• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Atas Penyitaan Jaminan Atas Tanah Hak Milik Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Atas Penyitaan Jaminan Atas Tanah Hak Milik Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

PEBRI YANTI SIREGAR

117011131/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

PEBRI YANTI SIREGAR

117011131/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nama Mahasiswa : PEBRI YANTI SIREGAR

Nomor Pokok : 117011131

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum) (Notaris Dr. H. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum

(5)

Nim : 117011131

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR TERHADAP JAMINAN ATAS TANAH HAK MILIK

YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN DI

DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

suatu daerah dalam hal penguasaan tanah mengakibatkan konflik yang berimbas pada proses pembangunan ekonomi suatu daerah. Misalnya di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara. Klaim atas suatu bidang tanah, yang oleh Dinas Kehutanan dianggap merupakan wilayah hutan sesuai dengan isi Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di Wilayah Provinsi Sumatera Utara Seluas ± 3.742.120 Ha. Kemudian seiringan dengan itu, ternyata Kantor Pertanahan juga merasa berhak melakukan pengurusan tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Hak. Pada tahun 2007 di Kabupaten Padang Lawas diterbitkan beberapa sertipikat hak milik oleh Kantor Pertanahan dengan alasan bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat dan merupakan wilayah permukiman msyarakat, padahal bila dilihat dalam peta lampiran SK. 44/Menhut-II/2005, tanah-tanah yang telah disertipikatkan tersebut berada dalam kawasan hutan. Pada tahun 2012, sertipikat tersebut dijaminkan oleh pemegang haknya untuk memperoleh kredit di PT. Bank Sumut Cabang Gunungtua. Setelah sertipikat ini diterima menjadi jaminan di Bank, tentunya kemudian hari ketika debitur wanprestasi/kredit macet akan menjadi masalah dalam hal eksekusi. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang dikaji adalah mengeni akibat hukum terhadap hak milik atas tanah yang berada dalam kawasan hutan, perlindungan kreditur atas jaminan tanah hak milik yang berada dalam kawasan hutan di Padang Lawas Utara, dan eksekusi jaminan tanah hak milik yang berada dalam kawasan hutan ketika debitur wanprestasi?

Untuk menjawab permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian secara yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder. Kemudian teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen ke perpustakaan, yang diperkuat dengan wawancara ke pihak terkait, dan dianalisis secara kualitatif dengan metode deduktif.

Sertipikat yang telah diterbitkan dalam kawasan hutan ternyata tidak berkekuatan hukum sebagai alat penjamin hutang. Karena sertipikat tersebut tidak dapat dilakukan pembebanan hak tanggungan sehingga perlindungan kreditur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang merujuk pada Undang-Undang Hak tanggungan tidak terpenuhi. Seiringan dengan hal tersebut, PT. Bank Sumut Cab. Gunung Tua tidak mempunyai kedudukan sebagai kreditur yang diistimewakan. Sehingga dalam proses eksekusi jaminan ketika debitur macet juga tidak dapat dijalankan sehubungan tidak didaftarnya Hak Tanggungan atas sertipikat tersebut. Namun permasalahan ini diselesaikan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999, yang hasil putusannya menyatakan bahwa penunjukan kawasan hutan melalui SK.44/Menhut-II/2005 tidaklah mengikat. Sehingga tanah-tanah yang ditetapkan tanpa dilakukan pengukuhan hutan terlebih dahulu bukanlah merupakan kawasan hutan. Oleh karena itu, sertipikat yang telah diterbitkan kembali kepada statusnya sebagai hak terkuat.

(7)

land acquisition has brought a conflict influencing the process of economic development of a district/city. For example, in Padang Lawas Utara District, the claim of a lot of land which is regarded by the Forestry Service as a forest area in accordance with the content of the Decree of Minister of Forestry No. 44/Menhut-II/2005 on the Designation of Forest Areas in the Province of Sumatera Utara covering an area of ± 3.742.120 Ha. Then, in line with this decree, the District Land Office thinks that it is also entitled to do land administration based on the Government Regulation No. 24/1997 on Land Registration. in 2007, several property right certificates had been issued by the Land Office in Padang Lawas Utara District on the grounds that the land belonged to adat land is a residential area whereas in the map attached to the Decree of Minister of Forestry No.44/Menhut-II/2005 the lands have been certified are located in the forest area. In 2012, the land sertificates were used as the collateral by the holders to get credit from PT. Bank Sumut Gunungtua Branch. After the sertificates were accepted as the collaterals by the bank, of course, it will be a problem in terms of execution in the future when the debtors breach the agreement or have non-performing loan. Based on this issue, the research problems to be answered in this study were related to the legal consequence of the right to the land belonged to forest areas, the legal protection for the debtor and the collateral in the forms of certified lands located in the forest areas in Padang Lawas Utara, and the execution of the collateral in the forms of certified lands located in the forest areas in case the debtors breach the agreement.

To answer this questions, this normative juridical study was conducted using the secondary data obtained through documentation study or library research and the primary data obtained through interviewing the related parties. The data obtained were qualitatively analyzed using deductive method.

The sertificates of the lands located in the forest areas which have been issued do not have legal force as a collateral because the sertificates cannot be imposed with collateral right that the protection for the creditor in Articles 1131 and 1132 of the Indonesian Civil Codes referring to Law on Collateral Right cannot be met. In line with this, PT. Bank Sumut Gunungtua Branch does not have a position as a privileged creditor that in the process of collateral execution when the debtors had non-performing loan PT. Bank Sumut Gunungtua Branch could not do anything because collateral right for the sertificates were not registered. Yet, this problem was settled through the Decision of Constitutional Court No.45/PUU-IX/2011 on the judicial review of Article 1 (3) of Law No. 41/1999 on Forestry deciding that the designation of forest areas through the Decree No. 44/Menhut-II/2005 is not binding that the lands designated without being firstly confirmed as forest areas are not forest areas. Therefore, the certificates which have been issued are returned to their previous status as the strongest rights.

(8)

mengkaruniakan kesehatan dan kelapangan berfikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan dalam bentuk tesis ini dapat juga terselesaikan oleh Penulis dengan waktu yang telah ditetapkan.

Shalawat beriring salam Penulis persembahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa nikmat Islam kepada kita semua. Adapun tesis ini berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR ATAS PENYITAAN JAMINAN ATAS TANAH HAK MILIK YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN DI DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA”. Penulisan tesis ini dimaksudkan memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Magister Kenotariatan di Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan tesis ini Penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Papa Aiptu. SOBIAN GEMPAR SIREGAR, dan Mama DUMA HARI HARAHAPyang sangat Penulis cintai dan sumber inspirasi dalam kehidupan penulis, dimana berkat doa, kasih sayang dan keikhlasan hatinya yang telah membesarkan dan mendidik Penulis hingga saat ini. Kakakku, Agustya Siregar, S.A.P, adik-adikku Irsal Pandiangin Siregar dan Anggi Anna Sari Siregar, serta kakak sepupu Fatmah Harahap, SH, semoga kasih sayang mereka tetap menyertai Penulis.

Selanjutnya ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

(9)

5. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn selaku Dosen Pembimbing III. 6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, dan Bapak Notaris Syafnil Gani,

SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji.

7. Bapak dan Ibu Dosen yang telah ikhlas menyumbangkan ilmunya kepada Penulis, dan sekaligus Staff Administrasi di Magister Kenotariatan USU.

8. Tulang H. Palar Harahap, dan Nantulang Hj. Irmayani Siregar sebagai pengganti orang tua penulis selama penulis tinggal di Medan.

9. Orang spesial dalam kehidupan sehari-hari penulis, Imran Harahap, SH, karena kesabarannya dan motivasinya sehingga penulis masih memiliki kekuatan dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

10. Teman-teman kuliah, Kelas Reguler Khusus 2011 Magister Kenotariatan USU yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

11. Seluruh teman-teman yang telah menyumbangkan tenaganya dalam penulisan tesis ini.

Demikian penulis panjatkan, semoga tesis ini bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Medan, Februari 2014 Penulis,

(10)

Nama : PEBRI YANTI SIREGAR Tempat/tanggal lahir : Batusangkar / 04 Februari 1987

Alamat : Desa Tanjung Salamat, Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara.

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 27 tahun

Warga negara : Indonesia

Agama : Islam

Orang tua (Ayah) : Aiptu Sobian Gempar Siregar Orang tua (Ibu) : Duma Hari Harahap

II. PENDIDIKAN

SD : SD Negeri Nomor 142886 Binanga (Periode 1993-1999)

SMP : SMP Negeri 1 Barumun Tengah (Periode 1999-2002)

SMA : SMA Negeri 3 Plus Sipirok (Periode 2002-2005) Universitas : Strata I Ilmu Hukum Universitas Islam Sumatera

Utara. (Periode 2005-2009)

(11)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR ISTILAH ASING ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Kerangka Teori ... 13

G. Kerangka Konsepsi ... 18

H. Metode Penelitian... 19

BAB II AKIBAT HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN... 25

A. Penataan Kawasan Hutan... 25

B. Prosedur Penerbitan Sertipikat Hak Milik Oleh Badan Pertanahan Nasional ... 41

(12)

JAMINAN TANAH HAK MILIK YANG BERADA DALAM

KAWASAN HUTAN DI PADANG LAWAS UTARA ... 73

A. Profil Kabupaten Padang Lawas Utara ... 73

B. Kegiatan Perekonomian Masyarakat Padang Lawas Utara ... 75

C. Proses Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Milik Atas Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan... 77

D. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Menurut KHUPerdata 90 E. Tanggung Jawab Kantor Pertanahan Tapanuli Selatan Terhadap Sertipikat Yang Diterbitkan Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Padang Lawas Utara ... 102

F. Pendapat Pemerintah Padang Lawas Utara Menyikapi SK-44/Menhut-II/2005 ... 106

BAB IV EKSEKUSI JAMINAN TANAH HAK MILIK YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN KETIKA DEBITUR WANPRESTASI ... 114

A. Sumber Hukum Dan Tata Cara Eksekusi... 114

B. Kendala Pelaksaan Eksekusi Terhadap Jaminan Sertipikat Hak Milik Yang berada dalam Kawasan Hutan ... 131

C. Upaya Penyelesaian Masalah yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Dalam Kawasan Hutan ... 138

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 144

A. Kesimpulan ... 144

B. Saran ... 145

(13)

Tabel 2. Luas Wilayah dan Rasio Terhadap Total Menurut Kecamatan Tabel 3. Luas Tanam dan Produksi Menurut Jenis Komoditas Tahun 2012

Tabel 4. Banyaknya Industri Kecil Menengah dan Tenaga Kerja Menurut Jenisnya Tahun 2012

Tabel 5. Jumlah Desa Berdasarkan Kawasan Hutan Menurut Kecamatan Di Kabupaten Padang Lawas Utara

(14)

BW : Burgerlijke Wetboek

HIR : Herzien Inlandsch ReglementatauReglemenIndonesia Baru

Staatsbladtahun 1984 No.16 yang diperbaharui dengan

Staatsbladtahun 1941 No. 44 Berlaku untuk Jawa dan Madura.

KBK : Kawasan Budidaya Kehutanan KBNK : Kawasan Budidaya Non Kehutanan KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata MK : Mahkamah Konstitusi

Menhut : Menteri Kehutanan PALUTA : Padang Lawas Utara

R.Bg. : Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang (Staatsblad tahun 1927 No. 227) berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura.

SK : Surat Keputusan SKM : Surat Kuasa Menjual

SKMHT : Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan TGHK : Tata Guna Hutan Kesepakatan

(15)

Beschikking : penetapan

Besturen : mengurus

Beheeren : mengelola

Capital : modal

Capacity : kapasitas

Character : karakter

Condition of economy : kondisi ekonomi

Credere : kepercayaan

Deelbaar zaken : benda yang dapat dibagi

Degree of risk : tingkat resiko

de facto : kenyataan dan kebenarannya dilapangan

de jure : berdasarkan hukum

Executoriaal beslag : sita eksekutorial

Execution : menyelenggarakan artinya melaksanakan

Feasibility study : studi kelayakan

Gebruik : hak pakai

Holding zone : lahan bermasalah

Lichamelijke zaken : benda berwujud

Maintenance : pemeliharaan

Negoitiation : perundingan

Onlichamelijke zaken : benda tidak berwujud

Onroerende zaken : benda tidak bergerak

Ondeelbaar zaken : benda yang tidak dapat dibagi

Onverbruikbaar zaken : benda tidak habis pakai

(16)

Rescheduling : penjadwalan kembali

Restructuring : penataan kembali

Regelen : mengatur

Roerende zaken : benda bergerak

Toezichthouden : mengawasi

Tegenwoordige zaken : benda yang sudah ada

Toekomstige zaken : benda yang masih akan ada

Use : penggunaan/peruntukan,

Verbintennissenrecht : hukum kontrak

Verbruikbaar zaken : benda habis pakai

Vervangbaar zaken : Benda yang dapat diganti

Zaak : benda

Zakenrecht : hukum benda

Zaken in de handel : benda dalam perdagangan

(17)

suatu daerah dalam hal penguasaan tanah mengakibatkan konflik yang berimbas pada proses pembangunan ekonomi suatu daerah. Misalnya di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara. Klaim atas suatu bidang tanah, yang oleh Dinas Kehutanan dianggap merupakan wilayah hutan sesuai dengan isi Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di Wilayah Provinsi Sumatera Utara Seluas ± 3.742.120 Ha. Kemudian seiringan dengan itu, ternyata Kantor Pertanahan juga merasa berhak melakukan pengurusan tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Hak. Pada tahun 2007 di Kabupaten Padang Lawas diterbitkan beberapa sertipikat hak milik oleh Kantor Pertanahan dengan alasan bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat dan merupakan wilayah permukiman msyarakat, padahal bila dilihat dalam peta lampiran SK. 44/Menhut-II/2005, tanah-tanah yang telah disertipikatkan tersebut berada dalam kawasan hutan. Pada tahun 2012, sertipikat tersebut dijaminkan oleh pemegang haknya untuk memperoleh kredit di PT. Bank Sumut Cabang Gunungtua. Setelah sertipikat ini diterima menjadi jaminan di Bank, tentunya kemudian hari ketika debitur wanprestasi/kredit macet akan menjadi masalah dalam hal eksekusi. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang dikaji adalah mengeni akibat hukum terhadap hak milik atas tanah yang berada dalam kawasan hutan, perlindungan kreditur atas jaminan tanah hak milik yang berada dalam kawasan hutan di Padang Lawas Utara, dan eksekusi jaminan tanah hak milik yang berada dalam kawasan hutan ketika debitur wanprestasi?

Untuk menjawab permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian secara yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder. Kemudian teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen ke perpustakaan, yang diperkuat dengan wawancara ke pihak terkait, dan dianalisis secara kualitatif dengan metode deduktif.

Sertipikat yang telah diterbitkan dalam kawasan hutan ternyata tidak berkekuatan hukum sebagai alat penjamin hutang. Karena sertipikat tersebut tidak dapat dilakukan pembebanan hak tanggungan sehingga perlindungan kreditur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang merujuk pada Undang-Undang Hak tanggungan tidak terpenuhi. Seiringan dengan hal tersebut, PT. Bank Sumut Cab. Gunung Tua tidak mempunyai kedudukan sebagai kreditur yang diistimewakan. Sehingga dalam proses eksekusi jaminan ketika debitur macet juga tidak dapat dijalankan sehubungan tidak didaftarnya Hak Tanggungan atas sertipikat tersebut. Namun permasalahan ini diselesaikan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999, yang hasil putusannya menyatakan bahwa penunjukan kawasan hutan melalui SK.44/Menhut-II/2005 tidaklah mengikat. Sehingga tanah-tanah yang ditetapkan tanpa dilakukan pengukuhan hutan terlebih dahulu bukanlah merupakan kawasan hutan. Oleh karena itu, sertipikat yang telah diterbitkan kembali kepada statusnya sebagai hak terkuat.

(18)

land acquisition has brought a conflict influencing the process of economic development of a district/city. For example, in Padang Lawas Utara District, the claim of a lot of land which is regarded by the Forestry Service as a forest area in accordance with the content of the Decree of Minister of Forestry No. 44/Menhut-II/2005 on the Designation of Forest Areas in the Province of Sumatera Utara covering an area of ± 3.742.120 Ha. Then, in line with this decree, the District Land Office thinks that it is also entitled to do land administration based on the Government Regulation No. 24/1997 on Land Registration. in 2007, several property right certificates had been issued by the Land Office in Padang Lawas Utara District on the grounds that the land belonged to adat land is a residential area whereas in the map attached to the Decree of Minister of Forestry No.44/Menhut-II/2005 the lands have been certified are located in the forest area. In 2012, the land sertificates were used as the collateral by the holders to get credit from PT. Bank Sumut Gunungtua Branch. After the sertificates were accepted as the collaterals by the bank, of course, it will be a problem in terms of execution in the future when the debtors breach the agreement or have non-performing loan. Based on this issue, the research problems to be answered in this study were related to the legal consequence of the right to the land belonged to forest areas, the legal protection for the debtor and the collateral in the forms of certified lands located in the forest areas in Padang Lawas Utara, and the execution of the collateral in the forms of certified lands located in the forest areas in case the debtors breach the agreement.

To answer this questions, this normative juridical study was conducted using the secondary data obtained through documentation study or library research and the primary data obtained through interviewing the related parties. The data obtained were qualitatively analyzed using deductive method.

The sertificates of the lands located in the forest areas which have been issued do not have legal force as a collateral because the sertificates cannot be imposed with collateral right that the protection for the creditor in Articles 1131 and 1132 of the Indonesian Civil Codes referring to Law on Collateral Right cannot be met. In line with this, PT. Bank Sumut Gunungtua Branch does not have a position as a privileged creditor that in the process of collateral execution when the debtors had non-performing loan PT. Bank Sumut Gunungtua Branch could not do anything because collateral right for the sertificates were not registered. Yet, this problem was settled through the Decision of Constitutional Court No.45/PUU-IX/2011 on the judicial review of Article 1 (3) of Law No. 41/1999 on Forestry deciding that the designation of forest areas through the Decree No. 44/Menhut-II/2005 is not binding that the lands designated without being firstly confirmed as forest areas are not forest areas. Therefore, the certificates which have been issued are returned to their previous status as the strongest rights.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketidakpastian dan ketimpangan penguasaan kawasan hutan negara dapat menghambat pencapaian efektifitas dan keadilan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Persoalan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi bisnis kehutanan, pemerintah dan perbankan. Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan terjadi diantaranya akibat legislasi dan kebijakan yang tidak terformulasi jelas, pemberian izin yang tidak terkoordinasi dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal terhadap penggunaan hutan. Hal ini memicu kemunculan konflik-konflik di kawasan hutan.

Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan kemanfaatan lingkungan, pemerintah harusnya mempertahankan dan menetapkan luas kawasan hutan dalam suatu wilayah.

“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”1

Pengertian kawasan hutan yang ditafsir sepihak olek Menteri Kehutanan sebagai kegiatan penunjukan semata dan penunjukan tersebut dianggap sudah mempunyai kekuatan hukum, maka berdampak kepada pelaksanaan penegakan

(20)

hukum di bidang kehutanan yang tidak adil juga mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum dalam menentukan sebuah kawasan hutan dan tumpang tindih dalam penunjukan kawasan hutan.2Bahkan di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara sekalipun penunjukan kawasan hutan mengakibatkan banyak warga yang dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum.

Penetapan kawasan hutan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur/mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kawasan hutan, termasuk menetapkan tanda batas dan rambu-rambu hutan. Namun dalam kenyataannya pemerintah kurang memperhatikan hal tersebut sehingga menimbulkan masalah dalam penguasaan hutan.

Dalam Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960, Bupati diberikan wewenang untuk menilai atas kepentingan tanah dengan kebijaksanaan sebagai berikut :

1. Atas tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain dikuasai langsung oleh Negara. Manakala tanah tersebut telah dipakai untuk kepentingan pemerintah maka dijamin pemenuhannya;

2. Tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain yang telah diduduki rakyat untuk perumahan dan perkampungan tetap dipertahankan keberadaannya; 3. Tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain yang ditanami rakyat

ditempuh jalan kebijakan;

4. Tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain yang telah diolah rakyat menjadi tanah pertanian dibagikan kepada rakyat tersebut.3

2Elviana Sagala, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah Yang Masuk Dalam Kawasan Hutan Akibat Terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.44/MENHUT-II/2005 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di Propinsi Sumatera Utara (Studi Di Kabupaten Labuhan Batu),(Medan : Perpustakaan Usu, tesis, 2012), hlm. 120.

(21)

Berdasarkan Undang-Undang diatas, maka Bupati selaku Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mempertahankan keberadaan perkampungan dan tanah pertanian untuk kepentingan dan kemakmuran masyarakat daerah. Hal ini juga merujuk kepada pasal 33 UUD 1945.

Menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai status hak atas tanah. Tanah negara dapat dimohonkan menjadi hak milik apabila telah memperoleh ijin atau pembebasan areal hutan dari menteri kehutanan setempat.

Chairuddin K. Nasution dan Fauzi Chairul F, menuliskan “sebelum pengajuan sesuatu hak atas tanah yang dikuasai Negara (terutama areal-areal hutan) maka terlebih dahulu diperlukan pembebasan areal hutan tersebut. Konversi areal kehutanan untuk menjadi areal sesuatu hak atas tanah ditentukan berdasarkan peraturan-peraturan.”4

Sehubungan dengan hal diatas, ternyata di wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara terdapat beberapa wilayah pedesaan yang merupakan tanah negara telah berdiri hak milik diatas tanah tersebut tanpa dilakukan pembebasan areal hutan sebelumnya. Hak milik diberikan kepada masyarakat karena pengakuan tentang adanya tanah ulayat dari masyarakat hukum adat setempat yang terjadi secara turun menurun.

(22)

Dengan diakuinya hak ulayat tersebut, maka masyarakat adat yang telah bermukim dalam wilayah Padang Lawas Utara merasa mempunyai hak untuk melakukan peralihan secara hukum dan legal dihadapan Pejabat yang berwenang, serta berhak melakukan pendaftaran tanah.

UUPA mengatur kewajiban bagi para pemegang hak untuk mendaftarkan hak atas tanahnya. Hal ini diatur dalam pasal 23 UUPA, yaitu : ayat (1) Hak milik demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19, dan ayat (2) pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Menurut Boedi Harsono, pendaftaran tanah adalah “Suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus-menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayahtertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.”5 Pendaftaran tanah menghasilkan sertipikat hak milik sebagai tanda bukti hak.

Pada tahun 2007 di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara, diterbitkan beberapa sertipikat hak milik oleh Kantor Pertanahan Tapanuli Selatan yang menurut

(23)

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44.SK/Menhut-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Propinsi Sumatera Utara seluas 3.742.120 Ha sebagai turunan dan pelaksanaan dari Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, tanah-tanah yang didaftarkan tersebut termasuk dalam sebagian wilayah kawasan hutan Kabupaten Padang Lawas Utara. Namun ternyata penunjukan kawasan hutan ini belum seutuhnya diketahui oleh masyarakat di daerah tersebut. Sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi para pemegang hak.

Sementara itu, tujuan pemberian tanda bukti hak oleh kantor pertanahan diharapkan dapat bermanfaat bagi kemajuan perekonomian nasional, khususnya bagi perekonomian masyarakat Padang Lawas Utara karena sertipikat hak atas tanah yang diberikan dapat menjadi jaminan atau agunan untuk memperoleh kredit perbankan.

(24)

Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana, bank harus mendasarkan kegiatannya pada peraturan yang berlaku. Karena hal ini dapat berpengaruh pada tingkat kesehatan keuangan bank itu sendiri yang kemudian berakibat kepada pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Dalam kegiatan penyalur dana tersebut, bank aktif memberikan pinjaman atau kredit kepada nasabah/debitur. Pada tahun 2012, sertipikat-sertipikat yang berada dalam kawasan hutan itu dijaminkan oleh pemegang haknya kepada salah satu Bank di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara untuk memperoleh kredit.

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian jumlah bunga.”6

Bank dapat meminjamkan modal kepada nasabahnya dan kemudian nasabah-nasabahnya itu yang telah diberi pinjaman modal harus sanggup mengembalikan pinjaman kepada pihak Bank sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama secara angsuran atau kredit. Pemberian fasilitas yang diberikan oleh pihak Bank menuntut pihak Bank untuk meminta jaminan atas peminjaman tersebut sebagai keyakinan dari bank bahwa pihak nasabah mampu untuk memenuhi prestasinya.

Kredit diberikan berdasarkan keyakinan bank atas kesanggupan debitur melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dan tidak berkembang menjadi

(25)

kredit bermasalah atau kredit macet. Oleh karena itu, pemberian kredit tentunya diikuti dengan penyerahan jaminan, baik jaminan berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Tidak sedikit yang memberikan jaminan berupa barang tidak bergerak yang tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ketempat yang lainnya, contohnya jaminan berupa tanah dan bangunan yang mereka punya agar mereka mendapatkan uang yang akan menjadi modal berusaha. Hak milik atas tanah yang merupakan hak terkuat dan terpenuh yang dipunyai orang atas tanah dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak milik dapat dijadikan jaminan dengan dibebani hak tanggungan yang mengandung unsur titel eksekutorial.

“Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”7

Biasanya debitur memberikan jaminan sertipikat hak atas tanah untuk mendapatkan plafond kredit yang lebih tinggi. Pada saat ini sertipikat hak atas tanah merupakan objek jaminan kredit yang paling disukai oleh bank, sebab tanah dianggap lebih bernilai secara ekonomis yang relatif tinggi dan dari segi prospeknya nilai tanah menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat.

(26)

“Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”8

Jaminan berarti kekayaan yang dapat diikatkan jaminan guna kepastian pelunasan dibelakang hari kalau penerima kredit tidak melunasi hutangnya. Penerima kredit merupakan siapa saja yang mendapat kredit dari bank dan wajib mengembalikannya setelah jangka waktu tertentu. Penerima kredit meliputi perseorangan ataupun badan usaha.9

Istilah jaminan juga mengandung arti sebagai kepercayaan/keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Jaminan atau agunan adalah aset pihak peminjam yang dijanjikan kepada pemberi pinjaman jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Jika peminjam gagal bayar, pihak pemberi pinjaman dapat memiliki agunan tersebut.

Dalam praktek perbankan jaminan kredit terdiri atas jaminan pokok dan jaminan tambahan. Jaminan pokok adalah jaminan yang terdiri dari benda-benda bergerak atau benda-benda tidak bergerak, yang secara langsung berhubungan dengan aktivitas usaha yang dibiayai dengan kredit. Sementara yang dimaksud dengan jaminan tambahan adalah jaminan yang dapat berupa jaminan pribadi atau jaminan perusahaan yang dibuat secara notaril. Atau dapat pula berupa benda-benda tidak bergerak / benda-benda bergerak yang tidak dijaminkan sebagai jaminan pokok,

8Pasal 1 angka 23 UU Perbankan.

(27)

misalnya tanah atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang harus disimpan dalam berkas khusus.

Dalam pengikatan kredit, jaminan sering menjadi faktor penting untuk meningkatkan nilai kredit perseorangan ataupun perusahaan. Bahkan dalam perjanjian kredit gadai, jaminan merupakan satu-satunya faktor yang dinilai dalam menentukan besarnya pinjaman.

Sebagai kabupaten yang baru berkembang, banyak usaha perbankan yang ingin meningkatkan kegiatan bisnisnya di wilayah kabupaten Padang Lawas Utara. Hal ini dipicu karena masih banyak lahan masyarakat di wilayah tersebut yang belum dijaminkan pada lembaga perbankan, sehingga banyak pihak perbankan yang berlomba-lomba memberikan fasilitas kredit kepada masyarakat, sehingga membuat masyarakat tergiur dan ingin menggunakan jasa bank untuk meningkatkan usahanya. Namun ternyata hal ini juga menimbulkan persaingan antara bank. Dan akhirnya bank lalai dalam melakukan penilaian terhadap jaminan kredit debitur.

Dengan diterbitkannya sertipikat hak milik di beberapa wilayah di Kabupaten Padang Lawas Utara, bank beranggapan bahwa setiap sertipikat yang telah diterbitkan itu bebas dari sengketa, gugatan, dan mempunyai kepastian bagi pemegang haknya. Ini membuat bank langsung menerima jaminan tersebut tanpa melakukan pengecekan ke lokasi dan berkomunikasi kepihak terkait akan status hak tanah itu.

(28)

Kabupaten Padang Lawas Utara, jaminan sertipikat tanah yang diterimanya itu ternyata masuk dalam kawasan hutan negara berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44.SK/Menhut-II/2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Propinsi Sumatera Utara.

Sebenarnya secara umum Undang-Undang telah memberikan jaminan atau perlindungan kepada Kreditur. Tanpa diperjanjikan sebelumnya oleh para pihak, kreditur sudah mempunyai hakverhaal atas benda-benda milik debitur, yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari. Terhadap jaminan umum ini, para kreditur berkedudukan sebagai kreditur konkuren (persaingan), artinya kedudukan para kreditur adalah sama, tidak ada yang lebih diutamakan di antara satu dengan yang lain. Apabila debitur wanprestasi, maka semua benda miliknya dijual lelang dan dibagi di antara para kreditur secara seimbang dengan jumlah piutang masing-masing kreditur (secara

ponds-ponds gewijze).10Hal ini diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Walaupun undang-undang telah memberikan perlindungan terhadap kreditur seperti yang telah disebutkan diatas, tetap saja kreditur belum merasa aman karena dalam prakteknya letak jaminan terhadap benda-benda kekayaan debitur itu dinyatakan masuk dalam kawasan hutan negara di Kabupaten Padang Lawas Utara.

(29)

Apabila dikaji lebih dalam pengikatan kredit yang jaminannya berada dalam kawasan hutan akan menimbulkan masalah bagi kreditur apabila debitur wanprestasi, salah satunya adalah dalam proses penyitaan jaminan atau eksekusi.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka diambil judul “Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Terhadap Eksekusi Jaminan Atas Tanah Hak Milik Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara.”

B. Permasalahan

Ketidakpastian letak wilayah kawasan hutan menimbulkan diterimanya jaminan debitur yang masuk dalam kawasan hutan. Hal ini nantinya pasti akan menimbulkan masalah dalam proses pengikatan kredit dan juga eksekusi jaminan, karena penerbitan bukti kepemilikan hak itu tidak memperhatikan letak kawasan hutan.

Dari uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana akibat hukum terhadap hak milik atas tanah yang berada dalam kawasan hutan?

2. Bagaimana perlindungan hukum bagi kreditur atas jaminan tanah hak milik yang berada dalam kawasan hutan di Padang Lawas Utara?

3. Bagaimana eksekusi jaminan tanah hak milik yang berada dalam kawasan hutan ketika debitur wanprestasi?

C. Tujuan Penelitian

(30)

1. Mengetahui akibat hukum terhadap hak milik atas tanah yang berada dalam kawasan hutan.

2. Mengetahui perlindungan hukum bagi kreditur atas jaminan tanah hak milik yang berada dalam kawasan hutan di padang lawas utara.

3. Mengetahui eksekusi jaminan tanah hak milik yang berada dalam kawasan hutan ketika debitur wanprestasi.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi akademis dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya, serta sebagai referensi/bahan perbandingan bagi para peneliti lainnya yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan tentang tulisan ini.

2. Manfaat praktis :

a. Memberikan masukan kepada para Kreditur sebagai pihak yang memberikan kredit agar tercipta kelancaran pembayaran lunas hutang-hutang debitur. b. Memberikan masukan kepada Kantor Pertanahan sebagai penerbit sertipikat

hak milik untuk lebih memperhatikan letak tanah yang dimohonkan haknya sehingga memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang Hak dan kreditur.

(31)

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan hasil judul-judul penelitian yang ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), khususnya pada Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian tentang “Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Terhadap Eksekusi Jaminan Atas Tanah Hak Milik Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara” ternyata belum pernah diteliti dalam topik dan permasalahan yang sama.

Namun ditemukan beberapa tesis karya mahasiswa yang menyangkut masalah sertipikat hak atas tanah dalam kawasan hutan, namun permasalahan dan bidang kajiannya sangat berbeda, yaitu :

1. Tesis atas nama Elviana Sagala, Nim : 107011073, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah Yang Masuk Dalam Kawasan Hutan Akibat Terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.44/MENHUT-II/2005 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di Propinsi Sumatera Utara (Studi Di Kabupaten Labuhan Batu).”

Jika dihadapkan judul ataupun permasalahan penelitian diatas dengan penelitian yang dilakukan ini adalah berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dinyatakan memiliki keaslian serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk dikritik yang sifatnya konstruktif (membangun).

F. Kerangka Teori

(32)

konsep yang memiliki hubungan yang sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena sosial tertentu. Teori merupakan salah satu hal yang paling fundamental yang harus dipahami seorang peneliti ketika ia melakukan penelitian karena dari teori-teori yang ada peneliti dapat menemukan dan merumuskan permasalahan sosial yang diamatinya secara sistematis.11

Teori berisi uraian sistematis mengenai teori-teori yang relevan dengan variabel penelitian. Landasan teori setidaknya meliputi penjelasan dan pendefinisian mengenai variabel, hubungan antar variabel.12

Van Hocke mendefinisikan teori hukum dalam ilmu hukum sebagai sistem pernyataan (klaim), pandangan dan pengertian yang saling berkaitan secara logikal berkenaan dengan sistem hukum itu, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga berdasarkannya dimungkinkan untuk menjabarkan interpretasi aturan hukum atau pengertian dalam hukum konsep hukum) yang terbuka bagi pengujian.13

Teori yang digunakan adalah teori kepastian hukum (rechtszekerheid / legal security) yang kemudian didukung oleh teori persamaan hak,dan tumpang tindih hak. Hukum berperan sebagai alat penertiban masyarakat dan mengatur pergaulan hidup, menyelesaikan sengketa, serta mengubah aturan yang disesuaikan dengan perkembangan mansyarakat. Sedangkan fungsi hukum menurut Van Kan adalah hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya

kepentingan-11Erwan Agus Purwanto, dan Dyah Ratih Sulistyastuti,Metode Penelitian Kuantitatif Untuk Administrasi Publik Dan Masalah-Masalah Sosial,(Yogyakarta : Gava Media, 2011), hlm. 16.

12Ibidhlm.34.

(33)

kepentingan itu tidak dapat diganggu. Lebih jauh dijelaskan bahwa hukum mempunyai tugas menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum yang dilakukan seharusnya menjamin sebuah kepastian hukum.

Teori ini dikemukakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis masalah tentang kekaburan norma serta ketidakpastian yang terjadi terhadap pemegang hak atas tanah berupa sertipikat hak milik yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan, karena berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tanah-tanah tersebut merupakan wilayah kawasan hutan negara. Padahal menurut Undang-Undang Kehutanan, “hutan negara adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang tidak dibebani hak milik.”14 Ini tentunya menimbulkan tumpang tindih hak dalam penguasaan hak atas tanah. Hal ini juga berdampak kepada pihak kreditur yang menerima sertifikat tersebut sebagai jaminan atas utang-utang debitur.

Salah satu dampak yang dapat dirasakan pihak kreditur adalah proses penyitaan jaminan apabila debitur kredit macet. Dalam UUHT kreditur dengan kekuasaan sendiri dapat menjual langsung obyek hak tanggungan, sebagai salah satu

ciri preferensi hak tanggungan dan merupakan perwujudan dari asas droit

depreference. Sedangkan dengan adanya keputusan Menteri Kehutanan, kekuasaan

kreditur seperti itu akan terganggu.

Berdasarakan hal tersebut diatas terdapat ketidakkonsistenan dalam mengklaim wilayah kehutanan antara Kantor pertanahan dan dinas kehutanan yang

(34)

mengakibatkan pada ketidakpastian hukum. Selanjutnya dalam kaitannya dengan terjadinya suatu konflik norma dalam substansi perundang-undangan dalam hal penyitaan jaminan utang, maka diperlukan adanya interpretasi atau penafsiran hukum sebagai salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang tidak jelas mengenai peristiwa tersebut diatas.

Teori persamaan hak merupakan salah satu asas terpenting dalam hukum modern saat ini, yang mengandung arti bahwa hukum memberi persamaan hak setiap orang. Negara Republik Indonesia, menganut asas bahwa setiap warga Negara memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Hukum ini dibuat dengan maksud untuk melindungi dan mengatur masyarakat secara umum.

Persamaan hak terdapat pada bunyi pembukaan UUD 1945. Manusia lahir dengan membawa hak azasi pada dirinya. Dalam kehidupan sehari-hari hak azasi itu dapat berupa Hak kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu hak yang berkaitan dengan kehidupan hukum dan pemerintahan. Contohnya hak mendapat perlindungan hukum, hak untuk diperlakukan secara adil, dan lain-lain, serta hak untuk diperlakukan sama dalam tata cara pengadilan. Contohnya dalam penyelidikan, penahanan, penyitaan, dan lain-lain.

Dalam pasal 28 UUD 1945 diperjelas juga bahwa :

a. Setiap warga negara Indonesia berhak atas perlindungan dirinya sendiri dan harta benda yang dikuasainya.

(35)

Oleh karena itu, kreditur dan debitur berhak secara bersama-sama mendapatkan kepastian hukum khususnya dalam mengurus harta bendanya. Apabila pihak bank yang dirugikan karena debitur kredit macet berhak mendapat kompensasi atas kekayaan debitur, yaitu terhadap sertipikat hak milik yang telah dijaminkan debitur atas utang-utangnya itu. Demikian pula halnya debitur, debitur harus merelakan harta bendanya itu untuk disita dan kemudian dijual guna pelunasan utang-utangnya, dan apabila terdapat sisanya maka debitur berhak atas sisa pembayaran tadi.

Teori selanjutnya adalah tumpang tindih hak. Banyaknya kebijakan dan keputusan dari beberapa instansi yang diakui oleh pemerintah menimbulkan tumpang tindihnya pemberian atau pengakuan hak atas tanah di Indonesia yang berujung kepada sengketa pertanahan, khususnya pada daerah Kabupaten Padang Lawas Utara.

Pada umumnya tujuan penyelesaian sengketa adalah untuk memperoleh adanya kepastian hukum bagi seluruh pihak yang terlibat dalam suatu persengketaan. Tujuan kepastian itu sendiri akan dapat terpenuhi apabila seluruh perangkat atau sistem hukum itu dapat berjalan dan mendukung tercapainya suatu kepastian hukum, khususnya peranan lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk menciptakan kepastian hukum.

(36)

sengketa pertanahan di Indonesia, walaupun faktor pendukung lainnya cukup dominan juga dalam mempengaruhi kurangnya kepastian hukum dimaksud, seperti banyaknya keputusan hakim yang tumpang tindih atau keputusan hakim yang tidak dapat dieksekusi (non executable) di lapangan.”15

G. Kerangka Konsepsi

Konsepsi dipergunakan untuk menghindari adanya perbedaan pengertian dari beberapa istilah yang dipakai dalam penulisan. Oleh karena itu penulis menjelaskan beberapa defenisi yang ditemukan dalam tulisan ini, sebagai berikut :

a. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif

maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.16

b. Penyitaan adalah proses, cara, perbuatan, pengambilan milik pribadi oleh pemerintah tanpa ganti rugi.17

c. Kreditur18 adalah pihak yang berhak atas pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran kewajiban, prestasi atau utang.

15Elza Syarief,Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan,KPG, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hlm. 371-372.

16 Perlindungan hukum, Rahayu, 2009, Pengangkutan Orang, etd.eprints.ums.ac.id, diakses pada tanggal 25 Maret 2013.

(37)

d. Debitur19 yaitu subjek hukum yang harus memenuhi kewajiban membayar prestasi atau utang yang harus dipenuhi, dilaksanakan, dan dilunasi.

e. Jaminan, dirumuskan sebagai agunan.

f. Pemegang hak adalah orang atau badan hukum yang memiliki hak atas tanah yang sudah terdaftar atau bersertipikat, atau tanah bekas milik adat yang belum terdaftar atau belum bersertipikat.20

g. Sertipikat hak milik adalah bukti hak berupa sertipikat yang pemiliknya memiliki hak penuh atas kepemilikan tanah pada kawasan tertentu dengan luas tertentu yang telah disebutkan dalam sertipikat itu.

h. Kawasan hutan adalah wilayah hutan yang ditunjuk oleh pemerintah untuk dilindungi keberadaannya.

i. Kredit macet, adalah keadaan dimana salah satu pihak tidak membayar atau tidak mampu membayar utang-utangnya.

H. Metode Penelitian

Metode berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai tujuan, artinya peneliti tidak bekerja secara acak-acakan.21 Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji

18 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

19Ibid. Pasal 1angka 3

20 Pengertian pemegang hak atas tanah, http://penelitihukum.org/tag/pengertian-pemegang-hak-atas-tanah, diakses pada tanggal 25 Maret 2013.

(38)

kebenaran suatu pengetahuan. Usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah untuk penelitian disebut metodologi penelitian (metodologiresearch). Maka yang dimaksudkan sebagai penelitian itu adalah sebagai aktivitas ilmiah bertujuan untuk menemukan sesuatu yang baru, dimana orang sebelumnya belum pernah menemukannya setelah kita melakukan studi kepustakaan.22

Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif,23 mencari jawaban dari permasalahan melalui studi pustaka atau peraturan perundang-undangan24yang bersifat menjelaskan dengan cara meneliti dan membahas peraturan-peraturan hukum yang berlaku saat ini.

Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law in the books)atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.25

Oleh karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) yang kemudian didukung oleh wawancara kepada para pihak sebagai sumber yang memperkuat hasil penelitian. Pendekatan tersebut

22Muslan Abdurrahman,Sosiologi Dan Metode Penelitian Hukum,(Malang : Penerbit UMM Press, 2009), hlm. 91.

(39)

melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan, norma-norma dalam hukum positif yang berhubungan dengan judul serta dihubungkan dengan praktek yang terjadi dalam masyarakat.

2. Sumber Data

Untuk bahan penelitian, dikumpulkan sebanyak mungkin data yang diperoleh mengenai masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini bersifat yuridis normatif, maka digunakan:

a. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari buku-buku, literature, artikel-artikel yang berasal dari surat kabar, tulisan ilmiah dan peraturan perUndang-Undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, meliputi :

1. Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan peraturan-peraturan yang terdiri dari:

- Undang-Undang Dasar 1945. - Hukum Acara Perdata.

- Undang-Undang RI No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

- Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. - Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

- Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

(40)

- Permeneg Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bahan hukum primer. Bahan sekunder juga merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganilisis dan memahami bahan hukum primer, seperti buku-buku ilmiah para sarjana, tesis atau hasil-hasil penelitian lainnya, majalah, dan makalah-makalah.

3. Bahan hukum tersier yang di dapat untuk memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu Kamus hukum atauencyclopedia.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Padang Lawas Utara yang terletak dalam Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten ini merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan sehingga diperlukan perhatian khusus dalam pembangunan daerahnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah cara atau langkah-langkah yang dilakukan oleh penulis untuk memperoleh data sebanyak mungkin.

(41)

1. Studi dokumen yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara

(research library) dengan mengumpulkan segala data sekunder, baik itu

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berhubungan dengan topik penelitian, kemudian dipelajari sehingga dapat menjadi sumber penelitian.

2. Wawancara merupakan alat pendukung dalam pengumpulan data penelitian ini. Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan baik tertulis maupun lisan kepada informan secara bebas dan tertutup sehingga dapat menjadi sumber data yang akurat untuk menjawab permasalahan diatas. Wawancara ditujukan kepada Kepala Bidang Rahabilitas dan Perlindungan Hutan pada Kantor Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Kabupaten Padang Lawas Utara, Kepala Seksi I Bidang Peralihan dan Pendaftaran Tanah, Pimpinan PT. BANK SUMUT Cabang Gunung Tua, Masyarakat Padang Lawas Utara, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Tapanuli Selatan, Juru Sita Pengganti Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan.

5. Analisis Data

Analisis data yang dipilih adalah analisis data secara kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas.

(42)

jaminan Sertipikat hak milik, dan berlanjut pada penyitaan jaminan karena debitur kredit macet yang ternyata jaminan sertipikat itu berada dalam kawasan hutan akibat adanya keputusan Menteri Kehutanan, kemudian kenyataan dan pelaksaannya diuji dan dianalisis dengan teori hukum yang ada dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(43)

BAB II

AKIBAT HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN

A. Penataan Kawasan Hutan

Secara yuridis normatif, Pengertian hutan menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 pasal 1 huruf (b) adalah : “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan, berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan hutan pada pasal 1 huruf (b) adalah “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.

Menurut, A. Arief, Hutan adalah sutau masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan yang dinamis.26

Kemudian menurut, Hasanu Simon, Hutan adalah suatu asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didonimasi oleh pohon dan vegetasi berkayu yang mempunyai luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikrodan kondisi ekologi yang spesifik.27

26 Arief. A, Hutan, Hakikat Dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. 9.

(44)

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, definisi hutan ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Sedangkan kawasan hutan diartikan sebagai wilayah-wilayah tertentu yang oleh menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Yang dimaksud dengan menteri disini adalah menteri yang diserahi urusan kehutanan.

Dalam penjelasan pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 diuraikan bahwa hutan dalam undang-undang ini diartikan sebagai suatu lapangan yang cukup luas, bertumbuhan kayu, bambu dan/atau palem yang bersama-sama dengan tanahnya, beserta segala isinya baik berupa alam nabati maupun alam hewani, secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan dan/atau manfaat-manfaat lainnya secara lestari.

Dengan merujuk kepada pengertian dalam UU kehutanan 1967 tersebut, pengertian hutan tidak dianut pemisahan secara horizontal antara suatu lapangan (tanah) dengan apa yang diatasnya. Antara suatu lapangan (tanah), tumbuh-tumbuhan/alam hayati dan lingkungannya merupakan suatu kesatuan yang utuh; hutan yang dimaksud ini adalah dilihat dari sudut de facto yaitu kenyataan dan kebenarannya dilapangan. Disamping itu adanya suatu lapangan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan, dimaksudkan untuk menetapkan suatu lapangan (tanah) baik yang bertumbuhan pohon atau tidak sebagai hutan tetap. Dalam ketentuan ini dimungkinkan suatu lapangan yang tidak bertumbuhan pohon-pohon di luar kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Keberadaan hutan disini adalah de jure (penetapan pemerintah).28

(45)

Dari pengertian tentang hutan dan kawasan hutan sebagaimana tercantum dalam undang-undang kehutanan dapat disimpulkan bahwa, pengertian “hutan” adalah pengertian pisik atau ekologi, yaitu suatu hamparan lahan/tanah yang di dominasi pepohonan sebagai satu kesatuan ekosistem. Sedangkan pengertian “kawasan hutan” adalah pengertian yuridis atau status hukum, yaitu wilayah atau daerah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Penguasaan atas hutan oleh pemerintah di dasarkan kepada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut dijabarkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang menegaskan tentang hak menguasai dari negara, dinyatakan bahwa Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakann peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

(46)

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasaan “mengatur” sehingga membuat peraturan, kemudian “menyelenggarakan” artinya melaksanakan (execution) atas penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaan (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai dari negara tersebut.29

Abrar Saleng berpendapat bahwa rumusan hak menguasai negara atas hutan artinya negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan, dan hak atas sumber daya alam yang berupa hutan tersebut dalam lingkup mengatur (regelen), mengurus, mengelola (besturen, beheeren) dan mengawasi (toezichthouden) pengelolaan dan pemanfaatan hutan.30

Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan sebagaimana konsepsiDomein Verklaringyang ada pada zaman pemerintahan Kolonial Belanda.31 Sejarah lahirnya landasan hukum agraria nasional termasuk sejarah dari terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) salah satu point penting dari UUPA adalah mencabut “Domein Verklaring” yang merupakan pelaksanan dari hukum agraria pada masa penjajahan Belanda yang biasa disebut “Agrarische Wet” (Staatsblad1870 No. 55). Pernyataan dari “Domein Verklaring” itu berbunyi :

29A.P. Parlindungan,Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria(Bandung: CV. Mandar Maju, cetakan kesembilan, 2008), hlm. 44.

30Abrar Sabeng,Hukum Pertambangan(Jakarta: UII Press, cet I, 2004), hlm. 18.

(47)

“Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikannya, bahwa itu eigendomnya adalah domein atau milik Negara.”32

Konsep tersebut dapat dikatakan sangat tidak menghargai bahkan mengganggu hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat. Karena hak-hak rakyat atas tanah yang sudah turun temurun akan tetapi tidak dapat dibuktikan eigendomnya dianggap domein atau milik negara.

Dalam konteks penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan maka pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan “Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Intinya adalah hutan sebagai sumber kekayaan alam Indonesia pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat, dan digunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia. Dalam pengertian ini hutan “dikuasai” tetapi bukan “dimiliki” oleh negara, melainkan suatu pengertian kewajiban-kewajiban dan pemegang amanah rakyat dalam lapangan hukum publik sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan : “Penguasaan hutan oleh negara tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah untuk : (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil

(48)

hutan, (b) menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan bukan kawasan hutan, (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.”

Jika dihubungkan dengan teori kewenangan maka pemerintah mendapat kewenangan untuk menguasai, mengatur dan mengurus hutan berdasarkan wewenang atribusi yang diberikan oleh pembentuk undang-undang kehutanan.33 Dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara, menurut H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt, setidaknya terdapat 3 (tiga) sumber kewenangan pemerintah yaitu :

1. Atribusi, adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang (DPR) kepada suatu organ pemerintahan.

2. Delegasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

3. Mandat, adalah jika satu organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya, dalam hal ini tidak terjadi perubahan wewenang apapun yang terjadi hanyalah hubungan internal antara atasan dan bawahan.34

Pemerintah atau eksekutif yang dipresentasikan oleh presiden dalam menjalankan tugas pemerintahannya dibantu oleh para menteri atau kementerian kehutanan. Pada dasarnya dalam undang-undang kehutanan tidak ditemukan rumusan yang menyatakan bahwa menteri atau kementerian kehutanan menguasai tanah

33Bambang,Op Cit,hlm. 78.

(49)

kawasan hutan, namun tidak berarti tanah kawasan hutan tidak ada yang menguasai. Jika merujuk pada konstruksi undang-undang kehutanan penguasaan hutan termasuk tanahnya adalah domain negara bukan pemerintah.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai status hutan dengan tanah hutan, dimana antara pepohonan dengan tanah memiliki pengaturan yang berbeda. Sehingga apabila pepohonan telah ditebang maka status hukum sebagai hutan akan berakhir dan tanahnya kembali menjadi tanah negara yang diurusi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Salah satu pendapat yang berkenaan dengan ini adalah :

Dengan adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (LNRI 1999-167, TLNRI 3587). Hukum Tanah Nasional (HTN) ditafsirkan sebagai tidak berlaku terhadap tanah-tanah yang berada di kawasan hutan. Padahal HTN berlaku untuk semua tanah diwilayah negara, seperti dapat disimpulkan dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1967 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan dengan bidang tugas kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum. Hak penguasaan yang ada pada menteri yang membidangi kehutanan, sebenarnya hanya mengenai hutan, dalam arti tegakan-tegakan yang ada di kawasan hutan. Tidak meliputi kewenangan mengenai tanahnya. Kiranya kewenangan mengenai tanah dikawasan hutan yang sekarang kenyataannya dilaksanakan oleh menteri tersebut, dapat diberikan landasan hukumnya dengan diberikan hak pengelolaan kepada departemen yang bidangnya meliputi urusan kehutanan.35

Kembali melihat pengertian hutan menurut pasal 1 angka 2 dan angka 3 serta pasal 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Pada pasal 1 angka 2 disebutkan adanya suatu hamparan lahan. Lahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti

(50)

pula tanah.36 Dengan demikian lahan dengan pepohonan merupakan bagian yang tidak terpisahkan, karena dalam rumusan tersebut dinyatakan sebagai “suatu kesatuan ekosistem”

Menurut Otto Soemarwoto, suatu konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem, yaitu suatu sistim ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tidak hidup di suatu tempat yang berinteraksi membuat satu kesatuan yang teratur.37

Selanjutnya pada pasal 1 angka 3 disebutkan adanya suatu “wilayah tertentu”, suatu wilayah menunjukkan adanya suatu daerah dimana tentunya berkaitan dengan tanah, karena tidak ada suatu daerah yang terpisah dari tanahnya. Akan tetapi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Singkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan Dengan Bidang Tugas Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi, dan Pekerjaan Umum, telah memisahkan penguasaan antara pepohonan dengan tanahnya tidak tepat. Penguasaan kawasan hutan oleh menteri yang ditetapkan melalui sebuah undang-undang lebih tinggi kedudukan hukumnya dari sebuah Instruksi Presiden sesuai dengan hirarki perundang-undangan di Indonesia pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 pasal 7 ayat (1).

Menurut Achmad Sodiki, inti masalahnya adalah pada hak menguasai negara yang diterapkan pada undang-undang sektoral tersebut tidak menunjukkan kesamaan

36 Kementerian Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Edisi keempat, PT. Gramedia Pustaka Utama.

(51)

penafsiran tentang isi dan batas-batasnya. Sehingga terkesan adanya tumpang tindih kewenangan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum.38

Perbedaan sudut pandang pada dasarnya disebabkan perbedaan cara pandang dan dasar hukum yang berbeda. Disatu sisi dasar hukum yang digunakan adalah UUPA dan peraturan pelaksananya, sedangkan disisi Kementerian Kehutanan didasarkan kepada ketentuan undang-undang kehutanan beserta peraturan pelaksanaannya.

Kementerian Kehutanan mengemban amanah untuk mengelola hutan di Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, pasal 10 menyatakan:

(1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.

(2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan :

a) Perencanaan kehutanan, b) Pengelolaan hutan,

c) Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan

d) Pengawasan.

Pada pasal 11 Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan : (1) Perencanaan Kehutanan dimaksudkan untuk memberi pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3. (2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung gugat, partisipatif, terpadu serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi

(52)

daerah. Kemudian pasal 12 menyatakan bahwa Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi :

a. Inventarisasi hutan,

b. Pengukuhan kawasan hutan, c. Penatagunaan kawasan hutan,

d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan e. Penyusunan rencana kehutanan.

Penjelasan Pasal 12 menerangkan : “Dalam pelaksanaan dilapangan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan tidak selalu mendahului kegiatan penatagunaan hutan, karena pengukuhan kawasan hutan yang luas akan memerlukan waktu yang lama. Agar diperoleh kejelasan fungsi hutan pada salah satu bagian tertentu, maka kegiatan penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setidak-tidaknya setelah ada penunjukan”.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan, dimana dalam pasal 1 butir (1) dikatakan, “Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan”.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, mengemukakan :

(53)

(2) Tujuan perencanaan kehutanan adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang optimum dan lestari.

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, menyatakan : (1) Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan :

a. Inventarisasi hutan, b. Pengukuhan kawan hutan, c. Penatagunaan kawasan hutan,

d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan e. Penyusunan rencana kehutanan.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di dukung peta kehutanan dan atau data numerik.

(3) Pedoman pemetaan kehutanan dan pengelolaan data numerik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.

Pasal 4 menyatakan perencanaan kehutanan dilaksanakan : a. Secara transparan, partisipatif dan bertanggung-gugat;

b. Secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor terkait dan masyarakat seta mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya dan berwawasan global;

c. Dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah termasuk kearifan tradisional.

Inventarisasi hutan adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumber daya hutan untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Ruang lingkup inventarisasi hutan meliputi : survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Inventarisasi hutan wajib dilaksanakan karena hasilnya digunakan sebagai bahan perencanaan pengelolaan hutan agar diperoleh kelestarian hasil. Hierarki inventarisasi hutan adalah inventarisasi hutan tingkat nasional, inventarisasi hutan tingkat wilayah, inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan. Tujuan inventarisasi hutan adalah untuk mendapatkan data yang akan diolah menjadi informasi yang akan digunakan sebagai bahan perencanaan dan perumusan kebijaksanaan strategis jangka panjang, jangka menengah dan operasional jangka pendek sesuai dengan tingkatan dan kedalaman inventarisasi yang dilaksanakan.39

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 4.
Tabel 4.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat perbedaan pendapatan masyarakat selain berasal dari faktor internal seperti SDM (Sumber Daya Manusia) juga disebabkan dari faktor eksternal yakni ketimpangan

Akad Antara Nelayan Dan Pemilik Kapal Motor Di Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Perspektif Madzhab Maliki.Skripsi.Jurusan Hukum Bisnis Syariah, Fakultas

Penelitan ini menambah pemahaman mengenai langkah-langkah algortima CohenSutherland untuk menentukan dan memahami arti kode titik awal dan titik akhir garis pada

Perlakukan kejelasan pada area bawah tanah sama seperti permukaan atas tanah seperti jalur, zona, dan pusat aktivitas untuk meningkatkan orientasi dalam bangunan

Hasil analisis fraksi pasir pada substrat peneluran penyu di pantai Pekik Nyaring menunjukaan bahwa fraksi pasir di pantai Pekik Nyaring dari stasiun 1 hingga stasiun 3

Berdasarkan Tabel 3, tampak bahwa rerata gain score hasil belajar kognitif siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari siswa kelas kontrol. Uji beda terhadap rerata gain score

dekomposisi menggunakan ketiga isolat secara tunggal maupun kombinasi justru mengalami penurunan, kecuali perlakuan dengan isolat tunggal KM25 baik steril maupun tidak

Dari hasilpenelitian yang telah dilakukan bahwa untuk jumlah jenis rotan yang banyak ditemukan serta indeks keragaman rotan pada enam lokasi penelitian dapat