• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II AKIBAT HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH

D. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Menurut KHUPerdata

Secara garis besar perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh negara kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukum yang dimilikinya dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum.

94Hasil wawancara dengan Toguan Siregar, Pimpinan PT. Bank Sumut Cabang Gunung Tua, pada tanggal 19 Nopember 2013.

Dalam hal ini negara telah memberikan perlindungan hukum kepada kreditur berdasarkan yang tercantun dalam KUHPerdata, yaitu :

1. Tinjaun tentang perjanjian.

Pengertian Perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan pengertian perjanjian yang berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orangatau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”95

Pengertian perjanjian menurut :

a. Subekti “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”96

b. Handri Raharjo “Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan

95 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), hlm. 338.

96 Subekti dalam Buku H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Hand Book,(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 84.

kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum”97

c. Salim H.S. Menurut Salim H.S., definisi perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah memiliki kelemahan sebagai berikut :

a. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian. b. Tidak tampak asas konsensualisme.

c. Bersifat dualisme.

Berdasarkan kelemahantersebut, pengertian perjanjian menurut Salim H.S. adalah : “Perjanjian atau kontrak adalah hubungan hukum antara subjek hukum satu dengan subjek hukum lain dalam bidang harta kekayaan. Subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu pula subjek hukum lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya98

2. Syarat sahnya suatu perjanjian.

Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :

a. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus).

97Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hlm. 42.

98 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm 25.

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Sebelum adanya persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negoitiation) dimana pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai objek perjanjian dan syarat-syaratnya, kemudian pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya sehingga tercapai persetujuan. Kehendak itu dapat dinyatakan baik secara bebas maupun diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki oleh para pihak tersebut.

Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak manapun juga dan berdasarkan kemauan sukarela para pihak. Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk pula tidak adanya kekhilafan dan penipuan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1324 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa dikatakan tidak adanya paksaan itu apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia sehingga orang tersebut terpaksa menyetujui perjanjian.

Akibat hukum tidak adanya persetujuan kehendak (karena paksaan, kekhilafan, maupun penipuan) adalah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim. Menurut ketentuan Pasal 1454 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, bahwa pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang

waktu 5 (lima) tahun, dalam hal terdapat paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti, dan dalam hal terdapat kekhilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kekhilafan dan penipuan itu.99

b. Kecakapan para pihak.

Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri yang dilakukan oleh subjek hukum. Pada umumnya, seseorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun. Menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seseorang dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan wanita bersuami, sehingga apabila hendak melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh walinya dan bagi seorang istri harus ada izin suaminya.

Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim, dan apabila pembatalannya tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan maka perjanjian tetap berlaku.100

c. Suatu hal atau objek tertentu.

99 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 200), hlm.231.

Suatu hal atau objek tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian dan prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang- kurangnya dapat ditentukan

d. Adanya suatu sebab yang halal.

Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah suatu yang menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengartikan causayang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak.

Ketentuan dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, karena yang diperhatikan atau diawasi oleh Undang- Undang itu ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak serta isinya tidak dilarang oleh Undang-Undang, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa semua kontrak atau perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya atau biasa dikenal dengan asas Pacta Sunt Servanda. Dari pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat

ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang atau yang biasa biasa dikenal sebagai asas itikad baik, yang berarti bahwa kedua belah pihak harus berlaku terhadap yang lain berdasarkan kepatutan di antara orang-orang yang sopan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan, dan tidak hanya melihat pada kepentingan diri sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain.

Tingkah laku para pihak dalam pelaksanaan perjanjian harus dapat diuji atas dasar norma objektif yang tidak tertulis. Dikatakan demikian karena tingkah laku para pihak tersebut tidak hanya sesuai dengan itikad baik menurut anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah lakunya harus sesuai dengan anggapan umum.

Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga, karena dalam pasal 1340 KUH Perdata menyatakan tentang raung lingkup berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja. Jadi, pihak ketiga atau pihak diluar perjanjian tidak dapat ikut menuntut suatu hak berdasarkanperjanjian itu. Ruang lingkup berlakunya perjanjian ini dikenal sebagai prinsipPrivity of Contractatau asas kepribadian.101

3. Berakhirnya pejanjian

101 Naja. H.R. Daeng, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm. 95.

Menurut Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan bahwa perikatan-perikatan hapus karena :

a. Pembayaran, Pembayaran dalam arti luas adalah pemenuhan prestasi, baik bagi pihak yang menyerahkan uang sebagai harga perbayaran maupun bagi pihak yang menyerahkan barang sebagaimana yang diperjanjikan.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, yaitu suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang menolak pembayaran walaupun telah dilakukan dengan perantaraan notaris atau juru sita. Uang atau barang yang sedianya sebagai alat pembayaran tersebut disimpan dan dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dengan suatu berita acara, yang dengan demikian hapuslah utang piutang tersebut. c. Pembaharuan utang, Menurut pasal 1413 KUHPerdata, ada 3 (tiga) macam

cara untukmelaksanakannya, yaitu :

a) Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang lama yang dihapuskan karenanya.

b) Apabila seorang berutang baru ditunjukuntuk menggantikan orang berutang yang lama.

c) Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.

d. Perjumpaan utang atau kompensasi, Adalah suatu perhitungan atau saling memperhitungkan utang piutang antar pihak satu dan pihak lainnya lagi. e. Pencampuran utang, Terjadi demi hukum dimana piutang dihapuskan apabila

kedudukan sebagai seorang berpiutang dan orang berutang berkumpul pada satu orang.

f. Pembebasan utang, Adalah suatu pernyataan yang dengan tegas dari si berpiutang bahwa ia tidak lagi menghendaki prestasi dari si berutang, dan telah melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan prestasi suatu perjanjian.

g. Musnahnya barang yang terutang, yaitu suatu keadaan dimana barang yang menjadi objek perjanjian tidak lagi diperdagangkan atau hilang. Hapusnya perikatan disini akibat musnahnya barang tersebut dikarenakan diluar kesalahan si berutang atau disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya.

h. Batal atau pembatalan, adalah apabila salah satu pihak dalam perjanjian tersebut mengajukan atau menuntut pembatalan atas perjanjian yang telah dibuatnya, pembatalan mana diakibatkan karena kekurangan syarat subjektif dari perjanjian yang dimaksud.

i. Berlakunya suatu syarat batal, terjadi dalam hal terdapatnya perjanjian mengenai syarat batal yang kemudian menjadi kenyataan.

j. Lewatnya waktu, adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu, dan

atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata juga mengatur mengenai berakhirnya perjanjian yang disebabkan karena peristiwa tertentu, Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht).

Keadaan memaksa yang dimaksud ini adalah suatu keadaan dimana debitur tidakdapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain.

Keadaan memaksa ini dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :102

a. Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeure). Akibat keadaan memaksa absolut (force majeure) ini adalah :

a) Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUHPerdata);

b) Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untukyang disebut dalam Pasal 1460 KUHPerdata.

b. Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan

tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.

Dalam hal jaminan yang telah berada dalam kawasan hutan maka debitur tetap memiliki kewajiban untuk membayar hutang-hutangnya. Antara kreditur dan debitur dapat mencari cara yang tepat untuk menjadwal ulang hutang-hutang tersebut.

Di Kabupaten Padang Lawas Utara umumnya pihak bank (kreditur) untuk menanggulangi kredit macet melakukan tindakan yang lebih kooperatif yaitu dengan melakukan musyawarah dan menjalin kerjasama yang baik dengan debitur tanpa harus mengeksukusi jaminan. Karena pada dasarnya kreditur tidak dapat melakukan eksesusi dikarenakan jaminan tersebut sudah dinyatakan dalam kawasan hutan.

Jumlah biaya hutang yang harus dibayar oleh debitur berupa pinjaman pokok ditambah bunga yang telah ditentukan sesuai dengan ketentuan pemerintah dan ditambah biaya administrasi. Kemudian pembayarannya dapat dilakukan kembali dengan cara kredit. Dengan demikian pihak kreditur berupaya untuk membangun kerjasama dan saling mempercayai antara keditur dan debitur.

Ternyata cara yang demikian lebih efektif bagi kreditur untuk menyelesaikan permasalahan kredit macet dan hal tersebut bukan hanya diterapkan bagi jaminan yang berada dalam kawasan hutan akan tetapi mencakup di luar itu juga.103

103Hasil wawancara dengan Toguan Siregar, Pimpinan PT. Bank Sumut Cabang Gunung Tua, pada tanggal 19 Nopember 2013.

Kontrak atau perjanjian yang telah dilakukan antara kreditur dan debitur menimbulkan adanya hubungan hukum, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dankewajiban inilah yang merupakan salah satu bentuk dari akibat hukum suatu kontrak.

Kemudian hak dan kewajiban ini tidak lain adalah hubungan timbal balik dari para pihak, yang maksudnya adalah kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pula sebaliknya, kewajiban dipihak kedua merupakan hak bagi pihak pertama. Jadi, akibat hukum di sini adalah pelaksanaan dari suatu kontrak itu sendiri.

Menurut pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan danundang-undang. Dengan demikian, setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan- aturan yang terdapat dalam undang-undang, dalam adat kebiasaan, sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan juga harus diindahkan.

Ada 3 (tiga) sumber norma yang ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu undang- undang, kebiasaan dan norma kepatutan. Menurut Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Norma ini merupakan salah satu pengaturan terpenting dalam hukum perjanjian. Dan dalam penerapannya hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian supaya jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan. Ini berarti hakim itu berkuasa untuk untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut apa yang sudah

diperjanjikan oleh para pihak. Jadi jika dalam ayat 1 (satu) Pasal 1338 KUHPerdata tersebut dapat dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum maka dalam ayat 3 (tiga) Pasal 1338 KUH Perdata dapat dianggap sebagai suatu tuntutan keadilan.

Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUH Perdata yang dimaksudkan tersebut adalah yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.

E. Tanggung Jawab Kantor Pertanahan Tapanuli Selatan Terhadap Sertipikat Yang Diterbitkan Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Padang Lawas Utara.

Pasal 33 ayat 3 UUD memerintahkan Negara untuk menguasai dan mengelola tanah. Atas dasar ketentuan tersebut maka negara membentuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang diharapkan sebagai perpanjangan negara dalam hal pengurusan tanah bagi kemakmuran rakyat. Pembentukan BPN didasarkan atas Keputusan Presiden No. 26 tahun 1988 tentang BPN. Organisasi dan tata kerja BPN dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala BPN No. 11/KBPN/1988 jo Keputusan Kepala BPN di Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya. Untuk wilayah Pusat dan Propinsi disebut dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional), sedangkan untuk wilayah Kabupaten/Kotamadya disebut dengan Kantor Pertanahan.

Tujuan dibentuknya BPN adalah untuk membuat sistem pengelolaan masalah pertanahan di Indonesia. Sedangkan tugas lembaga BPN adalah mengelola dan mengemban administrasi pertanahan baik berdasarkan UUPA maupun peraturan

perundang-undangan lain yang meliputi pengaturan penggunaan, penguasaan dan pemeliharaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, pengurusan dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijakansanaan yang ditetapkan oleh Presiden.

Kemudian fungsi BPN adalah :

1. merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan penguasaan dan pengurusan tanah,

2. merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan pengaturan kepemilikan tanah dengan prinsip tanh yang mempunyai fungsi sosial,

3. melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah, 4. melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah,

5. melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan seta pendidikan dan pelatihan pegawai dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Presiden.

Berdasarkan fungsi BPN pada angka 3 maka BPN berkewajiban melakukan pendaftaran tanah dengan menerbitkan bukti hak atas tanah yaitu sertipikat tanah. Alasan diterbitkannya sertipikat dalam kawasan hutan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan untuk wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara adalah melihat pada sejarah penguasaan atas tanah yang merupakan tanah adat dari masyarakat setempat yang telah dikuasai secara turun temurun, dan ada juga karena

alasan “tanah mempunyai nilai religius magis”104. Sebagian besar masyarakat adat yang tersebar di Indonesia menganggap pemilik atau pihak yang mendiami punya hubungan religius magis dengan tanah.105

Selain hal tersebut diatas penerbitan sertipikat dalam kawasan hutan juga bisa timbul akibat ketidakcermatan pejabat Kantor Pertanahan setempat dan/atau pejabat negara terkait yang berwenang dalam mengeluarkan surat keterangan atas tanah atau surat keterangan letak tanah yang berujung pada pendaftaran tanah. Selain itu, ada pula faktor kesengajaan atau ketidaksengajaan otoritas pemerintah. Dalam hal ini, mereka mengeluarkan surat-surat tanpa terlebih dahulu meneliti riwayat tanah dan melihat kondisi di lapangan.

Adapula permasalaan timbul akibat dikeluarkannya surat keputusan oleh beberapa instansi atas objek tanah yang tumpang tindih. SK 44 Menhut yang melanggar hak-hak masyarakat setempat menimbulkan ketidakberdayaan Kantor Pertanahan dalam mempertahankan hak-hak masyarakat terhadap tanah-tanah yang telah didaftarkannya, begitu juga dalam proses kredit dimana sertipikat yang berada dalam kawasan hutan tidak dapat dipasang Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan.

Sementara itu, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU- IX/2011, maka Kantor Pertanahan kembali mempunyai wewenang melakukan pendaftaran berkesinambungan terhadap sertipikat yang telah dikeluarkannya dalam kawasan hutan. Karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut jelas

104Elza Syarief,Loc.cit, hlm. 63. 105Ibid.

dikatakan bahwa “penunjukan Kawasan hutan sekarang tidaklah mengikat” sehingga SK 44/Menhut-II/2005 juga tidak berkekuatan hukum karena tidak dilakukan pengukuran atau inventarisasi hutan terlebih dahulu.

Akan tetapi walaupun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ternyata Kantor Pertanahan tetap tidak memproses sertipikat-sertipikat yang telah diterbitkannya dalam kawasan hutan. Kantor Pertanahan beranggapan bahwa “apabila diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan maka untuk upaya eksekusinya juga tidak dapat dilakukan karena akan berkaitan dengan izin dari Dinas Kehutanan setempat, maka akan sia-sia apabila dilakukan pendaftaran hak tanggungan dengan biaya yang telah dikeluarkan.”106

Berdasarkan fungsi lembaga BPN angka 3 diatas, BPN bukan hanya berkewajiban melakukan pendaftaran tanah pertama kalinya, tetapi wajib juga melakukan pendaftaran tanah secara berkesinambungan, yaitu ketika terjadi pembebanan hak tanggungan dan balik nama, kemudian wajib memelihara data yuridis dan fisik. Ketika putusan Mahkamah Konstitusi memberikan status sertipikat yang telah diterbitkan itu kembali ke status awalnya, yaitu merupakan hak terkuat dan memberikan jaminan kepastian bagi pemegangnya, maka Kantor Pertanahan seharusnya dapat memproses sertipikat-sertipikat tersebut.

Ketika sertipikat hak milik yang telah dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan tidak ditanggungajawabi eksistensinya oleh Kantor Pertanahan, maka Kantor 106 Hasil wawancara dengan Aladdin Harahap, Kepala Seksi II Bidang Pendaftaran dan Peralihan Tanah Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan, pada tanggal 20 Nopember 2013.

Pertanahan juga dapat dilaporkan kepada Ombudsman karena tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan sebenarnya.

Kreditur maupun pemegang sertipikat dapat melaporkan Pegawai Kantor Pertanahan untuk mendapatkan pertanggungjawaban Pegawai Kantor Pertanahan atas sertipikat yang telah diterbitkannya itu. Karena kreditu dan pemegang hak tidak mendapat kepastian terhadap sertipikat yang diterbitkan itu. Dengan kata lain, sertipikat-sertipikat tersebut yang berada dalam kawasan hutan tidak dapat dipergunakan sesuai dengan fungsinya dan tidak mempunyai nilai ekonomis.

F. Pendapat Pemerintah Padang Lawas Utara Menyikapi SK-44/Menhut-