• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas Sosial Etnik Tionghoa Golongan Pernakan di Kota Medan (Studi Kasus Autobiografi KeluargaLiem Ki Lio)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identitas Sosial Etnik Tionghoa Golongan Pernakan di Kota Medan (Studi Kasus Autobiografi KeluargaLiem Ki Lio)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penelitian ini adalah penelitian mengenai Identitas etnik Tionghoa

Golongan Peranakan “orang Cina” begitu masyarakat menyebutnya, atau yang

lebih identik dengan etnik Tionghoa. Etnik ini merupakan salah satu dari

beragam etnik yang dianggap “pendatang” dan merupakan salah satu kelompok

etnik “pendatang” yang terbesar (Koentjaraningrat:1986), dengan beragam

penggolongan dan permasalahan yang terdapat didalamnya. Penggolongan

tersebut antara lain terdiri atas “Totok” dan “Peranakan”(Suryadinata 1997:9).

Penelitian ini mengkaji tentang Indentitas etnik Tionghoa Golongan Peranakan

di Kota Medan. Berdasarkan Volkstelling

populasi etnik Tionghoa mencapai (35,63%) dari seluruh penduduk kota Medan

pada tahun 1930. Tahun 1983 etnik ini berkisar antara 12,8%. Sensus penduduk

tahun 2000 jumlah etnik ini tidak lebih dari 10,65% dari jumlah keseluruhan

populasi penduduk kota Medan [1

Penulis tertarik melakukan penelitian mengenai identitas etnik Tionghoa

golongan peranakan di kota Medan, karena sebagai salah seorang penduduk

yang lahir dan besar di kota ini maka penulis pun beranggapan bahwa kota

Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia merupakan salah satu kota

]

.Penurunan jumlah yang cukup drastis bagi

kelompok etnik ini, Padahal disisi lain eksistensi mereka semakin kuat dalam

bidang ekonomi.

[1]

(2)

dengan tingkat kepadatan dan tingkat heterogenitas penduduk yang tinggi,

tentunya menjadikan kota ini sebagai salah satu melting pot bagi

keanekaragaman (diversitas) budaya. Hal ini kemudian dianggap sebagai salah

satu faktor yang berpotensi memunculkan beragam permasalahan

kependudukan. Adapun salah satu permasalahannya yakni permasalahan

identitas. Penurunan jumlah penduduk yang terjadi pada kalangan etnik

Tionghoa berdasarkan sensus tahun 2000 memunculkan beragam pertanyaan,

salah satunya pertanyaan mengenai faktor penyebab turunnya jumlah penduduk

dari kelompok etnik Tionghoa, padahal secara keseluruhan penduduk kota

Medan memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk hampir 1,49% pertahun[2

[2]

]

.

Sensus penduduk tahun 2000 pun kemudian memberikan penjelasan, karena

pada sensus inilah untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai

asal usul etnik asal mereka. Hanya 10,65% dari kesuluruhan populasi penduduk

kota medan yang mengaku berasal dari etnik Tionghoa. Hal inilah yang

kemudian menjelaskan penyebab penurunan jumlah penduduk yang terjadi pada

kalangan etnik Tionghoa. suatu pengakuan yang dilakukan individu atau

kelompok didalam suatu masyarakat berdasarkan atas ciri yang dimilikinya

secara menyeluruh, serta adanya pengakuan oleh individu atau kelompok

lainnya dalam masyarakat tersebut(Parsudi Suparlan. 1999).Hal ini yang

kemudian memunculkan berbagai spekulasi salah satu diantaranya, yakni

spekulasi mengenai hasil sensus itu sendiri, khususnya yang terkait dengan

pertanyaan mengenai asal usul etnik mereka. Hal ini pun juga semakin

mempertegas pentingnya permasalahan identitas ini.

(3)

Etnik Tionghoa sendiri pertama kali ada di kota Medan sejak zaman

kolonial dimana pada saat itu etnik Tionghoa dijadikan sebagai pekerja di

perkebunan tembakau milik Belanda, akan tetapi karena biaya untuk

mendatangkan etnik Tionghoa begitu besar maka peran etnik Tionghoa di masa

itu pun berubah peran menjadi pedagang perantara bagi pemerintahan kolonial

tidak lagi menjadi pekerja di perkebunan(suryadinata1994). Peran baru ini pun

memberikan etnik Tionghoa sedikit keuntungan, mereka menjadi semakin

berkembang dalam hal perekonomian. Perkembangan ekonomi inilah yang

kemudian dianggap sebagai ancaman, hingga hal ini menjadi awal munculnya

gagasan kolonial Belanda dalam membagi masyarakat kedalam beberapa

kelompok masyarakat antara lain:

1. Golongan Eropa: Golongan ini merupakan golongan yang berada pada

kelas sosial tertinggi.

2. Golongan Indo: Golongan ini merupakan golongan yang merupakan

anak keturunan bangsa eropa, yang posisi kelasnya berada pada kelas

sosial yang sama seperti Golongan eropa.

3. Golongan Timur Asing: Golongan ini merupakan golongan pendatang

yang berasal dari daerah di benua asia. Dan kelas sosial masyarakatnya

berada pada kelas sosial mayarakat nomor II. Berada dibawah

masyarakat golongan eropa dan indo.

4. Golongan Bumiputera: Golongan ini merupakan golongan masyarakat

pribumi asli.Masyarkat ini di golongkan kedalam masyarkat kelas sosial

(4)

prasangka,stereotip,jarak sosial dan bahkan diskriminasi era kolonial diantara

kelompok didalam masyarakat(J. Jones,1972),merupakan sebuah bentuk rasisme

yang dimunculkan kolonial Belanda pada masa itu melalui pembagian golongan.

Pasca berakhirnya era kolonial sesudah Indonesia merdeka sistem

tersebut berganti. Dimana segala aturan yang disusun berdasarkan versi Belanda

sudah berakhir. Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, dasar negara Indonesia

adalah Pancasila dengan simbol kebanggaan yakni Bhinneka Tunggal Ika, yang

mana hal ini menjamin segala hak semua kelompok etnik untuk hidup

berdampingan dengan adanya pengakuan negara terhadap seluruh warga

negaranya. Oleh karena itulah pasca kemerdekaan banyak terjadi Asimilasi antar

golongan masyarakat. Sesuai dengan simbol dan dasar negara Indonesia maka

tidak ada lagi pembagian golongan dan kelas sosial seperti zaman kolonial.

Akan tetapi faktanya dasar dan simbol negara ternyata tidak cukup untuk

membendung segala bentuk diskriminasi dan rasisme yang terjadi bagi etnik

Tionghoa, karena adanya pembagian kelas dan golongan yang merupakan

peninggalan era kolonial. Di kota Medan sendiri sikap antipati terhadap

golongan ini pasca kemerdekaan dimulai ketika “Poh An Tui”(Pasukan

keamanan lingkungan cina),yang merupakan sebuah kelompok bentukan dari

NICA dan sekutu. Saat itu poh an tui memiliki misi untuk kembali menginvasi

Indonesia. Sikap antipati ini kemudian berlanjut dan meningkat dengan

munculnya beragam tindakan diskriminasi terhadap etnik ini.

Kebencian dan sikap antipati yang berujung pada diskriminasi ternyata

(5)

kota di Indonesia. Oleh karena itu untuk menjaga stabilitas keamanan

pemerintah pun mengambil kebijakan dengan mengeluarkan PP (Peraturan

Pemerintah) No.10 Tahun 1959 yang isinya melarang etnik Tionghoa untuk

memiliki segala bentuk usaha mulai dari tingkatan kabupaten/kota hingga

tingkatan dibawahnya[3

[3]

]

. kebijakan ini kemudian berbuah pada semakin

meruncingnya hubungan diplomatik dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok).

Meruncingnya hubungan itu terlihat dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah Tiongkok untuk memulangkan etnis Tionghoa yang berada di

Indonesia khususnya kota Medan sendiri. Kebijakan permerintah Tiongkok ini

kemudian ditolak oleh banyak kalangan termasuk dari etnik itu sendiri, dengan

alasan bahwa etnik Tionghoa juga merupakan bagian dari NKRI sebab tidak

sedikit dari etnik ini juga turut membantu Indonesia dalam meraih kemerdakaan

serta menentang adanya poh an tui itu sendiri. Alasan inilah mereka pun

menuntut hak yang sama dimata pemerintahan pada saat itu. Akan tetapi

pemerintah pada masa itu pun tidak bergeming dengan keputusannya yang

kemudian berujung pada pemulangan 102.000 Etnik Tionghoa ke RRT. Untuk

menghindari pemulangan ini maka tidak sedikit dari etnik Tionghoa dikota

Medan yang tidak ingin dipulangkan menghindarinya dengan beragam cara

salah satunya berasimilasi dengan menikah dengan etnik pribumi. Permasalahan

Identitas ini berlanjut ketika masa pemeritahan Orde baru dimana ada istilah

SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) bagi masyarakat

etnik Tionghoa. Permasalahan etnik ini pun bertambah pelik dengan adanya

Instruksi Presiden Indonesia No.14 Tahun 1967 yang intinya melakukan

(6)

penghapusan terhadap aspek sosial budaya bagi masyarakat etnik ini[4

1.2.Tinjauan pustaka

]

. Hal ini

kemudian menjadikan etnik Tionghoa yang pada saat itu kebanyakan berasal

dari golongan peranakan sebagai warga negara asing dan kedudukannya berada

di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak

asasi mereka.

Beragam permasalahan, mulai kebijakan yang mengekang hak asasi

mereka, hingga berujung pada beragam tindakan diskriminasi telah dihadapi

oleh masyarakat etnik Tionghoa golongan peranakan dalam memperoleh dan

mempertahankan identitasnya sebagai bagian dari etnik Tionghoa. Hal-Hal

inilah yang ternyata menjadi alasan bagi sebagian dari mereka enggan mengakui

dan mengatakan asal etnik mereka. Hasilnya sensus penduduk pada tahun 2000

menjadi jawaban mengapa banyak dari mereka enggan menjawab dan mengakui

asal etnik mereka. Permasalahan mengenai identitas diri ini menjadi lebih

penting lagi, karena bagi mereka yang mau menjawab dan mengakui asal

etniknya ternyata sulit bagi mereka mendeskripsikan identitas dirinya. Hal ini

merupakan buah dari penghapusan aspek nilai budaya Tionghoa yang dilakukan

mulai dari pasca kemerdekaan hingga masa Orde baru . Maka tidak sedikit dari

mereka yang sudah lupa bahkan tidak tahu seperti apa nilai sosial budaya dari

etnis Tionghoa itu sendiri, bahkan tidak jarang ditemukan ada dari mereka yang

sudah tidak mampu menggunakan bahasa daerah asal Tionghoanya.

[4]

(7)

Orang Cina begitu masyarakat menyebutnya, atau yang lebih identik

dengan etnik Tionghoa. Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat

sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia. Kata ini berasal dari kata

Zhonghua dalam Bahasa Mandarin dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai

Tionghoa. Etnik Tionghoa Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah

Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam

bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: orang Tang). Hal ini sesuai

dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia khususnya kota Medan

mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang

Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han

(Hanzi: hanyu pinyin: hanren, orang Han)[5

Identitas menurut KBBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) memiliki arti

ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri[

]

.

6]

. menurut

Identitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga,

gender, budaya, etnik dan proses sosialisasi[7

[5]

]

. Identitas pada dasarnya merujuk

pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita.

Berdasarkan definisi tersebut mengenai identitas maka dapat dimaknai bahwa

identitas adalah refleksi atau cerminan diri dari seorang individu, yang

membedakan individu tersebut dengan individu lainnya. Akan tetapi kejelasan

mengenai batasan yang digunakan sebagai dasar dalam membedakan satu

identitas dengan identitas lainnya, ternyata masih belum memiliki bentuk pasti.

[6]

[7]

(8)

Sehingga hal ini yang kemudian menyebabkan timbulnya kesulitan dalam proses

identifikasi guna membedakan dua identitas yang memiliki banyak persamaan.

Kelompok Etnik secara harfiah berasal dari dua kata yakni kelompok dan

etnik, yang mana menurut KBBI, kelompok sendiri memiliki arti

kumpulan;orang/hewan dan lain lain[8] dan Etnik berarti sekelompok orang yang

memiliki pertalian,persamaan dan saling berhubungan secara sosial didalam

suatu sistem sosial[9]. Sedangkan secara epistemologi etnik memiliki definisi penggolongan social secara askriptif yang berkenaan pada asal usul mendasar

atas seseorang yang dimunculkan melalui proses interaksi[10

Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa

tindakan yang berdasarkan pada

]

. Berdasarkan

definisi diatas maka didapat kesimpulan mengenai kelompok etnik bahwasanya

identitas dari suatu kelompok etnik tidak akan diketahui jika kelompok etnik

tersebut tidak berinteraksi dengan etnik lainnya. Menurut Barth hal penting

mengenai etnik dan kelompok etnik sendiri yaitu, etnis baru akan ada dalam

masyarakat bila identitas tersebut diakui oleh anggota etnik yang bersangkutan,

maupun anggota etnik lainnya(Barth 1969;11). Dalam konteks penelitian ini,

identitas etnis tercipta sebagai sarana untuk membedakan anggota komunitas

dengan non-anggota(Barth 1969:11).

(9)

nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik. Namun jika tidak adanya

kesadaran atas pribadi masing-masing, maka proses sosial itu sendiri tidak dapat

berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di dalam kehidupan sehari – hari

tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan antara satu dengan yang

lainnya, ia akan selalu membutuhkan individu ataupun kelompok lain untuk

dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran[11]. Menurut

kehidupan sosial. Dengan tidak adanya

sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Beliau juga menyatakan

bahwa interaksi sosial hanya dapat terbentuk apabila memiliki dua syarat, yakni

harus ada komunikasi dan kontak sosial.

Pernikahan adalah pelebaran tali ikatan keluarga antara dua kelompok himpunan

yang bukan saudara atau sebaliknya, yang juga merupakan pengukuhan keanggotaan

didalam satu kelompok endogam bersama[12]. Sedangkan menurut undang undang No.1

tahun 1974, pernikahan adalah ikatan bathin antara laki laki dan perempuan sebagai

suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[13

[11]

]

. Definisi selanjutnya mengenai pernikahan

yaitu, ikatan atau komitmen emosial dan legal antaran seorang pria dengan seorang

wanita yang terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan aspek ekonomi, sosial,

tanggung jawab pasangan, kedekatan fisik serta hubungan seksual(Olson &

Defrein,2006;seccombe & warner,2004). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka

dapat dimaknai bahwa pernikahan pada dasarnya merupakan sebuah ikatan yang

bersifat kontrol sosial antara pria dan wanita, yang didalamnya diatur mengenai hak,dan

[12]

. Gertz,hildred.keluarga jawa.jakarta:graffiti press,1990 [13]

(10)

kewajiban, kebersamaan emosional, juga aktivitas seksual, ekonomi dengan tujuan

untuk membentuk keluarga. Hal ini kemudian menegaskan pernikahan memiliki tujuan,

salah satunya adalah membentuk keluarga.

Keluarga adalah kelompok sosial pertama dalam kehidupan seorang manusia,

tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai mahkluk sosial didalam hubungan

interaksi dengan kelompoknnya[14

1.3. Perumusan Masalah

]

. Keluarga merupakan kelompok primer

pembentukan norma sosial, internalisasi norma, sehingga terbentuknya frame of

reference, sense of belongingness, dan lain sebagainya. Dalam keluarga interaksi sosial

didasari oleh simpati, karena pertama sekali seorang manusia akan belajar

memperhatikan keinginan keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bantu membantu,

dengan kata lain Dalam keluarga lah seorang manusia memiliki peranan sebagai

mahkluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam

pergaulannya dengan orang lain.Pengalaman-pengalamannya dalam interaksi sosial

dalam keluarga turut menjadi penentu akan cara-cara tingkah lakunya terhadap orang

lain dalam interaksi sosial diluar keluarganya, didalam masyarakat pada umumnya. Jadi

dapat dikatakan bahwa keloarga merupakan kerangka sosial pertama yang membentuk

manusia sebagai mahkluk sosial. Keluarga juga memiliki struktur yang menjadikannya

sebagai sebuah keluarga yang utuh, yakni adanya ayah, adanya ibu, disamping adanya

anak. Apabila tidak ada ayahnya atau ibunya atau keduanya, maka stuktur keluarga

sudah tidak utuh lagi.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka

yang menjadi pokok permaslahan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam

bentuk pertanyaan sebagai berikut:

[14]

(11)

1. Mengapa muncul identitas golongan peranakan dikalangan etnik

Tionghoa?.

2. Mengapa etnik Tionghoa golongan peranakan enggan mengakui bahkan

ada yang tidak tahu asal usul etniknya?.

3. Bagaimana proses identifikasi yang dilakukan etnik Tionghoa golongan

peranakan ditengah interaksi sosialnya?.

1.4. Tujuan dan Manfaat penelitian

Tujuanpenelitian ini adalah untuk mengetahui pentingnya identitas bagi

golongan peranakan dalam kehidupan sosial ditengah kemajemukan masyarakat

kota Medan. Mengetahui asal usul munculnya etnik golongan peranakan dan

bagaimana proses identifikasi yang dilakukan oleh etnik golongan peranakan

serta aspek apa yang menjadi penyebab etnik golongan peranakan enggan

mengakui, bahkan tidak tahu asal usul etniknya.

Manfaat praktis penelitian ini dibuat agar memunculkan perhatian dan

kesadaran dari pemerintah, masyarakat, dan pembaca seberapa penting proses

identifikasi dikalangan masyarakat etnik Tionghoa golongan peranakan di kota

Medan dan apa yang menjadi kesulitan bagi masyarakat golongan ini dalam

proses tersebut. Karena proses identifikasi yang dilakukan oleh masyarakat etnik

Tionghoa golongan peranakan merupakan suatu proses perjuangan dalam

memperoleh identitas guna mempertahankan eksistensi budaya mereka sebagai

bagian dari etnik Tionghoa yang juga merupakan bagian dari kekayaan budaya

(12)

manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah wawasan

pengetahuan tentang etnik Tionghoa golongan peranakan, serta menjadi bahan

bacaan yang bermafaat dan bahan studi kepustakaan bagi ilmu-ilmu pendidikan

yang bersangkutan dengan penelitian ini. Dengan demikian Pemerintah,

masyarakat, dan pembaca dapat mengetahui bahwa keberadaan etnik ini penting

sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, hingga nantinya akan muncul

sikap toleransi dan saling menghargai yang berbuah pada keharmonisan hidup di

tengah kemajemukan masyarakat.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Teknik Pengumpulan data

Dunia antropologi mempunyai pengalaman yang lama dalam

menghadapi keaneka ragaman (diversitas) yang besar antara beribu-ribu

kebudayaan dalam masyarakat kecil yang tersebar . Hal ini menyebabkan

berkembangnya berbagai metode mengumpulkan bahan yang mengkhusus ke

dalam, yang kualitatif, serta berbagai metode pengolahan dan analisa yang

bersifat membandingkan, yang komparatif (Koentjaraningrat, 2002:30).

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode

autoetnografi sebagai mekanisme pengolahan data dalam penelitian ini. Menurut

(13)

sudut pandang penduduk asli, hubungan dengan kehidupan, untuk mendapatkan

pandangan mengenai dunianya. Pengumpulan data dalam penelitian ini

dikelompokan kedalam dua bagian yakni data primer dan data sekunder. Data

primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi,

wawancara serta pengalaman pribadi. Sedangkan data sekunder merupakan data

tambahan untuk menunjang data-data primer yang diperoleh dari internet, buku,

jurnal, artikel, dan sumber kepustakaan lainnya. Data primer merupakan data

utama yang diperoleh melalui teknik observasi dan wawancara.

Autoethnography sendiri merupakan salah satu jenis dari penelitian Etnografi.

Littlejohn dan Karen A. Foss menjelaskan bahwa autoetnografi berfokus pada

penelitian mengenai pengalaman hidup diri dalam rangka untuk

mempertanyakan dan membuka satu pengalaman untuk sebuah analisis

komunikatif (Littlejohn, 2009 hal 68). Autoetnografi berusaha untuk

menggambarkan dan menganalisa secara sistematis sebuah pengalaman pribadi

untuk memahami pengalaman budaya yang terjadi (Littlejohn, 2009 hal 69).

Autoetnografi dapat dikatakan sebuah refleksi diri dalam suatu konteks budaya.

Salah satu jenis dari etnografi ini secara sistematis mendeskripsikan dan

menganalisa suatu pengalaman diri yang sudah terjadi maupun sedang terjadi.

Dalam kajian ilmu komunikasi, dapat dikatakan autoetnografi merupakan sebuah

proses mem-break down pengalaman-pengalaman komunikasi (interaksi) yang

telah maupun sedang terjadi pada kehidupan diri seseorang.

(14)

Tahap observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengamatan

terlibat (observasi partisipasi) terhadap respon masyarakat. Observasi penelitian

ini dilakukan terhadap salah satu keluarga kelompok etnik Tionghoa golongan

peranakan di kota Medan Provinsi Sumatera Utara, yakni keluarga Liem Ki Lio.

Adapun alasan memilih keluarga ini karena selain sebagai bagian dari Extended

Family ( keluarga Luas ) dari Liem Ki Lio penulis juga merupakan salah satu

penduduk yang berdomisili di kota Medan, dimana kota ini merupakan salah

satu kota terbesar dengan tingkat kemajemukan dan heterogenitas masyarakat

yang tinggi, hingga menjadikan kota ini sebagai meilting pot bagi

keanekaragaman budaya yang ada di kota Medan. Oleh karena itu, khusus bagi

etnik Tionghoa sendiri sebagai salah satu etnik yang menjadi bagian dari

keanekaragaman tersebut juga terdapat keanekaragaman yakni penggolongan

yang ada di dalam etnik tersebut. Dalam hal ini peneliti ikut berpartisipasi dalam

proses identifikasi sebagai salah seorang yang juga merupakan bagian dari etnik

Tionghoa golongan peranakan. Adapun tujuan Observasi ini adalah untuk

mengetahui bagaimana proses identifikasi pada golongan peranakan masyarakat

etnik Tionghoa, serta bagaimana tanggapan atau respon masyarakat, pemerintah

dalam menyikapi proses tersebut.

1.5.3. Wawancara

Wawancara merupakan pengumpulan data dimana peneliti dan

responden hadir dalam waktu dan tempat yang sama dalam rangka memperoleh

data dan informasi yang diperlukan dalam suatu penelitian. Lazimnya dalam

(15)

2011:211). Petanyaan penulis dalam wawancara penelitian yang akan dilakukan

akan sangat berbeda bentuknya dengan pertanyaan dalam bentuk angket, karena

dalam wawancara ini peneliti yang juga merupakan salah seorang etnik

Tionghoa golongan peranakan dan responden yang sama-sama etnik Tionghoa

golongan peranakan berinteraksi secara langsung dan sama-sama aktif. Dalam

wawancara ini memilih salah satu informan yang sama-sama ikut berpartisipasi

Referensi

Dokumen terkait

Pembahasan dimulai algoritma simulasi fisika mekanika dengan materi energi, yang kemidian membahas mengenai javascript untuk melakukan proses simulais energi tersebut, dan

Penulisan ilmiah ini merupakan sebuah aplikasi multimedia mengenai game Quick shoot sederhana.Pembuatan aplikasi ini dibuat untuk menarik minat dan mencoba kemampuan para pemain

[r]

Dimana dalam pembuatan aplikasi ini penulis menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0, dengan database MS Access yang juga dijelaskan tentang rancangan database dan

Komunikasi, UIN Alauddin, Makassar, 2003)... melakukan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitiannya bahwa anak putus sekolah di Kecamatan Tamalate Kota

penulisan skripsi ini dengan judul “ HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN KESEPIAN PADA LANJUT USIA di PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI

Objek laring yang tampil berbentuk 3D terdapat teks yang menentukan bagian dari laring. Kemudian pada marker terdapat virtualbutton play dan stop, ketika menekan

Menurunnya kepatuhan pasien dislipidemia dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya komplikasi, maka perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui kepatuhan penggunaan