• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV EKSEKUSI JAMINAN TANAH HAK MILIK YANG

A. Sumber Hukum Dan Tata Cara Eksekusi

Memberikan kredit atau pinjaman kepada debitur bukanlah tanpa risiko. Bagi bank selaku kreditur, baik bank yang berskala lokal ataupun nasional, kredit macet marupakan salah satu masalah besar. Dalam menghadapi masalah ini, tiap-tiap bank mempunyai kebijakan yang berbeda.

Kredit macet adalah salah satu jenis wanprestasi yang sering dilakukan oleh debitur. Wanprestasi adalah prestasi yang telah diperjanjikan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh debitur. Dalam perjanjian hutang-piutang wanprestasi ada tiga bentuk, yaitu :114

1. Hutang tidak dikembalikan sama sekali.

Debitur tidak dapat mengembalikan hutang sama sekali, sering disebut dengan debitur nakal, karena dianggap sudah tidak mempunyai itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian. Tidak dibayarnya hutang memang perlu dicari penyebabnya, jika karena usahanya bangkrut lantaran ada bencana alam seperti gempa bumi, banjir, dan lain-lain sampai tidak mempunyai harta benda, maka yang demikian ini debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban berhubung diluar kesalahan (force mejeure). Sebalikanya, apabila tidak dibayarnya hutang tersebut karena kesengajaan maka perbuatan debitur sudah dapat digolongkan kepada Pasal 372 KHUP tentang Kejahatan Penggelapan, karena sengaja ingin memiliki uang yang dipinjamkan

2. Mengembalikan hutang hanya sebagian.

Pengembalian hutang dalam hal ini dapat berupa pengembalian sebagian kecil atau sebagian besar yang jelas masih ada sisa hutangnya. Juga dapat berupa yang dibayarkannya hanya hutang pokoknya saja sedangkan bunganya belum pernah dibayar atau sebaliknya.

114 Gatot Supramono,Perjanjian Uang Piutang, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 31-34.

3. Mengembalikan hutang tetapi terlambat waktunya.

Mengenai terlambatnya waktunya ada dua macam, yaitu waktunya yang tergolong sebentar misalnya dalam hitungan hari atau bulan, dan waktunya yang tergolong lama misalnya hitungan tahunan.

Kredit macet tergolong pada jenis wanprestasi nomor 2, yaitu mengembalikan hutang hanya sebagian saja. Kredit macet berbeda dengan kredit bermasalah (non performing loan), sebab kredit macet merupakan bagian dari kredit bermasalah yang tingkat kolektibilitasnya paling parah atau rendah. Sedangkan kredit bermasalah adalah kredit yang kolektibilitasnya tergolong dalam kategori : kurang lancar, diragukan, dan macet.

Menurut ketentuan Pasal 4 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Pebruari 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif, penggolongan kualitas kredit macet perbankan berdasarkan kolektibilitasnya adalah sebagai berikut :

“Kredit Macet (bad debt), yaitu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 (dua ratus tujuh puluh) hari.

b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru.

c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai yang wajar.

Untuk menghindari adanya kerugian-kerugian yang diakibatkan dari kredit macet/wanprestasi yang dilakukan oleh debitur, maka seorang kreditur selalu menuntut untuk diadakannya perjanjian tambahan yang mengatur tentang jaminan, yaitu jaminan atas harta kekayaan debitur baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Secara umum, hutang debitur telah dijamin dengan segala harta kekayaan debitur. Hal ini diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang intinya menyatakan bahwa segala harta kekayaan debitur baik yang sudah maupun yang akan ada menjadi tanggungan atas hutangnya. Jaminan seperti ini dijadikan jaminan umum. Jaminan seperti ini mendudukkan seorang kreditur menjadi kreditur konkuren, sehingga kreditur yang bersangkutan tidak memiliki kedudukan istimewa dibanding kreditur- kreditur lainnya.

Pada prinsipnya jaminan yang baik dapat dilihat dari kemudahan untuk memperoleh kredit dari bank, tidak melemahkan potensi ekonomi penerima kredit untuk meneruskan usaha, dan memudahkan kreditur untuk memperoleh pelunasan atas hutang debitur. Hal ini karena benda jaminan nantinya akan menggantikan hak kreditur untuk memperoleh prestasi apabila debitur wanprestasi.

Hukum juga mengatur tentang jaminan yang demikian dan dikenal sebagai jaminan khusus, diantaranya dalam ketentuan Pasal 1150 - 1160 KUHPerdata tentang gadai, Pasal 1162 - 1332 KUHPerdata tentang hipotek, Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan dan Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang fidusia. Jaminan ini lebih memberikan kepastian hukum bagi kreditur dibanding jaminan umum dan memberi kedudukan preferen atau yang mendapat hak untuk diistimewakan pelunasannya dibanding kreditur lain.

Kenyataannya banyak debitur yang tidak memenuhi kewajibannya berprestasi, hal ini tentu saja mempersulit kondisi kreditur. Dalam hal ini negara membentuk suatu lembaga untuk membantu kreditur dalam pemenuhan haknya saat

debitur wanprestasi dengan mengoptimalkan jaminan kebendaan. Lembaga tersebut bernama Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Wanprestasi atau tidaknya debitur dapat dilihat dari hubungan hukum yang terjadi pada saat perjanjian/perikatan telah dilakukan. Suatu perikatan/pejanjian mengandung di dalamnya hak kreditur atas pemenuhan prestasi serta kewajiban debitur untuk berprestasi. Hubungan hukum akan berjalan lancar bila masing-masing pihak memenuhi kewajibannya. Namun dalam hubungan hukum yang sudah dapat ditagih (opeisbaar), jika debitur tidak mau memenuhi prestasi secara sukarela, kreditur mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya (hak verhaal, hak

eksekusi)terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai jaminan.115Hak atas pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan cara menjual / mencairkan benda- benda jaminan debitur, dan dari hasil penjualan tadi dipergunakan untuk melunasi utangnya debitur.

Dalam hubungan hutang piutang, perkaranya dapat diselesaikan di Pengadilan. Pihak yang bersengketa harus melihat terlebih dahulu prinsip apa yang digunakan dalam perjanjian. Jika perjanjian dibuat berdasarkan prinsip Konvensional, maka penyelesaian diajukan ke Pengadilan Negeri. Sebaliknya apabila perjanjian hutang piutang dilakukan mengikuti prinsip syariah maka yang berwewenang menyelesaikan sengketanya adalah Pengadilan Agama.116

115 http://bentangkusuma.wordpress.com/2011/06/24/tinjauan-tentang-eksekusi-kredit- macet/#_ftn10, diakses pada tanggal 01 januari 2014.

Kredit macet yang terjadi dalam lingkungan kerja PT. Bank Sumut Cabang Gunungtua adalah perjanjian yang menggunakan prinsip konvensional. Oleh karena itu yang berwenang menyelesaikan sengketa adalah Pengadilan Negeri setempat.

Perkara hutang piutang di Pengadilan dikenal adanya penyitaan terhadap barang-barang milik berutang. Penyitaan ada 2 jenis yaitu :

a. Sita jaminan, yaitu penyitaan yang dilakukan ketika perkara sedang diperiksa (conservatoir beslag).

b. Sita eksekusi, yaitu penyitaan yang dilakukan dalam rangka pelaksaan putusan pengadilan (executorial beslag).

Dalam membicarakan masalah sita eksekusi tentunya tidak terlepas dari pengertian eksekusi itu sendiri, oleh karena itu terdapat beberapa pendapat para ahli hukum dari beberapa literatur sebagai berikut :

a. Sesuai pendapat dari Ridwan Syahrani, bahwa eksekusi/pelaksanaan putusan Pengadilan tidak lain adalah realisasi dari pada apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan Pengadilan.117

b. Pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa pelaksanaan putusan Hakim atau eksekusi pada hakekatnya adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang

117 Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1988), hlm. 106.

bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.118

c. Pendapat M. Yahya Harahap, bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tatacara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara, oleh karena itu eksekusi tidak lain daripada tindakan yang berkesinambungan dan keseluruhan proses hukum antara perdata. Jadi eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib berita acara yang terkandung dalam HIR atau RBg.119

d. Pendapat Soepomo, bahwa hukum eksekusi mengatur cara dan syarat –syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan Hakim, apabila yang kalah tidak bersedia dengan sukarela memenuhi putusan yang tidak ditentukan dalam Undang-Undang.120 Dari beberapa definisi diatas jelaslah bahwa eksekusi merupakan upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang dalam perkara di Pengadilan dengan melalui kekuasaan Pengadilan. Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan ”secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan alat-alat negara apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela.

118

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 1988), hlm. 201.

119M. Yahya Harahap,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,(Jakarta: PT. Gramedia, 1988), hlm. 1 .

120

Dengan pengertian di atas, maka pada prinsipnya eksekusi merupakan realisasi kewajiban yang dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam amar putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, di mana proses ini merupakan tahap terakhir dalam proses acara berperkara di pengadilan.

Salah satu asas eksekusi adalah hanya dapat dijalankan terhadap putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang bersifat condemnatoir, yakni dalam amar putusan terdapat pernyataan ”penghukuman” terhadap tergugat untuk melakukan salah satu perbuatan yaitu :121

1. Menyerahkan sesuatu barang atau eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. (Pasal 200 ayat (1) HIR dan pasal 218 ayat (2) Rbg).

2. Mengosongkan sebidang tanah atau rumah, yang disebut dengan eksekusi riil. (Pasal 1033 Rv).

3. Melakukan suatu perbuatan tertentu atau menghentikan suatu perbuatan atau keadaan (Pasal 225 HIR, pasal 259 Rbg).

4. Membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR, pasal 208 Rbg).

Jika ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum berdasarkan amar putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir, seperti tersebut di atas, maka jenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk yaitu:122

121Sudikno Mertokusumo,Op.cit,hlm. 181 122Ibid.

1. Melaksanakan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR dan pasal 259 Rbg.). Dalam pasal 225 HIR, yang intinya menyatakan, “jika seseorang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, dan ternyata ia tidak melakukannya, maka pihak yang dimenangkan, memiliki wewenang untuk meminta pertolongan pada ketua Pengadilan agar kepentingannya didapatkan.”

2. Eksekusi Riil (Pasal 1033 RV.). Eksekusi riil yaitu melakukan suatu “tindakan nyata/riil” seperti menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Misalnya meyerahkan barang, pengkosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran, menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lainlain. Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan amar putusan tanpa memerlukan lelang. Pelaksanaan putusan terhadap hukuman yang berupa pembayaran sejumlah uang, dilakukan dengan cara menjual lelang barang-barang milik tereksekusi yang terlebih dahulu dilakukan penyitaan. Eksekusi seperti inilah yang biasa dilakukan dalam urusan hutang piutang, dimana debitur dihukum pengadilan untuk melunasi hutang beserta pembayaran bunganya.

Proses beracara pada eksekusi riil, Ketua Pengadilan Negeri cukup mengeluarkan surat penetapan yang memerintahkan eksekusi atas permintaan pihak yang dimenangkan (penggugat). Dengan penetapan itu, panitera atau jurusita pergi kelapangan melaksanakan penyerahan atau pembongkaran

secara nyata. Dengan penyerahan atau pembongkaran, eksekusi sudah sempurna dan dianggap selesai.123

3. Eksekusi membayar sejumlah uang. (Pasal 196 HIR dan Pasal 208Rbg.). Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (pasal 196 HIR, pasal 208 RBg). Ini kebalikannya dari eksekusi riil dimana eksekusi tidak dapat dilakukan langsung sesuai dengan amar putusan tanpa pelelangan terlebih dahulu. Dengan kata lain, eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan terlebih dahulu, hal ini disebabkan nilai yang akan dieksekusi itu bernilai uang. Pelaksanaan putusan terhadap hukuman yang berupa pembayaran sejumlah uang, dilakukan dengan cara menjual lelang barang-barang milik tereksekusi yang terlebih dahulu dilakukan penyitaan. Eksekusi seperti inilah yang biasa dilakukan dalam urusan hutang piutang, dimana debitur dihukum pengadilan untuk melunasi hutang beserta pembayaran bunganya.

Jika berbicara tentang eksekusi dalam hubungannya dengan Hak Tanggungan tidaklah termasuk dalam pengertian apa yang dinamakan eksekusi riil, karena eksekusi riil hanya dilakukan setelah adanya pelelangan. Eksekusi dalam hubungannya dengan Hak Tanggungan berhubungan dengan penjualan dengan cara lelang obyek Hak Tanggungan yang kemudian hasil perolehannya dibayarkan kepada

123Hasil wawancara melalui telepon dengan Muhammad Shobirin, Hakim Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan, pada tanggal 27 Januari 2014.

Kreditur pemegang Hak Tanggungan, apabila ada sisanya dikembalikan kepada Debitur.

Masalah eksekusi seringkali merupakan akhir suatu perkara maka masalah eksekusi diatur dalam dalam Hukum Acara Perdata Buku Kedua Rechtvordering

diberi judul mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan dan surat perintah serta akta yang dipersamakan dengan suatu putusan Pengadilan, sedang yang dimaksud dengan akta yang mempunyai kekuatan sebagai suatu keputusan Pengadilan adalah Grosse Akta, termasuk Grosse Akta Hipotik.

Dari uraian diatas Sertipikat Hak Tanggungan yang kini merupakan surat jaminan yang mempunyai titel eksekutorial yang juga dikenal dalam sistim Hukum Acara Perdata disamping Grosse dari putusan Hakim dan Grosse Akta Pengakuan Hutang, mempunyai kekuatan eksekutorial.

Dalam sertipikat hak tanggungan dimuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, aspek yuridis dari pemuatan ini adalah bahwa sertifikat hak tanggungan itu mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan belaku sebagai grosse acte hak tanggungan. Jadi apabila debitur wanprestasi, objek hak tanggungan dapat dieksekusi seperti putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga parate executie

sesuai peraturan hukum acara perdata. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 beserta penjelasannya.

Dalam Pasal 20 UU No. 4 Tahun 1996 diatur bahwa apabila debitur cidera janji maka pemegang hak tanggungan dapat melakukan eksekusi yang dapat dilakukan melalui pelaksanaan titel eksekutorial seperti dimaksud Pasal 14 ayat (2), penjualan umum (parate eksekusi) dan penjualan di bawah tangan. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial sesuai pasal 20 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996 termasuk merupakan pelaksanaan eksekusi berdasarkan suatu akta yang telah mempunyai kekuatan sebagai putusan. Maka pelaksanaannya harus mengikuti prosedur pelaksanaan putusan pengadilan. Eksekusi berdasarkan Parate Eksekusi pada prinsifnya harus dilakukan dengan penjualan dimuka umum atau pelelangan, meskipun tidak melalui pengadilan tetapi harus melalui Kantor Lelang/Pejabat Lelang.

Pengumuman lelang adalah pemberitahuan kepada masyarakat tentang akan adanya lelang dengan maksud untuk menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan. Ketentuan ini terdapat pada Permenkeu No. 40/PMK.07/2006. Pasal 1 angka 4 dan 5 mengklasifikasikan lelang menjadi :

1. Lelang eksekusi.

Lelang eksekusi merupakan lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan atau dokumen yang dipersamakan untuk itu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lelang eksekusi merupakan jenis lelang seperti ditentukan dalam pasal 200 ayat (1) HIR atau Pasal 215 R.Bg. karena merupakan penjualan dimuka umum barang milik tergugat yang

dilakukan Pengadilan Negeri melalui Kantor Lelang. Intinya semua penjualan umum yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri disebut lelang eksekusi.124 2. Lelang non eksekusi.

Lelang non eksekusi merupakan jenis penjualan umum diluar pelaksanaan putusan atau penetapan pengadilan. Lelang ini meliputi penjualan barang milik/yang dikuasai negara atau lelang wajib dan lelang suka rela atas barang milik perorangan, kelompok masyarakat atau badan swasta.

Berdasarkan Pasal 2 Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 lelang harus dilakukan oleh dan/atau dihadapan pejabat lelang kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Pejabat lelang adalah orang khusus yang diberi wewenang oleh menteri keuangan melaksanakan penjualan barang secara lelang sesuai dengan pasal 13 Permenkeu No. 40/PMK.07/2006.

Sertipikat Hak tanggungan tidak dapat dieksekusi apabila telah dilakukan penghapusan. Menurut Pasal 18 UU No. 4 Tahun 1996, hak tanggungan dapat hapus karena :

1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan, karena sifat perjanjian hak tanggungan merupakan perjanjian accessoir atas utang pokoknya.

2. Pelepasan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan.

3. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

Dalam Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1996 ditegaskan bahwa setelah hak tanggungan hapus, kantor pertanahan harus mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertipikatnya. Pencoretan ini disebut dengan roya hak tanggungan.

Akibat pencoretan ini, hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi. Permohonan pencoretan ini dilakukan oleh debitur atau yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikat hak tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditur bahwa hutangnya sudah lunas atau telah dilepaskan kreditur.

Tentang eksekusi hak tanggungan melalui putusan pengadilan tetap dilakukan melalui kantor lelang, dasar pemikiran yang disampaikan mengenai hal ini adalah bahwa diperkirakan melalui suatu penjualan lelang terbuka, dapat diharapkan akan diperoleh harga yang wajar atau paling tidak mendekati wajar, karena dalam suatu lelang tawaran yang rendah biasa diharapkan akan memancing peserta lelang lain untuk mencoba mendapatkan benda lelang dengan menambah tawaran. Ini merupakan salah satu wujud dari perlindungan Undang-Undang kepada pemberi jaminan.125

Dalam hubungan utang piutang yang dijamin maupun tidak dijamin dengan hak tanggungan, jika debitur cidera janji eksekusi dilakukan melalui gugatan perdata menurut Hukum Acara Perdata yang berlaku, perlu diketahui bahwa penyelesaian

125 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 272.

utang piutang yang bersangkutan melalui acara ini memerlukan waktu, karena pihak yang dikalahkan ditingkat Pengadilan Negeri dapat mengajukan Banding, Kasasi, bahkan masih terbuka kesempatan untuk meminta Peninjauan Kembali.126

Kemudahan yang disediakan oleh UUHT bagi para kreditur pemegang hak tanggungan manakala debitur cidera janji, berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT, eksekusi atas benda jaminan Hak Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu:

a. Parate executie; b. Title executorial; dan c. Penjualan di bawah tangan.

Ketiga eksekusi hak tanggungan tersebut di atas masing-masing memiliki perbedaan dalam prosedur pelaksanaannya. Untuk eksekusi yang menggunakan title

executorial berdasarkan Sertipikat Hak Tanggungan, pelaksanaan penjualan benda

jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 Rbg, yang prosedur pelaksanaannya memerlukan waktu yang lama.

Sedangkan eksekusi secara di bawah tangan pelaksanaan harus memenuhi persyaratan yang antara lain adanya kesepakatan antara pemberi hak tanggungan

126 Sony Harsono,Sambutan Menteri Agraria/Kepala BPN pada Seminar Hak Tanggungan atas Tanah dan Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, (Bandung: Fakultas Hukum UNPAD, 1996), hal. 33

(debitur) dengan pemegang hak tanggungan (kreditur).127 Eksekusi yang didasarkan pada Pasal 224 HIR/258 Rbg merupakan eksekusi yang tunduk dan patuh dan masuk kepada ranah Hukum Acara Perdata, maksudnya eksekusi berdasarkan akta autentik yang bertitel eksekutorial tersebut tata cara pelaksanaannya sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Adapun bentuk eksekusi yang lain adalahparate executie, bahwa pelaksanaan

parate executie merupakan cara termudah dan sederhana bagi kreditur untuk

memperoleh kembali piutangnnya, manakala debitur cidera janji dibandingkan dengan eksekusi yang melalui bantuan atau campur tangan Pengadian Negeri.128

Untuk tanah-tanah hak milik yang terdaftar dalam sertipikat hak tanggungan tata cara eksekusinya adalah melalui eksekusi riil, yaitu menjalankan eksekusi riil adalah merupakan tindakan nyata yang dilakukan secara langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam amar putusan, dengan tahapan :129

a. Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada ketua pengadilan Pasal 196 HIR/Pasal 207 ayat (1) R.Bg;

b. Adanya peringatan (aanmaning) dari ketua pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8 (delapan) hari dari sejak

aanmaning dilakukan, melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela

Pasal 207 ayat (2) R.Bg, dengan cara:

127 Herowati Poesoko, Parete Executie Obyek hak Tanggungan, (Yogyakarta: Laks Bang PRESSindo, 2007), hlm. 2.

128Ibid, hlm. 6. 129Ibid. hlm. 280.

1. Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi dengan menentukan hari, tanggal, jam dan tempat;

2. Memberikan peringatan (kalau termohon datang), yaitu dengan cara 1) Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri ketua pengadilan,

panitera dan termohon eksekusi;

2) Dalam sidang tersebut diberikan peringatan/teguran agar termohon eksekusi dalam waktu 8 (delapan) hari, melaksanakan isi putusan tersebut;

3) Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang mencatat peristiwa yang terjadi dalam persidangan tersebut;

4) Berita acara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa kepada termohon eksekusi telah dilakukan peringatan/teguran untuk melaksanakan amar putusan secara sukarela, yang selanjutnya akan dijadikan dasar dalam mengeluarkan perintah eksekusi.

Apabila setelah dipanggil secara patut, termohon eksekusi ternyata tidak hadir dan ketidakhadirannya disebabkan oleh halangan yang sah (dapat dipertanggung jawabkan), maka ketidakhadirannya masih dapat dibenarkan dan ianya harus dipanggil kembali untuk di

aanmaning. Akan tetapi apabila ketidak hadirannya itu tidak ternyata adanya alasan yang sah (tidak dapat dipertanggung jawabkan), maka termohon eksekusi harus menerima akibatnya, yaitu hilangnya hak untuk dipanggil kembali dan hak untuk di aanmaning, serta oleh

ketua pengadilan terhitung sejak termohon eksekusi tidak memenuhi panggilan tersebut, dapat langsung mengeluarkan surat penetapan (beschikking) tentang perintah menjalankan eksekusi.

3. Setelah tenggang waktu 8 (delapan) hari ternyata termohon eksekusi masih tetap tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela, maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dengan mengabulkan permohonan pemohon eksekusi dengan disertai surat perintah eksekusi, dengan ketentuan :

1) Berbentuk tertulis berupa penetapan (beschikking); 2) Ditujukan kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti;

3) Berisi perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.

4. Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari Ketua Pengadilan, maka Panitera/Jurusita/Jurusita Pengganti merencanakan/menentukan waktu serta memberitahukan tentang eksekusi kepada termohon eksekusi, Kepala Desa/Lurah/Kecamatan/Kepolisian setempat;

5. Proses selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan, Panitera/Jurusita/Jurusita Pengganti langsung ke lapangan guna melaksanakan eksekusi dengan ketentuan:

a. Eksekusi dijalankan oleh Panitera/Jurusita/Jurusita Pengganti (Pasal 209 ayat (1) R.Bg).

b. Eksekusi dibantu 2 (dua) orang saksi (Pasal 200 R.Bg), dengan