• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II AKIBAT HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH

C. Status Hukum Sertipikat Hak Milik Setelah SK-44/Menhut-

Pengertian “zaak” atau “thing” menurut Soebekti adalah segala sesuatu yang dapat dihaki seseorang.56 Sri Soedewi menyebutnya sebagai segala sesuatu yang

54Hasil wawancara dengan Aladdin Harahap, Kepala Seksi II Bidang Pendaftaran dan Peralihan Tanah Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan, pada tanggal 20 Nopember 2013.

55Hasil wawancara dengan Aladdin Harahap, Kepala Seksi II Bidang Pendaftaran dan Peralihan Tanah Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan, pada tanggal 20 Nopember 2013.

dapat menjadi objek eigendom.57 Objek hak merupakan lawan dari subjek hak yaitu orang atau badan hukum dan benda tersebut dapat dihaki atau dimiliki oleh orang karena objek dari hukum atau atau objek hak. Istilah “zaak” dalam arti objek hak dalam B.W. mengandung dua arti yaitu : Pertama, sebagai barang berwujud (Pasal 500 dan 520 BW). Kedua, sebagai barang tidak berwujud (hak) dan merupakan bagian dari harta kekayaan (pasal 501, pasal 503, pasal 508 dan pasal 511 BW). Dengan demikian, dapat dibedakan kapan suatu barang dikategorikan dalam lapangan

zakenrecht dan kapan suatu barang dikategorikan dalam lapangan

verbintennissenrect.

Benda menurut Vollmar diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menjadi objek daripada hukum (objek hukum).58 Akan tetapi tidak semua benda dapat dihaki atau dikategorikan menjadi objek hukum seperti bulan, bintang, laut dan udara. Dalam sistim hukum perdata (BW) yang berkaitan dengan benda terdapat pada Buku II yang membagi benda relatif lebih banyak dan rinci, garis besar jenis benda dalam BW dibagi sebagai berikut :

1. Benda berwujud dan benda tidak berwujud (lichamelijke zaken onlichamelijke zaken,pasal 502 BW).

2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak (roerende zaken onroerende zaken,

Pasal 504 BW).

3. Benda habis pakai dan benda tidak habis pakai (verbruikbaar zaken-

onverbruikbaar zaken, Pasal 505 BW).

4. Benda dalam perdagangan dan benda di luar perdagangan (zaken in de handel zaken buiten de handel,Pasal 1332 BW).

57 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Pedata, Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm.13.

58Vollmar, terjemahan, dalam Chaidir Ali,Hukum Benda, (Menurut KUHPerdata)(Bandung: Transito, 1990), hlm.32.

5. Benda yang sudah ada dan benda yang masih akan ada (tegenwoordige zaken- toekomstige zaken,Pasal 1334 BW).

6. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi (deelbaar zaken

ondeelbaar zaken, Pasal 1163 BW).

7. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti (vervangbaar

zaken onvervangbaar zaken,Pasal 1694 BW).

Tanah dalam BW digolongkan sebagai benda tidak begerak. Pembentuk undang-undang secara tegas membedakan tiga golongan atas benda tidak bergerak,

Pertama, benda tidak bergerak karena sifatnya memang tidak bergerak dan tidak

dapat dipindahkan karena kodrat alamiah dari benda itu sendiri, misalnya tanah. Tanah termasuk segala sesuatu yang melekat dia atasnya menjadi bagian dari tanah, seperti pohon atau tumbuhan yang melekat pada tanah tersebut (Pasal 506 BW).

Kedua, benda tidak bergerak karena tujuannya atau peruntukannya, secara alamiah

benda ini dapat dipindah-pindahkan atau benda yang bergerak. Namun karena tujuannya atau peruntukannya tertentu benda tersebut dengan sengaja dilekatkan menjadi bagian dari pokoknya, sehingga benda tersebut kehilangan sifat alamiahnya dan berubah menjadi benda yang tidak bergerak, misalnya mesin pabrik. Ketiga,

benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang. Dibentuk ketentuan bahwa suatu objek hukum tertentu dimasukkan ke dalam atau dijadikan benda tidak bergerak, misalnya hak pakai (gebruik) atas benda tidak bergerak, hak memungut hasil (vruchtgebruik) atau hipotek (pasal 508 BW).

Setelah diberlakukannya UUPA, pengertian hak milik dalam KUHPerdata terbatas hanya pada pengertian hak milik atas kebendaan bukan tanah, sebab pengertian hak milik atas tanah telah diatur di dalam UUPA. Pasal 20 ayat (1)

menyatakan : “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6”. Meninjau Pasal 6 yaitu : “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.

Pengertian sosial menurut Leon Duguit adalah : “tidak ada hak subyektif yang ada hanyalah fungsi sosial”.59

Fungsi sosial yang dimaksud adalah ditafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak milik primair diartikan hak milik itu tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain tanah tersebut selain bermanfaat bagi pemiliknya akan tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya, harus dapat serta menikmatinya bahkan jika diperlukan pemerintah dapat turut campur agar tanah tersebut tidak ditelantarkan.

Dengan berlakunya azas hak menguasai dari negara maka tanah-tanah yang ada di Indonesia terbagi kepada :60

a. Tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau lebih populer dengan sebutan tanah negara yaitu tanah-tanah yang di atasnya belum ada diberikan hak/pengakuan hak kepada siapapun, baik kepada orang maupun badan hukum dan kekuasaan negara atas tanah negara tersebut penuh.

b. Tanah yang dikuasai tidak langsung oleh negara atau lebih populer dengan sebutan tanah hak yaitu tanah-tanah yang di atasnya sudah ada hak seseorang atau badan hukum, baik hak adat maupun hak lain berdasarkan ketentuan 59AP. Parlindungan,Op.Cit, hlm. 65

60Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah (Medan: Multi Grafik, Cet Pertama, 2005), hlm 17.

UUPA dan kekuasaan negara dimaksud telah dibatasi leh hak yang diberikan kepada orang dan/atau badan hukum.

Ciri hak milik sebagaimana disebutkan pada Pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun yang mempunyai fungsi sosial. Hak milik merupakan hak yang paling kuat yang tidak dibatasi oleh waktu dan dalam pemanfaatannya memiliki nilai yang lebih tinggi daripada hak milik lainnya, memiliki nilai jual paling mahal dan akan memperoleh ganti kerugian tinggi apabila ada pelepasan tanah.61

Dengan demikian pemegang hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Seperti menanami, mendirikan bangunan dan kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan masyarakat.

Keluarnya Surat Keputusan 44/Menhut-II/2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Propinsi Sumatera Utara tanggal 16 Februari 2005 yang dikeluarkan berdasarkan Perda Propinsi Sumatera Utara No. 7 Tahun 2003 tanggal 28 Agustus 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003- 2018, telah dialokasikan kawasan hutan Provinsi Sumatera Utara dan Gubernur Sumatera Utara melalui surat Nomor 522/779 tanggal 11 Pebruari 2004 mengajukan kepada Menteri Kehutanan Penetapan Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara.

Penunjukan kembali kawasan hutan di wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas ± 3.742.120(tiga juta tujuh ratus empat puluh dua ribu seratus dua puluh) hektar yang dimaksud terinci menurut fungsi hutan dengan luas sebagai berikut:

a. Kawasan Suaka Alam/KawasanPelestarian Alam : ± 477.070 Ha.

b. Hutan Lindung : ± 1.297.330 Ha

c. Hutan Produksi Terbatas : ± 879.270 Ha. d. Hutan Produksi Tetap : ± 1.035.690 Ha. e. Hutan Produksi yang dapat dikonversi : ± 52.760 Ha.

Jumlah : ± 3.742.120 Ha.

Namun dengan terbitnya SK 44/Menhut-II/2005 timbul beberapa permasalahan antara lain: perbedaan luas hutan versi TGHK, RTRWP dan SK 44 itu sendiri, seperti halnya beberapa kawasan hutan tidak tepat fungsinya, ada yang telah berubah menjadi permukiman, sawah dan perladangan (tanah adat) di dalam kawasan hutan, penataan batas kawasan yang lamban dan usulan dari pemerintah kabupaten untuk melepaskan beberapa wilayah kawasan menjadi non kawasan atau APL.

Oleh karena itu, kabupaten melalui surat Bupati dengan persetujuan DPRD yang didorong 2 surat Dinas Kehutanan Propinsi ke Dinas terkait di seluruh kabupaten/kota dan juga oleh SK Gubernur no. 522/5597 tanggal 22 Agustus 2007 tentang pemberian ijin kabupaten/kota mengajukan permasalahan kawasan hutan dengan data dan informasi kondisi kawasan hutan yang sebenarnya untuk diusulkan dalam revisi keputusan penetapan kawasan hutan.62

Sejarah perkembangan penunjukkan kawasan hutan dimulai pada zaman Belanda (sekitar Tahun 1930-an) dimana kawasan ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan hutan didaftar atau diregistrasi serta ditata batas, hasilnya

62 xa.yimg.com/..../Laporan+workshop+review+rencana+tata+ruang+sumatera,Pelatihan Pemetaan Partisipatif, diakses tanggal 30 Desember 2013.

kita kenal dengan Peta REGISTER. Kemudian lama berselang selama setengah abad, Pemerintah Indonesia menetapkan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) pada tahun 1982. Kawasan hutan di dalam TGHK merupakan Hutan REGISTER ditambah perluasannya. Khusus di propinsi Sumatera Utara setelah TGHK, tata ruang kawasan hutan sebenarnya sudah diinisiasi perubahannya di dalam RTRWP 2003. Setelah dibuat RTRWP 2003, terbitlah SK Menhut no. 44/Menhut-II/2005 tentang penunjukkan kawasan hutan berdasarkan RTRWP 2003. Seperti propinsi yang lain, SK Menhut tiap propinsi berlainan. Luas kawasan hutan Sumatera Utara pada SK 44 2005 adalah seluas 3.742.120 ha. Luas ini telah direvisi lagi dalam Peta Dasar Tematik Kehutanan (PDTK) seluas 3.735.235,98 ha atau 52,15% dari luas wilayah propinsi.63

Namun kenyataannya sampai dengan hari ini revisi kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Sk 44/Menhut-II/2005 belum terlaksana juga, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap tanah-tanah yang masuk kualifikasi kawasan hutan. SK 44/Menhut-II/2005 mengacu kepada RTRWP yang telah diajukan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara seharusnya tidak menyebabkan permasalahan di lapangan karena pembuatan RTRWP sudah berdasarkan fakta yang ada di dalam masyarakat. Akan tetapi dalam jangka waktu beberapa tahun dari tahun 2003 sampai 2005 telah terjadi perubahan yang signifikan terhadap letak wilayah hutan menjadi permukiman sehingga ketika timbulnya SK 44/Menhut-II/2005 justru menyebabkan permasalahan.64

Keberadaan SK Menhut ternyata juga menyebabkan keresahan masyarakat sebagai pemegang sertipikat hak milik atas tanah, dimana tanah berstatus sertipikat hak milik atau tanah-tanah yang telah dikuasai secara turun temurun masuk dalam kawasan hutan yang ditetapkan oleh menteri kehutanan. Termasuk tanah-tanah adat

63Ibid. 64Ibid.

pada kabupaten Padang Lawas Utara mengalami permasalahan terkait dengan surat keputusan tersebut.65

Dalam pasal 1 angka 6 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Bunyi pasal ini jelas mengandung otoriter suatu keputusan Menteri dalam penguasaan hutan. Karena berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dikatakan bahwa hutan adat berada dalam kekuasaan negara, dalam hal ini adalah Menteri Kehutanan. Tentunya pernyataan ini juga akan merampas hak-hak masyarakat adat untuk memanfaatkan dan memungut hasil hutan adatnya.

Dalam Pasal 4 ayat (3) menjadi : Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Sebenarnya negara menghormati dan mengakui hak-hak warga masyarakat desa yang bersifat tradisional yang tunduk pada hukum adat. Buktinya terlihat dalam Pasal 18-B UUD 1945 (perubahan-II tahun 2000) yang menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan pada prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Namun isi pasal 1 angka 6 UU Kehutanan tersebut sangat bertentangan dengan UUD 1945.

65Hasil wawancara dengan Astro Simamora, Kepala Bidang Rehabilitas Dan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Padang Lawas Utara pada tanggal 20 Nopember 2013.

Disamping itu, sesuai dengan hierarki perundang-undang menurut UU No. 12 Tahun 2011 pada pasal 7 ayat (1) maka peraturan yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya baik secara materil ataupun instansi yang mengeluarkannya. Dengan demikian sangat diperlukan revisi/peninjauan kembali SK 44/Menhut-II/2005 dikarenakan peraturan ini telah melanggar hak-hak masyarakat. Dimana pemukiman, persawahan dan kebun-kebun penduduk setempat telah masuk dalam kawasan hutan.

Padahal proses usulan revisi kawasan hutan telah ditandatangani gubernur pada awal Oktober tahun 2009. Kemudian akan segera ditindaklanjuti oleh Dinas Kehutanan Propinsi untuk mengekspose di depan Menteri Kehutanan dan selanjutnya di proses sesuai PP 28 /Menhut-II/2009 tanggal 20 April 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi dalam rangka pemberian persetujuan substansi kehutanan atas rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang Daerah. Sehingga nantinya akan diperoleh SK Menhut yang baru untuk merevisi SK 44/Menhut-II/ 2005.66

Adanya penetapan kawasan hutan yang melanggar hak-hak masyarakat mengakibatkan masyarakat pemilik sertipikat tidak dapat melakukan tindakan apapun, khususnya pada kondisi sertipikat tersebut telah dijadikan jaminan kepada pihak bank. Maka ketika terjadi kredit macet yang mengakibatkan debitur wanprestasi justru kreditur tidak dapat melakukan eksekusi dan sebaliknya pemilik sertifikat juga tidak dapat melakukan kegiatan apapun terhadap tanah miliknya karena akan menimbulkan akibat hukum. Seperti pengambilan kayu yang merupakan milik

masyarakat akan tetapi telah dinyatakan sebagai kawasan hutan, akibatnya terjadi kriminalisasi kepada masyarakat dan menimbulkan ketidakpastian hukum.67

Keadaan ini menyebabkan kehilangan tujuan dari pembuatan peraturan/perundang-undangan yang menginginkan tercapainya keamanan, ketentraman dan kepastian hukum itu sendiri di dalam masyarakat. Dengan demikian sertipikat hak milik yang dimiliki individu seolah-olah tidak memiliki kekuatan hukum.

Selain dari itu juga menyebabkan rusaknya perekonomian seseorang dan merusak mental seseorang karena tidak ada pengakuan dari pihak manapun siapa yang menjadi pemilik tanah dan bagi masyarakat yang nyata menguasai tanahnya bertahun-tahun juga ditindak oleh aparat yang membuat masyarakat benar-benar tidak nyaman dan tersakiti oleh SK tersebut.68

Sesuai dengan penjelasan tersebut diatas maka upaya percepatan revisi Sk 44 Menhut-II/2005 sangat diharapkan oleh seluruh masyarakat Propinsi Sumatera Utara khusunya masyarakat Padang Lawas Utara sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang dirugikan atau dikriminalisasi.

Meninjau SK 44/Menhut-II/2005 ditemukan beberapa kelemahan yaitu :69 1. Tidak dilaksanakan perencanaan yang baik, penunjukan kawasan hutan

dilakukan hanya berdasarkan penunjukan dengan pertimbangan RTRW serta

67Hasil wawancara dengan Astro Simamora, Kepala Bidang Rehabilitas Dan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Padang Lawas Utara pada tanggal 20 Nopember 2013.

68Elviana Sagala,Loc. cit,hlm. 75. 69Ibid,hlm. 75-78.

tidak dilaksanakannya sosialisasi untuk mendapatkan umpan balik dari masyarakat.

2. Tidak melakukan inventarisasi hutan, tujuannya adalah untuk memperoleh data dan informasi yang akurat mengenai keberadaan hutan, sumber daya dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

3. Pertimbangan hukum, dalam hal ini dapat dilihat dari beberapa segi yaitu : a. Segi formal

b. Segi Materil

c. Segi dasar keputusan

Selain direvisi, maka akibat dari SK No. 44/Menhut-II/2005 dapat dijadikan sebagai objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara apabila mengakibatkan kerugian sesuai dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal ini baik Kantor Pertanahan, Kreditur atau Masyarakat sebagai salah satu pihak yang dirugikan dikarenakan sertipikat yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti.

D. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.45/PUU-IX/2011 Terhadap Status Sertipikat Hak Milik Dalam Kawasan Hutan.

1. Status Sertifikat Hak Milik Dalam Kawasan Hutan Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011.

Suatu wilayah yang berstatus bukan kawasan hutan untuk kemudian menjadi kawasan hutan dilakukan melalui proses yang dinamakan pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan ini dapat dibedakan dalam 2 priode, yaitu priode sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1967 mengenai Pokok- pokok Kehutanan dan setelah berlakunya UU No. 5 Tahun 1967.

Pada zaman Pemerintah Hindia Belanda sampai dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan pkok-pokok kehutanan, suatu areal atau wilayah

tertentu yang bukan hutan dapat dijadikan hutan/kawasan hutan melalui dua tahapan yaitu :70

1. Penunjukan (Aanwijzing), penunjukan ini dilakukan oleh Gubernur Jenderal

atau Directeur van Landbow, Nijverheid en Handel atau Directeur van

Economische Zaken (Departemen yang membawahi Jawatan Kehutanan

dengan suatu keputusan Penunjukan.

2. Penataan batas, berdasarkan keputusan penunjukan maka diselenggarakan kegiatan penataan batas yang mencakup antara lain kegiatan pemancangan patok batas, pengukuran, pemancangan pal batas, pemetaan, pembuatan berita acara tata batas.

Dengan ditandatanganinya Berita Acara Tata Batas (BATB) oleh Panitia Tata Batas dan disahkan oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini Kepala Jawatan Kehutanan maka resmilah areal/wilayah tertentu yang sebelumnya bukan hutan menjadi kawasan hutan.71

Pada waktu Indonesia merdeka, status hukum tersebut tetap dipertahankan berdasarkan ketentuan :

1. UUD 1945, yaitu pasal II Aturan Peralihan : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yaitu pasal 20 ketentuan Peralihan bebunyi : “Hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan tetap, cagar alam dan suaka margasatwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-

70Bambang Eko Supriyadi,Op.cit,hlm. 70.

undang ini, dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan peruntukan dan fungsi sesuai dengan penetapannya”.

3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada ketentuan Peralihan (pasal 81) menyatakan : “Kawasan hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang- undang ini”.

4. Pada masa Indonesia medeka, yaitu dengan telah diundangkannya UU No. 5 Tahun 1967 yang diperbaharui dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan , suatu areal tertentu dapat dijadikan hutan melalui 4 tahap yaitu : a. Penunjukan

b. Penataan batas. c. Pemetaan dan d. Penetapan.

Penunjukan kawasan hutan yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan secara sepihak tanpa mempertimbangkan kenyataan kondisi masyarakat yang sebenarnya telah berimplikasi buruk terhadap masyarakat. Padahal tujuan lahirnya Undang- undang Nomor 41 Tahun 1999 yang terdapat pada Pasal 2 yaitu “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Namun ternyata Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 dinilai menjadi penyebab konflik di tengah-tengah masyarakat.

Syafruddin Kalo mengatakan “Konflik yang terjadi di Kabupaten Simalungun, Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu menyebabkan ribuan rakyat resah akibat disuruh keluar dari rumahnya karena dituduh menduduki kawasan hutan negara dan melanggar SK Menhut No. 44/Menhut-II/2005.” Dan menurut beliau “Keadaan ini menimbulkan kecemasan dan meresahkan masyarakat sehingga terjadi perseteruan antara BPN Sumut dengan Dinas Kehutanan di lapangan”.72

Menurut beliau, dilaporkan ada beberapa wilayah yang ditunjuk dalam SK tersebut sebagai kawasan hutan seperti Kawasan Register 1,2,3 dan 4 di wilayah Simalungun dan Register 38 dan 40 di wilayah Tapanuli Selatan serta sejumlah register lainnya di Labuhan Batu yang sudah berubah fungsi selama puluhan tahun sebagai areal pemukiman, perkebunan dan pertanian. Bahkan beberapa wilayah kawasan hutan telah dibangun berbagai fasilitas publik oleh Pemerintah, seperti Kantor Bupati Simalungun dan Mapolres Simalungun di Raya. Hal serupa juga terjadi di Tapsel dan Labuhan Batu dimana telah didirikan fasilitas sosial seperti masjid, gereja dan sekolah. Disamping itu juga dilaporkan bahwa telah dilakukan operasi hutan lestari (OHL) oleh Polres Simalungun yang sebagai akibatnya banyak petani ditangkap dan diproses melalui pengadilan dan divonis hingga lima bulan penjara karena melanggar SK Menhut.73

Seharusnya penunjukan kawasan hutan itu harus terlebih dahulu dilakukan melalui proses perencanaan yang meliputi inventarisasi hutan, penatagunaan kawasan hutan dan penyusunan rencana kehutanan.74Hal ini sesuai petunjuk Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan Pasal 12 Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:

a. inventarisasi hutan,

72SK Menhut No 44/2005 Penyebab Konflik Di Tengah Masyarakat,

http://beritasore.com/2007/05/24/sk-menhut-no-442005-penyebab-konflik-di-tengah-masyarakat/ Diakses tanggal 27 Januari 2014.

73Ibid. 74Ibid.

b. pengukuhan kawasan hutan, c. penatagunaan kawasan hutan,

d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan e. penyusunan rencana kehutanan.

2. Status Sertifikat Hak Milik Dalam Kawasan Hutan Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011.

Pada tanggal 22 Juli 2011, enam pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi Perkara No. 45/PUU-IX/2011 (selanjutnya disebut MK.45), untuk meminta pengujian pada Pasal 1 (3) dari Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal ini menjelaskan mengenai proses penentuan Kawasan Hutan Indonesia.

Enam pemohon tersebut, termasuk lima orang Bupati, mendesak bahwa area yang sangat luas yang termasuk dalam cakupan wilayah administratif kabupaten mereka, yang merupakan tempat tinggal bagi penduduk yang berjumlah mencapai ratusan ribu orang, telah ditunjuk sebagai Kawasan Hutan, sehingga harus tunduk pada Kementerian Kehutanan dalam hal meminta ijin untuk melakukan kegiatan pembangunan, dan karenanya tidak bisa menjalankan prosedur pemerintah daerah seperti yang telah disahkan oleh hukum dan disyaratkan dalam UUD 1945. Selain itu, pemerintah daerah dan masyarakat secara umum menghadapi sanksi kriminal atas

pendudukan ilegal pada Kawasan Hutan dan resiko perampasan hak milik oleh negara.75

Pada tanggal 21 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permintaan dari enam pemohon tersebut, menyatakan bahwa kata-kata “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 (3) inkonstitusional dan tidak dapat diterapkan. Pasal 1 (3) sekarang berbunyi : “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Dengan menghilangkan kata-kata “ditunjuk dan atau”.

Sejak tanggal 21 Februari 2012, Kawasan Hutan mencakup sekitar 130,7 juta ha (68,4%) dari keseluruhan daratan Indonesia, namun hanya 14,2 juta ha yang telah ditetapkan secara formal. Secara sekilas hal ini menunjukkan bahwa 130,7 juta ha Kawasan Hutan yang ada sebelum putusan MK45 sekarang secara hukum berkurang menjadi sekitar 14,2 juta ha (wilayah yang telah ditetapkan secara formal), atau sekitar 10% dari luas yang sebelumnya. Interpretasi yang sedemikian menganggap bahwa putusan tersebut berlaku secara retroaktif terhadap putusan-putusan administratif yang terdahulu. Namun, peraturan yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi sangat