• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Hak Keperdataan Warga Masyarakat Di Atas Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Hak Keperdataan Warga Masyarakat Di Atas Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam."

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM HAK KEPERDATAAN

WARGA MASYARAKAT DI ATAS TANAH YANG

BERADA DALAM KAWASAN HUTAN BERDASARKAN

SK MENTERI KEHUTANAN RI NO. SK.

463/MENHUT-II/2013 DI KOTA BATAM

TESIS

OLEH

LIA NUR AINI

127005102 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM HAK KEPERDATAAN WARGA MASYARAKAT DI ATAS TANAH YANG BERADA DALAM KAWASAN

HUTAN BERDASARKAN SK MENTERI KEHUTANAN RI NO. SK. 463/MENHUT-II/2013 DI KOTA BATAM

TESIS

(Disusun Untuk Memperoleh Gelar Megister Ilmu Hukum Pada Program Studi Megister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

Oleh

LIA NURAINI 127005102 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL TESES : PERLINDUNGAN HUKUM

HAK KEPERDATAAN WARGA

MASYARAKAT DI ATAS TANAH YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN BERDASARKAN SK MENTERI

KEHUTANAN RI NO. SK. II/2013 DI KOTA BATAM

NAMA MAHASISWA : LIA NURAINI

NOMOR POKOK : 127005102

PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM

Mengetahui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS.) (Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum)

Anggota

Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH.) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum

Anggota : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H

(5)

ABSTRAK

Penunjukan kawasan hutan Provinsi Kepulauan Riau pertamakali dilakukan atas dasar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Areal Hutan Di Wilayah Provinsi Dati I Riau Sebagai Kawasan Hutan. Keputusan Menteri Kehutanan tersebut didasarkan atas hasil kesepakatan antar berbagai instansi yang berhubungan dengan pengelolaan ruang. Sebagai hasil kesepakatan antar instansi, Keputusan Menteri Kehutanan tersebut lebih dikenal dengan istilah kawasan hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Namun dalam melakukan pembangunan pihak BP Batam tidak mengikuti Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 dan SK Menteri Kehutanan No. 47/Kpts-II/1987. Pada tanggal 27 Juni 2013, Kementrian Kehutanan mengeluarkan SK, yakni SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 yang mengakibatkan beberapa wilayah di Batam yang telah dibangun yakni sudah ada fasilitas umum seperti pelabuhan, perumahan, pemukiman penduduk, pertokoan, pusat bisnis dan pusat industri yang telah diberikan izin oleh BP Batam tersebut, melalui SK 463/2013 tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan dan belum berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) yang menyebabkan keraguan bagi masyarakat akan kepastian hukum status hak atas tanah yang mereka miliki, hal ini mengakibatkan Surat Keputusan (SK) 463/2013 ini menjadi polemik di Kepulauan Riau. Masyarakat, pengusaha, bahkan tokoh adat di Kepulauan Riau melakukan protes. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut yaitu : 1. Bagaimanakah penunjukkan dan penetapan kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam ?, 2. Apakah akibat keperdataan yang timbul terhadap hak atas tanah warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan Sk Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 Di Kota Batam ?, 3.Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap hak keperdataan warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam ?

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam pembahasan tesis ini adalah penelitian normatif, sifat penelitian yang dilakukan adalah preskriptif dan terapan, adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer,bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Teknik pengumpulan sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian yang bersumber dari pendapat-pendapat para ahli berupa doktrin-doktrin hukum, serta wawancara yang dilakukan dengan informan yang dianggap memiliki kompetensi dibidangnya yang bertujuan untuk mendapatkan konsepsi, teori, pendapat atau pemikiran konseptual. Analisis sumber bahan hukum dengan melakukan sistematisasi, menggunakan metode penafsiran, serta melakukan konstruksi.

(6)

Kota Batam ini sebenarnya tidak menunjuk kawasan hutan baru karena dari dulu kawasan tersebut memang kawasan hutan yang telah melalui proses pengukuhan kawasan hutan yakni; penunjukkan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan yang masih dipertahankan dan sebagiannya lagi di ubah fungsinya, dalam SK 463/2013 ada penunjukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dikarenakan sebagai pengganti lahan-lahan yang berdasarkan TGHK 1986.

Akibat keperdataan yang timbul terhadap terhadap hak atas tanah warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan SK 463/2013 ialah; Beberapa perbuatan hukum berupa perjanjian dan perikatan dalam lingkup hukum perdata yang sering dilakukan warga masyarakat terhadap hak atas tanah masih dapat dilakukan tetapi hanya dalam lingkup transaksi antar orang perorangan, untuk ke pihak perbankan seperti bank sertifikat hak atas tanah tidak dapat dijadikan agunan. Upaya perlindungan hukum terhadap hak keperdataan warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan SK 463/2013 yakni daerah yang berdasarkan SK 463/2013 termasuk sebagai kawasan hutan namun dimiliki hak atas tanahnya sebagai tanah hak guna bangunan/ hak pakai oleh masyarakat, maka pihak Kementrian Kehutanan mengusulkan untuk memberikan ganti rugi tanah hak masyarakat tersebut ganti rugi berdasarkan harga umum setempat yang dapat berupa uang, tanah (tukar-menukar lahan), atau fasilitas-fasilitas lain.

Diharapkan Perlu dilakukan pengkajian ulang SK Menteri Kehutanan No: 463/2013 dimana wilayah yang bersengketa harus diselesaikan terlebih dahulu. Diharapkan pula Agar hak keperdataan Masyarakat terlindungi dalam melakukan berbagai perbuatan hukum terhadap sertifikat hak atas tanah yang dimilikinya Kepastian hukum hak atas tanah harus segara di bahas dan diprioritaskan oleh anggota DPR RI agar tidak timbul lagi ketidakpastian hukum atas hak tanah masyarakat. Perlu dilaksanakan segera proses ganti kerugian apabila tanah masyarakat harus diambil untuk dijadikan kawasan hutan harus sesuai dengan kerugian yang dialami masyarakat tersebut dan tidak memakan waktu yang lama, namun apabila sebenarnya keberadaan masyarakat yang sudah terlanjur menempati wilayah kawasan hutan dan tidak berdampak pada lingkungan hidup hendaknya tetap dipertahankan hak-hak masyarakat tersebut.

1. Perlindugan Hukum Kata Kunci :

2. Hak Keperdataan Warga Masyarakat

(7)

ABSTRACT

Appointment forests of Riau Islands Province was first carried out on the basis of Forestry Ministerial Decree No. 173 / Kpts-II / 1986 dated June 6, 1986 on the appointment of the Provincial Forest Area In Riau As provincial, Forest Area. The ministerial decision based on the result of an agreement among the various agencies dealing with space management. As a result of agreements between institutions, the Minister of Forestry is better known by the term forest Forest Land Use Agreement (TGHK). But in doing development does not follow the BP Batam Forestry Ministerial Decree No. 173 / Kpts-II / 1986 and Minister of Forestry Decree No. 47 / Kpts-II / 1987. On June 27, 2013, the Ministry of Forestry issued a decree, the Minister of Forestry Decree No. 463 / Menhut-II / 2013, which resulted in several regions in Batam which has built the existing public facilities such as ports, housing, residential areas, shopping malls, business centers and industrial center that has been granted permission by the BP Batam, through Decree 463/2013 is designated as forest area and forest zone status yet Other (APL) which causes doubts for the community will be the status of legal certainty of land rights that they have, this resulted Decree 463/2013 is being debated in the Riau Islands. Communities, businesses, and even traditional leaders in Riau Islands protest. Under these conditions, legal issues can be formulated as follows, namely: 1 How does the appointment and determination of forest land based on the Minister of Forestry Decree No. 463 / Menhut-II / 2013 in the city of Batam?, 2 Is that arise as a result of the civil rights community land above the land within the forest area by Decree Minister of Forestry Decree No. 463 / Menhut-II / 2013 In the city of Batam?, 3. How legal safeguards against the civil rights of citizens on the land within the forest based on based on the Minister of Forestry Decree No. 463 / Menhut-II / 2013 in the city of Batam?

This type of research is used to answer the problem under discussion in this thesis is a normative study, the nature of the research is prescriptive and applied, as for the legal source material used in this study is the primary legal materials, secondary law and non-law materials. Sources of legal materials collection techniques used in this study is library research (library research) and research derived from the opinions of experts in the form of legal doctrines, as well as interviews conducted with informants who are considered to have competence in their field which aims to get the conception, theory, opinion or conceptual thinking. Analysis of the source material to systematize the law, using the method of interpretation, as well as doing construction.

(8)

still maintained and partly changed its function, the existing designation Decree 463/2013 a forest not as a substitute due to forest lands based TGHK 1986.

Arising due to the civil rights community land on the land within the forest area, based on the Decree 463/2013 is; Some form of legal action and engagement agreements within the scope of civil law are often made citizens of the right to land can still be done but only within the scope of transactions between individuals, to the banks as a bank to land certificates can’t be used as collateral. Efforts legal protection of civil rights of citizens on the land within the forest area, based on the 463/2013 the area, based on the 463/2013 included as forest land, but owned the rights to the land building rights / rights of use by the public, then the Ministry of Forestry proposes to compensate the land rights of the community compensation based on the price of local public which can be money, land (land exchange), or other facilities.

It is expected should be review decision Decree 463/2013 where territorial dispute should be resolved prior. To be expected also protected civil rights community in a variety of legal actions against the land title certificate has legal certainty of land rights must be immediately discussed and prioritized by a member of Parliament does not arise again legal uncertainty over land rights community. Need to be implanted immediately if the land restitution process communities must be taken to be a forest area shall be in accordance with the losses experienced by the people and it takes a long time, but when the actual presence of people who are already occupying the area of forest area and has no impact on the environment should remain defended the rights of the community.

1. The Legal Protection Keyword:

2. Civil Rights of Citizens

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, atas limpahan nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Sungguh Allah telah banyak melimpahkan rezeqi yang tak terhingga kepada penulis. Shalawat beriring salam tak lupa pula disampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, sebagai teladan bagi umat manusia dan menuntun umat manusia dari alam jahiliyah yang kelam ke alam yang terang benderang.

Tesis ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Megister Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara hal ini merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya. Adapun judul yang penulis kemukakan yakni:

“Perlindungan Hukum Hak Keperdataan Warga Masyarakat Di Atas Tanah

Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI

No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam.”

(10)

Kemudian, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Suhaidi, SH., M.H., dan Ibu Dr. Yefrizawati, SH. M.Hum. yang memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi penulis guna penyempurnaan tesis ini.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Mama Hj. Misna, SE. dan Papa Sunardi, Almarhum Atuk H. Abdul Muluk dan Wan Rafinah yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan berkorban tanpa balas jasa mengantarkan penulis kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta Mama dan Papa mertua yang penulis sayangi dan cintai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Suami tercinta Miftah Farid, SH. yang senantiasa memberikan motivasi, menjadi partner diskusi penulis serta atas pengertiannya memberikan waktu kepada penulis untuk fokus dalam pengerjaan tesis ini.

Penulis menyadari ketidaksempurnaan hasil Penulisan Tesis ini karena Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan Penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang membangun guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik lagi.

Semoga Allah SWT melimpahkan segala rahmat dan karunia- Nya kepada kita semua dan memuliakan kita dengan ilmu yang dimiliki.

Wassalam, Penulis

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Lia Nuraini

Tempat/Tgl. Lahir : Pekanbaru, 23 Juli 1990

Alamat : Jalan Pembina III Rumbai Pekanbaru

Agama : Islam

Status Pribadi : Sudah Menikah

Pendidikan : SD 001 Rintis Kec. 50 Pekanbaru : Tahun 1996 SMPN 5 Pekanbaru : Tahun 2002 SMAN 1 Pekanbaru : Tahun 2005 S-1 Fakultas Hukum USU : Tahun 2008 Nama Orang Tua Laki-Laki : Sunardi

Nama Orang Tua Perempuan : Hj. Misna, SE. Anak Ke : 1 dari 0 bersaudara Tahun Masuk Di Prog. Studi

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISTILAH... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian... 12

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teoretis dan Landasan Konsepsional. ... 15

1. Kerangka Teoretis ... 15

2. Kerangka Konsepsional ... 23

G. Metode Penelitian ... 24

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 25

2. Sumber-Sumber Bahan Hukum ... 26

3. Teknik Pengumpulan Sumber Bahan Hukum ... 27

(13)

BAB II PENUNJUKKAN DAN PENETAPAN KAWASAN HUTAN DI

KEPULAUAN RIAU BERDASARKAN SK MENTERI KEHUTANAN

RI NO.

463/MENHUT-II/2013... 28

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian... 28

B. Sejarah Hak Atas Tanah Di Kota Batam... 32

C. Luas Wilayah Hutan Di Kota Batam... 35

D. Penataan Kawasan Hutan Di Kota Batam... 42

E. Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)... 58

F. Pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakata (TGHK) Dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam... 63

G. Penunjukan dan Penetapan Kawasan Hutan Berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI NO. 463/MENHUT-II/2013... 65

BAB III AKIBAT KEPERDATAAN YANG TIMBUL TERHADAP HAK ATAS TANAH WARGA MASYARAKAT YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN BERDASARKAN SK MENTERI KEHUTANAN RI NO. 463/MENHUT-II/2013 DI KOTA BATAM... 74

A. Hak Keperdataan Masyarakat Terhadap Hak Atas Tanah di Kota Batam... 74

(14)

C. Akibat Keperdataan Yang Timbul Terhadap Hak Atas Tanah Warga Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan SK Menteri

Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013... 105

BAB IV UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KEPERDATAAN WARGA MASYARAKAT DI ATAS TANAH YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN BERDASARKAN SK MENTERI KEHUTANAN RI NO. 463/MENHUT-II/2013 DI KOTA BATAM... 115

A. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Keperdataan Warga Masyarakat Di Atas Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan... 115

B. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Hak Keperdataan Warga Masyarakat Di Atas Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 Di Kota Batam... 126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 140

A. Kesimpulan...140

B. Saran...141

(15)

ABSTRAK

Penunjukan kawasan hutan Provinsi Kepulauan Riau pertamakali dilakukan atas dasar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Areal Hutan Di Wilayah Provinsi Dati I Riau Sebagai Kawasan Hutan. Keputusan Menteri Kehutanan tersebut didasarkan atas hasil kesepakatan antar berbagai instansi yang berhubungan dengan pengelolaan ruang. Sebagai hasil kesepakatan antar instansi, Keputusan Menteri Kehutanan tersebut lebih dikenal dengan istilah kawasan hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Namun dalam melakukan pembangunan pihak BP Batam tidak mengikuti Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 dan SK Menteri Kehutanan No. 47/Kpts-II/1987. Pada tanggal 27 Juni 2013, Kementrian Kehutanan mengeluarkan SK, yakni SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 yang mengakibatkan beberapa wilayah di Batam yang telah dibangun yakni sudah ada fasilitas umum seperti pelabuhan, perumahan, pemukiman penduduk, pertokoan, pusat bisnis dan pusat industri yang telah diberikan izin oleh BP Batam tersebut, melalui SK 463/2013 tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan dan belum berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) yang menyebabkan keraguan bagi masyarakat akan kepastian hukum status hak atas tanah yang mereka miliki, hal ini mengakibatkan Surat Keputusan (SK) 463/2013 ini menjadi polemik di Kepulauan Riau. Masyarakat, pengusaha, bahkan tokoh adat di Kepulauan Riau melakukan protes. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut yaitu : 1. Bagaimanakah penunjukkan dan penetapan kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam ?, 2. Apakah akibat keperdataan yang timbul terhadap hak atas tanah warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan Sk Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 Di Kota Batam ?, 3.Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap hak keperdataan warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam ?

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam pembahasan tesis ini adalah penelitian normatif, sifat penelitian yang dilakukan adalah preskriptif dan terapan, adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer,bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Teknik pengumpulan sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian yang bersumber dari pendapat-pendapat para ahli berupa doktrin-doktrin hukum, serta wawancara yang dilakukan dengan informan yang dianggap memiliki kompetensi dibidangnya yang bertujuan untuk mendapatkan konsepsi, teori, pendapat atau pemikiran konseptual. Analisis sumber bahan hukum dengan melakukan sistematisasi, menggunakan metode penafsiran, serta melakukan konstruksi.

(16)

Kota Batam ini sebenarnya tidak menunjuk kawasan hutan baru karena dari dulu kawasan tersebut memang kawasan hutan yang telah melalui proses pengukuhan kawasan hutan yakni; penunjukkan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan yang masih dipertahankan dan sebagiannya lagi di ubah fungsinya, dalam SK 463/2013 ada penunjukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dikarenakan sebagai pengganti lahan-lahan yang berdasarkan TGHK 1986.

Akibat keperdataan yang timbul terhadap terhadap hak atas tanah warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan SK 463/2013 ialah; Beberapa perbuatan hukum berupa perjanjian dan perikatan dalam lingkup hukum perdata yang sering dilakukan warga masyarakat terhadap hak atas tanah masih dapat dilakukan tetapi hanya dalam lingkup transaksi antar orang perorangan, untuk ke pihak perbankan seperti bank sertifikat hak atas tanah tidak dapat dijadikan agunan. Upaya perlindungan hukum terhadap hak keperdataan warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan SK 463/2013 yakni daerah yang berdasarkan SK 463/2013 termasuk sebagai kawasan hutan namun dimiliki hak atas tanahnya sebagai tanah hak guna bangunan/ hak pakai oleh masyarakat, maka pihak Kementrian Kehutanan mengusulkan untuk memberikan ganti rugi tanah hak masyarakat tersebut ganti rugi berdasarkan harga umum setempat yang dapat berupa uang, tanah (tukar-menukar lahan), atau fasilitas-fasilitas lain.

Diharapkan Perlu dilakukan pengkajian ulang SK Menteri Kehutanan No: 463/2013 dimana wilayah yang bersengketa harus diselesaikan terlebih dahulu. Diharapkan pula Agar hak keperdataan Masyarakat terlindungi dalam melakukan berbagai perbuatan hukum terhadap sertifikat hak atas tanah yang dimilikinya Kepastian hukum hak atas tanah harus segara di bahas dan diprioritaskan oleh anggota DPR RI agar tidak timbul lagi ketidakpastian hukum atas hak tanah masyarakat. Perlu dilaksanakan segera proses ganti kerugian apabila tanah masyarakat harus diambil untuk dijadikan kawasan hutan harus sesuai dengan kerugian yang dialami masyarakat tersebut dan tidak memakan waktu yang lama, namun apabila sebenarnya keberadaan masyarakat yang sudah terlanjur menempati wilayah kawasan hutan dan tidak berdampak pada lingkungan hidup hendaknya tetap dipertahankan hak-hak masyarakat tersebut.

1. Perlindugan Hukum Kata Kunci :

2. Hak Keperdataan Warga Masyarakat

(17)

ABSTRACT

Appointment forests of Riau Islands Province was first carried out on the basis of Forestry Ministerial Decree No. 173 / Kpts-II / 1986 dated June 6, 1986 on the appointment of the Provincial Forest Area In Riau As provincial, Forest Area. The ministerial decision based on the result of an agreement among the various agencies dealing with space management. As a result of agreements between institutions, the Minister of Forestry is better known by the term forest Forest Land Use Agreement (TGHK). But in doing development does not follow the BP Batam Forestry Ministerial Decree No. 173 / Kpts-II / 1986 and Minister of Forestry Decree No. 47 / Kpts-II / 1987. On June 27, 2013, the Ministry of Forestry issued a decree, the Minister of Forestry Decree No. 463 / Menhut-II / 2013, which resulted in several regions in Batam which has built the existing public facilities such as ports, housing, residential areas, shopping malls, business centers and industrial center that has been granted permission by the BP Batam, through Decree 463/2013 is designated as forest area and forest zone status yet Other (APL) which causes doubts for the community will be the status of legal certainty of land rights that they have, this resulted Decree 463/2013 is being debated in the Riau Islands. Communities, businesses, and even traditional leaders in Riau Islands protest. Under these conditions, legal issues can be formulated as follows, namely: 1 How does the appointment and determination of forest land based on the Minister of Forestry Decree No. 463 / Menhut-II / 2013 in the city of Batam?, 2 Is that arise as a result of the civil rights community land above the land within the forest area by Decree Minister of Forestry Decree No. 463 / Menhut-II / 2013 In the city of Batam?, 3. How legal safeguards against the civil rights of citizens on the land within the forest based on based on the Minister of Forestry Decree No. 463 / Menhut-II / 2013 in the city of Batam?

This type of research is used to answer the problem under discussion in this thesis is a normative study, the nature of the research is prescriptive and applied, as for the legal source material used in this study is the primary legal materials, secondary law and non-law materials. Sources of legal materials collection techniques used in this study is library research (library research) and research derived from the opinions of experts in the form of legal doctrines, as well as interviews conducted with informants who are considered to have competence in their field which aims to get the conception, theory, opinion or conceptual thinking. Analysis of the source material to systematize the law, using the method of interpretation, as well as doing construction.

(18)

still maintained and partly changed its function, the existing designation Decree 463/2013 a forest not as a substitute due to forest lands based TGHK 1986.

Arising due to the civil rights community land on the land within the forest area, based on the Decree 463/2013 is; Some form of legal action and engagement agreements within the scope of civil law are often made citizens of the right to land can still be done but only within the scope of transactions between individuals, to the banks as a bank to land certificates can’t be used as collateral. Efforts legal protection of civil rights of citizens on the land within the forest area, based on the 463/2013 the area, based on the 463/2013 included as forest land, but owned the rights to the land building rights / rights of use by the public, then the Ministry of Forestry proposes to compensate the land rights of the community compensation based on the price of local public which can be money, land (land exchange), or other facilities.

It is expected should be review decision Decree 463/2013 where territorial dispute should be resolved prior. To be expected also protected civil rights community in a variety of legal actions against the land title certificate has legal certainty of land rights must be immediately discussed and prioritized by a member of Parliament does not arise again legal uncertainty over land rights community. Need to be implanted immediately if the land restitution process communities must be taken to be a forest area shall be in accordance with the losses experienced by the people and it takes a long time, but when the actual presence of people who are already occupying the area of forest area and has no impact on the environment should remain defended the rights of the community.

1. The Legal Protection Keyword:

2. Civil Rights of Citizens

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hutan berfungsi untuk menampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika,1 serta pelestarian tanah dan merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting.2 Hutan sebagai modal pembangunan nasional juga memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik sosial budaya, maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Karakteristik hutan yang merupakan sumber daya yang sangat bernilai mengakibatkan akses pemanfaatan dan kontrol terhadap sumber daya hutan selalu mengundang permasalahan.3

Permasalahan yang sering timbul yakni mengenai penunjukkan maupun penetapan kawasan hutan. Secara yuridis menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

4

1

Siklus atau arus hidrologika adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir, pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologika tersebut dapat berjalan secara berlanjut. Fugsi dari hutan dalam arus hidrologika ini sendiri adalah sebagai modulator, yaitu salah satu tempat pemodifikasian dari uap air ke air begitu seterusnya tidak berhenti. Jika arusnya dihentikan dengan terbakarnya hutan dapat mengganggu siklus atau arus tersebut. Lihat juga

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

2014.

2

Abdul Muis Yusuf dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Kehutanan di Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2011), hlm. 19.

3 Ibid.

(20)

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka (2) : Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.5

Pengertian “kawasan hutan” berubah pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor : 045/PUU-IX/2011 yakni terhadap Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa: “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Pada tanggal 21 Februari 2012 terbit putusan MK Nomor : 045/PUU-IX/2011 tentang Uji Materi Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan. Putusan tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya dengan menghapus frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan, sehingga berbunyi “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Sebaliknya bagian akhir putusuannya, MK juga memberikan pertimbangan mengenai ketentuan peralihan Undang-Undang Kehutanan, khususnya Pasal 81 yang menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, sebelum berlakunya Undang ini”, menurut MK, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mempergunakan frasa “ditunjuk

5

(21)

dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 Undang-Undang Kehutanan tetap sah dan mengikat.6

Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) “kawasan hutan memiliki kepastian hukum setelah melalui 4 tahapan, yakni penunjukkan, penataan batas, pemetaan dan penetapan."7 Kewenangan untuk menetapkan status hutan berada ditangan pemerintah dalam hal ini yakni Kementrian Kehutanan. Sedangkan Kewenangan pengelolaan atas tanah diberikan kepada Otorita Batam yang saat ini telah berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam), sehingga dalam hal ini terjadi tumpang tindih peraturan Perundang-Undangan antara instansi Kementerian Kehutanan dengan Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam) di Kepulauan Riau yang terus terjadi dan berkelanjutan hingga saat ini yang mengakibatkan ketidakpastian hak-hak atas tanah bagi masyarakat akibat adanya penetapan terhadap kawasan hutan tersebut.8

Penunjukan kawasan hutan Provinsi Kepulauan Riau pertamakali dilakukan atas dasar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Areal Hutan Di Wilayah Provinsi Dati I Riau Sebagai Kawasan Hutan, dimana Provinsi Kepulauan Riau masih menjadi bagian dari Provinsi Riau. Keputusan Menteri Kehutanan tersebut didasarkan atas hasil kesepakatan antar berbagai instansi yang berhubungan dengan pengelolaan ruang.

6

Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan Aspek Hukum Pertanahan Dalam Pengelolaan Hutan Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),hlm. 69.

7 Ibid.

(22)

Sebagai hasil kesepakatan antar instansi, Keputusan Menteri Kehutanan tersebut lebih dikenal dengan istilah kawasan hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).9

Pemerintah BP Batam melakukan pembangunan dan pengelolaan atas tanah dengan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, Batam ditetapkan sebagai daerah industri, kemudian dipertegas lagi dengan Permendagri Nomor 43 Tahun 1977 dan sejumlah peraturan-peraturan/keputusan-keputusan lainnya. Hak Pengelolaan yang diberikan kepada Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam).

Salah satu kota di Kepulauan Riau yang menjadi sorotan yakni adalah Kota Batam karena jika dibandingkan wilayah Kepulauan Riau yang lainnya tidak begitu banyak timbul permasalahan kawasan hutan sebagaimana Kota Batam yang pembangunannya sudah sangat pesat.

10

Keppres Nomor 41 Tahun 1973 pada Pasal 6 ayat 2.a. menyatakan, bahwa seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengeloaan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industeri Pulau Batam. Pasal 6 ayat 2.b. menyatakan bahwa Hak Pengelolaan tersebut pada sub 1. ayat ini memberi wewenang kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk:11

a. Merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah tersebut

9

Tim Terpadu, IV, Indentifikasi Kawasan Hutan dan Usulan Perubahan Kawasan Hutan, (Jakarta: Kementrian Kehutanan, 2012), hlm 1.

10

A.P. Parlindungan, I, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1989), hlm. 61.

(23)

b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya

c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai sesuai dengan Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria

d. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan.

Keppres Nomor 41 Tahun 1973 tersebut dipayungi oleh Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan amanat kepada Kementrian Kehutanan untuk melakukan penunjukkan dan menetapkan kawasan hutan. Pada tanggal 27 Juni 2013, Kementrian Kehutanan mengeluarkan SK, yakni SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ± 124.775 (seratus dua puluh empat ribu tujuh ratus tujuh puluh lima) hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas ± 86.663 (delapan puluh enam ribu enam ratus enam puluh tiga) hektar dan perubahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas ± 1.834 (seribu delapan ratus tiga puluh empat) hektar di Provinsi Kepulauan Riau.12

Permasalahan timbul ketika Bp Batam dalam melakukan pembangunan tidak mengikuti Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 dan SK Menteri Kehutanan No. 47/Kpts-II/1987, yang mengakibatkan beberapa wilayah di Batam yang telah dibangun yakni sudah ada fasilitas umum seperti pelabuhan, perumahan, pemukiman penduduk, pertokoan, pusat bisnis dan pusat industri, melalui SK 463/2013 tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan dan belum berstatus Areal

12

(24)

Penggunaan Lain (APL) yang menyebabkan keraguan bagi masyarakat akan kepastian hukum status hak atas tanah yang mereka miliki, hal ini mengakibatkan Surat Keputusan (SK) 463/2013 ini menjadi polemik di Kepulauan Riau. Masyarakat, pengusaha, bahkan tokoh adat di Kepulauan Riau melakukan protes.

Pelanggaran hak keperdataan masyarakat yang merasa dirugikanpun akibat penetapan SK 463/2013 tidak hanya terjadi pada masyarakat yang ingin melakukan transaksi terhadap rumah dan tanah tetapi juga pada masyarakat yang mendiami suatu permukiman baik yang telah lama ditempati maupun yang baru ditempati dan juga bagi pemegang hak pakai atas tanah. Sebagaimana tercantum dalam ketentuan menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang berbunyi:

“Bahwa setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia., dan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif.”

Diketahui bahwa memang Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) mencabut sampai keakar-akarnya seluruh ketentuan mengenai hukum agraria, yang dalam hal ini meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya selama masa penjajahan Hindia Belanda.13

13

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2007) hlm.3

(25)

peraturan-peraturan yang dicabut pada waktu menetapkan UUPA ditegaskan dalam diktum UUPA, yaitu :14

a. Agrarische Wet Stb. 1870 Nomor 55 sebagai yang termuat dalam Pasal 51 I.S. Stb. 1925 Nomor 447. Peraturan ini merupakan basis hukum agraria di zamana kolonial, yang telah banyak ,menimbulkan persoalan dalam hukum agraria di Indonesia sebelum UUPA.

b. Peraturan-peraturan Domein Verklaring, yaitu suatu sistem yang bertalian erat dengan kepentingan penjajah untuk menguasai tanah di Indonesia, yang dalam pelaksanaannya telah banyak menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik.

c. Koninklijk Besluit (Keputusan Raja) tanggal 16 April 1872 Stb. 1872 Nomor 5e117 dan peraturan pelaksanaannya

d. Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) Indonesia sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA.

KUHPerdata mengenal asas perlekatan (asas natrekking atau asas accesie) Pasal 500 KUHPerdata, yang merupakan bagian dari tanahnya, dengan sendirinya bangunan itu tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terhadap tanahnya. Atas dasar itu pula, pemilikan atas tanah hak Barat itu meliputi juga pemilikan dari bangunan yang ada di atas kepunyaan pihak lain menjadi milik yang empunya tanah. Namun karena UUPA telah mencabut Pasal-Pasal yang mengandung penerapan dari Asas Accessie harus dianggap sebagai “tidak berlaku” lagi, maka asas mengenai kepemilikan bangunan yang dipergunakan dalam UUPA yakni :15

1. pada asasnya, ada pemisahan antara tanah dan bangunan yang berdiri diatasnya (asas pemisahan horizontal), yang menyatakaan bahwa hukum yang

14

Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 50-51.

15

(26)

berlaku terhadap tanah tidak dengan sendirinya berlaku juga terhadap bangunan yang berdiri diatasnya.

2. hak pemilikan atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi juga pemilikan bangunan yang ada diatasnya. “Barangsiapa yang membangun, dialah pemilik bangunan yang dibangun itu.”

Tanah masyarakat di kota Batam jarang yang bersertifikat hak milik, melainkan kebanyakan pemerintah memberikan hak atas tanah berupa hak guna bangunan, hak pakai, dan hak guna usaha. Asas pemisahan horizontal memang tetap diperlukan, akan tetapi tidak mutlak, melainkan secara konkret relatif. Dalam kasus-kasus pemilikan bangunan, dapat tersangkut kepentingan tiga pihak, yaitu sebagai berikut :16

1. pihak pertama, yaitu pihak yang membangun 2. pihak kedua, yaitu pihak yang mempunyai tanah

3. pihak ketiga, yaitu pihak yang membeli tanah beserta bangunan yang ada diatasnya dan kreditor yang menerima tanah beserta bangunan yang ada diatasnya sebagai jaminan hutang.

Berbagai faktor kiranya perlu diperhatikan dalam memperlakukan asas pemisahan horizontal tersebut, terhadap kasus-kasus konkret yang dihadapi. Letak tanah dan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pihak yang mempunyai bangunan

(27)

dan pihak ketiga untuk melindungi kepentingannya masing-masing juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan asas tersebut.17

Perlindungan hukum terhadap masyarakat pemegang hak atas tanah diuwujudkan dalam produk Perundang-Undangan yakni dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negera Tahun 1960 Nomor 104) pada tanggal 24 September 1960, yang merupakan tonggak sejarah perkembangan agraria/Hukum Tanah Indonesia pada khususnya.

Masyarakat menjadi resah dan timbul permasalahan terhadap hak keperdataan warga masyarakat, nilai ekonomis dari sertifikat hak atas tanah yang dimiliki masyarakat menjadi berkurang bahkan hilang akibat ketidakpastian sertifikat tanah sehingga masyarakat sulit untuk melakukan berbagai perikatan dan perjanjian dengan pihak lain baik terhadap sertifikat tanah maupun benda tidak bergerak dalam hal ini rumah/bangunan yang berada diatas tanah dalam status tanah berada dalam kawasan hutan sebagaimana ditetapkan SK 463/2013.

Sebagai contoh perikatan dan perjanjian yang timbul terhadap rumah milik masyarakat yang ingin dijual kepada pihak lain, akibat penetapan SK 463/2013 tidak ada yang mau membeli rumah tersebut karena takut akibat ketidakpastian sertifikat tanah atas rumah tersebut.

18

17 Ibid.

18

(28)

Pada tingkatan tertinggi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara. Berarti masih dimungkinkan atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkadung didalamnya itu pada tingkatan dibawahnya di kuasai oleh bukan negara (dalam hal ini dihaki individu/atau badan hukum).19

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut

Pasal 2 ayat 2 UUPA :

“Hak menguasai dari negara termasuk dalam ayat 1 Pasal ini memberi wewenang untuk :

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Azas hak menguasai negara sangat berbeda dengan azas domein. Pada azas hak menguasai negara, negara bukan sebagai pemilik (eigenaar) sebagaimana azas domein tetapi kepada negara di beri wewenang. Akibat penerapan Azas hak menguasai negara ini maka dikenallah :20

a. tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau disebut tanah negara

19

Tampil Anshari Siregar, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bagan, Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2008, hlm. 39-41.

20

(29)

b. tanah-tanah yang tidak dikuasai langsung oleh negara atau disebut tanah hak. Kebijakan politik hukum Agraria (Hukum Tanah) harus bertitik tolak untuk melaksanakan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan bahwa tujuan dikuasainya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara adalah guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga diletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agraria (hukum tanah) yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat. Kebijakan pembangunan berlandaskan pada pendayagunaan potensi dalam negeri, yang berpihak pada rakyat banyak. 21

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas penulis akan mengkaji tentang perlindungan hukum hak keperdataan warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penunjukkan dan penetapan kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam ?

(30)

2. Apakah akibat keperdataan yang timbul terhadap hak atas tanah warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan Sk Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 Di Kota Batam ?

3. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap hak keperdataan warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penunjukkan dan penetapan kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam.

2. Untuk mengetahui akibat keperdataan yang timbul terhadap hak atas tanah warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan Sk Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 Di Kota Batam

3. Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap hak keperdataan warga masyarakat di atas tanah yang yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang dikemukakan di atas, penilitian ini memiliki manfaat praktis dan teoretis yakni sebagai berikut :

(31)

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya khazanah ilmu hukum perdata yakni mengenai proses penunjukkan dan penetapan kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam, akibat keperdataan yang timbul terhadap hak atas tanah warga masyarakat di atas tanah yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan Sk Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 Di Kota Batam dan upaya perlindungan hukum terhadap hak keperdataan warga masyarakat di atas tanah yang yang berada dalam kawasan hutan berdasarkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam.

2. Manfaat Praktis

(32)

dalam kawasan hutan berdasarkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang di lakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian yang membahas judul Perlindungan Hukum Hak Keperdataan Warga Masyarakat di Atas Tanah yang Berada Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Penelitian ini difokuskan mengenai “Perlindungan Hukum Hak Keperdataan Warga Masyarakat di Atas Tanah yang Berada Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam”. Dari hasil pemeriksaan diperoleh beberapa judul tesis yakni :

1. Tesis atas nama FL. Fernando Simanjuntak, NIM : 077005037, dengan judul “Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanisme) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto”.

2. Tesis atas nama Musa Rajekshah, NIM : 077005042, dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan dalam Pengelolaan Hak atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan”.

(33)

Berdasarkan hasil penelusuran judul tesis di atas dapat disimpulkan bahwa judul dan permasalahan dalam penelitian ini dengan judul “Perlindungan Hukum Hak Keperdataan Warga Masyarakat Di Atas Tanah yang Berada Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. SK.463/MENHUT-II/2013 di Kota Batam”. Atas judul dan permasalahan dalam penelitian ini tidak memiliki kesamaan dengan judul dan permasalahan yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu penelitian ini baru pertama kali dilakukan.

F. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Teori memberikan sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dengan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Dengan demikian teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensitematisasikan masalah yang dibicarakannya. Teori bisa juga mengandung subjektivitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks seperti hukum ini.22

Tempat dari teori hukum adalah keseluruhan kegiatan manusia untuk memperlajari hukum. Teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha memperlajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang

22

(34)

demikian itu direkonstruksikan kehadiran teori hukum itu secara jelas. Pada saat seseorang memperlajari hukum positif, maka ia sepanjang waktu dihadapkan pada peraturan-peraturan hukum dengan segala cabang kegiatan dan permasalahannya, seperti kesalahan, penafsirannya dan sebagainya. Tetapi sudah merupakan sifat dari pemikiran manusia untuk selalu menukik dan bertanya lebih dalam lagi kepada masalah yang dihadapinya untuk melakukan penalaran memang tidak pernah akan membiarkannya dalam keadaan yang diam.23

Kerangka teoretis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:24

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya 2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan system klarifikasi fakta,

membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.

3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang diteliti 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh

karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini yakni :

1. Teori Hak dan Kewajiban

23 Ibid.

24

(35)

Definisi hak :25

Hukum memberikan hak kepada manusia dan hukum memberikan pelbagai hak kepada manusia yaitu :

“Hak adalah kekuasaan dan kekuasaan ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang, artinya setiap orang harus mengikuti, menghormati, dan mengindahkan kekuasaan itu.”

26

a. Hak asasi manusia b. Hak Kebendaan c. Hak Perorangan

Ketiga macam hak manusia tersebut dinyatakan sebagai hak hukum, yaitu hak yang diberikan oleh hukum, yang akan dijelaskan di bawah ini:27

a. Hak asasi manusia

Merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak ia ada dalam kandungan ibunya dan sepanjang perjalanan hidupnya sampai ia masuk liang lahat. Sebelum abad ke- 19 orang mengenal “budak belian”. Yaitu orang yang kehilangan hak asasinya, kehilangan hak perdatanya, seperti kehilangan hak asasinya, karena hak hidupnya sudah dibeli majikannya dari seseorang yang mempunyai hak atas budak belian tersebut. Sebagai contoh hak asasi itu, diantaranya adalah hak hidup, hak untuk memperoleh suatu benda, hak memperoleh pekerjaan yang layak dan sebagainya.

b. Hak kebendaan

Merupakan hak untuk memiliki atau menguasai suatu kebendaan, baik itu benda bergerak maupun benda tidak bergerak/tetap, dan hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Artinya bahwa setiap

25

Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 39.

26 Ibid. 27

(36)

orang harus mengakui, menghormati, dan mengindahkan hak milik itu, karena hak milik tersebut merupakan sebagian dari hak kebendaan yang disebut hak mutlak/hak absolut.

c. Hak perorangan

Merupakan hak seseorang untuk menuntut suatu tagihan terhadap seseorang tertentu (tidak setiap orang) dan hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap orang lain tertentu saja.

Definisi Kewajiban :

Kewajiban adalah keharusan, yaitu keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu atas tuntutan 1 (satu) orang atau lebih yang berhak.

Dikenal tiga macam kewajiban dalam ilmu hukum yakni :28

a. kewajiban hukum, yakni kewajiban yang harus dipenuhi sebab apabila tidak dipenuhi, akan menimbulkan akibat hukum, yaitu adanya tuntutan yang berhak agar yang mempunyai kewajiban itu memenuhi kewajibannya, dan melalui keputusan hakim pengadilan dapat memaksa agar kewajibannya itu dipenuhi.

b. Kewajiban alamiah, kewajiban itu tetap ada tetapi yang berhak “kehilangan hak untuk menuntut”, yaitu kehilangan hak untuk memaksa agar yang mempunyai kewajiban memenuhi kewajibannya. c. Kewajiban moral, kewajiban ini tidak harus dipenuhi, bergantung pada

keadaan keuangan/ekonomi yang mempunyai kewajiban moral itu. Atau dengan kata lain pemenuhan kewajiban moral adalah sukarela.

Kewajiban masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku, setelah masyarakat memenuhi kewajibannya tersebut maka masyarakat berhak atas tanah yang telah diterbitkan sertifikat kepemilikannya tersebut dan tentu saja hak tersebut dilindungi oleh negara/pemerintah.

(37)

2. Teori Perlindungan Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah29

Alinea ke empat Pembukaan UUD-RI Tahun 1945 menyatakan bahwa “…. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum….” Kenyataanya persoalan yang terjadi sekarang justru sekarang sulit untuk mempertahankan kepemilikan hak atas tanah. Pada saat sifat persoalan tanah bergeser, yang terlibat bukan lagi antara pemegang hak atas tanah melawan buruh tani, akan tetapi antara pemilik modal bahkan pemerintah melawan pemegang hak atas tanah.

Teori perlindungan hukum yang terdapat dalam pembukaan UUD-RI Tahun 1945, tepat sekali digunakan untuk terjadinya aturan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah. Serta segenap bangsa dan teritoriumnya karena adanya hubungan nilai perjuangan serta motivasi moral yang melandasi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga sesuai pula dengan kepribadian bangsa Indonesia baik yang tertuang di dalam sila-sila Pancasila maupun yang tertulis di dalam peraturan dasar Negara Republik Indonesia sehingga di dalamnya tersedia jaminan perlindungan hukum sebagai berikut :30

29

S. Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah (Studi Kasus :Kepemilikan Hak Atas Tanah Terdaftar Yang Berpotensi Hapus di Kota Medan), (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006), hlm. 85.

(38)

a. Perlindungan hukumnya ditujukan kepada segenap bangsa Indonesia di antaranya pemegang sertifikat hak atas tanah yang namanya dicantumkan di dalam buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya yang berkepastian hukum tetap secara yuridis.

b. Perlindungan hukumnya ditujukan kepada segenap bangsa Indonesia diantaranya pemilik hak atas tanah yang namanya tidak tercantum di dalam buku tanah atau sertifikat hak atas tanah melalui pengadaan dana pertanggungan (asuransi) hak atas tanah yang berkeadilan secara materiil.

c. Perlindungan hukumnya ditujukan kepada segenap bangsa Indonesia diantara meliputi lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya melalui penerbitan sertifikat hak atas tanah yang santun lingkungan didahului

advice planning kota/kabupaten disertai sanksi hukumnya yang bermanfaat secara preventif.

3. Teori Kepastian hukum

(39)

terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia. Van Apeldoorn hanya mengetengahkan dua pengertian:31

a. Kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah yang konkret. Dengan dapat ditentukannya peraturan hukum untuk masalah-masalah yang konkret, pihak-pihak yang berperkara sudah dapat mengetahui sejak awal ketentuan-ketentuan apakah yang akan digunakan dalam sengketa tersebut.

b. Kepastian hukum berarti perlindungan hukum. Dalam hal ini, para pihak yang bersengketa dapat dihindarkan dari kesewenangan penghakiman. Ini berarti, adanya kepastian hukum juga membatasi pihak-pihak yang mempunyai kewenangan yang berhubungan dengan kehidupan seseorang yaitu hakim dan peraturan.

Asas kepastian hukum menghendaki agar harapan-harapan yang wajar hendaknya dihormati; khususnya ini berarti bahwa peraturan harus memuat rumusan norma yang tepat, bahwa peraturan tidak diubah tanpa adanya aturan peralihan dan bahwa peraturan tidak boleh diberlakukan tanpa alasan mendesak.32

Latar belakang dari pemberlakukan asas ini adalah dengan mengeluarkan peraturan, kepastian hukum bagi masyarakat akan terjamin. Masyarakat mengetahui apa yang harus mereka taati dalam hubungan hukum antara mereka dan apa yang boleh mereka harapkan dari pemerintah. 33

31

Lamtiur Imelda P Nababan, Op.Cit., hlm. 21.

32

Haposan Siallagan dan Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundang-Undangan di Indonesia, (Medan: UHN Press, 2008), hlm. 90.

(40)

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengatur pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Hal ini tercantum dalam Pasal 19 UUPA yaitu :34

1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :

a) Pengukuran, perpetaan, dan pembukaan tanah;

b) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c) Pemberian surat-surat tanda bukti, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

4) Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Tujuan pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yakni :35

1) Untuk dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

2) Untuk dapat menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

3) Untuk dapat terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

34

Lihat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

35

(41)

Hakekat kepastian hukum sebenarnya terletak pada kekuatan sertifikat hak atas tanah sebagai bukti pemilikan hak atas tanah termasuk di pengadilan maupun dari gangguan pihak ketiga.36

2. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti. Konsep (concept) adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep adalah definisi. Definisi merupakan suatu pengertian yang relatif lengkap tentang suatu istilah, dan biasanya definisi bertitiktolak pada referensi. Dengan demikian, definisi harus mempunyai ruang lingkup yang tegas, sehingga tidak boleh ada kekurangan-kekurangan atau kelebihan-kelebihan. 37

Kerangka konseptual dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan tetapi pada usaha merumuskan definisi-definisi operasional diluar peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.38

Penelitian ini menggunakan istilah-istilah untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda, antara lain :

36

S. Chandra, Op.Cit., hlm. 39.

37

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 47-48.

38

(42)

Perlindungan hukum yang dimaksud dalam penelitan ini adalah ditujukan kepada segenap bangsa Indonesia di antaranya pemegang sertifikat hak atas tanah yang namanya dicantumkan di dalam buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya yang berkepastian hukum tetap secara yuridis.39

Hak adalah kekuasaan dan kekuasaan ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang, artinya setiap orang harus mengikuti, menghormati, dan mengindahkan kekuasaan itu.

Hak Keperdataan, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Hak untuk memiliki dan / atau menguasai kebendaan berupa tanah.

Warga Masyarakat adalah warga masyarakat yang merupakan penduduk kota Batam.

40

C. Metode Penelitian

Hak atas tanah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hak atas tanah yang ada di Kota Batam yakni Hak Pengelolaan berupa Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan BP Batam kepada masyarakat.

Kawasan hutan adalah wilayah yang telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan hutan dalam SK. 463/MENHUT-II/2013.

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut

39

S.Chandra, Loc.Cit., hlm. 85.

(43)

untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.41

Menurut kamus Webter’s International, “Penelitian merupakan penyidikan terhadap suatu bidang ilmu yang dilakukan secara hati-hati, penuh kesabaran, dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip.” Menurut Hilway, “Penelitian tidak lain dari suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut.”42

Menurut Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter perpektif ilmu hukum.”43

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam pembahasan tesis ini adalah penelitian normatif. Yaitu penelitian yang terdiri dari; penelitian inventarisasi hukum positif, penelitian asas-asas hukum, penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan Perundang-Undangan, dan penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan Perundang-Undangan.44

41

Bambang Sunggono, I, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 38.

42

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm.1.

43

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencara Prenada Media Group, 2005), hlm. 35.

44

(44)

Sifat penelitian yang dilakukan adalah preskriptif dan terapan, sifat penelitian preskriptif adalah mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Kemudian sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum, hal substansial dari ilmu hukum yaitu sifat presktiptifnya tersebut. Tujuan hukum yang merupakan apa yang seharusnya akan berhadapan dengan apa yang senyatanya, dan ini akan memunculkan perbincangan yang akan dicari jawaban “cara apakah untuk dapat menjembatani” antara dua realitas (senyatanya dan seharusnya) tersebut. Hal ini memunculkan sifat preskriptif ilmu hukum, sebab perbincangan itu akan diakhiri dengan memberikan rumusan-rumusan tertentu mengenai cara menjembatani kedua realitas tersebut, dan cara tersebut juga berisi bagaimana seharusnya berbuat/bertingkah laku.45

a. Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mengikat yaitu peraturan Perundang-Undangan, yang terdiri dari :

2. Sumber-Sumber Bahan Hukum

Sumber-sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah:

a) Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan Undang Dasar 1945.

b) Peraturan Perundang-Undangan, yaitu : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor

45

(45)

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan SK. Menteri Kehutanan RI No. 463/MENHUT-II/2013, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan sebagainya.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau karya ilmiah, dokumen pribadi, dan pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan obejek penelitian yang ditelaah

c. Bahan non hukum,yaitu kamus umum, jurnal ilmiah dan internet yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Sumber Bahan Hukum

Teknik sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian yang bersumber dari pendapat-pendapat para ahli berupa doktrin-doktrin hukum, serta wawancara yang dilakukan dengan informan yang dianggap memiliki kompetensi dibidangnya yang bertujuan untuk mendapatkan konsepsi, teori, pendapat atau pemikiran konseptual.

4. Analisis Sumber Bahan Hukum

(46)

pekerjaan penafsiran dan konstruksi.46 Selanjutnya, penulisan ini menggunakan metode penafsiran, penafsiran adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang.47 Serta melakukan konstruksi yakni ketika dihadapkan kepada situasi adanya kekosongan hukum (rechts vacuum) sedangkan pada metode interpretasi persitiwa tersebut sudah di atur di dalam Undang-Undang hanya saja pengaturannya masih belum jelas.48

46

Bambang Sunggono, II, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 195.

(47)

BAB II

PENUNJUKKAN DAN PENETAPAN KAWASAN HUTAN DI KEPULAUAN

RIAU BERDASARKAN SK MENTERI KEHUTANAN RI NO.

463/MENHUT-II/2013 DI KOTA BATAM

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Provinsi Kepulauan Riau dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Riau. Provinsi Kepulauan Riau terdiri atas 5 (lima) kabupaten dan 2 (dua) kota, yakni Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kota Tanjungpinang, dan Kota Batam. Sesuai dengan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, luas wilayahnya sebesar 251.810,71 km², meliputi luas lautan 241.215,30 km² (95,79 %) dan sisanya seluas 10.595,41 km² (4,21 %) merupakan wilayah daratan.49

Beberapa pulau yang relatif besar diantaranya Pulau Bintan merupakan lokasi kedudukan Ibukota Provinsi (Tanjungpinang), Pulau Batam merupakan Pusat Pengembangan Industri dan Perdagangan, Pulau Rempang, dan Galang merupakan kawasan perluasan wilayah industri Batam, Pulau Karimun, Pulau Kundur, Pulau

49

(48)

Lingga, Pulau Bunguran di Natuna, serta Gugusan Pulau Anambas. Berikut Tabel Risalah Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau :50

No. Nama

(49)

Kepulauan Riau

Penelitian ini difokuskan pada Kota Batam, kota Batam terletak pada jalur yang sangat strategis karena kota ini bersebelahan dengan Selat Singapura dan Malaysia di bagian utara, berbatasan dengan Kabupaten Lingga di sebelah selatan, dengan Kabupaten Karimun di barat serta arah timur dengan Pulau Bintan dan Tanjung Pinang. Hal ini menjadikan Kota Batam sebagai jalur yang harus dilewati oleh banyak pedagang mulai dari skala kecil sampai pedagang raksasa. Hal ini karena sebagai jalur pelayaran internasional menyebabkan kota ini mampu menjadi daya tarik bagi orang luar untuk mendapatkan keuntungan di sana.51

Hal ini dapat dipahami karena dengan besarnya arus perdagangan maka akan menimbulkan multiplier effect52 bagi bidang usaha lainnya seperti semakin pesatnya kawasan hiburan, semakin maraknya pusat perbelanjaan dan sebagainya. Multiplier effect ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi kota Batam langsung menanjak.53

Tujuan awal yang menjadikan Pulau Batam sebagai Singapuranya Indonesia, mendorong pemerintah Indonesia membuat keputusan untuk menjadikan Pulau

52

Multiplier effect adalah hasil kali pertambahan tiap pos pendapatan nasional. Multiplier effect sendiri yang sendiri yang paling populer adalah penggandaan Pajak, Pengganda investasi, dan Pengganda belanja pemerintah. Lihat juga

(50)

Batam sebagai daerah industri. Untuk mewujudkannya, rencana ini didukung sepenuhnya oleh Badan Otorita Batam (BOB) atau yang lebih dikenal sebagai Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Selanjutnya berubah nama menjadi Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).

Program ini terjadi pada tahun 70-an tepatnya dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973. Hal ini karena Kota Batam merupakan kota yang menempati posisi strategis. Berada di ujung pulau Indonesia serta berdekatan dengan Malaysia dan negara maju Singapura membuatnya menjadi salah satu kawasan yang terhubung dalam jalur pelayaran internasional.

Batam juga dijadikan suatu kawasan yang menjadi prioritas pengembangan pertama. Pulau ini menjadi basis logistik dan operasional bagi usaha-usaha yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai.54

B. Sejarah Hak Atas Tanah di Kota Batam

Kota Batam adalah suatu kota yang berbeda kondisinya dengan kota lain di Indonesia di karenakan letak starategis kota Batam yang berdekatan dengan dengan luar negeri sehingga menjadi daerah wilayah usaha bounded werehouse atau kawasan berikat yang menjadikan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 dengan tujuan untuk memperlancar pelaksanaan pengembarangan daerah industri. Melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 dinyatakan bahwa seluruh tanah yang

54

Gambar

Tabel Ad. 1.  Kawasan Hutan Lindung di Kota Batam
Tabel Ad. 2 Kawasan Hutan Produksi Terbatas di Provinsi Kepulauan Riau
Tabel Ad. 3 Kawasan Hutan Produksi yang dapat di Konversi/ Penggunaan Lain (HPK/PL) di Provinsi Kepulauan Riau

Referensi

Dokumen terkait