1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi pembelajaran di sekolah, khususnya Sekolah Dasar (SD) dewasa ini masih banyak yang monoton. Monoton maksudnya selalu itu-itu saja atau tidak ada ragamnya (Tim, 2005:754). Pembelajaran lebih identik dengan membaca, menghafal dan mengingat materi pelajaran. Demikian juga mengajar diibaratkan hanya sebagai proses transfer pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Guru hanya memaknai mengajar sebagai menyampaikan materi, hal ini dapat diamati dalam praksis pembelajaran sehari-hari. Dampak dari hal tersebut, peserta didik menjadi pasif, mudah bosan, mengantuk dan guru mendominasi aktivitas pembelajaran.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ingin mengubah paradigma lama, yaitu guru menjadi tokoh sentral dalam kegiatan pembelajaran ke arah perilaku yang menuju kemajuan, yaitu peserta didik menjadi pusat kegiatan pembelajaran dan guru sebagai fasilitator. KTSP adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (Mulyasa, 2007:19).
2
didik lanjutan tidak menguasai materi bilangan pecahan dengan baik. Sebagai
contoh, ketika guru menerangkan bilangan pecahan melalui peragaan kepada peserta didik dengan membagi sebatang kapur menjadi 2 bagian, guru
berkata, satu batang kapur ini jika dibelah menjadi 2 maka hasilnya . Lalu peserta didik bertanya, “Mengapa setengah?”.
Hal tersebut didukung hasil penelitian The National Assesment of Education Proggess yang menunjukkan bahwa siswa mengalami kesukaran pada konsep bilangan rasional. Misalnya pada anak usia 13–17 tahun berhasil
menjumlahkan bilangan pecahan dengan penyebut sama, tetapi hanya anak usia
13 tahun dan usia 17 tahun dapat menjumlahkan dengan benar. Pada penjumlahan dan pengurangan pecahan yang penyebutnya tidak sama, peserta didik banyak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pada pokok bahasan yang lain yang dikaitkan dengan topik tersebut. Hasil belajar matematika siswa kelas IV pada kompetensi dasar bilangan pecahan masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai terendah individu yang hanya mencapai nilai 4 dan nilai rata-rata kelas hanya mencapai 6,5 serta ketuntasan belajar kelas kurang dari 70%, karena selama ini guru mengajar dengan pendekatan pembelajaran langsung (Fitriyani, 2010).
3
bermaknanya kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru, dan sulitnya pengadaan media pembelajaran sebagai alat peraga. Akibatnya, guru biasanya langsung mengajarkan pengenalan angka, seperti pada pecahan, 1 disebut pembilang dan 2 disebut penyebut. Motivasi serta minat belajar peserta didik menjadi kurang. Padahal pembelajaran matematika, khususnya materi menjumlahkan bilangan pecahan mempunyai peranan penting dalam mengembangkan keterampilan dan berpikir logis, sistematis, dan kreatif. Hal ini, karena matematika mempunyai fungsi untuk mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu kreativitas guru dalam proses pembelajaran matematika agar dapat menarik dan tidak membosankan sangat diperlukan.
Sesuai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan materi pokok di SD wajib dikembangkan melalui pembelajaran CTL (Depdiknas, 2007:21). Pembelajaran CTL adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil (mensimulasikan, menceritakan) kejadian pada dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa kemudian dikaitkan dengan konsep matematika yang dibahas. Pada pembelajaran kontekstual, konsep dikonstruksi oleh siswa melalui proses tanya jawab dalam bentuk diskusi.
Berdasarkan uraian di atas karakteristik pembelajaran yang diharapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam proses pembelajaran di SD, antara lain sebagai berikut.
4
2. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar (penyelesaian soal dengan berbagai cara).
3. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman kongkrit dan mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
4. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya interaksi dan kerjasama dengan orang lain atau lingkungannya.
5. Memanfaatkan berbagai media sehingga pembelajaran efektif.
6. Melibatkan peserta didik secara emosional dan sosial sehingga pembelajaran matematika menjadi menarik dan menyenangkan.
Penelitian ini dilaksanakan di SD Muhammadiyah Program Khusus Kotabarat, Surakarta. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa SD Muhammadiyah Program Khusus memiliki fasilitas yang memadai untuk melaksanakan penelitian dan menerapkan hasil penelitian berupa pembelajaran CTL dalam materi menjumlahkan bilangan pecahan.
5 B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, ada tiga masalah yang perlu dicari jawabannnya dalam penelitian ini.
1. Bagaimanakah implementasi pembelajaran CTL di SD Muhammadiyah Program Khusus, Kota Barat, Surakarta pada peserta didik kelas IV?
2. Bagaimanakah kemampuan menjumlahkan bilangan pecahan setelah mengikuti pembelajaran dengan metode kolaboratif tipe CTL pada peserta didik kelas IV SD Muhammadiyah Program Khusus, Kota Barat, Surakarta? 3. Bagaimanakah motivasi belajar peserta didik dalam belajar menjumlahkan
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang memiliki relevansi dengan penelitian ini di
antaranya penelitian Tonkes and Staces (2005) dengan penelitiannya yang
berjudul ”An Innovative Learning Model for Computation in First”
menyimpulkan bahwa matlab merupakan software canggih yang digunakan untuk
analisis numerik dan visual. University of Queensland menggunakan matlab
sebagai pembelajaran ilmu matematika pada tahun pertama dan hasilnya lebih
memudahkan siswa dalam melakukan komputasi serta siswa mampu
mengkontruksi pengetahuannya. Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan
penelitian ini, yaitu memiliki fokus pada pembelajaran matematika.
Penelitian Haryani (2006) dengan judul ”Manajemen Pembelajaran Aktif dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Sekolah Dasar” menyimpulkan bahwa
pelaksanaan manajemen pembelajaran aktif mata pelajaran matematika telah
berlangsung dengan baik di SD Negeri Ngesrep 1. Manajemen pembelajaran aktif
yang telah dilaksanakan dengan baik mempunyai dampak terhadap peningkatan
mutu pembelajaran yaitu mutu proses pembelajaran dan mutu hasil belajar pada
mata pelajaran matematika. Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan
penelitian ini, yaitu memiliki fokus pada pembelajaran matematika.
Penelitian mengenai cara mengatasi kesulitan peserta didik dalam
7
Kesulitan Anak dalam Pembelajaran Pecahan Menggunakan Model Konkret dan
Gambar”. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
pembelajaran konsep pecahan dan operasi pecahan dapat digunakan model
konkret dan model gambar. Di samping itu, pada pembelajaran konsep pecahan
dan operasi pecahan dengan menggunakan model konkret dan model gambar akan
lebih membantu anak sehingga sesuatu yang dirasa sulit bagi anak menjadi
sesuatu yang mudah. Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian ini,
yaitu gambaran mengenai kesulitan yang dialami dalam pembelajaran konsep
pecahan dan operasi pecahan dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Penelitian mengenai pembelajaran konsep pecahan dengan menggunakan
media komik dilakukan oleh Hadi (2008) dengan judul “Pembelajaran Konsep
Pecahan Menggunakan Media Komik dengan Strategi Bermain Peran pada Siswa
SD Kelas IV Semen Gresik”. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan media komik yang dapat
memahamkan siswa terhadap materi pecahan di kelas IV SD Semen Gresik
dilakukan dengan menggunakan tiga tahap yaitu: tahap awal, tahap inti, dan tahap
akhir. Selain menggunakan media komik pembelajaran juga disertai dengan alat
peraga manipulatif untuk membantu pemahaman siswa terhadap konsep. Strategi
yang digunakan adalah dengan bermain peran. Penelitian tersebut memiliki
relevansi dengan penelitian ini, yaitu memiliki fokus pada pembelajaran
matematika, khususnya materi pecahan.
Penelitian Suryati (2010) mengenai penggunaan pendekatan kontekstual
8
Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Kreativitas Siswa”
menyimpulkan bahwa implementasi pendekatan kontekstual yang selalu terkait
dengan dunia empirik siswa, pola komunikasi yang bersifat negosiasi-bukan
instruksi, partisipasi siswa tinggi, konstruksivis, dan penciptaan suasana yang
nyaman serta menyenangkan ternyata dapat mengubah siswa menjadi bergairah
dalam berpuisi. Adapun relevansi dengan penelitian ini adalah mengkaji tentang
pendekatan kontekstual.
Penelitian mengenai penggunaan pendekatan kontekstual pada
pembelajaran matematika di SD yang dilakukan Gita (2007) dengan judul
“Implementasi Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa di Sekolah Dasar”. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa implementasi pendekatan kontekstual melalui pembelajaran
kooperatif berbantuan LKS dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa
kelas V SD 3 Sambangan. Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan
penelitian ini, yaitu penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran
matematika.
Penelitian mengenai pembelajaran matematika SD dengan pendekatan
kontekstual yang dilakukan Supinah (2008) dengan judul “Pembelajaran Matematika SD dengan Pendekatan Kontekstual dalam Melaksanakan KTSP”.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika dengan pendekatan kontekstual hendaknya ditandai antara lain:
9
2. Pembelajaran terjadi dalam konteks yang beragam, seperti: rumah, sekolah,
masyarakat, dan tempat kerja.
3. Membantu perkembangan pembelajaran mandiri.
4. Menggambarkan keanekaragaman siswa.
5. Menggunakan kelompok-kelompok belajar yang saling memerlukan.
6. Menggunakan penilaian yang otentik.
7. Memerlukan pemikiran yang lebih tinggi (kritis dan kreatif).
B. Dasar Teori
1. Pembelajaran Matematika
a. Pengertian Pembelajaran Matematika
Tim (2005:17) menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses, cara,
perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Pembelajaran
merupakan proses komunikatif-interaktif antara sumber belajar, guru, dan
siswa yaitu saling bertukar informasi. Menurut Afiatin (2008), pembelajaran
adalah suatu proses alamiah untuk mencapai tujuan yang bermakna secara
pribadi, bersifat aktif, dan melalui mediasi secara internal, merupakan proses
pencarian dan pembentukan makna terhadap informasi dan pengalaman yang
dicari melalui persepsi unik, pemikiran dan perasaan siswa. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran mempunyai pengertian sebagai suatu
proses atau usaha sadar dan aktif dari guru terhadap siswa agar siswa
10
Tim (2005:723), matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan
antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian
masalah mengenai bilangan. Ditinjau dari struktur dan urutan unsur-unsur
pembentuknya, Purwoto (2003: 12) mengemukakan bahwa “Matematika adalah pengetahuan tentang pola keteraturan, pengetahuan tentang struktur
yang terorganisasikan mulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan ke
unsur-unsur yang didefinisikan ke aksioma dan postulat dan akhirnya ke
dalil”. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu
tentang bilangan-bilangan yang timbul dari pemikiran manusia yang
berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Matematika juga merupakan
serangkaian metode untuk menarik kesimpulan serta mengkomunikasikan
gagasan dengan bahasa.
Berdasarkan pengertian pembelajaran dan matematika yang telah
diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah
suatu upaya yang dilakukan oleh guru dan siswa untuk berinteraksi,
mempelajari bilangan serta mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa.
b. Proses Pembelajaran Matematika
Proses pembelajaran matematika melalui tiga pokok tahapan, yakni
tahap perencanaan pembelajaran, tahap pelaksanaan pembelajaran dan tahap
pengevaluasian suatu tugas pekerjaan selama proses pembelajaran. Deskripsi
lebih lanjut mengenai perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran
dan pengevaluasian pembelajaran secara terperinci digambarkan sebagai
11 1) Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan merupakan proses pemikiran terencana sebagai dasar
untuk melakukan kegiatan di masa mendatang. Perencanaan pembelajaran
perlu dilakukan untuk mengkoordinasikan komponen pembelajaran yang
meliputi tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
metode, media, sumber dan evaluasi.
Menurut Hamalik (2003:54), pengajaran adalah kegiatan yang
dilakukan oleh guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Jadi
dapat disimpulkan bahwa perencanaan pembelajaran selain sebagai alat
kontrol juga berguna sebagai pegangan bagi guru itu sendiri dalam
pelaksanaan pembelajaran nanti.
Pengajaran pada hakekatnya, bila suatu kegiatan direncanakan lebih
dahulu, maka tujuan dan kegiatan tersebut akan lebih terarah dan lebih
berhasil. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki kemampuan dalam
merencanakan pembelajaran. Seorang guru sebelum mengajar hendaknya
menyusun perencanaan pembelajaran yang hendak dilaksanakan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, proses perencanaan itu
harus mengandung kejelasan tujuan yang akan dicapai, dan proses
pembelajaran yang bagus diperlukan adanya perencanaan pembelajaran yang
bagus pula.
2) Pelaksanaan Pembelajaran
Jika proses belajar mengajar itu ditinjau dari segi kegiatan guru, maka
12
sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan perencanaan,
implementasi, dan penilaian/evaluasi.
Sebagai implementasi rencana pengajaran yang telah disusun, guru
hendaknya mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada dan berupaya
memoles setiap situasi yang muncul menjadi situasi yang memungkinkan
berlangsungnya kegiatan belajar yang berpusat pada siswa. Semua itu
memerlukan keterampilan profesional. Dengan demikian, pada pelaksanan
pembelajaran guru hendaknya mengatur kondisi yang mempengaruhi
pembelajaran, antara lain tentang isi, menetapkan sendi pengajaran untuk
siswa yang menjadi obyek pengajaran dan menciptakan suasana yang
menyenangkan dalam proses belajar mengajar.
Adapun langkah-langkah kegiatan pembelajaran adalah melalui tiga
tahapan pokok, yaitu tahap prainstruksional, tahap instruksional, serta
tahap penilaian. Jika, satu tahapan tersebut ditinggalkan, maka sebenarnya
tidak dapat dikatakan telah terjadi proses pembelajaran.
3) Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut (Penutup)
Syah (2003:141) menyatakan bahwa evaluasi adalah penilaian
terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dalam sebuah program.
13
Dalam kegiatan evaluasi ini, yang harus dilaksanakan guru adalah
sebagai berikut.
a) Melaksanakan penilaian akhir dan mengkaji hasil penelitian.
b) Melaksanakan kegiatan tindak lanjut dengan alternatif kegiatan.
c) Mengalihkan proses-proses pembelajaran dengan menjelaskan atau
memberi bahan materi pokok yang akan dibahas pada pada pelajaran
berikutnya.
2. Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
a. Pengertian Pembelajaran CTL
Menurut Mulyasa (2006:217) pembelajaran kontekstual merupakan
konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi
pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata,
sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi
hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Smith (2006) menyatakan bahwa
Contextual teaching and learning is defined as a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situations. (Pembelajaran kontekstual didefinisikan sebagai suatu konsep yang membantu guru menghubungkan isi materi dengan situasi dunia nyata).
Andika (2009) menyatakan bahwa pembelajaran CTL adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
14
CTL adalah pembelajaran yang mengaitkan materi antara materi pembelajaran
dengan situasi dunia nyata siswa.
Tujuan dari penerapan dan pendekatan pembelajaran konstektual
adalah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa melalui peningkatan
pemahaman makna materi pelajaran yang dipelajari dengan mengaitkan antara
materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sebagai
individual, anggota keluarga, anggota masyarakat dan anggota bangsa.
b. Komponen-Komponen Pembelajaran Kontekstual
Menurut Krishannanto (2009), pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh
komponen utama pembelajaran efektif, antara lain sebagai berikut.
1) Konstruktivisme (Constructivism)
a) Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.
b) Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkontruksi” bukan menerima pengetahuan.
2) Penemuan (Inquiry)
a) Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. b) Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis. 3) Bertanya (Questioning)
a) Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.
b) Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis penemuan.
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
a) Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
b) Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri. c) Tukar pengalaman
d) Berbagi ide.
5) Pemodelan (Modelling)
a) Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar.
b) Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya. 6) Refleksi (Reflection)
a) Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajar. b) Mencatat apa yang telah dipelajari.
15 7) Penilaian Otentik (Authentic Assesment)
a) Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa. b) Penilaian produk (kinerja).
c) Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.
c. Strategi Pembelajaran Kontekstual
Menurut Tim (2007:4), strategi dalam pelaksanaan pembelajaran
kontekstual adalah sebagai berikut.
1)Relating: yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari dengan pengalaman atau kehidupan nyata. Untuk itu, bawa perhatian siswa pada pengalaman, kejadian, dan kondisi sehari-hari. Lalu, hubungkan/kaitkan hal itu dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan.
2) Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan sendiri. Memang, pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar bisa lebih cepat), tetapi strategi demikian merupakan strategi pasif, artinya, siswa tidak secara aktif/langsung mengalaminya.
3) Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi dalam konteks yang bermakna. Belajar dalam konteks ini serupa dengan simulasi, yang seringkali dapat membuat siswa mencita-citakan sesuatu, atau membayangkan suatu tempat bekerja dimasa depan.
4) Cooperating: yaitu proses belajar dimana siswa belajar berbagi (sharing) dan berkomunikasi dengan siswa lain. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu strategi utama dalam CTL, karena pada kenyataannya, karyawan berhasil adalah yang mampu berkomunikasi secara efektif dan bisa bekerja dengan baik dalam tim. Aktivitas belajar yang relevan dengan pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok; dan kesuksesan kelompok tergantung pada kinerja setiap anggotanya. Peer grouping juga suatu aktivitas pembelajaran kooperatif.
35
DAFTAR PUSTAKA
Afiatin, Tina. 2008. Pembelajaran Berbasis Student Centered Learning. (www.inparametric.com). Diakses 23 Juli 2009 jam 07.01.
Andika. 2009. Pembelajaran Kontekstual. (www.teoripembelajaran.teknodik.net). Diakses 13 Mei 2009 jam 12.52.
Depdiknas. 2007. Naskah Akademik Pendidikan Keterampilan. Jakarta: Depdiknas. (www.puskur.net). Diakses 22 Mei 2009 jam 14.14.
Fitriyani, Wulan. 2010. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Pecahan Siswa Kelas IV
SD Sekaran Kota Semarang Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah.
(http://digilib.unnes.ac.id). Diakses 27 Agustus 2010).
Gita, I Nyoman. 2007. Implementasi Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Matematika Siswa di Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan. Vol.1, No.1. (http://freewebs.com). Diakses 9 Februari 2010 jam10.44.
Hadi, Syaiful. 2008. Pembelajaran Konsep Pecahan dengan Menggunakan Media Komik dengan Strategi Bermain Peran pada Siswa SD Kelas IV Semen
Gresik. (http://www.puslitjaknov.org). Diakses 9 Februari 2010 jam 10.29.
Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Haryani, Ning. 2006. Manajemen Pembelajaran Aktif Dalam Meningkatkan Mutu
Pembelajaran di Sekolah Dasar. Tesis UMS: Tidak diterbitkan.
Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching & Learning: what it is and why it’s
here to stay. Diterjemahkan oleh Ibnu Setiawan, “Contextual Teaching &
Learning: menjadikan kegiatan belajar-mengajar mengasyikkan dan bermakna. Bandung: Mizan Learning Center (MLC).
Krishannanto. 2009. Pembelajaran Kontekstual. (http://techonly13’s. wordpress.com). Diakses 28 Januari 2010 jam 13.41.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
36
Mutizah. 2008. Mengatasi Kesulitan Anak dalam Pembelajaran Pecahan
Menggunakan Model Konkret dan Gambar. Jurnal Pemikiran Alternatif
Pendidikan. Vol.13, No.2. (http://insaniaku.file.wordpress.com). Diakses 9 Februari 2010 jam 10.24.
Purwoto. 2003. Strategi Pembelajaran Mengajar. Surakarta: UNS Press.
Smith, Bettye P. 2006. “Contextual Teaching And Learning Practices In The Family
And Consumer Sciences Curriculum”. Journal of Family and Consumer
Sciences Education. Vol. 24, No. 1. (http://www.natefacs.org). Diakses 1 Juni
2009 jam 7.33.
Supinah. 2008. Pembelajaran Matematika SD dengan Pendekatan Kontekstual dalam
Melaksanakan KTSP. (http://p4tkmatematika.org). Diakses 9 Februari 2010
jam 10.59.
Suryati, Atit. 2010. Implementasi Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan
Kemampuan Kreativitas Siswa. (http://educare.e-fkipunla.net). Diakses 9
Februari 2010 jam 10.45.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tim. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Tim. 2007. Menggunakan CTL dan Asesmen Otentik Dalam Rangka Implementasi
KTSP di Sekolah Dasar. (http://www.undiksha.ac.id). Diakses 9 Februari
2010 jam 19.11.
Tonkes, E. J., Loch, B. and Stace, A.W..2005. ”An Innovative Learning Model for Computation in First”. Journal of Mathematical Education in Science &
Technology. v36 n7 p751-759. (http://www.eric.ed.gov). Diakses 3 Mei 2009