• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGALAMAN AUDITOR, INDEPENDENSI, TEKANAN WAKTU, DAN SKEPTISISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR DALAM MENDETEKSI KECURANGAN (FRAUD) (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Yogyakarta dan Semarang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PENGALAMAN AUDITOR, INDEPENDENSI, TEKANAN WAKTU, DAN SKEPTISISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR DALAM MENDETEKSI KECURANGAN (FRAUD) (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Yogyakarta dan Semarang)"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Yogyakarta dan Semarang) THE INFLUENCE OF AUDITOR EXPERIENCE, INDEPENDENCY, TIME PRESSURE, AND AUDITOR PROFESSIONAL SCEPTICISM ON

FRAUD DETECTION ABILITY OF AUDITOR

(Emipirical Study on Accounting Public Office in Yogyakarta and Semarang)

Oleh : ISTI FATIMAH

20130420203

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

(2)

(Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Yogyakarta dan Semarang) THE INFLUENCE OF AUDITOR EXPERIENCE, INDEPENDENCY, TIME PRESSURE, AND AUDITOR PROFESSIONAL SCEPTICISM ON

FRAUD DETECTION ABILITY OF AUDITOR

(Emipirical Study on Accounting Public Office in Yogyakarta and Semarang) SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh

Gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh : ISTI FATIMAH

20130420203

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

(3)

iv Nama : Isti Fatimah

Nomor Mahasiswa : 20130420203

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul : “PENGARUH PENGALAMAN AUDITOR, INDEPENDENSI, TEKANAN WAKTU, DAN SKEPTISISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR DALAM MENDETEKSI KECURANGAN (FRAUD) (Studi Empiris

pada Kantor Akuntan Publik di Yogyakarta dan Semarang)” tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka. Apabila ternyata dalam skripsi ini diketahui terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain maka saya bersedia karya tersebut dibatalkan.

Yogyakarta, 16 Desember 2016

(4)

v

“Orang-orang hebat di bidang apapun bukan baru bekerja karena terinspirasi, namun mereka menjadi terinspirasi karena mereka lebih suka bekerja. Mereka tidak

menyia-nyiakan waktu untuk menunggu inspirasi”.

(Ernest Newman)

“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan padanya jalan menuju ke surga.”

(5)

vi

kepada-Mu atas segala nikmat dan karunia yang telah memberikan kekuatan, kesehatan, kesabaran, dan kemudahan untukku dalam menyelesaikan skripsi ini. Aku persembahkan karya sederhana ini kepada orang-orang terkasih di kehidupanku.

Kedua orang tuaku (Bp. Tumadi dan Ibu Sartini), adikku (Muhammad Syafi’i)

dan keluarga besar, terima kasih selama ini selalu mensupport baik moril maupun materil, dan banyak kuucapkan terima kasih pada kalian atas segala doa yang telah kalian panjatkan demi kelancaran skripsi ini.

Kepada sahabatku SULBI (Intan, Reni, Pungki, Izza, Tika) yang selalu ada dan memberiku support, terima kasih sudah menjadi teman, sahabat dan saudara yang baik selama lebih dari tiga tahun ini. Terima kasih juga untuk tomket-tomketku (Putri, Intan, Maulin, Wiga, Atri), maafkan aku sering merepotkan kalian.

Kepada teman-teman KKN 20 ceria, meskipun kita hanya satu bulan hidup bersama tapi kalian telah memberi memori yang serasa paket komplit.

Kepada rekan kerja PT. Aseli Dagadu Djokdja : Garda Depan 55, tim Oblong Training, tim Supervisor, tim Kasir, tim Marketing dan keluarga besar PT ADD, terima kasih untuk pengalaman 8 bulan yang luar biasa hebat bersama orang-orang yang hebat.

(6)

ix

rahmat, dan hidayah-Nya dalam penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Pengalaman Auditor, Independensi, Tekanan Waktu, dan Skeptisisme Profesional Auditor Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya serta tetap menuntun peneliti dijalan yang benar sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 2. Kedua orang tua dan keluarga besar yang selalu memberikan dukungan baik

moril maupun materil kepada penulis.

3. Bapak Rudy Suryanto, S.E., M.Acc., Akt., CA selaku DPS yang telah sabar membimbing penulis.

4. Ibu Dr. Ietje Nazaruddin, M.Si., Akt., selaku Kepala Program Studi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

(7)

x Yogyakarta.

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama dibangku perkuliahan.

8. Saudara, sahabat, teman-teman dan semua pihak yang telah memberikan doa, dukungan dan bantuan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studi tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu kritik dan saran sangat peneliti harapkan. Semoga penelitian ini dapat berguna bagi semuanya, dan juga teman-teman yang ingin melakukan penelitian berikutnya khususnya untuk Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 16 Desember 2016

(8)

xi

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

INTISARI ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Penelitian ... 1

B.Batasan Masalah ... 10

C.Rumusan Masalah ... 10

(9)

xii

A.Landasan Teori ... 13

1. Teori Agensi (Agency Theory) ... 13

2. Kecurangan (Fraud) ... 14

3. Fraud Triangle ... 17

4. Mendeteksi Kecurangan ... 19

5. Pengalaman Auditor ... 23

6. Independensi ... 26

7. Tekanan Waktu (Time Pressure) ... 28

8. Skeptisisme Profesional Auditor ... 31

B.Penelitian Terdahulu ... 34

C.Penurunan Hipotesis ... 39

1. Pengaruh Pengalaman Auditor Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud) ... 39

2. Pengaruh Independensi Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud) ... 40

3. Pengaruh Tekanan Waktu Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud) ... 43 4. Pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor Terhadap

(10)

xiii

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

A.Subjek Penelitian ... 47

B.Jenis Data ... 47

C.Teknik Pengambilan Sampel ... 47

D.Teknik Pengumpulan Data ... 48

E. Definisi Operasional Variabel ... 48

1. Variabel Dependen ... 49

2. Variabel Independen ... 50

F. Teknik Analisis dan Pengujian Hipotesis ... 59

1. Analisis Deskriptif ... 59

2. Uji Kualitas Data ... 59

3. Uji Asumsi Klasik ... 60

4. Uji Hipotesis ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

A.Deskripsi Data ... 63

B.Karakteristik Responden ... 65

C.Hasil dan Analisis Data ... 68

1. Uji Statistik Deskriptif ... 68

(11)

xiv

5. Uji Hipotesis ... 78

D.Pembahasan ... 82

BAB V SIMPULAN KETERBATASAN DAN SARAN ... 89

A.Simpulan ... 89

B.Keterbatasan Penelitian ... 89

C.Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA

(12)

xv

3.1. Operasional Variabel ... 54

4.1. Sampel Penelitian ... 64

4.2. Penyebaran Kuisioner ... 65

4.3. Karakteristik Responden ... 66

4.4. Statistik Deskriptif ... 68

4.5. Hasil Uji Validitas Pengalaman Auditor ... 69

4.6. Hasil Uji Validitas Independensi ... 70

4.7. Hasil Uji Validitas Tekanan Waktu ... 70

4.8. Hasil Uji Validitas Skeptisisme Profesional Auditor ... 71

4.9. Hasil Uji Validitas Kemampuan Mendeteksi Kecurangan (Fraud) ... 71

4.10. Hasil Uji Reliabilitas ... 72

4.11. Hasil Uji Normalitas ... 74

4.12. Hasil Uji Multikolinearitas ... 75

4.13. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 76

(13)
(14)

xvii

(15)
(16)

viii ABSTRACT

This research was aimed at identifying the influence of auditor experience, independency, time pressure, and auditor professional skepticism on fraud detection ability of auditor. The subject in this research that the auditor who works in Public Accounting Office in Yogyakarta and Semarang. In this research, sample of 55 respondents were selected using convenience sampling method. A sixty questionnaires administered then 55 questionnaires were return and could be examined using the multiple linear regression model. Analysis tool used in this research is the SPSS 22.

The result of the research in experience auditor, independency, and auditor professional skepticism affected positively significantly fraud detection ability of auditor. The time pressure affected negative significantly fraud detection ability of auditor.

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Semakin berkembangnya perusahaan-perusahaan go public membuat profesi akuntan publik sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis untuk memberikan pelayanan jasanya dalam memeriksa laporan keuangan yang telah disajikan oleh perusahaan. Auditor eksternal berperan untuk memberikan keyakinan yang memadai dan membuktikan kewajaran laporan keuangan yang dibutuhkan oleh para pemakai laporan keuangan maupun perusahaan untuk pengambilan keputusan. Dalam hal ini, auditor harus memastikan bahwa laporan keuangan tersebut bebas dari segala bentuk salah saji materil.

Srikandi (2015) menyatakan bahwa salah saji dapat disebabkan karena kekeliruan (error) atau kecurangan (fraud). Pada dasarnya kecurangan dan kekeliruan memiliki makna yang berbeda tergantung dari tindakan yang mendasarinya. Kecurangan dilakukan dengan unsur kesengajaan dengan tujuan untuk menyesatkan pihak lain. Sedangkan kekeliruan terjadi jika tindakan tersebut dilakukan karena adanya unsur ketidaksengajaan.

(18)

tengah merebak di Indonesia (Simanjuntak, 2015). Selain itu, tingginya intensitas kasus kecurangan yang belum terselesaikan dan menemukan titik terang termasuk kasus-kasus yang menyangkut diri auditor membuat profesi akuntan publik menjadi sorotan publik. Masyarakat mulai mempertanyakan kemampuan dan kinerja auditor dalam mendeteksi serta mengungkapkan kasus kecurangan.

Praktik manipulasi akuntansi yang menyangkut profesi akuntan publik mulai menjadi perhatian publik berawal dari terbongkarnya skandal akuntansi Enron dan WorldCom pada tahun 2001 dan 2002 yang mengakibatkan profesi akuntan publik kehilangan kepercayaan dari masyarakat dunia usaha. Kasus tersebut memberi bukti terkait kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan, dan memberikan kesadaran bahwa secanggih apapun penyusunan standar auditing maupun standar akuntansi yang sudah ada ternyata belum cukup mampu mencegah terjadinya kecurangan dalam pelaporan keuangan (Sarwoko, 2014). Dalam kasus Enron auditor eksternal memiliki peran ganda yakni sebagai auditor dan jasa konsultan. Selain itu, auditor yang bertanggung jawab atas audit laporan keuangan perusahaan tersebut justru mendukung praktik bisnis tidak sehat yang dijalankan oleh perusahaan. Dampak kasus ini yaitu munculnya standar baru audit ISA

(International Standard on Auditing) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas bukti audit serta kualitas hasil audit melalui peningkatan individu auditor.

(19)

menyadari dan melaporkan adanya ketidakberesan dalam laporan keuangan yang dimiliki perusahaan meskipun auditor telah menerapkan prosedur yang ada (Nasution, 2012). Kasus yang terjadi pada PT Telkom dimana United States Securities and Exchange Commision (pemegang otoritas saham terbesar pasar modal di Amerika Serikat) tidak mengakui atas laporan keuangan PT Telkom yang diaudit oleh KAP Eddy Pianto dan rekan-rekan. Sehingga pihak PT Telkom diharuskan untuk melakukan pengauditan kembali atas laporan keuangannya.

Kasus manipulasi lainnya seperti yang dilakukan oleh Batavia Air yang akhirnya memilih dipailitkan agar lolos dari tuntutan membayar hutang yang jatuh tempo. Tuankotta (2013) mengungkapkan bahwa Dudi Sudibyo mencurigai laba yang dilaporkan Batavia Air dalam laporan keuangan tahun 2011. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2010 Batavia Air tengah dalam kondisi yang tidak bagus.

Survei Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) di tahun 2010 mengungkapkan bahwa internal audit hanya mampu mendeteksi kecurangan sebanyak 13,7% kasus. Sedangkan auditor eksternal hanya mampu mendeteksi 4,2% dari total kasus kecurangan yang dilaporkan. Laporan ACFE (2014) menunjukkan bahwa ada sebanyak 1,483 kasus fraud yang terjadi di lebih dari 100 negara. Jika dilihat dari geographic region di Asia-Pasifik, Indonesia menyumbang kasus terbanyak yaitu sebanyak 19 kasus.

(20)

independen, auditor perlu untuk meningkatkan kemampuan yang dimilikinya dalam mendeteksi kecurangan dan terus mengikuti berbagai perkembangan dalam dunia bisnis dan profesinya, yaitu dengan cara melakukan pemahaman serta penerapan ketentuan baru yang termuat dalam prinsip akuntansi dan standar auditing.

Kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan akan berdampak pada pemberian opini hasil audit. Untuk meningkatkan kemampuannya, maka auditor harus mengetahui serta memahami kecurangan baik dari jenisnya, karakteristik kecurangan maupun cara mendeteksinya (Simanjuntak, 2015). Auditor juga perlu untuk melihat tanda ataupun sinyal dari suatu tindakan atau kondisi yang dirasa tidak wajar atau tidak normal. Cara tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kecurangan yang membutuhkan tindak pemeriksaan lebih lanjut.

Namun yang menjadi permasalahannya, auditor mempunyai keterbatasan dalam kemampuannya mendeteksi kecurangan yang akan berakibat pada kegagalan audit (Anggriawan, 2014). Keterbatasan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengalaman auditor, independensi, tekanan waktu (time pressure) yang disebabkan karena situasi yang diterima auditor di lingkungan kerja, ataupun kurangnya sikap skeptis yang dimiliki auditor.

(21)

Minimnya pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki auditor tersebut, akan mempersulit dalam proses pendeteksian maupun menemukan salah saji baik karena kekeliruan (error) atau kecurangan (fraud).

Adnyani dkk (2014) mengungkapkan bahwa pengalaman auditor berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pendeteksian kecurangan dan kekeliruan laporan keuangan. Sementara Anggriawan (2014) menyatakan bahwa auditor yang memiliki tingkat jam kerja yang tinggi akan menemui banyak kasus atau masalah-masalah yang dapat memperdalam pengetahuan dan keahliannya. Seringnya auditor melakukan pemeriksaan membuat kemampuan auditor dalam mendeteksi adanya kesalahan yang tidak wajar akan semakin tinggi. Pengalaman akan memudahkan auditor dalam menemukan, mendeteksi dan mencari sebab dari adanya kecurangan-kecurangan yang ada, serta dapat meningkatkan tingkat kepekaannya terhadap munculnya gejala-gejala ketidakwajaran pelaporan keuangan. Dengan demikian, pengalaman merupakan unsur penting yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Independensi diatur dalam Standar Akuntansi seksi 220 dalam SPAP tahun 2001 yang menyatakan bahwa :

“Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.

(22)

menyatakan bahwa keberanian atas tindakan auditor untuk mengungkapkan adanya kesalahan dan temuan kecurangan bergantung pada independensi yang dimilikinya.

Independensi berpengaruh terhadap keyakinan laporan keuangan audit perusahaan, apakah laporan keuangan tersebut disajikan secara benar dan jujur. Permasalahan yang sering dihadapi oleh auditor yaitu auditor sering kali dihadapkan pada keadaan yang membuat auditor sulit untuk mempertahankan independensinya. Adnyani dkk (2014) menunjukkan bahwa kondisi tersebut dapat disebabkan karena adanya faktor hubungan auditor dengan klien maupun persaingan antar KAP.

Auditor selain mempertahankan independensinya, juga diharuskan untuk menghindari suatu keadaan atau kondisi yang menyebabkan pandangan negatif bagi publik seperti meragukan independensinya (Mulyadi, 2002). Keadaan atau dilema yang banyak dihadapi oleh auditor dalam mempertahankan independensinya yaitu lepasnya klien atau besarnya fee audit yang diberikan oleh klien. Penekanan sikap independensi pada auditor dilakukan untuk tujuan menjaga tingkat profesionalisme auditor dalam melaksanakan audit (Fuad, 2015). Seorang auditor yang dapat mempertahankan sikap independensinya akan mampu menghasilkan output auditing yang berkualitas.

(23)

Tenggat waktu yang ditentukan dalam penyelesaian audit membuat auditor memiliki masa sibuk yang akan berakibat pada buruknya kualitas hasil audit. Braun (2000) menunjukkan bahwa auditor yang bekerja di bawah tekanan waktu cenderung kurang sensitif terhadap gejala atau sinyal (red flags) kecurangan, sehingga kemampuan untuk dapat mendeteksi kecurangan sangat rendah. Penelitian Anggriawan (2014) juga menyimpulkan bahwa tekanan waktu akan memperburuk kualitas hasil audit dan kemungkinan auditor gagal dalam mendeteksi kecurangan.

Tekanan waktu yang diterima auditor akan menurunkan tingkat ketelitiannya dalam menyelesaikan kegiatan audit. Ketika waktu yang diestimasikan auditor tidak sesuai dengan waktu yang dibutuhkan sebenarnya, auditor akan mengabaikan hal-hal kecil sehingga waktu yang diperkirakan sesuai dengan waktu yang dibutuhkan sebenarnya. Hal ini akan menurunkan tingkat kepercayaan atas laporan keuangan yang telah diaudit. Bahkan kemungkinan besar dapat memberikan celah terjadinya kecurangan yang tidak terdeteksi akibat menurunnya tingkat ketelitian auditor. Auditor juga cenderung akan memprioritaskan beberapa tugas tertentu dibandingkan tugas lainnya (Braun, 2000). Sehingga memungkinkan auditor akan kehilangan beberapa bukti audit yang dapat berpengaruh pada hasil pemeriksaannya.

(24)

terhadap bukti-bukti audit secara krisis (IAI, 2001). Penelitian Beasley et al (2001) yang didasarkan pada AAERs (Accounting and Auditing Releases) menyatakan bahwa rendahnya sikap skeptisisme profesional yang dimiliki auditor menjadi salah satu penyebab kegagalan mendeteksi kecurangan. Sikap skeptis ini akan berpengaruh terhadap pemberian opini auditor dalam menilai kewajaran suatu laporan keuangan. Auditor menggunakan sikap skeptisisme porofesionalnya untuk menentukan tingkat kebenaran dan keakuratan bukti audit ataupun informasi yang diperoleh dari manajemen

Noviyanti (2008) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan yaitu karena rendahnya skeptisisme profesional yang dimiliki auditor. Auditor akan dengan mudah percaya atas informasi yang diberikan klien tanpa adanya bukti pendukung yang memperkuat asersi manajemen. Auditor yang memiliki sikap skeptis yang tinggi akan mampu memutuskan sejauh mana tingkat keyakinan serta keakuratan dari bukti-bukti audit dan informasi manajemen. Tanpa sikap skeptis, auditor akan gagal dalam mendeteksi salah saji akibat kecurangan. Karena pada dasarnya kecurangan merupakan tindakan yang sengaja disembunyikan oleh manajemen dan pada umumnya dilakukan oleh pihak perusahaan yang dipercayai oleh seluruh anggota perusahaan.

(25)

tindakan kecurangan (Srikandi, 2015 dan Tuanakotta, 2013). Seperti pada kasus PT Kimia Farma, auditor gagal dalam mendeteksi adanya manipulasi akuntansi dalam laporan keuangan perusahaan meskipun auditor menerapkan prosedur audit yang berlaku (Bapepam, 2002).

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Anggriawan (2014) yang menguji tentang pengaruh pegalaman kerja, skeptisisme profesional dan tekanan waktu terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Peneliti menambahkan satu variabel independen yaitu independensi yang diambil dari penelitian Fuad (2015) yang berjudul pengaruh independensi, kompetensi, dan prosedur audit terhadap tanggung jawab dalam pendeteksian fraud serta menambahkan sampel penelitian yaitu auditor eksternal yang bekerja di Kantor Akuntan Publik Semarang.

Seperti penjelasan di atas, bahwa kecurangan yang terjadi menimbulkan kerugian bagi berbagai pihak. Sehingga perlu peningkatan kemampuan auditor dalam mendeteksi yaitu dapat dilakukan dengan meningkatkan pengalaman auditor, independensi, dan skeptisisme profesional auditor serta peningkatan kemampuan auditor dalam menggunakan dan memanfaatkan tenggat waktu untuk penyelesaian audit.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pengalaman Auditor, Independensi,

(26)

B. Batasan Masalah

Berdasarkan penjelasan dan latar belakang masalah yang telah dibahas sebelumnya, peneliti membatasi masalah yang akan diteliti. Kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, namun peneliti hanya membatasi pada faktor pengalaman auditor, independensi, tekanan waktu dan skeptisisme profesional auditor. Faktor tersebut dipilih karena masih banyak ditemui kasus-kasus kecurangan yang menyangkut kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Penelitian ini dilaksanakan pada auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Yogyakarta dan Semarang.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah pengalaman auditor berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud) ?

2. Apakah independensi berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud) ?

3. Apakah tekanan waktu berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi (fraud) ?

(27)

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah :

1. Pengalaman auditor berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud)

2. Independensi berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud)

3. Tekanan waktu berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud)

4. Skeptisisme profesional auditor berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud)

E. Manfaat Penelitian

Bagi Kantor Akuntan Publik, penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam menentukan dan mengambil suatu tindakan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan sensitivitas auditor dalam mendeteksi kecurangan

(fraud). Segala bentuk kecurangan yang tersaji dalam laporan keuangan harus dapat dideteksi oleh auditor karena akan berpengaruh terhadap pemberian opini hasil audit.

(28)
(29)

13 A. Landasan Teori

1. Teori Agensi (Agency Theory)

Menurut Hartadi (2012), teori agensi menghubungkan permasalahan konflik kepentingan yang muncul dari adanya hubungan kontraktual dari pihak principal dan agent yang mana kedua pihak tersebut memiliki informasi yang berbeda. Sehingga perbedaan informasi ini menimbulkan asimetri informasi yang akan menyebabkan perbedaan kepentingan.

Teori ini menyebutkan adanya hubungan antara principal (pemilik) dan agent (manajemen). Dalam hal ini principal dapat dikatakan sebagai pemilik perusahaan atau investor yang memberikan tugas dan tanggung jawab untuk menjalankan operasional perusahaan kepada agent. Agent

adalah pihak-pihak atau para manajer yang diberikan tanggung jawab oleh

principal untuk menjalankan kegiatan perusahaan dengan tujuan

memperoleh laba.

Konflik kepentingan antara agent dan principal bermula ketika

(30)

perusahaan tersebut juga akan semakin tinggi serta akan semakin bagus citra perusahaan di mata masyarakat. Dengan demikian permasalahan utama antara principal dan agent yaitu tingkat pemerolehan laba.

Pada kenyataannya hal ini memunculkan permasalahan atau benturan kepentingan yang mana para agent memiliki keinginan untuk memperoleh kompensasi yang maksimal atas hasil kerjanya sedangkan para prinsipal atau pemegang saham memiliki keinginan berupa return

atau tingkat pengembalian yang tinggi atas investasinya pada perusahan tersebut (Rahmanti, 2013). Sehingga adanya benturan kepentingan ini memunculkan adanya konflik kepentingan. Dalam hal ini agent lebih banyak memiliki informasi terkait kondisi dan prospek masa depan perusahaan dibandingkan informasi yang dimiliki principal. Keadaan ini akan memicu adanya asimetri informasi diantara principal dan agent.

Timbulnya keinginan untuk memperoleh kompensasi yang tinggi, memunculkan kecenderungan bagi agent untuk bersikap oportunis dengan menghalalkan segala cara agar perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi. Motivasi untuk memperoleh kompensasi ini akan menyebabkan agent melakukan tindakan manipulasi atau melakukan kecurangan pada laporan keuangannya.

2. Kecurangan (Fraud)

(31)

(Rozmita, 2013). Sedangkan IAI (2009 : 316. 2 & 3) mendefinisikan kekeliruan (error) sebagai salah saji atau misstatement atau hilangnya jumlah yang terdapat dalam laporan keuangan yang dilakukan secara tidak disengaja. Ketidakberesan (irregularities) dilakukan secara sengaja dengan tujuan untuk memberikan informasi yang menyesatkan dalam laporan keuangan yang disebut kecurangan manajemen atau penyalahgunaan aktiva (penggelapan).

Definisi kecurangan (fraud) menurut Tuanakotta (2013) adalah sebagai berikut :

“Any illegal acts characterized by deceit, concealment or violation of trust. These acts are not dependent upon the application of threats of violence or physical force. Frauds are perpetrated by individuals, and organization to obtain money, property, or services; to avoid payment or loss of services; or to secure personal or business advantage.”

Tuanakotta (2013) mendefinisikan kecurangan (fraud) sebagai suatu tindakan melawan hukum yang memiliki unsur kesengajaan, penipuan, niat jahat, menyembunyikan dan penyalahgunaan kepercayaan.

(32)

Sedangkan error (kesalahan) diartikan sebagai tindakan yang dilakukan karena adanya unsur ketidaksengaan dan tidak ada motivasi untuk menimbulkan kerugiann terhadap pihak lain.

Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) mengklasifi- kasikan kecurangan (fraud) menjadi tiga macam (ACFE, 2005) :

a. Korupsi (Coruption)

Korupsi dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu suap

(bribery), pertentangan kepentingan (conflict of interest), pemerasan ekonomi (economic extortion), dan pemberian ilegal (illegal gratuity).

b. Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation)

Penyalahgunaan asset (asset misappropriation) terbagi menjadi dua kategori, yaitu penyalahgunaan kas yang dapat dilakukan dengan

skimming, larceny atau fraudulent disbursements, dan penyalahgunaan non kas yang dapat dilakukan dengan penyalahgunaan (misuse) atau pencurian (larceny) terhadap persediaan dan aset-aset lainnya.

c. Laporan keuangan yang dimanipulasi (Fraudulent Statements)

Laporan keuangan yang dimanipulasi dapat dilakukan dalam hal

financial maupun non-financial. Pada bagian financial, laporan keuangan yang dimanipulasi dapat dilakukan yaitu dengan

(33)

mencatat pendapatan / beban dalam periode yang tidak sesuai atau tidak tepat, menyembunyikan kewajiban dan beban agar perusahaan seolah-olah terlihat untung atau dapat dilakukan dengan menghilangkan informasi salah yang terdapat dalam laporan keuangan secara disengaja.

3. Fraud Triangel

Fuad (2015) menyebutkan bahwa ada tiga hal yang melatar-belakangi seseorang melakukan tindakan kecurangan (fraud), diantaranya yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity) dan pembenaran atas tindakan (rationalization). Ke tiga hal tersebut dikenal dengan fraud triangle.

Kesempatan

Tekanan Rasionalisasi

Gambar 2.1. Fraud Triangle

Menurut Sukirman (2013) unsur tekanan (pressure) dapat berupa tekanan finansial dan non finansial. Tekanan finansial muncul ketika seseorang memiliki keinginan untuk mempunyai gaya hidup berkecukupan atau memuaskan diri secara materi. Sedangkan faktor non

finansial dapat mendorong seseorang untuk berbuat kecurangan (fraud) Fraud

(34)

seperti sifat seseorang yang serakah atau tindakan yang ingin menyembunyikan suatu kinerja yang buruk.

Elemen ke dua dalam fraud triangle yaitu kesempatan yang diakibatkan karena seseorang yang mempercayai bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak terdeteksi oleh orang lain. Peluang tersebut dapat terjadi ketika sistem pengendalian suatu organisasi yang lemah, kurangnya pengawasan dari manajemen maupun prosedur yang tidak memadai yang dapat menciptakan peluang atau kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan (fraud).

(35)

4. Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

Menurut Sucipto (2007) kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud) merupakan kualitas yang dimiliki oleh seorang auditor dalam menjelaskan adanya ketidakwajaran suatu laporan keuangan yang telah disajikan oleh perusahaan, disertai dengan pengidentifikasian serta pembuktian atas kecurangan (fraud) yang terkandung dalam laporan keuangan tersebut.

Mendeteksi kecurangan merupakan suatu proses untuk dapat menemukan atau mengungkapkan tindakan menyimpang yang dilakukan secara disengaja dan berakibat pada kesalahan saji suatu laporan keuangan. Tidak semua auditor dapat mendeteksi dan menemukan kecurangan (fraud). Karena pada umumnya bukti adanya kecurangan hanya dapat diketahui melalui tanda, gejala atau sinyal dari tindakan yang diduga menimbulkan adanya kecurangan tersebut.

(36)

pada setiap kasus kecurangan, sehingga dapat digunakan sebagai sinyal atau tanda atas terjadinya kecurangan.

Pendeteksian kecurangan tidak mudah dilakukan oleh setiap auditor. Koroy (2008) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan auditor gagal dalam mendeteksi kecurangan (fraud),

diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik terjadinya kecurangan (fraud)

Kecurangan (fraud) selalu berkaitan dengan penyembunyian bukti atas kecurangan tersebut yang dapat berupa catatan akuntansi atau dokumen. Johnson et al (1991) menyatakan bahwa manajer dapat melakukan tiga cara untuk menipu auditor, yakni :

1) Membuat deskripsi menyesatkan seperti mengatakan bahwa perusahaan menurut sebagi akibat proses pertumbuhan perusahaan tersebut. Hal ini menyebabkan auditor beranggapan atau berekspektasi yang salah sehingga auditor gagal dalam menilai dan mengenali ketidakkonsistenan yang terjadi.

2) Menciptakan suatu bingkai (frame) terhadap ketidakberesan yang terjadi sehingga menimbulkan hipotesis bahwa tidak ada ketidakberesan atau ketidakwajaran terkait dengan evaluasi atas ketidakberesan yang terdeteksi.

(37)

sehingga membentuk rasionalisasi atas jumlah saldo dalam laporan keuangan tersebut.

b. Standar pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan

Salah satu permasalahan dalam pendeteksian kecurangan yaitu terkait tidak memadainya standar yang berlaku dalam memberikan arahan yang tepat. Hal ini terlihat pada perkembangan standar pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan yang terus-menerus mengalami perubahan. Perbaikan tersebut muncul karena adanya kenyataan bahwa tanggung jawab dalam pendeteksian kecurangan pada prakteknya belum dilaksanakan secara efektif.

Terdapat perubahan Statement on Auditing Standard (SAS) No.53 menjadi SAS No.82 dan kemudian menjadi SAS No.99. Perubahan SAS No.53 menjadi SAS No.82 karena memiliki kelemahan yaitu tidak memberikan perbedaan spesifik antara kekeliruan dan ketidakberesan. Sehingga SAS No.82 muncul untuk mengatasi kelemahan SAS No.53. SAS ini menganggap bahwa auditor memiliki upaya lebih untuk mendeteksi kecurangan yaitu auditor diharuskan untuk dapat melihat isyarat kecurangan dan melakukan perencanaan audit atas risiko kecurangan.

(38)

dirancang untuk memperluas prosedur audit berkenaan dengan kecurangan pada laporan keuangan. SAS ini menekankan bahwa auditor harus mengesampingkan hubungan masa lalu dan tidak beranggapan bahwa klien jujur.

c. Lingkungan pekerjaan audit yang mengurangi kualitas audit

Lingkungan audit dapat mengurangi kualitas dalam pendeteksian kecurangan. Tekanan-tekanan yang berasal dari lingkungan pekerjaan dapat berupa tekanan kompetisi atas fee,

tekanan waktu dan relasi hubungan auditor-auditee. Tekanan tersebut harus dikelola dengan tepat agar tidak berdampak buruk pada kualitas audit terutama pendeteksian kecurangan.

d. Metode dan prosedur audit yang digunakan tidak efektif dalam mendeteksi kecurangan

Prosedur dan teknik audit secara tradisional belum memberikan keyakinan dalam mendeteksi kecurangan. Penelitian Johnson et al (1991) menunjukkan bahwa fault model lebih efektif mendeteksi kecurangan dibandingkan dengan functional model.

Fault model lebih memperhatikan pada hal-hal yang

(39)

dapat menerapkan sikap skeptisismenya. Sedangkan functional model

diterapkan pada metode dan prosedur audit tradisional yang memberikan ekspektasi atas hubungan antar akun-akun, seperti penjualan dan marjin laba.

Tujuan auditor bukan hanya sebatas untuk menentukan ada atau tidak terhadap salah saji materil dalam laporan keuangan. Tetapi tujuan auditor yaitu untuk merencanakan serta melaksanakan kegiatan audit berdasarkan peraturan yang berlaku untuk memperoleh bukti audit yang memadai. Sehingga dapat digunakan untuk menilai serta mengevaluasi apakah laporan keuangan klien (auditee) terbebas dari segala bentuk salah saji materil tanpa memperdulikan penyebab salah saji tersebut karena dilakukan secara sengaja atau tidak disengaja.

Kemampuan auditor dalam mendeteksi fraud sangat berpengaruh terhadap reputasi perusahaan maupun reputasi KAP dimana ia bekerja. Ketidakamampuan auditor mendeteksi fraud akan menimbulkan citra negatif dari masyarakat terhadap auditor. Sehingga kepercayaan publik akan berkurang dan independensi auditor akan dipertayakan.

5. Pengalaman Auditor

Webster’s Ninth New Collegiate dalam Sucipto (2007)

(40)

peristiwa. Asih (2006) menyatakan bahwa pengalaman adalah suatu proses pembelajaran serta perkembangan potensi dalam tingkah laku yang diperolehnya melalui pendidikan formal maupun informal. Pengalaman juga dapat didefinisikan sebagai proses yang telah dijalani seorang individu yang dapat membawanya pada suatu pola sikap dan tingkah laku yang lebih baik.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengalaman pada dasarnya merupakan proses yang dijalani individu di masa lalu pada suatu pekerjaan tertentu yang membuat individu tersebut lebih memahami pekerjaan dan ketrampilannya secara mendalam. Auditor yang berpengalaman adalah auditor yang tidak hanya mampu mendeteksi, memahami, tetapi juga mampu mencari penyebab kecurangan yang terjadi (Anggriawan, 2014).

Pratiwi dan Indira (2013) menyatakan bahwa pengalaman audit merupakan pengalaman yang dimiliki auditor dalam melakukan audit laporan keuangan baik dari segi banyaknya penugasan yang pernah ditangani maupun lamanya waktu auditor menggeluti profesinya. Banyaknya pengalaman yang dimiliki auditor, tidak hanya membuat auditor memiliki kemampuan dalam menemukan error (kekeliruan) atau

fraud (kecurangan) dalam laporan keuangan tetapi juga dapat

(41)

hanya memiliki sedikit pengalaman (Libby dan Frederick, 1990 dalam Nasution, 2012).

Pengalaman auditor jika dilihat berdasarkan lama waktu bekerja dihitung berdasarkan suatu waktu atau tahun. Auditor dikatakan berpengalaman jika ia telah lama bekerja sebagai auditor. Semakin lama auditor bekerja dalam profesinya, semakin luas pengetahuan yang dimiliki auditor di bidang akuntansi maupun auditing. Auditor yang memiliki banyak pengalaman kerja akan menghasilkan output pemeriksaan yang lebih berkualitas (Sukriah dkk, 2009).

Purnamasari (2005) menyatakan bahwa pengalaman yang tinggi akan memberikan beberapa keunggulan, seperti : (1) mampu mendeteksi salah saji atau kesalahan, (2) memahami kesalahan, (3) mencari penyebab timbulnya kesalahan tersebut. Beberapa kelebihan tersebut akan membantu dalam pengembangan keahlian. Pengalaman yang dimiliki oleh auditor akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas. Pengalaman memungkinkan auditor untuk berfikir lebih rinci dan kritis terhadap permasalahan atau temuan dalam melaksanakan tugas.

(42)

semakin luas pengalaman yang dimilikinya serta memungkinkan individu dalam peningkatan kinerja (Simanjuntak, 2005).

6. Independensi

Independensi diartikan sebagai sikap mental yang tidak terpengaruh, tidak bergantung dan tidak dikendalikan pihak lain. Independensi juga berarti kejujuran seorang auditor ketika mempertimbangkan fakta dan memberikan opininya (Mulyadi, 2002 :26-27). Setyaningrum (2010) menyatakan bahwa independen yaitu akuntan publik tidak mudah dipengaruhi, tidak memihak kepentingan siapapun dan jujur kepada manajemen, pemilik perusahaan serta kreditur dan pihak yang berkepentingan lainnya yang memberikan kepercayaan kepada akuntan publik.

Dari beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa independensi merupakan sikap mental yang tidak memihak dan bebas dari berbagai pengaruh dalam melakukan audit laporan keuangan. Independensi bisa juga diartikan sebagai sikap netral terhadap kepentingan siapapun. Sikap independensi ini harus dimiliki oleh setiap auditor dalam melaksanakan tugas audit laporan keuangan.

(43)

a. Independensi dalam fakta (independence in fact)

Independensi ini berupa sikap jujur yang dimiliki auditor dalam mempertimbangkan fakta yang ditemuinya serta mampu mempertahankan sikap tidak bias dalam auditnya.

b. Independensi dalam penampilan (perceived independence atau independence in appearance)

Merupakan tinjauan pihak lain yang mengetahui informasi yang bersangkutan dengan diri auditor. Misalnya seperti ketika seorang auditor yang mengaudit laporan keuangan milik perusahaan keluarganya, kemungkinan ia mampu mempertahankan sikap independensinya. Tetapi jika ditinjau dari sudut pandang pihak lain (pemakai laporan audit) yang mengetahui fakta bahwa terdapat hubungan istimewa antara auditor dengan pimpinan perusahaan tersebut (hubungan keluarga), maka independensi auditor tersebut akan diragukan.

c. Independensi ditinjau dari sudut pandang keahliannya

(44)

memiliki sikap jujur dalam dirinya, melainkan karena tidak memiliki keahlian terkait objek yang diauditnya.

Auditor tidak hanya diwajibkan untuk mempertahankan sikap independensinya, tetapi juga harus menghindari keadaan yang dapat menyebabkan publik atau pihak lain meragukan independensinya. Berikut ini beberapa keadaan yang membuat auditor kesulitan dalam mempertahankan sikap independensinya, diantaranya adalah :

a. Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh klienya atas jasa tersebut

b. Sebagai penjual jasa seringkali auditor mempunyai kecenderungan untuk memuaskan keinginan kliennya

c. Mempertahankan sikap mental independen seringkali dapat menyebabkan lepasnya klien.

7. Tekanan Waktu (Time Pressure)

(45)

menghasilkan hasil audit yang akurat dengan waktu yang telah ditetapkan oleh klien.

Keterbatasan waktu yang dialami auditor akan menyulitkan dalam melakukan audit. Auditor cenderung tidak cermat dan mengabaikan hal-hal kecil yang berkaitan dengan bukti audit (Anggriawan, 2014). Padahal-hal seberapa kecil bukti audit akan memberikan pengaruh terhadap laporan hasil auditan, yakni pada pemberian opini audit atas kewajaran laporan keuangan klien. Dengan demikian, kemungkinan untuk dapat mendeteksi kecurangan tidak akan berhasil.

(46)

Menurut Nugraha (2012) ada dua cara auditor dalam memberikan respon pada saat menerima tekanan waktu, yaitu :

a. Tipe fungsional yang merupakan perilaku (attitude) auditor yang cenderung untuk meningkatkan kinerjanya dengan bekerja lebih baik serta pemanfaatan waktu secara efektif.

b. Tipe disfungsional merupakan perilaku (attitude) auditor yang dapat menurunkan kualitas auditor karena lebih cenderung memprioritaskan beberapa tugas

Penurunan kualitas disebabkan karena adanya pembatasan dalam pengumpulan bukti audit yang dilakukan auditor, yang berupa faktor biaya dan waktu. Dimana dalam melaksanakan auditnya, auditor diharuskan untuk dapat melakukan efisiensi terhadap biaya dan waktu. Auditor yang memiliki tipe fungsional lebih mampu mendeteksi kecurangan. Auditor dengan tipe disfungsional cenderung akan melewatkan bukti-bukti audit yang menunjukkan adanya isyarat kecurangan.

(47)

program audit dan berakibat terhadap ketidakmampuan dalam mendeteksi kecurangan.

Tekanan waktu mempunyai dua dimensi, diantaranya :

a. Time Budget Pressure

Merupakan suatu kondisi yang mana auditor dituntut atau diharuskan untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah ditetapkan, atau pembatasan waktu di dalam anggaran ketat.

b. Time Deadline Pressure

Merupakan suatu keadaan yang mana seorang auditor dituntut dan diharuskan untuk dapat menyelesaikan tugas auditnya secara tepat waktu.

8. Skeptisisme Profesional Auditor

Skeptisisme profesional (professional skepticism) merupakan sikap atau perilaku (attitude) dengan pertanyaan di dalam fikiran

(quetining mind), waspada (being alert) terhadap keadaan yang

mengindikasi kemungkinan terjadinya salah saji baik karena kesalahan

(error) atau kecurangan (fraud) dan penilaian kritis (critical assessment)

atas suatu bukti (Tuanakotta, 2013).

(48)

“Sikap (attitude) seorang auditor dalam melaksanakan penugasan audit yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan mengevaluasi bukti audit secara kritis”

Skeptisisme profesional harus digunakan selama proses audit, karena bukti audit dikumpulkan serta dinilai selama melakukan proses audit tersebut (IAI, 2001). Skeptisisme profesional adalah sikap kritis yang dimiliki auditor dalam melakukan penilaian atas kehandalan dan keakuratan suatu bukti audit, sehingga memungkinkan auditor memiliki keyakinan tinggi atas suatu bukti atau asersi, serta mempertimbangkan kesesuaian dan kecukupan bukti yang diperoleh (Anggriawan, 2014).

Skeptisisme profesional perlu diterapkan oleh auditor terutama dalam mengevaluasi bukti audit. Auditor tidak dibenarkan memiliki anggapan bahwa manajemen adalah tidak jujur atau menganggap bahwa kejujuran manajemen tidak perlu dipertanyakan lagi. Auditor juga tidak diperbolehkan merasa puas atas bukti-bukti yang kurang persuasif karena keyakinannya terhadap kejujuran manajemen.

(49)

keuangan. Dengan adanya skeptisisme profesional dalam diri auditor, kemungkinan untuk dapat mendeteksi kecurangan (fraud) akan tinggi. Sikap skeptis akan mengarahkan auditor untuk menanyakan dan mencari informasi tambahan atas setiap sinyal atau isyarat yang menujukkan kemungkinan terjadinya kecurangan (fraud) (Louwers et al, 2005).

Informasi tambahan mengenai bukti audit dapat membantu auditor dalam membuktikan kebenaran atas isyarat atau tanda kemungkinan terjadinya kecurangan. Dengan menerapkan skeptisisme profesional, auditor akan mampu mendeteksi salah saji materil yang berupa kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud) ataupun penyalahgunaan wewenang yang materil. Auditor menggunakan skeptisisme profesionalnya untuk mengevaluasi bukti audit, mengajukan pertanyaan kepada klien atas pernyataan yang telah diberikan klien dan tidak mudah percaya terhadap informasi dan pernyataan klien.

(50)

dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan, sehingga kegagalan dalam mendeteksi kecurangan akan rendah.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Anggriawan (2014) tentang pengaruh pengalaman kerja, skeptisisme profesional auditor, dan tekanan waktu teerhadap kemampuan auditor mendeteksi fraud menunjukkan bahwa pengalaman kerja, skeptisisme profesional auditor berpengaruh positif terhadap kemampuan mendeteksi fraud, sementara tekanan waktu berpengaruh negatif.

Penelitian Nasution (2012) tentang pengaruh beban kerja, pengalaman audit, dan tipe kepribadian terhadap skeptisisme profesional terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban kerja memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, sementara pengalaman audit dan tipe kepribadian berpengaruh negatif.

(51)

Penelitian yang dilakukan oleh Srikandi (2015) menunjukkan bahwa kompetensi dan skeptisisme profesionl auditor berpengaruh positif signifikan terhadap pendeteksian kecurangan. Variabel yang paling dominan dalam penelitian tersebut yakni kompetensi auditor. Auditor yang memiliki kompetensi yang baik akan diikuti peningkatan upaya dalam pendeteksian kecurangan.

Fuad (2015) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa independensi dan kompetensi berpengaruh positif signifikan terhadap tanggung jawab dalam pendeteksian fraud. Sedangkan variabel prosedur audit tidak berpengaruh terhadap tanggung jawab dalam pendeteksian fraud yang artinya sebaik apapun prosedur audit tidak berpengaruh pada tinggi rendahnya tanggung jawab dalam mendeteksi fraud.

(52)

Tabel 2.1

Independensi Hasil penelitian tersebut menunjukkan waktu (time pressure)

(53)
(54)
(55)

C. Penurunan Hipotesis

1. Pengaruh Pengalaman Auditor Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anggriawan (2014) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara pengalaman kerja dan skeptisme profesional terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi

fraud, sementara variabel tekanan waktu berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi fraud. Hasil penelitian tersebut konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Noviyani dan Bandi (2002) yang menyatakan bahwa auditor berpengalaman akan mempunyai pengetahuan yang lebih banyak terkait kekeliruan (error) dan kecurangan

(fraud) sehingga kinerja yang dihasilkan akan lebih baik dibanding auditor yang kurang memiliki pengalaman.

Mui (2010) dalam Nasution (2012) menunjukkan bahwa auditor yang berpengalaman selain memiliki kemampuan dalam mendeteksi dan menemukan salah saji baik karena kekeliruan ataupun kecurangan, juga mampu memberikan penjelasan akurat terkait temuannya dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman.

(56)

auditor terbiasa dalam menemukan salah saji serta memiliki pemahaman yang luas terkait penyebab munculnya salah saji terutama kecurangan.

Pengalaman yang dimiliki setiap auditor berbeda-beda dengan auditor lainnya. Tidak semua auditor pernah menemukan kecurangan dalam setiap melakukan kegiatan auditnya, sehingga tingkat kemampuan untuk menemukan kecurangan ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya terkait kecurangan. Auditor yang memiliki pengalaman lebih banyak, akan memiliki kemudahan dalam mendeteksi, memahami dan mencari penyebab kesalahan yang ada. Semakin tinggi pengalaman yang dimiliki auditor, akan semakin meningkat kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Sehingga diturunkan hipotesis pertama sebagai berikut :

H1 : Pengalaman auditor berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud)

2. Pengaruh Independensi Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

Penelitian mengenai independensi dan pendeteksian kecurangan

(57)

signifikan antara independensi dan pencegahan dan pendeteksian kecurangan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Herty (2010) yang mengungkapkan bahwa independensi terdapat pengaruh signifikan antara independensi dan upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya kecurangan. Penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2015) menunjukkan hasil yang tidak konsisten dengan beberapa penelitian di atas, yaitu independensi tidak berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Fuad (2015) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa independensi berpengaruh positif terhadap tanggung jawab dalam pendeteksian fraud. Semakin tinggi independensi yang dimiliki auditor, maka tanggung jawab dalam mendeteksi kecurangan juga akan semakin tinggi. Penelitian ini didukung oleh Mulyadi dan Puradiredja (1998) yang menyatakan bahwa auditor yang dapat mempertahankan sikap independensinya tidak akan mudah terpengauh oleh pihak manapun terutama dalam menilai kewajaran suatu laporan keuangan. Dengan demikian, auditor akan memiliki tanggung jawab tinggi dalam mendeteksi kecurangan.

(58)

mempertahankan independensinya yang dapat disebabkan oleh faktor hubungan dengan klien maupun persaingan antar KAP. Auditor yang mampu mempertahankan sikap independensinya akan mendapatkan kepercayaan publik bahwa laporan keuangan keuangan yang diaudit bebas dari salah saji materil dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Hubungan independensi dan pendeteksan kecurangan dapat dilihat dari aspek kejujuran yang dimiliki auditor dalam mempertimbangkan fakta yang ditemuinya dalam melaksanakan kegiatan audit. Sebagai pihak yang independen, auditor harus memberikan opininya sesuai dengan fakta serta mengungkapkan temuannya yang diperoleh dari laporan keuangan klien jika terjadi salah saji baik berupa kekeliruan (error) atau kecurangan (fraud) berdasarkan fakta yang ada.

Independensi sangat penting bagi auditor untuk menghindari tekanan atau kepentingan dengan pihak lain. Sehingga auditor dapat menggunakan kemampuannya dalam mendeteksi kecurangan yang ada dalam perusahaan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Dengan demikian, semakin auditor memiliki sikap independensi yang tinggi maka semakin tinggi pula kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan

(59)

H2 : Independensi berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud)

3. Pengaruh Tekanan Waktu Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

Penelitian yang dilakukan oleh Braun (2000) dalam Koroy (2008) melakukan pengujian antara tekanan waktu terhadap kinerja auditor dalam mendeteksi kecurangan. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor yang bekerja di bawah tekanan waktu (time pressure) akan menurunkan sensitivitasnya terhadap gejala kecurangan yang terjadi dalam laporan keuangan, sehingga kemungkinan tidak dapat mendeteksi kecurangan.

Anggriawan (2014) juga meneliti hal yang sama. Penelitiannya menunjukkan bahwa tingginya tekanan waktu yang diterima auditor, akan menurunkan kemampuannya dalam mendeteksi kecurangan. Tekanan waktu membuat auditor harus menyesuaikan waktu dengan tugas yang harus diselesaikan. Apabila waktu yang diestimasikan tidak sesuai dengan waktu dibutuhkan sebenarnya, maka auditor akan cenderung kurang teliti dan memprioritaskan beberapa tugas agar dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan waktu yang disyaratkan.

(60)

bekerja cepat tanpa memperhatikan prosedur yang seharusnya. Kemungkinan besar auditor juga akan melewatkan bukti-bukti audit yang akan mendukung dalam hasil auditnya, sehingga temuan audit akan terbatas dan hasil auditnya menjadi tidak berkualitas. Bahkan auditor juga tidak dapat mendeteksi kemungkinan adanya salah saji dalam laporan keuangan klien.

Dengan demikian, semakin tinggi tekanan waktu yang diterima auditor, akan semakin menurunkan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Sehingga diperoleh hipotesis ke tiga yaitu:

H3 : Tekanan waktu berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud).

4. Pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

(61)

Penelitian Anggriawan (2014) dan Simanjuntak (2015) menunjukkan bahwa sikap skeptis yang dimiliki auditor akan membuat auditor lebih berhati-hati dalam pembuatan keputusan dan pemberian opini. Penelitian lain seperti pada penelitian Nasution (2012) menyatakan bahwa skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap peningkatan kemampuan auditor dalam mendeteksi gejala kecurangan. Gusti dan Syahril (2008) juga menyatakan bahwa auditor dengan skeptisisme tinggi selalu mempertanyakan bukti yang ditemuinya berupa transaksi-transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa serta melakukan prosedur tambahan untuk memperoleh keyakinan atas bukti auditnya.

(62)

H4 : Skeptisisme profesional auditor berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud).

D. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan model sederhana dengan modifikasi dari penelitian sebelumnya. Penelitian ini terdiri dari variabel independen yaitu pengalaman auditor, independensi, tekanan waktu, dan skeptisisme profesional auditor, dan satu variabel dependen yaitu kemampuan mendeteksi kecurangan (fraud). Skala dalam penelitian ini menggunakan skala likert dengan rentang satu sampai lima. Untuk menguji pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen menggunakan analisis regresi linear berganda.

(63)
(64)

47

A. Objek / Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji dan mengetahui pengaruh variabel independen yang terdiri dari pengalaman auditor, independensi, tekanan waktu, dan skeptisisme profesional auditor terhadap variabel dependen yaitu kemampuan mendeteksi kecurangan (fraud).

Penelitian ini dilakukan di Kantor Akuntan Publik (KAP) wilayah Yogyakarta dan Semarang dengan subjek penelitiannya yaitu auditor eksteral yang bekerja pada KAP tersebut.

B. Jenis Data

Data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dengan jenis data yang digunakan berupa data primer yang bersumber dari jawaban responden atas beberapa item pernyataan tentang pengalaman auditor, independensi, tekanan waktu, skeptisisme profesional auditor dan kemampuan mendeteksi kecurangan.

C. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode

convenience sampling yang berarti sampel mudah dihubungi, tidak

(65)

digunakan karena memberikan kebebasan bagi peneliti untuk memilih dan menentukan sampel dari populasi yang mudah diperoleh.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode survey yang menggunakan instrumen angket atau kuisioner. Kuisioner dibagikan secara langsung ke Kantor Akuntan Publik dimana auditor bekerja. Responden akan memberikan jawabannya dengan memilih tingkat kesetujuannya dan ketidaksetujuannya atas pernyataan tertentu yang tecantum dalam kuisioner. Kuisioner tersebut menggunakan model skala pengukuran berupa skala likert dengan rentang nilai satu sampai lima.

E. Definisi Operasional Variabel

Penlitian ini terdiri dari variabel dependen yaitu kemampuan mendeteksi kecurangan (fraud), dan pengalaman auditor, independensi, tekanan waktu, skeptisisme profesional auditor sebagai variabel independen.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan istrumen kuisioner dengan skala likert. Responden akan memberikan jawaban dengan memilih tingkat kesetujuannya dan ketidaksetujuannya atas pernyataan tertentu dalam kuisioner. Skala likert yang digunakan mempunyai rentang nilai

satu sampai lima dengan asumsi untuk pernyataan positif jawaban “STS

(Sangat Tidak Setuju)” diberi skor 1”, “TS (Tidak Setuju)” diberi skor 2, “N

(Netral)” diberi skor 3, “S (Setuju)” diberi skor 4, dan “SS (Sangat Setuju)”

(66)

jawaban menjadi “STS (Sangat Tidak Setuju)” diberi skor 5”, “TS (Tidak

Setuju)” diberi skor 4, “N (Netral)” diberi skor 3, “S (Setuju)” diberi skor 2,

dan “SS (Sangat Setuju)” diberi skor 1. Indikator yang digunakan untuk

mengukur variabel adalah sebagai berikut :

1. Variabel Dependen

Variabel terikat (variabel dependen) merupakan suatu variabel yang dipengaruhi atau variabel yang menjadi akibat karena adanya variabel independen (Sugiyono, 2010 : 4). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kemampuan mendeteksi kecurangan (fraud) yang diukur dengan mengadopsi pada penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2015) yang dikembangkan dari penelitian Koroy (2008). Menurut Koroy (2008) ada beberapa faktor yang menjadikan pendeteksian kecurangan menjadi sulit dilakukan, sehingga membuat auditor gagal dalam mendeteksi kecurangan tersebut. Indikator variabel ini yaitu :

a. Memahami sistem pendendalian internal b. Karakteristik kecurngan

c. Lingkungan pekerjaan audit yang mengurangi kualitas audit

d. Metode dan prosedur audit audit yang tidak efektif dalam pendeteksian kecurangan.

e. Bentuk kecurangan

(67)

Faktor-faktor tersebut digunakan sebagai indikator untuk mengukur variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kemmapuan mendeteksi kecurangan (fraud).

2. Variabel Independen

Variabel independen atau variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel lainnya atau yang menjadi sebab timbulnya variabel dependen (Sugiyono : 4). Penelitian ini terdiri dari empat variabel independen, yaitu :

a. Pengalaman Auditor

Pengalaman merupakan proses yang dijalani individu di masa lalu pada suatu pekerjaan tertentu yang membuat individu tersebut lebih memahami pekerjaan dan ketrampilannya secara mendalam. Pengalaman dalam penelitian ini adalah sejauh mana jam terbang auditor dalam melaksanakan tugas auditnya yang diduga dapat memperngaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Variabel ini diukur dengan menggunakan empat instrumen pada penelitian Sukriah dkk (2009) yang telah dikembangkan oleh Aulia (2013). Indikator pengukur pengalaman auditor dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Lamanya bekerja sebagai auditor 2) Banyaknya tugas pemeriksaan 3) Kemampuan kerja

(68)

b. Independensi

Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh orang lain dan tidak tergantung pada pihak lain. Independensi dapat juga diartikan sebagai kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan obyektif tidak memihak dalam memutuskan dan menyatakan pendapatnya. (Mulyadi, 2002 : 26-27). Sawyer (2006) membagi independensi menjadi tiga aspek diantaranya : independensi dalam program audit, independensi dalam verifikasi dan independensi dalam pelaporan, yang digunakan sebagai pengukur indikator independensi.

Variabel independensi diukur dengan mengadopsi instrumen yang digunakan oleh Wusqo (2016) hasil pengembangan dari penelitian Sawyer (2006). Indikator pengukur variabel ini yaitu :

1) Independensi dalam program audit

2) Independensi dalam pemeriksaan atau verifikasi 3) Independensi dalam pelaporan

c. Tekanan Waktu (Time Pressure)

Tekanan waktu merupakan kondisi atau situasi lingkungan yang dihadapi auditor dalam melakukan audit yang bisa berupa suatu keadaan yang membuat auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap waktu yang telah ditetapkan (Josoprijonggo, 2005).

(69)

bekerja cepat (Koroy, 2008). Nugraha (2012) menyatakan bahwa auditor akan memberikan respon pada saat menerima tekanan waktu dengan dua cara, yaitu : (1) Tipe fungsional dan (2) Tipe disfungsional. Indikator variabel ini menggunakan instrumen pada penelitian Anggriawan (2014) dengan mengembangkan penelitian Nugraha (2012). Indikator tersebut adalah sebagai berikut :

1) Tipe fungsional

Merupakan perilaku (attitude) auditor yang cenderung untuk meningkatkan kinerjanya dengan bekerja lebih baik serta pemanfaatan waktu secara efektif.

2) Tipe disfungsional

Merupakan perilaku (attitude) auditor yang dapat menurunkan kualitas auditor karena lebih cenderung memprioritaskan beberapa tugas

d. Skeptisisme Profesional Auditor

Skeptisisme profesional auditor diartikan sebagai sikap yang dimiliki auditor dalam melakukan audit yang mencakup pikiran selalu mempertanyakan serta mengevaluasi bukti audit secara kritis untuk memperoleh pembenaran atas bukti tersebut. Variabel ini diukur dengan menggunakan instrumen yang digunakan oleh Adnyani (2014) dengan mengembangkan penelitian yang dilakukan oleh Aulia (2013). Indikator variabel skeptisisme profesional auditor yaitu sebagai berikut:

(70)

2) Profesional 3) Asumsi tepat

(71)

Tabel 3.1 Operasional Variabel

Variabel Sub Variabel Indikator Butir

Pertanyaan

4 Intensitas tugas dan pengembangan karir

(72)

Variabel Sub Variabel Indikator Butir a. Tidak ada tekanan

dalam mengaudit

(73)

Variabel Sub Variabel Indikator Butir

1. Tipe fungsional

a. Pikiran yang berisi

(74)

Variabel Sub Variabel Indikator Butir

Variabel Sub Variabel Indikator Butir

Pertanyaan

(75)

Variabel Sub Variabel Indikator Butir

(76)

F. Teknik Analisis dan Pengujian Hipotesis 1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif digunakan untuk memberi informasi mengenai karakteristik responden dan gambaran mengenai data yang diolah, yang meliputi jumlah responden, nilai maksimum, minimum, standar deviasi, rata-rata dan lainnya.

2. Uji Kualitas Data a. Uji Validitas

Pengujian ini digunakan untuk mengukur ketepatan suatu alat ukur atau instrumen yaitu untuk mengukur ke validitasan suatu kuisioner. Pengujian validitas dilakukan dengan mengkorelasikan skor masing-masing indikator atau butir pernyataan dengan total skor. Hasil uji validitas dapat dilihat pada output Pearson Correlation. Kriteria pengujian ini yaitu jika nilai pearson correlation seluruh item pembentuk variabel memiliki korelasi dengan skor masing-masing variabel di atas 0,25 maka di katakan valid (Nazaruddin dan Basuki, 2015).

b. Uji Reliabilitas

(77)

3. Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi residual berdistribusi normal atau tidak. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Data dapat dikatakan normal apabila memiliki nilai signifikansi lebih dari 0,05.

b. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terdapat korelasi antar variabel independen. Deteksi multikolinearitas dapat dilakukan dengan melihat nilai tolerance atau

Varian Inflation Factor (VIF). Data atau model dikatakan tidak mengandung multikolinearitas jika nilai tolerance > 0,1 dan nilai VIF < 10.

c. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi tedapat ketidaksamaan variance dari residual satu ke pengamatan yang lain. Uji Glejser digunakan untuk mengetahui ada tidaknya gejala heteroskedastisitas dalam model regresi. Model regresi dikatakan bebas dari heteroskedastisitas jika nilai signifikansi > 0,05.

4. Uji Hipotesis

(78)

dependen dengan beberapa variabel independen. Model ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel pengalaman auditor (X1), independensi (X2),

tekanan waktu (X3), dan skeptisisme profesional auditor (X4) terhadap

kemampuan mendeteksi kecurangan (Y). Persamaan regresi linear berganda adalah sebagai berikut :

Y = a + β1X1+ β2X2+ β3X3+ β4X4 + e

Keterangan :

Y = Kemampuan mendeteksi kecurangan (fraud)

a = Konstanta

β1 = Koefisien regresi variabel pengalaman auditor

X1 = Pengalaman auditor

Β2 = Koefisien regresi variabel independensi

X2 = Independensi

β3 = Koefisien regresi variabel tekanan waktu

X3 = Tekanan waktu

β4 = Koefisien regresi variabel skeptisisme profesional auditor

X4 = Skeptisisme profesional auditor

e = Standar error

a. Uji Signifikansi Secara Simultan (Uji-F)

(79)

signifikansi < α (0,05), maka dapat dikatakan bahwa variabel independen

secara simultan berpengaruh terhadap variabel dependen.

b. Uji Signifikansi Secara Parsial (Uji-t)

Pengujian ini digunakan untuk mengetahui seberapa pengaruh variabel independen secara parsial (individu) dapat menjelaskan variasi variabel dependen. Hasil pengujian ini dapat dilihat pada nilai

Unstandardized Coefficients B dan nilai signifikansi. Jika nilai signifikansi < 0,05 maka variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen.

c. Uji Koefisien Determinasi

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui sebesara besar variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen (Nazaruddin dan Basuki, 2015). Pengujian ini dapat dilihat pada nilai Adjusted R2.

Gambar

Gambar 2.1. Fraud Triangle
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian terdahulu
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Tabel 2.1 (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis

Setting (latar) merupakan sekumpulan properti yang membentuk latar bersama seluruh latarnya, properti berupa objek yang diam seperti perabotan, pintu, jendela,

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui implementasi manajemen kurikulum di Madrasah Aliyah As’adiyah Atapange Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo

Kepuasan kerja dan kompetensi guru merupakan factor strategis dalam pengembangan pendidikan. Guru yang menjadi agen perubahan di sekolah, sangat diharapkan menjadi

Perusahaan dalam membuat perencanaan persediaan material dapat menggunakan metode Period Order Quantity supaya total biaya persediaan menjadi minimum, tidak terjadi

faal paru, yaitu mulai dari pengukuran yang sederhana untuk kapasitas vital,. ventilasi atau

+engunjung yang menginap, yaitu orang yang menggunakan asilitas akomodasi hotel sebagai tempat untuk menginap dan beristirahat. !dapun kegiatan3kegiatan tamu dalam

Sementara kalau dilihat penggunaannya, seperti dalam praktek di Indonesia, taklik talak adalah perjanjian yang diikrarkan suami (penganut agama Islam) pada saat perkawinan