PERBANDINGAN KUALITAS TEMPAT TUMBUH ANTARA DAUR PERTAMA DENGAN DAUR KEDUA PADA
HUTAN TANAMAN Acacia mangium Willd
(Studi Kasus di HTI PT Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan)
BASUKI WASIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2006
PERBANDINGAN KUALITAS TEMPAT TUMBUH ANTARA DAUR PERTAMA DENGAN DAUR KEDUA PADA
HUTAN TANAMAN Acacia mangium Willd
(Studi Kasus di HTI PT Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan)
BASUKI WASIS
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjud ul "Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh antara Daur Pertama dengan Daur Kedua pada Hutan Tanaman Acacia mangium Willd (Studi Kasus di HTI PT Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan)" adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Pebruari 2006
©Hak cipta milik Basuki Wasis, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
ABSTRAK
Basuki Wasis. Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh antara Daur Pertama dengan Daur Kedua pada Hutan Tanaman Acacia mangium Willd (Studi Kasus di HTI PT Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan). Dibawah bimbingan Cecep Kusmana sebagai ketua pembimbing, Endang Suhendang dan Sudarsono sebagai anggota pembimbing.
Pembangunan hutan tanaman di masa mendatang seharusnya mulai mengarah pada konsep intensifikasi dan tidak lagi penekanannya pada konsep ekstensifikasi. Konsep ekstensifikasi pada pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman telah terbukti secara nyata menyebabkan hutan terdegradasi demikian cepat. Namun kendala yang dihadapi pada pembangunan hutan tanaman industri di lapangan adalah terjadinya suatu kesenjangan yang demikian besar antara kualitas tempat tumbuh dengan tuntutan pertumbuhan tegakan untuk menghasilkan produktivitas hutan tanaman yang tinggi. Kekhawatiran yang muncul pada pembangunan hutan tanaman industri A. mangium pada lahan terdegradasi adalah kemungkinan terjadinya penurunan kualitas tempat tumbuh yang dicerminkan oleh peninggi pada daur kedua dan seterusnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran kecenderungan perubahan kualitas tempat tumbuh tegakan A. mangium, pada daur kedua dibandingkan terhadap daur pertama. Penelitian lapangan dilakukan di areal HTI PT Musi Hutan Persada Propinsi Sumatera Selatan, sedangkan analisa tanah dan tanaman di Laboratorium Tanah dan Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini menggunkan metoda survey dengan pengambilan data dilakukan pada umur 1 tahun sampai dengan 5 tahun yang diwakili oleh tiga petak berbentuk lingkaran ukur seluas 0,10 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara nyata telah terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh yang dicerminkan oleh penurunan peninggi pada daur kedua jika dibandingkan dengan daur pertama. Peninggi di lokasi penelitian secara nyata berkorelasi negatif dengan biomassa bintil akar, sedangkan umur, kandungan bahan organik dan kandungan air tersedia secara nyata berkorelasi positif dengan pertumbuhan A. mangium. Dibandingkan daur pertama pada daur kedua telah terjadi penurunan dimensi tegakan (diameter batang, tinggi total dan biomassa), penurunan pH tanah, kadar C organik tanah, N, Ca dan Mg tanah, kadar N, P dan K pada jaringan tanaman, kandungan hara N, P, K, Ca dan Mg pada biomassa. Selain itu neraca hara (N, P, K, Ca dan Mg) pada daur kedua bersifat negatif.
ABSTRACT
Basuki Wasis. Comparison of site quality between first rotation and second rotation Acacia mangium Willd plantation forest (a case study in Industrial Plantation Forest of PT Musi Hutan Persada, South Sumatra Province). Under academic supervision committe of Cecep Kusmana, as chairman; and Endang Suhendang and Sudarsono as members.
Development of plantation forest in the future should be directed toward the concept of intensification rather than emphasizing on extensification concept. Extensification concept on natural forest and plantation forest management has been proved to significantly accelerate degradation of the forest. However, the constraint faced by development of industrial plantation forest in the field is the wide gap between site quality and a great demand for stand growth to achieve high productivity plantation forest. The great concern appeared in development of industrial plantation forest of Acacia mangium on degraded land, is the possibility of site quality deterioration which could be reflected by the tree dominant height in the second and the following rotation. Therefore, this study was conducted with the main objective of comparing site quality between the first and second rotatio n in industrial plantation forest of A. mangium. Field study was conducted in Industrial Plantation Forest of PT Musi Hutan Persada, South Sumatra Province, while analysis of soils and plant tissues were conducted in Laboratory of Soils and Soil Fertility, Department of Soil Sciences and Land Resources, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. This study applied a survey method where the data were obtained from stands aged from one to five years from first and second rotation, represented by three circular sample plots of 0.10 ha each. The study revealed that there has been a significant decrease in site quality which was reflected in decrease of tree dominant height in the second rotation as compared with that of the first rotation. Tree dominant height in the study site has significant negative correlation with biomass of root nodules. On the other hand, age, contents of available water and soil organic matter had significant positive correlation with A. mangium growth. By comparing with the first rotation, there were change of stand dimension and site quality in the second rotation, namely: decreasing stand dimensions (stem diameter, total height and biomass), soil pH; organic matter content; N, Ca, Mg contents in soil; N, P, and K contents in plant tissue; and N, P, K, Ca, Mg contents in biomass. Moreover, nutrients balance of N, P, K, Ca and Mg in the second rotation was negative.
Judul Disertasi : Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh antara Daur Pertama dengan Daur Kedua pada Hutan Tanaman Acacia mangium Willd (Studi Kasus di HTI PT Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan)
Nama : Basuki Wasis
NIM : IPK985091
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S. Prof . Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc.
Anggota Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana
Pengetahuan Kehutanan
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT., atas rahmat yang
telah dilimpahkan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Karya ilmiah dengan judul Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh antara Daur Pertama
dengan Daur Kedua pada Hutan Tanaman Acacia mangium Willd, diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji permasalahan pembangunan hutan
tanaman industri A. mangium yang dilakukan pada kualitas tempat tumbuh (kesuburan tanah) yang rendah. Penelitian lapangan telah dilaksanakan di HTI PT Musi Hutan
Persada Propinsi Sumatera Selatan, sejak bulan September tahun 2003 sampai dengan
bulan Mei 2004, sedangkan untuk analisa tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium
Tanah dan Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian IPB dan penyiapan bahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium
Pengaruh Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang setingi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS, sebagai Ketua
Komisi Pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS dan Prof. Dr. Ir.
Sudarsono, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan di dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Ucapan terima kasih yang sama pula disampaikan kepada Dekan Sekolah
Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Dekan Fakultas
Kehutanan IPB, Ketua Departemen Manajemen Hutan, Ketua Departemen Silvikultur
serta Civitas Akademika IPB pada umumnya Fakultas Kehutanan IPB pada khususnya,
Pimpinan dan staf PT Musi Hutan Persada, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa, Program A2 Departemen
Manajemen Hutan dan semua pihak atas bantuan dan dukungannya kepada penulis
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih ada beberapa kelemahan dan
kekurangan, untuk itu kritik dan saran demi perbaikan karya ilmiah penulis harapkan.
Harapan penulis semoga karya ilmiah ini dapat memberikan pemikiran dan bermanfaat
bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, Pebruari 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surakarta Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 2 Oktober
1965. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari ke dua orang tua : H.
Samsu Gandakusuma (Ayah/Alm) dan Hj. Harsiki (Ibu). Pendidikan yang telah
ditempuh penulis adalah Sekolah Dasar (SD) dan lulus tahun 1977 di SD Kartika,
Jakarta Selatan, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri
110, Jakarta Selatan dari tahun 1978 hingga lulus pada tahun 1981. Tahun 1981
penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri 29, Jakarta Selatan
hingga lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1984 penulis diterima masuk Institut
Pertanian Bogor dan tahun 1985 memilih Fakultas Kehutanan, selesai tahun 1990.
Tahun 1991 penulis diangkat sebagai staf pengajar pada Fakultas Kehutanan IPB,
Departemen Manajemen Hutan di Laboratorium Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
pada bidang Ilmu Tanah Hutan. Pada tahun 1992 penulis mengikuti pendidikan S2
(Magister Sains) di Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Tanah pada
bidang Kesuburan Tanah dan selesai tahun 1996.
Pada tahun 1998 penulis mulai mengikuti pendidikan S3 pada Sekolah
Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Dalam rangka
penyelesaian studi, penulis mengadakan penelitian dengan judul Perbandingan Kualitas
Tempat Tumbuh antara Daur Pertama dengan Daur Kedua pada Hutan Tanaman
Acacia mangium Willd (Studi Kasus di HTI PT Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS, sebagai
Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS dan Prof. Dr. Ir.
DAFTAR ISI
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan TegakanHubungan Kualitas Tempat Tumbuh dengan Pertumbuhan Hutan Tanaman Acacia mangium ...
Fungsi dan Peranan Unsur Hara di Hutan Tanaman
A. mangium... Sifat Botanis, Pertumbuhan dan Biomassa Tegakan A. mangium
Sifat Botanis
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... Status Perusahaan ... Letak dan Luas ... Tanah dan Topografi ... Iklim ... Riwayat Pengelolaan dan Sistem Silvikultur ...
Bahan Penelitian ... Analisis Uji Kesamaan Slope dan Intercept Dua Model... Hubungan Peninggi dengan Umur pada Hutan Tanaman A. Mangium ... Analisis Hubungan Sifat-sifat Tanah dengan Peninggi Tegakan A. Mangium ...
Hubungan Diameter Batang Pohon dan Tinggi Total dengan Umur pada Hutan Tanaman A. mangium ... Pembuatan Persamaan Alometrik Biomassa ... Pendugaan Nilai Tengah, Keragaman dan Uji
Beda Nyata...
HASIL DAN PEMBAHASAN ... Hasil Penelitian...
Kondisi Unsur Hara Tanah pada Pertumbuhan Hutan Tanaman A. Mangium ...
Hubungan antara Sifat-sifat tanah dengan Peninggi Hutan Tanaman A.mangium ... Kadar Hara pada Bagian Tanaman ... Pertumbuhan Dimensi Tegakan Hutan Tanaman A. mangium ...
Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh dan Pertumbuhan antara Daur 1 dengan Daur 2 ...
Pembahasan ... Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh antara Daur 1 dan Daur 2... Peranan Hara dalam Kelestarian Hutan ...
DAFTAR TABEL
Hal
1. Jenis parameter yang dianalisis dan metode penetapan yang digunakan dalam penelitian ...
42
2. Kondisi pH, C orga nik, N, P, K, Ca dan Mg tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium...
50
3. Pubah sifat-sifat tanah dan umur yang teruji berkorelasi dengan peninggi hutan tanaman A. magium pada daur 2……….. 50
4. Prakiraan peninggi tegakan pada daur 2 di lokasi penelitian ... 53
5. Prakiraan peninggi tegakan maksimum pada daur 1 dan daur 2.. 53
6. Prakiraan peninggi tegakan rata-rata pada daur 1 dan daur 2 ... 54
7. Prakiraan peninggi tegakan minimum pada daur 1 dan daur 2 ... 54
8. Kadar hara pada bagian tanaman pada tegakan daur 2 di lokasi penelitian ... 56
9. Prakiraan pertumbuhan diameter batang pohon pada tegakan daur 2 di hutan tanaman A. mangium berdasarkan pemilihan model terbaik ...... 57
10. Prakiraan pertumbuhan tinggi total pada tegakan daur 2 di hutan tanaman A. mangium berdasarkan pemilihan model terbaik ………... 57
11. Model penduga biomassa pohon pada tegakan daur 2 di hutan tanaman A. mangium ... 58
12. Prakiraan perubahan peninggi tegakan antara daur 1 dengan daur 2 di lokasi penelitian... 59
13. Prakiraan perubahan diameter batang pohon antara daur 1 dengan daur 2 di lokasi penelitian ... 60
14. Prakiraan perubahan tinggi total tegakan antara daur 1 dengan daur 2 di lokasi penelitian... 61
16. Distribusi biomassa tegakan pada daur 1 dan daur 2 di hutan tanaman A. mangium ... 63
17. Besarnya biomassa dan kandungan hara N, P, K , Ca dan Mg yang diangkut dan ditinggalkan rata-rata per ha akibat pemanenan tegakan ... 65
DAFTAR GAMBAR
Hal
1. Alur pikir penelitian ... 32
2. Hubungan diameter batang pohon dan tinggi total terhadap biomassa
pohon ... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Daftar deskripsi profil tanah 1 di Blok Subanjeriji hutan tanaman
Acacia mangium ...
99
2. Daftar deskripsi profil tanah 2 di Blok Subanjeriji hutan tanaman
Acacia mangium ...
100
3. Kadar C organik tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan
tanaman A. mangium ...
101
4. Derajat kemasaman tanah (pH) pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium ......
101
5. Kadar nitrogen tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ...
102
6. Kadar fosfor tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ... 102
7. Kadar kalium tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ... 103
8. Kadar kalsium tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ...
9. Kadar magnesium tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan
tanaman A. mangium ... 104
10. pH, kadar alumunium, besi dan mangan tanah pada daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium di lokasi penelitian ...
104
11. Kadar nitrogen pada daun daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ...
105
12. Kadar nitrogen pada cabang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ...
105
13. Kadar nitrogen pada kulit daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ...
106
14. Kadar nitrogen pada batang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan
tanaman A. mangium ... 106
15. Kadar nitrogen pada akar daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ...
107
16. Distribusi kadar nitrogen pada bagian tanaman tegakan hutan tanaman
A. mangium ... 107
17. Kadar fosfor pada daun daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
18. Kadar fosfor pada cabang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ... 108
19. Kadar fosfor pada kulit pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan
tanaman A. mangium ... 109
20. Kadar fosfor pada batang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ... 109
21. Kadar fosfor pada akar pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan
tanaman A. mangium ... 110
22. Distribusi kadar fosfor pada bagian tanaman tegakan hutan tanaman A.
mangium ... 110
23. Kadar kalium pada daun daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium ... 111
24. Kadar kalium pada cabang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ... 111
25. Kadar kalium pada kulit daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium ... 112
26. Kadar kalium pada batang pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan
27. Kadar kalium pada akar daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium ... 113
28. Distribusi kadar kalium pada bagian tanaman tegakan hutan tanaman
A. mangium ... 113
29. Neraca hara N, P, K , Ca dan Mg akibat pemanenan tegakan A.
mangium ……….. 114
30. Sidik ragam persamaan regresi hubungan peninggi antara daur 1 dan
daur 2... 115
31. Sidik ragam persamaan regresi hubungan diameter batang pohon
antara daur 1 dan daur 2 ... 115
32. Sidik ragam persamaan regresi hubungan tinggi total antara daur 1 dan
daur 2 hutan tanaman A. mangium ... 115
33. Pengujian rata-rata selisih 2 buah populasi data berpasangan ... 116
34. Lokasi penelitian di Blok Subanjeriji PT Musi Hutan Persada... 117
35. Kawasan hutan PT Musi Hutan Persada Propinsi Sumatera
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan hasil paduserasi TGHK - RTRWP pada tahun 1999, luas kawasan
hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha (Purnama, 2003), dimana diperkirakan hutan
alam yang terdegradasi, sampai saat ini mencapai 40 juta ha (Haeruman, 2003 a ). Hasil
penafsiran citra satelit menunjukkan laju perusakan hutan alam tahun 1985 - 1997 tercatat
1,6 juta ha/tahun, tahun 1997 - 2000 tercatat 2,8 juta ha/tahun dan tahun 2000 - 2003
semakin tidak terkendali (Purnama, 2003). Dengan demikian pengelolaan hutan di masa
mendatang diarahkan ke proses pengelolaan hutan yang bersifat intensif, karena pengelolaan
hutan alam dan hutan tanaman yang ekstensif bersifat ekstraktif telah menyebabkan hutan
terdegradasi demikian cepat. Namun kendala yang dihadapi pada pembangunan hutan
tanaman industri (HTI) di lapangan yaitu terjadi suatu kesenjangan demikian besar antara
kualitas tempat tumbuh (kesuburan tanah rendah) dengan tuntutan pertumbuhan tegakan
untuk menghasilkan produktivitas hutan tanaman yang tinggi (Sanchez, 1976; Manan,
1994; Mile, 1997; Hani'in, 1999; Siswoyo, 2004).
Tingkat intensifikasi pada hutan tanaman dapat dicirikan oleh sejumlah kegiatan atau
upaya dan biaya yang diinvestasikan ke dalam setiap luas lahan atau volume produk.
Makin besar jumlah modal yang diinvestasikan pada suatu hutan tanaman, maka semakin
intensif pengelolaannya. Intensifikasi tindakan silvikultur pada hutan tanaman sangat
bergantung pada aksesibilitas, kualitas tapak, tujuan manajemen dan sifat pemilik hutan.
Sedangkan tersedianya pemasaran dengan harga yang baik mutlak diperlukan (Manan,
1994; Siswoyo, 2004). Hal ini sesuai dengan tujuan pengusahaan HTI yaitu : 1) menunjang
pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa,
2) meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, dan 3) memperluas
Di Indonesia salah satu jenis tanaman yang digunakan dalam skala luas untuk
pembangunan HTI adalah Acacia mangium. Jenis ini telah terbukti memberikan
pertumbuhan yang sangat baik pada program reboisasi pada kawasan hutan terdegradasi
yang tertutup oleh tanah kosong, alang-alang dan semak belukar di Sabah, Malaysia Timur
dan Subanjeriji, Sumatera Selatan (Simon dan Arisman, 2004).
Kekhawatiran yang muncul pada pembangunan hutan tanaman industri A. mangium
pada lahan terdegradasi adalah kemungkinan terjadinya penurunan kualitas tempat tumbuh
yang dicerminkan oleh peninggi pada daur kedua (daur 2) dan seterusnya yang akan
berakibat menurunnya hasil panen kayu tegakan hutan. Penelitian hubungan kualitas
tempat tumbuh dengan peninggi tegakan A. mangium pada daur pertama (daur 1) menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi peninggi adalah umur dan kandungan
kalium (Chaerudy, 1994). Sedangkan menurut Rukmini (1996), faktor yang paling
mempengaruhi peninggi tegakan adalah umur, pH tanah, C organik, kadar fosfor dan tebal
horison A. Pemanenan hutan tanaman A. mangium pada jenis tanah vertisol menyebabkan penurunan unsur hara tanah N, P, K, Ca dan Mg, sehingga perlu dilakukan penambahan
unsur hara melalui pemupukan (Mindawati, 1996; Kusumawati, 1998; Mackensen, 2000).
Penelitian Mile (1997) menunjukkan bahwa konversi hutan alam menjadi HTI berpengaruh
negatif terhadap sifat kimia tanah yaitu menurunnya kandungan hara N, P, K, Ca dan Mg.
Analisa regresi menunjukkan bahwa pH tanah, P tersedia, kedalaman efektif tanah,
ketebalan horison A dan lereng berpengaruh terhadap peningkatan produksi tanaman A. mangium (Hafiziansyah, 1997). Penelitian di lahan kritis Padang Lawas menunjukkan bahwa tekstur tanah dan pengolahan tanah dibandingkan sifat kimia tanah lebih berpengaruh
terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman muda A. mangium (Butarbutar, Mas’ud dan Suhada, 1993).
Tanaman A. mangium mampu bersimbiose yang saling menguntungkan dengan bakteri tanah dari genus Rhizobium. Bakteri ini menembus akar-akar muda di dalam permukaan tanah dan menggandakan diri dalam bentuk nodul yang membengkok pada
(Adam dan Attiwill, 1981). Kecukupan unsur hara P dan K di tanah akan meningkatkan
fiksasi N sebesar 50 - 200 kg N/ha/tahun (Fisher dan Binkley, 2000). Pembentukan bintil
akar pada Acacia sp terbaik pada pH 6,5 - 7,0 (Habish, 1970).
Jenis A. mangium merupakan salah satu jenis cepat tumbuh (fast growing species), yang memiliki daur pendek dengan daur finansial pada umur 9 - 10 tahun (Gunawan, 2002). Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa daur A. mangium untuk keperluan bahan baku pulp dapat diperpendek menjadi 6 – 8 tahun (Anonymous, 2003;
Djojosoebroto, 2003 a). Penelitian penanaman A. mangium pada tanah podsolik merah
kuning mengungkapkan bahwa riap diameter mencapai puncaknya pada umur 2 tahun
(Riyanto dan Kusnandar, 1994).
Kelengkapan hasil penelitian merupakan salah satu kunci untuk mendukung
keberhasilan pembangunan hutan tanaman industri di Indonesia secara berkelanjutan. Data
kajian penelitian kualitas tempat tumbuh, sifat-sifat tanah, kadar hara jaringan tanaman dan
pertumbuhan pada hutan tanaman industri A. mangium yang ada sekarang ini masih bersifat parsial dan belum lengkap atau sebatas dilakukan pada daur pertama, sedangkan
bagaimana kualitas tempat tumbuh, sifat-sifat tanah, kadar hara tanaman dan pertumbuhan
pada hutan tanaman A. mangium pada daur kedua dan seterusnya, serta bagaimana perbandingan antara daur pertama dengan daur kedua adalah belum ada atau belum
lengkap.
Perumusan Masalah
Pembangunan HTI diharapkan akan berperan penting dalam mencukupi kebutuhan
kayu di Indonesia. Akan tetapi pada umumnya pembangunan HTI dilaksanakan pada
lahan kritis (terdegradasi), sehingga diperkirakan akan memiliki kualitas tempat tumbuh
yang rendah. Akibatnya, produktivitas hutan tanaman industri tidak sesuai dengan yang
berikutnya. Dengan demikian kualitas tempat tumbuh merupakan pembatas utama dalam
pertumbuhan hutan tanaman A. mangium.
Permasalahan pokok yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah mengkaji
perbandingan kualitas tempat tumbuh antara daur 1 dan daur 2 pada hutan tanaman industri
A. mangium. Beberapa permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: a. Apakah pada areal HTI A. mangium terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh
pada daur kedua ?
b. Sejauh mana pertumbuhan dimensi tegakan A. mangium pada daur kedua ? c. Sifat-sifat tanah apa yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan dimensi
tegakan pada daur kedua ?
Tujuan Penelitian
Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran kecenderungan
perubahan kualitas tempat tumbuh tegakan A. mangium pada daur kedua dibandingkan terhadap daur pertama. Untuk mendapatkan tujuan utama ini perlu dilakukan pengkajian
terhadap hal-hal sebagai berikut :
1. Perbandingan bentuk dan pola kurva pertumbuhan peninggi tegakan pada daur
pertama dan daur kedua
2. Perbandingan bentuk dan pola kurva pertumbuhan rata-rata diameter batang pohon
dan rata-rata tinggi total tegakan pada daur pertama dan daur kedua
3. Hubungan antara sifat-sifat tanah dengan peninggi tegakan pada daur kedua
Hipotesis
1. a). bentuk kurva pertumbuhan peninggi tegakan A. mangium pada daur pertama sama dengan daur kedua dan b). letak kurva pertumbuhan peninggi tegakan pada daur
kedua lebih rendah dari kurva pertumbuhan peninggi tegakan daur pertama
2. a). bentuk kurva pertumbuhan rata-rata diameter batang pohon dan rata-rata tinggi
total tegakan pada daur pertama sama dengan daur kedua dan b). letak kurva
pertumbuhan rata-rata diameter batang pohon dan rata-rata tinggi total tegakan pada
daur kedua lebih rendah dibandingkan daur pertama
3. Terdapat hubungan yang kuat antara sifat-sifat kimia tanah : pH, C organik, N, P, K,
Ca dan Mg dengan peninggi tegakan A. mangium pada daur kedua
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengelolaan hutan tanaman A. mangium secara lestari terutama sebagai masukan penting pada :
1. Pengelolaan hutan tanaman A. mangium yaitu menentukan input dan teknik silvikultur intensif untuk mendukung pembangunan HTI di Indonesia secara berkelanjutan
2. Penyusunan perencanaan dan petunjuk teknis pembinaan hutan tanaman A. mangium.
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tegakan
Hubungan kualitas tempat tumbuh dengan pertumbuhan hutan tanaman Acacia
mangium
Kualitas tempat tumbuh merupakan penjumlahan banyak faktor lingkungan : kedalaman tanah, karakteristik profil, komposisi mineral, kecuraman lereng, arah lereng, iklim mikro, jenis tanah dan lain-lain. Faktor-faktor ini berturut-turut merupakan fungsi sejarah geologis, fisiografis, iklim mikro dan perkembangan suksesi (Daniel, Helms dan Baker, 1987). Sedangkan faktor tempat tumbuh tegakan adalah totalitas dari peubah keadaaan tempat tegakan, mencakup bentuk lapangan, sifat-sifat tanah dan iklim yang memiliki tingkat keeratan hubungan yang cukup tinggi dengan dimensi tegakan. Peubah-peubah ini tidak perlu berupa faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tegakan (Suhendang, 1990).
Wilde (1958) menyatakan bahwa pada dasarnya produktivitas tanah hutan dipengaruhi
oleh faktor-faktor primer dan sekunder. Faktor-faktor primer ini terdiri atas kondisi umum
iklim, topografi, drainase, batuan asal, tekstur tanah, profil tanah dan lain-lain ciri tanah.
Sedangkan faktor-faktor sekunder antara lain serasah, simbiosis organisme, iklim mikro dan
spesies tumbuhan. Pertumbuhan pohon sangat ditentukan oleh interaksi antara tiga faktor
yaitu keturunan, lingkungan dan teknik pembudidayaan (silvikultur) (Kramer dan Kozlowski,
1960).
1. Faktor genetik pada hutan tanaman A. mangium
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perlu dipahami sehingga kita dapat
melakukan manipulasi pertumbuhan tanaman agar dapat diperoleh hasil produksi yang
menguntungkan. Adapun faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang dapat
dimanipulasi yaitu faktor genetik dan faktor tanah. Keragaman pertumbuhan akibat keragaman
genetis diduga sangat kecil apabila biji yang ditanam berasal dari sumber biji yang sama.
Menurut Soerianegara dan Djamhuri (1979) jenis-jenis pohon biasanya memperlihatkan
keragaman geografis (antar provenance), keragaman lokal (antar tempat tumbuh), keragaman
antar pohon pada sesuatu tempat tumbuh dan keragaman di dalam pohon.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperkecil kemungkinan adanya
keragaman genetik dari pertumbuhan tegakan pada lokasi penelitian adalah dengan menelusuri
asal biji yang ditanam pada tegakan itu. Keragaman pertumbuhan akibat keragaman genetis
diduga sangat kecil apabila biji yang ditanam berasal dari sumber biji yang sama. Asal benih
untuk pembangunan HTI PT Musi Hutan Persada berasal dari Kebun Benih A. mangium di Subanjeriji. Kebun Benih Subanjeriji dibangun tahun 1980 dengan luas 600 ha dimana 300 ha
ditanam dengan sumber benih berasal dari Sabah, Malaysia yang merupakan provenans
turunan yang ditanam sekitar tahun 1968 - 1970 dengan asal benih dari Queensland, Australia
dan 300 ha ditanam dengan sumber benih dari Australia. Tegakan benih dan ras lahan
Subanjeriji inilah yang kemudian dijadikan sumber benih untuk pembangunan hutan tanaman A. mangium di seluruh Indonesia. Akhirnya pada tahun 1985 areal Subanjeriji itu ditetapkan menjadi tegakan benih (seed production area) yang pengelolaannya diserahkan pada PT Inhutani I (Simon dan Arisman, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman genetik
(DNA) untuk A. mangium sangat kecil (Konsultasi pribadi dengan Dr Iskandar Zulkarnaen S). Faktor geografis lokasi asal benih (provenansi) yaitu lintang, bujur dan ketinggian, tidak
besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan provenasi A. mangium di Parung Panjang mengingat keadaan geografis asal benih tersebut tidak jauh berbeda dengan keadaan geografis Parung
Panjang (Narendra, 1997). Hasil penelitian di KPH Majalengka menunjukkan bahwa
pengujian pada lima provenansi A. mangium pada umur tiga tahun menunjukkan tidak berbeda nyata dalam hal tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter batang, derajat kerusakan akibat
serangan hama dan penyakit dan jumlah cabang (Santoso, 1992). Hasil penelitian Huriati
(2001) menunjukkan bahwa provenansi A. mangium tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan diameter, berat kering total, nisbah pucuk akar dan
kekokohan semai.
Faktor lingkungan adalah faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan tegakan hutan
yaitu iklim, bentuk lahan, ketinggian tempat dan topografi, dimana secara umum sangat sulit
untuk dikendalikan atau dikelola. Upaya yang dilakukan pada kegiatan budidaya tanaman yaitu
melalui pendekatan kepada kesesuaian lahan. Peningkatan pertumbuhan pohon atau tanaman
dapat dilakukan melalui perbaikan kesuburan tanah.
Tanah merupakan faktor edafis yang penting bagi pertumbuhan perakaran pohon dan
perkembangannya. Kegiatan kehutanan dan pertanian memerlukan tanah yang subur bagi
berhasilnya usaha penanaman. Kesuburan tanah diartikan sebagai kesuburan kimiawi dan fisika,
yang memungkinkan pohon tumbuh dengan baik dan menghasilkan kayu produk lainnya.
Kesuburan tanah ditentukan oleh sifat kimia, fisika dan biologis tanah. Kesuburan tanah
merupakan kekuatan di dalam budidaya hutan tanaman, tanah yang subur akan memberikan
peluang keuntungan yang besar dalam pengusahaan hutan tanaman (Tobing, 1995).
a. Sifat kimia tanah
Tanah merupakan perantara penyedia faktor-faktor suhu, udara, air dan unsur hara
yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, terutama unsur-unsur hara. Unsur hara esensial
dapat berasal dari udara, air dan tanah.
Penelitian hubungan kualitas tempat tumbuh dengan peninggi tegakan A. mangium
menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi peninggi yaitu umur dan kandungan K
(Chaerudy, 1994). Sedangkan menurut Rukmini (1996) faktor yang mempengaruhi adalah
umur, kandungan P, C organik, pH dan tebal lapisan A. Hasil penelitian Kusnadi (1998) pada
hutan tanaman A. mangium secara tegas mendiagnosis unsur hara K dan P masing-masing sebagai hara yang paling defisien urutan pertama dan kedua sehingga direkomendasikan untuk
memberi input baik berupa pupuk maupun pengapuran. Tanaman cepat tumbuh diduga
memerlukan unsur hara yang banyak untuk pertumbuhannya sehingga menyebabkan unsur hara
dari tanah akan cepat terkuras. Pemberian pupuk fosfat (TSP) terbukti berpengaruh sangat
peningkatan pertumbuhan biomassa sebesar 34,2 % pada dosis 300 ppm (Kusumawati,
1998).
Tanah masam umumnya dijumpai di daerah tropis dengan iklim basah. Kandungan Al,
Fe dan Mn yang tinggi pada tanah masam merupakan salah satu penghambat pertumbuhan
tanaman. Di samping itu pada tanah masam ketersediaan hara seperti : N, P, K, Ca, Mg dan
hara mikro seperti boron (B), seng (Zn), dan molibdenum (Mo) bagi tanaman sangat rendah
(Sanchez, 1976).
Keracunan Al lebih sering terjadi pada lahan-lahan bereaksi masam. Pada kisaran pH
4,7 – 6,5 bentuk Al yang dominan adalah Al(OH)3 dan Al(OH) +
2 (Bohn, Mc Neal dan
O’Connor, 1979). Tan (1993) menyatakan tanah-tanah masam umumnya dijumpai di daerah
iklim basah. Dalam tanah tersebut konsentrasi ion H+ melebihi konsentrasi ion OH-.
Tanah-tanah ini dapat mengandung Al, Fe dan Mn terlarut dalam jumlah besar sehingga dapat meracuni
tanaman.
Fosfor adalah hara penting kedua terbesar setelah N, dan dikatakan bahwa P sebagai
kunci kehidupan karena berfungsi sebagai transfer energi dan penyusun asam nukleat. Jika N
dapat ditambat dari udara, namun P hanya dari batuan, sedangkan air hujan sedikit sekali
mengandung P (Soerianegara, 1973; Tan, 1993; Taylor, 1995). Kalium merupakan unsur hara
terpenting ke tiga dimana umumnya tanah-tanah di Indonesia memiliki kandungan K yang
rendah. Sedangkan Ca merupakan unsur hara makro yang berperan dalam penyusun dinding
sel, termasuk unsur hara tidak mobile sehingga akan terus diambil dari tanah .
Kekurangan unsur hara yang umum sering terjadi adalah fosfor, tetapi pada tanah-tanah
bergambut dan bertekstur kasar di daerah beriklim basah (humid) kekurangan N dan K
kadang-kadang dapat merupakan pembatas yang nyata mempengaruhinya. Untuk mengatasi
rendahnya kandungan hara perlu dilakukan pemupukan (Suparna dan Purnomo, 2004).
Pemberian kompos bokashi pada tanah podsolik merah kuning secara nyata meningkatkan
pertumbuhan A. mangium (Susilawati, 2000).
Pemanenan hutan mempunyai resiko yang tinggi dalam mengurangi produktifitas lahan
pada satu dan beberapa daur. Pemanenan hutan pinus di Minnesota, USA dan Ontario,
Hasil penelitian Waluyo (2003) menunjukkan bahwa unsur hara yang hilang pada hutan
sekunder akibat pembakaran lahan dari aliran permukaan selama 3 bulan adalah 1.050,15 gram
N/ha, 21,69 gram P/ha, 1.084,31 gram K/ha, 13,01 gram Ca /ha Ca dan 3,8 gram Mg/ha.
Rata-rata produksi serasah A. mangium di KPH Majalengka adalah sebesar 9,34 ton/ha/tahun. Kontribusi hara dari serasah tersebut pada lahan hutan sebesar 83,1 kg N
/ha/tahun, 2,8 kg P/ha/tahun, 21,35 kg K/ha/tahun, 54,18 kg Ca/ha/tahun dan 13,08 kg
Mg/ha/tahun (Mindawati, 1999).
b. Sifat fisika tanah
Sifat fisika tanah terutama penting dalam hubungannya dengan kandungan air, aerasi,
drainase dan kandungan hara. Pada tanah yang padat aerasi menjadi buruk. Dalam kondisi
demikian pengambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida tidak berjalan dengan baik.
Keadaan sifat fisika tanah sangat mempengaruhi kesuburan tanah terutama dalam perbaikan
tekstur dan struktur tanah.
Penelitian Soedomo (1984) menunjukkan bahwa sifat fisika tanah merupakan
komponen yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan tegakan hutan, dan diyakini
bahwa sifat fisika tanah lebih penting pengaruhnya dibandingkan dengan sifat kimia dan biologi
tanah.
Penelitian di lahan kritis Padang Lawas menunjukkan bahwa sifat fisika tanah yaitu
tekstur tanah dan pengolahan tanah dibandingkan sifat kimia lebih berpengaruh terhadap
pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman muda A. mangium (Butarbutar, Mas’ud dan Suhada, 1993). Pertumbuhan tinggi A. mangium yang terbaik sampai dengan umur dua tahun didapat melalui pengolahan tanah total yaitu setinggi 6,83 m dan paling rendah pertumbuhannya dengan
perlakuan land clearing yaitu sebesar 3,83 m. Pengolahan tanah akan memperbaiki sifat fisika tanah dan menekan pertumbuhan alang-alang sehingga tidak timbul terjadinya persaingan hara
Hasil penelitian Soedomo (1984) pada tegakan pinus menunjukkan bahwa sifat fisika
tanah yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan tegakan adalah : ketebalan lapisan A,
penetrabilitas tanah, tekstur tanah, kadar air tersedia dan bulk density (limbak).
Penelitian di tegakan jati menunjukkan bahwa sifat fisika tanah yang mempengaruhi
terhadap pertumbuhan tegakan adalah persentase lereng dan ketebalan horison A (Sjahid,
1981; Sunarto, 1989).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan tegakan. Oleh karenanya, tekstur tanah merupakan salah satu faktor penentu
kualitas tapak (site quality) yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah bonita. Jenis pinus lebih menyukai tanah bertekstur sedang sampai ringan, sedangkan jati lebih sesuai dengan tanah
bertekstur berat (Soedomo, 1984).
Faktor ketebalan tanah lapisan atas (top soil) merupakan salah satu faktor penentu
pertumbuhan tanaman. Lapisan ini merupakan zona perakaran tanaman dan tempat hidup
berbagai makro dan mikro organisme tanah. Lapisan atas (horison A) umumnya memiliki
kandungan bahan organik yang lebih tinggi, lebih subur dan memiliki sifat fisika tanah yang lebih
baik dibandingkan lapisan lainnya (Soedomo, 1984).
Kadar air tersedia adalah kondisi air pada kapasitas lapang (field capacity) sampai dengan kondisi titik layu permanen. Kapasitas lapang adalah jumlah kandungan air di dalam
tanah sesudah air gravitasi turun semua, sampai batas akar tanaman tidak mampu mengisap air
tanah lagi. Menurut penelitian Ang, Maruyama, Mullins dan Seel (1997) tanaman A. mangium
yang tumbuh pada tanah yang kekeringan akan mempunyai fotosintesa lebih rendah
dibandingkan dengan yang tumbuh pada lahan yang basah.
Seperti kebanyakan jenis polong-polongan A. mangium memiliki bentuk simbiose yang saling menguntungkan dengan bakteri tanah dari genus Rhizobium. Bakteri ini menembus akar-akar muda di dalam permukaan tanah dan menggandakan diri dalam bentuk nodul yang
membengkok pada permukaan akar. Di dalam nodul ini bakteri menyerap gas nitrogen dari
udara dalam tanah dan memindahkan dalam bentuk nitrogen organik dan senyawa organik
(Dulsalam, 1987; Cruz dan Yantasath, 1993).
Beberapa pohon polong potensial yang dapat dikembangkan dengan bantuan
Rhizobium diantaranya adalah A. mangium, Paraserianthes falcataria, Leucaena leucacephala dan lain-lain, yang jenis-jenis pohon tersebut secara teoristis laju pertumbuhannya dapat ditingkatkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi Rhizobium dapat meningkatkan bobot kering dan jumlah bintil akar sebesar 162 persen dan pertumbuhan
biomassa anakan tanaman sengon rata-rata sebesar 26 persen serta menyumbangkan unsur N
ke tanah setara 100 kg/ha (Wasis, 1996). Penanaman A. mangium pada lahan baru harus memperhatikan peranan mikroorganisme. Populasi mikroorganisme tanah paling banyak
umumnya dijumpai pada kedalaman tanah 0 – 10 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa masa
depan hutan tanaman industri khususnya A. mangium sangat tergantung kepada sifat biologi tanah, sementara itu penelitian ini belum dilakukan pada skala lapangan.
Umumnya bintil akar A. mangium berukuran besar, berbentuk panjang, berlekuk-lekuk dan kadang bercabang-cabang . Bintil akar tersebut tersebar di seluruh bagian akar baik di
akar utama maupun akar cabang. Apabila dipecah bagian tengahnya berwarna merah
kecoklatan yang menandakan bahwa bakteri Rhizobium yang berada di dalam bintil akar sel tersebut efektif dalam menambat nitrogen (Sumiasri et al, 1990). Inokulasi mikoriza dan
Bradyrhizobium sp meningkatkan penambatan N (aktifitas nitrogenase) pada semai A. nilotica
(Saravanan dan Natarajan, 2000).
Pemberian inokulasi VA-mikoriza dan inokulasi Rhizobium dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter dan bobot kering total anakan A. mangium (Suwarto, 1991). Hasil penelitian Irawan (1997) menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi cendawan
yang diamati yaitu tinggi, diameter, berat kering total, jumlah panjang daun dan indeks mutu bibit
semai A. mangium.
Dekomposisi serasah A. mangium di lapangan umumnya berjalan sangat lambat. Laju dekomposisi serasah A. mangium dapat dipercepat dengan penambahan inokulum cendawan
Trichoderma viride apabila kondisi lingkungannya mendukung. Nilai rasio C/N optimal dalam selang kritis antara 20 - 30 % dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat yaitu 8 minggu
(Rohiani, 1996).
Fungsi dan Peranan Unsur Hara di Hutan Tanaman A. mangium
Unsus hara tanaman adalah bahan kimia yang dibutuhkan atau diserap oleh tanaman
untuk proses pertumbuhan dan proses metabolisme. Unsur hara tersebut sangat penting karena
menentukan kemampuan hidup tanaman. (Mengel dan Kirby, 1982). Bila salah satu atau
beberapa unsur hara tidak berada dalam jumlah yang cukup atau salah satu unsur berlebihan
sedangkan lainnya sangat kurang, maka tanaman akan menunjukkan gejala-gejala kekurangan
unsur hara. Gejala kekurangan unsur hara cepat atau lambat akan terlihat pada bagian tanaman
seperti pada daun, cabang, batang, bunga, buah bahkan pada seluruh bagian tanaman. Ada
tanaman yang cepat sekali menunjukkan tanda kekurangan dan ada pula yang lambat (Fisher
dan Binkley, 2000).
Berdasarkan kebutuhan bagi tanaman maka unsur hara dibedakan menjadi dua yaitu
unsur hara makro (macro nutrient) dan unsur hara mikro (micro nutrient). Unsur hara makro terdiri dari C, H, O, N, P, K, Ca, Mg dan S, sedangkan unsur hara mikro terdiri dari Mn, Cu,
Zn, Mo, B, Cl da Fe.
1. Nitrogen (N)
Nitrogen merupakan unsur penyusun biomassa dimana secara langsung akan
tanaman hutan (Tanner, Vitousek dan Cuevas, 1997; Anonymous, 2004; Majdi dan Ohrvik,
2004) . Secara umum senyawa organik di dalam tanaman akan mengandung N. Senyawa N
dalam tanaman adalah asam amino, asam nukleat, enzim-enzim, bahan-bahan yang menyalurkan
enersi seperti klorofil, ADP dan ATP. Tanaman tidak dapat melakukan metabolismenya jika
kekurangan N untuk membentuk bahan-bahan vital tersebut (Kramer dan Kozlowski, 1960).
Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur N pada daun sebesar 2,2 % merupakan
batas defisiensi, sedangkan konsentrasi N pada daun sebesar 2,2 - 2,4 % masuk selang rendah
dan konsentrasi N pada daun sebesar 2,5 - 2,7% masuk selang optimum. Menurut Kramer and
Kozlowski (1961) konsentrasi N pada daun pada pohon jenis Tilia americana sebesar 2,32 % merupakan batas defisiensi. Pada kebanyakan tanaman pinus konsentrasi dibawah 10 - 12
mg/gram biomassa daun (1,0 - 1,2 %) merupakan indikasi terjadinya defisiensi unsur N.
Sedangkan unsur hara konsentrasi P kritis bagi tanaman sekitar 10 persen dari konsentrasi N
(Fisher dan Binkley, 2000).
2. Fosfor (P)
Fosfor adalah unsur hara penting kedua terbesar setelah N, dan dikatakan bahwa P
sebagai kunci kehidupan karena berfungsi sebagai transfer energi dan penyusun asam nukleat
dan umumnya sebagai pembatas pertumbuhan hutan tropik. Jika N dapat ditambat dari udara,
tetapi unsur hara P hanya dari pelapukan batuan, sedangkan air hujan sedikit sekali
mengandung P (Soerianegara, 1973; Taylor, 1995).
Fungsi P yaitu mengatur pembelahan sel dan pembentukan lemak, albumin,
nukleoprotein, asam nukleat, ATP, koenzim NAD dan NADP, untuk pembentukan buah,
bunga dan biji, mempercepat kematangan tanaman, merangsang perkembangan akar halus dan
akar rambut, meningkatkan kualitas hasil tanaman dan meningkatkan ketahanan terhadap
penyakit (Meyer, Anderson dan Bohning, 1960; Devlin, 1977). P sangat berpengaruh terhadap
perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena P banyak terdapat di
dalam sel tanaman berupa unit-unit nukleotida. Sedangkan nukleotida merupakan suatu ikatan
tanaman (Meyer, Anderson dan Bohning, 1960). Fosfor adalah penyusun fosfolipid,
nucleoprotein, dan fitin, yang selanjutnya akan banyak tersimpan dalam biji. P sangat berperan
aktif dalam mentransfer energi di dalam sel, berfungsi mengubah karbohidrat dan meningkatkan
efisiensi kerja kloroplas.
Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur P pada daun sebesar 0,9 % merupakan
batas defisiensi, sedangkan konsentrasi P pada daun sebesar 0,09 - 0,11 % masuk selang
rendah dan konsentrasi P pada daun sebesar 0,12 - 0,16 % masuk selang optimum. Menurut
Kramer and Kozlowski (1960) konsentrasi P pada daun pohon jenis Pinus sylvestris sebesar 0,08 % merupakan batas defisiensi sedangkan untuk Betula spp batas defisiensi sebesar 0,08 - 0,10 %.
3. Kalium (K)
Kalium merupakan unsur hara terpenting ketiga dimana secara umum tanah-tanah di
Indonesia memiliki kandungan K yang rendah. Kalium diserap dalam bentuk K+ dan
merupakan unsur hara makro yang sangat penting bagi proses fisiologis. Bagian tanaman yang
banyak mengandung K adalah batang, daun, buah dan akar. K bukan hara pembentuk organ
tanaman, namun hara ini terdapat di dalam semua sel, yaitu sebagai ion dalam cairan sel. Inti sel
juga mengandung K (Mengel dan Kirby, 1982).
Fungsi hara K membantu pembentukan/asimilasi pati/zat arang, bila tanaman tidak
sama sekali mengandung K, maka asimilasi akan berhenti. Bila tanaman mulai terjadi
pertumbuhan, maka K dengan cepat ditarik, karena K mudah bergerak atau ditranslokasikan
ke bagian lain. K juga berfungsi sebagai katalisator proses fisiologis tanaman, proses
metabolisme dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur hara, mempertinggi daya tahan
terhadap kekeringan dan penyakit dan membantu perkembangan akar. K berfungsi mendorong
aktivitas sebanyak 40 enzim dan membantu pembentukan protein dari asam amino (Meyer,
Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur K pada daun sebesar 0,7 % merupakan
batas defisiensi, sedangkan konsentrasi K pada daun sebesar 0,7 - 1,1 % masuk selang rendah
dan konsentrasi K pada daun sebesar 1,2 - 1,7 % masuk selang optimum. Menurut Kramer
and Kozlowski (1960) konsentrasi K pada daun pohon jenis Pinus strobus dan Pinus resinosa sebesar 0,84 % merupakan batas defisiensi sedangkan untuk Betula spp batas defisiensi sebesar 0,29 - 0,84 % dan Picea abiesdan Picea glauca batas defisiensi sebesar 0,18 - 0,21 %.
4. Kalsium (Ca)
Kalsium merupakan unsur hara makro yang berperan dalam penyusun dinding sel,
termasuk unsur hara tidak mobil sehingga kebutuhan hara oleh tanaman akan terus diambil dari
tanah. Ca berfungsi bagi tanaman adalah untuk penyusunan dinding sel tanaman, sintesa pektin
dalam lamela tengah dinding sel, pembelahan sel dan membantu pertumbuhan dan
perpanjangan akar, membantu sintesis protein dan membantu pembentukan protein
mitokondria. Fungsi lain dari Ca adalah menambah perkembangan bunga dan batang
(Hutchinson, 1979), mempertahankan keutuhan membran yang membatasi sitoplasma, vakuola
dan inti sel. Di bawah mikroskop elektron tampak bahwa sel-sel pada titik tumbuh tanaman
yang kahat Ca tidak jelas lagi batas-batas antar selnya, membran pecah-pecah dan
organel-organel dalam sel tidak jelas lagi bentuknya (Marschner, 1995). Mengel dan Kirby (1982)
menjelaskan bahwa Ca yang terdapat dalam jaringan tanaman sebagai Ca 2+ yang bebas.
Persenyawaan terjadi sebagai deposit dalam sel vakuola.
Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur Ca pada daun sebesar 1,5 % merupakan
batas defisiensi, sedangkan konsentrasi Ca pada daun sebesar 1,5 - 2,9 % masuk selang
rendah dan konsentrasi Ca pada daun sebesar 3,0 - 4,5 masuk selang optimum. Pada umumnya
kekurangan unsur hara Ca dicirikan oleh berkurangnya pertumbuhan meristematik, terutama
pada daun-daun yang paling muda. Daun-daun menjadi cacat dan klorosis, dimana pada
tingkat yang lebih dini nekrotis terjadi pula pada pinggir daun, sehingga bentuk daun menjadi
Kalsium berguna untuk penguat dinding sel (lamela tengah) dan di dalam banyak tanaman, unsur
ini terdapat sebagai kristal-kristal kalsium oksalat. Kalsium mempergiat pembelahan sel-sel
meristem, membantu pengambilan nitrat dan mengaktifkan berbagai enzim. Di dalam daun yang
tua terdapat lebih banyak kalsium daripada di dalam daun yang muda. Unsur hara Ca di dalam
tubuh tanaman tidak dipindahkan (translokasi).
5. Magnesium (Mg)
Sementara Mg merupakan unsur penyusun inti klorofil pada tumbuhan (Sanchez, 1976;
Devlin, 1977; Bidwell, 1978), Mg diserap oleh tanaman dari larutan tanah sebagai ion Mg2+.
Konsentrasinya dalam larutan hara selalu bervariasi antara 30 sampai 100 ppm, dengan sekitar
24 ppm merupakan level yang diperlukan kebanyakan tanaman. Kadar Mg dalam tanah
berkisar 0,05 persen untuk tanah pasir dan 0,5 persen untuk tanah liat (Mengel dan Kirkby,
1982), karena itu menurut pendapat Bidwell (1979) kekurangan Mg tidak perlu terjadi. Jumlah
yang lebih banyak ditemukan pada tanah liat, sebab Mg yang ada merupakan mineral
ferromagnesian yang relatif mudah melapuk seperti biotit, serpentin, horblende dan olivin.
Mineral tanah yang mengandung Mg antara lain MgCO3 atau dolomit (CaCO3MgCO3).
Menurut Bidwell (1979), konsentrasi Mg pada daun sebesar 0,20 % merupakan batas
defisiensi, sedangkan konsentrasi Mg pada daun sebesar 0,20 - 0,29 % masuk selang rendah
dan konsentrasi Mg pada daun sebesar 0,30 - 0,49 % masuk selang optimum. Kekurangan
unsur hara Mg bagi pinus dapat dilihat pada daun jarumnya yang kuning dari ujung yang
mengarah ke pangkalnya. Tanda-tanda selanjutnya terlihat pada daun jarum yang berwarna
kuning sepanjang tahun, dan hanya sedikit yang berwarna hijau terutama di sekitar kuncup.
Warnanya kemudian berubah menjadi kuning emas yang mengkilap (cemerlang). Mg berfungsi
untuk pembentukan klorofil, sistem enzim dan pembentukan getah (Binns, et al, 1980; Mengel dan Kirkby, 1982). Dengan demikian warna kuning merupakan salah satu gejala kekurangan
Sifat Botanis, Pertumbuhan dan Biomassa Tegakan A. mangium
Sifat botanis
A. mangium termasuk sub famili Mimosoidea, famili Leguminosae. Sebelumnya nama spesies ini adalah Mangium montanum Rumph. yang kemudian diganti oleh C. L. Willdenow (Pinyopusarerk, 1993). Secara umum jenis ini dikenal dengan nama mangium, brown salwood,
hickory wattle dan Sabah salwood (National Academy of Science, 1983), sedangkan jenis ini di Indonesia mempunyai nama asli Mangi-mangi Gunong (Ambon).
Di beberapa daerah di Indonesia jenis ini dikenal dengan nama mangium. A. mangium
termasuk jenis pohon, tingginya dapat mencapai 30 m dan diameternya dapat mencapai 90 cm
atau lebih . Ranting kuat berbentuk segitiga tajam, yang disebut daun pada dasarnya bukanlah
daun tetapi tangkai daun yang melebar dan berfungsi sebagai daun, disebut phyllodia. Daun yang sudah dewasa sangat besar dengan lebar 5 sampai 10 cm dan panjang 25 cm, berwarna
hijau tua terdapat 4 atau kadang-kadang 3 buah tulang daun utama. Tulang daun utama
berbentuk memanjang dan menyolok yang muncul pada ujung daun dan menyatu kembali pada
pangkal daun, sedang tulang daun sekunder berbentuk jala tetapi tidak tampak jelas (National
Academy of Science, 1983). Buah berbentung polong kering merekah yang melingkar ketika
masak, agak keras, panjang 7-8 cm, lebar 3-5 mm. Benih mengkilap, lonjong 3-5 x 2-3 mm,
dengan ari (funicle) kuning cerah atau orange yang terkait dengan benih. Terdapat 66.000 - 120.000 benih/kg. Umumnya kulit batang bagian bawah beralur longitudinal berwarna coklat
terang sampai coklat tua (Davidson, 1982). Riap rata-rata tahunan adalah 20 – 46 m3 per
hekter per tahun dengan daur 8 – 10 tahun. Pada lahan yang terganggu seperti bekas
kebakaran, tanah lempung yang sudah kurus dengan dasar batuan vulkanis, tanah gersang bekas
perladangan liar, lereng terjal, lahan alang-alang, jenis ini dapat memproduksi kayu rata-rata 20
Jenis A. mangium secara umum pembiakannya dilakukan dengan menggunakan biji atau benih, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ini dapat dlakukan
pengembangbiakan secara vegetatif yaitu melalui kultur jaringan (Hakim, 1999).
Penyebaran
A. mangium secara alami tersebar di daerah Australia bagian utara, Irian Jaya (Papua) bagian Selatan (Fak-Fak, Manokwari, Sedai, Sepanjang Sungai Digul dan Merauke), di
Kepulauan Aru (Pulau tragan dan Kepulauan Ngaibar) dan Maluku (Pulau Sulau, Taliabu, Teje
dan Seram). Sedangkan menurut Nicholson (1981) jenis ini tumbuh secara alami di Australia
Timur Laut, Papua Nugini dan Indonesia Bagian Timur(Maluku dan Irian Jaya) dan menyebar
dari batas Irian Jaya (0 o – 50 o LS) sampai bagian Selatan Queensland, Australia (sekitar 19 o
LS). Tegakan sisa yang cukup luas ditemui di daerah Daintree River (11 o LS), Heatlands (11 o
LS) daerah Champ China (16 o LS) dan Wenlock Nugini. Sedangkan menurut Awang dan
Taylor (1993), penyebaran A. mangium di Papua Nugini tersebar merata di daerah dataran rendah dari propinsi bagian Barat Papua Nugini, mulai dari daerah Selatan Danau Murray
sampai ke pantai dan dari batas Irian Jaya sampai ke Fly River di daerah Balimo. Terletak
pada garis 7o37’ – 8o59’ LS dan garis 141o09’ – 143 o 8’ BT. Tinggi dari permukaan laut 50
– 100 m pada bagian Utara dekat Boset.
Persyaratan tumbuh
A. mangium tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang tinggi. Dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang miskin hara dan tidak subur, padang alang-alang, bekas tebangan
dan mudah beradaptasi. Pada tanah yang jelek masih dapat tumbuh lebih baik dari jenis pohon
cepat tumbuh lainnya (Siregar, Djaingsastro dan Satjapradja, 1991; Susanto, Nirsatmanto dan
Susilowati, 1997). Di Sabah A. mangium dikembangkan pada lahan dengan pH 4,5 dan jenis tanahnya Entisol dan Ultisol. Adaptasinya terhadap berbagai tipe lingkungan merupakan
industri (Rahayu, Soetisna dan Sumiasri, 1991). Tanaman ini merupakan tumpuan dan harapan
untuk perjuangan melawan kerusakan lahan dan hutan di daerah tropik (Soerjono, 1989).
Berdasarkan pengamatan di daerah sebaran alam A. mangium di kelompok Hutan Tanjung Seram Maluku pada ketinggian 140 m dpl ada lima jenis tumbuhan bawah yaitu pakis
kawat, rumput kuda, singa-singa, biroro, haleki, kusu-kusu dan talas hutan. Dari tumbuhan
bawah tersebut ada dua jenis tumbuhan bawah yang dominan yaitu pakis kawat dan rumput
kuda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanaman pakis kawat dan rumput kuda
merupakan tanaman indikator bagi kesesuaian tumbuh A. mangium (Gintings, Sutisna, Purwanto, Mile dan Santoso, 1996). A. mangium untuk tumbuh dengan baik menghendaki suhu maksimum sekitar 31 - 34 o C dan suhu minimum 22 - 25 o C serta curah hujan sekitar
1500 - 4000 mm/tahun. Tanaman ini pertumbuhannya akan lebih baik pada tempat-tempat
yang terbuka (dapat penyinaran matahari penuh) (Sumiasri, Harmastini, Sukiman dan Karsono,
1990).
Nicholson (1981) menyatakan bahwa A. mangium dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Tetapi jarang tumbuh pada tanah-tanah yang mempunyai lapisan padas, tumbuh baik
pada tanah yang mempunyai batuan metamorfik dan granitik serta tanah datar jenis coastal
dimana umumnya merupakan jenis batuan alluvium quartener. Sedangkan menurut National
Academy of Science, (1983) jenis ini tumbuh dengan baik pada tanah tererosi, tanah mineral
dan tanah alluvial. Di Pulau Seram tumbuh pada tanah Podsolik Merah Kuning, sedang di
Sabah telah ditanam pada tanah Entisol dan Ultisol yang bersifat asam. Hasil penelitian
Firmansyah (2001) menunjukkan A. mangium dapat tumbuh dengan baik pada tanah gambut yang disertai dengan penambahan pupuk daun dan pupuk NPK.
Adaptasi dan perkembangan tanaman A. mangium pada lahan reklamasi bekas
tambang batubara yang mempunyai sifat fisika dan kimia tanah yang marginal sampai umur 4
tahun 4 bulan menunjukkan pertumbuhan cukup baik (Tambubolon, Gintings dan Kurniati,
1996).
Hasil uji coba penanaman A. mangium pada dua lokasi yaitu Darmaga Bogor dan Cikampek menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi pada umur 2 tahun di Darmaga, Bogor lebih
maksimal sebesar 3,77 cm (Soemarna dan Subiakto, 1989). Hal tersebut disebabkan
perbedaan curah hujan.
Kegiatan pengolahan tanah dalam kegiatan penanaman A. mangium pada daur 1 dilakukan pihak PT MHP dengan mekanis, sedangkan pada daur 2 pengolahan tanah dilakukan
oleh masyarakat melalui sistem tumpangsari dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM) pada daerah yang rawan sosial (Alrasyid, Sumarhani dan Heryati, 2000;
Djojosoebroto, 2003 b) . Pengolahan tanah pada daur 2 membutuhkan penanganan yang lebih
intensif dengan cara mempercepat dekomposisi limbah penebangan dalam rangka land preparation daur kedua untuk menghasilkan tanaman yang lebih baik (Djojosoebroto, 2003 b).
Pertumbuhan tegakan A. mangium
Pertumbuhan adalah menunjukkan total jumlah hasil sampai periode waktu tertentu,
sedangkan dalam arti laju menunjukkan jumlah untuk setiap periode waktu tertentu, biasanya
dinyatakan untuk setiap tahun. Riap adalah laju pertumbuhan tegakan dalam satuan m3/ha/tahun.
Kurva pertumbuhan mahluk hidup secara ideal berbentuk sigmoid, dengan syarat matematis sebagai berikut, (a) melalui titik nol pada saat awal pertumbuhan (a = 0) dan mencapai titik nol
pada akhir pertumbuhan (A = tak terhingga), (b) mempunyai titik belok (Q). Titik Q adalah titik
belok kurva hasil, dicapai pada saat laju pertumbuhan maksimum dan (c) memiliki garis
asimptot yaitu suatu garis yang bersifat tetap dan mendatar yang terjadi pada akhir pertumbuhan
(Prodan, 1968; Suhendang, 1990).
Dalam kegiatan pengelolaan hutan dibedakan pengertian pertumbuhan tegakan dan hasil
tegakan. Menurut Davis dan Johnson (1987), pertumbuhan tegakan adalah perubahan ukuran
dari sifat terpilih dari tegakan (dimensi tegakan) yang terjadi selama periode waktu tertentu.
Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada
waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai waktu tertentu. Perbedaan antara pertumbuhan
dan hasil tegakan terletak pada konsepsinya yaitu produksi biologis untuk pertumbuhan tegakan
besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung terus menerus. Secara umum
dapat dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu
waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu itu, sedangkan jumlah
maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus menerus setiap periode sama dengan
pertumbuhan dalam periode waktu itu.
Tanaman A. mangium untuk kelas perusahaan kayu serat (pulp) umumnya tidak dilakukan perlakuan penjarangan dan daur bisa diperpendek menjadi 6 – 8 tahun, sedangkan
untuk kelas perusahaan kayu pertukangan sejak awal harus dilakukan secara intensif kegiatan
wiwilan (pruning) dan penjarangan (thinning) dengan daur 10 tahun (Djojosoebroto, 2003 b). Produksi maksimum tegakan A. mangium dicapai umur sekitar 6 tahun, pada saat kurva riap tahunan berjalan (CAI) dan riap tahunan rata-rata (MAI) saling berpotongan (Fadjar, 1996).
Jenis tanaman A. mangium beberapa literatur menyebutkan bahwa perkiraan riap volume sebesar 20 sampai dengan 30 m3 per ha. Dengan daur 7 tahun maka potensi per ha
pada akhir daur berkisar antara 140 sampai dengan 210 m3 per ha. Pada kenyataannya
beberapa data sulit untuk mencapai potensi tersebut, dimana rata-rata maksimal yang dapat
dicapai adalah 100 m3 per ha. Beberapa perusahaan yang sudah panen menginformasikan
bahwa rata-rata potensi hutan tanaman yang dapat dipanen sebesar 80 m3 per ha (Purnomo,
2002). Persen hidup tanaman muda A. mangium pada daur kedua tidak dipengaruhi oleh pemakaian lahan daur pertama (Kurnia dan Sianturi, 1997).
Pembangunan hutan tanaman industri jenis A. mangium menunjukkan bahwa
pemanfaatan tegakan hampir dilakukan seluruh bagian tegakan. Daun/serasah digunakan untuk
media tumbuh persemaian, ranting dan cabang untuk pembuatan arang dan batang pohon untuk
kayu pulp dan pertukangan (pada pemanenan akan dilakukan pembagian batang dimana kelas
diameter di atas 20 cm untuk kayu pertukangan dan diameter di bawah 20 cm untuk pulp).
Sehingga hasil tegakan yang dipanen untuk dimanfaatkan adalah biomassa tegakan tersebut.
Menurut Mindawati (1999) pada setiap aktivitas pemanenan tegakan A. mangium perlu meninggalkan bagian-bagian tanaman selain kayu di lantai hutan hal tersebut untuk
Biomassa hutan tanaman
Biomassa sebagai jumlah bahan organik hidup dalam pohon berdasarkan ton kering
oven per unit area (Brown, 1997). Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu
biomassa di atas tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Lebih jauh dikatakan biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem
produktivitas, umur tegakan hutan dan distribusi organik (Kusmana et al, 1992).
Secara umum biomassa dan pertumbuhan tegakan hutan dipengaruhi oleh interaksi
antara tiga faktor yaitu keturunan (genetik), kualitas tempat tumbuh (lingkungan) dan teknik
pembudidayaan (silvikultur). Satoo dan Madgwick (1982) menyatakan bahwa faktor iklim
(curah hujan dan temperatur) mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon selain itu gradien
iklim juga menyebabkan perbedaan laju produksi bahan organik. Selain curah hujan dan
temperatur hal lain yang mempengaruhi besarnya biomassa adalah kerapatan tegakan,
komposisi tegakan dan kualitas tempat tumbuh. Lugo dan Snedaker (1974) menambahkan
bahwa biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Status Perusahaan
Perusahaan PT Musi Hutan Persada (PT MHP) adalah merupakan perusahaan patungan
antara BUMN/Pemerintah (40 %) dengan perusahaan swasta PT Enim Musi Lestari (60 %) yang
berdiri pada tanggal 27 Maret 1991 bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) di daerah
Propinsi Sumatera Selatan, dengan luas kawasan sebesar 296.400 ha yang terdiri dari hutan
tanaman Acacia mangium seluas 193.500 ha, hutan produksi yang dikonservasi seluas 86.000 ha serta sarana dan prasarana pemukiman seluas 16.000 ha.
Letak dan Luas
Lokasi hutan tanaman industri (HTI) PT MHP terbagi ke dalam tiga wilayah kerja yaitu
Benakat seluas 197.741 ha, Subanjeriji seluas 87.354 ha dan Martapura seluas 10.305 ha. Lokasi
penelitian dilakukan di Kelompok Hutan Subanjeriji yang terbagi atas beberapa unit dengan luasan
sebagai berikut : Merbau (9.087,65 ha), Caban (8.687,29 ha), Sodong (15.156,31 ha) dan
Gemawang (12.893,21 ha). Subanjeriji secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan
Rambangdangku, Kabupaten Muaraenim, Propinsi Sumatera Selatan. Menurut perwilayahan
administrasi pemangkuan hutan Kelompok Hutan Subanjeriji termasuk Resort Polisi Hutan
Subanjeriji, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Muaraenim, Kesatuan Pemangkuan Hutan
Lematang Musi Hulu, Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan. Menurut wilayah daerah aliran
sungai (DAS) Subanjeriji masuk kedalam DAS Musi, Sub DAS Sungai Lematang. Posisi geografis
dari areal tersebut terletak antara 103o 10' - 104o25' Bujur Timur dan 3o0' - 4o28' Lintang Selatang
Tanah dan Topografi
Tanah di kelompok hutan Subanjeriji didominasi oleh asosiasi podsolik, asosiasi latosol dan
podsolik merah kekuningan, yang menurut taksonomi tanah termasuk kedalam ordo Ultisol.
Tekstur tanah umumnya berliat berat dengan tingkat kesuburan yang rendah dan permeabilitas
kurang baik, serta kedalaman efektif berkisar antara 60 - 90 cm.
Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia tanah ini banyak
ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan liat. Secara umum ordo tanah Ultisol merupakan
tanah yang masih tersisa dan dapat dikembangkan sebagai kawasan budidaya. Ketersediaan air di
daerah ini umumnya cukup tersedia dari curah hujan yang tinggi. Reaksi tanah yang masam,
kejenuhan basa rendah, kadar Al yang tinggi dan kadar unsur hara yang rendah merupakan
pembatas utama kegiatan budidaya, sehingga untuk penggunaan budidaya yang baik diperlukan
pengapuran, pemupukan dan pengelolaan yang tepat.
Kondisi topografi di lokasi penelitian umumnya relatif datar hingga bergelombang dengan
kemiringan lahan berkisar antara 2 - 20 % pada ketinggian tempat berkisar 100 - 250 m dpl.
Lokasi pengambilan sampel tanah dan tegakan secara umum datar (0 - 3 %).
Iklim
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim daerah penelitian termasuk keadaan tipe
hujan A dengan curah hujan rata-rata pertahun sekitar 2.500 mm sampai dengan 3.000 mm
(Soedjoko, 2004). Sedangkan berdasarkan iklim Oldeman termasuk iklim kering dengan empat
bulan basah yaitu pada bulan Desember, Januari, Pebruari dan Maret dan delapan bulan kering.
Suhu rata-rata bulanan maksimum berkisar 32 oC dan rata-rata bulanan minimum berkisar 27 oC.
Kecepatan angin rata-rata bulanan sebesar 30,2 km/jam dengan kelembaban nisbi rata-rata 30 %
Riwayat Pengelolaan dan Sistem Silvikultur
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tegakan hutan di samping genetik dan kualitas
tempat tumbuh adalah faktor pengelolaan dan sistem silvikultur. Pengelolaan hutan tanaman sampai
dengan dilakukan kegiatan penelitian masih dilakukan perusahaan yang sama yaitu PT Musi Hutan
Persada dengan kepemilikan saham yaitu 40 % milik pemerintah BUMN dan 60 % milik PT Enim
Musi Lestari (Simon dan Arisman, 2004), sehingga dari faktor pengelolaan antara daur 1 dan daur
2 tidak ada perbedaan dari aspek kepemilikan dan kebijakan perusahaan terhadap pengelolaan
hutan tanaman A. mangium.
Sistem silvikultur yang digunakan pada daur 1 dan daur 2 adalah sistem tebang habis
dengan permudaan buatan, dengan tahapan utama yaitu persemaian, penyiapan lahan, penanaman,
pemeliharaan dan penebangan (pemanenan). Adapun perbedaan tahapan pembangunan hutan
tanaman A. mangium antara daur 1 dan daur 2 adalah sebagai berikut : 1. Persemaian
Persemaian yang digunakan pada daur 1 adalah persemaian temporer, dimana lokasi
persemaian selalu berpindah setiap tahunnya mendekati areal penanaman dan dekat dengan
sumber air. Media persemaian yang digunakan berupa tanah permukaan (top soil) dengan wadah kantong plastik (polybag) berukuran diameter 7 cm dan panjang 15 cm. Sedangkan pada daur 2 menggunakan persemaian permanen yang dilengkapi tempat penyiapan dan