• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN MEDIA MAKET LANSEKAP BERKONTUR UNTUK KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA TANAH LONGSOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMANFAATAN MEDIA MAKET LANSEKAP BERKONTUR UNTUK KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA TANAH LONGSOR"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN MEDIA MAKET LANSEKAP BERKONTUR

UNTUK KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM

MENGHADAPI BENCANA TANAH LONGSOR

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Geografi

Oleh :

Gita Aprilia Hidayat NIM 3201411185

JURUSAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang pada:

Hari : Tanggal :

Penguji I

(3)
(4)
(5)

MOTTO

 Hidup bagaikan roda, jika tidak ingin selalu di bawah, maka bergeraklah untuk sampai dan bertahan di puncak tertinggi (Penulis).

 Keajaiban hanya mengikuti orang-orang yang mau berusaha keras dan pantang menyerah (Penulis).

PERSEMBAHAN

Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi ini saya persembahkan untuk,

1. Kedua orang tua yang sangat saya cintai, Bapak Rohmat dan Ibu Rusmini terima kasih atas segala doa, dukungan, motivasi, dan semangatnya selama ini. 2. Adik-adikku terkasih, Febby Desriyanti H, Moch.

Adhy Satrio H, dan Moch. Achnan H untuk segala motivasinya.

3. Nurfian Hady A, Eggy Kristianto, Saekhul Ecak, Prasetyo Hutomo dan Erwin Kharisma untuk segala bantuan dan waktunya.

(6)

Hidayat, Gita Aprilia. 2015. Pemanfaatan Media Maket Lansekap Berkontur untuk Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Tanah Longsor. Skripsi. Jurusan Geografi FIS UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG. Pembimbing : Dr. Juhadi, M.Si. 160 halaman.

Kata Kunci : Maket Lansekap Berkontur, Kesiapsiagaan, Tanah Longsor

Bencana tanah longsor merupakan kejadian yang umum terjadi di daerah berlereng terjal, struktur tanah yang labil, dan wilayah yang memiliki curah hujan tahunan tinggi seperti di Desa Wonodoyo Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Namun, kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tersebut masih rendah. Perlu adanya pembelajaran dan sosialisasi tentang bencana longsor dan kesiapsiagaannya. Salah satunya adalah pengenalan zona risiko dan kerentanan tanah longsor menggunakan media maket lansekap berkontur. Tujuan penelitian adalah untuk melakukan pembuatan media maket lansekap berkontur, mengetahui kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tanah longsor, dan mengetahui efektifitas media maket lansekap berkontur sebagai media pembelajaran kebencananan.

Responden penelitian adalah perangkat desa dan anggota karangtaruna di Desa Wonodoyo. Teknik pengumpulan data yaitu: observasi, dokumentasi, angket, dan tes. Teknik analisis menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan statistik.

Hasil penelitian menunjukkan (1) bahan utama pembuatan media maket lansekap berkontur yaitu sterefoam dan gypsum sehingga ringan dan mempersingkat waktu pengeringan. Maket dibuat sederhana, menggambarkan zonasi risiko dan kerentanan tanah longsor Kecamatan Cepogo. (2) efektifitas pemanfaatan media maket lansekap berkontur diukur dengan 4 tahap evaluasi Kirkpatrick, hasilnya bahwa tingkat kepuasan (reaction) responden kategori

“baik” 60% dan “sangat baik” 40%, tingkat pengetahuan (learning) meningkat sebesar 6,30 atau 0,18 berdasarkan uji gain termasuk dalam kategori rendah. Perubahan perilaku (behavior) sebagian besar pada kategori “sangat baik” 78%

dan “baik” 22%, sementara sikap kesiapsiagaan (result) kategori “sangat baik”

sebesar 52%, “baik” meningkat menjadi 44%, dan “cukup” menurun menjadi 4%.

(7)

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan

Media Maket Lansekap Berkontur untuk Kesiapsiagaan Masyarakat dalam

Menghadapi Bencana Tanah Longsor” dengan lancar.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi tidak lepas dari bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, maka pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih dengan tulus hati kepada :

1. Prof Dr Fathur Rokhman, M.Hum selaku Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di kampus tercinta ini.

2. Dr. Subagyo, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, atas ijin yang telah diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

3. Drs. Apik Budi Santoso, M.Si, Ketua Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan ijin penelitian sekaligus sebagai Dosen Penguji 2 yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis.

(8)

6. Ariyani Indrayati, M.Si, M.Sc selaku dosen wali yang telah memberikan saran dan masukan.

7. Seluruh dosen jurusan Geografi Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.

8. Seluruh masyarakat Desa Wonodoyo yang bersedia membantu dalam penelitian.

Kritik dan saran sangat diharapkan penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan pembaca khususnya.

Semarang, 5 Juni 2015

(9)

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iv

PERNYATAAN ... .v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

SARI ...vii

PRAKATA ...viii

DAFTAR ISI ... .x

DAFTAR TABEL ...xii

DAFTAR GAMBAR/PETA ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

BAB I PENDAHULUAN ... .1

1.1. Latar Belakang ... .1

1.2. Rumusan Masalah ... .5

1.3. Tujuan Penelitian ... .5

1.4. Manfaat Penelitian ... .5

1.5. Batasan Istilah ... .6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...10

2.1. Efektifitas ...10

2.2. Model Evaluasi Kirkpatrick ...11

2.3. Media Pembelajaran ...17

2.4. Maket ...19

(10)

2.9. Tanah Longsor ...36

2.10. Mitigasi Bencana Tanah Longsor ...39

2.11. Kerangka Berfikir...42

2.12. Batasan Operasional ...45

BAB III METODE PENELITIAN ...46

3.1. Desain Penelitian ...46

3.2. Jenis Penelitian ...47

3.3. Populasi dan Sampel ...47

3.4. Variabel Penelitian ...49

3.5. Instrumen Penelitian...50

3.6. Validitas dan Reliabilitas ...51

3.7. Tingkat Kesukaran dan Daya Beda ...54

3.8. Metode Pengumpulan Data ...56

3.9. Tahapan Penelitian ...58

3.10. Teknik Analisis Data ...59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...64

4.1. Hasil ...64

4.1.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ...64

4.1.2. Kerentanan Bencana Tanah Longsor di Kec. Cepogo ...88

4.1.3. Risiko Tanah Longsor di Kec. Cepogo...93

4.1.4. Pembuatan Media dan Desain Maket Lansekap - Berkontur ...98

4.1.5. Efektifitas Media Maket Lansekap Berkontur ... ..104

4.1.6. Kesiapsiagaan Masyarakat... ..110

4.2. Pembahasan ... ..112

4.2.1. Pemanfaatan Media Maket Lansekap Berkontur ... ..116

4.2.2. Efektifitas Media Maket Lansekap Berkontur ... ..117

BAB V PENUTUP ... ..119

5.1. Kesimpulan ... ..119

5.2. Saran ... ..119

DAFTAR PUSTAKA ... ..120

(11)

Tabel Halaman

2.1. Karakteristik Dasar Evaluasi Tahap 1-4 Kirkpatrick ...16

3.1. Hasil Analisis Taraf Kesukaran Soal ...55

3.2. Hasil Analisis Daya Pembeda Soal ...56

3.3. Hasil Uji Normalitas Data ...60

3.4. Kriteria Nilai Angket Sampel...62

3.5. Kriteria N-Gain Ternormalisasi ...63

4.1. Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan Menurut Bulan di Kecamatan Ceopogo ...68

4.2. Satuan Kemiringan Lereng ...71

4.3. Jumlah, Kepadatan, dan Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Cepogo Tahun 2013 ...83

4.4. Pendidikan Tertinggi Penduduk Kecamatan Cepogo Tahun 2013 ...84

4.5. Pembagian Zona Risiko Bencana Tanah Longsor Kecamatan Cepogo ....94

4.6. Tabel Kriteria N-Gain ... ...106

4.7. Hasil Penghitungan Kesiapsiagaan ... ...110

(12)

Gambar Halaman

2.1. Bagan Kerangka Berfikir ...44

3.1. Bagan Desain Penelitian ...46

4.1. Peta Administrasi Kecamatan Cepogo ...66

4.2. Longsoran yang Menimpa Rumah Salah Satu Warga dan Jalan ...67

4.3. Grafik Jumlah Curah Hujan di Kecamatan Cepogo Tahun 2004-2013 ....69

4.4. Grafik Rerata Curah Hujan di Kecamatan Cepogo Tahun 2004-2013 ...70

4.5. Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Cepogo ...73

4.6. Peta Geologi Kecamatan Cepogo...79

4.7. Macam-macam Penggunaan Lahan ...86

4.8. Peta Tataguna Lahan Kecamatan Cepogo...87

4.9. Peta Kerentanan Tanah Longsor di Kecamatan Cepogo...92

4.10. Peta Risiko Tanah Longsor di Kecamatan Cepogo...97

4.11. Maket Lansekap Berkontur Kerentanan dan Risiko Longsor Tampak Atas ... ..100

4.12. Maket Lansekap Berkontur Kerentanan Tanah Longsor Kecamatan Cepogo Tampak Samping Kanan ...101

4.13. Maket Lansekap Berkontur Kerentanan Tanah Longsor Kecamatan Cepogo Tampak Samping Kiri ...101

4.14. Maket Lansekap Berkontur Kerentanan Tanah Longsor Kecamatan Cepogo dilihat dari Depan ...102

4.15. Maket Lansekap Berkontur Risiko Tanah Longsor Kecamatan Cepogo Tampak Samping Kanan ...103

4.16. Maket Lansekap Berkontur Risiko Tanah Longsor Kecamatan Cepogo Tampak Samping Kiri ...103

4.17. Maket Lansekap Berkontur Risiko Tanah Longsor Kecamatan Cepogo Tampak Depan ...104

4.18. Grafik Tingkat Kepuasan Responden terhadap Pembelajaran Menggunakan Media Maket Lansekap Berkontur ...105

(13)

4.21. Suasana saat Peneliti Menyampaikan Materi dalam Pembelajaran

(14)

Lampiran Halaman 1. Angket Pemanfaatan Media Maket Lansekap Berkontur untuk

Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana Tanah Longsor ... ..124

2. Kisi-kisi Soal ... ..130

3. Instrumen Penelitian Pemanfaatan Media Maket Lansekap Berkontur untuk Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Tanah Longsor ... ..133

4. Uji Validitas, Daya Beda, Taraf Kesukaran dan Reliabilitas Soal Uji ... ..141

5. Tabel Analisis Data Penghitungan Validitas dan Reliabilitas Soal Uji Data Instrumen ... ..142

6. Nilai Reaction (Tingkat Kepuasan) Responden ... ..143

7. Penghitungan Statistik Hasil Pre test dan Post test Pengetahuan ... ..145

8. Uji Normalitas Data Pre test ... ..148

9. Uji Normalitas Data Post test ... ..150

10. Penghitungan Nilai Behavior (Perilaku) ... ..152

11. Penghitungan Sikap Kesiapsiagaan ... ..154

12. Daftar Hadir Responden ... ..156

13. Surat Keterangan Penelitian ... ..160

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana cukup tinggi, mulai dari bencana yang berasal dari tenaga endogen misalnya gempa tektonik-vulkanik, letusan gunung api, tsunami, dan bencana yang berasal dari tenaga eksogen seperti abrasi, banjir, dan longsor. Hal ini berkaitan dengan posisi Indonesia yang secara astronomis terletak pada 6° LU- 11°LS dan 95° BT- 141° BT sehingga menyebabkan Indonesia memiliki iklim tropis. Salah satu karakteristik iklim tropis adalah curah hujan yang tinggi sehingga rawan terjadi banjir dan longsor. Secara geologis Indonesia terletak pada lempeng Indo-Australia, Pasifik, serta lempeng Eurasia, dan merupakan wilayah yang dilalui jalur pegunungan aktif yang sering disebut dengan istilah ring of fire. Keadaan demikian membentuk permukaan Indonesia menjadi tidak rata, banyak terdapat pegunungan-pegunungan maupun bukit yang sebagian besar memiliki kemiringan lereng yang curam sehingga sangat berpotensi terjadi bencana tanah longsor ketika musim hujan tiba, ditambah lagi dengan kondisi vegetasi penutup yang semakin tergantikan oleh pembangunan sarana dan prasarana di masyarakat sehingga pengikat tanah berkurang dan menyebabkan potensi longsor semakin besar.

(16)

2003 longsoran terjadi di Sungai Bohorok Sumatera Utara yang menelan korban jiwa 151 orang dan 100 orang hilang, sedang di Desa Plipir Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengah, 7 orang tewas tertimbun tanah longsor. Pada musim hujan tahun 2004, bencana tanah longsor terjadi di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, dan menelan korban jiwa 86 orang (Karnawati (2005) dalam Hardiyatmo (2006)). Tanah longsor yang terjadi pada musim hujan tanggal 4 Januari 2006, sekitar jam 5.00 WIB, di Desa Sijeruk Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah, mengakibatkan korban jiwa 58 orang dan 102 rumah tertimbun tanah longsor (Hardiyatmo, 2006). Peristiwa terbaru terjadi di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 12 Desember 2014 sekitar pukul 17.30 WIB dan menjadi bencana longsor besar dengan jumlah korban meninggal sebanyak 79 jiwa, 29 orang belum ditemukan, 5 orang luka berat, 9 orang luka ringan, dan 1.308 jiwa mengungsi di 10 titik pos pengungsian (BNPB, 17/12).

(17)

kebencanaan longsor di harapkan korban jiwa maupun materi bisa ditekan dari tahun ke tahun.

Salah satu wilayah di Jawa Tengah yang memiliki potensi bencana tanah longsor adalah Kabupaten Boyolali. Boyolali merupakan wilayah yang memiliki beragam topografi, mulai dari pegunungan, bukit, serta dataran. Bahkan di wilayah tertentu merupakan dataran tinggi yang memiliki lereng curam dan berpotensi terjadi longsor saat musim hujan tiba seperti di Kecamatan Cepogo. Namun, kerentanan dan risiko bencana longsor tersebut tidak dibarengi dengan bekal pengetahuan tentang mitigasi yang tepat sehingga berpengaruh terhadap rendahnya kesiapsiagaan masyarakat. Maka dari itu, pendidikan mitigasi bencana perlu disosialisasikan agar kelak bila terjadi bencana tersebut, masyarakat sudah tahu apa yang harus dilakukan sebelum, saat, dan sesudah longsor terjadi. Selain itu, dengan adanya pendidikan mitigasi bencana, diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat dalam mengolah lingkungannya sehingga dapat meminimalisir kemungkinan bencana terjadi.

(18)

kondisi belajar yang santai dan nyaman namun tetap menekankan tujuan dan isi dari pembelajaran tersebut.

Dalam proses pendidikan masyarakat tentu saja tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan buku-buku ataupun brosur-brosur semata. Perlu sebuah media yang menarik dan dapat dilihat secara tiga dimensi serta dapat menggambarkan bentuk wilayahnya secara nyata bahkan terjadinya bencana tanah longsor tersebut walaupun hanya simulasi sederhana. Diharapkan dengan media tersebut, masyarakat tidak hanya membayangkan tetapi mendapat gambaran mengenai bagaimana longsor itu terjadi dan mengakibatkan efek apa pada lingkungan serta kehidupan mereka, sehingga informasi yang ingin disampaikan dapat ter-transfer dengan mudah kepada masyarakat.

Media pendidikan dalam penelitian ini termasuk dalam media tiga dimensi yang disebut dengan maket. Maket merupakan miniatur, model, atau bentuk tiruan dari suatu obyek yang telah diubah menjadi kecil dengan skala tertentu (Madjid, 2003). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Sunaryo (2009) mengenai

“Pengaruh Penggunaan Media Maket terhadap Prestasi Belajar Siswa Tunagrahita

Ringan pada Mata Pelajaran IPA” didapatkan hasil bahwa media maket

(19)

“Pemanfaatan Media Maket Lansekap Berkontur untuk Kesiapsiagaan

Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Tanah Longsor”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah “apakah pemanfaatan media maket lansekap berkontur efektif untuk

pembelajaran kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tanah

longsor?”

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk:

1.3.1. Melakukan pembuatan media maket lansekap berkontur Kecamatan Cepogo.

1.3.2. Mengetahui efektifitas media maket lansekap berkontur untuk kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tanah longsor. 1.3.3. Mengetahui kesiapsiagaan masyarakat Kecamatan Cepogo dalam

menghadapi risiko bencana tanah longsor.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

(20)

dalam menghadapi bencana tanah longsor, sehingga masyarakat dapat melakukan antisipasi dalam menekan korban jiwa maupun materi.

1.4.2. Manfaat Praktis

Diharapkan media maket lansekap berkontur dapat digunakan secara umum dalam kegiatan mitigasi bencana, karena maket lansekap berkontur dapat diimplementasikan hampir pada semua jenis bencana dan mudah dalam pembuatannya.

1.5. Batasan Istilah

1.5.1. Efektifitas

Menurut Etzioni (1964), efektifitas adalah tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasarannya (dalam Daryanto, 2010). Dalam penelitian ini efektifitas diukur menggunakan teori evaluasi dari Kirkpatrick yang mencakup empat tahap, yaitu: reaction, learning, behavior, dan result.

1.5.2. Media Pembelajaran

Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar (Daryanto, 2010).

(21)

sebagai benda asli baik hidup maupun mati, dan dapat pula berwujud sebagai tiruan yang mewakili aslinya (Daryanto, 2010).

1.5.3. Maket

Menurut bahasa, model atau yang biasa kita sebut dengan maket adalah bentuk tiruan dari suatu objek yang telah diubah menjadi kecil dengan skala tertentu. Dalam bahasa Indonesia, maket disebut dengan istilah miniatur... Sebuah maket dapat menampilkan dalam bentuk tiga dimensi, dan ini sangat menarik untuk ditampilkan atau dipresentasikan ... (Madjid, 2003)

1.5.4. Lansekap Berkontur

Lansekap berkontur atau menonjol dibuat jika keadaan lahan suatu proyek berada pada puncak atau lembah di suatu gunung atau bukit, maket yang dibuat juga akan membutuhkan lansekap yang sesuai dengan keadaan lahannya (Madjid, 2003).

1.5.5. Maket Lansekap Berkontur

(22)

1.5.6. Kesiapsiagaan Masyarakat

Berdasasarkan Indian institute of Disaster Management, 2007; et.al.,2007; Moe,et.al.,2007; Moe & Pathranarakul, 2006: Shaluf, 2008 menyatakan bahwa proses dari kesiapsiagaan adalah meningkatkan kesadaran tentang potensi risiko bencana dan kerentanan di kalangan masyarakat melalui jaringan komunikasi yang efektif untuk memberikan peringatan dini dengan akurasi dan waktu tinggi. Sementara tujuan dari kesiapsiagaan adalah: 1) untuk memberikan peringatan dini dengan akurasi dan waktu tunggu, 2) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, dan 3) untuk mendidik masyarakat tentang cara bertahan saat bencana. Output dari kesiapsiagaan adalah 1) laporan peringatan dan 2) program pendidikan bencana (Kusumasari, 2014).

Dalam penelitian ini tujuan kesiapsiagaan dikhususkan pada peningkatan pengetahuan kaitannya dengan peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bahaya bencana tanah longsor.

1.5.7. Bencana

BNPB menyatakan bahwa: “bencana dalam pandangan sosial menganggap bahwa bencana disebabkan oleh ketidakmampuan manusia dalam melakukan kesiapsiagaan dan merespon terhadap ancaman alam. Kerentanan masyarakat, baik sosial, ekonomi, dan politik, menjadi kunci bagi besar kecilnya bencana.

Penguatan masyarakat dilakukan, sehingga dampak bencana bisa dikurangi.”

(23)

1.5.8. Tanah Longsor

Tanah longsor atau gerakan tanah adalah proses massa tanah secara alami dari tempat tinggi ke tempat rendah. Pergerakan ini terjadi karena perubahan keseimbangan daya dukung tanah dan akan berhenti setelah mencapai keseimbangan baru. Tanah longsor terjadi apabila tanah sudah tidak mampu mendukung berat lapisan tanah di atasnya karena ada penambahan beban di permukaan lereng, berkurangnya daya ikat antar butiran tanah dan perubahan lereng menjadi lebih terjal (Majid, 2008).

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Efektifitas

Efektifitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna). Efektifitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (spending wisely) (Mardiasmo:2009, dalam Sumenge:2013).

Efektifitas pelatihan menurut Newby berkaitan dengan sejauh mana program pelatihan yang diselenggarakan mampu mencapai apa yang memang telah diputuskan sebagai tujuan yang harus dicapai (Irianto:2011, dalam Sopacua dan Budijanto, 2007).

Menurut Etzioni (1964), efektifitas adalah tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasarannya. Efektifitas ini sesungguhya merupakan suatu konsep yang lebih luas mencakup berbagai faktor didalam maupun di luar diri seseorang. Dengan demikian efektifitas tidak hanya dapat dilihat dari sisi produktivitas, tetapi juga dapat pula dilihat dari sisi persepsi atau sikap orangnya. Sementara Robbins (1997), efektifitas juga dapat dilihat dari bagaimana tingkat kepuasan yang dicapai oleh orang (dalam Daryanto, 2010).

(25)

perubahan sikap, perubahan perilaku, kemampuan adaptasi, peningkatan integrasi, peningkatan partisipasi, dan peningkatan interaksi kultural.

Sementara Syaiful Bahri dalam bukunya yang berjudul Strategi Belajar Mengajar mengungkapan bahwa keefektifan berkaitan dengan hasil yang dicapai (dalam Sopacua dan Budijanto, 2007). Menurut Fauziarti dan Soedarsono (2014) keefektifan pelatihan yakni tercapainya tujuan pelatihan dapat diketahui melalui evaluasi. Sementara Mulyatiningsih dan Suprihatin (2005) mengungkapkan bahwa pendekatan Kirkpatrick sering digunakan dalam program pelatihan tetapi kemudian dimodifikasi untuk diterapkan dalam evaluasi kegiatan belajar mengajar mulok PKK. Maka dari itu, dalam penelitian ini digunakan teori evaluasi untuk pengukuran efektifitas yang dikenal dengan Kirkpatrick’s Four Levels of Evaluation.

2.2. Model Evaluasi Kirkpatrick

Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick telah mengalami beberapa penyempurnaan, terakhir diperbarui dan redefinisikan pada 1998 dalam

bukunya Kirkpatrick yang disebut dengan “Evaluating Training Programs: The

Four Levels”. Kirkpatrick four levels evaluations model sekarang menjadi salah

(26)

Menurut Kickpatrick dalam evaluasi terhadap program training mencakup empat level (dalam Widoyoko, 2014) yaitu:

2.2.1. Evaluasi Reaksi (Reaction Evaluation),

Evaluasi ini mengukur kepuasan peserta. Program training ini dianggap efektif apabila proses training dirasa menyenangkan dan memuaskan peserta training sehingga mereka tertarik dan termotivasi untuk belajar dan berlatih. Menurut Center Partner dalam artikelnya yang berjudul Implementing the Kirkpatrick Evaluation Model Plus mengatakan bahwa: “the interest, attention and motivation of the participants are critical to the success of any training

program. People learn better when they react positively to the learning environment” (http://www.coe.wayne.edu/eval.pdf).

(27)

2.2.2. Evaluasi Belajar (Learning Evaluation)

Menurut Kirkpatrick (1988:20) :“learning can be defined as the extend to which participans change attitudes, improving knowledge, and/or increase skill as

a result of attending the program”. Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan

sikap, perbaikan pengetahuan, dan atau kenaikan ketrampilan peserta setelah selesai mengikuti program. Menurut Kirkpatrick (1988:40) penilaian terhadap

hasil belajar dapat dilakukan dengan: “a control group if pratical, evaluate

knowledge, skill and/or attitudes both before and after the program, a paper-and-pencil test to measure knowledge and attitudes, and performance test to measure

skills”.

Dengan demikian untuk menilai hasil belajar dapat dilakukan dengan kelompok pembanding. Kelompok yang ikut pelatihan dan kelompok yang tidak ikut pelatihan diperbandingkan perkembangannya dalam waktu tertentu. Dapat juga dilakukan dengan membandingkan hasil pre test dengan post test, tes tertulis maupun tes kinerja (performance test).

2.2.3. Evaluasi Perilaku (Behavior Evaluation)

(28)

mentransfer pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperoleh selama training untuk diimplementasikan di tempat kerjanya.

Evaluasi perilaku dapat dilakukan dengan membandingkan perilaku kelompok kontrol dengan perilaku peserta training, atau dengan membandingkan perilaku sebelum dan sesudah mengikuti training maupun dengan mengadakan survei dan atau interview dengan pelatih, atasan maupun bawahan peserta training setelah kembali ketempat kerja (Kirkpatrick, 1988:49).

2.2.4. Evaluasi Hasil (Result Evaluation)

Evaluasi hasil dalam level ke-4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang terjadi karena peserta mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori hasil akhir dari suatu program training adalah kenaikan produksi, peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kuantitas terjadinya kecelakaan kerja, penurunan turnover dan kenaikan keuntungan. Evaluasi hasil akhir dapat dilakukan dengan membandingkan kelompok kontrol dengan kelompok peserta training, mengukur kinerja sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan, serta dengan melihat perbandingan antara biaya dan keuntungan antara sebelum dan sesudah adanya kegiatan pelatihan, apakah ada peningkatan atau tidak (Kirkpatrick, 1988:61).

(29)

namun perlu adanya modifikasi terutama pada indikator-indikator yang cocok digunakan dalam dunia pendidikan karena evaluasi pada bidang ekonomi berbeda dengan pendidikan. Dibandingkan dengan model evaluasi lain, model Kirkpatrick memiliki beberapa kelebihan antara lain: 1) lebih komprehensif, karena mencakup hard skills dan juga soft skills, 2) objek evaluasi tidak hanya hasil belajar semata,

tetapi juga mencakup proses, output maupun outcomes, 3) lebih mudah diterapkan (applicable) untuk level kelas karena tidak terlalu banyak melibatkan pihak lain dalam evaluasi. Adapun kekurangan dari evaluasi empat tahap Kirpatrick meliputi: 1) kurang memperhatikan input, padahal keberhasilan output dalam proses pembelajaran juga dipengaruhi oleh input, 2) untuk mengukur impact sulit dilakukan karena selain sulit tolak ukurnya (intangible) juga sudah di luar jangkauan guru maupun sekolah sehingga variabel-variabel yang tidak dikehendaki dapat ikut berpengaruh terhadap hasil uji yang diperoleh.

(30)

Tabel 2.1. Karakteristik dasar evaluasi tahap 1-4 dari Kirkpatrick Level It Measure Regarding Using Assesment

Techniques

(31)

2.3. Media Pembelajaran

2.3.1. Definisi Media Pembelajaran

Kata media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti

“tengah”, “perantara”, atau “pengantar”. AECT (Association of Education and

Communication Technology, 1997) memberi batasan tentang media sebagai

segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Apabila media membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran (Heinich, et.al.,1982 dalam Arsyad, 2011).

(32)

sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar.

2.3.2. Fungsi Media Pembelajaran

Secara rinci, fungsi media dalam proses pembelajaran menurut Daryanto (2010) adalah: 1) menyaksikan benda yang ada atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau, 2) mengamati benda atau peristiwa yang sukar dikunjungi, baik karena jaraknya jauh, berbahaya, atau terlarang, 3) memperoleh gambaran yang jelas tentang benda/hal-hal yang sukar diamati secara langsung karena ukurannya yang tidak memungkinkan, baik karena terlalu kecil atau terlalu besar, 4) mengamati peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi atau berbahaya untuk dikunjungi, dan 5) dapat menjangkau audien yang besar jumlahnya dan mengamati suatu objek secara serempak.

2.3.3. Karakteristik Media Pembelajaran Tiga Dimensi

(33)

Moedjiono 1992 (dalam Daryanto, 2010) mengatakan bahwa media sederhana tiga dimensi memiliki kelebihan-kelebihan: memberikan pengalaman secara langsung, penyajian secara kongkrit dan menghindari verbalisme, dapat menunjukkan objek secara utuh baik konstruksi maupun cara kerjanya, dapat memperlihatkan struktur organisasi secara jelas, dapat menunjukkan alur suatu proses secara jelas. Sedangkan kelemahan-kelemahannya adalah: tidak bisa menjangkau sasaran dalam jumlah yang besar, penyimpanannya memerlukan ruang yang besar dan perawatannya rumit.

2.4. Maket

Menurut bahasa, model atau yang biasa disebut dengan maket adalah bentuk tiruan dari suatu objek yang telah diubah menjadi kecil dengan skala tertentu.

Dalam bahasa Indonesia, maket disebut juga dengan istilah “miniatur”. Memang

tidak ada sesuatu yang bagus dan indah dalam mengilustrasikan suatu karya desain selain dalam bentuk gambar, akan tetapi hal ini masih dalam bentuk dua dimensi, padahal di sisi lain sebuah maket dapat menampilkan dalam bentuk tiga dimensi, dan ini sangat menarik untuk ditampilkan atau dipresentasikan dalam suatu pameran (Madjid, 2003).

(34)

Maket-maket tersebut bertujuan untuk memunculkan ide-ide desain dan berfungsi sebagai wahana untuk penyempurnaan desain. Maket-maket ini dapat berupa maket singkat berkonstruksi kasar, hingga yang mendetail. Apapun jenisnya, istilah maket studi mengisyaratkan bahwa maket-maket tersebut terbuka untuk diinvestigasi dan disempurnakan (Mills, 2008).

Menurut Mills, maket-maket studi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: maket primer dan maket sekunder. Maket primer berkaitan dengan tahap evolusi desain, sementara maket sekunder lebih berkaitan dengan unit bagian atau aspek-aspek proyek yang sedang diberi fokus.

2.4.1. Maket-maket Primer,

Memiliki konsep yang abstrak dan digunakan untuk mengeksplorasi berbagai tahap fokus investigasi yang berbeda-beda. Macamnya meliputi :

2.4.1.1. Maket Sketsa

Merupakan tahap awal dari maket-maket studi. Maket-maket ini seperti sketsa dan gambar tiga dimensi. Maket ini umumnya tidak mengutamakan segi kerapihan detailnya, namun lebih ke visualisasi ruang secara cepat. Maket ini dimaksudkan untuk dipotong dan dimodifikasi sebagaimana proses eksplorasi berlanjut. Maket sketsa umumnya disusun dalam skala kecil dan dari material yang tidak mahal seperti karton chipboard atau karton poster.

2.4.1.2. Maket Diagram

(35)

2.4.1.3. Maket Konsep

Disusun pada tahap-tahap awal sebuah proyek untuk mengeksplorasi kualitas-kualitas abstrak seperti material, keterkaitan tapak, dan tema-tema interpretif. Maket ini dapat dianggap sebagai sebuah bentuk khusus dari

maket-maket sketsa dan digunakan sebagai “pengkodean genetik” untuk

menginformasikan arahan-arahan arsitektural. Penerjemahan dapat dilakukan dengan berbagai macam sarana, seperti menganalisis unit-unit bagian maket tersebut dengan gambar, menggunakan geometri-geometri yang disarankan, menghasilkan pembacaan berdasarkan kualitas formal, atau menginterpretasikan tema-tema.

2.4.1.4. Maket Massa

Merupakan maket sederhana yang menampilkan volume dan biasanya tidak mensimulasikan bukaan-bukaan. Maket jenis ini dapat dibangun dalam skala kecil karena tidak perlu detail yang banyak, dan akan dengan cepat merefleksikan ukuran dan proporsi bangunan pada tahap awal.

2.4.1.5. Maket Solid/Void

Dapat disusun sebagai maket sketsa atau maket pengembangan, tapi tidak seperti maket massa, maket ini menampilkan keterkaitan antara area terbuka dan area tertutup dari bangunannya. Umumnya, maket ini lebih berguna untuk memahami karakter bangunan dari pada maket massa yang sederhana.

2.4.1.6. Maket Pengembangan

(36)

dilakukan. Maket ini juga mengimplikasikan bahwa keseluruhan geometri sudah tetap, dan paling tidak satu tahap eksplorasi akan dilakukan sebelum melanjutkan ke maket presentasi. Maket ini juga merupakan representasi abstrak keterkaitan bangunan dan masih terbuka untuk modifikasi dan penyempurnaan.

2.4.1.7. Maket Finishing/Presentasi

Merupakan maket yang mempresentasikan sebuah desain yang lengkap dan disusun dengan memperhatikan kerapihan pengerjaannya. Maket ini digunakan untuk mengkonfirmasikan keputusan-keputusan desain dan mengkomunikasikannya dengan klien yang mungkin tidak sepenuhnya dapat mengapresiasi implikasi-implikasi studi yang lebih kasar. Maket ini biasanya disusun sebagai konstruksi monokromatik yang terbuat dari satu jenis material saja, misalnya sterefoam.

2.4.2. Maket-maket Sekunder

Digunakan untuk menelaah komponen-komponen tertentu dari suatu bangunan atau tapak. Macamnya meliputi:

2.4.2.1. Maket Kontur Tapak, atau Maket Kontur

(37)

bangunan pada tapaknya, mengontrol air, dan mengimplementasikan desain lansekap.

2.4.2.2. Maket Konteks dan Perkotaan

adalah maket yang menunjukkan lingkungan sekitar bangunan-bangunan. Maket ini disusun untuk mempelajari keterkaitan bangunan dengan karakter dan massa arsitektur yang sudah ada. Penyatuan maket konteks dengan maket kontur dapat memungkinkan eksplorasi keterkaitan antara isu ketinggian tanah, desain lansekap dengan bangunan. Maket-maket perkotaan bisa meliputi keseluruhan kondisi perkotaan mulai dari sektor di pusat kota hingga ke seluruh kawasan pinggir kota. Maket ini digunakan seperti maket studi lainnya untuk mengeksplorasi keterkaitan-keterkaitan, hanya saja dalam skala yang jauh lebih besar. Umumnya maket ini menampilkan seluruh elemen bangunan dalam bentuk blok-blok massa.

2.4.2.3. Fitur dan Vegetasi Tapak

merujuk pada pemodelan manusia, pepohonan, dan perlengkapan tapak. Fitur-fitur berskala dimodelkan selama tahap investigasi untuk memberikan persepsi skala pada bangunan. Untuk studi desain dan maket sederhana, sebaiknya vitur dan vegetasi dibuat secara sederhana dan abstrak.

2.4.2.4. Maket Interior

(38)

2.4.2.5. Maket Unit Bagian

disusun untuk mempelajari keterkaitan antar ruang-ruang vertikal. Maket ini dibuat dengan cara mengiris bangunan pada lokasi yang hendak diperlihatkan. Irisan biasanya dibuat pada titik di mana sejumlah keterkaitan yang kompleks berinteraksi dan irisan dapat dibuat membelok atau membentuk sudut. Penggunaan maket ini dapat sangat efektif dalam menyelidiki kompleksitas keterkaitan, yang seringkali sulit divisualisasikan dalam dua dimensi.

2.4.2.6. Maket Fasad

disusun ketika elevasi-elevasi yang terisolasi diperlukan untuk studi dan penyempurnaan desain. Situasi ini biasanya didapati pada struktur pengisi antar gedung di mana elevasi-elevasi jalan merupakan citra yang utama.

2.4.2.7. Maket Struktural/Rangka

adalah sebuah maket detail yang kegunaan utamanya adalah untuk memvisualisasikan hubungan antara rangka dan sistem struktural dalam ruang. Maket ini juga dapat digunakan untuk mengeksplorasi desain-desain struktur yang kreatif seperti jembatan dan truss, untuk mengkomunikasikan detail ke pihak kontraktor pembangun, dan untuk menguji karakteristik pembebanan.

2.4.2.8. Maket Detail/Koneksi

(39)

Sementara menurut Madjid (2003), maket dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu:

a. Maket Blok Plan, merupakan maket yang hanya menampilkan blok-blok (kotak-kotak) dari suatu bangunan saja, tanpa harus berbentuk menyerupai keadaan aslinya. Biasanya maket demikian, dibuat jika lahannya luas dan terdapat banyak bangunan.

b. Maket biasa, merupakan maket yang dibuat hanya sesuai dengan bentuk suatu bangunan yang ada. Keadaan alamnya yang juga menyesuaikan dengan kondisi aslinya dan jumlah bangunan tidak terlalu banyak. Contoh: suatu kawasan perumahan.

c. Maket detail, merupakan maket yang sengaja dibuat secara detail, dengan tujuan untuk memperlihatkan keadaan bangunan baik interior maupun eksteriornya. Biasanya maket ini dibuat dengan menggunakan bahan yang tembus pandang agar memudahkan dalam melihat sisi ruang interiornya. d. Maket biasa dan detail, merupakan perpaduan antara maket biasa dan

detail. Maket ini dibuat dalam dua jenis sekaligus pada sebuah maket. Biasanya terdiri atas berbagai massa bangunan dengan berbagai macam tipe.

Lansekap

(40)

a. Lansekap berkontur

Jika keadaan alam suatu proyek berada pada puncak atau lembah di suatu gunung atau bukit, maket yang dibuat juga akan membutuhkan lansekap yang sesuai dengan keadaan lahannya. Dalam pembuatan lansekap ini, akan banyak diperlukan karton dan lem sesuai dengan ketebalan yang dibutuhkan. Kita harus memperhatikan ukuran (notasi) lansekap pada gambar secara cermat agar tepat hasilnya. Jika bentuk lapisan sama tetapi ketinggian curam (tegak lurus) maka bahan yang digunakan harus tebal. Ada pula lansekap yang sengaja dibuat sesuai kehendak manusia yaitu dengan memotong atau menambahkan lapisan tanah yang ada atau yang dikenal dengan istilah cut and fill.

b. Lansekap tidak berkontur

Biasanya digunakan untuk sebuah proyek yang berada pada lahan yang datar. Dalam pembuatannya hanya menyusun dan merekatkan lapisan bahan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan.

2.5. Kesiapsiagaan

2.5.1. Definisi Kesiapsiagaan

(41)

kemampuan operasional dan untuk memfasilitasi respon yang efektif jika keadaan darurat terjadi (dalam Kusumasari, 2014).

Mileti (1991:127) menyatakan bahwa kesiapsiagaan mencakup kegiatan-kegiatan seperti berikut: merumuskan, menguji, dan melakukan latihan terhadap rencana bencana; memberikan pelatihan bagi responden bencana dan masyarakat umum, melakukan komunikasi dengan publik dan orang lain tentang kerentanan bencana, serta tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi hal tersebut (dalam Kusumasari, 2014).

(42)

dilakukan pada saat bencana, seperti manajemen sumber daya, evakuasi, dan penilaian kerusakan (Kusumasari, 2014).

Secara lebih mendalam, kesiapsiagaan terdiri dari tiga kata (BNPB, 2012), yaitu:

2.5.1.1. Kesiapan (Preparedness)

Masa kesiapan terjadi jika disadari adanya potensi ancaman bahaya sampai masa munculnya tanda-tanda ancaman bahaya tersebut. Fokus utama pada masa

ini adalah pembuatan “Rencana untuk menghadapi Ancaman Bahaya (Bencana)”.

Adapun rencana (plan) yang dibuat adalah :

a. Rencana persiapan untuk menghadapi ancaman bahaya/bencana (PLAN A) b. Rencana saat ancaman bahaya/bencana terjadi (PLAN B)

2.5.1.2. Kesiagaan (Readiness)

Merupakan masa yang relatif pendek, dimulai ketika muncul tanda-tanda awal akan adanya ancaman bahaya. Rencana B (PLAN B) mulai direncanakan dan semua orang diajak untuk siap sedia melakukan perannya masing-masing. 2.5.1.3. Kewaspadaan (Alertness)

(43)

2.5.2. Prinsip Dasar Kesiapsiagaan

Berikut ini adalah beberapa prinsip dasar kesiapsiagaan menurut Drabek & Hoetmar, 1991 (dalam Kusumasari, 2014) :

a. Kesiapsiagaan merupakan proses yang berkesinambungan. Hal ini berarti rencana yang dibuat harus selalu up-to-date serta harus mengantisipasi adanya kondisi dan kebutuhan baru yang muncul dalam perkembangan. b. Kesiapsiagaan mengurangi ketidaktahuan selama bencana karena tujuan dari

kesiapsiagaan adalah mengantisipasi masalah dan memproyeksi solusi yang memungkinkan.

c. Kesiapsiagaan merupakan kegiatan pendidikan. Hal ini bermakna bahwa kesiapsiagaan harus dilatih dan disosialisasikan kepada individu, kelompok, dan organisasi sehingga semua lapisan masyarakat mengetahui tindakan yang harus mereka lakukan pada saat dan setelah bencana terjadi.

d. Kesiapsiagaan berdasarkan pada pengetahuan. Mengantisispasi masalah dan merancang solusi kaitannya dengan bencana memerlukan pengetahuan karena berhubungan dengan nyawa manusia dalam situasi krisis.

e. Kesiapsiagaan menyebabkan timbulnya tindakan yang tepat. Hal ini guna meningkatkan kecepatan respon ketika bencana terjadi.

f. Resistensi terhadap kesiapsiagaan bencana diberikan.

(44)

Namun penelitian tentang bencana menunjukkan bahwa sikap apatis dan kurangnya pengalaman dalam mengelola bencana adalah dua masalah utama yang dihadapi pada tahap kesiapsiagaan (Auf der Heide, 1989; McEntire & Myers, 2004; Kusumasari, 2014).

2.6. Pendidikan Berbasis Masyarakat

2.6.1. Definisi Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan dari demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengatasi tantangan kehidupan yang berubah-ubah dan semakin berat (Zubaedim, 2012).

Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat merupakan model

penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh

masyarakat, dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya

pendidikan memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subjek /pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada kontek ini masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat ikut serta dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka (Zubaedim, 2012).

(45)

atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten menangani ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam hidup di dalam dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokrasi.

2.6.2. Prinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat

Michael W.Galbraith (dalam Zubaedim, 2012) menjelaskan bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:

2.6.2.1. Self determination (menentukan sendiri)

Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.

2.6.2.2. Self help (menolong diri sendiri)

Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri terdorong dan dikembangkan. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.

2.6.2.3. Leadership development (pengembangan kepemimpinan)

(46)

2.6.2.4. Localization (lokalisasi)

Potensi terbesar untuk tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.

2.6.2.5. Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan)

Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik yang lebih baik.

2.6.2.6. Reduce duplication of service (mengurangi duplikasi pelayanan)

Masyarakat harusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumberdaya manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.

2.6.2.7. Accept diversity (menerima perbedaan)

Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Termasuk perwakilan warga masyarakat seluas mungkin dituntut dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program, pelayanan dan aktivitas-aktivitas kemasyarakatan.

2.6.2.8. Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan)

(47)

2.6.2.9. Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup)

Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.

2.6.3. Tujuan Pendidikan Berbasis Masyarakat

Tujuan pendidikan berbasis masyarakat biasanya mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, konsumerisme, perhatian terhadap lingkungan, pendidikan dasar, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, penanganan masalah kesehatan seperti AIDS, korban narkotika, dan seterusnya. Sementara lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakatan bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisasi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisasi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain. (Zubaedim, 2012).

2.7.Bencana

2.7.1. Definisi Bencana

(48)

beragam. Hal ini menunjukkan bahwa faktor manusia bukan faktor tunggal untuk mengurangi dampak bencana. Faktor non-manusia, seperti faktor lingkungan alami dan lingkungan buatan, membentuk risiko bencana bersama faktor manusia. Mengingat setiap unit wilayah unik, maka jelas kiranya bahwa ketahanan masyarakatnya terhadap bencana pun beragam, seperti halnya tingkat kerentanannya.

Bencana adalah suatu kejadian alam, buatan manusia, atau perpaduan antara keduanya yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menimbulkan dampak negatif yang dahsyat bagi kelangsungan kehidupan. Dalam kejadian tersebut, unsur yang terkait langsung atau terpengaruh harus merespon dengan melakukan tindakan luar biasa guna menyesuaikan sekaligus memulihkan kondisi seperti semula atau menjadi lebih baik.

Kejadian bencana sering kali saling berkaitan. Dengan kata lain, suatu bencana dapat menjadi penyebab utama bencana lainnya yang potensial terjadi dalam jangkauan wilayah tertentu (Priambodo, 2009).

2.7.2. Kategori Bencana

(49)

2.7.2.1. Bencana alam

yakni bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi alamiah alam semesta (angin: topan, badai, puting beliung; tanah: erosi, sedimentasi, longsor, ambles, gempa bumi; air: banjir, tsunami, kekeringan, perembesan air tanah; api: kebakaran, letusan gunung api).

2.7.2.2. Bencana sosial

yakni bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sebagai komponen sosial (instabilitas sosial, politik, dan ekonomi; perang; kerusuhan massal; teror bom; kelaparan; pengungsian; dll).

2.7.2.3. Bencana kompleks

yakni perpaduan antara bencana alam dan sosial sehingga menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan (kebakaran; epidemi penyakit; kerusakan ekosistem; polusi lingkungan, dll).

2.8. Mitigasi Bencana

(50)

lewat tindakan mitigasi, kita bisa mencegah, membatasi, atau memperlambat tingkat perubahan atau kerusakan. Melakukan tindakan-tindakan mitigasi sangatlah masuk akal; perasaan-kerepotan yang diperlukan untuk mencegah bencana jauh lebih sedikit dibandingkan dengan konsekuensi-konsekuensi yang kita derita jika saja bencana tersebut benar-benar terjadi (Wilches, 1995 dalam Setyowati, 2010).

Menurut Unesco 2007 (dalam Indiyanto dan Kuswanjono, 2012), ada beberapa alasan mengapa perlu melibatkan masyarakat lokal di kawasan rawan bencana dalam program aksi pengurangan risiko bencana (tidak hanya pada fase tanggap darurat,namun juga pada fase kesiapsiagaan), antara lain: 1) tidak ada yang lebih mengerti tentang kesempatan dan hambatan serta permasalahan lokal selain masyarakat itu sendiri, 2) tidak ada yang lebih tertarik untuk memahami bagaimana bertahan hidup dalam kondisi yang terancam daripada masyarakat itu sendiri, 3) masyarakat akan mengalami banyak kerugian apabila mereka tidak dapat merumuskan keterbatasan mereka dan mengatasinya, namun masyarakat juga akan banyak memperoleh keuntungan apabila mereka dapat mengurangi dampak bencana, 4) masyarakat yang tangguh dan mandiri dapat membantu pemerintah dalam mengatasi bencana di daerah.

2.9. Tanah Longsor

2.9.1. Definisi Tanah Longsor

(51)

perbukitan di daerah tropis basah. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga kerusakan secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana gerakan massa tersebut cenderung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia (Hardiyatmo, 2006).

Tanah longsor atau gerakan tanah adalah proses massa tanah secara alami dari tempat tinggi ke tempat rendah. Pergerakan ini terjadi karena perubahan keseimbangan daya dukung tanah dan akan berhenti setelah mencapai keseimbangan baru. Tanah longsor terjadi apabila tanah sudah tidak mampu mendukung berat lapisan tanah diatasnya karena ada penambahan beban dipermukaan lereng, berkurangnya daya ikat antarbutiran tanah dan perubahan lereng menjadi lebih terjal (Majid, 2008).

(52)

Ada dua hal penyebab tanah longsor yang kaitannya dengan hujan, yakni hujan berintensitas tinggi dalam waktu singkat dan menerpa daerah yang kondisi tanahnya labil. Tanah yang kering ini menjadi labil dan mudah longsor saat terjadi hujan. Kondisi lain adalah akumulasi curah hujan di musim hujan pada tebing terjal yang menyebabkannya runtuh. Tanah longsor ini cukup berbahaya dan dapat mengakibatkan korban jiwa tidak sedikit.

Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor (Majid, 2008) antara lain: 1) Kondisi geologi (Geostruktur): batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, struktur sesar dan kekar, gempa bumi, stratigrafi, dan gunung api, 2) Iklim: curah hujan yang tinggi, 3) Keadaan topografi: lereng yang curam, 4) Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatistika, 5) Tutupan lahan yang mengurangi lahan geser, misal tanah kritis.

Menurut Agus Setyawan dan Wahyu Wilopo, bencana adalah sesuatu yang tidak kita harapkan, oleh karena itu pemahaman terhadap proses terjadinya gerakan tanah berikut faktor penyebabnya menjadi sangat penting bagi pemerintah maupun masyarakat. Alternatif penanggulangan bencana baik dari aspek pencegahan (preventif), pengurangan (mitigasi) maupun penanggulangan (rehabilitasi) perlu dikaji secara mendalam (Majid, 2008).

2.9.2. Dampak Bahaya Tanah Longsor

(53)

bisa saja tidak di inginkan oleh manusia. Maksud dari peristiwa longsor yang di inginkan manusia adalah peristiwa longsor memang disengaja karena membantu pekerjaan manusia, misalnya pada waktu pengerjaan pengeprasan bukit terjal berisi ilalang yang akan diubah (dikonversi) menjadi kebun teh, pekerjaannya memang menghendaki longsor-longsor kecil untuk membantu pemerataan tanah tersebut (Majid, 2008).

Adapun peristiwa longsor yang tidak di inginkan manusia adalah peristiwa longsor yang justru mengganggu kenyamanan hidup manusia. Biasanya terjadi tidak sengaja dan tidak lazimnya disebut sebagai bencana. Adapun bahaya dari bencana tanah longsor (Majid, 2008) antara lain: 1) kerusakan alam dan lahan pertanian, 2) kehancuran pemukiman penduduk, 3) memakan korban manusia terpendam, dan 4) rusaknya sarana dan prasarana umum.

2.10. Mitigasi Bencana Tanah Longsor

(54)

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menekan bahaya tanah longsor (Majid, 2008), yaitu:

2.10.1.Mitigasi Tahap Awal (Preventif)

a. Identifikasi daerah rawan dan pemetaan. Dari evaluasi terhadap lokasi gerakan tanah yang telah terjadi selama ini ternyata lokasi-lokasi kejadian gerakan tanah merupakan daerah yang telah teridentifikasi sebagai daerah yang memiliki kerentanan menengah hingga tinggi.

b. Penyuluhan pencegahan dan penanggulangan bencana alam gerakan tanah dengan memberikan informasi mengenai bagaimana dan kenapa tanah longsor, gejala gerakan tanah dan upaya pencegahan serta penanggulangannya.

c. Pemantauan daerah longsor dan dilakukan secara terus menerus dengan tujuan untuk mengetahui mekanisme gerakan tanah dan penyebabnya serta mengamati gejala kemungkinan akan terjadinya longsoran.

d. Pengembangan dan penyempurnaan manajemen mitigasi gerakan tanah baik dalam skala nasional, regional maupun lokal secara berkelanjutan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan menggalang kebersamaan segenap lapisan masyarakat.

e. Perencanaan pengembangan sistem peringatan dini di daerah rawan bencana.

(55)

h. Hindari melakukan penggalian pada daerah bawah lereng terjal yang akan mengganggu kestabilan lereng sehingga mudah longsor.

i. Hindari membuat pencetakan sawah baru atau kolam pada lereng yang terjal karena air yang digunakan akan mempengaruhi sifat fisik dan keteknikan yaitu tanah menjadi lembek dan gembur sehingga kehilangan kuat gesernya yang mengakibatkan tanah mudah bergerak.

j. Penyebarluasan informasi bencana gerakan tanah melalui berbagai media dan cara sehingga masyarakat, baik formal maupun non formal.

2.10.2.Mitigasi Tahap Bencana

a. Menyelamatkan warga yang tertimpa musibah. b. Pembentukan pusat pengendalian (Crisis Center). c. Evakuasi korban ke tempat yang lebih aman.

d. Pendirian dapur umum, pos-pos kesehatan dan penyediaan air bersih. e. Pendistribusian air bersih, jalur transportasi, tikar, dan selimut. f. Pencegahan berjangkitnya wabah penyakit.

g. Evaluasi, konsultasi, dan penyuluhan.

2.10.3.Mitigasi Tahap Pasca Bencana

a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan tata ruang dalam upaya mempertahankan fungsi daerah resapan air.

(56)

c. Mengevaluasi dan memperketat studi AMDAL pada kawasan vital yang berpotensi menyebabkan bencana.

d. Mengevaluasi kebijakan Instansi/Dinas yang berpengaruh terhadap terganggunya ekosistem.

e. Penyediaan lahan relokasi penduduk yang bermukim di daerah bencana, sabuk hijau dan disepanjang bantaran sungai.

2.11. Kerangka Berfikir

Indonesia merupakan negara yang memiliki topografi atau relief yang sangat beragam akibat dari adanya tenaga pembentuk muka bumi baik endogen maupun eksogen. Secara geologis, wilayah Indonesia merupakan tempat pertemuan tiga lempeng besar dunia, yaitu: Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Pertemuan ketiga lempeng ini menimbulkan penunjaman maupun pengangkatan kenampakan alam berupa dataran tinggi dan gunung-gunung api aktif yang umumnya memiliki tingkat kemiringan lereng yang cukup terjal dan tanah yang tidak stabil akibat proses alam maupun manusia. Kondisi yang demikian memiliki potensi dan ancaman bencana tinggi berupa tanah longsor.

(57)

tanahnya tidak stabil. Salah satu wilayah yang tingkat potensi risiko dan kerentanannya tinggi adalah di Kabupaten Boyolali tepatnya di Kecamatan Cepogo.

Cepogo merupakan wilayah yang sebagian berada pada lereng merapi sehingga memiliki kemiringan lereng hingga lebih dari 70%. Jenis tanah berupa endapan longsoran lama, serta endapan dari material Gunungapi Merapi dan Gunungapi Merbabu yang labil. Berdasarkan hasil penelitian dari BAPPEDA Kabupaten Boyolali tahun 2007 menunjukkan bahwa Kecamatan Cepogo hampir sebagian besar wilayahnya masuk dalam zona potensi tanah longsor, terutama desa yang berada pada lereng Gunung Merapi. Salah satunya adalah Desa Wonodoyo Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali.

Namun, tingginya potensi tanah longsor yang mengancam wilayah penelitian tidak sebanding dengan tingkat pengetahuan dan sikap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tersebut. Selain itu, kurangnya vegetasi yang dapat mengikat tanah ditambah pola tanam serta jenis tanaman yang dibudidayakan warga disekitarnya, memperbesar kemungkinan potensi longsor. Jika tanah longsor terjadi maka bukan tidak mungkin akan banyak korban jiwa maupun materi yang diderita.

(58)

maket lansekap berkontur. Untuk menguji keefektifan media tersebut digunakan teknik evaluasi Four Levels Evaluation Models dari Kirkpatrick

Adapun kerangka berfikir dalam penelitian seperti dalam Gambar 2.1 sebagai berikut:

Gamabar 2.1. Bagan Kerangka Berfikir Penelitian

Analisis

Hasil

Reaction Learning Behavior Result

Tingkat Kepuasan

Tingkat Pemahaman

Materi

Perubahan Perilaku

Kesiapsiagaan

Kuesioner Tes Kuesioner Tes

Pemanfaatan Media Maket Lansekap Berkontur untuk Kesiapsiagaan Masyarakat

Media Maket Pendidikan Kesiapsiagaan

Ancaman Longsor Profil Kecamatan Cepogo

(59)

2.12. Batasan Operasional

Dalam batasan operasional ini dijabarkan mengenai batas-batas yang digunakan dalam penelitian, meliputi:

2.12.1.Pemanfaatan Media

Dalam penelitian ini, pemanfaatan media mengacu pada fungsinya sebagai media display yang menggambarkan daerah potensi longsor meliputi kerentanan dan risiko bencana longsor Kecamatan Cepogo.

2.12.2.Maket Lansekap Berkontur

Maket yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bentuk tiga dimensi dari Kecamatan Cepogo yang menggambarkan kerentanan dan risiko bencana longsor. Pembuatan maket menggunakan bahan yang tahan lama, murah dan ringan yaitu sterefoam dan gypsum.

2.12.3.Kesiapsiagaan

Tahap kesiapsiagaan yang menjadi sasaran utama penelitian ini adalah pengetahuan masyarakat tentang bencana tanah longsor, apa yang harus dilakukan sebelum, saat, dan sesudah bencana terjadi dan tidak merujuk pada pelatihan-pelatihan atau simulasi kebencanaan.

(60)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini, digunakan disain atau alur penelitian seperti pada Gambar 3.1 di bawah ini:

Gambar 3.1. Bagan Desain Penelitian

Analisis hasil Pemanfaatan Media Maket Lansekap Berkontur

(61)

3.2. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen untuk mengukur pemanfaatan media maket lansekap berkontur terhadap kesiapsiagaan masyarakat. Menurut Azwar (2010), kesimpulan mengenai hubungan sebab-akibat atau mengenai pengaruh suatu variabel independen terhadap perilaku subyek sebagai variabel dependen hanya dapat diperoleh melalui prosedur eksperimen. Maka dari itu, eksperimen dipilih dalam penelitian ini karena mengukur pengaruh penggunaan media maket lansekap berkontur terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tanah longsor. Desain penelitian tanpa menggunakan kelas kontrol atau disebut dengan Pre-Experimental Designs (Nondesigns) One-Group Pretest-Posttest Design.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

(62)

penelitian. Selain itu, dengan dipilihnya pemuda-pemudi karang taruna dapat menjadi tonggak baru dalam pengelolaan lingkungan potensi longsor di Kecamatan Cepogo.

Pemilihan kedua populasi tersebut di harapkan dapat membuat benang merah antara pemerintah dan masyarakat yang di wakili oleh pemuda-pemudi karang taruna dalam menanggapi kondisi wilayah yang berpotensi longsor sehingga dapat timbul kerja sama yang lebih baik dalam pengelolaan lingkungan rawan longsor.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2010). Sampel penelitian diambil dengan metode purposive sampling yaitu 10 anggota perangkat pemerintahan serta 40 anggota

(63)

sehingga peneliti ingin memberikan kontribusi bagi sanak saudara serta teman-teman di Desa Wonodoyo.

3.4. Variabel Penelitian

Menurut Nazir (2003:123) variabel adalah konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan dalam penelitian ini, maka variabel meliputi:

3.4.1. Desain Maket Lansekap Berkontur

Pada variabel ini membahas mengenai proses pembuatan media maket lansekap berkontur sebagai media pendidikan kesiapsiagaan bencana tanah longsor, mencakup desain, alat, bahan, serta tahap pembuatannya. Maket ini dibagi menjadi 2 yaitu : 1) maket lensekap berkontur yang menunjukkan tingkat kerentanan longsor Kecamatan Cepogo, dan 2) maket lansekap berkontur yang menunjukkan tingkat risiko longsor di Kecamatan Cepogo.

3.4.2. Efektifitas Media Maket

Efektifitas media maket diukur dengan menggunakan model Kirkpatrick Four Levels Evaluations Models, pada setiap tahapannya menekankan pada aspek

penilaian yang berbeda sesuai dengan kriteria yang ada. Tahapan tersebut meliputi:

1) Reaction, mengukur tingkat kepuasan sampel selama proses pembelajaran berlangsung dan kepuasan terhadap media maket.

2) Learning, mengukur tingkat pemahaman sampel penelitian terhadap materi

(64)

3) Behavior, mengukur tingkat perubahan perilaku sampel setelah dilakukannya pendidikan kesiapsiagaan bencana longsor menggunakan media maket lansekap berkontur.

4) Result, mengukur efektifitas media maket lansekap berkontur dalam kesiapsiagaan bencana tanah longsor.

3.4.3. Kesiapsiagaan

Pada variabel ini mengukur sejauh mana sikap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tanah longsor.

3.5. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian (Sugiyono, 2010: 148). Adapun instrumen penelitian dalam penelitian ini meliputi:

3.5.1. Instrumen Tes

(65)

3.5.2. Instrumen Non-Tes

Instrumen non-tes berhubungan dengan penampilan yang dapat diamati daripada pengetahuan dan proses mental lainnya yang tidak dapat diamati dengan indera (Widoyoko, 2014). Instrumen non-tes berupa angket yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan (tahap Reaction), sikap kesiapsiagaan dan perubahan perilaku (tahap Behavior). Pada penelitian ini menggunakan skala Likert. Menurut Riduwan (2010) skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial.

3.6. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

3.6.1. Validitas Instrumen

Instrumen dikatakan valid apabila dapat mengukur dengan tepat apa yang ingin diukur. Penelitian ini menggunakan validitas konstruk karena pada setiap butir soal yang telah dibuat berdasarkan tujuan atau sesuai dengan suatu teori tertentu, disini mengacu pada teori Kirkpatrick. Validitas diujikan kepada non-sampel yaitu perangkat desa serta pemuda-pemudi karang taruna usia SMP-SMA di lain desa namun termasuk wilayah administrasi dan pemerintahan Kecamatan Cepogo.

Rumus dalam mengukur validitas instrumen dalam penelitian ini (Arikunto, 2010) sebagai berikut:

∑ ∑ ∑

(66)

Keterangan:

: koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y N : jumlah subyek

X : skor soal yang dicari validitasnya Y : skor total

XY : hasil perkalian antara skor soal dengan skor total

Taraf signifikansi yang digunakan sebesar 5%. Apabila hasil rxy lebih besar dari r tabel, maka instrumen dinyatakan valid, namun apabila rxy lebih kecil dari pada r tabel, maka instrumen dinyatakan tidak valid. Perhitungan ini juga berlaku pada penentuan validitas butir instrumen.

Hasil analisis uji coba soal pengetahuan terdapat 22 soal valid yaitu soal nomor: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 20, 22, 23, 24, 28, 29. Sejumlah 22 soal valid tersebut digunakan dalam pre test dan post test sementara 8 soal yang tidak valid diperbaiki lagi.

Hasil analisis uji coba soal angket terdapat 28 soal valid yaitu soal nomor: 1, 2, 3, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 34, 35, 36, 38, 41. Sejumlah 28 soal valid tersebut digunakan sementara 14 soal yang tidak valid diperbaiki. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

3.6.2. Reliabilitas Instrumen

(67)

pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Reliabilitas menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu.

Terdapat berbagai cara untuk menghitung reliabilitas, dalam penelitian ini, cara yang digunakan adalah dengan rumus K-R20 (Arikunto, 2010), sebagai berikut:

( )( ∑ )

Keterangan:

= reliabilitas instrument = varians total

k = banyaknya butir pertanyaan

p = proporsi subjek yang menjawab betul pada sesuatu butir (proporsi subjek yang mendapat skor 1).

P =

q =

(68)

= + +

Kedua hasil tersebut menunjukkan bahwa > sehingga instrumen tes dan angket tersebut reliabel. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

3.7. Taraf Kesukaran dan Daya Pembeda

3.7.1. Taraf Kesukaran

Taraf kesukaran merupakan derajat yang menunjukkan mudah-sukarnya suatu soal dalam suatu uji. Menurut Arikunto (2008), rumus taraf kesukaran yaitu:

Keterangan :

IK = Indeks Kesukaran

= Jumlah siswa yang menjawab benar pada butir soal pada kelompok

atas

= Jumlah siswa yang menjawab benar pada butir soal pada kelompok

bawah

= Banyaknya siswa pada kelompok atas = Banyaknya siswa pada kelompok bawah

Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut :

Gambar

Tabel 2.1. Karakteristik dasar evaluasi tahap 1-4 dari Kirkpatrick
Gambar 3.1 di bawah ini:
Tabel 3.1. Hasil Analisis Taraf Kesukaran Soal
Tabel 3.2. Hasil Analisis Daya Pembeda Soal
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kontrol Sebelum & Sesudah 32 .684 .000 Dari tabel 4.5 dan 4.6 di atas dapat dicermati bahwa kecemasan pada kelompok intervensi setelah perlakuan menurun sebanyak 7,67 dengan

Hasil analisis deskriptif tentang perilaku disiplin siswa sebelum dan sesudah diberikan layanan informasi dampak pelanggaran disiplin dengan disertai media Grafis,

Masyarakat diharapkan setelah mengikuti pelatihan pembuatan tas dengan teknik makrame dengan bahan dasar tali kur dan sampah an-organik ini dapat mengembangkan keterampilan ini menjadi