• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida untuk Penyimpanan Dingin Sayur-sayuran Segar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida untuk Penyimpanan Dingin Sayur-sayuran Segar"

Copied!
324
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PENDINGINAN NOKTURNAL HIBRIDA UNTUK PENYIMPANAN DINGIN SAYUR-SAYURAN SEGAR

IDA BAGUS PUTU GUNADNYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida untuk Penyimpanan Dingin Sayur-sayuran Segar” karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2009

(3)

IDA BAGUS PUTU GUNADNYA. Hybrid Noctunal Cooling System for Cold Storing of Fresh Vegetables. Supervised by KAMARUDDIN ABDULLAH, ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO, and M.A.M. OKTAUFIK.

Nocturnal cooling is a kind of cooling that utilising a cold night clear sky as a heat sink of a cooling load. This type of cooling has been studied and applied successfully, especially in dry regions. However the findings reveal that this cooling was also applicable in a humid area. This type of cooling has a potency to be exploited in Indonesia.

In this research, nocturnal cooling application in a cooling installation was combined with a conventional one to reach targeted room temperature suitable to store mixed mostly sub-tropical vegetables. The objective of the research was to study the potency of nocturnal cooling in relation to reduction of utilization of non-renewable energy sources in cold storing of vegetables. In order to achieve this goal, experiments were conducted. Further, simulation, optimization, and techno-economic analysis were done on cold storing system of vegetables.

The potency of nocturnal cooling is expressed as nocturnal cooling power, which is difficult to be accurately determined. Precision in estimating the value of this cooling power depends upon the precision in determining convective heat transfer coefficient and sky temperature. The coefficient of convective heat transfer is generally determined empirically. In this research, the value of this coefficient was estimated by employing two kind of approximation such as empirical and analytical approximation. It was found that expressions for this coefficient based on empirical and analytical approximation were h = 5.513V0.5 and h = 5.277V0.5. Estimation equation resulted from analytical approximation gave better estimation on the values of this coefficient with RMSE of about 0.75 W/m2oC.

Estimation of sky temperature was done by estimating sky apparent emissivity using empirical and analytical models for clear sky. After making correction to the models by introducing cloud effect, so that a,all = a,c + (1 - a,c)k,

then it was obtained that empirical model of Martin dan Berdahl (1984), Idso and Jackson (1969), and Boldrin and Sovrano (1974) were suitable to be used as apparent emissivity predictors at highland area, while at lowland one model of Clark and Allen (1978), Brunt (1932), as well as Idso and Jackson (1969), and Boldrin and Sovrano (1974) were good.

The performances of corrected models including cloud effect in linear and in non-linear regression were good where ranges of a and b, and determination coefficients were -0.31-0.38, 0.85-1.04, 0.88-0.90 at highland. At lowland area these ranges were 0.31-2.91, 0.82-0.98, 0.71-0.76, respectively.

On 11-17 July 2007 average nocturnal cooling power at highland reached 43.7 W/m2, with minimum value of 36.1 W/m2 and maximum one of 65 W/m2. At

lowland on 1-12 September 2007 the average value was 17.6 W/m2 and the lowest value was 14.83 W/m2 and the highest one was 21.83 W/m2. These conditions

caused water temperature felt 7oC under ambient temperature at highland and only

(4)

exchanger on initial investment cost was studied and optimization results indicated that initial investment cost reduced when the effectiveness of the heat exchanger was high. Heat exchanger with effectiveness value of 0.4 needed Rp 4263133 initial investment and when its values became 0.6 and 0.8 then the initial investment cost needed decreased by 43.8 and 65.5%.

The use of cold storage installation with nocturnal hybrid cooling system and by covering the vegetables with wetted paper dropped weight loss by 10% in average which was lower than bare vegetables stored in warehouse. Cold stored film-packed vegetables reduced its weight loss by 85% lower than vegetables without packaging.

Utilization of chilled water from nocturnal cooling also gave financial benefit. Without nocturnal cooling, the values of net present value, internal rate of return, benefit cost ratio, return on investment and payback period were Rp 199600000, 71.77%, 1.08, 72.32%, and 1.38 year. The financial analysis showed that by using nocturnal cooling these values became Rp 266600000, 89.35%, 1.12, 89.64%, and 1.12 year.

The use of chilled water from nocturnal cooling in the range of 10 and 14oC

to cool storage room reduced total electrical cost for cooling by 17.7 and 11.7%. Chilled water within this range of temperature was obtained at highland. So, it is recommended to build cooling installation at highland area.

(5)

IDA BAGUS PUTU GUNADNYA. Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida untuk Penyimpanan Dingin Sayur-sayuran Segar. Dibimbing oleh KAMARUDDIN ABDULLAH, ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO dan M.A.M. OKTAUFIK.

Pendinginan nokturnal adalah pendinginan yang memanfaatkan dingin langit cerah malam hari. Pendinginan jenis ini sudah dikaji dan dimanfaatkan dengan sukses terutama di daerah kering. Tetapi penemuan mengungkap bahwa pendinginan ini juga bisa diterapkan di daerah lembab. Pendinginan jenis ini berpotensi untuk dimanfaatkan di Indonesia.

Dalam penelitian ini penggunaan pendinginan nokturnal dalam instalasi pendinginan dipadukan dengan pendinginan konvensional untuk mencapai sasaran suhu penyimpanan yang sesuai untuk penyimpanan kebanyakan sayur-sayuran sub-tropis dalam penyimpanan yang tercampur. Penelitian dilakukan dengan tujuan mengkaji potensi pendinginan nokturnal dalam rangka mengurangi penggunaan sumber energi tidak terbarukan dalam penyimpanan dingin sayur-sayuran. Untuk mencapai tujuan itu dilakukan serangkaian percobaan, simulasi, dan optimisasi serta analisis teknoekonomi sistem penyimpanan dingin sayur-sayuran.

Potensi pendinginan nokturnal dinyatakan sebagai kemampuan pendinginan nokturnal yang sulit ditetapkan nilainya secara akurat. Ketepatan dalam mene-tapkan kemampuan pendinginan nokturnal ditentukan oleh ketepatan dalam me-netapkan koefisien pindah panas konveksi dan suhu langit. Koefisien pindah panas konveksi pada umumnya ditetapkan secara empiris. Dalam penelitian ini nilai koefisien ini diduga dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan secara empiris dan analitis. Dengan cara pendekatan seperti ini diperoleh persamaan penduga h = 5.513V0.5 dan h = 5.277V0.5 masing-masing untuk pendekatan empiris

dan analitis. Persamaan penduga dengan pendekatan analitis memberikan pendugaan terbaik dengan RMSE 0.75 W/m2oC.

Pendugaan suhu langit dilakukan dengan menduga emisivitas langit meng-gunakan model-model empiris dan analitis penduga emisivitas efektif untuk langit cerah. Setelah dikoreksi dengan pengaruh awan dengan persamaan a,all = a,c + (1 - a,c)k maka diperoleh model empiris Martin dan Berdahl (1984), Idso dan Jackson

(1969) dan Boldrin dan Sovrano (1974) baik digunakan sebagai penduga emisivitas efektif keseluruhan di dataran tinggi, sedangkan di dataran rendah model empiris Clark dan Allen (1978), Brunt (1932), disamping Idso dan Jackson (1969) dan Boldrin dan Sovrano (1974) baik digunakan sebagai penduga.

Model empiris dan analitis yang sudah dikoreksi dengan memasukkan pengaruh awan dalam bentuk regresi linier dan non-linier memiliki performansi pendugaan suhu langit yang baik dengan kisaran nilai a, b dan koefisien determinasi -0.31-0.38, 0.85-1.04, 0.88-0.90 untuk dataran tinggi. Untuk dataran rendah nilai kisaran untuk a, b dan koefisien determinasi berturut-turut 0.31-2.91, 0.82-0.98, 0.71-0.76.

Pada tanggal 11-17 Juli 2007, kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata di dataran tinggi mencapai 43.7 W/m2 dengan nilai minimum 36.1 W/m2 dan nilai

(6)

nilai terendah 14.83 W/m dan tertinggi 21.83 W/m. Dengan kemampuan pendinginan seperti ini, di daerah pegunungan air dingin yang dihasilkan dapat mencapai suhu 7oC di bawah suhu lingkungan dan di dataran rendah hanya 1oC.

Salah satu faktor pembatas pemanfaatan air dingin yang dihasilkan pendi-nginan nokturnal adalah parameter termal alat penukar panas. Dikaji pengaruh keefektivan alat penukar panas terhadap biaya investasi awal. Berdasarkan pada hasil optimisasi terungkap bahwa biaya investasi awal dapat dikurangi dengan membuat alat panas yang memiliki keefektivan tinggi. Alat penukar panas dengan nilai keefektivan 0.4 membutuhkan biaya investasi awal Rp 4263133. Bila keefektivan alat penukar panas ditingkatkan menjadi 0.6 dan 0.8 maka biaya investasi awal turun sebesar 43.8% dan 65.5%.

Pemanfaatan instalasi penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nok-turnal hibrida dan dengan menutup permukaan sayur dengan kertas koran yang dibasahi, mampu menekan kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan rata-rata 10% lebih rendah daripada kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang. Pengemasan sayur juga mampu mengurangi kehilangan berat sayur-sayuran sebesar 85% lebih rendah daripada sayur yang tidak dikemas dan disimpan di dalam instalasi penyimpanan dingin.

Pemanfaatan air dingin dari pendinginan nokturnal juga memberikan man-faaat secara finansial. Bila tidak menggunakan pendinginan nokturnal maka nilai Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR), Return on Investment (ROI) dan payback period (PbP) adalah Rp 199600000, 71.77%, 1.08, 72.32%, dan 1.38 tahun. Dengan memanfaatkan instalasi dingin untuk penyimpanan sayur-sayuran maka nilai NPV, IRR, BCR, ROI, dan PbP adalah Rp 266600000, 89.35%, 1.12, 89.64%, dan 1.12 tahun.

Dengan manfaatkan air dingin hasil pendinginan nokturnal dengan kisaran suhu 10-14oC untuk mendinginkan suhu ruang penyimpanan maka total biaya

listrik untuk penyimpanan dingin dapat dikurangi 17.7. sampai dengan 11.7%. Air dingin dengan kisaran suhu seperti disebutkan di atas dapat dicapai di dataran tinggi. Jadi disarankan untuk membangun instalasi penyimpanan dingin di dataran tinggi.

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(8)

PENYIMPANAN DINGIN SAYUR-SAYURAN SEGAR

IDA BAGUS PUTU GUNADNYA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si 2. Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Idrus Al Hamid

(10)

Nama : Ida Bagus Putu Gunadnya

NRP : F126010011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Y. Aris Purwanto Dr. Ir. M.A.M. Oktaufik

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Keteknikan Pertanian

Tanggal ujian : 21 Agustus 2009 Tanggal lulus:

Prof.Dr. Kamaruddin Abdullah, MSA Prof.Dr.Ir. Armansyah H. Tambunan, M.Sc

Ketua Anggota

(11)

Penulis bersyukur karena karya ilmiah ini berhasil diselesaikan atas kehendak dan anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2006 adalah pendinginan, dengan judul “Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida untuk Penyimpanan Dingin Sayur-sayuran Segar”.

Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasihnya kepada Bapak Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah, Bapak Prof. Dr. Armansyah H. Tambunan, Bapak Dr. Ir. Y. Aris Purwanto dan Bapak Dr. Ir. M.A.M. Oktaufik selaku komisi pembimbing serta kepada Ibu Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr, Bapak Dr. Idrus Al Hamid dan Bapak Dr. Ir. Lilik Pujantoro, M.Agr yang telah berkenan memberi masukan berharga dan menjadi penguji luar komisi. Rasa terima kasih penulis juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Leopold Oscar Nelwan, M.Si yang sudah banyak membantu penulis dalam mempersiapkan penelitian, membantu materi dan diskusi tentang pemecahan permasalahan, kepada Sdr. Ir. Aep Saepul Uyun, M.Agr yang banyak membantu penulis dalam penyiapan materi tulisan, Sdr. Rudiyanto, STP., M.Si yang sudah membantu penulis, teknisi dan staf di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Kepala Unit Sayur-mayur dan karyawan PD. Perusahaan Daerah Provinsi Bali, Bapak/Ibu peneliti, teknisi dan staf administrasi di B2TE BPPT Serpong atas bantuan finansial dan diskusi yang menarik selama penulis melakukan penelitian. Bapak Drs. Binsar Nababan (almarhum), Dr. Dadi Rusadi Maspanger dan Dr. Ir. Dedy Alharis Nasution sebagai kolega.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor atas kesempatan yang diberikan kepada penulis, Rektor Universitas Udayana atas izin yang sudah diberikan. Penghargaan tulus dan tak terhingga penulis sampaikan kepada istri tercinta Ida Ayu Made Susilawati dan anak tersayang Ida Ayu Putu Puspa Antari atas pengertian, dorongan dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada handai tolan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga segala bentuk bantuan dan dorongan akan mendapat pahala dari Tuhan yang Maha Esa.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009

(12)

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Pebruari 1961 di Kabupaten Klungkung, Bali. Penulis adalah putra bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ida Bagus Nyoman Kadjeng dan Ibu Ni Gusti Ketut Geriya (almarhum). Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 1985 di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, pendidikan S2 pada tahun 1993 di Program Studi Teknologi Pascapanen, Program Pascasarjana IPB. Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan mengikuti pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor.

Pada saat ini penulis bekerja sebagai staf edukasi pada Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris Jurusan Teknik Pertanian, Program Studi Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, dan pernah juga menjabat sebagai Pembantu Ketua I, Program Studi Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

DAFTAR SIMBOL ... xxi

1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

Keterkaitan antar Bab ... 8

2 PENDINGINAN NOKTURNAL DI DAERAH DATARAN TINGGI DAN DI DAERAH DATARAN RENDAH ... 10

Pendahuluan ... 10

Bahan dan Metode ... 33

Hasil dan Pembahasan ... 39

Kesimpulan ... 58

3 SUHU LANGIT DI DAERAH DATARAN TINGGI DAN DI DAERAH DATARAN RENDAH ... 61

Pendahuluan ... 61

Bahan dan Metode ... 77

Hasil dan Pembahasan ... 79

Kesimpulan ... 90

4 INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DENGAN PENDINGINAN NOKTURNAL HIBRIDA DI CANDIKUNING BALI ... 92

Pendahuluan ... 92

Bahan dan Metode ... 107

Hasil dan Pembahasan ... 126

Kesimpulan ... 146

5 PENYIMPANAN SAYUR-SAYURAN SEGAR DIDALAM INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DI DESA CANDIKUNING BALI ... 149

Pendahuluan ... 149

Bahan dan Metode ... 161

Hasil dan Pembahasan ... 167

Kesimpulan ... 191

6 OPTIMISASI BIAYA INVESTASI AWAL INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DI DESA CANDIKUNING BALI ... 193

(14)

Hasil dan Pembahasan ... 209

Kesimpulan ... 219

7 ANALISIS FINANSIAL INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DI DESA CANDIKUNING BALI ... 220

Pendahuluan ... 220

Metode ... 229

Hasil dan Pembahasan ... 231

Kesimpulan ... 237

8 PEMBAHASAN UMUM ... 239

Instalasi Penyimpanan Dingin ... 239

Keuntungan Ekonomi ... 244

Keuntungan Teknis ... 248

Kesimpulan ... 254

Saran ... 256

DAFTAR PUSTAKA ... 257

(15)

Halaman

1 Produksi beberapa jenis sayur-sayuran di Indonesia tahun 2002 – 2007 (ton) ... 1 2 Harga jual listrik rata-rata per kelompok pelanggan (Rp/kWh) tahun

1995-2006 ... 3 3 Model-model penduga radiasi langit cerah ... 21 4 Nilai k dan x dari beberapa model empiris radiasi langit keseluruhan .... 29 5 Jenis dan nilai keawanan (Exell 2007) ... 30 6 Klasifikasi kondisi langit berdasarkan indeks keawanan (Kidder dan

Essenwanger 1995) ... 30 7 Jenis awan dan nilainya (Lord 1999) ... 31 8 Jenis awan dan nilainya (Morgan et al. 1971) ... 31 9 Model penduga radiasi langit menggunakan parameter meteorologi

setempat (Golaka dan Exell 2004) ... 32 10 Perbandingan antara nilai h-ukur dengan h hasil pendekatan analitis dan

empiris ... 43 11 Hasil analisis regresi linier antara radiasi langit hasil penetapan dengan

hasil pendugaan model langit cerah di dua lokasi penelitian ... 48 12 Hasil analisis regresi linier antara radiasi langit hasil penetapan dengan

hasil pendugaan model yang sudah dikoreksi dengan pengaruh awan di dua lokasi penelitian ... 52 13 Hasil analisis regresi linier setelah model dikoreksi dengan pengaruh

keawanan sebagai fungsi linier dan polinomial pangkat dua di dua

lokasi penelitian ... 53 14 Kemampuan pendinginan nokturnal, panas konveksi dan kondensasi di

dua lokasi penelitian ... 58 15 Emisivitas langit cerah dengan nilai tetap ... 70 16 Model empiris penduga emisivitas langit cerah yang bergantung pada

suhu titik embun ... 70 17 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi

dari suhu lingkungan di dekat permukaan ... 71 18 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi

dari tekanan uap air di dekat permukaan ... 72 19 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi

(16)

21 Nilai koefisien regresi dan koefisien determinasi persamaan regresi antara hasil pendugaan model emisivitas langit cerah dengan emisivitas efektif langit di dataran tinggi dan di dataran rendah ... 81 22 Performansi model penduga emisivitas efektif langit dengan

memasukkan pengaruh keawanan di kedua lokasi penelitian ... 84 23 Performansi model penduga emisivitas efektif langit dengan pengaruh

linier dan non-linier keawanan di kedua lokasi penelitian ... 85 24 Performansi model penduga untuk menduga suhu langit di dataran

tinggi dan di dataran rendah dengan menggunaan hasil pendugaan

emisivitas efektif langit keseluruhan yang sudah dikoreksi ... 86 25 Perubahan suhu air dan udara yang masuk dan keluar alat penukar

panas pada laju aliran massa air memasuki alat penukar panas 0.0039

kg/s ... 122 26 Hasil pendugaan dan perbedaannya dengan hasil pengukuran suhu

udara yang keluar dari alat penukar panas pada beberapa laju aliran

massa air ... 130 27 Kinerja beberapa model terhadap pendugaan intensitas radiasi surya di

Candikuning Bali ... 137 28 Hasil pengukuran kecepatan angin, suhu dan kelembaban udara di

beberapa lokasi dalam ruang instalasi ... 142 29 Perbandingan hasil simulasi dengan hasil percobaan terhadap

pencapaian suhu akhir udara didalam ruang penyimpanan (Tr) ... 146

30 Kehilangan berat sayur-sayuran (%) setelah disimpan di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin dan di dalam gudang ... 150 31 Keadaan sayur-sayuran setalah disimpan di dalam ruangan instalasi

penyimpanan dingin dan di dalam gudang ... 151 32 Persentase kehilangan air yang menyebabkan bahan segar tidak dapat

dijual ... 156 33 Jenis dan permeabilitas film (ml/m2/mil/hari pada 1 atm) yang tersedia

sebagai kemasan produk segar ... 159 34 Koefisien permeabilitas film hasil perhitungan dan penetapan dalam

satuan ml.mil/ m2.jam.atm (Gunadnya 1993) ... 159

35 Film pengemas, suhu optimum untuk MAP untuk beberapa jenis sayur-sayuran ... 160 36 Kehilangan berat rata-rata (%) beberapa jenis sayur-sayuran selama

penyimpanan di dalam ruang instalasi pada percobaaan penyimpanan I 169 37 Rata-rata kehilangan berat (%) beberapa jenis sayur-sayuran setelah

(17)

39 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang

instalasi pada percobaan penyimpanan I ... 178

40 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi pada percobaan penyimpanan II ... 180

41 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi pada percobaan penyimpanan III ... 181

42 Kehilangan berat (%) sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam instalasi penympanan dingin ... 184

43 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin ... 186

44 Perubahan nilai variabel optimisasi menuju ke suatu nilai konvergen .... 217

45 Biaya investasi awal optimum dari beberapa skenario optimisasi ... 218

46 Berat sayur yang dapat dijual kembali setelah disimpan ... 221

47 Umur ekonomi beberapa fasilitas ... 227

48 Hasil analisis finansial berdasarkan pada beberapa skenario ... 232

49 Kontribusi sayur-sayuran terhadap penghasilan unit ... 233

50 Pengaruh jangka waktu kontrak kerjasama unit dengan perusahaan rekanan tanpa mengoperasikan instalasi penyimpanan dingin terhadap indikator kelayakan usaha unit ... 234

51 Pengaruh tingkat bunga pinjaman komersial terhadap indikator kelayakan usaha unit ... 235

52 Pengaruh peningkatan gaji staf terhadap indikator kelayakan usaha unit 235 53 Pengaruh penyewaan ruang instalasi penyimpanan dingin terhadap indikator kelayakan usaha unit ... 236

54 Biaya penyimpanan dan harga sewa ruang instalasi penyimpanan dingin (Rp/kg) ... 236

55 Biaya total sistem pendinginan nokturnal untuk penyimpanan dingin sayur-sayuran ... 246

56 Sumbangan pendinginan nokturnal dalam mengurangi daya listrik untuk mencapai suhu penyimpanan 10oC ... 247

(18)

Halaman

1 Diagram alir penelitian penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida ... 6 2 Hubungan nilai koefisien pindah panas konveksi dengan kecepatan

angin ... 40 3 Diagram serak dari hubungan h-ukur dengan h-analitis ... 42 4 Diagram serak komponen panas total air dalam pendinginan nokturnal:

panas radiasi, konveksi, dan kondensasi di dataran tinggi ... 45 5 Diagram serak komponen panas total air dalam pendinginan nokturnal:

panas radiasi, konveksi, dan kondensasi di dataran rendah ... 46 6 Diagram serak panas total air hasil pengukuran dengan hasil pendugaan

di dataran tinggi (DT) dan di dataran rendah (DR) ... 47 7 Pengaruh awan terhadap radiasi langit di dataran tinggi ... 50 8 Pengaruh awan terhadap radiasi langit di dataran rendah ... 51 9 Diagram serak radiasi langit hasil pengukuran di dataran tinggi dengan

suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan

perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan ... 55 10 Diagram serak radiasi langit hasil pengukuran di dataran rendah dengan

suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan

perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan ... 56 11 Diagram serak antara suhu langit dengan suhu absolut lingkungan, suhu

titik embun, tekanan uap air dan perbandingan tekanan uap air dengan

suhu absolut lingkungan di dataran tinggi ... 87 12 Diagram serak antara suhu langit dengan suhu absolut lingkungan, suhu

titik embun, tekanan uap air dan perbandingan tekanan uap air dengan

suhu absolut lingkungan di dataran rendah ... 88 13 Aliran silang pada alat penukar panas (Chapman 1974) ... 97 14 Alat pelembab udara. (1) saluran udara, dan (2) media pindah massa

dan panas ... 109 15 Skema sistem saluran udara ysng dibuat dan diuji ... 111 16 Instalasi penyimpanan dingin di Desa Candikuning. Bangunan instalasi

(1), atap yang berupa kolam air dangkal (2), mesin pendingin kompresi uap (3), dan menara pendingin (4) ... 111 17 Saluran udara yang berada di luar ruang instalasi(1), rumah penukar

(19)

di posisi baris ke-i kolom ke-j ... 114 19 Diagram alir pendugaan suhu air, suhu udara dan kelembaban absolut

udara yang keluar dari alat pelembab ... 118 20 Penampang alat penukar panas dilihat dari atas ... 122 21 Pengaruh laju aliran massa air terhadap nilai U alat penukar panas ... 127 22 Pengaruh laju aliran massa air terhadap nilai NTU alat penukar panas .. 128 23 Pengaruh laju aliran massa air terhadap ... 128 24 Diagram serak dari hubungan Ue dengan Uu ... 129 25 Hasil pendugaan suhu udara yang keluar dari alat pelembab ... 132 26 Hasil pendugaan kelembaban relatif udara yang keluar dari alat

pelembab ... 132 27 Pengaruh perbedaan antara suhu air dengan suhu udara yang memasuki

alat pelembab terhadap efisiensi alat pelembab ... 133 28 Hubungan suhu udara dengan kelembaban absolut ... 133 29 Pengaruh perbedaan antara suhu udara dengan suhu air yang memasuki

alat pelembab terhadap efisiensi alat pelembab ... 135 30 Hasil pengukuran radiasi surya pada tanggal 25 Mei 2007 (a), 26 Mei

2007 (b), dan 27 Mei 2007 (c). di Candikuning Bali ... 137 31 Plot antara radiasi surya hasil pengukuran dan model-model penduga

radiasi surya dengan waktu pengamatan ... 138 32 Pengaruh radiasi surya terhadap suhu udara ruang instalasi dan hasil

pendugaan model ... 139 33 Diagram serak dan frekuensi relatif dari perbedaaan data suhu ruang

dengan hasil pendugaan ... 140 34 Hasil pendugaan luas dinding instalasi yang terkena radiasi surya dari

tiga kali pengamatan. (a) dinding timur, (b) dinding utara dan (c)

dinding barat ... 141 35 Perubahan suhu udara dalam ruang instalasi penyimpanan dan

perbandingannya dengan suhu lingkungan ... 143 36 Sebaran suhu udara pendingin pada ketinggian 1/3 dari lantai ruang

instalasi penyimpanan dingin ... 144 37 Sebaran kelembaban relatif udara pendingin pada jarak 1/3 bagian

tinggi ruangan dari lantai ... 145 38 Perubahan suhu udara didalam ruang penyimpanan berdasarkan pada

(20)

(c) ... 147 40 Perubahan suhu dan kelembaban relatif udara di dalam gudang ... 168 41 Perbedaan (%) kehilangan berat antara sayur-sayuran yang disimpan

dalam ruang instalasi dengan dalam gudang, hasil percobaan I ... 171 42 Keranjang sayur dengan bagian atasnya ditutup dengan kertas koran

yang dibasahi ... 173 43 Perbedaan (%) kehilangan berat antara sayur-sayuran yang disimpan di

dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang, hasil percobaan II ... 175 44 Perbedaan (%) kehilangan berat antara sayur-sayuran yang disimpan di

dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang, hasil percobaan III ... 177 45 Perbedaan mutu (%) antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam

ruang instalasi dengan di dalam gudang pada percobaan penyimpanan I 179 46 Perbedaan mutu (%) antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam

ruang instalasi dengan di dalam gudang pada percobaan penyimpanan II 181 47 Perbedaan mutu (%) antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam

ruang instalasi dengan di dalam gudang pada percobaan penyimpanan

III ... 182 48 Sayur sawi putih yang tidak dikemas dan dikemas dikemas dengan

stretch film ... 183 49 Perbedaan kehilangan berat rata-rata (%) antara sayur-sayuran yang

dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam

gudang. Percobaan I (a), percobaan II(b), dan percobaan III (c) ... 185 50 Perbedaan kehilangan mutu rata-rata (%) antara sayur-sayuran yang

dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam

gudang. Percobaan I (a), percobaan II (b), dan percobaan III (c) ... 187 51 Kehilangan berat sayur-sayuran dalam keranjang sayur yang ditumpuk,

sayur sawi putih (a), selada keriting (b) dan kaelan (c). Keranjang atas

(A), keranjang bawah (B), keranjang tengah (T) ... 189 52 Kehilangan berat sayur-sayuran di dalam keranjang sayur yang

ditumpuk. Sayur sawi putih (a), selada keriting (b). Keranjang paling atas (A), tengah (T) dan bawah (B) pada sawi putih. Keranjang tengah lebih atas (Ta), tengah lebih bawah (Tb) pada sayur selada. keriting ... 190 53 Susunan pipa didalam alat penukar panas (a) in-line dan (b) staggered

(Holman 1997; Chapman 1974) ... 199 54 Pengaruh peningkatan laju aliran massa air sebesar 1% terhadap biaya

(21)

(c) dan 5000 kg (a) ... 214 56 Pengaruh keefektivan alat penukar panas terhadap luas permukaan

pindah panas alat penukar panas pada beban 4000 (a), dan 5000 (b) ... 215 57 Sumbangan rata-rata panas radiasi, panas konveksi dan panas evaporasi

atau kondensasi terhadap panas total air rata-rata di dalam kolam atap di dataran tinggi (a) dan di dataran rendah (b) ... 241 58 Suhu langit malam hari di dataran tinggi dan di dataran rendah ... 242 59 Hasil pendugaan dan hubungannya dengan siang hari selama

penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan

dingin ... 244 60 Besar radiasi surya yang mengenai permukaan dinding tembok dan

atap instalasi dalam satu tahun. Dinding Selatan (a), Timur (b), Utara

(c), Barat (d), dan atap (e) ... 249 61 Sayur-sayuran disimpan di dalam tong-tong sayur yang ditumpuk di

dalam instalasi penyimpanan dingin ... 250 62 Perubahan panas pernapasan (Qr) dan panas sensibel (Qs) selama

penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan

dingin tanpa pengaturan suhu penyimpanan ... 252 63 Perubahan panas pernapasan (Qr) dan panas sensibel (Qs) selama

penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan

dingin dengan pengaturan suhu penyimpanan ... 252 64 Perubahan suhu di dalam ruang penyimpanan dengan pengaturan

logika fuzzy (kiri) dan perubahan daya kipas, mesin pendingin

kompresi uap dan daya total dengan pengaturan logika fuzzy (kanan) 253 65 Skema pengaturan otomatis laju aliran udara dan tingkat pendinginan

(22)

Halaman

1 Penurunan persamaan penduga nilai h dengan pendekatan analitis ... 270 2 Pendugaan nilai h dari data hasil percobaan ... 273 3 Nilai MBE, RMSE, % kesalahan dalam menduga radiasi langit ... 274 4 Nilai MBE, RMSE, % kesalahan pendugaan emisivitas ... 276 5 Nilai MBE, RMSE, % kesalahan pendugaan suhu langit pada

pendugaan emisivitas langit terbaik ... 278 6 Skema alat ukur suhu termokopel dengan prinsip kerja cold and hot

juction ... 279 7 Skema, konstruksi, cara kerja dan kalibrasi alat ukur kecepatan angin ... 281 8 Komposisi dinding tembok bangunan instalasi penyimpanan dingin ... 284 9 Beberapa jenis sayur-sayuran, metode precooling, penyimpanan yang

(23)

m laju aliran massa (kg/s)

A intensitas radiasi surya ekstraterestrial (W/m2) A luas permukaan pindah panas (m2)

A luas bidang kontak (m2) a, b, c konstanta

a0, a1, k koefisien (persamaan 277)

As luas penampang (m2)

atm atmosfir

B koefisien ekstensi radiasi surya (1/massa udara) C koefisien tidak berdimensi

C laju kapasitas panas (-) c2, c3 konstanta empiris

Ca,F koefisien awan

cp panas jenis (kJ/kgoC)

cpm panas jenis udara lembab (J/kgK)

d diameter pipa(m)

DAB difusivitas dua jenis fluida (m2/s)

f, e faktor gesekan (-)

G radiasi normal surya (W/m2, MJ/m2-jam) g gaya gravitasi (m/s2)

Gon radiasi normal di luar angkasa

H kelembaban mutlak (kg uap air/kg udara kering) h koefisien pindah panas konveksi (W/m2oC) h ketinggian permukaan (m)

hD konstanta proposionalitas (kg/m2)

hfg panas laten penguapan (kJ/kg)

I radiasi surya (W/m2)

jD pindah massa tidak berdimensi = St.Sc2/3.

jH pindah panas tidak berdimensi = St.Pr2/3

k ketinggian awan

k koefisien pindah panas konduksi (W/moC)

km koefisien pindah massa (kg-mol/s.m2.Y’ atau kg-uap air/s.m2.Y’)

L dimensi panjang (akar pangkat 3 dari volume bangunan), panas radiasi (W)

L panjang (m)

l panjang bidang datar (m)

L0 panas radiasi saat langit cerah (W)

m massa (kg)

n ketertutupan awan (0 – 1)

n hari dalam tahun (persamaan 282)

N jumlah

nh fraksi awan rendah sedang

nl, nm, nn awan ketinggian rendah, sedang dan tinggi

(24)

0

Pr bilangan Prandtl (-) Pt tekanan operasi (atm)

Q panas (W)

q jumlah lapisan, fluks panas (W/m2)

r jari-jari pipa (m)

R tetapan gas universal (m3.atm/kg-mol.K) R2 koefisien determimasi

Re bilangan Reynolds (-) Rex bilangan Reynolds lokal

RH kelembaban relatif (%) S radiasi gelombang pendek Sc bilangan Schmidt (-) Sh bilangan Sherwood (-) St bilangan Stanton (-) T suhu (K), atau (oC)

t waktu (s), tangki (persamaan 308)

U koefisien pindah panas keseluruhan (W/m2oC)

V, u, v kecepatan angin (m/s) V volume tangki (m3)

W daya (W)

X titik koordinat kartisius

x ke arah sumbu x, tebal lapisan (m, persamaan 302) y tebal grid, ke arah sumbu y (m)

z panjang pipa (m) z ketinggian tempat (m) Subskrip

∞ udara

a udara, efektif all keseluruhan

b “bulk”, radiasi langsung c cerah, dingin

cl awan

cond kondensasi conv konveksi

d baur

db bola kering

DLR radiasi gelombang panjang ke bawah DN tegak lurus

dp titik embun f “film”, kipas

fl fluida

g udara

h panas

(25)

l besar

m campuran

misc macam-macam

n netto

o di luar

out keluar

p kolam

p titik pada bidang p produk, pompa

r ruangan

rad radiasi

ref mesin pendingin kompresi uap resp pernapasan

s langit, penjenuhan, surya (persamaan 295-300) s lapisan awan, kecil

sec penampang melintang sur permukaan

tot total

v uap air

w air

wb bola basah wl dinding

x lokal

x ke arah sumbu x y ke arah sumbu y

z zenith

Huruf Latin

difusivitas (m2/s)

sudut ketinggian surya (o) penyerapan (-) (persamaan 301)

sudut azimut (o)

kekentalan (Pa)

kemiringan permukaan benda (o)

emisivitas, keefektivan (-) efisiensi (-)

sudut insiden (o), waktu pendinginan (s, persamaan 353) ρ densitas (kg/m3)

(26)

Latar Belakang

Produksi sayur-sayuran di Indonesia dari tahun ke tahun secara umum terus meningkat. Terlihat di dalam tabel bahwa produksi sayur-sayuran didominasi sayur-sayuran jenis kubis, kentang dan cabe. Menurut White et al. (2007) pada tahun 2005 Indonesia mengekspor sayur-sayuran berupa kubis, kentang dan jamur tetapi jumlah yang diekspor hanya sebesar 0.2% dari produksi total. Sementara itu, di saat yang sama Indonesia mengimpor banyak jenis sayur-sayuran dan beberapa diantaranya langsung diterbangkan dari negara pengekspor untuk konsumsi supermarket, hotel dan restoran. Sayur-sayuran utama yang diimpor pada tahun 2005 diantaranya adalah bawang putih dan bawang merah dari China.

Tabel 1 Produksi beberapa jenis sayur-sayuran di Indonesia tahun 2002 – 2007 (ton)a

Jenis sayur 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Bawang daun 315 132 345 720 475 571 501 437 571 268 479 924 Bawang merah 766 572 762 795 757 399 732 609 794 931 802 810 Bawang putih 46 393 38 957 28 851 20 733 21 050 17 312 Bayam 71 011 109 423 107 737 123 785 149 435 155 862 Bunga kol - 86 222 99 994 112 927 135 518 124 252

Cabe 635 089 1 066 722 1 100 514 1 058 023 1 185 047 676 827 Kentang 893 824 1 009 979 1 027 040 1 009 619 1 011 911 1 003 732 Kubis 1 232 843 1 348 433 1 432 814 1 292 984 1 267 745 1 288 738 Lobak cina 7 779 26 313 30 625 54 226 49 344 42 076 Mentimun 406 141 514 210 477 716 552 891 598 890 581 205 Terong 272 700 301 030 312 354 333 328 358 095 390 847 Tomat 573 517 657 459 626 872 647 020 629 744 635 475 Wortel 282 248 355 802 423 722 440 002 391 371 350 170

aBPS (2008).

(27)

besar dari angka tersebut dan mencapai 10-20%. Perkiraan tingkat kerusakan yang lebih besar ini didasarkan pada kenyataan adanya pembusukan atau tidak dapat dikonsumsi karena teknologi pengolahan yang kurang baik.

Berdasarkan pada data tersebut di atas, maka usaha-usaha untuk memperta-hankan hasil pertanian, terutama hasil hortikultura seperti sayur-sayuran, menjadi prioritas untuk dilakukan. Salah satu cara mengurangi kerusakan dan penurunan mutu adalah dengan menerapkan teknologi pendinginan dalam penyimpanan sayur-sayuran segar.

Penyimpanan dingin sayur-sayuran dengan menggunakan mesin pendingin kompresi uap tidak dapat diterapkan di daerah-daerah sentra produksi sayur-sa-yuran yang belum terjangkau aliran listrik. Disamping membutuhkan daya listrik, mesin pendingin kompresi uap saat ini masih menggunakan refrigeran yang tidak ramah lingkungan seperti senyawa-senyawa freon. Menurut Salas (1998), sesuai dengan Protokol Montreal yang mengatur produksi dan penggunaan senyawa-senyawa freon, freon digolongkan sebagai senyawa-senyawa yang dapat merusak lapisan ozon (Ozone Depleting Substances, ODS) dan berpotensi menyebabkan pemanasan global (Global Warming Potential, GWP).

Berdasarkan pada kesepakatan Protokol Kyoto sudah semakin banyak jenis freon yang dibatasi atau dilarang penggunaannya. Kelemahan dari mesin pendingin kompresi uap yang menggunakan R12 atau R22, contoh-contoh dari zat pendingin freon, adalah zat-zat ini sangat berpengaruh pada penipisan lapisan ozon, sehingga sejak beberapa tahun yang lalu penggunaannya dibatasi. Disamping itu, mesin pendingin membutuhkan energi fosil yang sifatnya tidak terbarukan yang semakin lama harganya semakin mahal (Tabel 2) dan juga menghasilkan emisi gas rumah kaca.

(28)

Tabel 2 Harga jual listrik rata-rata per kelompok pelanggan (Rp/kWh) tahun 1995-2006a

Tahun RT Bali Industri RT Indonesia Industri

2006 622.42 714.92 571.12 624.23

2005 614.15 685.10 563.05 569.87

2004 609.34 684.69 557.76 559.15

2003 574.66 652.61 522.48 530.32

2002 415.67 553.20 392.79 442.94

2001 286.74 421.72 253.65 361.67

2000 227.78 356.05 207.34 302.52

1999 203.68 260.77 193.8 208.56

1998 189.44 230.78 184.40 201.01

1997 163.00 191.51 161.65 149.70

1996 159.77 187.47 158.91 146.16

1995 157.59 186.26 156.83 144.79

aPLN (2009).

Dilain pihak, sentra-sentra produksi hortikultura pada umumnya berada di dataran tinggi yang udaranya dingin sepanjang malam hari. Udara dingin ini ber-potensi untuk dimanfaatkan mendinginkan produk dengan menerapkan metode pendinginan nokturnal (McVeigh 1984; Kamaruddin 1997; CREATA-IPB 2000; Kamaruddin 2007). Desa Candikuning di Bedugul, Bali, umpamanya, memiliki potensi lingkungan berupa suhu udara yang rendah pada malam hari. Dilaporkan pada bulan Oktober, Nopember, dan Desember 1997 suhu udara malam hari ber-turut-turut mencapai 13.7, 15.9, dan 16.3oC.

(29)

penyimpanan air dingin. Kajian pengembangan unit pendinginan di Candikuning ini kemudian diteruskan oleh Trisasiwi (2000).

Hasil penelitian Trisasiwi (2000) dan Suryana (2000) memperlihatkan bah-wa kemampuan pendinginan nokturnal dan menara pendingin tidak cukup untuk menurunkan suhu ruang penyimpanan pada siang hari. Untuk mengatasi keadaan ini Kamaruddin et al. (1998) mengusulkan agar sistem yang sudah ada dipadukan dengan metode pendinginan adsorpsi. Karena sulitnya mempertahankan kondisi hampa yang disyaratkan oleh metode pendinginan dengan kombinasi silika-gel dan metanol, penerapan pendinginan adsorpsi akhirnya berhenti pada prototipe skala laboratorium (Kamaruddin et al. 1998). Sebagai gantinya digunakan mesin pendingin kompresi uap. Upaya penambahan alat pendingin pembantu juga dise-babkan karena makin banyaknya petani Bali menanam sayur-sayuran dan buah-buahan beriklim dingin seperti kubis, stroberi, dll. yang membutuhkan suhu penyimpanan yang lebih rendah, bahkan sampai dibawah 0oC. Penggabungan

ke-mampuan pendinginan antara pendinginan nokturnal dengan mesin pendingin kompresi uap untuk digunakan dalam penyimpanan dingin disebut sebagai sistem pendinginan nokturnal hibrida.

Untuk dapat meningkatkan performansi unit pendingin di Candikuning, maka dalam penelitian ini dilakukan penyempurnaan rancang-bangun dan simula-si serta simula-simulasimula-si simula-sistem secara mendalam tentang pengaruh penyempurnaan simula-sistem dan penambahan mesin pendingin kompresi uap untuk mencapai sasaran suhu penyimpanan sayur-sayuran beriklim dingin. Lebih lanjut, dalam penelitian ini dilakukan upaya optimisasi biaya konstruksi instalasi pendingin hibrida sehingga biaya investasi dapat ditekan. Disamping itu, dilakukan upaya meminimalkan daya listrik yang dibutuhkan untuk mengurangi biaya penggunaan energi listrik dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Tujuan Penelitian

(30)

1. Potensi pendinginan nokturnal di dataran tinggi dan di dataran rendah dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pemanfaatannya,

2. Performansi instalasi penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal hi-brida,

3. Penyimpanan sayur-sayuran dalam instalasi penyimpanan dingin dan perban-dingannya dengan penyimpanan di luar instalasi,

4. Optimisasi biaya investasi awal dan total instalasi penyimpanan dingin, 5. Kelayakan usaha penjualan sayur-sayuran, dan

6. Sumbangan pendinginan nokturnal dan kemungkinan pengembangan instalasi penyimpanan dingin.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada pemahaman yang lebih baik tentang pemanfaatan potensi alam, khususnya pendinginan nok-turnal, berdasarkan pada data yang berhasil dikumpulkan. Disamping itu, pende-katan-pendekatan teoritis yang digunakan dalam melakukan pengkajian diharap-kan mampu memperkaya dan bermanfaat dalam memajudiharap-kan khasanah keilmuan.

Demikian pula hasil penelitian ini diharapkan dapat berdampak langsung kepada petani dan pedagang dalam memajukan usahanya. Terakhir, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pijakan bagi para pembuat kebijakan dalam mengelola usahanya.

Ruang Lingkup Penelitian

(31)

penggunaan: satu buah untuk pendinginan nokturnal dan dua buah untuk mesin pendingin kompresi uap. Alat penukar panas pendinginan nokturnal berfungsi sebagai alat pendinginan pendahuluan (precooler) udara yang berasal dari dalam ruang penyimpanan. Dua alat penukar panas lainnya berfungsi sebagai evaporator yang akan menurunkan suhu udara pendingin lebih lanjut sehingga mencapai sa-saran suhu penyimpanan. Ketiga alat penukar panas ini dipasang di dalam saluran udara di bagian rumah penukar panas.

Untuk dapat menghitung kemampuan pendinginan nokturnal maka koefisien pindah panas konveksi antara permukaan air kolam dengan udara ditetapkan dengan percobaan. Demikian pula suhu langit diduga dengan menggunakan model-model empiris dan analitis yang dikoreksi dengan menggunakan kondisi awan setempat.

Nilai-nilai parameter termal alat penukar panas pendinginan nokturnal dite-tapkan dengan percobaan untuk dapat menghitung performansi pendinginan nok-turnal. Gambar 1 menyajikan diagram alir penelitian penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida.

Gambar 1 Diagram alir penelitian penyimpanan dingin dengan sistem pendi-nginan nokturnal hibrida.

Pendinginan nokturnal

Instalasi penyimpanan

dingin

Mesin pendingin kompresi uap

Saluran udara

Penyimpanan dingin

sayur-sayuran Alat penukar

panas Penetapan h

Suhu langit

Beban panas surya Pelembaban

udara Parameter

termal

[image:31.612.146.490.420.640.2]
(32)

Potensi pendinginan nokturnal dikaji, model-model pendugaan untuk radiasi gelombang panjang langit ke bawah diuji dengan data yang berhasil dikumpulkan dan dibuat parameterisasi baru dari faktor yang paling berpengaruh. Suhu langit menentukan kemampuan pendinginan nokturnal dan suhu langit dipengaruhi oleh emisivitas langit. Kedua parameter ini, emisivitas dan suhu langit diukur dengan pendekatan teoritis dan dibandingkan dengan hasil pendugaan dari model-model yang ada. Selanjutnya model-model penduga dibuat berdasarkan pada data meteo-rologi setempat baik untuk dataran tinggi maupun untuk dataran rendah.

Udara dingin yang kehilangan air karena terembunkan pada permukaan alat penukar panas akan menjadi udara dingin yang kering. Bila udara dingin kering ini dihembuskan pada permukaan sayur-sayuran maka sayur-sayuran akan menja-di layu dalam waktu pendek dan akan menjamenja-di kering pada penghembusan dalam waktu lama. Untuk mengatasi masalah udara dingin dengan nilai kelembaban rela-tif rendah dan untuk mendapatkan udara dingin lembab maka dibuat alat pelem-bab. Alat pelembab ini dipasang di dalam saluran udara di bagian saluran setelah rumah penukar panas. Disamping itu, cara lain juga dicoba untuk melindungi sayur-sayuran yang disimpan dari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Seba-gai pembanding dilakukan pula percobaan-percobaan penyimpanan sayur-sayuran di gudang perusahaan.

(33)

Keterkaitan antar Bab

Dalam upaya menjelaskan peran pendinginan nokturnal pada khususnya dan pendinginan nokturnal hibrida pada umumnya, penelitian dilakukan dalam bentuk percobaan-percobaan yang saling terkait. Pendekatan teoritis banyak dilakukan dan asumsi-asumsi banyak digunakan untuk menyederhanakan permasalahan. Data yang sudah dikumpulkan diolah dan digunakan untuk melakukan validasi model matematika, sebagai dasar melakukan optimisasi, analisis finansial dan se-bagai dasar uraian prospek pengembangan pemanfaatan instalasi pendinginan nokturnal hibrida. Penyajian data, hasil olahan dan pembahasan dibagi dalam be-berapa bab.

Bab dua membahas tentang potensi pendinginan nokturnal, penentuan dan pengujian model penduga radiasi gelombang panjang langit ke bawah, perban-dingan radiasi ini di dataran tinggi dengan di dataran rendah, dan parameterisasi variabel penentu dan pengajuan model penduga radiasi gelombang panjang langit ke bawah dengan menggunakan parameter meteorologi setempat.

Bab tiga berisi tentang kajian emisivitas langit sebagai variabel penentu suhu langit, perbandingan antara suhu langit di dataran tinggi dan di dataran ren-dah dan hasil parameterisasi variabel penentu emisivitas langit dan uraian tentang model penduga berdasarkan parameter lokal.

Uraian tentang instalasi penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal hibrida dan penentuan komponen-komponen penting, pelembaban udara dingin, faktor lingkungan, performansi saluran udara, dan validasi model matematika untuk penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal hibrida dimuat di dalam bab empat.

Bab lima mengandung pemaparan dan pembahasan hasil-hasil penyimpanan sayur-sayuran di dalam instalasi penyimpanan dingin dan perbandingannya dengan penyimpanan sayur-sayuran di dalam gudang tanpa dan dengan penge-masan sayur-sayuran.

(34)

biaya investasi minimum untuk komponen-komponen sistem instalasi. Dibahas pula pengaruh nilai parameter termal alat penukar panas pendinginan nokturnal terhadap biaya investasi awal.

(35)

DI DATARAN RENDAH

Pendahuluan

Udara dingin di dekat permukaan tanah atau air menjadi dingin di malam hari disebabkan oleh peristiwa pendinginan permukaan bumi yang berlangsung sepanjang malam. Pendinginan yang terjadi di malam hari disebut sebagai pendi-nginan nokturnal. Menurut Bird et al. (1960) setiap benda yang secara langsung dihadapkan ke langit malam hari akan didinginkan di bawah suhu lingkungan ka-rena panas benda diradiasikan ke langit. Kondisi ini dapat digunakan untuk mem-bekukan air dangkal di dalam wadah yang diisolasi dengan baik. Dalam bentuk persamaan umum, jumlah panas yang diradiasikan oleh benda adalah:

4

AT

Q (1)

Pada kenyataannya pendinginan nokturnal tidak semata-mata ditentukan oleh radiasi malam hari. Pada tingkat tertentu, faktor-faktor lain juga mempenga-ruhi pendinginan seperti pendinginan konveksi dan evaporasi. Boon-Long (1992) menjelaskan pendinginan transien pada permukaan dekat tanah pada malam hari. Pada awalnya suhu benda lebih tinggi dari suhu lingkungan. Permukaan benda akan didinginkan dengan adanya radiasi ke langit, konveksi ke udara lingkungan dan evaporasi bila permukaan benda basah.

Saat suhu benda lebih tinggi daripada suhu udara, berlangsung pendinginan konveksi. Bila suhu benda terus turun di bawah suhu bola basah lingkungan maka pendinginan evaporasi akan berhenti. Pendinginan selanjutnya hanya ditentukan oleh radiasi ke langit yang bersuhu Ts. Secara teori pendinginan ini terus dapat

(36)

Pada proses pendinginan atau pemanasan secara konveksi, besar pindah panas secara konveksi ditentukan oleh salah satu faktor yaitu koefisien pindah panas konveksi. Untuk dapat menghitung pengaruh pendinginan atau pemanasan secara konveksi maka nilai koefisien ini perlu ditetapkan. Banyak model-model penduga nilai koefisien pindah panas konveksi yang sudah diajukan dan diguna-kan, tetapi model-model tersebut bersifat empiris. Bila model empiris digunakan di luar daerah atau lokasi pengambilan data sebagai dasar pembuatan model terse-but, maka akan terjadi kesalahan pendugaan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan penetapan koefisien pindah panas konveksi.

Pendinginan nokturnal terjadi karena radiasi gelombang panjang dari benda-benda di permukaan bumi. Radiasi gelombang panjang dari benda-benda-benda-benda ini tidak hanya berlangsung pada malam hari tetapi berlangsung pula pada siang hari. Disamping itu, radiasi gelombang panjang terjadi pula dari awan dan atmosfir bumi. Atmosfir berfungsi sebagai penyerap radiasi gelombang panjang yang dekat dengan permukaan bumi. Kajian-kajian menunjukkan bahwa permukaan bumi akan 30-40oC lebih dingin bila bumi tidak memiliki atmosfir. Kontribusi penyerap yang berada di atmosfir dalam menyerap radiasi gelombang panjang tidak terbatas hanya pada uap air yang menyerap pada panjang gelombang 5.3-7.7 m, tetapi juga ozon (9.4-9.8 m), karbon dioksida (13.1-16.9 m) dan awan untuk semua panjang gelombang (Margolin, 1999). Berger dan Cubizolles (1992) menyebutkan dari semua penyusun atmosfir, uap air yang paling penting dalam mempengaruhi radiasi atmosfir.

(37)

dilakukan parameterisasi pengaruh awan langit malam dan memasukkannya ke dalam model-model penduga radiasi gelombang panjang untuk langit cerah.

Arifin (1988) melaporkan bahwa di kota Surabaya untuk bulan Oktober dan Nopember, kemampuan pendinginan nokturnal mencapai 50-59 W/m2 dengan nilai rata-rata 54 W/m2. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Trisasiwi (2000) di Cipanas. Dilaporkan bahwa kemampuan pendingin nokturnal di daerah tersebut mencapai nilai minimum 60 W/m2 dan maksimum 61 W/m2.

Hasil ini menarik untuk dicermati karena kemungkinan memberi arti bahwa dua daerah yang berbeda lokasi, terutama ketinggiannya dari permukaan laut, mempu-nyai nilai kemampuan pendinginan nokturnal yang hampir sama. Kota Surabaya terletak di daerah dataran rendah, sedangkan Cipanas berada di dataran tinggi.

Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, dalam penelitian ini dila-kukan penetapan dan perbandingan antara kemampuan pendinginan nokturnal di dataran tinggi dengan di dataran rendah. Dilakukan penelaahan terhadap potensi ini berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan penerapannya dalam pendingin-an dpendingin-an penyimppendingin-anpendingin-an dingin.

Penelitian ini menghasilkan pula kumpulan data yang berupa paremeter-pa-rameter meteorologi setempat yang mudah diukur. Berdasarkan pada paparemeter-pa-rameter- parameter-parameter ini dibuat model penduga radiasi gelombang panjang langit ke bawah.

Penetapan Koefisien Pindah Panas Konveksi (h)

Persamaan Empiris Penduga h. Persamaan empiris yang berupa

persama-an linier ypersama-ang diturunkpersama-an oleh Watmuff et al. diacu dalam Duffie dpersama-an Beckmpersama-an (1980) untuk benda berupa lempengan dengan luas 0.5 m2, adalah

h = 2.8 + 3.0V (2)

(38)

Dalam mengkaji beban panas bangunan, Parker (2005) menggunakan per-samaan empiris linier yang disarankan oleh Burch dan Luna berikut ini:

h = 2.8 + 4.8V (3)

Lunde (1980) juga mengajukan persamaan empiris linier untuk menduga nilai h untuk permukaan datar, yaitu:

h = 4.5 + 2.9V (4)

Untuk melakukan pemodelan cerobong surya, Ong dan Chow (2003) meng-gunakan persamaan empiris linier yang diajukan oleh McAdams (Duffie dan Beckman 1980). Ong (2003) dan Pretorius dan Kröger (2006) menggunakan persamaan yang sama untuk menguji performansi cerobong surya. Abdel-Rehim dan Lasheen (2005) juga menggunakan persamaan yang sama untuk menentukan performansi desalinasi surya. Persamaan ini juga digunakan oleh Kurt et al. (2000) dalam membuat kajian kolam surya. Persamaan empiris linier McAdams, seperti dinyatakan di bawah ini, semula dibuat untuk menduga nilai h untuk lem-pengan dengan luas 0.5 m2. Suhardiyanto et al. (2007) juga memilih persamaan ini dalam pengembangan model pindah panas untuk rumah kaca.

h = 5.7 + 3.8V (5)

Sebagaimana diuraikan diatas, penggunaan persamaan empiris tersebut tidak dibatasi dengan kecepatan angin. Tetapi menurut Trinuyuk et al. (2006), persamaan empiris (2) hanya berlaku dalam kisaran 0-7 m/s. Persamaan ini dengan kisaran kecepatan angin tersebut mereka gunakan untuk menguji perfor-mansi fotovoltaik. Demikian pula dengan persamaan empiris linier yang dilapor-kan oleh Clark dan Berdahl, h = 2.8 + 0.76V, berlaku pada kecepatan angin 1.5-5 m/s untuk pendugaan h pada permukaan radiator (Dimoudi dan Anroutsopoulos, 2006). Juga persamaan empiris liniernya, h = 1.8 +3.8V, berlaku pada kisaran kecepatan angin 1.25-4.5 m/s untuk pendugaan nilai h pada permukaan bangunan (Erell dan Etzion 2000). Penggunaan persamaan empiris h = 2.8 + 3.0V juga diba-tasi pada kisaran 0 ≤ V ≤ 7 m/s oleh Timoumi et al. (2004) saat mereka menggunakan persamaan ini untuk pemodelan kolektor lempeng datar berenergi surya.

(39)

(2000) dalam mengkaji pindah panas pada permukaan beton menggunakan persa-maan empiris linier dan pangkat FEMMASSE

h = 5.6 + 4.0V (V <= 5 m/s) dan (6)

h = 7.2V0.78 (V > 5 m/s) (7)

Disamping hubungan linier, beberapa peneliti mengajukan hubungan tidak linier seperti pangkat dan bentuk hubungan yang lebih kompleks. Duffie dan Beckman (1980) menyarankan pendugaan nilai h untuk konveksi paksa pada per-mukaan bangunan dengan mengunakan persamaan h = 8.6V0.6/L0.4 dan L adalah

akar pangkat tiga dari volume bangunan.

ASHRAE (Loveday dan Taki 1996) menganjurkan penggunaan persamaan berpangkat h = 18.6V0.605 untuk menduga nilai h untuk permukaan bangunan. Li dan Lam (2000) dalam perhitungan beban panas surya memanfaatkan persamaan yang diajukan oleh Loveday dan Taki (1996).

Pendugaan Nilai h dengan Pendekatan Analitis. Buiar dan Moura (2004)

membuat pendekatan analitis dalam menduga nilai h dengan didasarkan pada hukum pendinginan Newton. Lebih lanjut mereka melaporkan bahwa perbedaan antara hasil pendekatan analitis dengan hasil percobaan sangat kecil dan kecen-derungan dari kedua nilai sama. Zhai dan Chen (2004) mengutip pendekatan ana-litis berdasarkan pada lapisan batas kecepatan. Hasil analisis dalam menetapkan ketebalan lapisan batas kecepatan () merupakan kebalikan dari bilangan Reynolds.

x

x Re

92 . 4 

(8)

Persamaan ini mirip dengan persamaan (L4) dalam Lampiran 1. Pendekatan analitis juga dilakukan oleh Khan et al. (2006) dalam menghitung pindah panas konveksi pada rangkunan pipa tabung berdasarkan pada analisis lapisan batas. Model mereka dapat diterapkan pada rangkunan tabung dengan susunan pipa satu garis sejajar atau selang-seling pada kisaran luas nilai bilangan Reynolds dan Prandtl.

Pendugaan Nilai h dari Data Percobaan. Hagishima dan Tanimoto

(40)

yang diperoleh dari analisis regresi terhadap diagram serak dari data mereka adalah:

h = 8.18 +2.28V (9)

Clear et al. (2003) melaporkan bahwa dari diagram serak data hasil percoba-an ypercoba-ang mereka lakukpercoba-an diketahui h merupakan fungsi dari kecepatan angin dengan hubungan linier. Demikian pula Loveday dan Taki (1996) dalam menduga nilai h menghubungkan data hasil percobaan mereka dan diperoleh persamaan:

h = 16.21V0.452 (10)

Kesetimbangan massa dan energi digunakan dalam mengukur nilai h dari data hasil percobaan. Rahman dan Kumar (2006) menggunakan kesetimbangan massa dan energi dalam menduga nilai h untuk pengeringan bahan-bahan yang mengerut. Clear et al. (2003) menggunakan kesetimbangan energi dalam mendu-ga nilai h denmendu-gan mempertimbangkan panas radiasi.

Pendinginan Nokturnal

Kenyataan akan keberadaan efek pendinginan nokturnal sudah diketahui sejak lama. Bird et al. (1960) menyatakan bahwa bila suatu benda dihadapkan se-cara langsung ke langit malam hari, benda itu akan didinginkan di bawah suhu lingkungan karena benda meradiasikan panas ke langit. Efek pendinginan ini dapat digunakan untuk membekukan air dangkal di dalam suatu wadah yang di-isolasi dengan baik. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Chen et al. (1991) yang menyatakan bahwa langit yang dingin dapat digunakan sebagai heat sink dari radiasi suatu benda. Potensi pendinginan ini mungkin menjanjikan bila di-gunakan sebagai alternatif teknik pendinginan konvensional. Jika permukaan sua-tu benda mengemisikan radiasi melebihi radiasi yang diserap maka permukaan benda itu akan dingin.

(41)

di musim panas. Tetapi jika langit ditutup awan rendah maka suhu langit mende-kati suhu lingkungan.

Parker dan Sherwin (2007) melaporkan bila suatu permukaan benda di daerah gurun pasir dihadapkan ke langit cerah malam hari maka benda itu akan di-dinginkan dengan kemampuan pendinginan 70 W/m2. Sebagaimana diungkap oleh McVeigh (1984), Parker dan Sherwin (2007) juga mendapatkan bila di daerah lembab dengan uap air lebih besar di langit, menyebabkan kemampuan pendinginan turun menjadi 60 W/m2. Demikian pula bila 50% langit malam hari

tertutup awan maka kemampuan pendinginan turun menjadi 40 W/m2 dan ke-mampuan pendinginan hanya 7 W/m2 bila langit tertutup awan sepenuhnya.

Selanjutnya Parker dan Sherwin (2007) melaporkan bahwa secara teoritis selama 10 malam pendinginan nokturnal dengan kemampuan pendinginan 250-450 W/m2 dapat dimanfaatkan secara efektif, tetapi kondisi ini tidak mudah

di-capai. Atap yang dingin mendapat panas konveksi dari angin yang mengurangi potensi tersebut. Pada kecepatan angin 0.9 m/s potensi pendinginan nokturnal menurun setengahnya. Demikian pula pengembunan air menurunkan potensi pen-dinginan nokturnal. Disimpulkan bahwa hanya sebagian potensi penpen-dinginan dapat dimanfaatkan karena adanya tambahan panas dari lingkungan.

Kemampuan pendinginan nokturnal di Surabaya pada kondisi cerah pada bulan Oktober adalah 54-59 W/m2 dengan nilai rata-rata 56 W/m2. Untuk kondisi langit berawan dan hujan pada bulan Nopember kemampuan pendinginan nok-turnal mencapai 50-53 W/m2 dan rata-rata 51 W/m2 (Arifin 1988). Trisasiwi (2000) melaporkan kemampuan pendinginan nokturnal di Bogor mencapai 42 W/m2 dan pada saat langit berawan kemampuan pendinginan hanya mencapai

38.2 W/m2. Di Cipanas kemampuan pendinginan nokturnal untuk langit berawan mencapai 59.8 W/m2 dan mencapai 60.9 W/m2 pada saat langit cerah. Dilaporkan pula pada tempat yang berbeda seperti di Batu Malang kemampuan pendinginan nokturnal mencapai 47.2 W/m2 pada bulan Juni.

(42)

yang didinginkan. Suatu atap dengan luas 225 m2 akan memiliki kemampuan

pendinginan sebesar 6000-14000 W atau sekitar 1.7-4.0 TR (ton refrigerasi) untuk setiap musim panas (Parker dan Sherwin 2007).

Cara lain banyak dikaji oleh Chen et al. (2001) yang menggunakan air di dalam kolam dalam upaya memanfaatkan potensi pendinginan nokturnal. Arifin (1988) dan Meir et al. (2002) menggunakan radiator dengan air yang mengalir di dalam radiator sebagai media yang didinginkan. Trisasiwi (2000) menggunakan wadah berupa kolam dangkal dan air digunakan untuk menyimpan panas pendi-nginan nokturnal

.

Kowata dan Okuyama (2001) memanfaatkan potensi pendi-nginan nokturnal dengan menggunakan terowongan yang dilapisi dengan plastik ganda untuk melakukan pendinginan pendahuluan sayur-sayuran.

Kamaruddin et al. (1998) dan Trisasiwi (2000) menyebutkan bahwa per-ubahan panas total air dalam kolam dangkal atap dapat dinyatakan dengan persa-maan berikut ini, dengan mengabaikan kondensasi yang terjadi ke dalam air dalam kolam. Persamaan di bawah ini berlaku untuk air kolam yang mengalir dan sejumlah panas memasuki kolam dengan laju aliran massa air mwi.

w s

wa wp

a w

wi pw

wi w

wp w

pw

wp A T T h A T T m c T T

dt dT c

m  4 4      (11)

Radiasi Gelombang Panjang Langit ke Arah Bawah (QDLR). Banyak

se-kali peneliti menyingkat penulisan radiasi gelombang panjang langit ke arah bawah menjadi radiasi atmosfir atau radiasi langit. Dalam tulisan ini radiasi gelombang panjang ke arah bawah digantikan dengan radiasi langit untuk seluruh penulisan, kecuali dianggap perlu untuk menuliskannya secara lengkap. Hal ini dilakukan untuk keseragaman penulisan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan radiasi langit adalah radiasi gelombang panjang langit ke arah bawah.

(43)

seperti ini tidak dapat dilakukan karena harga alat yang sangat mahal dan sangat halus.

Chabangborn et al. (2004) melaporkan bahwa berdasarkan pada data hasil pengukurannya terhadap radiasi langit tahunan berkisar antara 390-440 W/m2 di EGAT Tower dan 320-400 W/m2 di Chiang Mai Thailand. Golaka dan Exell (2004) menyimpulkan dari data hasil pengukurannya bahwa intensitas rendah ra-diasi langit ke bawah terjadi selama musim kering. Rara-diasi langit terendah terjadi selama Januari dan Pebruari dengan nilai 320 W/m2.

Menurut Goss dan Brooks (1956) bila tidak dapat dilakukan pengukuran se-cara langsung maka perlu dicari se-cara untuk menghitung atau menduga radiasi langit. Tabel-tabel radiasi langit tidak dapat digunakan dengan selang kepercayaan tertentu dan juga tidak berlaku umum karena pembuatannya berdasarkan pada kondisi atmosfir lokal. Chabangborn et al. (2004) menyatakan bahwa radiasi ini dapat dihitung dengan tingkat ketepatan tertentu dan tanpa perhitungan rumit dengan menggunakan data meteorologi permukaan bumi. Demikian pula menurut McVeigh (1984), Goss dan Brooks (1956) dan Bárbaro et al. (2006) hubungan empiris sederhana sudah dikembangkan untuk menduga suhu langit dengan meng-gunakan suhu bola kering, kelembaban relatif dan fraksi ketertutupan langit oleh awan. Model empiris dapat digunakan untuk menghitung radiasi langit malam hari jika konstanta model sudah diketahui. Tetapi Chabangborn et al. (2004) me-nekankan bahwa pengamatan jangka panjang dibutuhkan untuk memperoleh kete-patan nilai pendugaan.

Banyak model-model empiris dikembangkan untuk menduga radiasi langit. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam membangun model-model empiris adalah dengan menggunakan anggapan bahwa langit adalah gray body. Dengan anggapan ini langit meradiasikan panas pada suhu absolut lingkungan dekat dengan permukaan bumi dengan emisivitas efektif sebesar a (Ramsey et al. 1981;

Andreas dan Ackley 1982; Pluss dan Ohmura 1997; Marafia et al. 1998; Müller 2001; Golaka dan Exell 2004). Untuk langit cerah hubungan antara radiasi langit dengan suhu lingkungan dan emisifitas efektif adalah:

4 ,c a a

DLR T

(44)

Persamaan ini menerangkan ketergantungan radiasi langit terhadap dua faktor, yaitu emisivitas efektif langit dan suhu absolut lingkungan. Menurut Pluss dan Ohmura (1997) emisivitas efektif langit kira-kira bernilai 0.7 untuk langit cerah dan mendekati satu untuk langit tertutup awan sepenuhnya.

Menurut Goss dan Brooks (1956) model empiris Brunt (1932) untuk radiasi langit malam hari lebih banyak digunakan daripada model eksponensial Ångström karena kesederhanaannya. Persamaan (13) memperlihatkan bentuk umum dari model empiris Brunt (1932). Terlihat bahwa model empiris hanya berisi dua kons-tanta a dan b yang dapat ditentukan dari data hasil percobaan.

4

a v

DLR a b P T

Q   (13)

Crawford dan Duchon (1999) menyatakan bahwa upaya untuk meneliti ke-setimbangan energi di permukaan bumi sering dihalangi oleh ketidakpastian dalam menduga radiasi langit. Masalah utama dari ketidakpastian ini kelihatannya pada pengembangan model yang bersifat empiris untuk suatu lokasi sehingga sering model tidak sesuai bila diterapkan di lokasi lainnya. Brunt (1932), Swimbank (1963), Idso dan Jackson (1969) adalah contoh dari model-model yang bersifat empiris untuk langit cerah.

Dalam menerangkan hubungan radiasi langit dengan suhu lingkungan, Swimbank (1963) menyimpulkan bahwa radiasi langit adalah sebanding dengan perbedaan antara suhu absolut lingkungan pangkat empat dengan suhu langit ab-solut pangkat empat (Tiba dan Ghini 2006). Swimbank membuat hubungan antara radiasi langit Ts4 terhadap tekanan uap air Pv untuk pengukuran di Inggris.

Ke-mudian dari pengamatan di Australia dan di Lautan India, Swimbank menghu-bungkan radiasi langit dengan suhu permukaan absolut pangkat enam (Magrhabi 2007) sebagai berikut:

6 31 .

5 a

DLR T

Q  (14)

(45)

mengutip bahwa Idso pada tahun 1981 mengajukan model penduga radiasi langit dengan memasukkan tekanan uap air disamping suhu lingkungan.

Disamping model-model di atas, model analitis Brutsaert (1975) banyak di-gunakan dan dikembangkan untuk menduga radiasi langit. Menurut Pluss dan Ohmura (1997) Brutsaert mengajukan pemodelan radiasi langit untuk langit cerah berdasarkan pada suhu lingkungan dan tekanan uap air. Magrhabi (2007) menga-takan bahwa salah satu hasil pengembangan model yang diturunkan dari model Brutsaert adalah model Prata (1996).

Tabel 3 merangkum model-model empiris dan model-model analitis yang dikembangkan untuk menduga radiasi langit. Model-model penduga tersebut di-gunakan untuk kondisi langit cerah.

Banyak peneliti melakukan perbandingan diantara model-model penduga ra-diasi langit atau antara model-model penduga dengan hasil pengukuran rara-diasi langit. Goss dan Brooks (1956) membandingkan model empiris Brunt (1932) dengan beberapa hasil pendugaan mengunakan model lain seperti model empiris Ångström. Berdasarkan hasil analisis regresi terlihat bahwa model empiris Brunt baik digunakan untuk menduga radiasi langit. Morgan et al. (1971) melaporkan bahwa model Ångström (1918) dan Brunt (1932) memberikan hasil pendugaan yang paling dekat untuk langit cerah.

Chabangborn et al. (2004) membandingkan model yang dikembangkannya dengan 6 model radiasi langit yang ada untuk langit cerah, tiga diantaranya dengan model empiris Swimbank (1963), Idso-Jackson (1969), dan model empiris Brunt (1932). Chabangborn et al. (2004) melaporkan bahwa hasil pendugaan dari model radiasi langit yang diajukannya memiliki Performansi yang lebih baik dari-pada model-model yang dibandingkan.

(46)

nilai MBE dan RMSE terkecil dengan nilai 4.53 W/m2

Gambar

Gambar 1 Diagram alir penelitian penyimpanan dingin dengan sistem pendi-nginan nokturnal hibrida
Tabel 3 Model-model penduga radiasi langit cerah (lanjutan)
Tabel 3 Model-model penduga radiasi langit cerah (lanjutan)
Tabel 4 Nilai k dan x dari beberapa model empiris radiasi langit keseluruhan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat demografi dan peta masyarakat Indonesia yang notabenenya terdiri dari berbagai budaya, bermacam adat, beragam bahasa. Dalam hal ini pendidikan

Dari hasil simulasi eksisting HEC- RAS untuk debit kala ulang 10 tahun pada saluran drainase jalan Satria dapat dilihat bahwa terjadi genangan pada saluran S7

Metode filtrasi vakum yang dapat digunakan untuk rekristalisasi ammonium perklorat yaitu, dengan corong Buchner, karena kapasitas rekristalisasi ammonium perklorat &gt;10 mL.

Biosorpsi ion Cr(VI) dengan menggunakan biomassa lamun Enhalus acoroides lebih sesuai dengan model isotermal Langmuir dengan nilai kapasitas adsorpsi (Qo) sebesar

Sedangkan untuk user dengan role Bagian Gudang diijinkan untuk mengakses menu Cek Obat dan Daftar Pesanan dimana ketika salah satu nama Apotek atau Rumah Sakit

Cak Nun yang juga dikenal sebagai tokoh budaya yang religius dengan gaya kepemimpinannya membuktikan bahwa Kiai Kanjeng yang mengusung konsep musik yang

Hasil ini memberikan bukti empiris bahwa bukti dimensi reliability dari kualitas pelayanan tentang penggunaan media dan kesesuaian materi diklat dengan tujuan