• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - HUBUNGAN ANTARA OCCUPATIONAL SELF-EFFICACY DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN PRODUKSI DI UPT X - UMBY repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - HUBUNGAN ANTARA OCCUPATIONAL SELF-EFFICACY DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN PRODUKSI DI UPT X - UMBY repository"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stres Kerja Pada Karyawan Produksi 1. Pengertian Stres Kerja

Umam (2010) menyatakan stres kerja yaitu reaksi individu yang berasal

dari segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan

yang berdampak pada reaksi psikologis, fisiologis, dan perilaku. Stres merupakan

aspek umum pengalaman pekerjaan yang sering terungkap sebagai ketidakpuasan

kerja, keadaan afektif yang kuat seperti kemarahan, frustasi, permusuhan, dan

respons yang lebih pasif seperti kebosanan, kelelahan jiwa, kepenatan dan suasana

depresi (Werner & DeSimone, dalam Kaswan 2017). Stres kerja merupakan

bentuk stress yang diakibatkan oleh suatu pekerjaan atau suatu konsisi yang

timbul akibat interaksi antara manusia dengan pekerjaannya ditandai oleh

perubahan dalam diri orang tersebut yang menyebabkan penyimpangan dari

fungsi yang normal (Soewondo dalam Soroso dan Siahaan, 2006)

Menurut Anoraga (2006) stres kerja adalah suatu respon seseorang secara

fisik ataupun mental terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan

kerja dimana tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki sehingga merasa

terganggu dan terancam. Stres kerja merupakan suatu kondisi yang dialami

individu dalam lingkungan pekerjaan dan dipersepsikan karyawan sebagai suatu

tuntutan sehingga menyebabkan reaksi pada individu berupa reaksi fisiologis,

(2)

stres kerja adalah suatu kondisi dalam diri sendiri yang mengarah pada keadaan

atau perilaku negatif. Menurut Haqqoh (2016) stres kerja adalah suatu kondisi

berupa tanggapan secara fisik atau psikologis karena adanya perubahan

tuntutan-tuntutan pekerjaan yang tidak seimbang dengan kemampuan yang dimiliki

karyawan dan berpengaruh pada fungsi emosi, kognisi dan perilaku karyawan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah

kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan yang ditandai

oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi

normal yang disebabkan oleh tuntutan fisik, lingkungan kerja, dan situasi sosial

sehingga berdampak pada reaksi psikologis, fisiologis, dan perilaku dimana sering

terungkap sebagai ketidakpuasan kerja, keadaan afektif yang kuat seperti

kemarahan, frustasi, permusuhan, dan respons yang lebih pasif seperti kebosanan,

kelelahan jiwa, kepenatan dan suasana depresi.

2. Aspek-Aspek Stres Kerja

Beehr dan Newman (dalam Umam, 2010) mengemukakan tiga gejala dari

stres kerja yaitu:

a. Gejala psikologis, gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian

tentang stres kerja terdiri dari:

1) Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung.

2) Perasaan frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencian).

3) Sensitif dan hyperactivity.

4) Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi.

(3)

6) Perasaan terkucil dan terasing.

7) Kebosanan dan ketidakpuasan kerja

8) Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan

konsentrasi.

9) Kehilangan spontanitas dan kreativitas.

10) Menurunnya rasa percaya diri

b. Gejala Fisiologis, gejala fisiologis yang sering ditemui pada hasil penelitian

tentang stres kerja terdiri dari:

1) Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan

mengalami penyakit kardiovaskular.

2) Meningkatnya sekresi dari hormon stres(contoh: adrenalin dan

nonadrenalin).

3) Gangguan gastrointestinal (misal gangguan lambung).

4) Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan.

5) Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan

kronis (chronic fatigue syndrome).

6) Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada.

7) Gangguan pada kulit.

8) Sakit kepala, sakit punggung bagian bawah, ketegangan otot.

9) Gangguan tidur.

10) Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena

kanker.

(4)

1) Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan.

2) Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas.

3) Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan.

4) Perilaku sabotase dalam pekerjaan

5) Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan,

mengarah ke obesitas.

6) Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan

diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan kombinasi

dengan tanda-tanda depresi.

7) Meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir

dengan tidak hati-hati dan berjudi.

8) Meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas.

9) Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman.

10) Kecenderungan melakukan bunuh diri

Menurut Munandar (2014) stres kerja memiliki gejala-gejala meliputi:

a. Gejala fisikal, seperti tekanan darah tidak normal, mengalami diare, dan

obstipasi.

b. Gejala psikologikal, seperti kecemasan dan ketidaktegasan.

c. Gejala perilaku, seperti merokok dan minum-minuman keras.

d. Gejala organisasi, seperti angka absensi karyawan yang tinggi.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan aspek-aspek stres kerja dari Beehr

dan Newman (dalam Umam, 2010) yaitu psikologis, fisiologis dan perilaku.

(5)

psikologikal, gejala perilaku dan gejala organisasi. Dari beberapa pendapat para

ahli di atas, dalam penelitian ini peneliti akan mengacu pada aspek-aspek stres

kerja dari Beehr dan Newman sebagai indikator untuk penyusunan skala stres

kerja yang meliputi gejala psikologis, gejala fisiologis, dan gejala perilaku. Aspek

dari Beehr dan Newman lebih jelas dan lebih lengkap daripada aspek dari

Munandar sehingga diharapkan melalui aspek-aspek tersebut mampu mengungkap

sejauhmana karyawan mengalami stres kerja di lingkungan kerjanya. Aspek-aspek

dari Beehr dan Newman juga banyak digunakan oleh beberapa penelitian seperti

penelitian yang dilakukan oleh Marchelia (2014), Nurendra dan Saraswati (2016)

dan Juliyati, Saam, dan Nopriadi (2014).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Stres Kerja

Luthans (dalam Waluyo, 2013) mengemukakan bahwa penyebab stres

kerja terdiri dari empat hal utama yaitu:

a. Individual Stressor, stressor yang muncul dari dalam diri individu sendiri

meliputi:

1) Self-efficacy, keyakinan individu bahwa dirinya mampu menyelesaikan

pekerjaan dengan baik. Menurut Ghufron dan Risnawati (2014) menyatakan

bahwa self-efficacy yang tinggi akan menghindarkan individu dari stres

kerja.

2) Konflik peran yaitu konflik yang terjadi karena ada benturan saat kita sedang menjalankan peran-peran tertentu.

3) Tipe kepribadian, ciri yang khas pada individu baik dalam bentuk perilaku,

(6)

4) Self control, kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya dan

kemampuan untuk menekan atau menghambat tantangan pekerjaan yang

ada.

5) Daya tahan psikologis, kemampuan individu untuk bisa beradaptasi dengan

stres dan kesulitan dalam pekerjaan.

b. Extra Organizational Stressor, stressor yang muncul dari luar organisasi atau

perusahaan. yang meliputi:

1) Perubahan sosial, adanya perubahan kehidupan bermasyarakat individu

mempunyai efek yang besar pada gaya hidup yang terbawa pada pekerjaan.

2) Perubahan teknologi, perkembangan teknologi yang sangat pesat

mengharuskan individu dapat menyesuaikan diri untuk memiliki

kemampuan baru.

3) Perubahan ekonomi, kehidupan ekonomi individu baik menuju keadaan

yang lebih baik atau memburuk menjadi factor stress kerja individu.

4) Keluarga, ras dan komunitas merupakan bagian yang paling dekat dan

melekat dalam individu. Dukungan dari keluarga, ras dan komunitas sangat

penting bagi individu untuk menghindari stres kerja.

c. Organizational Stressor, stressor yang muncul dari dalam organisasi atau

perusahaan yang meliputi:

1) Kebijakan organisasi, seperti rotasi, birokrasi dan kebijakan organisasi

lainnya yang tidak sesuai dengan kemampuan karyawan menjadi pemicu

(7)

2) Struktur organisasi, posisi karyawan dalam suatu struktur organisasi

menuntut kemampuan dan partisipasi karyawan.

3) Lingkungan organisasi, area kerja yang kurang nyaman dan kurang aman

bagi karyawan sangat beresiko menimbulkan stress kerja.

4) Proses dalam organisasi, pengawasan yang terlalu ketat dan komunikasi

yang kurang efektif dalam kegiatan berorganisasi menjadi faktor stres

kerja.

6) Group Stressor, stressor yang muncul dari lingkungan sosial dalam pekerja

yang meliputi kurangnya kebersamaan dan dukungan sosial dalam grup,

adanya konflik antar individu maupun antar grup.

Sesuai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Verlitasari (2014)

menunjukkan bahwa pada faktor individual stressor yaitu self-efficacy memiliki

hubungan negatif yang sangat signifikan dengan stres kerja. Self-efficacy yang

tinggi akan menyebabkan stres kerja pada karyawan rendah, begitu sebaliknya

apabila self-efficacy rendah maka stres kerja yang dialami karyawan akan tinggi.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Hulda (2008)

bahwa self-efficacy memiliki hubungan negatif yang sangat signifikan dengan

stres kerja, semakin tinggi self-efficacy maka semakin rendah pula stres kerja.

Oleh karena itu, peneliti akan memilih self-efficacy sebagai faktor utama yang

dapat menimbulkan stres kerja.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan faktor stres kerja dari Luthans

(dalam Waluyo, 2013) yaitu Individual Stressor, Extra Organizational Stressor,

(8)

dipilih yaitu individual stressor yang di dalamnya terdapat self-efficacy. Alasan

peneliti memilih self-efficacy karena menurut Diana (dalam Waluyo, 2013) bahwa

faktor kunci dari stres ialah persepsi individu terhadap kondisi dan kemampuan

individu untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi.

Kemampuan individu tersebut berkaitan dengan salah satu karakteristik

kepribadian yakni aspek keyakinan akan kemampuan diri, yang oleh Bandura

disebut self-efficacy. Peneliti memilih secara spesifik self-efficacy yang digunakan

pada penelitian adalah occupational self-efficacy yang merupakan self-efficacy

dalam domain area pekerjaan sehingga peneliti menjadikan occupational

self-efficacy sebagai variabel bebas untuk di ujicobakan dengan stres kerja sebagai

variabel tergantung.

B. Occupational Self-Efficacy

1. Pengertian Occupational self-efficacy

Self-efficacy adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya

dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil

tertentu (Bandura, 1997). Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan self-efficacy

sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk

melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan. Dalam suatu

perusahaan, occupational self-efficacy dianggap lebih cocok digunakan karena

dapat membandingkan tingkat self-efficacy pada karyawan meskipun karyawan

memiliki tugas yang berbeda dalam suatu perusahaan (Rigotti, Schyns & Mohr,

dalam Wahyuni 2017). Occupational self-efficacy tidak menitikberatkan pada

(9)

tertentu. Titik berat occupational self-efficacy lebih pada domain atau area

pekerjaan secara umum yang lingkupnya lebih luas dibanding tugas-tugas

spesifik. Occupation self-efficacy diartikan sebagai keyakinan yang dimiliki

seseorang bahkan dapat menyelesaikan pekerjaan yang dimilikinya karena

mempunyai perilaku yang dipersyaratkan suatu pekerjaan (Schyns dan Sczesny

dalam Wahyuni, 2017). Occupational self-efficacy adalah keyakinan dan persepsi

yang baik mampu membuat individu mengupayakan performa terbaik dalam

bekerja (dalam Nurtjahjanti dan Ilyas, 2015). Agar karyawan termotivasi

melakukan sesuatu, karyawan perlu memiliki harapan yang tinggi terhadap

kesuksesan dan mempercayai bahwa karyawan bisa melakukan itu. Harapan yang

tinggi terhadap kesuksesan itulah yang disebut occupational self-efficacy

(Kaswan, 2017).

Menurut Yuwono, dkk (dalam Ilyas & Nurtjahjanti, 2015) occupational

self-efficacy adalah keyakinan diri sendiri akan mampu menghadapi dan

menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Occupational self-efficacy berkembang

seiring dengan adanya pengalaman langsung atau tidak langsung dalam

menyelesaikan tugas sehingga dari situ akan terbentuk kemampuan pada individu

itu sendiri. Menurut Schyns dan Sczesny (dalam Wahyuni, 2017) mendefinisikan

occupational self-efficacy sebagai keyakinan yang dimiliki seseorang bahkan

dapat menyelesaikan pekerjaan yang dimilikinya karena mempunyai perilaku

yang dipersyaratkan suatu pekerjaan. Sulistyowati dan Widjajani (2012)

menjelaskan bahwa occupational self-efficacy merupakan tingkat keyakinan

(10)

memengaruhi tujuan, usaha yang dikeluarkan dalam menyelesaikan pekerjaan,

tingkat kesulitan pekerjaan yang ditoleransi untuk dikerjakan, kinerja dan

pilihan-pilihan aktivitas seseorang.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa occupational

self-efficacy adalah sebuah keyakinan pada diri individu bahwa dirinya mampu

dalam melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan dan tugas dengan baik dalam

bentuk usaha yang dikeluarkan dalam menyelesaikan pekerjaan, tingkat kesulitan

pekerjaan yang ditoleransi untuk dikerjakan, kinerja dan pilihan-pilihan aktivitas

seseorang.

2. Aspek-aspek Occupational Self-efficacy

Occupational self-efficacy dianggap lebih cocok digunakan karena dapat

membandingkan tingkat self-efficacy pada karyawan (Rigoti, Schyns & Mohr,

dalam Wahyuni 2017). Bandura (1997) membagi aspek-aspek occupational

self-efficacy menjadi tiga dimensi, yaitu level, generality dan strength. Penjabaran

mengenai dimensi dari level, strength dan generality sebagai berikut;

a. Dimensi tingkat (Level)

Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang diberikan.

Tugas-tugas yang diberikan kepada individu disusun menurut tingkat kesulitannya,

maka efikasi diri individu mungkin akan terbatas pada tugas yang mudah,

sedang atau sulit. Individu akan mencoba perilaku yang mampu dilakukan dan

(11)

b. Dimensi kekuatan(Strenght)

Berkaitan dengan tingkat kekuatan dan kemantapan seseorang terhadap

keyakinannya untuk mampu menyelesaikan tugasnya. Keyakinan yang kuat

akan mendorong individu bertahan untuk menyelesaikan tugasnya, namun

dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi level. Semakin tinggi

tingkat kesulitan tugas, makan kekuatan keyakinan akan menjadi lemah untuk

menyelesaikannya.

b. Dimensi generalisasi (Generality)

berkaitan dengan luas bidang perilaku yang individu merasa yakin akan

kemampuannya. Baik pada tugas atau situasi tertentu maupun pada tugas atau

situasi yang bervariasi.

Corsini (dalam Mulyani, Mubarak dan Hairina, 2014) menyatakan bahwa

aspek-aspek occupational self-efficacy adalah sebagai berikut:

a. Kognitif, kemampuan individu untuk mencari cara-cara yang digunakan dan

merancang tindakan untuk mencapai tujuan yang ingin dituju. Semakin efektif

kemampuan individu dalam berpikir maka akan mendukung individu untuk

bertindak tepat dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

b. Motivasi, kemampuan individu untuk memotivasi diri sendiri melalui

pikirannya ketika melakukan suatu tindakan dan keputusan dalam mencapai

tujuan yang diinginkan. Motivasi seseorang timbul dari pemikiran optimis dan

(12)

c. Afeksi, kemampuan mengatasi emosi yang muncul pada diri sendiri untuk

melakukan tindakan dengan cara mengontrol kecemasan dan perasaan depresi

yang akan menghalangi pikiran positif untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

d. Seleksi, kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku lingkungan yang

tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Asumsi yang timbul

pada aspek ini yaitu ketidakmampuan orang dalam melakukan seleksi,

membuat orang tidak percaya diri, bingung dan mudah menyerah ketika

menghadapi masalah atau situasi yang sulit. Seseorang yang occupational

self-efficacy rendah cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang mengancam

kemampuan penyesuaian diri mereka, sedangkan mereka yang memiliki

occupational self-efficacy tinggi akan cenderung menghadapi dan mencari

jalan keluar.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan aspek dari Bandura (1997) terdiri

dari dimensi tingkat (level), dimensi kekuatan (strenght), dan dimensi generalisasi

(generality). Aspek dari Corsini (dalam Mulyani, Mubarak dan Hairina, 2014)

yaitu kognitif, motivasi, afeksi dan seleksi. Dalam penelitian ini peneliti akan

menggunakan aspek dari Bandura yang akan dikaitkan dengan stres kerja yaitu

dimensi tingkat (level), dimensi kekuatan (strenght), dan dimensi generalisasi

(generality). Aspek dari Bandura lebih mudah dan jelas daripada aspek dari

Corsini sehingga diharapkan melalui aspek tersebut mampu mengungkap

(13)

C. Hubungan Antara Occupational Self-Efficacy dengan Stres Kerja Pada Karyawan Produksi di UPT X

Karyawan yang bekerja di bagian produksi memiliki beban dan tuntutan

yang lebih besar daripada karyawan non produksi (Annisa, 2013). Karyawan

produksi dihadapkan dengan berbagai masalah baik dari lingkungan kerja, beban

kerja, target produksi, suasana kerja, ketidaknyamanan dalam bekerja maupun

ketidakmampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan

dan lingkungan kerjanya (Ghufron & Risnawati, 2014). Permasalahan tersebut

tentu dapat mengakibatkan penyakit akibat kerja, kecelakaan kerja, penurunan

produktivitas dan gangguan kesehatan karyawan baik fisik maupun psikologis

yang mengarah kepada stres kerja (Putri & Tualeka, 2014). Lebih lanjut apabila

stres kerja yang dialami karyawan tidak segera diatasi maka akan berdampak

negatif dan merugikan bagi perusahaan dan karyawan sendiri.

Dalam menyikapi hal tersebut seharusnya karyawan memiliki kemampuan

untuk menghadapinya. Kemampuan tersebut salah satunya dari karakteristik

kepribadian yaitu keyakinan akan kemampuan diri untuk dapat mengatasi suatu

permasalahan di pekerjaan yang oleh Bandura disebut occupational self-efficacy

(Ghufron & Risnawati, 2014). Bandura (1997) menyatakan bahwa karyawan

dengan occupational self-efficacy tinggi akan mampu mengatasi sumber stres

dalam pekerjaan secara efektif. Occupational self-efficacy juga akan berdampak

pada kepuasan kerja, kinerja dan stres kerja karena dengan occupational

self-efficacy yang tinggi, karyawan akan semakin puas dalam bekerja, mampu

(14)

lingkungan pekerjaan (Sulistyowati & Widjajani, 2012). Occupational s

elf-efficacy ialah keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengorganisasikan dan

menampilkan tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan kemampuan dalam

pekerjaan tertentu (dalam Nurtjahjanti dan Ilyas, 2015). Menurut Bandura (1997)

aspek self-efficacy meliputi level, strength dan generality.

Pada dimensi tingkat (level), dimensi ini berkaitan dengan tingkat

kesulitan tugas yang diberikan (Gufron & Risnawita, 2014). Lebih lanjut, apabila

tugas-tugas yang diberikan kepada karyawan disusun menurut tingkat

kesulitannya, maka occupational self-efficacy karyawan mungkin akan terbatas

pada tugas yang mudah, sedang atau sulit. Aspek ini memiliki implikasi terhadap

pemilihan tingkah laku yang akan dicoba atau dihindari. Karyawan akan mencoba

perilaku yang mampu dilakukan dan menghindari perilaku yang di luar

kemampuannya.Dalam situasi pekerjaan yang sulit, karyawan dengan level yang

tinggi akan tetap semangat dan berusaha keras untuk mengatasi pekerjaan yang

sulit (Gufron & Risnawita, 2014). Lebih lanjut, setiap karyawan memiliki

keyakinan yang berbeda-beda sesuai dengan tugas-tugas yang berbeda pula,

karyawan dengan keyakinan positif cenderung menganggap tugas pekerjaan yang

sulit sebagai tantangan. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Gist (dalam Ghufron

& Risnawati, 2014) bahwa occupational self-efficacy juga berperan dalam

memunculkan motivasi pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan yang menantang

untuk mencapai hasil yang diharapkan. Sedangkan karyawan dengan level yang

rendah akan cenderung menunda atau menghindari pekerjaan yang sulit dimana

(15)

merupakan gejala perilaku dari stres kerja, hal tersebut menunjukkan bahwa level

pada occupational self-efficacy mempengaruhi stres kerja pada karyawan

(Waluyo, 2013).

Pada dimensi kekuatan (strenght), berkaitan dengan tingkat kekuatan dan

kemantapan seseorang terhadap keyakinannya untuk mampu menyelesaikan

tugasnya (Gufron & Risnawita, 2014). Lebih lanjut, keyakinan yang kuat akan

mendorong karyawan untuk bertahan dan tetap tenang dalam menyelesaikan

tugasnya. Karyawan dengan strength tinggi akan menunjukkan usaha yang besar

untuk mencapai tujuan dan ketahanan saat menghadapi masalah dalam proses

pencapaian tujuan (Sulistyowati & Widjajani, 2012). Lebih lanjut, karyawan

dengan strength yang tinggi akan bersungguh-sungguh melakukan pekerjaannya,

memberikan usaha yang maksimal untuk menyelesaikan pekerjaan, dan tetap

bertahan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan karyawan dengan

strenght yang rendah akan menyerah dan putus asa karena menganggap dirinya

tidak mampu menghadapi kendala dalam pekerjaan, karyawan justru cenderung

merenungkan ketidakmampuannya daripada mencari solusi, hal itulah yang

menyebabkan kepercayaan diri dan prestasi (performance) pada karyawan

menurun (Ghufron & Risnawati, 2014). Menurunnya rasa percaya diri merupakan

gejala psikologis dari stres kerja dan menurunnya prestasi (performance)

merupakan gejala perilaku dari stress kerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa

strenght pada occupational self-efficacy mempengaruhi stres kerja pada karyawan

(16)

Pada dimensi generalisasi (generality), berkaitan dengan keyakinan

individu akan kemampuannya dalam melakukan berbagai tugas, baik pada tugas

atau situasi tertentu maupun pada tugas atau situasi yang bervariasi (Ghufron &

Risnawati, 2014). Apabila keyakinan generality karyawan rendah cenderung

membuat karyawan tidak percaya diri bahwa dirinya mampu menyelesaikan tugas

dengan baik. Sebaliknya apabila keyakinan generality karyawan tinggi cenderung

membuat karyawan lebih tenang dan percaya bahwa mereka mampu dalam

menyelesaikan bermacam-macam pekerjaan (Ghufron & Risnawati, 2014).

Kepercayaan diri yang rendah bahwa individu mampu melakukan segala

pekerjaan merupakan gejala psikologis dari munculnya stres kerja (Waluyo,

2013).

Kesimpulan dari penjabaran di atas ialah occupational self-efficacy

meliputi level, generallity dan strength berpengaruh negatif terhadap stres kerja.

Semakin tinggi occupational self efficacy maka akan semakin rendah stres kerja,

sebaliknya semakin rendah occupational self efficacy maka semakin tinggi pula

stres kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian Hulda (2008) bahwa occupational

self-efficacy berpengaruh negatif terhadap stres kerja pada karyawan. Diartikan

bahwa semakin tinggi occupational self-efficacy, maka akan menyebabkan

semakin rendah pula stres kerja pada karyawan tersebut, sebaliknya semakin

rendah occupational self-efficacy maka akan semakin tinggi stres kerja pada

(17)

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini yaitu ada hubungan negatif antara occupational

self-efficacy dengan stres kerja pada karyawan produksi di UPT X. Artinya

semakin tinggi occupational self-efficacy karyawan maka semakin rendah stres

kerja yang dialami oleh karyawan. Sebaliknya, semakin rendah occupational

Referensi

Dokumen terkait

Ya sudah sesuai dengan standar presenter berita nasional lah ya, make up dan pakaian yang dikenakan juga modis, terus cara mereka menyampaikan berita juga cukup professional

Dari gambar 3.1 diatas metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode berbasis pengujian terhadap material ini dengan melakukan

Penelitian untuk mengetahui jenis kelelawar dan karakteristik tempat bertenggernya kelelawar yang ditangkap di goa Petruk Desa Candirenggo Kecamatan Ayah Kabupaten

Rencana Strategis (RENSTRA) Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bojonegoro merupakan dokumen perencanaan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bojonegoro untuk periode

Penelitian ini berjudul “ Desain Didaktis Sifat-Sifat Bangun Ruang Sisi Datar untuk Meningkatkan Level Berpikir Geometri Siswa SMP ”.. Penelitian ini dilakukan di

Pada penulisan ilmiah ini penulis ingin menganalisa tingkat kesehatan bank pada periode tahun 2006-2008 pada PT Bank Muamalat Indonesia Tbk dengan menggunakan analisa

Abdullah

Tes merupakan sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar atau salah. Tes diartikan juga sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban atau sejumlah