seseorang atau kelompok dalam kelompok etniknya. Jadi kelompok etnik bukan
semata-mata ditentukan oleh wilayah yang menjadi posisinya, tetapi oleh
berbagai macam cara yang digunakan untuk mempertahankannya, dan dilakukan
dengan cara pengungkapan dan pengukuhan yang sifatnya terus-menerus, dan
dapat dipelajari, berbentuk semacam nilai atau norma yang menjadi aturan
kesepakatan yang diakui dan dilaksanakan bersama anggota kelompok etnik
tersebut. Usaha pelestarian batas etnik ada dalam situasi kontak sosial diantara
orang-orang yang mempunyai budaya yang berbeda karena kelompok etnik yang
dikenal sebagai unit kebudayaan memperlihatkan perilaku yang berbeda
sehingga menimbulkan suatu perbedaan budaya. Dalam situasi kontak sosial
tersebut, diharapkan perbedaan-perbedaan budaya itu dapat dikurangi karena
interaksi memerlukan kesatuan tanda dan nilai, atau budaya umum yang menjadi
kesepakatan bersama diantara mereka. Sehingga kemudian selain
kelompok-kelompok etnik tersebut menetapkan kriteria untuk mengidentifikasikan
batas-batas etnik, dalam interaksi terbentuk suatu struktur yang juga menetapkan
perbedaan-perbedaan budaya. Menurut Barth, sifat tatanan struktur ini haruslah
bersifat umum bagi semua hubungan etnik, dan merupakan seperangkat aturan
yang sistematis untuk mengatur kontak sosial antar etnik. Pada akhirnya struktur ]
.
[26]
interaksi yang ada dalam hubungan etnik akan menghasilkan suatu pola
hubungan antar etnik yang bersifat mapan atau stabil. Struktur interaksi diartikan
Barth sebagai perangkat ketentuan yang mengatur cara berhubungan dan
memungkinkan adanya hubungan di beberapa bidang kegiatan, serta perangkat
ketentuan tentang situasi sosial yang melarang adanya interaksi antar etnik di
sektor lain. Semua kondisi ini akan mencegah terjadinya konfrontasi dan
modifikasi budaya yang telah ada.
3.3.2. Identitas Etnik
Isajiw (1999) menjelaskan bahwa identitas etnik meliputi dua aspek yaitu:
Aspek internal identitas etnik merujuk pada citra (images), ide (ideas), sikap
(attitudes), dan perasaan (feeling) yang kemudian dibagi dalam empat dimensi
yaitu affective (afektif), Fiducial (kepercayaan), cognitive (kognitif), moral
(moral). Aspek eksternal ditunjukkan oleh perilaku yang dapat diamati
(observable behaviours) yang meliputi: logat (dialek) bahasa, praktek tradisi
etnik, keikutsertaan dalam jaringan kerja etnik tersebut seperti keluarga dan
persahabatan terlibat dalam institusi.Konsekuensi dari identitas etnik adalah
sikap etnosentrisme. Etnosentrisme adalah semacam paham yang menganggap
kebudayaan sendiri lebih baik daripada kebudayaan orang lain atau kelompok
lain (luar).
Liliweri (2005, h.236), konflik yang disertai kekerasan yang melibatkan
etnik harus dipandang dari kacamata yang lebih luas. Konflik etnik yang diawali
oleh prasangka, stereotipe, jarak sosial, atau diskriminasi harus dimengerti
hubungan antara identitas etnik dengan prasangka (dalam Liliweri, 2005, h.203)
salah satunya adalah Zastrow mengemukakan bahwa prasangka salah satunya
disebabkan oleh adanya proyeksi atau upaya mempertahankan ciri kelompok
etnik/ras secara berlebihan.Gundykunst menambahkan bahwa prasangka
bersumber dari timbulnya kesadaran terhadap sasaran prasangka (ras atau etnik
lain) yaitu kesadaran bahwa (1) mereka (ras/etnik) adalah kelompok lain yang
berbeda latar belakang kebudayaan serta mental (kesadaran “kami” versus
“mereka”); (2) kelompok etnik/ras lain tidak mampu beradaptasi; (3) kelompok
etnik/ras lain selalu terlibat dalam tindakan negatif (penganiayaan, kriminalitas);
dan (4) kehadiran kelompok etnik/ras lain dapat mengancam stabilitas sosial dan
ekonomi. Selanjutnya, Johnson mengemukakan bahwa prasangka disebabkan
oleh stereotipe antar etnik dan perasaan superior kelompok etnik atau ras yang
menjadikan etnik atau ras lain inferior.
Jadi dapat disimpulkan bahwa identitas etnik sebagai perasaan yang
didasarkan pada kesamaan sejarah, budaya, nilai, dan ras mengarah pada
bagaimana meletakkan individu-individu dalam kelompok sendiri, kemudian
memandang kelompok sendiri berbeda dengan kelompok lain. Perbedaan ini
menyebabkan timbulnya jarak antara kelompok etnik satu dengan yang lain
karena masing-masing kelompok memandang kelompok etnik sendiri berbeda
dengan kelompok etnik lain. Perbedaan tersebut dapat berkembang menjadi
sikap etnosentrisme yaitu sikap yang menganggap kebudayaan sendiri lebih
baik/ lebih superior daripada kebudayaan orang lain atau kelompok lain.
Etnosentrisme adalah konsekuensi dari identitas etnik. Sikap etnosentrisme
stereotipe, jarak sosial, dan diskriminasi kepada individu atau kelompok etnik
lain. Semakin kuat identitas suatu etnik akan diikuti oleh sikap etnosentrisme
yang dapat menyebabkan munculnya prasangka antara etnik yang satu terhadap
etnik yang lain.
Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat dipahami bahwasanya
identitas etnik akan terbentuk apabila adanya persamaan antara satu individu
dengan individu lainnya, dimana persamaan – persamaan tersebut tidak akan
pernah ada tanpa adanya interaksi antar individu. Sama halnya dengan
persamaaan yang memunculkan identitas etnik maka begitu pula dengan hal
yang membedakan antar identitas etnik yang juga hanya akan diperoleh melalui
interaksi, baik antar individu ataupun interaksi antar etnik.
3.3.3.Interaksi Antar Etnik
Interaksimerupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan
yang berdasarkan pada danyang berlaku dan diterapkan di
dalamdanyang berlaku, makaitu
sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada
dapat dilakukan dengan baik. Namun jika tidak adanya kesadaran atas pribadi
masing-masing, maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan
yang diharapkan.
Dalam konteks interaksi antar etnik nilai dan norma yang menjadi acuan
penting dalam interaksi, diperoleh karena adanya persamaan.
Persamaan-persamaan ini yang kemudian memunculkan hal yang dijadikan acuan dalam
yang muncul karena didasari persamaan maka tidak akan bisa dikatakan sebagai
nilai dan norma yang dijadikan acuan dalam menilai lagi jika berada diluar
batas etnik tersebut, hal ini disebabkan adanya perbedaan antara hal yang berada
dalam wilayah etnik dengan hal yang berada diluar wilayah etnik tersebut. Oleh
karena itu perbatasan antara persamaan dan perbedaan ini yang kemudian
memunculkan hal yang disebut dengan etnosentrisme. Etnosentrisme sendiri
merupakan sisi dalam wilayah etnik sedangkan stereotipe merupakan sisi luar
dari wilayah etnik tersebut.
Apabila suatu kelompok etnik ataupun individu dari kelompok etnik
tersebut melakukan interaksi dengan hal yang berada diluar wilayah etniknya
maka hal ini yang kemudian memunculkan suatu konsekuensi logis yang
dinamakan prasangka. Prasangka ini yang kemudian dapat memicu terjadinya
konflik. Dimana konflik itu sendiri didasari oleh perbedaan antara etnik ataupun
individu tersebut dengan etnik ataupun individu lainnya. Oleh karena itu
Menurut
merupakan kunci dari semua kehidupan sosial tanpa adanya komunikasi ataupun
interaksi maka tidak mungkin ada kehidupan bersama beliau juga menyatakan
bahwa interaksi hanya dapat terbentuk apabila memiliki dua syarat, yakni harus
ada komunikasi dan kontak sosial.
a. Kontak Sosial
Kontak sosial secara harfiah berasal dari kata “kontak”
berasal dari
menyentuh. Dalam pengertian sosiologi, secara definitif kontak sosial
tidak selalu terjadi melalui interaksi atau hubungan fisik, sebab orang bisa
melakukan kontak sosial dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, misalnya
bicara melalui telepon, radio, atau surat elektronik. Oleh karena itu,
hubungan fisik tidak menjadi syarat utama terjadinya kontak. Kontak
sosial memiliki sifat-sifat berikut, kontak sosial dapat bersifat positif atau
negatif. Kontak sosial positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan
kontak sosial negatif mengarah pada suatu pertentangan atau konflik.
Terakhir kontak sosial dapat bersifat primer atau sekunder. kontak sosial
primer terjadi apabila para peserta interaksi bertemu muka secara
langsung. Sementara itu, kontak sekunder terjadi apabila interaksi
berlangsung melalui suatu perantara.
b. Komunikasi
Komunikasi, hal ini merupakan syarat selanjutnya agar terjadinya
interaksi. Hal terpenting dalam komunikasi yaitu adanya kegiatan saling
menafsirkan perilaku (pembicaraan, gerakan-gerakan fisik, atau sikap) dan
perasaan-perasaan yang disampaikan. Ada lima unsur pokok dalam
komunikasi yaitu sebagai berikut:
1. Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan, perasaan, atau
pikiran kepada pihak lain.
2. Komunikan, yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan,
3. Pesan, yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator. Pesan dapat
berupa informasi, instruksi, dan perasaan.
4. Media, yaitu alat untuk menyampaikan pesan. Media komunikasi dapat
berupa lisan, tulisan, gambar, dan film.
5. Efek, yaitu perubahan yang diharapkan terjadi pada komunikan,
setelah mendapatkan pesan dari komunikator.
Berdasarkan atas lima unsur inilah kemudian terjadilah proses
komunikasi, yang didalam setiap prosesnya tedapat tiga tahapan penting. Ketiga
tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Encoding, pada tahap ini, gagasan atau program yang akan
dikomunikasikan diwujudkan dalam kalimat atau gambar, dan dalam
tahap ini pula komunikator harus memilih kata, istilah, kalimat dan
gambar yang mudah dipahami oleh komunikan. komunikator juga harus
menghindari penggunaan kode-kode yang membingungkan komunikan.
2. Penyampaian, dimana pada tahap ini istilah atau gagasan yang sudah
diwujudkan dalam bentuk kalimat dan gambar disampaikan.
Penyampaian dapat berupa lisan, tulisan, dan gabungan dari keduanya.
3. Decoding, tahap ini merupakan tahap penting terakhir dalam proses
komunikasi, dimana pada tahap ini dilakukanlah proses mencerna dan
memahami kalimat serta gambar yang diterima menurut pengalaman
yang dimiliki.
Oleh karena itu berdasarkan uraian mengenai interaksi dan syarat
syarat saja interaksi dapat terjadi, namun adanya faktor yang menjadi latar
belakang terjadinya interaksi barulah interaksi dapat terjadi. Adapun faktor
penyebab terjadinya interaksi adalah:
1. atau meniru, imitasi atau meniru adalah suatu
prosesuntuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang
dilakukan oleh model dengan melibatkan alatsebagai
penerima rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk
mengolah dari rangsang dengan kemampuan aksi untuk
melakukan gerakan
tahap tinggi karena tidak hanya melibatkan bahasa namun
juga pemahaman terhadap pemikiran orang lain. Imitasi saat ini
dipelajari dari berbagai sudut pandang ilmu
seperti
hingga kepada studi mengenai hewan (animal
study),dan
dengan fungsipada pembelajaran terutama pada anak,
maupun kemampuan manusia untuk berinteraksi secara sosial sampai
dengan penurunan budaya pada generasi selanjutnya.
2. adalah pemberian tanda-tanda pada golongan
barang-barang atau sesuatu. Hal ini perlu, oleh karena tugas
identifikasi ialah membedakan suatu hal dengan hal lainnya, sehingga
tidak menimbulkan kebingungan. Dengan identifikasi barulah suatu
hal itu dapat dikenal dan diketahui masuk dalam golongan mana.
bermacam-macam antara lain dengan menggantungkan kartu
pengenal, seperti halnya orang yang akan pesawat, tasnya akan diberi
tanpa pengenal pemilik agar nanti dapat dikenali dengan mudah.
3. adalahyang
diberikan seorang individu kepada individu lain sehingga orang yang
diberimenuruti atau melaksanakan tanpa berpikir kritis dan
rasional.
4. merupakan pengaruh,yang
diberikan antar
diberi
secara kritis,dan penuh rasa tanggung jawab .
biasanya diberikan oleh orang yang memiliki status yang lebih tinggi
dan berwibawa, misalnya dari seorang ayah kepada anak, seorang
guru kepada siswa.
5. adalah ketertarikan seseorang kepada orang lain
hingga mampu merasakan perasaan orang lain tersebut.
6. mirip dengan
hanya mengenai permasalahan hati, keinginan dan kondisi
perasaansaja. dibarengi
dengan perasaantubuh yang sangat intens/dalam.
yang terbangun antara suatu individu atau pun kelompok etnik
dengan individu ataupun kelompok etnik diluar etniknya maka hal ini
menentukan struktur nilai dan norma baru yang muncul, dimana interaksi yang
keduanya. interaksi ini pula yang kemudian akan menciptakan
merupakan hal mutlak yang menjadi suatu konsekuensi dari sebuah interaksi
yang terbangun, akan tetapi perkembangan sendiri masih belum pasti, sebab hal
ini masih bergantung pada tahapan ataupun tingkatan dari interaksi yang
terbangun. Tingkatan ataupun tahapan ini merupakan kunci penentu dari struktur
nilai dan norma yang nantinya akan dijadikan sebagai tolak ukur dalam
menentukn batasan antar tiap tiap etnik yang berbeda. Hal ini pula yang nantinya
akan menentukan baik buruknya interaksi yang terbangun antara dua etnik yang
berbeda.
3.4.Etnik Tionghoa
Tionghoa adalah salah satuetnik yang berasal dari
atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di
Indonesia. Kata ini berasal dari kata Zhonghua dalam Bahasa Mandarin dalam
dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Tionghoa sendiri merupakan salah
satu kelompok etnik yang apabila digolongkan berdasarkan kesamaan ciri fisik
ataupun ras berasal dari golongan ras asiatic mongoloidyang merupakan sub ras
dari ras mongoloid[27
[22]
]
. Ras ini menurut Luigi Luca Cavalli-Sforza secara
teritorial ras ini berasal dari benua asia bagian utara, adapun batas teritorial
pemukiman antara ras asia tenggara dan ras asia utara ialah sungai Yangtze di
sebelah selatan Tiongkok. Namun berkat invasi dan juga migrasi dari cina utara,
maka anggota ras Asia Utara juga sudah banyak tersebar di asia tenggara.
Adapun ciri fisik wajah relative oval, bermata sipit dengan bola mata hitam
kecoklatan dan berkulit putih[28
Wujud dari perubahan dan perkembangan kelompok ras asiatic mongoloid
antara lain munculnya beragam kelompok baru didalamnya yang terus ]
.
Seiring perkembangannya golongan ras asiatic mongoloid yang mulanya
berkelompok hanya didasari atas batasan ras kemudian berkembang, karena
berdasarkan populasi yang terus berkembang yang beriringan pula dengan
perkembangan kebutuhan serta aspek lain yang saling berkaitan lantas terjadilah
migrasi yang awalnya dilatarbelakangi kebutuhan akan teritorial dalam
memenuhi kebutuhannya, kemudian berkembang seiring waktu dan
perkembangan kebutuhan itu sendiri, maka terjadilah migrasi yang didalam
prosesnya terjadi banyak interaksi baik antar sesama kelompok ras asiatic
mongoloid maupun dengan kelompok ras lainnya. Oleh karena itu dengan
adanya interaksi maka terdapat pula beragam nilai dan norma yang mana hal ini
juga turut berubah dan berkembang seiring perkembangan kelompok itu sendiri.
perubahan dan perkembangan baik secara teritorial, struktur nilai, norma serta
aturan yang mengikat didalam kelompok, kemudian memunculkan sebuah
batasan baru didalam kelompok itu sendiri yang memicu munculnya
pengelompokan baru. Meskipun pada dasarnya berasal dari satu kelompok yang
didasari ciri fisik sama namun berbeda dalam hal teritorial, cara pandang
mengenai struktur nilai, norma serta aturan yang mengikat individu didalam
kelompok tersebut.
[28]
berkembang seiring berkembangnya jumlah populasi kelompok itu sendiri.
karena banyaknya pengelompokan yang terjadi maka kelompok - kelompok
tersebut mengalami penggolongan guna membedakan satu kelompok dengan
kelompok lainnya yang ada di dalam kelompok ras asiatic mongoloid. Adapun
penggolongan tersebut didasari atas jumlah populasi yang paling mayoritas dari
kelompok - kelompok yang ada karena banyaknya kelompok yang terdapat pada
ras asiatic mongoloid. Terdapat lima kelompok paling mayoritas secara jumlah
populasi, yakni(汉族 : Hàn Zú), Suku Ma满族 : Mǎn
Zú)(回族 : Huí Zú), Suku Menggu /(蒙古族: Měnggǔ
Zú), Suku Zang /(藏族 : Zàng Zú) [29
3.4.1.Etnik Tionghoa Di Indonesia
] .
Meskipun ada yang menyebutkan bahwa keturunan Tionghoa sudah
mengenal kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia) sejak sebelum Masehi,
namun belum ada keterangan lebih lanjut tentang daerah Nusantara yang mana,
berapa populasi Tionghoa itu, apa kegiatan mereka, dan bagaimana bentuk
hubungan mereka dengan daerah itu. Setelah zaman Masehi, beberapa catatan
informasi dari Tiongkok menyebutkan tentang perjalanan beberapa tokoh agama
Budha dari daratan Tiongkok ke India, dan singgah di berbagai tempat di
Nusantara. Para biksu ini menulis tentang daerah dan masyarakat yang mereka
kunjungi. Mereka antara lain adalah Fa Hsien yang singgah di sebuah daerah
yang disebut Jawa, dalam perjalanannya antara Tiongkok dan India, pada tahun
413 M (Masehi). Biksu Budha Hwi Ning singgah di sebuah daerah yang disebut
Holing ( Jawa utara ) pada tahun 664 M( Masehi ), dan Pendeta I Tsing singgah
di Sriwijaya ( Sekarang Sumatera Selatan ) pada tahun 671 M. Sejak saat itu
nampaknya kepulauan Nusantara mulai dikenal orang – orang Tiongkok,
khususnya para penguasanya. Beberapa peristiwa yang terjadi kemudian
memberi tanda tentang adanya hubungan diplomatik antara beberapa kerajaan di
Nusantara dengan penguasa daratan Tiongkok. Dikatakan bahwa mulai tahun
904, kerajaan Sriwijaya di pantai timur Sumatera mengirim utusan diplomatik
dan dagang secara teratur ke Tiongkok. Pada sekitar tahun 1200-an, tercatat
dalam kitab Chan Ju Kua tentang adanya dua kerajaan kuat di Nusantara, yaitu
Sriwijaya di Sumatera dan Kediri di Jawa.
Pada tahun 1289, kaisar Tiongkok Kubilai Khan mengirim seorang
utusan, yaitu Meng Ki, ke Singosari di Jawa Timur, meminta agar Singosari
mengakui kedaulatan kerajaan Tiongkok atas daerah mereka. Utusan tersebut
ternyata telah dipermalukan oleh Raja Singosari. Atas penghinaan ini, katanya,
Kubilai Khan mengirimkan 10,000 serdadu untuk menghukum Singosari pada
tahun 1292. Sebagaimana diketahui, ekspedisi ini menemui kegagalan karena
dikalahkan oleh menantu Raja Singosari, Raden Wijaya. Sebagian dari tentara
Kubilai Khan yang kocar-kacir itu katanya tertinggal di Jawa dan menetap
menjadi penduduk setempat. Semua kejadian tentang hubungan antara Tiongkok
dengan Nusantara seperti yang diceritakan di atas tidak menyebutkan tentang
sudah adanya komunitas imigran Tiongkok di suatu tempat tertentu di