i
PENGARUH
JOB INSECURITY
TERHADAP
OCCUPATIONAL SELF-EFFICACY
PADA KARYAWAN PT. SANDANG ASIA MAJU ABADI
SEMARANG
SKRIPSI
disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi
oleh Hadia Halungunan
1511410033
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
iv
MOTTO DAN PERUNTUKAN
MOTTO
Hidup Santai, Masa Depan Cerah. Istri Cantik, Mertua Kaya. Mati Masuk Surga (Penulis)
PERUNTUKAN
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Job Insecurity
Terhadap Occupational Self-efficacy Pada Karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang”.
Skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari peran berbagai pihak yang telah banyak membantu. Untuk itu, dengan penuh kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Fakhruddin, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
2. Dr. Edy Purwanto, M.Si, Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
3. Amri Hana Muhammad, S.Psi., M.A sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan masukan yang sangat berarti dan telah sabar telah membimbing dan memberikan arahan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Siti Nuzulia, S.Psi., M.Si sebagai penguji utama yang telah memberikan
bimbingan, kritik dan saran sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik. 5. Moh. Iqbal Mabruri, S.Psi, M.Si sebagai penguji kedua yang telah
vi
6. Kedua orang tua penulis (Sufyar Lubis dan Radima Batubara) yang selalu memberikan motivasi, doa, cinta serta kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Elda Riza, S.Pd., M.Pd atas nasehat-nasehatnya, Cha-cha untuk dukungannya, Icha sebagai pengkritik terbaik bagi penulis, Upiek yang selalu menenangkan penulis, Nurlela sebagai inspirator bagi penulis dan Bouak yang telah sabar memberikan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman Psikologi angkatan 2010.
9. Teman-teman atlet Ngadi FC (Grovel, Wira, Umaru, Chrisman, Paian, Joel, Cerry) atas kekeluargaannya, doa, nasehat dan inspirator bagi penulis.
10.Teman-teman kost yang selalu memberi dukungan dan motivasi kepada penulis.
11.Serta semua pihak invisible hand yang tidak dapat disebutkan oleh penulis satu persatu, yang telah membantu penulis hingga akhir masa studi penulis.
Semoga segala kebaikan dan keikhlasan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi siapa saja yang membacanya dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Semarang, 16 September 2015
vii
ABSTRAK
Halungunan, Hadia. 2015. Pengaruh Job Insecurity Terhadap Occupational Self-efficacy Pada Karyawan PT Sandang Asia Maju Abadi Semarang. Skripsi. Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: Amri Hana Muhammad, S.Psi., M.A.
Kata Kunci: Job Insecurity, Occupational Self-efficacy.
PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang merupakan salah satu perusahaan garmen terbesar yang ada di Indonesia, yang mengekspor produknya ke lima benua dengan peralatan pabrik yang modern. Tingkat produksi yang tinggi membuat perusahaan menerapkan kebijakan dengan cara menetapkan target kepada karyawan untuk mencapai hasil kerja yang maksimal. Keadaan tersebut dapat saja menimbulkan job insecurity bagi karyawan. Karyawan yang merasakan ketidakamanan dalam pekerjaan berhubungan dengan occupational self-efficacy yang dimiliki karyawan dalam bekerja. Berdasarkan studi awal yang dilakukan, didapat hasil bahwa indikasi-indikasi occupational self-efficacy yang rendah dirasakan oleh karyawan.
Rumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah: 1) bagaimana gambaran job insecurity pada karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang 2) bagaimana gambaran occupational self-efficacy pada karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang 3) apakah ada pengaruh job insecurity terhadap occupational self-efficacy pada karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang. Sampel yang diambil berjumlah 104 subjek dengan karakteristik karyawan yang masih aktif bekerja, mempunyai masa kerja minimal tiga bulan, dan dengan latar belakang pendidikan minimal SMA dengan menggunakan teknik purposive sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier satu prediktor dengan menggunakan bantuan software pengolah data.
Berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar −0,471 dengan p = 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan adanya hubungan negatif dan signifikan antara job insecurity dengan occupational self-efficacy. Sedangkan nilai koefisien determinasi (R2) diperoleh sebesar 0,233, hal ini berarti bahwa besarnya pengaruh job insecurity terhadap occupational self-efficacy
viii
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN ... ii
PENGESAHAN ... iii
MOTTO DAN PERUNTUKAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 14
1.3 Tujuan Penelitian ... 14
1.4 Manfaat Penelitian ... 15
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 15
1.4.2 Manfaat Praktis ... 15
2 LANDASAN TEORI ... 16
2.1 Self-efficacy ... 16
ix
2.1.2 Aspek-aspek Self-efficacy ... 17
2.1.3 Sumber Self-efficacy ... 20
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self-efficacy ... 22
2.1.5 Occupational Self-efficacy ... 23
2.1.6 Aspek-Aspek Occupational Self-efficacy ... 24
2.2 Job Insecurity ... 26
2.2.1 Definisi Job Insecurity... 26
2.2.2 Komponen Job Insecurity... ... 28
2.2.3 Aspek-Aspek Job Insecurity... ... 29
2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Job Insecurity... ... 31
2.2.5 Konsekuensi Job Insecurity ... 34
2.3 Pengaruh Job Insecurity Terhadap Occupational Self-efficacy ... 36
2.4 Kerangka Berpikir ... 42
2.5 Hipotesis ... 43
3 METODE PENELITIAN ... 44
3.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 44
3.1.1 Jenis Penelitian ... 44
3.1.2 Desain Penelitian ... 44
3.2 Variabel Penelitian ... 45
3.2.1 Identifikasi Variabel Penelitian... . 45
3.2.2 Definisi Operasional ... 45
3.3 Populasi dan Sampel ... 46
x
3.3.2 Sampel ... 48
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 48
3.4.1 Skala Job Insecurity... 49
3.4.2 Skala Occupational Self-efficacy ... 51
3.5 Uji Coba ... 52
3.5.1 Persiapan Uji Coba Instrumen ... 52
3.5.2 Pelaksanaan Uji Coba ... 54
3.5.3 Hasil Uji Coba ... 54
3.5.3.1 Uji Coba Skala Job Insecurity ... 54
3.5.3.2 Uji Coba Skala Occupational Self-efficacy ... 57
3.6 Validitas dan Reliabilitas ... 59
3.6.1 Validitas ... 60
3.6.2 Reliabilitas ... 61
3.7 Teknik Analisis Data ... 62
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63
4.1 Persiapan Penelitian ... 63
4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian ... 63
4.1.2 Penentuan Sampel Penelitian ... 64
4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 65
4.2.1 Pengumpulan Data ... 65
4.2.2 Pelaksanaan Skoring ... 65
4.3 Hasil Penelitian ... 66
xi
4.3.1.1 Uji Normalitas ... 66
4.3.1.2 Uji Linearitas ... 67
4.3.2 Uji Hipotesis ... 68
4.3.2.1 Uji F ... 68
4.3.2.2 Analisis Regresi Linear Satu Prediktor ... 69
4.3.2.3 Uji Koefisien Determinasi ... 70
4.3.3 Gambaran Umum Job Insecurity Pada Karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang ... 72
4.3.3.1 Gambaran Job Insecurity Berdasarkan Komponen Arti Penting Aspek Kerja ... 74
4.3.3.2 Gambaran Job Insecurity Berdasarkan Komponen Kemungkinan Perubahan Negatif Pada Aspek Kerja ... 75
4.3.3.3 Gambaran Job Insecurity Berdasarkan Komponen Arti Penting Keseluruhan Kerja ... 77
4.3.3.4 Gambaran Job Insecurity Berdasarkan Komponen Kemungkinan Perubahan Negatif Pada Keseluruhan Kerja ... 78
4.3.3.5 Gambaran Job Insecurity Berdasarkan Komponen Ketidakberdayaan ... 80
4.3.4 Gambaran Umum Occupational Self-efficacy Pada Karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang ... 84
4.3.4.1 Gambaran Occupational Self-efficacy Berdasarkan Aspek Level ... 86
4.3.4.2 Gambaran Occupational Self-efficacy Berdasarkan Aspek Strength ... 87
4.3.4.3 Gambaran Occupational Self-efficacy Berdasarkan Aspek Generality ... 88
4.4 Pembahasan ... 92
xii
4.4.2 Pembahasan Analisi Deskriptif Occupational Self-efficacy
Pada Karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang ... 97
4.4.3 Pengaruh Job Insecurity Terhadap Occupational Self-efficacy Pada Karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang ... 101
4.5 Keterbatasan Penelitian ... 104
5 PENUTUP………... 105
5.1 Simpulan ... 105
5.2 Saran ... 106
DAFTAR PUSTAKA ... 107
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel
1.1 : Hasil Studi Awal ... 11
2.1 : Strategi Pengubahan Sumber Ekspektasi Efikasi ... 21
3.1 : Kriteria Skor Jawaban Skala... 49
3.2 : Blueprint Skala Job Insecurity ... 50
3.3 : Blueprint Skala Occupational Self-efficacy ... 52
3.4 : Hasil Uji Coba Sebaran Aitem Skala Job Insecurity ... 54
3.5 : Sebaran Baru Aitem Skala Job Insecurity ... 56
3.6 : Hasil Uji Coba Sebaran Aitem Skala Occupational Self-efficacy ... 58
3.7 : Sebaran Baru Aitem Skala Occupational Self-efficacy ... 59
4.1 : Hasil Uji Normalitas ... 66
4.2 : Hasil Uji Linearitas ... 67
4.3 : Hasil Uji F ... 68
4.4 : Hasil Uji Regresi Linear Satu Prediktor ... 69
4.5 : Hasil Uji Koefisien Determinasi... 71
4.6 : Distribusi Frekuensi Job Insecurity ... 73
4.7 : Distribusi Frekuensi Job Insecurity Berdasarkan Komponen Arti Penting Aspek Kerja ... 74
4.8 : Distribusi Frekuensi Job Insecurity Berdasarkan Komponen Kemungkinan Perubahan Negatif Pada Aspek Kerja ... 76
4.9 : Distribusi Frekuensi Job Insecurity Berdasarkan Komponen Arti Penting Keseluruhan Kerja ... 77
xiv
4.11 : Distribusi Frekuensi Job Insecurity Berdasarkan Komponen
Ketidakberdayaan (Powerlessness) ... 80 4.12 : Ringkasan Deskriptif Job Insecurity Pada Karyawan PT. Sandang
Asia Maju Abadi Semarang ... 81 4.13 : Perbandingan Mean Empiris Tiap Komponen Job Insecurity ... 82 4.14 : Distribusi Frekuensi Occupational Self-efficacy ... 84 4.15 : Distribusi Frekuensi Occupational Self-efficacy Berdasarkan Aspek
Level ... 86 4.16 : Distribusi Frekuensi Occupational Self-efficacy Berdasarkan
Aspek Strength ... 88 4.17 : Distribusi Frekuensi Occupational Self-Efficacy Berdasarkan
Aspek Generality ... 89 4.18 : Ringkasan Deskriptif Occupational Self-Efficacy Pada Karyawan
PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang ... 90 4.19 : Perbandingan Mean Empiris Tiap Aspek Occupational
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar
2.1 : Kerangka Berpikir ... 39 4.1 : Diagram Gambaran Umum Job Insecurity pada Karyawan PT.
Sandang Asia Maju Abadi Semarang ... 73 4.2 : Diagram Ringkasan Deskriptif Job Insecurity Pada Karyawan
PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang ... 82 4.3 : Diagram Perbandingan Mean Empiris dari Tiap Komponen Job
Insecurity ... 84 4.4 : Gambaran Umum Occupational Self-efficacy Pada Karyawan PT.
Sandang Asia Maju Abadi Semarang ... 85 4.5 : Diagram Ringkasan Deskriptif Occupational Self-efficacy pada
Karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang ... 90 4.6 : Diagram Perbandingan Mean Empiris Berdasarkan Tiap Aspek
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Angket Studi Pendahuluan ... 111
2 Try Out Skala Job Insecurity ... 113
3 Try Out Skala Occupational Self-efficacy ... 121
4 Tabulasi Data Try Out Skala Job Insecurity ... 127
5 Tabulasi Data Try Out Skala Occupational Self-efficacy ... 136
6 Uji Validitas ... 143
7 Uji Reliabilitas ... 149
8 Tabulasi Data Penelitian Skala Job Insecurity ... 151
9 Tabulasi Data Penelitian Skala Occupational Self-efficacy ... 163
10 Uji Asumsi Klasik ... 170
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sumber daya manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan. Sumber daya manusia memiliki peranan penting dalam pencapaian tujuan akhir suatu perusahaan. Resign atau keluarnya karyawan berprestasi rendah dalam suatu perusahaan akan bermanfaat positif bagi organisasi, namun dengan keluarnya karyawan yang berprestasi tinggi akan merugikan perusahaan. Karyawan berprestasi tinggi yang resign menjadikan perusahaan melakukan usaha untuk merekrut karyawan baru agar dapat mengisi posisi yang kosong.
2
yang dimilikinya sebaik mungkin. Berbagai upaya akan dilakukan oleh perusahaan, mulai dengan memberikan kompensasi yang baik hingga upaya yang dapat memotivasi, mendorong dan mendisiplinkan sumber daya manusia yang dimilikinya. Semua hal tersebut dilakukan dengan harapan sumber daya manusia yang ada akan memberikan kinerja yang optimal.
Globalisasi yang terjadi saat ini memberikan dampak yang signifikan bagi kelangsungan hidup perusahaan. Globalisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang begitu cepat di dalam bisnis yang menuntut perusahaan untuk lebih mampu beradaptasi, mempunyai ketahanan, mampu melakukan perubahan arah dengan cepat, dan memusatkan perhatiannya kepada pelanggan. Globalisasi juga telah menciptakan ancaman, berupa semakin banyaknya kompetisi dan meningkatnya kecepatan dalam bisnis, namun demikian juga memunculkan kesempatan berupa semakin besarnya pasar dan semakin sedikitnya hambatan-hambatan yang akan muncul.
Setiap perusahaan ingin karyawannya memiliki kemampuan produktivitas yang tinggi dalam bekerja. Ini merupakan keinginan yang ideal bagi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan semata, sebab bagaimana mungkin perusahaan memperoleh keuntungan apabila di dalamnya diisi oleh orang-orang yang tidak produktif. Akan tetapi, terkadang perusahaan tidak mampu membedakan mana karyawan yang produktif dan mana yang tidak produktif. Hal ini disebabkan perusahaan kurang memiliki sense of business yang menganggap karyawan sebagai investasi yang akan memberikan keuntungan. Perusahaan lebih terfokus pada upaya pencapaian target produksi dan keinginan menjadi pemimpin pasar. Akibatnya, perusahaan menjadikan karyawan tak ubahnya seperti mesin, ironisnya lagi mesin tersebut tidak dirawat atau diperlakukan dengan baik. Perusahaan lupa kalau karyawan adalah investasi dari profit itu sendiri yang perlu dipelihara agar tetap dapat berproduksi dengan baik.
menurun, tidak bekerja maksimal, kurang percaya diri, serta lalai pada tugas dan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan di tempat kerja.
Reaksi-reaksi yang ditampilkan oleh seorang tenaga kerja dalam bekerja dipengaruhi oleh self-efficacy (efikasi diri) yang dimilikinya. Self-efficacy merupakan faktor yang dapat berfungsi sebagai penentu bagaimana seseorang berpikir, merasakan, memotivasi dirinya, dan bereaksi terhadap situasi yang dihadapinya (Bandura, 1995; 2).
Self-efficacy adalah indikator positif dari core self-evaluation untuk melakukan evaluasi diri yang berguna untuk memahami diri (Judge & Bono, 2001; 83). Self-efficacy merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri atau self-knowledge yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari karena self-efficacy yang dimiliki ikut memengaruhi individu dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, termasuk di dalamnya perkiraan terhadap tantangan yang akan dihadapi.
Konsep self-efficacy yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah occupational self-efficacy (efikasi kerja). Schyns dan Von Collani (dalam Schyns,& Moldzio 2009; 4) menyatakan bahwa occupational self-efficacy adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan dan kompetensinya dalam menampilkan unjuk kerja yang baik pada berbagai jenis tugas dan situasi pekerjaan. Dalam lingkup organisasi, occupational self-efficacy dianggap lebih cocok digunakan karena dapat membandingkan tingkat self-efficacy pada tenaga kerja, meskipun mereka memiliki tugas yang berbeda dalam suatu perusahaan (Rigotti, Schyns, & Mohr, 2008; 238). Hal ini karena occupational self-efficacy tidak menitikberatkan pada specific-task self-efficacy, yaitu keyakinan seseorang dalam melakukan tugas tertentu. Titik berat occupational self-efficacy lebih pada domain atau area pekerjaan secara umum yang lingkupnya lebih luas dibanding tugas-tugas yang spesifik.
mengarahkan pada analisis berpikir inkonsisten yang mendasari buruknya kualitas problem solving.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Bandura (2006; 3) yang menyebutkan bahwa occupational self-efficacy mempengaruhi apakah seseorang berpikir inkonsisten atau strategis, optimis atau pesimis, mempengaruhi tindakan yang dipilih, tantangan dan tujuan yang mereka atur serta komitmen mereka terhadapnya, seberapa banyak usaha yang dilakukan, seberapa besar hasil yang diharapkan, seberapa lama mampu bertahan dalam menghadapi rintangan, resiliensi terhadap rintangan, kualitas kehidupan emosional, seberapa besar stres dan depresi yang mereka alami dalam menghadapi tuntutan lingkungan, dan pilihan kehidupan yang mereka buat serta pencapaian yang telah mereka capai.
Penilaian positif karyawan terhadap kemampuannya untuk mempengaruhi lingkungan akan memunculkan keyakinan diri karyawan pada kemampuannya dalam bekerja pada situasi ketidakpastian dalam suatu perusahaan. Bagaimana karyawan memandang bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi ketidakpastian akan memperkuat kondisi penuh keyakinan karyawan dalam bekerja.
psikologis. Gangguan psikologis dalam pekerjaan tersebut dapat muncul sebagai atmosfer lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung, dimana adanya ketidakpastian dan kekhawatiran tentang keberlanjutan pekerjaan mereka di dalam suatu organisasi.
Adanya job insecurity dalam diri karyawan ternyata dapat berdampak pada produktivitas tenaga kerja maupun perusahaan (Greenhalgh & Rosenblatt, 1984; 443). Ashford, Lee dan Bobko (1989; 819) menunjukkan bahwa job insecurity berkaitan dengan penurunan komitmen dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan. Burchell (1999; 148) menambahkan bahwa terdapat hubungan negatif antara job insecurity dan tingkat motivasi kerja pada karyawan yang ”selamat” ketika perusahaannya melakukan pengurangan jumlah karyawan. Selain itu, hasil penelitian mengenai job insecurity terhadap kepuasan kerja pada karyawan kontrak juga menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara job insecurity dan kepuasan kerja pada karyawan kontrak (Estelita, 2005; 149). Penelitian yang dilakukan oleh Abramis (dalam Sverke, Hellgren, Naswall, Chirumbolo, De Witte, & Goslinga, 2002; 88) juga menunjukkan bahwa job insecurity berkaitan dengan menurunnya kinerja karyawan.
penting untuk diperhatikan oleh perusahaan karena pada akhirnya reaksi-reaksi yang ditampilkan oleh tenaga kerja dapat memberikan efek negatif bagi perusahaan dan bagi tenaga kerja itu sendiri. Tenaga kerja yang merasakan job insecurity akan mengalami gangguan psikologis sehingga akan berdampak terhadap bagaimana tenaga kerja menilai kemampuan yang dimilikinya dalam menjalankan pekerjaan.
Job insecurity diduga berperan terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan karyawan untuk mengendalikan kejadian-kejadian di lingkungan kerja. Dalam hal ini, job insecurity diartikan sebagai tingkat dimana pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut (Ashford et al., 1989; 804).
Job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya (Ernawati, 2014; 189). Job insecurity juga mempunyai dampak terhadap menurunnya keinginan pekerja untuk bekerja di suatu perusahaan tertentu (Ashford et al., 1989; 807).
diungkapkan oleh De Witte (2005; 2-3) yang menyimpulkan bahwa penurunan kondisi kerja seperti rasa tidak aman dalam bekerja akan mempengaruhi karyawan, dalam hal ini memunculkan emosi yang mempengaruhi kondisi psikologis. Emosi yang dimunculkan karyawan yang mengalami rasa tidak aman dalam bekerja dapat berupa emosi negatif seperti kecemasan, depresi, iri, dan berkurangnya rasa percaya diri (Mc Cullough, et al., 2002; 116).
Dampak yang ditimbulkan oleh adanya job insecurity yang dirasakan karyawan pada tempat kerja tersebut mengarah kepada rendahnya occupational self-efficacy yang dimiliki karyawan dalam bekerja. Bandura (dalam Irene, 2008; 22) menyatakan bahwa individu dengan tingkat occupational self-efficacy yang rendah mempunyai ciri-ciri pola tingkah laku seperti komitmen yang rendah, memusatkan diri pada kelemahan diri sendiri, mudah menyerah atau menjadi tidak bersemangat dalam bekerja, merasa khawatir, mengalami stres, menjadi depresi, dan merasa tidak berdaya.
Berdasarkan cara pandang diatas, rasional bila kemudian muncul dugaan bahwa job insecurity mungkin akan berpengaruh terhadap kondisi psikologis tertentu, dalam hal ini occupational self-efficacy. Dalam rangka mengkaji lebih lanjut bahasan diatas, peneliti turun ke lapangan untuk melakukan studi awal. Studi awal dilakukan pada karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang.
Asia Maju Abadi Semarang dapat memproduksi dan mengekspor lebih dari 300.000 celana dalam sebulan. Tingkat produksi yang tinggi membuat perusahaan menerapkan kebijakan dengan cara menetapkan target kepada karyawan untuk mencapai hasil kerja yang maksimal, namun target kerja yang diberikan perusahaan kepada karyawan dianggap terlalu tinggi sehingga timbul persepsi bahwa beban kerja yang diemban karyawan dalam bekerja terlalu besar dan karyawan merasa tidak mampu untuk menyelesaikan target pekerjaan tepat waktu. Dampak yang terjadi dari penetapan target kerja yang tinggi tersebut adalah karyawan merasa bahwa usaha yang mereka lakukan untuk menyelesaikan target kerja akan sia-sia karena munculnya perasaan bahwa mereka tidak akan mampu menyelesaikan target kerja tepat waktu, walaupun masih banyak karyawan lain yang dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Adapun tidak selesainya target kerja akan berdampak terhadap imbalan yang akan diterima karyawan. Ancaman terhadap adanya pemotongan imbalan dianggap sebagai faktor penting dalam bekerja, sehingga adanya kebijakan perusahaan mengenai pemotongan imbalan tersebut akan membuat karyawan merasa semakin tertekan, sehingga konsentrasi dalam bekerja pun akan menjadi menurun, dampak yang terjadi adalah tidak selesainya target pekerjaan.
terhadap salah satu aspek pekerjaan, dalam hal ini berupa ancaman yang berimbas terhadap berkurangnya imbalan yang akan diterima. Kebijakan perusahaan tersebut membuat karyawan menjadi merasa tidak berdaya untuk menghadapi kondisi dan situasi yang terjadi karena merasa tidak mendapatkan sosialisasi yang baik dari pihak perusahaan atas kebijakan yang ditetapkan. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan karyawan dalam mengendalikan dan mengatasi situasi yang terjadi pada lingkungan kerja dalam menjalankan pekerjaan tersebut dipandang sebagai job insecurity yang dirasakan oleh karyawan.
Berdasarkan studi awal yang dilakukan dengan menggunakan metode angket pada tanggal 20 November 2014 di PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang dengan melibatkan tiga puluh karyawan, maka dapat diketahui bahwa indikasi-indikasi occupational self-efficacy yang rendah dirasakan oleh karyawan. Hal ini dapat dilihat dari hasil studi awal yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa sebesar 73,33% karyawan mempunyai indikasi occupational self-efficacy yang tergolong rendah. Hasil studi awal tersebut disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 1.1. Hasil Studi Awal
No IndikatorPerilaku Frekuensi Persentase
(%)
1 Tidak merasa yakin akan berhasil (mampu)
menyelesaikan target kerja 22 73,33 %
2 Kurang konsentrasi dan kurang bersemangat
dalam bekerja 23 76,66 %
3 Kecewa dan takut akan hasil kerja yang
kurang maksimal 21 70,00 %
4 Cenderung lebih emosional dalam bekerja 20 66,66 % 5 Cepat tersinggung dan cemas akan hasil
pekerjaan 21 70,00 %
6 Tidak mempunyai motivasi kerja yang tinggi 25 83,33 %
Berdasarkan hasil studi awal tersebut maka patut diduga bahwa karyawan memiliki occupational self-efficacy yang tergolong rendah, hal ini ditandai dengan indikasi yang ditemukan di lapangan. Persentase dari tiap indikator occupational self-efficacy yang diperoleh dari tiga puluh karyawan menyatakan bahwa sebesar 73,33% karyawan tidak mempunyai keyakinan bahwa dirinya mampu menyelesaikan target pekerjaannya tepat waktu, 76,66% kurang berkonsentrasi dan kurang bersemangat dalam bekerja, 70% merasa kecewa dan takut bila hasil pekerjaannya kurang maksimal atau mengalami kegagalan, 66,66% cenderung lebih emosional, 70% cepat tersinggung dan sering cemas mengenai hasil pekerjaannya yang akan berimbas terhadap pengurangan imbalan yang diterima serta 83,33% karyawan tidak mempunyai motivasi yang tinggi untuk menyelesaikan target pekerjaan tepat waktu. Secara keseluruhan, hasil studi awal tersebut menyatakan bahwa terdapat 73,33% karyawan merasakan indikasi dari occupational self-efficacy yang tergolong rendah. Hasil tersebut dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan bahwa karyawan mempunyai keyakinan yang berbeda dalam menilai kemampuan yang dimiliki dalam bekerja.
oleh karyawan menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja pada PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang tersebut merasa bahwa adanya beban dan tuntutan yang berasal dari perusahaan maupun lingkungan tempat mereka bekerja yang tidak dapat mereka atasi dengan baik. Indikasi-indikasi yang muncul di lapangan tersebut mengarah kepada adanya penurunan keyakinan yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
Hasil studi awal tersebut menunjukkan bahwa karyawan memiliki occupational self-efficacy yang tidak ideal, hal ini ditandai dengan perasaan dimana karyawan tidak mempunyai kepercayaan diri dan kemampuan yang mereka miliki untuk menyelesaikan target kerja yang telah diberikan. Dimungkinkan kondisi psikologis yang berbeda bisa muncul bila karyawan memiliki occupational self-efficacy meskipun mereka berada pada lingkungan yang mempunyai beban kerja yang tinggi.
Adanya penurunan rasa keyakinan terhadap kemampuan diri yang dirasakan oleh karyawan pada perusahaan tersebut diduga karena dipengaruhi oleh job insecurity yang dirasakan karyawan dalam bekerja sebagai dampak dari kebijakan dan lingkungan kerja yang tidak dapat teratasi dengan baik oleh karyawan dalam bekerja. Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penenelitian dengan judul “Pengaruh Job Insecurity
Terhadap Occupational Self-efficacy Pada Karyawan PT. Sandang Asia
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran job insecurity pada karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang ?
2. Bagaimana gambaran occupational self-efficacy pada karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang ?
3. Apakah ada pengaruh job insecurity terhadap occupational self-efficacy pada karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang ?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui bagaimana gambaran job insecurity pada karyawan PT. Sandang
Asia Maju Abadi Semarang.
2. Mengetahui bagaimana gambaran occupational self-efficacy pada karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang.
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi peneliti dan khalayak intelektual. Pada umumnya, bagi pengembangan keilmuan baik dari aspek teoritis maupun praktis, diantaranya:
1.4.1. Manfaat teoritis
Diharapkan dari penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan dalam bidang Psikologi, terutama tentang job insecurity dan occupational self-efficacy dan pada bidang keilmuan lain, sekaligus sebagai bahan telaah bagi penelitian selanjutnya.
1.4.2. Manfaat praktis
16
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1.
Self-efficacy
2.1.1. Definisi Self-efficacy
Menurut Bandura (2010; 3), self-efficacy adalah keyakinan akan kemampuan mengorganisasikan dan menampilkan tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan kecakapan tertentu. Menurut Pervin (dalam Smeth, 1994; 189) self-efficacy mengacu pada kemampuan yang dirasakan untuk membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi khusus. Lebih lanjut didefinisikan oleh Bandura (dalam Feist, 1998; 308) bahwa self-efficacy merupakan suatu kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan kontrol pada setiap kejadian yang berpengaruh pada hidupnya. Menurut Hjelle dan Ziegler (1992; 363), self-efficacy adalah penilaian seseorang akan kemampuan dirinya dalam menghadapi tugas atau situasi tertentu. Self-efficacy adalah suatu kepercayaan dimilikinya keterampilan bertingkah laku yang dibutuhkan untuk sukses pada situasi tertentu (Alwisol, 2009; 287).
berhubungan dengan situasi yang dihadapi oleh seseorang tersebut dan menempatkannya sebagai elemen kognitif dalam pembelajaran sosial.
Meskipun self-efficacy mempunyai pengaruh yang kuat terhadap bagaimana seseorang berperilaku, namun self-efficacy bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku. Kombinasi antara self-efficacy dengan lingkungan, perilaku sebelumnya, dan variabel kepribadian lainnya, khususnya harapan dari hasil (outcome expectation) akan menghasilkan tingkah laku (Feist, 1998; 308). Alwisol (2009; 285) menyatakan bahwa self-efficacy adalah persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus dirinya dapat berfungsi dalam situasi tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuannya dalam mengontrol dan membuat keputusan yang tepat untuk menghadapi tugas atau situasi tertentu dalam mencapai tujuan. Self-efficacy memang tidak selalu berhubungan dengan kemampuan seseorang yang sebenarnya (kemampuannya secara obyektif) untuk melakukan suatu tugas atau menghadapi situasi tertentu, melainkan lebih kepada sejauh mana seseorang berpikir mengenai kemampuannya.
2.1.2. Aspek-Aspek Self-efficacy
Berdasarkan pada teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura (dalam Alwisol, 2009; 288-289) terdapat 3 aspek self-efficacy yaitu:
1. Outcome Expectancy
tindakan tertentu akan menyebabkan akibat tertentu yang bersifat khusus. Hal ini berkaitan dalam hal apakah perilaku khusus akan mengarah pada konsekuensi khusus. Oleh karena itu, outcome expectance dapat diartikan sebagai harapan akan kemungkinan hasil dari perilaku.
2. Efficacy Expectancy
Merupakan suatu keyakinan bahwa individu akan berhasil dalam bertindak sesuai dengan hasil yang diharapkannya. Aspek ini menentukan seberapa banyak usaha yang dikeluarkan dan berapa lama mereka akan bertahan dalam menghadapi hambatan. Efficacy expectancy tergantung pada situasi dan beberapa informasi yang berupa persepsi dari hasil suatu tindakan yang didapatkan melalui kehidupan, modeling, persuasi verbal, dan keadaan emosi yang mengancam.
3. Outcome Value
Merupakan nilai hasil yang mempunyai arti dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu perilaku dilakukan. Dikatakan pula bahwa outcome value merupakan nilai subyektif yang ditempatkan pada sekumpulan hasil akhir tertentu (pentingnya hasil, konsekuensi, atau tujuan tertentu). Oleh karena itu, outcome value dapat diartikan sebagai nilai hasil dari perilaku.
Menurut Corsini (1994; 368) aspek-aspek self-efficacy antara lain: 1. Kognitif
keyakinan seseorang dalam berpikir dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasannya, maka akan mendukung seseorang untuk bertindak dengan tepat guna mencapai tujuan yang diharapkan.
2. Motivasi
Merupakan keyakinan seseorang dalam memotivasi diri melalui pikirannya untuk melakukan tindakan dan mengambil keputusan guna mencapai tujuan yang diharapkan. Setiap orang berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinannya pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Motivasi dalam self-efficacy digunakan untuk memprediksi kesuksesan dan kegagalan seseorang.
3. Afeksi
Merupakan keyakinan untuk mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Afeksi terjadi secara alami dalam diri seseorang dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditunjukkan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan.
4. Seleksi
2.1.3. Sumber Self-efficacy
Menurut Bandura self-efficacy dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan melalui salah satu atau kombinasi empat sumber (dalam Alwisol, 2009; 288), yaitu:
1. Pengalaman Performansi (Performance Accomplishment)
Merupakan prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah self-efficacy yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi masa lalu yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedangkan kegagalan akan menurunkan efikasi.
2. Pengalaman Vikarius (Vicarious Experience)
Pengalaman vikarius diperoleh melalui model sosial. Efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati seseorang yang kira-kira kemampuannya sama dengan dirinya ternyata gagal.
3. Persuasi Sosial (Social Persuation)
Self-efficacy juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi self-efficacy. Kondisi ini adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.
4. Keadaan Emosi (Emotional)
mengurangi self-efficacy, namun bisa jadi peningkatan emosi yang tidak berlebihan dapat meningkatkan self-efficacy.
[image:37.595.109.511.275.688.2]Pengubahan self-efficacy banyak dipakai untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi tingkah laku individu yang mengalami berbagai masalah behavioral (Bandura dalam Alwisol, 2009; 289). Keempat sumber tersebut diubah dengan menggunakan berbagai strategi yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Strategi Pengubahan Sumber Ekspektasi Efikasi
Sumber Cara Induksi
Pengalaman Performansi
Participant
Modeling Meniru model yang berprestasi Performance
Desensitization
Menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu
Performance Exposure
Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih
Self Instructed
Performance Melatih diri untuk melakukan yang terbaik Pengalaman
Vikarius
Live Modeling Mengamati model yang nyata Symbolic
Modeling Mengamati model simbolik, komik, cerita
Persuasi Verbal
Suggestion Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan
Exhortation Nasihat, peringatan yang mendesak atau memaksa
Self Instruction Memerintah diri sendiri Interpretive
Treatment
Interpretasi baru memperbaiki interpretasi lama yang salah
Pembangkitan Emosi
Attribution Mengubah atribusi, penangggung jawab suatu kejadian emosional
Relaxation
Biofeedback Relaksasi Symbolic
Desensitization
Menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik
Symbolic
2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self-efficacy
Self-efficacy berkembang dari pengalaman seseorang dalam menjalankan tugas. Keberhasilan yang terus-menerus akan meningkatkan keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki dalam mengerjakan suatu tugas. Sebaliknya kegagalan yang berturut-turut akan menurunkan keyakinan tersebut, tinggi rendahnya self-efficacy seseorang dalam tiap tugas sangat bervariasi. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-faktor yang berpengaruh dalam mempersepsikan kemampuan diri individu. Menurut Bandura (1997; 193) tingkat self-efficacy dipengaruhi oleh: 1. Sifat tugas yang dihadapi
Sifat tugas menunjukkan tingkat kesulitan dan kompleksitas sebuah tugas yang dihadapi. Semakin sulit dan kompleks tugas yang dihadapi individu, semakin rendah individu menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang sederhana dan mudah, maka individu semakin tinggi menilai kemampuannya.
2. Intensif eksternal atau reward yang diterima dari orang lain
3. Status atau peran individu dalam lingkungannya
Seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi dalam lingkungan atau kelompoknya akan mempunyai tingkat kontrol yang lebih besar, sehingga tingkat self-efficacy yang dimiliki pun cenderung lebih tinggi. Oleh karena itu, pada umumnya seorang pemimpin cenderung memiliki self-efficacy yang lebih tinggi dibandingkan self-efficacy bawahannya.
4. Informasi mengenai kemampuan dirinya.
Individu akan memiliki self-efficacy tinggi, jika individu tersebut memperoleh informasi positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki self-efficacy yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif tentang dirinya.
2.1.5. Occupational Self-efficacy
dan depresi yang mereka alami dalam menghadapi tuntutan lingkungan, dan pilihan kehidupan yang mereka buat serta pencapaian yang telah mereka capai.
Penggunaan konsep occupational self-efficacy dianggap sesuai untuk melihat self-efficacy, karena dalam bekerja seorang tenaga kerja tidak hanya mengerjakan satu tugas yang spesifik, melainkan juga melakukan lebih dari satu tugas (banyak tugas). Sementara itu, menurut Schyns et al., (2009; 3) konsep general self-efficacy dianggap kurang menguntungkan apabila digunakan dalam lingkup organisasi karena konsepnya yang terlalu luas dan umum di setiap domain, sehingga sebaiknya lebih dispesifikkan pada lingkup pekerjaan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka occupational self-efficacy dalam penelitian ini diartikan sebagai keyakinan individu mengenai kemampuan dan kompetensinya dalam menampilkan unjuk kerja yang baik pada berbagai jenis tugas dan situasi pekerjaan. Sama seperti konsep self-efficacy pada umumnya, occupational self-efficacy dapat mempengaruhi seseorang dalam pemilihan tingkah laku, pola pikir dan reaksi emosi, serta penentu besarnya usaha dan daya tahan dalam bekerja.
2.1.6. Aspek-Aspek Occupational Self-efficacy
Menurut Bandura (2010) aspek-aspek occupational self-efficacy (dalam Sulistyawati, Nurtjahjanti, & Prihatsanti, 2012; 145) adalah:
1. Level
dapat dinilai dari tingkat kecerdikan, adanya usaha, ketelitian, produktivitas, cara menghadapi ancaman dan pengaturan diri yang dikehendaki. Pengaturan diri tidak hanya dilihat dari apakah seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan pada saat tertentu namun apakah seseorang dapat memiliki occupational self-efficacy pada setiap saat untuk menghadapi situasi bahkan ketika individu diharapkan untuk pasif.
2. Strength
Strength merupakan individu yang memiliki kepercayaan kuat bahwa mereka akan berhasil walaupun dalam tugas yang berat. Individu dengan occupational self-efficacy yang rendah akan mudah menyerah apabila mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, sementara individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuannya akan tekun berusaha menghadapi kesulitan dan rintangan. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuannya menganggap tugas yang sulit sebagai tantangan yang harus dihadapi daripada sebagai ancaman atau sesuatu yang harus dihindari.
3. Generality
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan aspek-aspek occupational self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu level, strength, dan generality.
2.2.
Job Insecurity
2.2.1. Definisi Job Insecurity
Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (1984; 438) job insecurity adalah ketidakberdayaan untuk mempertahankan kelanjutan pekerjaan karena ancaman situasi dari suatu pekerjaan. Sementara itu, Hartley, Jacobson, Klandermans, dan Van Vuuren (dalam Sverke & Hellgren, 2002; 24) mengatakan bahwa job insecurity adalah ketidakamanan yang dirasakan seseorang akan kelanjutan pekerjaan dan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri. Sedangkan Sverke dan Hellgren (2002; 26) mengungkapkan bahwa job insecurity adalah pandangan subjektif seseorang mengenai situasi atau peristiwa yang mengancam pekerjaan di tempatnya bekerja.
Wening (2005; 140) mengartikan job insecurity sebagai kondisi ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam situasi kerja yang mengancam. Job insecurity juga diartikan sebagai perasaan tegang, gelisah, khawatir, stres, dan merasa tidak pasti dalam kaitannya dengan sifat dan keberadaan pekerjaan yang dirasakan para pekerja. Job insecurity adalah suatu gejala psikologis yang berkaitan dengan persepsi para pekerja terhadap masa depan mereka di tempat kerja yang penuh ketidakpastian (Pradiansyah, 1999; 8). Lebih lanjut Hui dan Lee (dalam Partina, 2002; 119) mendefenisikan job insecurity sebagai kurangnya kontrol untuk menjaga kelangsungan atau kontinuitas dalam situasi pekerjaan yang terancam.
Greenglass (2002; 3) menjelaskan job insecurity sebagai kondisi yang berhubungan dengan rasa takut seseorang akan kehilangan pekerjaannya atau prospek akan demosi atau penurunan jabatan serta berbagai ancaman lainnya terhadap kondisi kerja yang berasosiasi dengan menurunnya kepuasan kerja. Job insecurity juga dapat didefenisikan sebagai ketidakamanan yang dihasilkan dari ancaman terhadap kontinuitas atau keberlangsungan kerja seseorang (Reisel, 2002; 89).
2.2.2. Komponen Job Insecurity
Ashford et al., (1989; 810) mengembangkan pengukuran dari konsep job insecurity yang dikemukakan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt dan menyatakan bahwa komponen job insecurity adalah:
1. Arti pekerjaan itu bagi individu. Seberapa penting aspek kerja tersebut bagi individu mempengaruhi tingkat insecure atau rasa tidak amannya dalam bekerja. Seberapa penting karyawan menganggap bagian-bagian (aspek) pekerjaan seperti gaji, jabatan, promosi, dan lingkungan kerja yang nyaman dapat mempengaruhi tingkat keamanan dan kenyamanan individu dalam menjalankan pekerjaan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa aspek ini sebagai arti penting aspek kerja bagi karyawan.
2. Tingkat ancaman yang dirasakan karyawan mengenai aspek-aspek pekerjaan seperti kemungkinan untuk mendapat promosi, mempertahankan tingkat upah yang sekarang, atau memperoleh kenaikan upah. Individu yang menilai aspek kerja tertentu yang terancam (terdapat kemungkinan aspek kerja tersebut akan hilang) akan lebih gelisah dan merasa tidak berdaya. Seberapa besar kemungkinan yang dirasakan karyawan terhadap perubahan (kejadian negatif) yang mengancam bagian-bagian (aspek) pekerjaan. Berdasarkan uraian tersebut maka dengan kata lain dapat dikatakan bahwa aspek ini adalah kemungkinan perubahan negatif pada bagian-bagian (aspek) kerja.
dipindahkan ke kantor cabang yang lain. Dengan kata lain dapat dikatakan arti penting keseluruhan kerja bagi karyawan.
4. Tingkat kepentingan-kepentingan yang dirasakan individu mengenai potensi setiap peristiwa tersebut. Seperti tingkat kekhawatiran individu untuk tidak mendapatkan promosi atau menjadi karyawan tetap dalam suatu perusahaan. Seberapa besar kemungkinan perubahan negatif pada keseluruhan kerja yang dirasakan karyawan dalam keadaan terancam.
5. Ketidakberdayaan (powerlessness) yaitu ketidakmampuan individu untuk mencegah munculnya ancaman yang berpengaruh terhadap aspek-aspek pekerjaan dan pekerjaan secara keseluruhan yang teridentifikasi pada empat komponen sebelumnya.
2.2.3. Aspek-Aspek Job Insecurity
Rowntree (2005; 11) menambahkan aspek-aspek job insecurity sebagai berikut:
1. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan, karyawan yang mendapat ancaman negatif tentang pekerjaannya akan memungkinkan timbulnya job insecurity pada karyawan begitu pula sebaliknya.
2. Ketakutan akan kehilangan status sosial di masyarakat. Individu yang terancam kehilangan status sosial akan memiliki job insecurity yang tinggi dibanding yang tidak merasa terancam mengenai pekerjaannya.
Lebih lanjut Suwandi dan Indriantoro (1999: 7-9) berdasarkan hasil studi sebelumnya menambahkan bahwa dimensi job insecurity adalah sebagai berikut: 1. Kondisi pekerjaan. Merupakan lingkungan kerja yang kurang mendukung dan
tingginya beban kerja yang dirasakan individu pada saat bekerja.
2. Pengembangan karir. Merupakan tingkat dimana individu merasa kesulitan dalam mengembangkan karir dan adanya ketidakjelasan mengenai jenjang karir individu dalam suatu organisasi atau perusahaan.
3. Konflik peran. Ketika seorang individu dihadapkan dengan ekspetasi peran yang berlainan, hasilnya adalah konflik peran (role conflict). Konflik ini muncul ketika seorang individu menemukan bahwa untuk memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk memenuhi peran lain. Pada tingkat ekstren, hal ini dapat meliputi situasi–situasi di mana dua atau lebih ekspetasi peran saling bertentangan. Dimensi ini merupakan pertentangan antara tugas dan tanggung jawab dan tuntutan-tuntutan perusahaan yang dirasa bertentangan dengan tanggung jawab karyawan dalam bekerja.
4. Ketidakjelasan peran. Seperti ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab terhadap pekerjaan.
6. Pusat pengendalian (locus of control). Merupakan tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Internal (internal) adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa pun yang terjadi pada diri mereka. Eksternal (exsternal) adalah individu yang yakin bahwa apa pun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh
kekuatan luar seperti keberuntungan atau kesempatan. Lokus kendali merupakan
suatu indikator evaluasi inti diri karena individu yang berfikir bahwa mereka
kurang memiliki kendali atas hidup mereka cenderung kurang memilki
kepercayaan diri.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini akan digunakan komponen job insecurity yang dikemukakan oleh Ashford et al., (1989; 810) karena dirasa sesuai dengan keadaan lapangan yang akan diteliti, yaitu: kemungkinan perubahan negatif pada aspek kerja, arti penting aspek kerja, arti penting keseluruhan kerja, kemungkinan perubahan negatif pada keseluruhan kerja, dan ketidakberdayaan (powerlessness).
2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Job Insecurity
Robbins (dalam Setiawan, 2009; 7) mengemukakan faktor-faktor penyebab job insecurity adalah karakteristik individu itu sendiri yang meliputi: 1. Umur
Bertambahnya umur seseorang individu maka akan semakin berkurang produktifitasnya dan akan menimbulkan job insecurity pada diri individu tersebut.
3. Kesesuaian antara kepribadian dan pekerjaan.
Apabila karyawan merasa tidak sesuai atau merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang dilakukannya maka karyawan akan merasa tidak aman atau mengalami job insecurity.
4. Tingkat kepuasan kerja.
Setiap individu memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda-beda sehingga apabila terdapat seorang individu yang sudah puas dengan hasil kerjanya maka belum tentu individu lainnya merasa puas, sehingga individu yang merasa tidak puas tersebut dapat mengalami job insecurity.
Burchell (1999; 12) menyebutkan bahwa job insecurity dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
1. Faktor subyektif yang berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seperti kemudahan mencari pekerjaan baru, karakteristik dari pekerjaan yang baru serta pengalaman menjadi pengangguran.
2. Faktor obyektif seperti stabilitas pekerjaan, masa kerja, tingkat retensi atau daya tahan kerja karyawan.
Lebih lanjut, Ashford (1989; 817-819) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity adalah:
1. Konflik peran, berhubungan dengan dua rangkaian tuntutan pekerjaan yang bertentangan pada individu.
3. Locus of control, keyakinan individu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup.
4. Perubahan organisasi yaitu perubahan lingkungan bisnis yang harus diadaptasi oleh pihak perusahaan untuk mengikuti perubahan.
Greenhalgh dan Rosenblatt (1984; 440-443) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity berada pada level atau tingkatan yang berbeda, yaitu:
1. Kondisi lingkungan dan organisasional, misalnya komunikasi organisasional dan perubahan organisasional. Perubahan organisasional yang terjadi antara lain dengan dilakukannya down-sizing, restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan.
2. Karakteristik individual dan jabatan, yaitu: umur, gender, status sosial ekonomi, pendidikan, posisi pada perusahaan, dan pengalaman kerja sebelumnya.
3. Karakteristik personal karyawan, misalnya: locus of control, self-esteem, dan rasa kebersamaan.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity terdiri dari karakteristik demografi, karakteristik pekerjaan, karakteristik individual, ketidakjelasan peran, kondisi lingkungan kerja, perbedaan individual, dan perubahan organisasi.
2.2.5. Konsekuensi Job Insecurity
1. Meningkatnya ketidakpuasan dalam bekerja 2. Meningkatnya gangguan fisik
3. Meningkatnya gangguan psikologis. Penurunan kondisi kerja seperti rasa tidak aman (insecure) menurunkan kualitas individu bukan dari pekerjaannya semata, namun juga mengarahkan pada munculnya rasa kehilangan martabat (demotion) yang pada akhirnya menurunkan kondisi psikologis dari karyawan yang bersangkutan. Jangka panjangnya akan muncul ketidakpuasan dalam bekerja dan akan mengarah pada intensi turnover.
4. Karyawan cenderung menarik diri dari lingkungan kerjanya.
5. Makin berkurangnya komitmen organisasi. Job insecurity juga mempengaruhi komitmen kerja dan perilaku kerja.
6. Peningkatan jumlah karyawan yang berpindah (employee turnover).
Job insecurity tidak hanya berdampak pada diri karyawan saja, melainkan terhadap organisasi atau perusahaan dimana tenaga kerja tersebut bekerja. Berikut ini merupakan dampak-dampak yang berpotensi muncul karena job insecurity (dalam Irene, 2008; 16-17).
1. Stres
Job insecurity dapat menimbulkan rasa takut, kehilangan kemampuan, dan kecemasan. Pada akhirnya, jika hal ini dibiarkan berlangsung lama karyawan dapat menjadi stres akibat adanya rasa tidak aman dan ketidakpastian akan kelangsungan pekerjaan.
Job insecurity memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja. Karyawan yang merasa dirinya tidak aman (insecure) tentang kelangsungan pekerjaan mereka, cenderung merasa tidak puas dibandingkan mereka yang merasakan kepastian masa depan pekerjaan mereka.
3. Komitmen dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan.
Job insecurity memiliki hubungan yang negatif dengan komitmen kerja dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan. Hal ini disebabkan karena karyawan merasa kehilangan kepercayaan akan nasib mereka pada perusahaan dan lama kelaman ikatan antara karyawan dan organisasi menghilang.
4. Motivasi kerja
Hasil penelitian mengenai job insecurity dan work intensification yang dilakukan oleh Universitas Cambridge dan ESRC Centre for Bussiness Research menunjukkan individu dengan job insecurity tinggi memiliki motivasi yang lebih rendah dibandingkan individu yang job insecurity-nya rendah. Pengurangan jumlah karyawan yang dilakukan perusahaan juga didapatkan hasil bahwa karyawan mengalami penurunan motivasi, semangat, rasa percaya diri, dan kesetiaan, serta terjadi peningkatan stres, skeptis, dan kemarahan.
2.3.
Pengaruh
Job Insecurity
Terhadap
Occupational Self-Efficacy
Salah satu keterkaitan antara pekerjaan dan kondisi mental tergambar pada konsep job insecurity (ketidakamanan kerja). Job insecurity adalah kondisi di mana seseorang yang bekerja tetapi mengalami gangguan psikologis (Burchel (dalam Pradiansyah, 1999; 8).
Job insecurity yang dialami karyawan di tempat kerja bisa saja dipengaruhi oleh aspek-aspek yang ada pada lingkungan kerja. Ashford dan Hartley (dalam De Witte, 2005; 2) menyatakan bahwa faktor lingkungan utama dan kondisi organisasional lebih dominan dalam menentukan tingkat ketidakamanan kerja seorang karyawan dalam bekerja. Aspek yang ada pada lingkungan kerja tersebut dapat berupa beban atau target kerja yang terlalu tinggi, kesulitan dalam pengembangan karir, ketidakjelasan peran, dan perubahan organisasi.
Gangguan psikologis yang dialami individu dalam bekerja bisa jadi disebabkan oleh atmosfer lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung, misalnya bisa berupa ketidakpastian dan kekhawatiran tentang keberlanjutan pekerjaan dalam suatu organisasi atau perusahaan. Dooley (dalam Ferrie, 1999; 61) menyatakan bahwa persepsi terhadap ketidakpastian dan ketidakamanan kerja akan menentukan kondisi psikologis seseorang. Perasaan tidak aman inilah yang pada akhirnya akan memicu kecemasan, perasaan tidak berharga, putus asa, berkurangnya rasa percaya diri, serta mengganggu kualitas mental para pekerja.
ancaman situasi yang melekat pada suatu pekerjaan. Adanya job insecurity akan menimbulkan konsekuensi pada kondisi psikologis pekerja. Hal senada juga diungkapkan oleh De Witte (2005; 2-3) yang menyimpulkan bahwa penurunan kondisi kerja seperti rasa tidak aman dalam bekerja akan mempengaruhi karyawan, dalam hal ini memunculkan emosi yang mempengaruhi kondisi psikologis. Emosi yang dimunculkan karyawan yang mengalami rasa tidak aman dalam bekerja dapat berupa emosi negatif seperti kecemasan, depresi, iri, serta berkurangnya rasa percaya diri. (Mc Cullough, et al., 2002; 116).
Job insecurity yang dirasakan karyawan akan mempengaruhi keadaan emosi karyawan dalam bekerja. Emosi yang dimunculkan karyawan dalam kondisi job insecurity dapat berupa rasa tidak senang terhadap pekerjaan, kecemasan, depresi, dan berkurangnya rasa percaya diri karyawan yang akan berdampak terhadap tidak terselesaikannya target kerja yang telah ditentukan perusahaan. Bandura (dalam Alwisol 2009; 288) menyatakan bahwa keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efficacy di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, dan stres dapat mengurangi self-efficacy yang dimiliki karyawan dalam bekerja. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa adanya job insecurity yang dirasakan karyawan dalam bekerja akan dapat mengurangi self-efficacy karyawan, karena adanya job insecurity akan memunculkan emosi negatif seperti rasa takut akan hasil pekerjaan, cemas, dan stres yang dirasakan karyawan dalam bekerja.
Prabowo, 2014; 39). Job insecurity merupakan suatu gejala psikologis yang berkaitan dengan persepsi para karyawan terhadap masa depan mereka di tempat kerja yang penuh ketidakpastian. Asford et al., (1989; 822) menyatakan bahwa salah satu pengaruh job insecurity terhadap karyawan adalah karyawan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Padahal lingkungan sosial sangat diperlukan untuk meningkatkan jiwa semangat dan kepercayaan diri karyawan.
Bandura (dalam Alwisol, 2009; 288) menyatakan bahwa self-efficacy juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi sosial, seberapa besar dan bagus informasi yang didapatkan karyawan tentang kemajuan dalam melakukan tugasnya sangat tergantung kepada lingkungan sosial karyawan tersebut. Sedangkan adanya job insecurity akan dapat melemahkan self-eficacy karyawan karena dapat menghambat karyawan untuk memperoleh informasi mengenai pekerjaan dan dirinya yang dapat diperoleh dari lingkungan sosial atau lingkungan kerja karyawan.
kegagalan karyawan dalam bekerja, karena job insecurity yang dialami karyawan akan berdampak terhadap menurunnya kinerja karyawan dalam bekerja (Sverke et al., 2002; 88) dan berkurangnya konsentrasi dalam bekerja disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak mendukung.
Ketakutan akan kehilangan pekerjaan dapat menyebabkan konsentrasi karyawan dalam bekerja menjadi kurang optimal yang akan menimbulkan konsekuensi terhadap proses pekerjaan yang dilakukan karyawan dalam menjalankan pekerjaan. Menurut Green (2003; 6-7), elemen utama dari kualitas kerja adalah rasa percaya diri terhadap kontinuitas dan progresivitas dari pekerjaan yang sedang dilakukan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa job insecurity yang dirasakan karyawan dalam bekerja yang berupa ketakutan akan kehilangan pekerjaan akan mempengaruhi rasa percaya diri karyawan dalam menjalankan pekerjaan.
Ketidakpastian lain yang menyertai suatu pekerjaan diantaranya adalah rasa takut terhadap konsekuensi pekerjaan, ketidakpastian penempatan atau ketidakpastian masalah gaji, serta kesempatan mendapatkan promosi atau pelatihan. Burchell (1999; 1-2) menyatakan bahwa semua masalah ketidakpastian yang dirasakan karyawan dapat mengurangi welfare atau rasa aman dan rasa sejahtera pada karyawan dalam bekerja.
usaha yang lebih besar dibandingkan jika ia memiliki keraguan terhadap dirinya (Bandura dalam Amalia, 2014; 231), sedangkan adanya job insecurity akan memunculkan rasa cemas dan keraguan terhadap hasil dari pekerjaan yang telah dilakukan.
Memiliki keyakinan untuk mencapai hasil yang maksimal berhubungan dengan keberdayaan (power) seorang karyawan dalam melakukan tugas-tugas yang diberikan, apakah karyawan tersebut merasa mampu untuk mengontrol situasi atau hal-hal yang dapat mempengaruhi keseluruhan pekerjaan atau tidak. Namun adanya job insecurity akan memunculkan rasa ketidakberdayaan (powerlessness) dalam mengontrol situasi, lingkungan kerja ataupun hal-hal yang menyangkut keseluruhan pekerjaan dan akan mempengaruhi keyakinan individu untuk dapat mencapai hasil yang maksimal dalam menjalankan pekerjaan.
Penilaian positif karyawan terhadap kemampuannya untuk mempengaruhi lingkungan kerja akan memunculkan keyakinan diri karyawan tehadap kemampuannya dalam bekerja. Bagaimana karyawan memandang bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi ketidakpastian dalam lingkungan kerja akan memperkuat keyakinan karyawan untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik.
karyawan bisa saja mengarah kepada occupational self-efficacy yang dimiliki karyawan dalam bekerja, karena dampak yang ditimbulkan oleh adanya job insecurity dapat terlihat pada individu yang mempunyai occupational self-efficacy yang rendah. Bandura (dalam Irene, 2008; 22) menyatakan bahwa individu dengan tingkat occupational self-efficacy yang rendah mempunyai ciri-ciri pola tingkah laku seperti komitmen yang rendah, memusatkan diri pada kelemahan diri sendiri, mudah menyerah atau menjadi tidak bersemangat dalam bekerja, merasa khawatir, mengalami stres, menjadi depresi, dan merasa tidak berdaya.
Komitmen kerja yang rendah, mudah menyerah atau menjadi tidak bersemangat dalam bekerja, merasa khawatir mengenai pekerjaan, mengalami stres, menjadi depresi, dan merasa tidak berdaya dalam bekerja merupakan hal-hal yang ditimbulkan oleh adanya job insecurity yang dirasakan karyawan dalam bekerja. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh adanya job insecurity dapat terlihat ciri-ciri dan pola perilakunya pada individu yang mempunyai occupational self-efficacy yang rendah.
42
[image:58.842.121.782.177.467.2]2.4.
Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir JOB INSECURITY
1. Arti penting aspek kerja 2. Kemungkinan perubahan
negatif pada aspek kerja 3. Arti penting keseluruhan
kerja
4. Kemungkinan perubahan negatif pada keseluruhan kerja
5. Ketidakberdayaan (powerlessness)
OCCUPATIONAL SELF-EFFICACY
Level
1. Mampu melakukan berbagai tugas dari yang mudah sampai yang sulit
2. Adanya motivasi berprestasi
Generality 1. Keyakinan dalam
menjalankan bidang pekerjaannya 2. Keyakinan dalam
menjalankan berbagai macam tugas
3. Keyakinan dalam mengerjakan tugas secara bersamaan
Strength 1. Mampu bertahan
dalam menghadapi tugas
2.5.
Hipotesis
44
BAB 3
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan gambaran langkah untuk menguji dan menemukan suatu kebenaran pengetahuan dengan menggunakan cara-cara ilmiah. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penelitian adalah metode yang digunakan harus disesuaikan dengan objek penelitian dan tujuan yang akan dicapai, sehingga penelitian akan berjalan dengan sistematis.
Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa hal yang berhubungan dengan hal-hal yang menentukan penelitian, yaitu: jenis dan desain penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, validitas, reliabilitas, dan metode analisis data
3.1.
Jenis dan Desain Penelitian
3.1.1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kuantitatif yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2010; 5). Penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka-angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya.
3.1.2. Desain Penelitian
variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain, berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2010; 8-9). Dengan desain korelasional, pengukuran terhadap beberapa variabel serta saling-hubung diantara variabel-variabel tersebut dapat dilakukan serentak dalam kondisi yang realistik. Data yang diperoleh merupakan data alamiah seperti apa adanya, sehingga dimungkinkan untuk melihat hubungan di antara dua variabel tanpa dicemari oleh variasi veriabel-variabel lain (Azwar, 2010; 21).
3.2.
Variabel Penelitian
3.2.1. Identifikasi Variabel
Menurut Arikunto (2010; 161) variabel merupakan objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu. Peneliti dapat memilih salah satu atau beberapa diantara banyak variabel bebas yang mempengaruhi variabel tergantung yang menjadi fokus penelitian. Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu: a. Variabel Independen (x)
Variabel independen dalam penelitian ini adalah job insecurity. b. Variabel Dependen (y)
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah occupational self-efficacy.
3.2.2. Definisi Operasional
penelitian (Azwar, 2010; 74). Berikut adalah definisi operasional variabel dalam penelitian ini:
a. Job Insecurity
Job insecurity didefinisikan sebagai perasaan terancam, khawatir, dan rasa ketidakberdayaan yang dirasakan karyawan terhadap situasi yang ada dalam organisasi di tempat kerja akan kelangsungan pekerjaan dimasa yang akan datang. Job insecurity diukur dengan menggunakan skala job insecurity yang disusun berdasarkan komponen-komponen job insecurity, yaitu: arti penting aspek (bagian-bagian) kerja, kemungkinan perubahan negatif pada aspek kerja, arti penting keseluruhan kerja, kemungkinan perubahan negatif pada keseluruhan kerja, dan ketidakberdayaan (powerlessness).
b. Occupational Self-efficacy
Occupational self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan individu mengenai kemampuan dan kompetensinya dalam menampilkan unjuk kerja yang baik pada berbagai jenis tugas dan situasi pekerjaan. Occupational self-efficacy diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan aspek-aspek occupational self-efficacy, yaitu: level, strength, dan generality.
3.3.
Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain. Ciri yang dimaksud tidak terbatas hanya sebagai ciri lokasi akan tetapi dapat terdiri dari karakteristik-karakteristik individu (Azwar, 2010; 77).
Penelitian yang hasilnya akan diterapkan pada suatu populasi, harus menentukan lebih dahulu karakteristik populasinya secara jelas sebelum menentukan cara-cara pengambilkan sampelnya. Dengan begitu peneliti akan mengetahui heterogenitas populasinya, mengetahui siapa saja yang memenuhi syarat sebagai anggota populasi, dapat memperkirakan besarnya sampel yang harus diambil dan tahu persis kepada siapa generalisasi kesimpulan penelitiannya nanti akan berlaku (Azwar, 2010; 78). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan PT. Sandang Asia Maju Abadi Semarang dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Karyawan yang masih aktif bekerja di PT. Sandang Asia Maju Abadi Sem